SlideShare a Scribd company logo
Enam Belas Kambing, Dua Ribu Tiga Ratus Nyawa
Muhammad Syariat Tajuddin

Apa yang tergambar seketika di dalam batok kepala kita, disaat mencermati judul tulisan
yang ada diatas. Mungkin tentang sebuah kemakmuran. Atau bahkan mungkin sebuah
irama nyinyir yang miris. Betapa tidak gambaran akan sejumlah kambing yang
bersesakan di dalam kandangnya. Atau sedang berlarian di padang rumput sapana,
sekedar mencari makan. Juga mungkin tentang dua ribuan onggokan bangkai manusia
yang mati mengenaskan dalam sebuah pertikaian antar suku atau antar agama. Dan atau
seperti ketika gelimpangan mayat kaku, hangus dan tak berbentuk ditayangkan tabung
kaca TV saat peristiwa Legian Blass tempo hari.
Tetapi sungguh, tulisan ini tidak sedang diarahkan untuk menuliskan tentang data statistik
dan angka-angka matematis. Seperti pajak dan distribusi yang melulu menjadi andalan
perolehan PADS (pendapatan asli daerah setempat) di beberapa Kabupaten. Utamanya
pasca regulasi otonomi daerah digulirkan via Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
lalu.
Alasan pertamanya adalah, penulis bukanlah seorang pakar statistik. Yang kedua, penulis
bukanlah seorang pakar pemerintahan daerah yang bisa dengan pasih menjelaskan
bagaimana mestinya formula seorang bupati dalam pencapaian target perolehan anggaran
keuangan daerah. Dengan atau tanpa menggunakan perpajakan dan distribusi yang
berasal dari perut rakyat yang keroncongan sebagai instrumen inti untuk mengejar target
perolehan keuangan daerahnya.
Sementara itu, dalam tulisan ini, penulis hanya akan mencoba mengurai sedikit korelasi
konkrit antara kambing dan nyawa manusia. Penulis paham, bahwa kita akan mentok
pada kebingungan, ketika kita akan mencoba mengkorelasikan sesuatu yang
sesungguhnya memang berangkat dari kebingungan-kebingungan. Namun yang pasti
semangat kebingungan tampaknya mesti dipertahankan. Ketimbang harus turun kejalan
untuk demo dan main labrak kesana kemari tanpa ada kejelasan konsef dan gagasan
usungan issue.
Dan ini tampaknya yang kerap terjadi dengan para demonstran kita, dimana paginya
mereka mengusung issue tentang militerisme, siang issue tentang BBM, sore menjelang
malam mengusung issue tentang garukan uang rakyat yang dilakukan oleh dedengkotnya
rakyat di parlemen (Baca : Anggota Dewan).
Dan konyolnya hasil akhir dari evaluasi mereka tentang gerakannya terkadang mentok
pada sebuah kesimpulan yang agak nyeleneh : Hati-hati Merokok Dapat Menyebabkan
Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin.
Hampir tidak pernah ada korelasi rill dengan setumpuk agenda issue yang mereka usung
di jalanan dengan simpulan hasil akhir gerakan. Pertanyaan ekornya kemudian adalah,
hendak kemana bangunan nurani politik bangsa ini akan diarahkan, ketika orang yang
dalam pemahaman kita adalah pejuang. Dan saban waktu turun demopun hanya
menjadikan gerakan demontrasi sebagai proyek titipan dari para politisi dan pejabat yang
punya kepentingan akan issue yang mereka usung.
Atau hendak kemana lagi gantungan harapan rakyat akan disampirkan, ketika manusia
yang mereka anggap pejuang pun hanya menjadikan agenda gerakan hanya menjadi
semacam proyek politik. Artinya hampir-hampir telah terjalin sebuah rekatan kompromi
antara politisi dan pejabat (elite) dengan rakyat (civil society) dan itu via para pejuang
yang kerap mengatasnamakan rakyat.
Hal ini jelas terbaca pada proses Pemilu yang baru saja berlalu. Dimana dengan
mengandalkan payung Undang-undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 ada semacam
proses ‘perselingkuhan’---meminjam istilah Zainuddin Maliki---antara rakyat dan
elitenya.
Dimana rakyat tentu berharap, melalui pemilihan langsung dapat menentukan rekruitmen
politisinya betul-betul lahir dari kehendaknya. Namun, ternyata elite partai ternyata masih
lebih besar dalam menentukan wakil-wakil rakyat. (Politikus Busuk, Dr. Zainuddin
Maliki, Hal : 29)
Hal ini menunjukkan bahwa kemauan politik untuk menjadikan demokrasi seperti konsef
dasarnya belum maksimal dapat diejawantahkan dalam realitas faktual di negeri ini.
Tetapi dari Pemilu yang baru lalu paling tidak, telah cukup menjelaskan betapa proses
tawar menawar antara rakyat dan elit sudah memiliki ruang tersendiri. Paling tidak itu
tampak pada proses tawar menawar hitung-hitungan suara. Bahkan hingga pada harga
rupiah per suara. Kendati rakyat masih berada pada posisi yang relatif kurang
menguntungkan, sebab harga persuara sangatlah minim. Tetapi paling tidak telah ada
ruang tawar antara rakyat dan elitenya. Hal terakhir, ini tentu sama tidak kita inginkan,
tetapi seperti itulah realitas perpolitikan nasional bangsa ini.
Dan rakyat di tingkat gras root serta penguasa dan politisi ditingkat elite entah akan kita
posisikan dimana ketika kita melulu sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang memang
membingungkan dan tak bernjutrungan. Dan biarlah seabrek pertanyaan-pertanyaan,
mulai dari peran dan posisi elite dan rakyat hingga pada peran negara atas kemakmuran
dan keadilan tetap bertumpukan dan melulu lahir dari bawah tilam-tilam tidur anak
bangsa.
Sembari berujar, yah seperti inilah model pertanyaan-pertanyaan itu, yang akan tetap
berkumandang dan semoga tidak menguap hampa ke udara. Atau malah mentok dan
membentur-bentur batu kali dan tembok-tembok tebal nan bebal elite-elite bangsa. Sebab
toh ditanah ini rakyat belumlah begitu pandir untuk menerima segenap lelucon dari
guyonan politik yang memang tidak pernah lucu itu.
Alhasil sebuah narasi kecil ditengah bangsa yang amat besar dan tengah dipecundangi
korupsi yang entah sudah sampai pada jilid keberapa ini, tidak harus menggiring dan
mengais-ngais judul dan kesimpulan : Enam Belas Kambing, Dua Ribu Tiga Ratus
Nyawa. Tanpa makna dan tanpa nilai apa-apa, kecuali pertanyaan-pertanyaan yang akan
membentur-bentur di batok kepala kita semua. Gitu Loh.

More Related Content

Similar to 16 kambing dan jargon

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
ekho109
 
PRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADAPRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADA
HISHNUL180695
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
ekho109
 
Demokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusakDemokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusakLilis Holisah
 
Pedang roh edisi_45
Pedang roh edisi_45Pedang roh edisi_45
Pedang roh edisi_45alkitabiah
 
Indonesia for Sale
Indonesia for SaleIndonesia for Sale
Indonesia for Sale
Suwandi Ahmad
 
Indonesia for Sale
Indonesia for SaleIndonesia for Sale
Indonesia for Sale
Business Opportunity
 
Indonesian Outlook 2014
Indonesian Outlook 2014Indonesian Outlook 2014
Indonesian Outlook 2014
bandungfe
 
Artikel kepemimpinan
Artikel kepemimpinanArtikel kepemimpinan
Artikel kepemimpinan
arief_dwi77
 
Pedang roh edisi_73
Pedang roh edisi_73Pedang roh edisi_73
Pedang roh edisi_73alkitabiah
 
Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...
Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...
Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...
Tri Widodo W. UTOMO
 
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsikorelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
Imond Imondt
 
HAM tugas Pkn
HAM tugas PknHAM tugas Pkn
HAM tugas Pkn
pierse
 

Similar to 16 kambing dan jargon (18)

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
 
Menyelami makna syair orang wuna
Menyelami makna syair orang wunaMenyelami makna syair orang wuna
Menyelami makna syair orang wuna
 
Menyelami makna syair orang wuna
Menyelami makna syair orang wunaMenyelami makna syair orang wuna
Menyelami makna syair orang wuna
 
PRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADAPRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADA
 
Nujum pak belalang
Nujum pak belalangNujum pak belalang
Nujum pak belalang
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
 
Demokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusakDemokrasi sistem rusak dan merusak
Demokrasi sistem rusak dan merusak
 
Pedang roh edisi_45
Pedang roh edisi_45Pedang roh edisi_45
Pedang roh edisi_45
 
Dinamika pemilu
Dinamika pemiluDinamika pemilu
Dinamika pemilu
 
Artikel
ArtikelArtikel
Artikel
 
Indonesia for Sale
Indonesia for SaleIndonesia for Sale
Indonesia for Sale
 
Indonesia for Sale
Indonesia for SaleIndonesia for Sale
Indonesia for Sale
 
Indonesian Outlook 2014
Indonesian Outlook 2014Indonesian Outlook 2014
Indonesian Outlook 2014
 
Artikel kepemimpinan
Artikel kepemimpinanArtikel kepemimpinan
Artikel kepemimpinan
 
Pedang roh edisi_73
Pedang roh edisi_73Pedang roh edisi_73
Pedang roh edisi_73
 
Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...
Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...
Penguatan Demokrasi Lokal dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau D...
 
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsikorelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
 
HAM tugas Pkn
HAM tugas PknHAM tugas Pkn
HAM tugas Pkn
 

16 kambing dan jargon

  • 1. Enam Belas Kambing, Dua Ribu Tiga Ratus Nyawa Muhammad Syariat Tajuddin Apa yang tergambar seketika di dalam batok kepala kita, disaat mencermati judul tulisan yang ada diatas. Mungkin tentang sebuah kemakmuran. Atau bahkan mungkin sebuah irama nyinyir yang miris. Betapa tidak gambaran akan sejumlah kambing yang bersesakan di dalam kandangnya. Atau sedang berlarian di padang rumput sapana, sekedar mencari makan. Juga mungkin tentang dua ribuan onggokan bangkai manusia yang mati mengenaskan dalam sebuah pertikaian antar suku atau antar agama. Dan atau seperti ketika gelimpangan mayat kaku, hangus dan tak berbentuk ditayangkan tabung kaca TV saat peristiwa Legian Blass tempo hari. Tetapi sungguh, tulisan ini tidak sedang diarahkan untuk menuliskan tentang data statistik dan angka-angka matematis. Seperti pajak dan distribusi yang melulu menjadi andalan perolehan PADS (pendapatan asli daerah setempat) di beberapa Kabupaten. Utamanya pasca regulasi otonomi daerah digulirkan via Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lalu. Alasan pertamanya adalah, penulis bukanlah seorang pakar statistik. Yang kedua, penulis bukanlah seorang pakar pemerintahan daerah yang bisa dengan pasih menjelaskan bagaimana mestinya formula seorang bupati dalam pencapaian target perolehan anggaran keuangan daerah. Dengan atau tanpa menggunakan perpajakan dan distribusi yang berasal dari perut rakyat yang keroncongan sebagai instrumen inti untuk mengejar target perolehan keuangan daerahnya. Sementara itu, dalam tulisan ini, penulis hanya akan mencoba mengurai sedikit korelasi konkrit antara kambing dan nyawa manusia. Penulis paham, bahwa kita akan mentok pada kebingungan, ketika kita akan mencoba mengkorelasikan sesuatu yang sesungguhnya memang berangkat dari kebingungan-kebingungan. Namun yang pasti semangat kebingungan tampaknya mesti dipertahankan. Ketimbang harus turun kejalan untuk demo dan main labrak kesana kemari tanpa ada kejelasan konsef dan gagasan usungan issue. Dan ini tampaknya yang kerap terjadi dengan para demonstran kita, dimana paginya mereka mengusung issue tentang militerisme, siang issue tentang BBM, sore menjelang malam mengusung issue tentang garukan uang rakyat yang dilakukan oleh dedengkotnya rakyat di parlemen (Baca : Anggota Dewan). Dan konyolnya hasil akhir dari evaluasi mereka tentang gerakannya terkadang mentok pada sebuah kesimpulan yang agak nyeleneh : Hati-hati Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin. Hampir tidak pernah ada korelasi rill dengan setumpuk agenda issue yang mereka usung di jalanan dengan simpulan hasil akhir gerakan. Pertanyaan ekornya kemudian adalah, hendak kemana bangunan nurani politik bangsa ini akan diarahkan, ketika orang yang dalam pemahaman kita adalah pejuang. Dan saban waktu turun demopun hanya menjadikan gerakan demontrasi sebagai proyek titipan dari para politisi dan pejabat yang punya kepentingan akan issue yang mereka usung. Atau hendak kemana lagi gantungan harapan rakyat akan disampirkan, ketika manusia yang mereka anggap pejuang pun hanya menjadikan agenda gerakan hanya menjadi semacam proyek politik. Artinya hampir-hampir telah terjalin sebuah rekatan kompromi
  • 2. antara politisi dan pejabat (elite) dengan rakyat (civil society) dan itu via para pejuang yang kerap mengatasnamakan rakyat. Hal ini jelas terbaca pada proses Pemilu yang baru saja berlalu. Dimana dengan mengandalkan payung Undang-undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 ada semacam proses ‘perselingkuhan’---meminjam istilah Zainuddin Maliki---antara rakyat dan elitenya. Dimana rakyat tentu berharap, melalui pemilihan langsung dapat menentukan rekruitmen politisinya betul-betul lahir dari kehendaknya. Namun, ternyata elite partai ternyata masih lebih besar dalam menentukan wakil-wakil rakyat. (Politikus Busuk, Dr. Zainuddin Maliki, Hal : 29) Hal ini menunjukkan bahwa kemauan politik untuk menjadikan demokrasi seperti konsef dasarnya belum maksimal dapat diejawantahkan dalam realitas faktual di negeri ini. Tetapi dari Pemilu yang baru lalu paling tidak, telah cukup menjelaskan betapa proses tawar menawar antara rakyat dan elit sudah memiliki ruang tersendiri. Paling tidak itu tampak pada proses tawar menawar hitung-hitungan suara. Bahkan hingga pada harga rupiah per suara. Kendati rakyat masih berada pada posisi yang relatif kurang menguntungkan, sebab harga persuara sangatlah minim. Tetapi paling tidak telah ada ruang tawar antara rakyat dan elitenya. Hal terakhir, ini tentu sama tidak kita inginkan, tetapi seperti itulah realitas perpolitikan nasional bangsa ini. Dan rakyat di tingkat gras root serta penguasa dan politisi ditingkat elite entah akan kita posisikan dimana ketika kita melulu sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang memang membingungkan dan tak bernjutrungan. Dan biarlah seabrek pertanyaan-pertanyaan, mulai dari peran dan posisi elite dan rakyat hingga pada peran negara atas kemakmuran dan keadilan tetap bertumpukan dan melulu lahir dari bawah tilam-tilam tidur anak bangsa. Sembari berujar, yah seperti inilah model pertanyaan-pertanyaan itu, yang akan tetap berkumandang dan semoga tidak menguap hampa ke udara. Atau malah mentok dan membentur-bentur batu kali dan tembok-tembok tebal nan bebal elite-elite bangsa. Sebab toh ditanah ini rakyat belumlah begitu pandir untuk menerima segenap lelucon dari guyonan politik yang memang tidak pernah lucu itu. Alhasil sebuah narasi kecil ditengah bangsa yang amat besar dan tengah dipecundangi korupsi yang entah sudah sampai pada jilid keberapa ini, tidak harus menggiring dan mengais-ngais judul dan kesimpulan : Enam Belas Kambing, Dua Ribu Tiga Ratus Nyawa. Tanpa makna dan tanpa nilai apa-apa, kecuali pertanyaan-pertanyaan yang akan membentur-bentur di batok kepala kita semua. Gitu Loh.