Dokumen ini menceritakan tentang latihan bela diri antara Arya Salaka dengan Endang Widuri, yang mengejutkan para penonton karena kemampuan bela diri Widuri yang luar biasa untuk usianya. Cerita berlanjut dengan kedatangan seseorang yang mencari Mahesa Jenar, meskipun identitasnya belum diketahui.
Cerita ini menceritakan tentang pertempuran sengit antara laskar Pamingit melawan orang-orang golongan hitam. Pertempuran terjadi di dua tempat, yaitu di Kepandak dan Sumber Panas. Di Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki secara individu. Sementara itu di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti harus melawan kelompok besar musuh secara bersamaan. Kedatangan seorang
Dokumen ini menceritakan tentang rombongan Lawa Ijo yang berencana menyerang perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka berencana membunuh para pemimpin perkemahan tersebut kecuali menangkap hidup beberapa orang termasuk Wilis, Widuri, dan Arya Salaka. Rombongan Lawa Ijo kemudian memutuskan untuk memasuki terlebih dahulu kemah yang dijaga ketat karena diduga menyimpan sesuatu yang penting.
1. Paningron memberitahu bahwa ia ingin membahas soal orang yang mengambil pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. 2. Ia juga ingin membahas soal Pasingsingan yang dibunuh oleh Pasingsingan. 3. Paningron memastikan tidak ada orang lain selain mereka di ruangan itu sebelum melanjutkan pembicaraan.
Dokumen tersebut menceritakan pertempuran antara laskar Banyubiru dan Pamingit melawan golongan hitam. Dalam pertempuran itu, dua tokoh sakti dari golongan hitam, Nagapasa dan Sima Rodra, dibunuh oleh Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar dengan teknik Sasra Birawa. Kejadian ini mengubah momentum pertempuran dan membuat moral laskar golongan hitam menurun.
Dokumen tersebut merupakan bagian awal dari cerita Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menguping pembicaraan beberapa anggota gerombolan penjahat di dekat perkemahan mereka. Mereka mengetahui bahwa gerombolan tersebut adalah anak buah Sima Rodra yang ingin menangkap seseorang. Mahesa Jenar ingin menyerang mereka sekaligus, namun Panembahan Ismaya menolaknya dengan alasan tidak ing
Dokumen ini menceritakan tentang latihan bela diri antara Arya Salaka dengan Endang Widuri, yang mengejutkan para penonton karena kemampuan bela diri Widuri yang luar biasa untuk usianya. Cerita berlanjut dengan kedatangan seseorang yang mencari Mahesa Jenar, meskipun identitasnya belum diketahui.
Cerita ini menceritakan tentang pertempuran sengit antara laskar Pamingit melawan orang-orang golongan hitam. Pertempuran terjadi di dua tempat, yaitu di Kepandak dan Sumber Panas. Di Kepandak, Ki Ageng Sora Dipayana melawan Bugel Kaliki secara individu. Sementara itu di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti harus melawan kelompok besar musuh secara bersamaan. Kedatangan seorang
Dokumen ini menceritakan tentang rombongan Lawa Ijo yang berencana menyerang perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka berencana membunuh para pemimpin perkemahan tersebut kecuali menangkap hidup beberapa orang termasuk Wilis, Widuri, dan Arya Salaka. Rombongan Lawa Ijo kemudian memutuskan untuk memasuki terlebih dahulu kemah yang dijaga ketat karena diduga menyimpan sesuatu yang penting.
1. Paningron memberitahu bahwa ia ingin membahas soal orang yang mengambil pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. 2. Ia juga ingin membahas soal Pasingsingan yang dibunuh oleh Pasingsingan. 3. Paningron memastikan tidak ada orang lain selain mereka di ruangan itu sebelum melanjutkan pembicaraan.
Dokumen tersebut menceritakan pertempuran antara laskar Banyubiru dan Pamingit melawan golongan hitam. Dalam pertempuran itu, dua tokoh sakti dari golongan hitam, Nagapasa dan Sima Rodra, dibunuh oleh Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar dengan teknik Sasra Birawa. Kejadian ini mengubah momentum pertempuran dan membuat moral laskar golongan hitam menurun.
Dokumen tersebut merupakan bagian awal dari cerita Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menguping pembicaraan beberapa anggota gerombolan penjahat di dekat perkemahan mereka. Mereka mengetahui bahwa gerombolan tersebut adalah anak buah Sima Rodra yang ingin menangkap seseorang. Mahesa Jenar ingin menyerang mereka sekaligus, namun Panembahan Ismaya menolaknya dengan alasan tidak ing
Mahesa Jenar merasa harus pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari Endang Widuri yang hilang. Hal ini membuat Rara Wilis sedih karena harapannya untuk memulai kehidupan baru bersama Mahesa Jenar akan tertunda. Meskipun berat hati, Rara Wilis mengizinkan Mahesa Jenar pergi karena mengerti tanggung jawabnya untuk membantu muridnya, Arya Salaka.
Dokumen ini menceritakan tentang pertemuan Arya Salaka dengan Sawung Sariti setelah kedatangannya ke Banyubiru. Sawung Sariti melarang keras kedatangan Arya Salaka dan menghinanya. Hal ini membuat Arya Salaka sangat marah dan nyaris terjadi perkelahian di antara mereka berdua jika tidak dicegah oleh Mahesa Jenar.
Dokumen tersebut menceritakan perkelahian antara Karebet melawan Sembada dan Sambirata. Mereka hampir saling membunuh satu sama lain ketika tiba-tiba muncul seorang pria bertopeng yang mencoba melerai perkelahian itu. Pria bertopeng tersebut berusaha membujuk mereka untuk pulang tanpa saling membunuh, namun Sembada dan Sambirata bersikeras ingin membunuh Karebet.
Teks ini menceritakan tentang pertemuan antara Sultan Trenggana dengan Karebet dan Putri Sultan. Mereka berdua terlibat dalam pertarungan ilmu setelah Karebet ketahuan berada di taman istana pada malam hari bersama Putri. Sultan Trenggana kemudian menunjukkan identitasnya dan kekuatan ilmunya yang dahsyat, membuat Karebet dan Putri Sultan terkejut dan menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Sultan sendiri.
Cerita ini menceritakan tentang pertempuran antara Mahesa Jenar dengan Pasingsingan, hantu berjubah abu-abu. Pasingsingan menyebarkan sirep yang membuat semua orang tertidur, termasuk penjaga perkemahan. Mahesa Jenar mengejar Pasingsingan tetapi gagal menangkapnya. Kebo Kanigara beserta rombongan tiba di perkemahan. Mereka membangunkan semua orang yang tertidur akibat pengaruh sirep Pas
Tiga kalimat:
Dokumen ini menceritakan pertemuan antara Radite, Anggara dan guru mereka Pasingsingan Sepuh. Pasingsingan Sepuh datang untuk menanyakan keberadaan dua pusaka, Nagasasra dan Sabuk Inten, setelah sebelumnya dituduh oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di tempat Radite. Radite menjelaskan bahwa ia tidak memiliki kedua pusaka tersebut.
Dokumen ini menceritakan tentang pertempuran antara Wanamerta dan Sendang Papat melawan orang-orang Pamingit. Mereka sempat terkepung namun berhasil lolos berkat bantuan dari lima anak muda yang tiba-tiba muncul. Salah seorang anak muda itu ternyata sangat ahli berkelahi dan mampu mengalihkan perhatian lawan, sehingga meringankan beban Wanamerta dan Sendang Papat.
Teks ini menceritakan pertempuran antara Mahesa Jenar dan gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Wadas Gunung. Pertempuran berlangsung sengit, namun akhirnya Mahesa Jenar dan seorang pria misterius bersenjatakan kapak berhasil mengalahkan lawan. Wadas Gunung terluka parah dan terpaksa menyelamatkan diri bersama anak buahnya. Setelah lawan pergi, pria berkapak itu mengungkapkan identitasnya dan men
Teks ini menceritakan tentang Mahesa Jenar yang mengintip muridnya, Arya Salaka, berlatih bersama Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar terkejut melihat kemampuan bertarung Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal yang sangat hebat, melebihi bayangannya. Dari gerakan bertarung Putut Karang Tunggal, Mahesa Jenar merasa pernah melihat gaya bertarung serupa di masa mudanya.
Dokumen ini menceritakan pertarungan antara Mahesa Jenar dengan lawan yang kuat. Pertarungan itu berlangsung sengit dan kedua belah pihak saling menyerang dengan kekuatan penuh. Pertarungan itu berakhir dengan serangan terakhir Mahesa Jenar yang menggunakan ilmu Sasra Birawa. Kedua belah pihak akhirnya pingsan akibat kekuatan serangan tersebut.
Cerita ini menceritakan tentang kunjungan Tiong Khi Hwesio, seorang pendeta tua yang dulu dikenal sebagai Si Jari Maut, ke istana Kao Kok Cu dan istrinya Wan Ceng di Gurun Pasir. Kao dan Wan Ceng adalah pendekar tua yang masih memiliki kekuatan silat meskipun sudah tua. Mereka menyambut kedatangan Tiong Khi Hwesio dengan gembira dan mengajaknya berkeliling Gurun Pasir.
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Codajongshopp
WA 081–388–333–722 JUAL VAGINA SENTER ELEKTRIK ALAT BANTU SEKS PRIA DI SURABAYA COD
SIAP ANTAR / COD : SURABAYA, SIDOARJO, MOJOKERTO
KUNJUNGI TOKO KAMI DI : TOKO AJONG VITALITASS JL. RAYA KLETEK NO.112 TAMAN SIDOARJO ( sebrang BRI kletek / sebelah jualan bambu )
Mahesa Jenar merasa harus pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari Endang Widuri yang hilang. Hal ini membuat Rara Wilis sedih karena harapannya untuk memulai kehidupan baru bersama Mahesa Jenar akan tertunda. Meskipun berat hati, Rara Wilis mengizinkan Mahesa Jenar pergi karena mengerti tanggung jawabnya untuk membantu muridnya, Arya Salaka.
Dokumen ini menceritakan tentang pertemuan Arya Salaka dengan Sawung Sariti setelah kedatangannya ke Banyubiru. Sawung Sariti melarang keras kedatangan Arya Salaka dan menghinanya. Hal ini membuat Arya Salaka sangat marah dan nyaris terjadi perkelahian di antara mereka berdua jika tidak dicegah oleh Mahesa Jenar.
Dokumen tersebut menceritakan perkelahian antara Karebet melawan Sembada dan Sambirata. Mereka hampir saling membunuh satu sama lain ketika tiba-tiba muncul seorang pria bertopeng yang mencoba melerai perkelahian itu. Pria bertopeng tersebut berusaha membujuk mereka untuk pulang tanpa saling membunuh, namun Sembada dan Sambirata bersikeras ingin membunuh Karebet.
Teks ini menceritakan tentang pertemuan antara Sultan Trenggana dengan Karebet dan Putri Sultan. Mereka berdua terlibat dalam pertarungan ilmu setelah Karebet ketahuan berada di taman istana pada malam hari bersama Putri. Sultan Trenggana kemudian menunjukkan identitasnya dan kekuatan ilmunya yang dahsyat, membuat Karebet dan Putri Sultan terkejut dan menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Sultan sendiri.
Cerita ini menceritakan tentang pertempuran antara Mahesa Jenar dengan Pasingsingan, hantu berjubah abu-abu. Pasingsingan menyebarkan sirep yang membuat semua orang tertidur, termasuk penjaga perkemahan. Mahesa Jenar mengejar Pasingsingan tetapi gagal menangkapnya. Kebo Kanigara beserta rombongan tiba di perkemahan. Mereka membangunkan semua orang yang tertidur akibat pengaruh sirep Pas
Tiga kalimat:
Dokumen ini menceritakan pertemuan antara Radite, Anggara dan guru mereka Pasingsingan Sepuh. Pasingsingan Sepuh datang untuk menanyakan keberadaan dua pusaka, Nagasasra dan Sabuk Inten, setelah sebelumnya dituduh oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berada di tempat Radite. Radite menjelaskan bahwa ia tidak memiliki kedua pusaka tersebut.
Dokumen ini menceritakan tentang pertempuran antara Wanamerta dan Sendang Papat melawan orang-orang Pamingit. Mereka sempat terkepung namun berhasil lolos berkat bantuan dari lima anak muda yang tiba-tiba muncul. Salah seorang anak muda itu ternyata sangat ahli berkelahi dan mampu mengalihkan perhatian lawan, sehingga meringankan beban Wanamerta dan Sendang Papat.
Teks ini menceritakan pertempuran antara Mahesa Jenar dan gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Wadas Gunung. Pertempuran berlangsung sengit, namun akhirnya Mahesa Jenar dan seorang pria misterius bersenjatakan kapak berhasil mengalahkan lawan. Wadas Gunung terluka parah dan terpaksa menyelamatkan diri bersama anak buahnya. Setelah lawan pergi, pria berkapak itu mengungkapkan identitasnya dan men
Teks ini menceritakan tentang Mahesa Jenar yang mengintip muridnya, Arya Salaka, berlatih bersama Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar terkejut melihat kemampuan bertarung Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal yang sangat hebat, melebihi bayangannya. Dari gerakan bertarung Putut Karang Tunggal, Mahesa Jenar merasa pernah melihat gaya bertarung serupa di masa mudanya.
Dokumen ini menceritakan pertarungan antara Mahesa Jenar dengan lawan yang kuat. Pertarungan itu berlangsung sengit dan kedua belah pihak saling menyerang dengan kekuatan penuh. Pertarungan itu berakhir dengan serangan terakhir Mahesa Jenar yang menggunakan ilmu Sasra Birawa. Kedua belah pihak akhirnya pingsan akibat kekuatan serangan tersebut.
Cerita ini menceritakan tentang kunjungan Tiong Khi Hwesio, seorang pendeta tua yang dulu dikenal sebagai Si Jari Maut, ke istana Kao Kok Cu dan istrinya Wan Ceng di Gurun Pasir. Kao dan Wan Ceng adalah pendekar tua yang masih memiliki kekuatan silat meskipun sudah tua. Mereka menyambut kedatangan Tiong Khi Hwesio dengan gembira dan mengajaknya berkeliling Gurun Pasir.
WA 081388333722 Jual Dildo Penis IKat Pinggang Di Surabaya Codajongshopp
WA 081–388–333–722 JUAL VAGINA SENTER ELEKTRIK ALAT BANTU SEKS PRIA DI SURABAYA COD
SIAP ANTAR / COD : SURABAYA, SIDOARJO, MOJOKERTO
KUNJUNGI TOKO KAMI DI : TOKO AJONG VITALITASS JL. RAYA KLETEK NO.112 TAMAN SIDOARJO ( sebrang BRI kletek / sebelah jualan bambu )
Wen4D Daftar Situs Slot Gacor Gampang Maxwin Terbaru Hari IniWen4D
Wen4D adalah pilihan situs judi slot terbaik di Indonesia dan terpercaya yang menghadirkan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi para pemain yang bergabung. Sistem game yang kami sajikan 100% fairplay di mana artinya memang tidak ada campur tangan pihak manapun yang menentukan kemenangan.
Link Alternatif : https://heylink.me/WEN4D.com/
Modul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdf
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 95
2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 95
I
etelah berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan,
“Karena itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya
Salaka untuk mengambil haknya kembali. Untuk mengambil
kekuasaan yang ada di Banyubiru dari tangan adik atau pamannya.
Sedang kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang selalu baik atau
tidak baik. Hampir semua orang di dunia ini menginginkan
kekuasaan. Dalam bentuk yang besar atau dalam ujud yang lebih
kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula. Namun yang harus
dinilai kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.
Akhirnya, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan itulah,
yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang berada di dalam
tangannya. Apakah ia mengabdikan kekuasaan itu untuk nilai-nilai
kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”
“Mahesa Jenar, aku harap kau dapat memahaminya.
Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka akan dapat
mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya, maka
aku kira kaulah orang paling dekat di hatinya. Kaulah yang akan
dapat memberitahukan kepadanya, bahwa kekuasaan yang berada
kembali di tangannya nanti harus menemukan titik sasaran yang
benar. Seperti tombak lambang kebesaran Banyubiru yang
dibawanya itu. Tombak itu dapat dipergunakannya untuk
melindungi diri serta orang lain. Namun tombak itu di tangan orang
yang tidak bertanggungjawab dapat dipergunakan untuk
membunuh kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah. Ingat,
pengabdianmu harus kau tujukan kepada manusia. Tidak kepada
kedudukan, harta benda dan nafsu. Dan pengabdianmu itu
merupakan unsure terpenting dari kebaktianmu yang tertinggi.
Bakti dengan tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya
semakin dalam. Tak ada satu patah kata pun yang sisip dari
hatinya, dari pendiriannya. Memang demikianlah tujuan
S
3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 95
pengabdian yang selama ditempuhnya. Karena itu, setiap kata
yang diucapkan oleh Panembahan Ismaya itu telah mempertebal
keyakinannya. Di dalam hati ia berjanji untuk menuangkan
pengertiannya itu sejauh-jauhnya kepada Arya Salaka. Sebab di
tangan Arya Salaka lah letak kekuasaan Banyubiru di masa datang.
Rombongan itu mula-mula singgah di Gedangan untuk
mendapat pinjaman kuda, disamping mereka memenuhi undangan
Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih desa. Upacara yang
diselenggarakan setiap para penduduk Gedangan selesai dengan
musim menuai padi. Demikian pula kali ini. Mereka bersuka ria
karena panenan mereka berhasil. Pada malam itu, ketika
rombongan Mahesa Jenar bermalam di Gedangan, suasana desa
itu benar-benar meriah. Mereka menyelenggarakan peralatan
bersama di sebuah tanah lapang kecil di tengah-tengah desa
mereka. Setiap keluarga datang dengan membawa ancak berisi
berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan
bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada yang
membawa jodhang penuh dengan masakan yang enak. Makanan
jadah, jenang alot, tasikan, sagon, lapis dan sebagainya. Maka
apabila upacara-upacara adat telah selesai, maka segera makanan
mereka itu dibagi bersama-sama dan dimakan bersama-sama
pula. Demikianlah, peralatan itu benar-benar merupakan peralatan
yang meriah.
Sedangkan hampir seluruh desa mereka dihiasi dengan janur-
janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol halaman.
Dan di hadapan regol desa mereka letakkan hiasan yang
termeriah, dengan janur-janur kuning, daun topengan dan daun-
daun yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau dan berbelang-
belang. Demikian pula dinding yang melingkari desa mereka serta
sepanjang dinding halaman rumah-rumah, terpancang berpuluh-
puluh bahkan beratus-ratus oncor yang menjadikan desa mereka
terang-benderang seolah-olah siang.
Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian pula. Semalam
suntuk mereka tidak tidur. Setelah mereka lelah berlari-larian
4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 95
kesana kemari, mereka dapat menikmati pertunjukan wayang
beber. Pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan, yang
dipetik dari cerita Mahabarata.
Demikianlah rombongan kecil Mahesa Jenar dapat ikut pula
menikmati kemeriahan malam bersih desa di Gedangan itu.
Mereka ikut serta bergembira bersama-sama penduduk Gedangan
dan kemudian ikut serta dengan mereka mengunjungi pertemuan
di pendapa Kelurahan serta menikmati upacara tari-tarian sebagai
pernyataan terima kasih pula atas panenan mereka yang berhasil.
Tetapi dalam pada itu, Arya Salaka menjadi semakin trenyuh
di dalam hati. Teringatlah segala kemeriahan upacara di Tanah
Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya. Pada masa ayahnya
masih memimpin tanah itu. Dan karena itulah tekadnya menjadi
semakin bulat. Ia harus mendapatkan kembali tanah itu. Ia
berjanji di dalam hatinya, apabila ia harus mewakili ayahnya dalam
pemerintahan tanah perdikan itu, yang dilakukannya harus
menguntungkan rakyatnya. Membina kembali Banyubiru dalam
segala seginya. Dan ia harus dapat menjadikan Banyubiru sebagai
idaman ayahnya. Menjadikan Banyubiru gemah ripah lohjinawi
kertaraharja. Dimana setiap orang dapat menikmati kesuburan
tanah kampung halamannya, dimana setiap orang dapat
menikmati cerahnya matahari dan bulatnya bulan di malam hari.
Menikmati ketenteraman hidup dan tanpa kegelisahan menjelang
hari tuanya. Cukup sandang, cukup pangan. Sejahtera lahir dan
batin.
Maka, setelah mereka bermalam dua malam di Gedangan,
rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh
hampir segenap penduduk Gedangan sampai ke regol desa
mereka. Dengan penuh kebanggaan mereka memandang debu
yang mengepul dilemparkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari
seenaknya. Seolah-olah mereka melihat rombongan pasukan
berkuda yang tak terkalahkan menuju ke medan pertempuran.
5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 95
Tak ada yang penting yang terjadi di dalam perjalanan itu.
Setelah mereka bermalam satu malam, maka pada hari berikutnya
ketika matahari telah condong ke barat, sampailah mereka di
daerah pegunungan Sumawana. Suatu daerah pegunungan yang
menurut dongeng rakyat, adalah pegunungan dimana Prabu
Dasamuka ditimbun dengan tanah oleh Pahlawan Kera yang
berbulu putih, Hanoman. Karena kepercayaan itulah maka di
daerah pegunungan itu, tidak diperkenankan membawa tuak atau
semacam minuman keras yang lain. Sebab apabila ada orang yang
melanggar pantangan itu, Prabu Dasamuka, yang tidak dapat mati,
akan menggeram dan mengguncang-guncang gunung yang
menimbuninya, sebab tuak adalah jenis minuman yang sangat
digemarinya. Rakyat yang hidup di daerah itu, meskipun sangat
jarang, tidak pernah takut seandainya Prabu Dasamuka itu dapat
menjebol tanah yang menimbuninya. Sebab di dekatnya adalah
bukit yang terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah Hanoman
bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya untuk
menimbun tubuh Prabu Dasamuka.
Ketika rombongan kecil itu sampai di sekitar bukit Sumawana,
mereka menghentikan perjalanan mereka. Daerah ini sudah dekat
benar dengan daerah Candi Gedong Sanga. Karena itu mereka
harus berhati-hati. Sebab apabila ada salah paham, mungkin akan
menimbulkan hal-hal yang tidak mereka kehendaki. Karena itu
mereka tidak maju lagi, tetapi mereka bermaksud bermalam di
daerah itu.
Pada malam itulah Mahesa Jenar berhasrat memancing orang-
orang Banyubiru yang bersembunyi di sekitar daerah itu dibawah
pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu, maka ketika malam
telah turun dengan kelamnya, segera Mahesa Jenar menyalakan
api sebesar-besarnya. Ia yakin bahwa laskar Pamingit tidak akan
sampai berkeliaran sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti
bahwa sebagian laskar Bantaran dan Penjawi ada di sekitar daerah
Banyubiru.
Dan apa yang diharapkan terjadilah.
6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 95
Ketika mereka sedang menikmati jadah sisa bekal mereka dari
Gedangan yang mereka panggang di atas api, tiba-tiba
terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya. Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan hampir semua orang dalam rombongan itu
mengetahuinya, namun mereka masih berpura-pura tidak
mendengarnya.
Sebentar kemudian terdengarlah beberapa orang berloncatan
dengan senjata di tangan. Dengan lantangnya seorang yang
memimpin laskar itu berkata, “Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak
melawan. Kami tidak ingin berbuat jahat, tetapi kami ingin
mengetahui siapakah kalian.”
Mahesa Jenar mengangkat mukanya. Ia samasekali tidak
berkata apa-apa. Sambil tersenyum ia mengangkat tangannya
menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut perapian sambil
membenamkan dirinya di dalam kainnya.
Ketika orang itu melihat Wanamerta, tiba-tiba wajahnya jadi
tegang. Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam diri seperti
patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok di hadapannya
sambil berteriak, “Kiai, adakah benar ini Kiai Wanamerta.”
Orang tua itu tersenyum. Tersenyum lucu sekali.
Tetapi semua orang yang menyaksikannya menjadi ikut
terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak di antara pelupuk
mata orang tua itu membayang butiran-butiran air mata. Serta
dengan suara parau ia menjawab, “Ya, inilah Wanamerta yang tua.
Bukankah kau Jaladri?”
“Ya,” sahut pemimpin laskar itu. “Bagaimanakah Kiai dapat
sampai di tempat ini?”
“Hemm….” desis Wanamerta, lalu katanya, “Kenalkah kau
dengan Anakmas Mahesa Jenar?”
7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 95
“Mahesa Jenar…?” ulang Jaladri, “Ya tentu aku mengenalnya.
Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di Banyubiru untuk
beberapa lama.”
“Itulah dia,” potong Wanamerta sambil menunjuk Mahesa
Jenar.
Jaladri menoleh kepada Mahesa Jenar. Memang ia pernah
mengenalnya. Lima tahun yang lalu. Karena itu ia agak pangling.
Baru ketika ia telah memperhatikan beberapa lama, ia menjadi
jelas, bahwa memang orang itulah yang pernah dikenalnya
bernama Mahesa Jenar. Karena itu segera ia menggeser diri duduk
sambil membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar, sambil
berkata, “Maafkan kami, Tuan. Kami hampir tidak dapat mengenal
Tuan setelah sekian lama berpisah. Apalagi sebelumnyapun aku
tidak begitu dekat dengan Tuan.”
Mahesa Jenar menjawab dengan hormatnya pula. “Adalah hal
yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi. Waktu itu aku tidak
mempunyai waktu banyak untuk tinggal lebih lama lagi di
Banyubiru. Apalagi kita sudah terlalu lama tidak bertemu. Tetapi
untunglah bahwa kau mengenal Paman Wanamerta.”
“Kepada Kiai Wanamerta, berapa puluh tahun aku terpisah,
namun aku masih akan dapat mengenalnya. Dan bahkan semua
orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya,” jawab Jaladri.
“Bagus,” sahut Mahesa Jenar. “Sebab ia adalah tetua
Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa
kepada kampung halaman itu”.
“Benar Tuan,” jawab Jaladri, kemudian dengan agak ragu-ragu
ia bertanya, “Tetapi, menurut Kakang Bantaran, bukankah Tuan
berjanji untuk membawa Arya Salaka kepada kami?”
Mahesa Jenar tersenyum. Agaknya Bantaran telah
mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak buahnya.
8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 95
Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata. “Cobalah Jaladri, carilah
di antara kami, adakah Arya Salaka serta?”
Jaladri menjadi ragu. Ia memandang satu persatu kawan-
kawan seperjalanan Mahesa jenar. Mahesa Jenar sendiri, lalu
seorang yang berumur agak lebih tua sedikit dari Mahesa Jenar,
disampingnya duduk bersimpuh seorang gadis kecil. Di dekatnya
duduk bersila seorang gadis yang berpakaian laki-laki, dan di ujung
duduk bersilah pula seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di
pinggangnya terselip sehelai tombak yang bertangkai pendek.
Jaladri masih tetap ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu di
antaranya. Meskipun apabila Arya Salaka ada di antaranya, yang
paling mungkin adalah pemuda yang gagah itu. Setelah beberapa
lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia menjawab, “Aku tidak
tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat meninggalkan Banyubiru masih
terlalu kecil bagi yang ada sekarang.”
Meskipun demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda tegap
yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian pula Kebo Kanigara.
Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, dan
bahkan Arya Salaka sendiri. Jaladri mempunyai dugaan yang
benar. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera
membenarkan dugaan itu. Dengan tegak berdiri ia berkata,
“Jaladri… antarkanlah kami sekarang kepada Bantaran.”
“Baik Tuan,” jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja
meloncat dari mulutnya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta, Kebo
Kanigara dan kawan-kawan seperjalanannya. “Marilah, kita
selesaikan perjalanan kita yang tinggal beberapa langkah saja.”
Semuanya segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan
sesaat kemudian mereka meneruskan perjalanan yang sudah tidak
jauh lagi.
9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 95
Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan dua orangnya untuk
mendahului dan memberitahukan kedatangan Mahesa Jenar, agar
Bantaran dapat mempersiapkan sambutan sekadarnya.
Demikianlah, tidak terlalu lama, mereka telah sampai ke
daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran. Oleh
Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan yang tidak
terlalu lebat. Di dalam hutan yang tipis itu terdapatlah sebuah
barak besar dikelilingi beberapa barak kecil. Itulah perkemahan
laskar Banyubiru yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.
Ketika Mahesa Jenar sampai ke tempat itu, sibuklah mereka
mengadakan penyambutan. Berdesak-desakan mereka berebut
muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-kawan tidak dapat
bergerak maju lagi. Sampai Bantaran berdiri dan berteriak,
“Berilah jalan supaya mereka dapat masuk ke dalam pondok ini.”
Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
dipersilakan masuk ke dalam pondok yang terbesar itu. Di
dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dan di
sanalah pemimpin-pemimpin laskar itu telah siap menanti. Mahesa
jenar dan kawan-kawannya dipersilakan duduk di ujung
pertemuan itu. Tetapi demikian ia mulai memperhatikan satu demi
satu dari setiap wajah di dalam ruangan itu, tiba-tiba ia terkejut
ketika melihat yang duduk berjajar di samping Penjawi. Karena itu
segera Bantaran memperkenalkan kedua orang itu kepada Mahesa
Jenar. “Tuan, barangkali Tuan belum mengenalnya. Mereka adalah
orang baru di sini. Tetapi mereka melihat kebenaran perjuangan
kami. Karena itu mereka di pihak kami.”
Tiba-tiba meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan yang
akrab, “Kakang Mantingan dan Wirasaba, adakah kalian telah lama
berada di tempat ini?”
Dalang Mantingan dan Wirasaba menganggukkan kepalanya.
Terdengarlah Mantingan menjawab, “Sudah… Adi. Aku sudah
beberapa bulan bergaul dengan anak-anak Banyubiru, meskipun
10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 95
kadang-kadang aku juga memerlukan kembali ke Wanakerta atau
Prambanan bersama-sama dengan Adi Wirasaba.”
Teringatlah Mahesa Jenar pada saat mereka baru saja
menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu bentrokan melawan
golongan hitam yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan
di daerah Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar dengan empat
orang teman, yaitu Mantingan, Wirasaba, Gajah Alit dan
Paningron, harus bertempur melawan seluruh kalangan hitam dari
angkatan sebayanya, yang kemudian mendapat bantuan dari Sima
Rodra tua dan Pasingsingan. Untunglah pada saat itu muncul
Radite dan Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada
saat itu ia memang berpesan kepada Mantingan untuk berusaha
melihat-lihat keadaan Banyubiru. Agaknya Mantingan benar-benar
melaksanakan pesan Radite dan Anggara, bahkan akhirnya
mengambil keputusan untuk tinggal bersama-sama dengan
mereka.
Kemudian sibuklah pertemuan itu dengan pernyataan
keselamatan masing-masing. Wanamerta yang menjadi semakin
terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih setia kepada
pimpinannya itu, malahan menjadi seperti patung. Ia hanya dapat
mendengarkan percakapan-percakapan yang semakin ramai dan
gembira, dan sesekali menoleh kesana kemari, tanpa tujuan.
Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu terdengarlah
Bantaran bertanya, “Tuan, bukankah Tuan telah menyanggupkan
kepada kami untuk membawa Arya Salaka…?”
Mahesa Jenar tertawa. Memang, ia menanti pertanyaan itu,
sehingga dengan sengaja tidak memperkenalkan kawan-kawan
seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia menjawab untuk
memperkenalkan mereka. “Saudara-saudaraku dari Banyubiru…
Baiklah aku memperkenalkan kawan seperjalananku satu
persatu.” Kemudian sambil menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan,
“Ini, yang duduk di sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis
yang lebih senang menamakan dirinya Pudak Wangi, cucu seorang
11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 95
sakti bernama Pandan Alas. Di sampingnya adalah Endang Widuri,
putri Kakang Kebo Kanigara yang duduk di sebelahnya. Dan yang
seorang lagi adalah Bagus Handaka.”
Semua mata mengikuti jari Mahesa Jenar. Namun ketika
sampai orang yang terakhir, ia tidak menyebut nama Arya Salaka,
anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam hati. Bahkan
kemudian terdengar suara Penjawi, “Lalu bagaimanakah dengan
Arya Salaka…?” Tetapi seperti juga Jaladri, Penjawi memandang
Arya Salaka yang disebut bernama Bagus Handaka itu tanpa
berkedip. Sebab pada masa kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah
Arya Salaka paling banyak bergaul. Karena itu sedikit banyak ia
masih dapat mengenal wajah itu, meskipun sudah jauh berbeda.
Mahesa Jenar tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil. Dan
karena itulah maka Penjawi tidak menunggu lebih lama lagi.
Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya Salaka dan
dengan suara parau ia berkata hampir berteriak sambil memukul-
mukul lengan Arya yang sudah menjadi sekeras baja itu. “Arya,
alangkah mengagumkan kau. Benar-benar kau telah menjadi
seekor banteng muda yang luar biasa kuatnya. Ah, alangkah
malunya aku, yang semakin lama menjadi semakin kering.”
Bersamaan dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah suara
membahana, “Arya Salaka telah datang, Arya Salaka telah
datang.”
Kemudian tampaklah laskar Banyubiru itu berdesak-desakan
di pintu pondok sehingga pintu itu seolah-olah akan mereka
tumbangkan karena menghalang-halangi mereka yang ingin
melihat kehadiran Arya Salaka di antara mereka.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu menjadi sangat
terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya karena tiba-
tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Sedang Endang
Widuri tiba-tiba menjadi sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa
perasaan itu begitu saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah
12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 95
dirinyalah yang mendapat sambutan sedemikian hangatnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun tidak kalah terharu,
namun mereka berdua telah dapat mengendalikan perasaan
mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan tenang. Yang paling
tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah Wanamerta.
Dalam kesempatan itu, ia merasa bahwa seolah-olah ia telah
sampai pada puncak kebahagiaan. Bahkan dengan serta merta
terlontar kata-kata dari mulutnya, “Aku tidak keberatan
seandainya sekarang juga aku mati, sebab aku telah menyaksikan
angger Arya Salaka kembali kepada anak-anak Banyubiru yang
setia kepada kebenaran atas hak pada tanah mereka.”
Sedang Arya Salaka sendiri malah menjadi bingung. Ia biasa
hidup seperti seekor burung yang bebas lepas di udara, yang
seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan apapun. Ia tidak biasa
menerima pujian dan sanjungan. Apalagi sikap memanjakan diri.
Dan sekarang tiba-tiba terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di
dalam maupun di luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-
mujinya dan bahkan ada di antaranya yang mengaguminya,
seolah-olah dirinya menjadi seorang pahlawan yang baru
memenangkan perang. Karena itulah maka tubuhnya menjadi
gemetar. Wajahnya bertambah lama bertambah pucat, dan
keringat dingin telah memenuhi seluruh tubuhnya. Mahesa Jenar
yang bijaksana dapat merasakan keadaan itu. Karena itu segera ia
berkata keras-keras, untuk mengatasi segenap keriuhan itu.
“Saudara-saudara rakyat Banyubiru yang setia…. Atas nama Arya
Salaka, aku ucapkan terima kasih atas sambutan kalian. Tetapi aku
minta janganlah kalian menyambut kedatangannya dengan
berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan besar
pengaruhnya, meskipun aku yakin akan keteguhan hati Arya
Salaka, namun bersikaplah sewajarnya. Dengan demikian, segala
sesuatu akan berlangsung dengan wajar pula. Tanpa berlebih-
lebihan, tanpa pengaburan atas nilai yang sebenarnya. Dengan
demikian saudara-saudara tidak akan mudah menjadi kecewa
apabila ada hal-hal yang tidak seperti saudara harapkan.”
13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 95
Suara Mahesa Jenar itu ternyata dapat menenangkan suasana
di dalam ruangan itu, namun di luar ruangan masih saja terjadi
keributan dan teriakan-teriakan. Mereka agaknya tidak puas
sebelum dapat memandang wajah anak kepala daerah mereka
yang telah mereka anggap hilang itu. Karena itu mereka masih
saja berusaha untuk dapat berdiri di pintu. Dengan demikian
akhirnya Mahesa Jenar merasa perlu untuk menenangkan mereka
dengan membawa Arya Salaka keluar. Maka berkatalah ia kepada
Bantaran dan Penjawi, “Biarlah Arya Salaka berdiri di depan pintu
sebentar, agar mereka menjadi puas.”
Bantaran dan Penjawi menyetujui, serta mempersilakan Arya
Salaka untuk berdiri sebentar, menerima sambutan dari rakyat.
Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka, “Marilah
kita berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka, dan berkatalah
sepatah dua patah kata kepada rakyatmu.”
Arya Salaka menjadi semakin gelisah. Ia lebih tenang pada
saat ia berhadapan dengan Uling Kuning dan Uling Putih daripada
waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab, “Paman sajalah yang
berbicara kepada mereka atau Kakang Penjawi.”
Mahesa Jenar tersenyum, katanya, “Mereka tidak akan mau
mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain kau.”
Keringat Arya Salaka semakin banyak mengalir. Tetapi ia tidak
dapat membantah lagi ketika Mahesa Jenar kemudian berdiri dan
menarik tangannya. Dengan jantung yang berdegupan Arya Salaka
digandeng oleh Mahesa Jenar berjalan ke arah pintu diikuti oleh
Penjawi, Bantaran, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Widuri.
Ketika Arya muncul di muka pintu, meledaklah tepuk tangan
riuh, dibarengi dengan teriakan-teriakan yang menyebut-nyebut
nama anak kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Sedang Arya
Salaka sendiri berdiri terpaku tanpa bergerak. Terdengarlah
kemudian Mahesa Jenar berbisik di telinganya, “Berbicaralah,
Arya….”
14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 95
Arya menjadi semakin bingung. Maka bisiknya pula, “Apakah
yang harus aku bicarakan?”
“Ucapkanlah pernyataan terima kasih kepada mereka dan
katakan bahwa kau masih lelah sehingga kau perlu segera
beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang kau
tunda sampai besok,” jawab Mahesa Jenar berbisik-bisik.
Mula-mula Arya Salaka
masih tetap gelisah mengha-
dapi keadaan yang tidak
disangka-sangkanya itu. Teta-
pi tiba-tiba dari jantungnya
meledaklah perasaan tang-
gungjawabnya, didorong pula
oleh darah kepemimpinan
yang mengalir dalam tubuh-
nya. Arya Salaka kemudian
berhasil menguasai dirinya dan
memperoleh keseimbangan.
Sehingga dengan demikian ia
menjadi agak tenang. Maka
dicobanya untuk menyam-
paikan pernyataan terima
kasih kepada rakyat yang
menyambutnya itu. Namun
bagaimanapun juga, suaranya masih terdengar gemetar.
“Saudara-saudaraku dari Banyubiru. Yang pertama-tama akan aku
sampaikan kepada kalian, adalah pernyataan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas sambutan kalian yang samasekali tidak aku
duga. Seterusnya, karena aku masih sangat lelah perkenankanlah
aku beristirahat dahulu. Besok pembicaraanku akan aku
perpanjang lagi.”
Mahesa jenar tersenyum mendengar uraian Arya Salaka yang
masih terasa bongkah-bongkah itu. Meskipun demikian kata-kata
itu cukup untuk dapat menenangkan rakyatnya. Namun masih
15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 95
juga terdengar teriakan-teriakan yang meminta Arya untuk
berbicara lebih banyak lagi. Kemudian tampillah Bantaran, yang
meminta kepada rakyat Banyubiru yang tetap teguh pada
pendiriannya itu, untuk memberi kesempatan kepada Arya Salaka
beristirahat.
“Nah saudara-saudaraku….” katanya, “Sekarang berilah
kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian dapat
beristirahat sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab di
hadapan kalian terbentanglah lautan yang penuh dengan badai dan
taufan yang harus kalian renangi. Siapa tahu, besok atau bahkan
nanti, kalian harus sudah menerjuninya.”
Dengan demikian maka anak-anak Banyubiru itu kemudian
perlahan-lahan meninggalkan pintu barak dimana Arya Salaka
masih berdiri bersama dengan kawan-kawan seperjalanannya.
Namun kemudian Bantaran tidak mempersilakannya masuk
kembali, tetapi mereka dipersilakan untuk pergi ke pondok yang
lebih kecil, yang telah dipersiapkan untuk mereka. Meskipun
demikian, karena mereka samasekali tidak menduga bahwa di
dalam rombongan itu akan terdapat dua orang gadis, maka dengan
tergesa-gesa mereka terpaksa menyiapkan tempat lain untuk
keperluan itu.
Demikianlah mereka kemudian dipersilakan beristirahat di
tempat masing-masing. Mantingan dan Wirasaba memerlukan
mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya sebentar, untuk
berkenalan lebih dekat lagi dengan Arya Salaka dan Kebo
Kanigara. Setelah itu maka ditinggalkannya mereka bertiga,
setelah dipersilakan mereka makan sekadarnya.
Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam lingkungan anak-
anak Banyubiru yang sudah lama terpisah dengannya, dan
kemudian tidur bersama mereka.
Malam itu rasanya berjalan demikian cepat. Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Arya Salaka segera tenggelam ke dalam mimpi.
16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 95
Demikian juga di dalam pondok yang lain. Rara Wilis dan Endang
Widuri yang dikawani oleh Nyi Penjawi, segera tertidur pula. Di luar
pondok itu, tampaklah beberapa orang berjaga-jaga dengan
cermatnya. Sebab dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-
gadis itu sangat tergantung kepada penjagaan yang mereka
lakukan.
Ketika mereka terbangun pada pagi harinya, dan kemudian
keluar dari pondok masing-masing, tampaklah betapa cerahnya
matahari pagi. Sinar-sinarnya yang menembus daun-daun
pepohonan terpercik di atas tanah lembab, membuat gambaran-
gambaran yang menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak
yang dengan lincahnya berloncat-loncatan dengan penuh
kegembiraan menyambut hari yang bakal datang. Sedang angin
pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar.
Pada hari itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
diantar oleh Bantaran, Penjawi, Mantingan, Wirasaba dan
Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-barak itu.
Melihat persiapan-persiapan yang mereka lakukan. Dari mereka
itulah Mahesa Jenar mengetahui bahwa sebagian besar rakyat
Banyubiru tetap menanti kedatangan kepala daerah perdikan
mereka. ternyata dengan bantuan yang mengalir tak henti-
hentinya. Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka dapat
mengirimkan makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-anak
Banyubiru telah mendapat perkakas yang cukup untuk membuka
hutan. Karena itulah rombongan itu bukan saja rombongan orang-
orang yang menyingkirkan diri, namun mereka termasuk perintis-
perintis pula dalam perluasan daerah pertanian Banyubiru. Sebab
disamping mempersiapkan diri mereka untuk datang kembali ke
Banyubiru, mereka ternyata telah membuka hutan dan membuat
tanah pertanian.
Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Jenar, Arya Salaka dan
kawan-kawannya sempat melihat kesiapsiagaan anak-anak
Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat anak-
anak Banyubiru itu berlatih. Mula-mula Mahesa Jenar menjadi
17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 95
heran melihat kemajuan yang pesat dibandingkan masa-masa
Banyubiru beberapa tahun yang lalu. Justru setelah mereka
didorong ke tengah-tengah hutan. Tetapi keheranan itu kemudian
lenyap ketika ia melihat Mantingan dan Wirasaba berada di antara
mereka. Agaknya kedua orang itu, disamping Penjawi dan
Bantaran, yang telah bekerja mati-matian untuk melatih anak-
anak Banyubiru itu.
Melihat tingkat pengetahuan laskar Banyubiru itu, Arya Salaka
pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka lebih maju daripada
laskar Gedangan. Sebaliknya, apa yang diduga Bantaran
sebelumnya ternyata benar-benar terjadi. Dengan kehadiran Arya
Salaka, laskar Banyubiru merasa mendapat suatu karunia yang
tiada taranya. Mereka menjadi semakin teguh pada tekadnya.
Kembali ke Banyubiru.
Tetapi meskipun demikian Bantaran, Penjawi dan beberapa
orang pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap bimbang. Bukan
karena meragukan kesetiaan laskarnya, yang menurut
penilaiannya telah menyerahkan diri mereka bulat-bulat sampai
tetes darah terakhir. Tetapi sebagai seorang pemimpin, mereka
berkewajiban menilai kekuatan mereka sendiri untuk
diperbandingkan dengan kekuatan lawan mereka. Mereka harus
tidak menutup mata terhadap kenyataan yang ada. Mereka harus
memperhitungkan bahwa laskar Pamingit yang bergabung dengan
sebagian orang-orang Banyubiru yang tidak setia terdapatlah
nama-nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti.
Disamping itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu meragukan
apakah kira-kira yang akan dilakukan Ki Ageng Sora Dipayana
apabila benar-benar terjadi bentrokan antara dua kekuatan itu. Di
pihaknya, ia yakin bahwa Kebo Kanigara dapat diketengahkan.
Bantaran pernah melihat sendiri, paman guru Mahesa Jenar itu
berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur melawan sepuluh
orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora Dipayana
melibatkan diri dalam perselisihan itu, apakah Kebo Kanigara
dapat mengimbanginya? Kemudian Bantaran harus menilai
18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 95
Mahesa Jenar pula. Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa Jenar
memiliki ilmu setingkat dengan Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora
sendiri pernah mengatakan. Tetapi sekarang Ki Ageng lembu Sora
pesat sekali maju. Ia mendapat tuntunan yang tiada henti-
hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga Lembu Sora
sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora. Sedang Mahesa
Jenar, apakah yang diperolehnya selama ini, meskipun berada di
lingkungan paman gurunya? Apalagi kemudian pimpinan laskar
Banyubiru harus memperhitungkan pula Arya Salaka, yang mau
tidak mau akan berhadapan kepentingan dengan Sawung Sariti.
Apa yang mereka lihat sekarang, Sawung Sariti benar-benar telah
menjadi seorang pemuda yang luar biasa. Ia dengan beraninya
menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor ayam jantan di arena
pertarungan. Selain itu ia dapat bergerak dengan sangat lincahnya
seperti seekor burung sariti di udara. Apalagi ia pun telah
mendapat tempaan dari kakeknya. sehingga anak muda itu benar-
benar memiliki ilmu yang menakutkan. Meskipun dari Wanamerta,
Bantaran telah mendengar apa yang pernah terjadi antara Arya
Salaka dan Sawung Sariti, namun ia menganggap bahwa Sawung
Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan pesatnya, disamping
dugaan-dugaan bahwa Wanamerta agak terlalu bangga terhadap
Arya Salaka. Dalam pada itu pimpinan laskar Banyubiru itu tidak
mengada-ada. Namun sebagai pemimpin ia harus bertindak hati-
hati. Meskipun demikian ia tidak sampai hati untuk
mengatakannya kepada Mahesa Jenar yang kemudian diharap
akan dapat memimpin laskar Banyubiru itu.
Yang dapat mereka lakukan kemudian hanyalah sebuah
pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar memimpin laskar
Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa
Mahesa Jenar kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada
setiap orang yang ada, mereka juga mengetahui bahwa Mahesa
Jenar adalah bekas seorang perwira prajurit Demak.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak. Bahkan ia merasa
mendapat jalan untuk menentukan cara laskar Banyubiru berbuat.
19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 95
Ia ingin membuat laskar Banyubiru laskar yang kecuali baik dalam
tata cara bertempur, juga harus merupakan laskar yang baik
dalam bertindak. Di dalam atau di luar lingkaran pertempuran.
Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar mengambil pimpinan dari
tangan Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu pula Mahesa Jenar
menyelenggarakan latihan yang lebih teratur untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
II
Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar sampai pada suatu saat
dimana ia menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk berbuat
sesuatu ke arah penyelesaian masalah Banyubiru. Karena itulah
maka segera mengadakan persiapan-persiapan terakhir.
Dalam pada itu adalah diluar dugaan samasekali, ketika tiba-
tiba datanglah seorang yang ditugaskan untuk tinggal di
Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah desas-
desus yang tersebar luas mengatakan bahwa keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten kini berada di Banyubiru.
Mahesa Jenar terkejut mendengar khabar itu. Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten jelas berada di tangan Panembahan Ismaya.
Tetapi kenapa tiba-tiba orang mendesas-desuskan bahwa keris itu
berada di Banyubiru…? Mula-mula kepada orang yang membawa
khabar itu Mahesa Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah
sumber berita itu. Tetapi orang itu pun samasekali tidak
mengetahui. Namun ia dapat mengatakan bahwa karena itulah
maka di Banyubiru timbul kegelisahan. Sebab adanya desas-desus
itu akan banyak akibat yang dapat terjadi.
Karena itulah Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah didesak
oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat. Ia masih teringat jelas
bahwa golongan hitam pun sangat memerlukan keris-keris itu.
Sebenarnya ia samasekali tidak percaya, bahwa kedua keris itu
dengan tiba-tiba saja berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa
20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 95
tak seorang pun yang dikenalnya, dapat melampaui segala macam
ilmu yang dimiliki Panembahan Ismaya. Seandainya dua-tiga
orang sakti sekalipun yang datang ke Bukit Karang Tumaritis, pasti
orang-orang itu tidak akan berhasil mendapatkan Kyai Nagasasra
dan Kyai sabuk Inten, apalagi orang-orang Banyubiru. Biarpun
mereka datang bersama-sama. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng
lembu Sora dan Sawung Sariti beserta seluruh laskarnya. Karena
itu ia akhirnya sampai suatu kesimpulan bahwa di belakang desas-
desus itu pasti tersembunyi suatu maksud.
Maka, setelah Mahesa Jenar berunding dengan Kebo Kanigara,
ia memutuskan untuk segera membawa Arya Salaka ke Banyubiru.
Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya,
yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera
membawa pasukannya ke Banyubiru sekaligus dalam persiapan
tempur dengan mempergunakan gelar perang, tetapi ia
mengharap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara
yang baik. Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta
heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka
menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan
laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan
lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan
kekuatan untuk mengusir Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab
mereka tidak melihat cara lain yang dapat dipergunakan selain
cara itu.
Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang bergolak
di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang
terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri.
Mereka telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang
selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan mereka
menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah
melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah
mereka. Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala
macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka
melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi
21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 95
ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan
kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian
mereka. Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah
pusaka mereka, terhadap tanah tercinta.
Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati terhadap
mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk
melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha
menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian
tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada
Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru,
“Saudara-saudaraku… kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki
kalian beserta Arya Salaka kembali ke Banyubiru, akulah orang
yang pertama-tama akan menyatakan penyesalan yang sedalam-
dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan menerjunkan diri,
mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan kalian.
Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang Gajah Sora
atas putranya, Arya Salaka, beserta segala kelengkapan atas
dirinya. Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan
Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa aku akan bekerja keras
untuk melaksanakan pekerjaan itu. Tetapi berilah aku kesempatan
menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh. Pertama-
tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-
baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin
melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua.
Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber
yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan
mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat,
bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam.
Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian kembali.
Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena
itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan
itu. Jangan ada di antara kalian yang mempergunakan kesempatan
ini untuk kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi
22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 95
kepada orang-orang yang samasekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan perjuangan kalian mengambil kembali kampung halaman
kalian. Kesetiaan kalian.
Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran
jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan pula
perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil,
yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan
bersama.”
Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak
atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu
berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan menyuramkan
nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali kalian
dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang
termasuk di dalam barisan golongan hitam.
Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap
kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian terlibat
dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya
mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas
bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”
Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar
Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti
sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati
mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu. Tiba-
tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-
lebih orang Banyubiru itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka.
Ada di antara mereka yang berkakak, beradik, berkemenakan dan
bersepupu dengan orang-orang Pamingit.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Saudara-
saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam
tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil
hak kita, milik kita sendiri. Selebihnya tidak. Apalagi apa yang
dinamakan pembalasan dendam.”
23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 95
Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam diri,
namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-
anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas
segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar
megakhiri pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap
laskar Banyubiru, ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa
orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan
mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran,
Penjawi, dan Kebo Kanigara. Kali ini Mahesa Jenar menganggap
belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini
tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka
selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru,
mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian
Banyubiru. Mahesa Jenar masih menyangsikan apakah
keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya serta
bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum
dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora,
terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka.
Demikianlah rombongan utusan itu dilepas dengan debaran
hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah
Candi Gedong Sanga. Meskipun ada di antara mereka yang
meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu
merupakan cara yang terhormat sebelum cara-cara yang lain
harus ditempuh. Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa
Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga.
Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru.
Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih sayang ayah
bunda. Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik batang-
batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya seperti
tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan
bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena
pokal pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam
otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini.
Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada masa kanak-
24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 95
kanaknya. Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak
berlari menyusul rombongan itu.
Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh
pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri di
belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang
terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia
menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya.
Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis
mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam
pondoknya.
Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh.
Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka,
karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya.
Hatinya menjadi iba.
“Jangan berduka, Arya….” nasihat Rara Wilis, “Besok atau lusa
kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak
membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan
keselamatanmu.”
Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi
perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi
Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri.
Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang, “Bibi, aku
dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku
serta. Tetapi tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah
kelahiran itu tak dapat aku kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa
rinduku kepada Bunda, yang sejak lima tahun lalu tak pernah aku
dengar khabar beritanya.” Dalam pada itu, betapa Arya Salaka
berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya
mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.
Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam.
Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang sudah
tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka
25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 95
pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati
Arya, katanya, “Arya… meskipun tertunda beberapa waktu namun
kau akhirnya akan dapat bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi
tidaklah demikian dengan aku, Arya. Kau masih harus
mengucapkan terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan
di dalam dadamu. Sedang aku, samasekali harapan itu telah
padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang, besok,
lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”
Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam
dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang menyentuh-nyentuh
perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian menjadi
hening sepi.
Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara Endang
Widuri yang berlari-lari masuk. Katanya berderai dengan penuh
kegembiraan. “Bibi… alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan
ini.”
Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil
yang dipaksakan ia menjawab, “Adakah kau mendapatkannya,
Widuri…?”
“Inilah, Bibi….” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai
bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.
“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.
“Di lembah sebelah itu, Bibi….” jawab Widuri.
Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah
yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang anak yang
benar-benar nakal. Katanya kemudian, “Jangan bermain-main di
tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa.
Mungkin juga ada harimau yang buas.”
“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya. “Tidak ada ular
dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada
orang yang mencoba menangkap aku.”
26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 95
Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya, “Ada orang yang
akan menangkap kau…?”
Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu
samasekali tidak penting baginya.
“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.
“Entah,” jawab Widuri. “Mungkin orang itulah yang menanam
anggrek ini.”
“Mustahil,” sahut Arya Salaka. “Anggrek yang tumbuh di
lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”
Widuri kemudian menjadi heran. Katanya, “Lalu kenapa ia
akan menangkap aku?”
“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis. “Apakah
katanya padamu mula-mula…?”
Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya, “Ia bertanya,
kenapa aku berada di lembah itu.”
“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.
Endang Widuri menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan
itu. Tetapi ia menjawab pula, “Aku katakan kepadanya, bahwa aku
ingin bunga anggrek ini.”
“Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula.
Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih panjang,
Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara Wilis. Dan
dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa
kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti
banjir. Katanya, “Ya, ia bertanya tentang aku. Ia bertanya
siapakah namaku dan dari manakah aku datang. Aku datang
bersama siapa dan untuk apa.”
27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 95
Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah
mendahului, “Aku jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri.
Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku
yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan
Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari
tangan pamannya yang jahat.”
“Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
“Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-
sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara, Mahesa
Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
“Ssst….” potong Rara Wilis. “Jangan nakal,” bisiknya. Mau tidak
mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan
Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia
ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar
cara Widuri berkisah. “Lalu, apakah yang dilakukannya?” tanya
Arya Salaka.
“Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya
terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta
bersamanya,” jawab Widuri.
Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang
samasekali tidak pada tempatnya.
“Apakah orang itu bukan orang di antara kita di sini?” tanya
Wilis.
Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu
jawabnya, “Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang di
antara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”
Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya, “Maksudku
adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti
mempunyai kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini.
Terhadap seluruh kekuatan anak-anak Banyubiru.”
28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 95
Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru
sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu adalah
jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang
kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan
penuh minat. “Bibi, memang agaknya orang itu sangat aneh.
Ketika ia marah kepadaku, aku minta maaf bahwa aku memetik
bunganya sebelum aku minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia
samasekali tidak memperhatikan.” Endang Widuri berhenti sejenak
untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia
meneruskan, “Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap
aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku
terpaksa melawannya.” Kemudian tiba-tiba Endang Widuri tegak
berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang lincah, ia bercerita
tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis yang
memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya
yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri
telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup
mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah
meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang
mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis
tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan demikian
perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah
hanya permainan yang tidak menyenangkan. Maka, katanya
mengakhiri ceritanya, “Tetapi ternyata orang itu hanya besar
kepala saja. Tenaganya tidak lebih dari seekor kelinci. Meskipun
demikian, karena aku tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku
mengenakan kain panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan
menyerangnya dengan kaki, kainku jadi sobek karenanya,” kata
Endang Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu dengan bersungut-
sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua
cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis.
sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa menggelengkan
kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka, “Kau apakan
kemudian orang itu…?”
29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 95
“Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-
gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.
Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting
artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk menemui
Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar
bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah
yang diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.
“Berita itu sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah
dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka tentang
Endang Widuri. “Bagaimana mungkin penjagaan kita yang kuat
dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang cukup tangguh.
Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat
mengalahkannya.”
Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian
untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia
telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.
Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantaslah
kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang
Widuri berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-
sama dengan Angger, gadis itu merupakan pasangan berlatih yang
mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.
Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia
menjawab, “Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri
berlatih?”
Mantingan tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih
dari setengah abad itu telah menjadikannya orang yang cukup
mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan
pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak
melanjutkan gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya
cukup penting. Sehingga segera ia kembali pada persoalan berita
yang dibawa oleh Endang Widuri.
30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 95
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan?” Mantingan mencoba
untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba, Arya Salaka dan
Jaladri. Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba, “Satu hal
yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah
mengetahui bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo
Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung
adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan
bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya.
Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang
yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”
Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di
perjalanan ke Banyubiru.
“Kalau demikian….” sambung Jaladri, “Tempat kita ini berada
dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang
yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di
perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan
kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”
“Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan. “Apakah jeleknya kalau
kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah
penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak
kita harapkan bisa terjadi.”
Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa
orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya mereka petunjuk-
petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga tempur. Setiap
saat bahaya dapat datang.
Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai
persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-
perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata
mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh
suasana yang tegang.
31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 95
Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-olah
tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak
Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi
semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan
Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat
memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri,
yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri
dan orang yang mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-
gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa mereka
bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.
Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh
kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda. Dua
orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap
dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau
gadung pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga
melati hutan. Sedang di sebelahnya, yang seorang lagi berbaju
lurik bergaris-garis tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah
soga berikat kepala biru gelap.
Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali kuda-
kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota.
Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah
mengenalnya, namun mereka seolah-olah melihat dua ekor burung
rajawali yang dengan megahnya terbang di udara. Sedang bagi
mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera
bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh
keheranan. “Bukankah yang menyelipkan bunga di telinga
kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa tahun yang
lalu, dan bernama Mahesa Jenar…?” Tetapi segera mereka
menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga
orang berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka
segera meneruskan gumam mereka, “Dan bukankah mereka itu Ki
Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”
32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 95
Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling
memandang di antara mereka. Tetapi ketika seorang di antara
mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak
keras, terdengarlah mereka menjawab bersahutan, “Ya, orang
itulah Mahesa Jenar.”
“Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan
Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang
lain.
Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba
menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi penduduk
Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta
tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka
sendiri, merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-
kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan
mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya
sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana. Daerah-
daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi
oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini,
merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat
kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan
Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa
orang untuk diperiksa.
Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan
Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang
yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng
Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah
Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang
kembali ke kampung halamannya.
Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling berbisik di
antara mereka sendiri. Tak seorangpun di antara mereka yang
berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang
berputar-putar didalam benaknya.
33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 95
Rombongan Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa setiap
orang yang melihat kedatangan mereka menjadi heran dan
bertanya-tanya di antara mereka. Tetapi rombongan itu pun tetap
berdiam diri seperti samasekali tak ada orang yang melihat
mereka.
Demikianlah rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan,
lewat jalan-jalan sempit di antara daerah-daerah persawahan,
menembus jalan-jalan desa dan melintasi jembatan-jembatan
bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang jernih.
“Kakang Kanigara….” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar
berbisik. “Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
“Ya” jawab Kanigara. “Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”
Mahesa Jenar mengangguk. Katanya, “Kalau demikian apa
yang Kakang lihat, aku lihat pula.”
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang
dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru.
Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan
mereka dari punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika
rombongan itu memasuki daerah Banyubiru, segera orang itu
lenyap di seberang bukit.
Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap orang
dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka mendengar derap
beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan
belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di
depan mereka muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula.
Lebih dari limabelas orang.
Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-
kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah tujuan
orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi
semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa
34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 95
Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-
orang berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu
dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh
kepada Mahesa Jenar, tetapi beberapa orang yang lain agaknya
tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung
mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan
di belakang rombongan itu.
Tetapi ketika rombongan
itu telah melampauinya, tiba-
tiba terdengarlah sebuah aba-
aba dari antara mereka. Dan
dengan tiba-tiba pula rom-
bongan itu berhenti bersama-
sama, sehingga kuda-kuda
mereka meringkik dan berpu-
tar-putar. Kemudian beberapa
orang di antara mereka tiba-
tiba memutar kuda mereka,
dan berlari ke arah rombongan
Mahesa Jenar.
Ketika Mahesa Jenar me-
mandang Kanigara, Kanigara
pun sedang memandangnya.
Dengan kedipan mata, Kani-
gara memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya
yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan
dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka kenal
samasekali.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri.
Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang
baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip
sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu,
ketika mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera
mereka memutar keris mereka di lambung kiri.
35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 95
Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata yang
lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat mereka itu,
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula
untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan
bermata tajam seperti mata serigala mengendarai kudanya paling
depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara. Melihat
orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya.
Mula-mula orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari
Kebo Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru
beberapa saat kemudian ia bertanya, “Ki Sanak, siapakah kalian
ini, dan apakah keperluan kalian?”
Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia
minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit banyak
sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar
menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu
bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab,
“Apakah Ki Sanak bukan orang Banyubiru?”
Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang
pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu
dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya, “Aku bertanya
kepadamu, siapakah kalian ini?”
Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab,
“Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang
Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”
Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh
kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi berganti-ganti. “Benarkah kalian penduduk
Banyubiru…?” desaknya.
Wanamerta mendesak maju. Kemudian ia menyahut, “Sejak
lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 95
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya, “Tidak kakek tua. Aku
percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian
mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang
berbongkah-bongkah keras dan kasar.”
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului
oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya, “Sesudah
kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kami
pun ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya, “Aku baru saja
menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata
keras kepala.”
“Kau benar,” sahut Mahesa Jenar. “Orang itu memang keras
kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”
Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya
beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan perlahan-
lahan hampir berbisik ia bertanya, “Ki Sanak, aku lihat kalian
bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu
bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru.
Nah katakan kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris
itu.”
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya
terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa mereka
segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu
membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan itu merupakan
penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di
Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu.
Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti,
siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar
dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian
Kebo Kanigara, “Dari manakah kalian mendengar berita tentang
kedua keris itu?”
37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 95
Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa.
“Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara menyahut, “Sayang, kau mimpi di siang hari. Tak ada
keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku sendiri serta
keris kawan-kawanku ini.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu. “Kalau kau mau
menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
“Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.
“Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?”
jawab orang itu.
“Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar.
Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin tajam.
Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang berada
di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan
mereka.
“Memang orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang
itu. “Seperti kepala daerah perdikannya.”
“Ki Sanak….” kata Kebo Kanigara kemudian, “Yang paling
mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng
Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak
kau tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah
menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak berada di
Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin
menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih
mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan.
“Kalian tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan
menerima hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.
38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 95
Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya, “Ki Sanak.
Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau
kami benar-benar tidak mengetahuinya?”
Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-
kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata,
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”
“Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang di antara mereka.
“Hem….” ia menarik nafas. “Ki sanak, kami merasa perlu untuk
memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi peringatan
kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala,
nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku
memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada
kami di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan
keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru
ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan
menjadi orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian
akan kami bunuh dengan cara yang mengerikan. Mata kalian akan
kami copot dari batok kepala kalian. Dada kalian akan kami silang
dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan keluar.
Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal
yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau
mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena
ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada.”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang Banyubiru
yang sebenarnya.
Penjawi, yang paling muda di antara mereka, adalah orang
yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak maju.
Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru.
Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini.
Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali
untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai seorang yang berangan-
39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 95
angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia tidak
dapat berpangku tangan. Terbayanglah di dalam otak Penjawi,
masa yang mengerikan akan berlangsung di Banyubiru. Masa duka
yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha
penyingkiran yang dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-orang
yang setia kepada tanah tercinta, dengan berbagai macam cara.
Bahkan kalau perlu dengan mengadakan pembunuhan. Akan
ditambah lagi dengan pameran pembunuhan oleh pihak lain. Yang
dapat dipastikan, orang-orang itu datang dari golongan hitam.
Maka berkatalah Penjawi dengan lantangnya, “Ki Sanak.
Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti kami,
kami dapat memastikan bahwa kalian datang dari daerah yang
kelam. Dari dunia yang penuh dengan noda-noda dan dosa-dosa.
Kalian adalah orang-orang yang kami namakan golongan hitam.
Sebab hati kalian adalah hati yang berwarna hitam. Sekarang
kalian mencoba menakut-nakuti kami, dan rakyat kami. Tetapi
kami samasekali tidak takut. Sebab kami berdiri diatas kebenaran.
Meskipun demikian kami ingin menjelaskan kepadamu sekali lagi,
bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada pada kami. Tidak
ada di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun Lembu Sora
tak akan dapat mengatakan di mana keris itu disimpan.”
Kata-kata Penjawi terpotong oleh suara tertawa yang
mengerikan. Orang yang bermata serigala itu tiba-tiba menjadi
buas. Matanya semakin lama semakin liar dan berwarna merah.
Dengan marahnya ia berteriak, “Jangan mengigau. Aku tidak
peduli apakah kau menganggap aku orang-orang hitam, merah,
hijau atau apa saja. Tetapi kalau kau tetap berkeras kepala, kami
akan melakukan rencana kami, dan mayat kalian akan kami
sebarkan ke segenap sudut Banyubiru.”
Juga Penjawi menjadi marah. Wajahnya menjadi tegang dan
berwarna darah. Bantaran dan Wanamerta kemudian segera
mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu masih
terdengar suara Kanigara tenang, “Ki Sanak. Apa yang akan kalian
lakukan kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban
40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 95
kami untuk melindungi diri. Tetapi agaknya kalian samasekali
belum mengenal kami. Orang-orang Banyubiru yang berjiwa
jantan. Nyawa kami telah lama kami letakkan di ujung pengabdian
kami. Karena itu sebaiknya kalian mempertimbangkannya sekali
lagi.”
Kembali terdengar orang yang berkulit hitam dan bermata
serigala itu tertawa keras-keras seperti hampir gila. Dengan
buasnya ia menjawab, “Apakah arti kejantanan orang Banyubiru
bagi kami. Selama darah kalian masih merah, serta kalian masih
belum dapat melenyapkan diri dalam satu kerdipan mata, maka
kalian adalah korban-korban kami yang menyenangkan.
Ketahuilah, bahwa kami datang dari Nusa Kambangan mengemban
tugas dengan kekuasaan penuh.”
Meskipun orang-orang Banyubiru itu sudah menduga
sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah gerombolan hitam,
namun hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian terdengar
Mahesa Jenar menyahut, “Apakah kalian anak buah Ular Laut?”
“Nah….” sahut orang itu. “Kau pasti pernah mendengar
kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat menyapu
bersih segenap isi Banyubiru.
“Hem,” gumam Mahesa Jenar. “Agaknya pengetahuanmu
terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan Ki
Ageng Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya. Barangkali
kau juga belum mendengar tentang putranya yang bernama
Sawung Sariti.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
menjawab dengan kasarnya, “Omong kosong semuanya.
Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan dapat
menyelesaikan dengan sangat mudahnya.”
“Kyai Nagapasa…?” ulang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
hampir bersamaan.
41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 95
Orang itu tertawa kembali. Katanya, “Kau menjadi pucat
seperti mayat mendengar nama itu.”
“Bagaimana aku menjadi pucat mendengar nama yang tidak
berarti itu. Bahkan mendengar pun aku belum pernah,” jawab
Mahesa Jenar.
“Itu pertanda kepicikan pendengaranmu.” Orang itu
menjelaskan dengan bangga. “Kyai Nagapasa adalah nama ilmu
pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan nama itu pula
kami sebut orang yang memiliki dan mengembangkan. Ia adalah
guru Jaka Soka.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya benar-
benar akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan. Kini
yang berhadapan bukan saja tokoh-tokoh muda dari kalangan
hitam, namun agaknya tokoh-tokoh tua, guru-guru merekalah
yang mengambil alih persoalan. Dalam sepintas, membayanglah di
dalam angan-angan Mahesa Jenar akan nama-nama Pasingsingan,
Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya, Bugel Kaliki dari Lembah
Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah kehilangan kedua
muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi sebuah
nama Kyai Nagapasa. Namun disamping itu ia menjadi puas karena
pancingannya berhasil untuk mengetahui asal orang-orang itu.
Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu mengangkat dadanya.
Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu menjadi ketakutan.
Karena itu sekali lagi ia menggertak, “Nah, adakah kalian mau
berkata tentang kedua keris itu, setelah kalian mendengar nama-
nama yang berdiri di belakang kami?”
Orang yang berwajah buas, bermata serigala itu menjadi
terkejut sekali ketika ia mendengar Mahesa Jenar menjawab,
“Sampaikan salamku kepada Jaka Soka, apabila kau sempat
pulang kembali.”
Dengan mata terbelalak orang itu memandang Mahesa Jenar
seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sikapnya yang seolah-olah
42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 95
menganggap Jaka Soka tidak lebih dari dirinya, menyebabkan
orang bermata serigala itu marah bukan kepalang. Ia menganggap
Mahesa Jenar orang yang tak tahu diri. Dengan membentak-
bentak ia berkata, “Ayo, mintalah maaf atas kelancangan mulutmu
itu. Kalau tidak, kau akan mati dengan menderita.”
“Penderitaan bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat
menakutkan,” jawab Mahesa Jenar. Jawaban itu kembali sangat
mengagetkan anak buah Jaka Soka, sehingga dengan demikian ia
sudah tidak merasa perlu untuk berbicara lebih banyak. Dengan
lantangnya ia berkata kepada anak buahnya, “Kepung kelinci-
kelinci yang tak tahu diri ini.”
Agaknya orang-orang Nusa Kambangan itu telah benar-benar
terlatih dan berpengalaman. Sebab demikian mereka mendengar
aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah bergerak dengan
cepatnya membentuk sebuah gelang yang melingkari Mahesa
Jenar beserta ke tempat kawan-kawannya.
Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta, Bantaran dan
Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan kanan dan
kendali kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tampak masih tenang-tenang saja. Untuk beberapa saat mereka
saling berpandangan seolah-olah mereka sedang
mempertimbangan bersama apakah yang akan mereka lakukan.
Tiba-tiba tampaklah Mahesa Jenar tersenyum. Dengan sangat
tenangnya, seolah-olah tidak terjadi apapun pada saat itu ia
berkata kepada orang yang berkulit hitam dan bermata serigala
itu. “Ki Sanak, apakah yang akan kalian lakukan?”
Melihat ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang
itu menjadi heran. Malahan kemudian ia merasakan betapa
besarnya perbawa kedua orang itu. Namun demikian, untuk
menutupi kekerdilan diri, ia berteriak lantang, :Aku akan
melaksanakan kata-kataku. Mencincang kalian dan melemparkan
ke segenap sudut Banyu Biru.”
43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 95
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, ”Kau salah
hitung. Kau akan melakukan pekerjaan itu di atas kampung
halamanku. Di sekitar sanak kadangku. Betapa tangguhnya kalian
semuanya ini. Namun apabila seorang di antara para petani di
sawah atau anak-anak yang sedang bermain melihat perkelahian
ini, maka dengan memukul kentongan mereka akan mengerahkan
segenap penduduk Banyubiru yang berjumlah ribuan orang, untuk
mengepung kalian, dan justru kalianlah yang akan ditangkap oleh
mereka. Meskipun demikian kalian tak usah cemas, bahwa kalian
akan mengalami siksaan, apalagi dicincang. Sebab kami,
penduduk Banyubiru mendasarkan watak kami kepada ketaatan.
Kami mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Esa, yang akan kami
ujudkan dalam pengalaman kami dalam hidup sehari-hari.”
Perkataan Mahesa Jenar itu ternyata berkesan di hati orang
bermata serigala itu. Tampaklah wajahnya yang buas itu menjadi
tegang. Alisnya seolah-olah bertemu satu sama lain di atas
hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia memandang jauh-jauh
ke sawah di sekitarnya, ke desa yang terdekat, dan ke segenap
sudut dan persimpangan jalan.
Pematang-pematang di sawah, pagar-pagar batu yang
mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk padas di tepi
jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi orang-orang
yang dengan cermatnya mengawasi segala gerak-geriknya.
Apalagi ketika jauh-jauh dilihatnya beberapa orang, ya… orang
yang sebenarnya sedang menggarap sawahnya. Hati orang itu
tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi kemudian Mahesa Jenar berkata,
“Ki Sanak… jangan ganggu kami di tanah sendiri. Kalian hanya
dapat datang kemari dalam saat-saat tertentu dan dalam jumlah
tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini di segala waktu, dan
jumlah kami tak akan terhitung olehmuu.”
Ternyata perkataan Mahesa Jenar itu merupakan sebuah
pukulan terakhir yang benar-benar tak terlawan oleh orang
bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat kawan-kawannya
menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa Jenar itu. Maka
44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 95
tiba-tiba terdengarlah ia berteriak nyaring dan bersamaan dengan
itu, ia menarik kendali kudanya untuk kemudian lari secepat-
cepatnya meninggalkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang menjadi terheran-heran
melihat peristiwa itu. Melihat orang berwajah serigala itu dengan
pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh anak buahnya.
Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan mereka, orang-
orang Nusa Kambangan itu masih menggemakan ancaman,
“Awaslah kalian orang-orang Banyubiru. Aku akan datang pada
waktunya dengan seluruh orang-orang kami.” Gema ancaman itu
memukul lereng-lereng bukit kecil yang banyak berserakan di
sekitar daerah itu dan bergulung-gulung berulang beberapa kali.
Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Wanamerta
bergumam, “Angger, kenapa orang-orang itu dibiarkan saja
pergi?”.
Mahesa Jenar menoleh. Dengan tenang ia menjawab, “Kami
berada di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak yakin bahwa
apabila kami bertempur melawan orang-orang itu, Lembu Sora
akan membenarkan sikap kami. Kalau kejadian ini dianggapnya
akan dapat membahayakan ketenteraman Banyubiru, maka ia
dapat mempergunakan persoalan ini sebagai alasan untuk
melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan. Karena itu sebaiknya
kami menghindarkan diri dari segala peristiwa yang dapat
merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata tidak
memulainya.”
Wanamerta mengangguk-anggukkan kepala penuh
pengertian. Demikian juga Bantaran dan Penjawi. Perlahan-lahan
mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali.
Kemudian rombongan itu meneruskan perjalanannya
perlahan-lahan. Tetapi dengan demikian mereka jadi tertunda
untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu yang penting
telah mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi dapat mengabaikan
45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 95
desas-desus tentang beradanya kedua pusaka Demak di Tanah
Perdikan Banyubiru.
Semakin dekat dengan pusat kota, semakin rapatlah penduduk
tanah perdikan itu. Dan dengan demikian semakin banyak pulalah
orang-orang yang melihat kedatangan Mahesa Jenar, didampingi
oleh seorang yang belum mereka kenal, dan di belakang mereka
berdua, tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan
itu, Wanamerta.
Beberapa orang menjadi terharu karenanya. Dengan dada
sesak, mereka melambaikan tangan mereka. Namun di antara
mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati, dan yang
kemudian membenahi pakaian dan kekayaan mereka sambil
menggerutu, “Kalau setan-setan itu lewat, akan celakalah daerah
kami ini. Kenapa perampok-perampok itu tidak mati disambar petir
atau tertangkap pada saat mereka merampok…?”
Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada seorangpun.
Meskipun kepada anak atau adiknya. Sebab ia tahu benar, bahwa
pemuda-pemuda Banyubiru memiliki kesetiaan yang tinggi
terhadap tanah mereka, serta sedang berjuang memulihkan hak
tanah itu kepada tempat yang sewajarnya. Laki-laki maupun
wanita.
Demikianlah ketika mereka muncul di alun-alun Banyubiru,
tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan itu, beberapa orang
berdiri berjajar di depan regol halaman. Mahesa Jenar tersenyum
melihat sambutan itu. Agaknya seseorang telah melaporkan
kedatangannya, sehingga Ki Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan
diri, menyambut kedatangan mereka, meskipun ujud sambutan itu
sendiri masih belum diketahuinya. Karena itulah, meskipun wajah-
wajah mereka mengulum senyum segar, namun mereka tidak
meninggalkan kewaspadaan sepenuh-penuhnya.
46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 95
III
Semakin dekat mereka dengan rumah kepala daerah itu,
senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia menjadi
semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang berdiri di regol
halaman, tampaklah ujung-ujung tombak yang berjajar-jajar
rapat. Dan ketika Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke
sudut-sudut pagar halaman di ujung alun-alun sebelah-
menyebelah, tahulah ia bahwa halaman rumah kepala daerah
perdikan Banyubiru itu dijaga rapat sekali. Beberapa orang siap
dengan senjata di tangan mereka.
Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara. Agaknya orang
itupun sedang memperhatikan keadaan dengan seksama. Lebih
seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab kecuali ia melihat
ujung-ujung senjata yang gemerlapan karena cahaya matahari,
juga karena ia samasekali belum pernah datang ke tempat itu
sebelumnya. Karena itu sebagai seorang yang sudah cukup makan
garam, maka untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia perlu
mengetahui keadaan di mana ia sedang berada.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun melihat suasana itu.
Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang
yang termasuk dalam catatan Lembu Sora untuk dilenyapkan.
Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama-tama. Dalam
pada itu, mereka menjadi ragu. Apakah kedatangan mereka itu
tidak hanya sekadar mengantarkan nyawa mereka. Dan bukankah
mereka sudah mengusulkan kepada Mahesa Jenar, bahwa cara
yang demikian itu sangatlah berbahaya.
Tetapi mereka sudah berada di depan hidung Lembu Sora.
Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi sebagai seorang
jantan. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang masih tetap tenang, meskipun wajah-wajah mereka
menjadi bersungguh-sungguh pula.
47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 95
Rombongan itu semakin lama menjadi semakin dekat.
Beberapa orang yang berdiri di regol halaman itupun telah mulai
bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang paling depan dari
mereka adalah Lembu Sora sendiri dan Sawung Sariti.
Ketika mereka sudah lebih dekat lagi, segera Mahesa Jenar
menghentikan kudanya dan langsung meloncat turun diikuti oleh
kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah Lembu Sora segera
berlari-larian menerima kuda-kuda mereka.
Berbeda dengan pada saat Mahesa Jenar berjumpa untuk
pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala daerah
perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan tertawa-tawa,
meskipun sikapnya yang sombong itu masih saja memancar dari
wajahnya yang tengadah.
“Marilah, Adi Mahesa Jenar….” sambutnya. “Aku merasa
bergembira sekali mendapat kunjunganmu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab,
“Sebagai seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari
penduduk Banyubiru, sekali-kali aku ingin menengoknya kembali.”
“Bagus-bagus….” sahut Lembu Sora. “Marilah kami persilahkan
kalian masuk dan naik ke pendapa yang memang telah kami
persiapkan untuk menyambut kedatangan kalian.”
Maka berjalanlah mereka beriring-iring naik ke pendapa yang
sudah direntangi tikar pandan yang putih bersih. Pendapa yang
lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh Mahesa Jenar sebagai
tempat untuk duduk-duduk menghirup hawa sejuk yang mengalir
di sepanjang lereng-lereng pegunungan Telamaya. Sebagai
tempat untuk bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan
ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora. Juga sebagai tempat untuk
memulai memberikan dasar-dasar ilmu tata berkelahi dan dasar-
dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra tunggalnya,
Arya Salaka.
48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 95
Sekarang ia kembali berada di pendapa itu sebagai tamu.
Tamu yang membawa tugas berat dari anak Ki Ageng Gajah Sora
untuk menyampaikan permintaan yang amat penting. Yaitu
haknya kembali atas tanah perdikan ini.
Setelah mereka melingkar di atas tikar pandan itu, mulailah
Lembu Sora mengucapkan selamat atas kedatangan tamu-
tamunya itu. “Adi Mahesa Jenar, kami keluarga Banyubiru dan
Pamingit mengucapkan selamat datang kepada Adi bersama-sama
dengan rombongan, kepada kawan Adi yang belum aku kenal, dan
kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi.”
Mahesa Jenar mengangguk. Jawabnya, “Terimakasih Kakang.
Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan keluarga
Banyubiru selamat dan sejahtera. Kecuali itu perkenankanlah aku
memperkenalkan kawanku ini. Ia adalah seorang Putut dari Karang
Tumaritis, bernama Karang Jati.”
Lembu Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pernah
mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.
Sebelum Lembu Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-tiba
terdengar Sawung Sariti menyela, “Aku sudah pernah datang ke
tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal Panembahan Ismaya.
Orang yang mengaku dirinya waskita tetapi tak sesuatu pun yang
diketahuinya.”
“Ya, kepada Panembahan itulah aku menghambakan diri,” sela
Kebo Kanigara.
Sawung Sariti memandang Kebo Kanigara dengan sikapnya
yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia mewarisi sikap sombong.
Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah. Ia melihat Kebo
Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis, tetapi di Gedangan
ketika ia pada saat itu membawa laskarnya bersama-sama dengan
Sima Rodra, Bugel Kaliki dan laskar sepasang Uling dari Rawa
Pening. Tetapi untuk sementara ia tidak berkata apa-apa dan
berusaha untuk menghilangkan kesan perasaannya itu dari
49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 95
wajahnya. Sebab mau tidak mau, dan meskipun ia tidak sempat
menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu, karena ia
sendiri segera terlibat dalam perkelahian dengan Arya Salaka,
namun bahwa Bugel Kaliki, Sima Rodra tua, dan Jaka Soka dapat
diusir dan malahan Janda Sima Rodra terbunuh pula, maka mau
tidak mau kekuatan orang itu harus diperhitungkan, disamping
kesaktian Mahesa Jenar yang mengagumkan. Disusul kemudian
berita kematian sepasang Uling dari Rawa Pening.
Kemudian, setelah mereka tenang sejenak, kembali terdengar
Lembu Sora berkata kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi,
“Paman Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, sudah lama rakyat
Banyubiru merindukan kalian. Kemanakah kalian? Kemanakah
kalian pergi selama ini? Dan apakah keperluan kalian? Sebenarnya
tenaga kalian sangat kami perlukan di sini untuk membantuku
selama ini.”
Sambil mengangguk-angguk Wanamerta menjawab,
“Anakmas Lembu Sora, aku semakin lama semakin menjadi tua.
Dan apakah arti hidupku ini bagi Banyubiru, kalau tidak dapat
berbuat sesuatu untuknya. Karena itu aku mencoba untuk
menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya Salaka.”
Warna merah membersit di wajah Ki Ageng Lembu Sora.
Namun segera ia berusaha untuk menenteramkan hatinya. Bahkan
kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri mengharap kehadiran
anak itu. “Lalu, adakah usaha Paman Wanamerta berhasil…?”
“Pangestu Angger, aku berhasil,” jawabnya.
Lembu Sora menarik nafas panjang untuk meredakan debar
jantungnya. Kemudian ia berkata pula, “Aku tidak dapat mengerti,
bagaimana Paman Wanamerta dapat bertemu dengan anak itu.”
“Mudah saja, Anakmas,” jawab Wanamerta, “Aku pergi ke
tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu Sawung Sariti.”