Tulisan ini membahas tentang kontestasi elit lokal dalam rekonstruksi nagari di Minangkabau pada masa otonomi daerah. Rekonstruksi nagari dilakukan untuk mengembalikan identitas dan budaya Minangkabau, namun juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dan kekuasaan elit lokal. Elit lokal melakukan berbagai strategi seperti akomodasi dan resistensi terhadap negara dalam mengelola nagari.
1. 617
ANTARA NEGARA DAN NAGARI :
KONTESTASI ELIT LOKAL DALAM REKONSTRUKSI NAGARI DI
MINANGKABAU PADA MASA OTONOMI DAERAH
BARTOVEN VIVIT NURDIN
Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung
Email: bartoven@unila.ac.id
ABSTRACT
This paper highlights on lokal elite contestation within nagari reconstruction at
regional autonomy era in Minangkabau, West Sumatra. This study analyzes how
Minangkabau people view, interpret and perceive regional autonomy in which the
realization is the forming of nagari again. This study focuses on the strategies
created and developed either inside or outside organization of Minangkabau
people by conducting accommodation, resistance and involvement of various
group interests as well. This study is influenced by Scott (1985), Abu Lughod
(1990) and Tsing (1999) theories. This research approach is qualitative using
ethnography method (Hammersley and Atkinson, 1983). Data collections involved
are observation and deep interview. The research finding shows that nagari
reconstruction done to return identity and spirit namely custom and religion of
Minangkabau ethnic, however politic interests and local elite power color it as
well. The occurring of trade-offs between lokal power and national power
(national system). There are friction, negotiation and seldom compromistidy that
show accommodation as well as resistance among local elite. It is found that local
elite, a group that is not always solid and homogene without friction. Local elite
resides between local arena and national arena in the same time.
Kata kunci : Nagari, Kontestasi, Rekonstruksi, Resistensi, Akomodasi.
LATAR BELAKANG
Dengan adanya pemberlakuan UU
No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, ditanggapi orang Minangkabau
dengan membangun kembali
pemerintahan nagari dan
menghapuskan pemerintahan desa.
Otonomi daerah dipandang sebagai
momentum terbukanya peluang untuk
bisa lebih bebas mengatur daerahnya
masing-masing sesuai dengan tuntutan
masyarakat di daerah. Dalam otonomi
daerah menuntut pemerintah dan
masyarakat di daerah tersebut lebih
mandiri dengan membangun
kemampuan social dan ekonomi
mereka sendiri. Kebijakan otonomi
daerah ini memberikan peluang
kepada Daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri
termasuk menyesuaikan bentuk dan
susunan Pemerintahan Desa
berdasarkan tradisi masyarakat
setempat.
Menurut hasil penelitian Afrizal
(2002) ada beberapa implementasi
otonomi daerah di Sumatera Barat
yakni tingkat birokrasi pemerintahan,
sama dengan provinsi lainnya,
Pemerintahan daerah Tingkat I
berubah menjadi pemerintahan
provinsi. Pemerintahan daerah TK II
berubah menjadi pemerintahan kota
dan pemerintahan kabupaten. Wilayah
nagari ada yang tumpang tindih
dengan wilayah kecamatan, bahkan
ada kecamatan yang kehilangan
wilayahnya. Hal lain juga terjadi
restrukturasi birokrasi pemerintahan.
Kanwil diubah menjadi dinas-dinas,
beberapa urusan digabungkan (Afrizal,
2002) .
2. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
Masa otonomi daerah ini
memberikan peluang kembali kepada
masyarakat Minangkabau, terutama
kaum elite Minangkabau, untuk
kembali ke pemerintahan nagari.
Kaum elite Minangkabau yang
dimaksud di sini adalah pejabat
pemerintah daerah, pemuka agama
dan pemuka adat (antara pemuka
adat, pemuka agama dan pemerintah
daerah sangat sulit dijadikan kategori
yang terpisah satu sama lain karena
seorang pemuka agama terkadang
juga seorang pemuka adat dan juga
bekerja sebagai pejabat pemerintah
daerah). Menurut kaum elit, nagari
merupakan jati diri dan identitas
orang Minangkabau. Jati diri orang
Minangkabau adalah adat dan agama.
Nagari menurut pengertian secara
umum adalah satuan teritorial yang
secara politik dan hukum diatur
menurut adat (Kato, 1982). Sebuah
nagari biasanya mempunyai kekayaan
berupa hutan tinggi (hutan rimba, dan
tanah ulayat) dan hutan rendah
(sawah ladang, kebun, dan tanah
perumahan), tempat pertemuan
masyarakat (balai) adat nagari,
Kerapatan Adat Nagari (KAN), sebuah
surau (mushalla), mesjid, lapau, dan
lapangan umum. Setiap nagari
biasanya sekurang-kurangnya terdiri
dari empat suku (clan) (Nasroen,
1971; Bachtiar, 1964)1
. Keterkaitan
1
Hubungan dan keterkaitan yang
dinamis antara adat dan agama ini merupakan
proses yang panjang. Dari beberapa hasil
penelitian dan catatan sejarah bahwa masuknya
Islam ke Minangkabau bukannya tidak
menimbulkan konflik. Sebuah konsesus
hubungan antara adat dan agama ini adalah
adat menyesuaikan diri dengan agama dan
agama menyesuaikan diri dengan adat, dalam
semboyan adat bersendikan sara, dan sara
bersendikan kitabullah yang dikokohkan dalam
perjanjian Marapalam tahun 1668. Namun,
gerakan kaum agama terhadap adat masih
berkepanjangan (misalnya gerakan Paderi
(1821-1837), yakni perlawanan antara kaum
adat dan agama yang akhirnya adalah disusupi
oleh Belanda). (Nasroen, 1971; Abdullah, 1976;
Bachtiar, 1964)
antara agama dan adat di
Minangkabau, dapat dimaknai dari
semboyan “adat basandikan sara’,
sara’ basandikan kitabullah”. Kembali
ke nagari adalah kembali ke jati diri
yakni kembali ke adat dan agama
( Naim, 2002).
Membangun kembali pemerintahan
Nagari dilakukan berdasarkan adat
basandikan syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato adat
memakai alam takambang jadi guru
(adat bersendikan sara’, sara’
bersendikan kitabullah, sara’ berkata
adat memakai alam terkembang jadi
guru). Pemerintahan Nagari di
Minangkabau dipandang efektif guna
melestarikan tradisi masyarakat
Minangkabau yang selama ini dianggap
terpinggirkan dan terabaikan ( Perda
No 17 Tahun 2000).
Pada masa pemerintahan nagari
saat ini, para tokoh-tokoh agama dan
adat kembali memiliki wewenang
dalam mengambil kebijakan di
pemerintahan. Dengan diwujudkannya
kembali pemerintahan nagari, maka
posisi kaum adat dan agama yang
selama ini terpinggirkan dan
terabaikan terutama pada masa
pemerintahan desa, kembali
menempati posisi dominan pada
pemerintahan. Para tokoh adat dan
agama ini mewujudkan wacana
kembali ke adat dan agama ke dalam
berbagai bentuk aturan pada
masyarakat.
Kembali ke nagari bukan sekedar
sebagai fungsi administrasi. Melainkan
didorong oleh keprihatinan terhadap
kemerosotan yang terjadi belakangan
ini di Sumatera Barat, misalnya
rendahnya mutu pendidikan, “lost
generation” (generasi yang hilang),
hilangnya generasi yang bisa
dibanggakan, adat yang melemah,
hilangnya kepedulian dan kebanggaan
terhadap adat sendiri, maraknya
korupsi dan lain sebagainya, yang
dianggap sebagai suatu “kebobrokan
moral” (Naim, 2002).
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
106
3. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
Isu lainnya adalah menolak
sebagian kebudayaan “asing” yang
berdampak merusak generasi muda.
Hal ini dikarenakan sudah mulai
lemahnya adat dan agama sebagai
pengontrol. Budaya yang dianggap
“asing” misalnya pornografi, tontonan
media massa yang dianggap dapat
merusak moral, pergaulan bebas, cara
berpakaian, dan segala sesuatu yang
dianggap bertentangan dengan ajaran
agama dan adat, dimana pada masa
pemerintahan desa dianggap tidak
diperhatikan, diabaikan dan
terpinggirkan.
Dalam sejarah Minangkabau,
kebudayaan asing dentik dengan
kebudayaan yang dibawa bangsa
asing, tidak berurat berakar dalam
masyarakat, seperti debu diatas
tunggul kayu yang beterbangan
dihembus angin dengan tidak
meninggalkan bekas (Nasroen, 1971).
Isyu yang terkait dengan kebudayaan
asing misalnya dampak globalisasi
atau westernisasi2
. Isu globalisasi
menjadi mengemuka ketika isyu
otonomi daerah diluncurkan. Jadi
globalisasi di penelitian ini juga
dipahami secara kontekstual dan
kepentingan.
Ada tiga hal penting yang
merupakan tuntutan utama para
pemuka Minangkabau dalam rangka
kembali ke nagari ini, terutama yang
berasal dari kalangan para pemangku
adat, yakni : Pertama, identitas
orang Minangkabau yakni Islam, kalau
dia bukan Islam berarti bukan Minang.
Kedua, adalah gerakan kembali ke
surau. Surau adalah sebuah tempat
untuk mempelajari ajaran agama
Islam di samping sebagai tempat
shalat jamaah dan rapat-rapat.
Ketiga, mengenai harta milik nagari
baik itu berupa barang bergerak
2
Istilah asing digunakan disini untuk
menyebut budaya luar, bukan dunia luar dalam
batas-batas yang ketat sehingga Pangek
menjadi tertutup, namun dunia luar sebagai
penentuan terhadap kedudukan budaya yang
bukan dianggap budaya Nagari Pangek.
maupun barang tidak bergerak, perlu
diinventarisasi, yang selama ini batas-
batasnya tidak jelas dan menimbulkan
konflik. Harta milik nagari dikuasai
oleh pemerintahan nagari dan
diperuntukkan untuk kesejahteraan
rakyat nagari atau anak nagari (Naim,
1982; Esten, 1985; Afrizal, 2002).3
Dalam penelitian ini, penulis
tertarik untuk melihat rekonstruksi
nagari saat ini, yaitu tentang
strategi-strategi yang diciptakan dan
dikembangkan oleh pejabat lokal
dalam rangka berbagai kepentingan.
Setting penelitian ini adalah di Nagari
“Pangek” (bukan nama sebenarnya)
yang berada di pinggiran sebuah
danau di Kabupaten Tanah Datar di
Sumatera Barat. Karena sifatnya
sebagai sebuah setting, jadi tidak
semua data-data terfokus diperoleh
dari nagari ini, ada beberapa data lain
yang diperoleh dari gejala umum
lainnya di Sumatera Barat.
MASALAH PENELITIAN
Masalah dari penelitian ini adalah
mengenai rekonstruksi kanagarian
pada orang Pangek yang dilihat dan
dipahami dari kontestasi dan
hubungan kekuasaan antara pemuka
adat, pemuka agama dan pejabat
pemerintah daerah dengan negara.
Mereka menciptakan dan
mengembangkan strategi-strategi
3
Tiga tuntutan masyarakat Minangkabau ini
merupakan tuntutan dari para alim ulama,
cerdik pandai dan para pemangku adat
(penghulu, datuk dll), yang sesungguhnya tiga
tuntutan ini merupakan adat Minangkabau
yang tertuang dalam tambo. Tambo adalah
catatan tentang pedoman adat Minangkabau.
Dalam tambo tertulis ada empat tingkatan adat
yakni adat nan sabana adat, adat yang teradat,
adat yang diadatkan dan adat istiadat. Tingkat
pertama dan kedua adalah adat yang tidak
boleh diganti dan dirubah, yakni orang
Minangkabau adalah Islam, Alqur’an dan
Hadis adalah pedoman hidup orang
Minangkabau. Adat Minangkabau telah
disempurnakan oleh agama Islam
(Nasroen,1971).
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
107
4. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
dengan melakukan akomodasi dan
resistensi serta terlibatnya
kepentingan berbagai kelompok yang
melancarkan hal tersebut. Disatu
pihak mereka melakukan akomodasi
terhadap aturan Negara dengan unsur
kepatuhan yang dimiliki, disisi lain
mereka melakukan perlawanan
dengan cara mereka sendiri. Secara
spesifik, tulisan ini memusatkan
perhatian pada orang Pangek dalam
memandang, menginterpretasi dan
menanggapi kenyataan yang mereka
hadapi, yang perwujudannya adalah
dibentuknya pemerintahan nagari
dengan momentum kebijakan otonomi
daerah sebagai peluang.
KERANGKA KONSEPTUAL
Penelitian ini dipengaruhi oleh
hasil penelitian dari Tsing (1999),
Scott (1985) dan Abu-Lughod (1990).
Penelitian Tsing (1999), menunjukkan
kelompok minoritas Dayak berhadapan
dengan negara mendekati kekuasaan
dengan berbagai strategi-strategi
yakni unsur kepatuhan dan resistensi.
Sementara itu Scott (1985) melihat
resistensi yang dilakukan oleh kaum
tani miskin dan kaya yang seringkali
menghindari konfrontasi langsung,
serta strategi-strategi yang dilakukan
petani tersebut. Abu-Lughod (1990),
mempengaruhi penelitian ini dalam
melihat bagaimana resistensi itu
disampaikan melalui arena-arena.
Rekonstruksi adalah kreasi
manusia untuk membangun sesuatu
yang baru atau mengulang yang lama,
atau memodifikasi yang lama menjadi
sesuatu yang relevan pada masa kini
dalam rangka menanggapi stimulus
dari luar atau dari dalam untuk dapat
tetap eksis. Resistensi adalah
melawan (to resist) adalah
mengusahakan sekuat tenaga untuk
menahan atau membalas kekuatan
atau efek dari itu (Scott, 1985).
Resistensi diartikan sebagai suatu
action yang bersifat menganggu atau
menumbangkan yang berhubungan
dengan kekuasaan, resistensi biasanya
dimiliki oleh orang-orang yang
powerless dalam menghadapi berbagai
tekanan. ( Spencer, 1996; Tsing,
1999).
Resistensi atau perlawanan
diartikan juga sebagai bentuk
kreativitas manusia atau gaya dari
jiwa manusia untuk menunjukkan
penolakan terhadap dominasi. Tidak
semua resistensi bisa mengubah
sistem kekuasaan. Bentuk resistensi
bisa tersebar dalam berbagai arena,
misalnya menggosip, sambil
berkelakar, atau bahkan berpuisi,
artinya bentuk resistensi tidak selalu
harus kelihatan secara fisik bentuknya
tersembunyi. Dikatakan Abu-Lughod,
resistensi adalah alat diagnosa
perubahan. Di mana ada kekuasaan, di
situ ada resistensi dan tentu memiliki
konsekuensi, karena resistensi tidak
pernah menempati posisi eksterior
dalam hubungannya dengan kekuasaan
( Abu-Lughod, 1987; Scott, 1990;
Wolf, 2001).
Resistensi merupakan pertarungan
yang dilakukan dengan tekad yang
kuat oleh sekelompok orang,
pertarungan ini terhadap sesuatu yang
merugikan mereka, tidak
membutuhkan koordinasi atau
perencanaan, menggunakan jaringan
informal, menghindari konfrontasi
langsung, Bentuk-bentuk resistensi
seringkali tidak kelihatan, seperti
digambarkan Scott (1985) dan Abu-
Lughod (1990) yakni berbentuk cerita
rakyat, pura-pura baik, pembakaran,
mencuri, memalak, di depan bilang
iya dibelakang tidak, dan berbagai
simbol lainnya, jilbab misalnya dapat
merupakan simbol resistensi bagi
perempuan (Guindi, 2000). Resistensi
menurut Scott merupakan perlawanan
yang dilakukan secara diam-diam
terhadap kelompok yang mencoba
menyerobot pekerjaan, makanan,
sewa dan upah, pura-pura baik, pura-
pura ramah, bergosip dibelakang,
menjatuhkan nama baik, mencuri
sedikit-sedikit, berpuisi, melalui
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
108
5. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
cerita rakyat, di depan bilang ya
dibelakang tidak, serta lain
sebagainya yang dipandang sebagai
perlawanan gaya asia atau perlawanan
orang-orang kalah. Resistensi selalu
merupakan perlawanan yang
dilakukan oleh sekelompok orang
dengan kelompok lainnya yang lebih
berkuasa. Dalam kasus Pemimpin
Nagari yakni pemuka adat, pemuka
agama dan pejabat daerah merupakan
orang-orang yang biasa berkata-kata
melalui pantun, petatah petitih dan
sindir menyindir serta perumpamaan.
Seperti diketahui elit lokal
menghindari konfrontasi langsung bila
berhadapan dengan orang lain, lebih
memilih kata-kata yang halus dalam
perumpamaan dalam menyampaikan
sesuatu.
Hakekat resistensi dalam
penelitian ini adalah resistensi elite
demi kekuasaan dalam konteks politik
maupun kebudayaan. Jadi, tidak
semua warga nagari Pangek
melakukan dan terlibat resistensi,
tetapi mereka terkena dampak dari
isyu-isyu yang beredar dalam
masyarakat dan mungkin bereaksi
pada batas-batas tertentu.
Resistensi juga dilihat sebagai
penggunaan simbol-simbol yang
merupakan instrumen untuk
mewujudkan perlawanan terhadap
dua kekuatan eksternal yang selama
ini dominan, yakni kekuatan pusat
( sistem nasional) dan kekuatan
global. Resistensi menjadi tema
penting karena ia berada pada posisi
pemikiran Marxisme dalam
antropologi dan pemikiran antropologi
simbolik yang lebih berorientasi
kebudayaan atau yang memiliki
sensitivitas kebudayaan.
Resistensi tidak dalam pengertian
perlawanan atas kekuasaan
sebagaimana banyak dipahami orang,
yakni kekuasaan yang diidentikkan
dengan pemaksaan ( enforcement)
dan penindasan (opression)
( Foucault, 1978; lihat juga Scott dan
Kirkvliet, 1990). Dalam tulisan ini,
rekonstruksi kanagarian adalah proses
yang tidak selalu berarti penekanan,
pelarangan, penindasan, atau
pemaksaan melainkan dapat juga
berarti positif, yang memproduksi
bentuk-bentuk yang lebih nyaman
dalam konteks-konteksnya, bentuk-
bentuk yang diselaraskan dengan
kebutuhan oleh para pelaku, dan
wacana, karena “resistensi tak pernah
berada dalam posisi eksterior dalam
hubungannya dengan kekuasaan”
( Foucault, 1978).
Akomodasi bisa diartikan
“menyesuaikan diri”. Dalam hal ini
dapat berarti kepatuhan, kepatuhan
kepada kekuasaan Negara demi
tercapainya keteraturan termasuk
berbagai kepentingan ( Tsing, 1999).
Akomodasi dalam tulisan ini dilihat
sebagai sebuah strategi penyesuaian
dari para pemimpin lokal dalam hal ini
pemimpin nagari, pemuka agama,
pemuka adat dan pejabat pemerintah
daerah untuk menghadapi kekuasaan
Negara.
Negara dalam hal ini mengacu
kepada aspek-aspek pengaturan,
administrasi, dan aparat yang harus
ditaati (bersifat memaksa) yang
dilihat sebagai hegemoni eksternal.
Kecenderungan politik malahan
menghendaki Negara memberikan
legitimasi bagi mereka (Tsing, 1999).
Dalam definisi ini tidak bertujuan
mengkaji pembuatan keputusan
nasional. Tujuannya adalah menggali
hubungan antara dinamika politik
lokal, disatu pihak, dan politik daerah
dan nasional, dipihak lain. Dalam hal
ini penulis menekankan kekuasaan
Negara sebagai kekuatan pembentuk
maupun mengancam masyarakat
nagari.
Otonomi Daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini diatur
dalam Undang-undang RI No. 22 tahun
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
109
6. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
1999 tentang Pemerintah Daerah
sebagai pengganti Undang-Undang
No.5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Desa. Otonomi Daerah
mengakibatkan berubahnya
perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah yang diatur menurut
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tetap menetapkan landasan yang jelas
dalam penataan, pengelolaan dan
pertanggungjawaban Keuangan
Daerah, antara lain memberikan
keleluasaan kepada daerah dengan
peraturan daerah untuk mengelola
keuangan daerah.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah
kwalitatif (Hammersley dan Atkinson,
1983). Ada beberapa tahap yang
ditempuh sampai terlaksananya
pengumpulan data dan analisis. Tahap
pertama, menyusun rencana
penelitian, dan sekaligus melakukan
kajian kepustakaan untuk
mempelajari konsep-konsep dan teori
yang berkenaan, dan yang relevan,
dalam rangka menformulasikan
masalah penelitian. Di samping itu
peneliti membuat pedoman penelitian
di lapangan tentang data-data yang
ingin peneliti cari di lapangan. Tahap
kedua, peneliti telah melakukan
penelitian di lapangan, tinggal di
lokasi penelitian selama 6 bulan.
mengumpulkan data-data yang
berkenaan dengan berbagai gejala
yang terjadi yakni yang khususnya
berkaitan dengan kembalinya institusi
nagari, mengenai pandangan,
interpretasi dan tanggapan pemuka
adat, pemuka agama dan pejabat
daerah serta informan lainnya tentang
hal tersebut. Pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah
pengamatan terlibat, dan wawancara
mendalam. Wawancara dilakukan
dengan menggunakan bahasa
Minangkabau.
Tahapan selanjutnya, setelah
semua data terkumpul, maka peneliti
mengkategorikan data dan memilah-
milah data. Data kualitatif terdapat
dalam bentuk teks, kata-kata yang
tertulis, kalimat-kalimat, atau simbol-
simbol yang menguraikan atau
merepresentasikan orang, tindakan,
dan kejadian dalam kehidupan social.
Analisa data kualitatif tentu harus
sistematik dan logis, walaupun dengan
cara yang berbeda dari analisa
kuantitatif atau statistic. (Saifuddin,
2004). Peneliti kualitatif mencari
pola-pola atau hubungan-hubungan
itu, tetapi mulai menganalisa data
sejak awal penelitian sampai
berakhirnya penelitian, sementara
sedang mengumpulkan data. Hasil dari
analisa data sebelumnya akan menjadi
petunjuk bagi pengumpulan data
selanjutnya. Jadi, analisa kurang
merupakan tahap final yang tegas dari
penelitian daripada dimensi penelitian
yang merentang lintas semua tahapan.
(Saifuddin, 2004). Dalam analisa data
seorang peneliti menempatkan data
mentah menjadi kategori-kategori
yang ia identifikasikan untuk menjadi
pola-pola dan sampai pada tahap
generalisasi yang meringkaskan
distinctions dalam data konkrit,
mentah.
Informan dalam penelitian ini,
khususnya adalah pemimpin nagari
yaitu wali nagari, dan pejabat-pejabat
dalam lingkungan pemerintahan
nagari lainnya seperti para anggota
KAN (Kerapatan Adat Nagari) dan
anggota BPRN (Badan
Permusyawaratan Rakyat Nagari).
Termasuk orang-orang yang
menyandang predikat seperti ninik
mamak, penghulu, bundo kanduang,
para pemuka agama yang bergelar
buya dan ustad, misalnya juga para
pemimpin pesantren, pemuda, dan
Camat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suku Bangsa Minangkabau adalah
suku bangsa yang menganut sistem
kekerabatan matrilinial, nagari
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
110
7. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
merupakan suatu kelompok matrilinial
yang besar dalam Suku Bangsa
Minangkabau. Dari segi sistem
pemerintahan Nagari, tergantung
kepada sistem adat dalam dalam
nagari tersebut. Dimana di
Minangkabau terdapat dua sistem
kelarasan adat yakni Laras Koto
Piliang dan Bodi Caniago. Koto Piliang
adalah sistem pemerintahan yang
berazaskan otoritas hirarki dan Bodi
Caniago dengan azas demokrasi.
Menurut sumber
http//www//Minangkabau.Info.Com
tahun 2002, kata nagari bukanlah
berasal dari bahasa Minangkabau,
karena sebelum Hindu masuk ke
Minangkabau tidak dikenal nagari,
masyarakat waktu itu hidup
berkelompok berdasarkan kaum
secara genealogis. Artinya pengaruh
Hindu cukup kuat. Urutan berdirinya
dan tumbuhnya suatu nagari secara
umum di Minangkabau dimulai dari
Taratak kemudian berkembang
menjadi dusun, dusun berkembang
menjadi koto, dan kemudian koto
berkembang besar menjadi nagari.
Dahulunya syarat berdirinya sebuah
nagari adalah bahwa nagari itu harus
terdiri dari empat suku. Nagari juga
memiliki harta kekayaan yakni tanah
ulayat, hutan, laut, sungai dan lain
sebagainya, dan yang mengolahnya
sebagian harus diberikan kepada
nagari.
Dari kepustakaan terdahulu
sampai sekarang terdapat definisi
yang bervariasi mengenai nagari.
Berbagai definisi tersebut
dikelompokkan atas dua, yakni dari
para ahli yang mendefinisikan nagari
sebagai satuan adat, hukum, dan
politik ( Kato, 1982), dan dari para
ahli yang memandang nagari sebagai
satuan terbesar dari matrilinial, yakni
bentuk sistem kekerabatan orang
Minangkabau ( Manan, 1993; Abdullah,
dalam Kato 1992).
Dalam masa otonomi daerah
sekarang ini, masyarakat Minangkabau
menafsirkan nagari dalam penekanan
yang berbeda-berbeda dan bervariasi.
Setiap kabupaten memiliki definisi
nagari yang berbeda satu sama lain
yang terlihat dari peraturan daerah-
peraturan daerah yang dikeluarkan
karena banyaknya muncul nagari-
nagari yang baru, pemerintah juga
mengeluarkan syarat-syarat
dibentuknya nagari, dan syarat-syarat
tersebut masing-masing kabupaten
berbeda-berbeda. Misalnya di
Kabupaten Solok, setiap nagari
menekankan pada satuan adat, dan
hukum yang harus memiliki harta
kekayaan nagari, mempunyai
beberapa suku dan batas-batas
teritorial yang jelas. Contoh lain, di
Kabupaten Tanah Datar, nagari
adalah kesatuan masyarakat hukum
adat yang terdiri dari beberapa suku
yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan
asal usul dan adat istiadat yang
wilayah kerjanya terdiri dari beberapa
jorong. Jorong adalah bagian wilayah
kerja pelaksanaan Pemerintahan
nagari yang dipimpin oleh wali jorong.
Tanpa menyebutkan tentang harta
nagari. (Perda Kabupaten Solok dan
Tanah Datar tahun 2001). Sementara
itu, Peraturan daerah Sumatera Barat
Nomor 9 Tahun 2000 juga menetapkan
beberapa pasal tentang nagari, yakni
setiap nagari harus mempunyai
beberapa suku dan dengan batas-
batas yang jelas, merupakan kesatuan
wilayah hukum adat dengan batas-
batas tertentu yang sudah berlaku
secara turun menurun. Susunan
organisasi dan tata kerja
pemerintahan nagari di atur oleh
peraturan daerah Kabupaten.
Pemerintahan nagari dipimpin oleh
seorang wali nagari, sedangkan
masyarakat anggota nagari disebut
dengan anak nagari atau rakyat
nagari. Di tiap kabupaten mempunyai
sebutan yang berbeda dalam hal ini,
misalnya, orang di kabupaten
Pasaman menyebut masyarakat nagari
dengan anak nagari, sedangkan di
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
111
8. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
Kabupaten Tanah Datar menyebutnya
dengan rakyat nagari. Di Kabupaten
Tanah Datar yang mengurus tentang
adat Badan Pertimbangan Adat dan
Syarak Nagari (BPASN) sedangkan di
Kabupaten Solok, disebut Majelis
Tungku Tigo Sajarangan.
Susunan organisasi pemerintahan
nagari telah mengalami perubahan-
perubahan. Hal ini karena faktor
sejarah dan politik yang melanda
Sumatera Barat. Pada setiap fase
situasi politik, nagari memiliki
susunan organisasi dan
operasionalisasi yang berbeda-beda.
Secara historis menurut informan,
pemerintahan nagari mengalami lima
tahap perkembangan pemerintahan
nagari yakni : (1) Pemerintahan
Nagari pada masa sebelum
penjajahan; (2) Pemerintahan Nagari
pada masa penjajahan; (3)
Pemerintahan Nagari pada masa
sesudah kemerdekaan; (4)
Pemerintahan Nagari pada masa
pemerintahan desa; (5) Pemerintahan
Nagari pada masa reformasi dan
otonomi daerah.
Kelima masa perkembangan
pemerintahan nagari ini masing-
masing memiliki warna yang berbeda.
Menurut Manan (1995) pada masa
pemerintahan nagari sebelum
penjajahan, kehidupan pemerintahan
nagari bersifat otonom, tidak ada
hubungan administrasi dengan
Kerajaan Pagaruyung. Kehidupan
nagari pada masa ini berjalan sesuai
adat di nagari masing-masing dan
kehidupan agama sesuai dengan surau
masing-masing. Ketika masa
penjajahan Belanda dan Jepang yakni
pemerintahan kolonial, pihak
penjajah mulai mencampuri dan
mengacaukan kehidupan kerajaan,
namun kehidupan nagari tidak
terganggu secara drastis karena
sifatnya yag otonom. Tapi suatu
ketika pihak penjajah mulai
mencampuri urusan nagari dengan
memasukkan oknum Penghulu Basurek
(penghulu yang disisipkan kedalam
pemerintahan nagari sebagai
perwakilan Belanda), menimbulkan
reaksi keras dari masyarakat nagari.
(Sjahmunir AM, 2000 Menurut
beberapa ahli, kehidupan nagari tidak
banyak diubah oleh Belanda, yakni
tidak mengubah sendi-sendi dan
dasar-dasar kehidupan nagari. Belanda
hanya membawa unsur yang
mempengaruhi seperti pendidikan,
birokrasi, institusi ekonomi modern,
asosiasi sosial politik, teknologi
pertanian, transportasi, komunikasi,
serta institusi kesehatan modern
(Sjahmunir AM, 2000; Manan, 1995).
Pemerintahan nagari pada masa
sesudah kemerdekaan adalah pada
masa pemerintahan orde lama,
dimana nagari berjalan sendiri-sendiri
karena pemerintahan pusat yang
masih bergolak dengan keadaan
politik bangsa Indonesia waktu itu
misalnya dengan masuknya Jepang
dan peristiwa G 30 S PKI .
Pemerintahan nagari pada masa itu
tergantung pada situasi politik pada
masa itu (Sjahmunir AM, 2000).
Pada masa Orde Baru, dengan UU
No 5 Tahun 1974, jelas penyeragaman
di seluruh Indonesia, pemerintahan
nagari dihapuskan dan digantikan
pemerintahan desa. Penyeragaman ini
menjadikan institusi pemerintahan
adat menjadi terabaikan. Menurut
Prof. Sjahmunir AM (guru besar
Universitas Andalas) respon dari elite
lokal dan hampir semua warga
Minangkabau cenderung negatif
karena identitas Minangkabau akan
hilang. Tapi karena ada janji
pemerintah pusat untuk terus
memelihara nagari dengan
diterbitkannya Perda No.13/1983
yaitu peraturan yang memelihara
eksistensi nagari sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat yang
berfungsi untuk membantu
pemerintahan dalam mengusahakan
kelancaran pembangunan di segala
bidang, mengurus hukum adat
istiadat, memberikan kedudukan
hukum adat terhadap hal-hal yang
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
112
9. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
menyangkut harta kekayaan nagari,
menyelenggarakan pembinaan dan
pengembangannya nilai-nilai adat
Minangkabau serta menjaga,
memelihara dan memanfaatkan
kekayaan nagari untuk kesejahteraan
masyarakat nagari ( Sjahmunir AM,
2000).
Namun pada prakteknya, nagari
pada masa pemerintahan desa sama
sekali tidak berjalan. Semakin lama
makin berkurangnya kewenangannya
untuk mengatur dan mengurus diri
sendiri termasuk kewenangan
mengatur dan mengurus aset/harta
kekayaannya, terutama dalam hal
pengambilan keputusan dan mengenai
keuangan desa. Desa dianggap
tertutup terhadap aparat pemerintah
nagari dan untuk-untuk urusan-urusan
adat saja melibatkan aparat nagari.
Bisa dikatakan fungsi KAN sama sekali
tidak ada. Demikian juga dengan
fungsi ninik mamak yang semakin hari
mengalami pergeseran.
Selama pemerintahan desa
berlangsung, terdapat sistem nasional
yang terwujud sebagai hubungan
pemerintahan atau negara dengan
masyarakat adalah hubungan yang
tidak seimbang sebagaimana yang
ditulis Suparlan (2000:3) sebagai
berikut :
“Pancasila dan UUD 1945 dapat
dilihat sebagai sebuah pedoman
menyeluruh dari sistem nasional
dalam mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka
Pancasila dan UUD 1945 adalah
kebudayaan ideal, sedangkan yang
aktualnya bisa menyimpang karena
disimpangkan oleh penguasa
sistem nasional. Sistem
pemerintahan Orde Baru yang
sentralistik membuat semua
aturan yang masuk berjenjang,
maksudnya dari pemerintahan
pusat, pemerintahan daerah
dalam hal ini propinsi, kabupaten,
kecamatan dan sampai kepada
desa. Hal ini menunjukkan bahwa
kuatnya dominasi kekuasaan dan
negara dengan sistem nasionalnya
terhadap masyarakat lokal. Sistem
nasional lebih kuasa atau dominan
dibandingkan dengan sistem suku
bangsa4
”.
Jika dilihat dari segi sejarahnya,
orang Minangkabau pernah melakukan
pemberontakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia),
yang menginginkan kemerdekaan
sendiri terpisah dari Jawa. Namun hal
itu mengalami kegagalan, dan orang
Minangkabau kembali terserap ke
dalam sistem nasional. Selama
pemerintahan desa, pemuka adat dan
agama tidak memiliki kewenangan
dalam mengambil kebijakan dalam
pemerintahan, orang-orang yang
berkepentingan di dalam adat dan
agama juga tidak mempunyai gerak
yang lebih leluasa, karena ada sistem
nasional yang mengatur dari atas.
Tidak disangsikan bahwa saat otonomi
daerah ini, pemuka adat dan agama
mempunyai peluang untuk
melancarkan berbagai strategi untuk
menegakkan kembali kekuasaan
mereka tersebut yang selama ini
dibatasi oleh kekuasaan
pemerintahan pusat.
Pada masa kembali Otonomi
Daerah ini, tiap kabupaten
44
Sistem Nasional adalah sebuah
wadah yang merupakan sebuah struktur dan
pedoman bagi warga masyarakat sebuah negara
sebagai acuan bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagai sebuah sistem, sistem
nasional mempunyai pedoman yang hakiki
sebagaimana yang ada dalam kebudayaan
nasionalnya (Pancasila dan UUD 1945, untuk
bangsa Indonesia), yang digunakan untuk
menjabarkan dan memproses masukan-
masukan guna dijadikan keluaran-keluaran
sesuai dengan diberadakan dan difungsikannya
sistem nasional tersebut. Sistem suku bangsa
adalah sebuah tatanan kehidupan atau
kebudayaan yang digunakan sebagai acuan
atau pedoman untuk hidup sebagai warga
masyarakat suku bangsa yang bersangkutan,
baik sebagai pribadi ataupun sebagai warga
masyarakat sukubangsanya. (Suparlan,2000)
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
113
10. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
melahirkan peraturan daerah masing-
masing sehingga tiap kabupaten
mempunyai peraturan sendiri-sendiri
yang diatur menurut peraturan daerah
(Perda) masing-masing kabupaten
tersebut. Dalam Perda yang dibuat
oleh setiap kabupaten telah
ditetapkan syarat-syarat sebuah
wilayah dapat menjadi nagari.
Nagari yang telah memenuhi syarat
tersebut mendapat pengesahan dari
bupati masing-masing. Kini, banyak
nagari-nagari yang baru muncul dan
untuk kepentingan itu pemerintah
melakukan pelatihan-pelatihan untuk
nagari-nagari tersebut. Setiap nagari
dipimpin oleh seorang wali nagari,
yang ditunjuk oleh masyarakat
setempat berdasarkan kriteria yang
baru pula (Buletin Nagari, 2003).
Sebuah nagari yaitu Pangek,
berada di Kabupaten Tanah Datar
Sumatera Barat. Kehidupan
keagamaan nagari ini dikenal oleh
nagari-nagari lain disekitarnya sebagai
nagari yang cukup “kental” dan
“strik” dengan kehidupan
keagamaannya maupun adat nya.
Nagari ini menjadi perhatian peneliti
untuk melihat fenomena di atas.
Nagari ini merupakan sebuah nagari
yang unik karena ia memiliki dua
kanagarian yaitu Padang Laweh
Pangek dan Guguak Pangek yang
masih merupakan satu keturunan dari
Duo Koto. Nagari ini memiliki dua
pesantren yang cukup terkenal yaitu
Pesantren Tarbiyah dan Pesantren
Muhamadyah. Demikian juga dengan
golongan keagamaannya, yakni
Tarbiyah dan Muhamadyah. Diketahui
juga Islam yang masuk ke
Minangkabau juga bukanlah Islam yang
seolah-olah homogen, dalam temuan
penelitian ini ajaran Islam sendiri di
Pangek memiliki alirannya sendiri,
ada yang lebih ekstrim ada yang
kurang ekstrim, Islam sendiri di
Pangek terdiri dari beberapa golongan
dan keyakinan-keyakinan yang
berbeda-beda. Setiap kaum elite yang
menganut golongan agama yang
berbeda-beda mempunyai reaksi yang
berbeda-beda pula. Dengan kembali
ke pemerintahan nagari, pemuka adat
dan pemuka agama di Pangek kembali
memiliki kewenangan dalam
mengambil kebijakan dalam
pemerintahan nagari. Nagari Pangek
yang dipimpin oleh seorang wali
nagari merupakan seorang pemuka
adat dan juga agama.
Isyu-isyu yang muncul sejak
kembali kepemerintahan nagari ini
juga di alami oleh nagari Pangek.
Apalagi nagari Pangek yang terkenal
dengan kehidupan keagamaannya dan
adat nya tersebut. Isyu-isyu agama
dan adat menyebar dan mendorong
masyarakat untuk melakukan tindakan
tertentu. Pemuka adat, pemuka
agama dan pejabat pemerintahan
(Tungku Tigo Sajarangan) di Pangek
merasa perlu kembali membenahi
kehidupan agama dan adat
masyarakat Pangek. Dengan
momentum kembali ke nagari ini
maka dirikan sebuah forum yang
bernama Masyarakat Adat Selingkar
Danau, yang fungsinya adalah untuk
mengurus masalah-masalah nagari,
terutama masalah yang berkaitan
dengan urusan-urusan yang merugikan
nagari. Misalnya saja, nagari Pangek
yang bersebelahan dengan sebuah
PLTA (Perusahaan Listrik Tenaga Air),
sering terdengar terjadi konflik antara
pihak PLTA dengan warga masyarakat
Pangek terutama tentang aktivitas
PLTA yang seringkali menganggu
tanah-tanah dan sawah-sawah
mereka.
Sebagaimana yang dikemukakan
Scott (1985:54) tentang hubungan
antara kelas di Sedaka. Yakni antar
kelas petani miskin dan petani kaya di
Sedaka yang menunjukkan dominasi
dari petani kaya terhadap petani
miskin yang disebutnya sebagai
kekuasaan simbolik:
“ kaum elite mengendalikan
sector-sektor ideologis dari
masyarakat—seperti budaya,
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
114
11. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
agama, pendidikan, dan media
massa—dan karena itu dapat
merekayasa persetujuan untuk
pemerintahan mereka. Dengan
menciptakan dan
menyebarluaskan wacana dan
konsep-konsep yang
mendampinginya, dengan
menentukan standar dari apa yang
benar, indah, bermoral, asli dan
sahih, maka mereka membangun
suatu iklim simbolik untuk
mencegah pendapat dari
masyarakat yang kurang
menguntungkan untuk mereka”.
Di sisi lain, pemuka agama dan
adat dalam pemerintahan nagari juga
merupakan aparat pemerintah yang
tunduk dengan peraturan-peraturan
pemerintah pusat. Seorang wali
nagari, yaitu pemimpin nagari adalah
menjadi perantara antara pemerintah
dan masyarakat nagari. Meski adanya
otonomi dalam pemerintahan nagari,
tidak berarti bahwa pemerintahan
nagari saat ini bisa mengambil
kebijakan yang sebebas-bebasnya,
mereka masih membutuhkan
pengakuan dan unsur-unsur lainnya
dari pemerintah pusat. Masyarakat
nagari dipayungi oleh pemerintahan
nagari, sedangkan pemerintahan
nagari diharapkan mewakili
masyarakatnya kepemerintahan,
Kabupaten, dan seterusnya. Artinya
pemerintahan nagari menjadi
perantara.
Elit politik lokal pada masa
otonomi daerah melakukan batas-
batas tertentu terhadap aturan-aturan
Negara, namun di pihak lain mereka
menyerap aturan Negara untuk
kebutuhan pengakuan dan legitimasi.
Istilah Negara disini mengacu kepada
aspek-aspek pengaturan, administrasi,
dan aparat yang harus ditaati ( Tsing,
1999). Dengan mengakomodasi
aturan-aturan dari Negara, para
pemuka adat dan agama ini
menggunakan atribut-atribut
pemerintahan nasional, misalnya baju
seragam Pemerintah Daerah yang
sekarang juga digunakan oleh aparat
pemerintah nagari, menggunakan
mobil dinas atau kendaraan dinas,
menginap di hotel-hotel untuk
mengadakan rapat, dan dalam hal
administrasif lainnya termasuk kalau
ada bantuan-bantuan program
pemerintah.
Di sisi lain sebagian kelompok elit
lokal melemparkan isu perlawanan
misalnya tidak menyukai aparat
pemerintah yang korupsi, tidak
menyukai unsur-unsur dari luar yang
membahayakan adat dan agama
mereka, misalnya menolak kegiatan
pariwisata yang cenderung tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat
setempat. Hasrat ini disampaikan
dengan cara yang menghindari
konfrontasi langsung, melalui pantun,
sindir menyindir, atau petatah petitih
sebagaimana yang dikemukakan Tsing
(1999:35):
“Dapatkah seseorang berada di
dalam dan di luar negara pada
saat yang sama? Uma Adang
memperkenalkan penulis paradoks
ini : Kepala kampung berada di
luar Negara tetapi mengikatkan
diri mereka padanya; mereka
mencerminkan Negara secara lokal
meskipun jauh terpencil darinya.
Sebagai manusia yang berbeda
kebudayaan, mereka tak pernah
bisa menjadi warga Negara;
mereka tak pernah bisa
melepaskan diri dari
kewarganegaraan……Masyarakat
yang saya kaji ini benar-benar
sadar bahwa program pemerintah
membahayakan sumber daya
mereka dan membiarkan mereka
sebagai “tidak beradab”. Lalu,
mengapa para pemimpin desa
begitu ingin agar peraturan
pemerintah dijalankan? Uma
Adang memperkenalkan saya
retorik kebijakan lokal dalam
menghadapi semua kebijakan
Negara, apalagi hal-hal yang tak
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
115
12. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
diharapkan. Ia memperkenalkan
perpaduan antara raja kuno dan
presiden modern……Setelah itu
baru saya menghargai kaitan
hubungan antara kepatuhan dan
pengakuan otonomi. Sikap
oposisinya terlihat dalam
perubahan mimik wajah,
ungkapan-ungkapan lisan, dan
perilaku menjauh dari kekuasaan,
bukan menentang secara terbuka
terhadap kekuasaan. Obsesinya
akan upacara sudah terlalu banyak
untuk Negara demi tercapainya
keteraturan……Mereka
membutuhkan retorik Negara
untuk membangun otoritas mereka
dan menghimpun masyarakat.
Mereka berupaya menyerap
aturan-aturan Negara, tetapi
mereka juga kadang-kadang
tergelincir di jalan yang licin.
Parodi Uma Adang yang saya amati
memancarkan perpaduan
akomodasi dan resistensi.
Perpaduan itulah yang menjadi
tugas utama di desa sebagai
perantara antara pemerintah dan
masyarakat.”
Pejabat pemerintahan lokal
berada pada posisi antara pemerintah
pusat dan masyarakat. Demikian juga
dengan penelitian Scott (1985) di
Sedaka, yang mengambarkan bahwa
kekuasaan juga dimiliki oleh kaum
miskin, yang dilihat dari bentuk
sehari-hari perlawanan petani, ada
unsur kepatuhan dan perlawanan
yang disebut sebagai kekuasaan
simbolis. Sementara itu terjadi
resistensi diantara elit lokal sendiri.
Diantara mereka terjadi persaingan
untuk memperoleh kedudukan.
Persaingan dalam politik lokal, bisa
dilihat dalam proses pemilihan wali
nagari. Isyu tentang bagaimana
kriteria seorang wali nagari kemudian
dibangun. Misalnya kriteria seorang
wali nagari atau pejabat lainnya
dalam pemerintahan nagari, ada
kriteria seorang wali nagari atau
aparat pemerintahan nagari adalah
orang yang bertaqwa kepada Allah
SWT, bukan kepada Tuhan YME.
Ketaqwaan ini dapat dilihat dari
tingkat keimanan dan kesalehan
seseorang. Seorang informan ,
mengatakan bahwa ini dapat dilihat
dari siak atau tidaknya seseorang itu.
Siak mirip dengan saleh. Orang yang
siak menurut warga masyarakat
adalah orang yang melakukan atau
orang yang tidak pernah meninggalkan
shalat lima waktu sehari semalam,
melakukan ibadah puasa, rajin ke
mesjid, rajin ikut acara pengajian,
berzakat dan mempunyai hubungan
baik dengan warga nagari, serta tentu
saja selama ini tidak pernah
melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan ajaran agama. Ketika peneliti
bertanya kembali, apakah wali nagari
sekarang dan aparatnya itu orang
siak?, informan itu mengatakan bahwa
iya, mereka adalah orang-orang yang
rajin sembahyangnya serta rajin
kemesjidnya, dan dengan demikian
mereka bisa dikatakan sudah siak,
dan bisa dipercaya dalam memimpin
nagari. Orang yang tidak siak tidak
bisa dipercaya untuk memimpin
nagari ini.
Di dalam salah satu syarat
mencalonkan diri sebagai wali nagari
juga ditegaskan bahwa seorang wali
nagari diwajibkan membuat surat
pernyataan bahwa ia akan
menjalankan syariat Islam dengan
baik, dan juga akan menjalankan adat
dengan baik. Artinya seorang wali
nagari memang orang yang
berkewajiban menjalankan kedua hal
tersebut. Ini adalah kriteria yang
diinginkan oleh masyarakat. Oleh
karena itu seorang yang menginginkan
kedudukannya sebagai wali nagari
harus bisa menunjukkan bahwa ia
adalah orang yang siak. Sehingga
kontestasi symbol-simbol keagamaan
diantara elit lokal seringkali
digunakan.
Hal ini juga terlihat dalam struktur
organisasi KAN yang berfungsi
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
116
13. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
kembali. Dimana adat dihidupkan
kembali dalam pemerintahan. Yakni
dimensi adat menjadi pertimbangan
dalam mengambil keputusan pada
pemerintahan nagari. Sejajarnya
posisi KAN dan Wali Nagari, keduanya
dianggap sebagai mitra kerjasama
dalam mengurus pemerintahan nagari
maka segala keputusan yang diambil
oleh wali nagari berdasarkan
pertimbangan adat nagari Pangek
tersebut. Anggota KAN terdiri dari
ninik mamak yang bergelar datuk atau
penghulu. Mereka dikatakan sebagai
ujung tombak dalam berjalannya
adat, mereka yang menetapkan
aturan-aturan adat di nagari Pangek
dan lembaga yang bertanggung jawab
atas kejadian-kejadian adat. Pada
masa pemerintahan desa, KAN apabila
ada acara-acara penyambutan tamu
seperti pejabat datang maka anggota
ninik mamak yakni penghulu
diwajibkan memakai baju adat. KAN
pada saat ini dilibatkan dalam
berbagai proyek pemerintahan nagari
terutama masalah keuangan, misalnya
akhir-akhir ini ada bantuan keramba
50 juta rupiah bekerja sama dengan
pejabat pemerintah kecamatan dan
kabupaten, dan anggota KAN ambil
bagian dalam hal ini. KAN dalam masa
pemerintahan nagari juga melahirkan
peraturan sendiri, khusus mengenai
adat, sekarang tiap ada kejadian pasti
KAN turun tangan.
Dengan diberdayakannya kembali
KAN otomatis peran ninik mamak
dibangkitkan kembali. Ninik mamak
adalah orang yang bergelar datuk atau
penghulu di suku atau kaumnya. Pada
masa Pemerintahan Desa ninik
mamak merasa dilecehkan dan tidak
dianggap. Pada masa itu kemanakan
(ponakan) lebih keras dari pada ninik
mamak, dan ninik mamak takut
kepada kemanakannya. Ini
diakibatkan oleh tingkat pendidikan
ninik mamak yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan anak
kemenakannya. Sehingga ninik mamak
tidak dipandang pendapatnya oleh
anak kemanakannya.
Saat ini dengan kembali
kepemerintahan nagari, ninik mamak
kembali didengarkan. Untuk
mengimbangi tingkat pendidikan yang
jauh tersebut, maka dalam regenerasi
ninik mamak, diangkat ninik mamak
dari generasi muda yang bergelar
sarjana. Sekarang ini apabila seorang
anak nagari melakukan kesalahan yang
dipanggil dan ditegur adalah ninik
mamaknya, bukan orang tuanya.
Demikian juga pertanggungjawaban
atas tanah atau harta benda ulayat
kaum, aturan dalam peristiwa adat,
masih dipegang oleh ninik mamak
suatu kaum atau suku tersebut.
Namun, dalam hal
pertanggungjawaban sebagai ayah
terhadap anak misalnya biaya hidup
sehari-hari masih tetap menjadi tugas
orang tua. Ini dikarenakan terjadinya
perubahan social yang besar dalam
system kekerabatan orang
Minangkabau, bergesernya peran
mamak, bubarnya kehidupan rumah
gadang dan semakin menguatnya
keluarga inti.
Menurut wali nagari dan jorong,
saat ini peran ninik mamak belum
berjalan secara maksimal kembali.
Karena banyak ninik mamak juga yang
tidak memberikan contoh yang baik
kepada anak nagari. Dalam hal ini
terlihat bahwa diantara ninik mamak
sendiri juga bukan golongan yang solid
satu sama lain. Diantara ninik mamak
sebagai elite adat, terdapat berbagai
perbedaan yang mendorong mereka
untuk mendapatkan pengaruh dan
kepercayaan masyarakat. Untuk itu
diantara kelompok berupaya untuk
menunjukkan bahwa merekalah yang
paling tahu tentang adat.
Salah satu akibatnya adalah
berlombanya pemakaian kembali
gelar datuk atau penghulu di Pangek.
Ini dilakukan untuk mengambil simpati
masyarakat agar mendukung elite
yang terkait tersebut. Kalau
dahulunya tidak banyak masyarakat
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
117
14. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
yang berminat akan gelar ini,
sekarang banyak warga yang
berminat, terutama dari kalangan
perantau yang sudah berhasil di
rantau, punya banyak uang dan punya
gelar pendidikan yang tinggi. Warga
masyarakat atau warga suatu kaum
tertentu juga akan memilih warga
masyarakat yang mempunyai gelar
pendidikan yang tinggi untuk dijadikan
datuk atau penghulu di kaum atau
sukunya. Kalau dahulunya gelar datuk
diberikan pada kemenakan yang
tertua laki-laki, namun orientasi itu
sekarang sudah mulai berubah, warga
masyarakat lebih condong kepada
kemanakannya yang memiliki gelar
pendidikan yang tinggi. Ini
dikarenakan kalau penghulu bukan
dari orang yang bergelar pendidikan
tinggi tidak didengarkan oleh warga
kaumnya, karena banyak anak
kemanakannya yang pendidikannya
jauh lebih tinggi. Pendidikan tinggi
merupakan suatu prestise bagi
masyarakat kaum tersebut. Namun,
bukan hanya sekedar pendidikan yang
menentukan, tetapi juga ketaatan
orang tersebut terhadap ajaran
agama, meski pendidikannya tinggi
namun tidak menjalankan perintah
agama maka juga tidak diperkenankan
oleh masyarakat. Apalagi sekarang ini
orang yang sekolah di rantau, banyak
yang sudah melupakan ajaran agama,
dan adat. Ini yang perlu diantisipasi
oleh warga kaumnya, dan juga
seseorang yang tidak bisa mengaji
atau membaca alqur’an juga tidak
dibenarkan meski pendidikannya
tinggi. Ada diantara informan yang
mengatakan bahwa lebih baik hidup di
kampung karena bisa belajar mengaji,
sedangkan dirantau banyak yang tidak
bisa mengaji, apalagi bayaran uang
untuk sekolah mengaji di rantau
mahal.
Untuk Proses pelestarian adat,
dilakukan pengajaran adat kepada
generasi muda. Di Nagari Pangek
dilakukan pengajaran cara
penyambahan oleh kaum ninik mamak
kepada generasi muda. Panyambahan
adalah semacam petatah petitih
dalam bahasa Minangkabau, semacam
sastra lisan yang bertujuan untuk
saling bertukar pikiran terutama
dalam peristiwa-peristiwa adat. Tidak
banyak orang yang bisa melakukan ini,
biasanya yang bisa hanya penghulu
yang mahir saja. Saat ini di Pangek ini
dicoba dihidupkan kembali, agar tidak
hilang begitu saja adat ini, karena
sudah banyak yang tidak
mengetahuinya lagi. Untuk
melestarikannya maka para ninik
mamak dan penghulu mengadakan
semacam kursus yang mereka lakukan
tiap malam sabtu, dengan mengajari
generasi muda yang berminat untuk
berlatih pasambahan. Menghafal
pasambahan hanya dilakukan oleh
laki-laki, karena ini hanya
diperuntukkan untuk laki-laki ketika
melakukan upacara adat atau
peristiwa adat lainnya. Setiap murid
yang belajar diwajibkan menghafal
pasambahan yang terdiri dari kata
patath petitih yang saling bersautan
satu sama lainnya. Pasambahan ini
sekarang tidak hanya diajarkan di
nagari melainkan juga diajarkan di
sekolah-sekolah mulai dari SLTP dan
SLTA, diwajibkan bisa membaca
pasambahan. Mata pelajaran ini
dimasukkan dalam kurikulum muatan
lokal adat Minangkabau. Disamping itu
semua pelajar dari SD sampai SMU
diwajibkan untuk memakai pakaian
muslim, misalnya mengenakan jilbab
dan baju koko, sebagai salah satu
wujud kembali ke agama.
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
118
15. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
KESIMPULAN
Masyarakat Minangkabau secara
umum memiliki keyakinan bahwa
kembali ke nagari adalah kembali ke
adat dan agama sebagai identitas dan
jati diri. Namun kepentingan politik
ikut mewarnai. Ada kontestasi di
antara elit lokal yang berbentuk
resistensi, akomodasi, friksi, negosiasi
dan kompromi. Resistensi di sini
adalah resistensi elite demi kekuasaan
dalam konteks politik maupun
kebudayaan sehingga terbangunnya
kontestasi politik elit lokal. Resistensi
disini melekat pada kekuasaan.
Artinya tidak hanya dimiliki oleh
kelompok yang lemah (powerless)
melainkan dimiliki oleh kelompok
yang berkuasa. Ada resistensi yang
secara terang-terangan mereka
lakukan (resistensi terbuka), ada yang
juga secara diam-diam mereka
lakukan (resistensi tersembunyi). Dan
ditemukan ada variasi resistensi di
dalam tubuh nagari tersebut. Di satu
pihak elite melakukan resistensi
terhadap budaya “asing” dan sistem
nasional. Disisi lain melakukan
akomodasi dengan Negara untuk
legitimasi kekuasaan dari pusat.
Hubungan Nagari dan Negara adalah
dua hubungan yang “maju mundur”.
Terakhir, nagari adalah imajinasi.
Rekonstruksi nagari adalah
membangun nagari yang baru, karena
banyak tafsiran, interpretasi,
perdebatan, pertentangan dan
pertarungan. Nagari pada masa
otonomi daerah adalah “new Nagari”
yang mirip tapi tidak sama dengan
nagari-nagari sebelumnya. Jadi
kembali ke identitas adalah
rekonstruksi identitas baru pula.
Sebagian elit lokal terbuai ada
imajinasi masa lampau tentang jati
diri dan identitas tapi perubahan
social budaya yang besar dalam
masyarakat Minangkabau tidak bisa
dihindarkan.
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
NEGARA (SISTEM
NASIONAL)
OTONOMI
DAERAH
Rekonstruksi
nagari
ELIT
LOKAL
KONTESTASI
Resistensi
Friksi,
Negosiasi,
Akomodasi
Kompromi.
Imajinasi/
New nagari/
New identity
Social
change
Identitas/jati
diri
Agama dan
Adat
Kekuasaan Konflik
119
16. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.7, Juli-Desember
2009
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Lughod, Lila. (1990). The
Romance of Resistance : Tracing
Tranformation of Power Through
Bedouin Woman. American
Ethnology. No. 32, p. 27-39.
Abdullah, Taufik (1976) Identity
Maintenance and Crisis of
Identity in Minangkabau. Jakarta
: LIPI.
Afrizal (1999) Busung Lapar dan Krisis
Partisipasi Sosial. Mimbar
Minang, 31 Mei 1999.
______(2002) Rekonstruksi Nagari dan
Gerakkan Perempuan : Kajian
Kritis Terhadap Posisi dan
Peranan Perempuan dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah Di
Sumatera Barat. Jurnal
Antropologi IV/6-2002
Bachtiar, Harsja W. ( 1964) Negeri
Taram: Masjarakat Desa
Minangkabau. Dalam
Masyarakat Desa di Indonesia
(Koentj,ed) Jakarta : FE UI
Buletin Nagari. (2003). Biro
Pemerintahan Nagari. Edisi
01/2003 Padang : Setda Padang.
Beckman, F Von Benda dan L.L
Thomas. (2002). Between
Global Forces and Lokal Politics:
Decentralisation And
Reorganisation of Village
Government In Indonesia. Paper
In Max Planck Institute for
Social Anthropology, Halle,
Germany.
Esten, Mursal (2002) Identity Melayu
Minangkabau dalam proses
Perubahan Budaya. Makalah
dalam seminar Internasional
Menelusuri Jejak Melayu
Minangkabau melalui Bahasa dan
Budaya. Kampus Limau Manis
UNAND Padang.
Foucault, M. (1978)
Power/Knowledge. The
Harvester Press, Sussex.
Guindi, Fadwa El (1999) Jilbab Antara
Kesalehan, Kesopanan, dan
Perlawanan. Jakarta. PT Seranti.
Hammersley, Martyn dan Paul
Atkinson (1983) Ethnography
Principles and Practice.
Tavistock Publication.
Kato, Tsuyoshi (1978). “Change and
Continuity in the Minangkabau
Matrilineal System”. Indonesia
no.25, pp. 1-15.
Kato, Tsuyoshi ( 1982). Matrilinity
and Migration. Ithaca dan
London : Cornell University
Press.
Kato, Tsuyoshi (1988) Perubahan
sosial Minangkabau dalam
Perspektif Perbandingan.
Makalah disampaikan pada
Seminar Internasional di
Bukittinggi, 1988.
Manan, Imran. (1995) Birokrasi
Moderen dan Otoritas
Tradisional di Minangkabau
(Nagari dan Desa di
Minangkabau). Padang :
Yayasan Pengkajian Kebudayaan
Minangkabau.
Naim, Muchtar. (2002) Menelusuri
Jejak Budaya Melayu
Minangkabau Melalui
Pendekatan Konflik. Makalah
dalam seminar Internasional
Menelusuri Jejak Melayu
Minangkabau melalui Bahasa dan
Budaya. Kampus Limau Manis
UNAND Padang.
Nasroen,M (1971). Dasar Falsafah Adat
Minangkabau.Djakarta : Bulan
Bintang
Sjahmunir. AM. 2000. Tanah Ulayat
dalam Pemerintahan Nagari.
Padang; Lembaga Penelitian
UNAND
Scott, J. (1985). Weapons of The
Weeks. Yale University Pres.
Scott,J dan Benedict Tria Kirkvliet, ed
(1990) Everyday Forms of
Peasant Resistance In Southeast
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
120
17. Bartoven Vivit Nurdin, Antara Nagara dan Nagari
Asia. Journal of Peasant Studies
(special Issue)
Spencer, Jonathan & Alan Barnard
( 1997) Encyclopedia of Social
and Cultural Anthropology.
London&New York : Routledge.
Suparlan, Parsudi (2000) Masyarakat
Majemuk dan Perawatannya.
Jurnal Antropologi Indonesia.
Tahun XXIV no. 63.
Tsing, Anna Lowenhaupt ( 1999)
Dibawah Bayang-Bayang Ratu
Intan (Terjem). Jakarta : Obor
Indonesia
Undang-Undang Otonomi Daerah
beserta Juklak.(2000). Jakarta :
Penerbit Arkola
Wolf, E. ( 2001) Pathways of Power .
Berkeley: University of
California Press.
ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429
121