Nila88 : Situs Slot Gacor Scatter Hitam Mahjong & Link Slot Resmi Hari Ini
MENGASUH ANAK MENURUT AJARAN ISLAM
1. Mumayyiz Islam memiliki pengertian anak yang telah mencapai usia sekitar 7
tahun, dianggap bisa membedakan antara hal bermanfaat dan berbahaya bagi
dirinya. Istilah Mumayyiz merujuk pada seseorang yang telah mampu melakukan
banyak hal, baik tindakan untuk diri sendiri maupun orang lain.
Mumayyiz dalam Islam memiliki pengertian anak yang telah mencapai usia sekitar
7 tahun dan dianggap bisa membedakan antara hal bermanfaat dan hal berbahaya
bagi dirinya. Istilah Mumayyiz sendiri merujuk pada seseorang yang telah mampu
melakukan banyak hal, baik tindakan untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Meski begitu, anak yang telah mencapai usia Mumayyiz, tindakannya masih
berada di bawah pengawasan orang tua atau orang dewasa. Seorang Mumayyiz
disebut sudah sempurna kemampuan fisik, otak dan mentalnya jika mereka sudah
memasuki usia baligh. Seperti diwartakan NU Online, usia baligh dapat dimaknai
sebagai sebuah masa di mana seorang mulai dibebani dengan beberapa hukum
syara’. Oleh karena tuntutan hukum itulah orang tersebut dinamakan mukallaf.
Namun, tidak semua baligh disebut mukallaf, karena ada sebagian baligh yang
tidak dapat dibebani hukum syara’ seperti orang gila. Atas hal tersebut, maka
muncul istilah aqil baligh yaitu orang yang telah mencapai kondisi baligh dan
berakal sehat atau mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara
yang benar dan yang salah. Jadi, seseorang yang sudah baligh akan dibebani
hukum syara’ apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan
orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan
tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah. Rasulullah
SAW bersabda: “Diangkatkan pena (tidak dibebani hukum) atas tiga (kelompok
manusia), yaitu anak-anak hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang
gila hingga sembuh." (HR Abu Dawud). Tanda-tanda akil baligh Syaikh Salim bin
Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najah menyebutkan ada 3 (tiga) hal
2. yang menandai bahwa seorang anak telah menginjak akil baligh: 1. Usia telah
mencapai 15 tahun bagi laki-laki atau perempuan 2. Bermimpi (junub) bagi laki-
laki dan perempuan ketika melewati umur sembilan tahun. 3. Keluar darah haidh
bagi perempuan sesudah berumur sembilan tahun. Berikut ini penjelasan ketiga
tanda tersebut seperti dilansir dari situs NU. 1. Sempurnanya umur lima belas
tahun berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan dengan menggunakan
perhitungan kalender hijriah atau qamariyah. Seorang anak, baik laki-laki maupun
perempuan yang telah mencapai umur lima belas tahun ia telah dianggap baligh
meskipun sebelumnya tidak mengalami tanda-tanda baligh yang lain. 2. Keluarnya
sperma (ihtilaam) setelah usia sembilan tahun secara pasti menurut kalender
hijriyah meskipun tidak benar-benar mengeluarkan sperma, seperti merasa akan
keluar sperma namun kemudian ia tahan sehingga tidak jadi keluar. Keluarnya
sperma ini menjadi tanda baligh baik bagi seorang anak laki-laki maupun
perempuan, baik keluar pada waktu tidur ataupun terjaga, keluar dengan cara
bersetubuh (jima’) atau lainnya, melalui jalannya yang biasa ataupun jalan lainnya
karena tersumbatnya jalan yang biasa. 3. Haid atau menstruasi menjadi tanda
baligh hanya bagi seorang perempuan, tidak bagi seorang laki-laki. Ini terjadi bila
umur anak perempuan tersebut telah mencapai usia sembilan tahun secara
perkiraan, bukan secara pasti, di mana kekurangan umur sembilan tahunnya kurang
dari enam belas hari menurut kalender hijriyah.
Baca selengkapnya di artikel "Mengenal Mumayyiz dalam Islam atau Anak yang
Telah Berusia 7 Tahun", https://tirto.id/f51J
3. umayyiz umur berapa?
Mumayyiz bisa juga disebut sebagai masa peralihan menuju balig, saat seorang anak
sudah memasuki usia balig maka otomatis ia wajib untuk menjalankan ibadah. Para
ulama kalangan ahli fiqih sepakat bahwa anak yang sudah memasuki
usia mumayiz adalah berumur sekitar 7 tahun.
Apa syarat mumayyiz?
Mumayiz. Mumayiz adalah anak yang telah mencapai usia sekitar 7-10 tahun, dianggap
bisa membedakan antara hal buruk dan baik bagi dirinya.
4. MENGASUH ANAK MENURUT AJARAN ISLAM
Oleh : Drs. Juhar
Penghulu Madya KUA Kec. Padang Utara Kota Padang
ABSTRAKSI
Masalah yang paling dominan yang selalu dibicarakan oleh ulama fiqih ketika
berbicara tentang masalah mengasuh anak (Hadhonah) dalam rangka
memelihara dan menjaga kelangsungan dan kelestarian kehidupan bayi yang
baru lahir. Hadhonah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum
mampu mengurus kehidupannya sendiri dengan menyediakan sesuatu untuk
kesejahteraan dan kemaslahatannya, menjaga dari sesuatu yang menyakitinya
dan membahayakannya, mendidik dan membina jasmani dan rohaninya,
melatih akalnya agar mampu berdiri sendiri untuk menghadapi hidup dan
kehidupan serta memikul tanggung jawab.
A. Latar Belakang
Pernikahan atau perkawinan merupakan Sunnah Rasulullah SAW yang
disyariat kepada umatnya untuk dapat dilaksanakan bagi orang (umat) yang
sudah mempunyai kesanggupan untuk berumah tangga. Dan bahkan Nabi
Muhammad SAW melarang umat hidup membujang yaitu enggan kawin
dengan maksud untuk tekun ibadah, menjauhkan diri dari kesenangan dunia
dan menghindarkan diri dari kewajiban mengasuh atau memelihara anak.
Pernikahan juga merupakan ibadah apabila dilaksanakan dengan tulus
ikhlas mengharap ridho Allah, serta untuk mendapatkan keturunan yang
halal sebagai generasi penerus dan pewaris dari generasi sebelumnya. Untuk
menyelamatkan keturunan yang dilahirkan itu, Islam mengajarkan dalam Al-
Qur’an dan hadits, adanya tanggung jawab kepada kedua orang tua untuk
mengasuh atau memelihara dalam bentuk memberi nafkah, merawat,
mendidik, menyayangi dan mengasihi sejak kecil sampai dia dewasa atau
sudah mampu hidup mandiri.
Dalam penerapan konsep Islam tentang mengasuh anak (Hadhonah)
ini, kurang memasyarakat, dan bahkan diabaikan dan dilanggar oleh orang
tua. Betapa banyaknya kasus adopsi, penganiayaan orang tua terhadap
anak, anak-anak yang ditelantarkan oleh orang tua, anak yang terombang
ambing yang tidak jelas status pemeliharaannya, dijumpai di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dalam bentuk kajian
5. ajaran Islam harus kita sosialisasikan dan kita terapkan serta
dikoordinasikan dengan berbagai komponen yang terkait, agar konsep Islam
tentang “Hadhonah” ini dapat ditegakkan dan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya.
B. Hadhonah
1. Pengertian
Dalam istilah fiqih digunakan dua kata namun ditujukan untuk
maksud yang sama yaitu “Kaffalah” dan Hadhonah”. Yang dimaksud
dengan Hadhonah atau Kaffalah dalam arti sederhana ialah pemeliharaan
atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan
anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini
dibicarakan dalam fiqih karena secara praktis antara suami dan isteri
telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari
ayah atau ibunya.
2. Hukum dan Dasar Hukumnya
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumya
adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam
ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah
Allah untuk membiayai anak dan isteri. Dalam firman Allah pada surah Al-
Baqarah ayat 233 :
Artinya : “Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian
untuk anak dan isterinya”.
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun
juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Di dalam UUP No. 1 tahun 1974, Bab IX tentang kedudukan anak
pasal 42, anak yang syah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang syah. Pasal 43 ayat 1, anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
6. Kemudian pada Bab X mengatur hak dan kewajiban antara orang
tua dan anak. Pasal 45 ayat 1: Kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Ayat 2: Kewajiban orang tua
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
C. Rukun dan Syarat
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur
yang menjadi rukun dalam hukumnya yaitu orang tua yang mengasuh
disebut “Hadhin” dan anak yang diasuh “Mahdun”. Keduanya harus
memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan syahnya tugas
pengasuhan itu. Syarat-syarat orang yang melakukan Hadhonah itu ialah :
1) berakal sehat,
2) dewasa dan mampu mendidik anak kecil,
3) dapat dipercaya untuk merawat dan mendidik anak,
4) beragama Islam,
Artinya : “Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk
menguasai orang-orang mukmin” (An Nisa’: 141)
5) wanita itu belum kawin lagi dengan orang lain (yang tidak ada hubungan
kekerabatan dengan bekas suaminya/ayah si anak). Nabi bersabda :
“Kamu lebih berhak untuk melakukan hadhonah selama kamu belum
kawin”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
6) Merdeka. Menurut jumhur ulama, sebab hamba sahaya akan sibuk
dengan urusan tuanya. Menurut Ibnul Qayyim alasan pendapat jumhur ini
tidak tepat. Menurut Malik boleh hamba sahaya
melakukan hadhonah artinya ia lebih berhak daripada bapaknya selama
hamba sahaya itu tidak dijual
D. Siapakah yang Berhak Melakukan Hadhonah
7. Hadhonah atau mengasuh anak pada hakikatnya merupakan tanggung
jawab kedua orang tua, baik ibu maupun bapak, mengingat bahwa anak
adalah hasil dari perkawinan keduanya. Akan tetapi apabila kedua orang
tuanya bercerai, maka dalam pemeliharaan anak ini Islam telah
mengaturnya dengan baik, demi kepentingan dan kemaslahatan anak itu
sendiri, agar ia tidak terombang ambing kesana kemari, yang paling berhak
melakukan hadhonah adalah ibu. Dalam hubungan ini
Rasulullah SAW bersabda kepada seorang ibu, “Engkau lebih berhak
terhadapnya selama engkau belum kawin lagi (dengan laki-laki lain). (H.
Ahmad dan Abu Daud). Hadits ini disabdakan Rasulullah SAW ketika ada
seorang wanita yang telah diceraikan suaminya melapor kepada
Rasulullah SAW bahwa bekas suaminya akan mengambil bayi buah hatinya
yang lahir dari hasil perkawinannya itu.
Hadits di atas menunjukkan bahwa ibu lebih berhak untuk
melakukan hadhonah terhadap anaknya daripada bapaknya. Sebab secara
naluri ibu lebih sabar, lebih sayang, lembut, lebih banyak mempunyai waktu
dan kemampuan untuk mengasuh dan merawat anaknya.
Diriwayatkan bahwa Umar menceraikan isterinya salah seorang wanita
Anshar. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak yang bernama “Ashim”.
Bekas isteri Umar tersebut sudah kawin lagi dengan orang lain. Pada suatu
hari Umar melihat Ashim di tengah jalan, ia langsung mengambilnya karena
rindunya. Maka terjadilah sengketa antara Umar dan bekas isterinya itu (ibu
Ashim) memperebutkan Ashim. Sampai hal itu kepada khalifah Abu Bakar.
Akhirnya khalifah Abu Bakar memutuskan bahwa yang berhak merawat dan
mengasuh anak itu adalah ibunya. Beliau berkata bahwa ibunya lebih
pengasih, lebih sayang, lebih sabar, lebih telaten, lebih lembut dan lebih
baik.
Apabila ibu tidak dapat melakukan hadhonah, maka kerabat lebih
berhak melakukan hadhonah dengan urutan sebagai berikut : 1) nenek dari
pihak ibu (ke atas), 2) nenek dari pihak ayah (ke atas), 3) saudara
perempuan seayah seibu, 4) saudara perempuan seibu, 5) saudara
perempuan seayah, 6) anak perempuan saudara perempuan seayah seibu,
7) anak perempuan saudara perempuan seibu, 8) anak perempuan saudara
perempuan seayah, 9) saudara perempuan ibu yang seayah dan seibu, 10)
saudara perempuan ibu yang seibu, 11) saudara perempuan ibu yang
seayah, 12) anak perempuan saudara laki-laki seayah seibu, 13) anak
perempuan saudara laki-laki seibu, 14) anak perempuan saudara laki-laki
8. seayah, 15) saudara perempuan bapak yang seayah seibu, 16) saudara
perempuan bapak yang seibu, 17) saudara perempuan bapak yang seayah,
18) dan seterusnya. Apabila wanita-wanita tersebut tidak ada, yang berhak
melakukan hadhonah adalah ayah, kemudian kakek ke atas, saudara lelaki
kandung, saudara lelaki seayah, anak saudara lelaki seayah seibu, anak
saudara lelaki seayah, paman seibu, dan paman seayah.
E. Batas atau Masa Berlangsungnya Hadhonah
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat sebagai berikut :
1. Pendapat Hanafiyah: Lamanya 9 tahun atau setelah haidh bagi anak
perempuan atau setelah sampai pada tingkat syahwat. Bila anak telah
berumur 9 tahun atau bagi anak perempuan sudah haidh, atau sudah
sampai tingkat syahwat, ayah hendaklah mengambilnya.
2. Pendapat Imam Syafi’i: Tidak ada batas waktu tertentu. Apabila anak
kecil telah mampu membedakan mana ayah dan mana ibunya, anak
tersebut disuruh memilih antara keduanya, atau antara ayah dan yang
berhak melakukan hadhonah. Bila anak tersebut tidak memilih salah
satunya, hak hadhonah jatuh pada ibunya.
3. Pendapat Imam Maliki: Sejak kecil sampai baligh (dewasa) sekalipun
setelah baligh anak tersebut menjadi gila, namun bapak tetap wajib
memberikan nafkah kepadanya, demikian apabila anak tersebut lelaki.
Bila perempuan masa hadhonah berlangsung sehingga anak itu
dikawinkan.
4. Pendapat Imam Hambali: Masa hadhonah, baik untuk anak laki-laki
maupun perempuan adalah 7 tahun. Apabila kedua orang tuanya
berselisih, anak itu disuruh memilih salah satu antara kedua orang
tuanya.
5. Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa masa hadhonah tidak
mempunyai batas tertentu. Yang dipakai ukurannya ialah bila anak itu
tidak memerlukan lagi pelayanan dari seorang ibu atau wanita, telah
mampu mengurus diri sendiri dalam memenuhi kebutuhan pokoknya,
seperti: makan, mandi, berpakaian, mencuci dan lain-lain.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
9. Ayat 1 : Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum melangsungkan perkawinan.
Ayat 2 : Orang tuanya mewakili anak tersebut mengerti segala perbuatan
hukum di dalam diluar pengadilan.
Ayat 3 : Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.
F. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas antara lain dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Islam sangat memperhatikan kelangsungan hidup anak, untuk itu Islam
sangat memperhatikan perawatan, dan pendidikannya yang pada
prinsipnya dibebankan dan menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.
Dalam kondisi kedua orang tuanya bercerai, agar anak itu tidak
terombang ambing dan ada yang bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan anaknya, Islam telah menyari’atkan hadhonah.
2. Ajaran Islam tentang hadhonah ini kurang memasyarakat. Untuk itu agar
anak-anak kita selaku generasi penerus ini menjadi baik
pertumbuhannya, baik jasmani maupun rohani, hendaklah ajaran Islam
ini kita masyarakatkan.
3. Kalau dewasa ini banyak anak nakal, salah satu sebabnya adalah
lantaran umat Islam yang mayoritas ini belum melaksanakan sepenuhnya
ajaran Islam tentang mengasuh dan mendidik anak.
4. Kajian ajaran Islam yang berhubungan dengan masa depan anak, masa
depan manusia, terutama yang berhubungan dengan tuntunan
bagaimana caranya kita menciptakan generasi mendatang yang baik dan
berkualitas, hendaklah kita galakkan.
10. PENDIDIKAN ANAK DALAM
KANDUNGAN PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Burhan Nudin, S.Pd.I., M.Pd.I.
Islam memandang pendidikan sebagai suatu proses dalam rangka mempersiapkan manusia untuk
mampu mengemban amanah sebagai khalifah dimuka bumi. Oleh karena itu, manusia diciptakan
dengan diberi bekal berupa potensi akal dan kemampuan belajar yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya.
Salah satu pendidikan yang sangat penting adalah pendidikan dalam kandungan. Salah satu ayat
Al-Qur’an yang membahas tentang pendidikan dalam kandungan, antara lain yaitu surat Al-
A’raf: 172:
َاِذْذاَخاذَ َبُّكَ اََِْۢبَْايَ َا اََِْمِن ذظَه اِذْۢ ذظ اََْْر ايذت ََُُّْ باشذهَد هايذت َلد َظ َنَفَ اهذ َا
َل اَْتَ ارَ ُ َكذابذَْي َُُّكَد اَْلكَه داَِاذد َنذد َقااَلَ َْايَذكذخُّا َنُّْۢ ايَ كِهَ كِذذ ذنَ َُّذتال َُ اَْن اْ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia menurut Islam
Al-Qur’an menjelaskan proses kejadian manusia dalam dua tahap; yaitu tahap kejadian manusia
yang pertama, Adam as, dan tahap kejadian keturunan Adam as. Sebagai berikut:
Pertama, Al-Quran menjelaskan kejadian manusia pertama sebagai al-Basyar yang secara
material berasal dari bumi (al-ardh) yang merupakan zat hidup dan menghidupi. Kedua, kejadian
keturunan Adam as., diciptakan dari air mani (sperma) yang dipancarkan, lalu bercampur dengan
benih perempuan (ovum), kemudian ditempatkan di tempat yang kokoh (rahim).
Pertumbuhan dan perkembangan individu, termasuk janin dalam kandungan ibu, dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain:
11. 1. Faktor Keturunan,;
2. Faktor Gizi; dan
3. Faktor Emosi.
Anak dalam pandangan Islam merupakan amanah yang dititipkan Allah kepada kedua orang
tuanya. Kesadaran akan amanah ini,orang tua hendaknya memeliharanya yaitu amanah yang
sudah diberikan Oleh Allah Swt dengan cara merawat dan memenuhi hak-haknya sebagai anak.
Hindari Hal-Hal Negatif
Sebagian besar proses pertumbuhan janin tersebut sangat bergantung pada kondisi internal sang
ibu, yaitu kondisi fisik dan kondisi psikisnya. Ibu dan janin merupakan satu kesatuan. Semua
kebutuhan dari ibu dan bakal anak, dicukupi melalui proses fisiologis yang sama. Apapun yang
yang diperoleh dari ibu mengalir pula ke dalam jasad janinnya.
Hal ini tidak hanya meliputi proses-proses kehidupan yang positif saja, akan tetapi juga
menyangkut segi-segi negatif. Tegasnya, maka dari itu, kesejahteraan ibu, baik secara jasmani
maupun rohani, akan melimpahkan kesejahteraan dan mengalir bagi janinnya.
Akan tetapi sebaliknya, apabila terdapat hal-hal negatif ataupun gangguan-gangguan yang
terdapat pada seorang diri ibu, baik yang bersifat fisik maupun psikis (misalnya suatu penyakit
yang parah atau gangguan emosional yang serius), akan mengganggu pula kondisi janinnya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwasannya anak dapat dididik ketika
masih dalam kandungan dan pendidikan itu sudah bisa dilaksanakan ketika bayi berada di dalam
kandungan. Pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan yang didalamnya terjadi
interaksi anak sebagai manusia yang sempurna dengan orang yang berada disekitar anak yang
masih dalam kandungan. Akan tetapi pendidikan tidak langsung dalam arti kondisi psikologis
kedua orang tua dapat mempengaruhi calon bayi yang akan dilahirkan oleh seorang ibu dapat
saja terjadi.
Keluarga Menentukan Pribadi Anak Dimasa Mendatang
Seorang ibu semestinya harus memiliki pemahaman dan keimanan agama Islam yang kuat.
Karena seorang anak mulai proses dalam kandungan, dilahirkan kedunia sampai ia dewasa selalu
12. berada dalam lingkungan keluarganya yaitu ayah ibunya. Karena itulah keluarga sangat
menentukan pribadi anak dimasa yang akan datang.
Walaupun Islam menegaskan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, tetapi fitrah itu akan
berubah menjadi tidak baik bila ia dibesarkan dalam lingkungan yang buruk dan fitrah itu akan
berkembang baik apabila ia tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangannya
kearah yang positif.
Hal ini dapat dipahami karena mulai dalam kandungan anak sudah berinteraksi dengan kedua
orang tua sampai ia dewasa. Interaksi itu, setiap saat mempengaruhi dirinya sehingga terbentuk
pribadinya. Maka dapat dipahami keluarga merupakan pusat dan tempat pendidikan pertama bagi
anak, tempat anak berinteraksi dan memperoleh kehidupan emosional, sehingga membuat
keluarga mempunyai pengaruh yang dalam terhadap anak.
Pendidikan sejak dalam kandungan
Keluarga merupakan lingkungan alami yang tentunya memberi perlindungan dan keamanan serta
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok anak. Keluarga juga merupakan lingkungan pendidikan
yang penting, tempat anak memulai hubungan dengan dunia sekitarnya serta membentuk
pengalaman-pengalaman yang membantunya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Adapun langkah-langkah pendidikan yang dapat dilakukan oleh seorang Ibu yang sedang hamil
adalah sebagai berikut:
Pertama, menjauhi makanan yang haram. Makanan haram yang dikonsumsikan oleh Ibu,
akan menjadi makanan bagi janinnya, ini berarti sang ibu telah memberi makanan yang tidak
sehat kepada anaknya.
Kedua, menjauhi maksiat dan dosa. Seorang ibu hamil hendaknya memperhatikan dan
komitmen terhadap syari’at serta menjauhi maksiat dan dosa, karena hal tersebut akan
mempunya dampak yang besar dan langsung terhadap janin yang dikandungnya.
Ketiga, menghindari emosi yang berlebihan. Ibu yang mengandung diharapkan
menghindari emosi dan kesedihan yang berlarut-larut. Apabila wanita hamil sering
merasakan kesedihan, emosi, jiwa dan syarafnya, khususnya timbul dari hal-hal yang remeh
dan sederhana yang tercermin dari problema-problema kehidupan keseharian dari situasi
13. rumah tangga, maka kehidupannya pada gilirannya akan berpengaruh kepada aktivitas janin
yang berada dalam kandungannya.
KEPUSTAKAAN
1. Departemen Agama RI, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan
Syariah, Al-Qur’an dan Tafsirnya, tahun 2007.
2. Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara
Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, 2004.
3. Al ‘Alimu Al ‘Alaamah Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Malybary, Fathul
Mu’in, Maktabah Kaya Thoha Putra Semarang.
4. Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
5. H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta, 1976/
6. Kompilasi Hukum Islam (KHI), Citra Umbara, Bandung, 2007.
14. Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan
22 Maret 2022 esluha Dibaca : 1591 Kali
@rochma_yulika
Mendidik anak seperti mengukir di atas kayu. Kita sebagai orang tua ingin
membentuk mereka menjadi indah, unik, punya kekhasan dan bentukannya agar
tidak akan lekang ditelan masa. Penuh kehati-hatian serta ketelitian ketika ingin
memahat sehingga menjadi ukiran yang mempesona.
Mulai dari mana kita mendidik anak kita. Islam mengajarkan bahwa pendidikan
pada anak sejak ia berada dalam kandungan. Karena fase sebelum lahir merupakan
sebuah fase awal pertumbuhan dan perkembangan janin. Dimulai dari diketahuinya
kehamilan, saat itu pula seorang calon ibu siap belajar dengan janin yang ada di
dalam kandungannya. Masa ini merupakan masa penting dan butuh perhatian
serius.
Setiap kita pasti ingin mencetak generasi unggul dan berkualitas. Maka semenjak
masih janin dalam kandungan sudah mulai belajar. Hal ini karena janin selama
masa di kandungan, indera pendengaran dan otak anak mulai berkembang. Mereka
mulai merasakan apa yang terjadi di luar kehidupan mereka dari dalam rahim.
Seorang ibu harus benar cakap dan paham. Supaya tidak terlambat memahami
bahwa fase kehamilan itu sudah mulai pembelajaran untuk calon bayi butuh belajar
sejak sebelum nikah. Karena semua hal yang ada pada ibu hamil punya pengaruh
besar pada bayinya. Juga sekaligus berdampak pada pembentukan karakternya di
kemudian hari.
Setiap orang tua sangat menginginkan buah hatinya menjadi anak yang cerdas serta
juga sholeh dan sholehah juga banyak harapan besar yang dicitakan oleh keduanya.
Tak ada orang tua yang berharap anaknya tidak berhasil di kemudian hari. Apalagi
ketika dewasa sukses hidupnya dan di akhirat akan meraih kemuliaan.
Anak merupakan kebanggaan orang tua. Kehadirannya telah sangat dinantikan.
Orang tua akan sangat bahagia bila memiliki anak yang sehat dan cerdas. Maka
perlu diupayakan oleh para orang tua sehingga generasi idaman akan terlahir.
Untuk itu membangun interaksi yang hangat antara orang tua dengan calon bayi
yang di kandungnya sudah seharusnya. Kegiatan yang bisa dilakukan oleh orang
tua antara lain:
15. 1. Membiasakan diri bertilawah Al Qur'an.
Pembiasaan untuk sering membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an bagi para ibu hamil
wajib dilakukan agar sang bayi di dalam kandungan mendengar. Begitu juga
dengan sang ayah agar selalu membaca Al-Qur’an di dekat sang ibu, untuk
diperdengarkannya kepada calon anaknya di dalam kandungan ibunya.
Hal ini diharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran akan masuk ke
dalam pendengaran bayi. Sehingga apabila bayi terlahir nanti, maka ia akan
menjadi anak yang mencintai ayat-ayat Al-Quran, merasa tergerak untuk akrab
dengan Al Qur'an, memiliki keinginan untuk menghafal Al-Quran. Bahkan pada
masanya akan punya keinginan yang kuat untuk mengamalkan isi Al-Quran dalam
kehidupan sehari-hari.
Mari kita amati di sekitar kita bagaimana contoh yang telah dilakukan oleh mereka
yang ingin anaknya menjadi penyanyi hebat. Maka, sejak di dalam kandungan pun
sudah seringkali diperdengarkan nada-nada alunan musik instrumentalia, lagu-lagu
jazz atau pop kesukaan orang tuanya. Hingga suara-suara itupun merasuk ke sang
janin. Maka, kelak sang anak jika terlahir akan memiliki bakat menjadi penyanyi
papan atas.
Jadi jika berharap anak keturunan kita dekat dengan Al Qur'an maka perdengarkan
dan ajak bertilawah setiap harinya.
2. Melantunkan doa penuh harap. Doa itu senjatanya orang mukmin. Allah sangat
senang dengan orang yang rajin berdoa, tapi sebaliknya Dia akan murka bagi
sesiapa yang enggan berdoa bahkan mengatakan yang demikian adalah
kesombongan.
{َقكَه َا ََِاد َظ شذذَْ اْ سا ذَتمابَْ اَِاَل ِرذَّ َذنينِل َارَنذْااَمااَن ايَ شذ َْكَْذ َْرَكَفابَََب َِِهَََْ َني ذ
ن ذف َْ}
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-
Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al Mukmin: 60).
Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Ayat ini memberikan faedah bahwa doa
adalah ibadah dan bahwa menginggalkan berdoa kepada Rabb yang Maha Suci
adalah sebuah kesombongan, dan tidak ada kesombongan yang lebih buruk
daripada kesombongan seperti ini, bagaimana seorang hamba berlaku sombong
tidak berdoa kepada Dzat yang merupakan Penciptanya, Pemberi rezeki
kepadanya, Yang mengadakannya dari tidak ada dan pencipta alam semesta
seluruhnya, pemberi rezekinya, Yang Menghidupkan, Mematikan, Yang
Memberikan ganjarannya dan yang memberikan sangsinya, maka tidak diragukan
bahwa kesombongan ini adalah bagian dari kegilaan dan kekufuran terhadap
nikmat Allah Ta’ala. (Lihat kitab Tuhfat Adz Dzakirin, karya Asy Syaukani).
16. Sebagai manusia usaha sudah seharusnya tapi jangan pernah melupakan kekuatan
doa. Karena doa itu senjata orang beriman. Dan sebagai orang tua untuk memiliki
anak yang cerdas. Salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk mendapatkan anak
yang shalih sejak bayi dalam kandungan adalah dengan banyak berdoa.
Doa yang dibaca untuk memperoleh anak shalih-shalihat seperti dicontohkan
adalah doa Nabi Zakariya untuk sang cabang bayi, yaitu yang terdapat di dalam
Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 38:
ذ َظ َ
َسْۢ َذل يذت َذلَبِل
ُرنِن ذ
ظَه رنَْذًََ َلِذذَّ َمَذ َب ذدبكَ ِلب
Artinya: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik
(shalih). Sesungguhnya Engkaulah Maha pendengar doa.” (QS Ali Imran [3]: 38).
Boleh juga dengan doa-doa lain dalam bahasa sendiri, terutama dibacakan setelah
shalat fardhu, dengan bersuara agak terdengar juga oleh sang cabang bayi.
Misalnya, “Ya Allah, saya harapkan anak saya yang di dalam kandungan ini dapat
lahir sehat dan normal, serta memiliki menjadi anak shalih shalihat”.
Langitlan harapan niscaya harapan kan menjadi kenyataan.
3. Menjaga norma dan akhlak mulia pada sesama. Seorang ibu hamil menjaga
sikap dan akhlak keseharian sangat penting. Karena akhlak atau karakter orang tua
akan melekat pada anak yang di kandungnya. Kemana saja ibu bergerak bayi di
perutnya akan merasakan begitu juga ucapan, pilihan kata bahkan emosi diri punya
pengaruh. Maka belajar menahan diri dari amarah dan kata yang kurang pantas.
Ada ibu yang pemarah sangat mungkin akan lahir anak yang pemarah. Begitu
sebaliknya.
Bukan hanya ibu tapi ayah diajak bersinergi untuk bisa saling mengontrol emosi
sehingga tidak sampai di luar batas norma yang ada. Sehingga ketika bayi lahir
kemudian tumbuh dan berkembang akan mudah diarahkan menjadi anak yang
memiliki akhlak yang baik. Selain itu kontrol emosi jauh lebih mudah diarahkan.
Begitulah, pentingnya pendidikan anak shalih-shalihat yang dimulai dari dalam
kandungan.
4. Belajar bersama tentang kegiatan sehari-hari serta berkomunikasi dengan kata-
kata yang baik. Melakukan komunikasi dengan bayi di dalam kandungan dengan
kalimat-kalimat yang baik. Diajak bicara dan menyampaikan sesuatu yang
dilakukan kepasa janin. Menurut medis, pada pekan ke-25 atau bulan keenam,
janin sudah dapat mendengar dan mengenali suara bayi yang dikandung
mengenali orang-orang terdekatnya, seperti suara ibu dan ayahnya serta keluarga
yang lain. Maka mengajak bicara atau seolah menyapa harus dilakukan.
Untuk itu, maka ajaklah janin untuk berbicara dengan mengelus-elus perut.
Misalnya ketika mau shalat, sang ibu berkata dengan penuh kasih sayang, “Ayo
17. adek, Umi mau shalat." Shalat hal yang wajib sehingga ketika sejak dalam
kandungan terbiasa makan akan terbiasa juga hingga dewasa. Atau dalam
berkegiatan apa saja alangkah bagusnya disampaikan.
Memang terkadang kelihatan seperti orang gila yang bicara sendiri. Seorang ibu
apalagi yang langsung berinteraksi dengan bayi tentu banyak kesempatan untuk
berkomunikasi. Semisal ketika sedang menyapu, disampaikan saja bahwa ibu
sedang menyapu. Karakter yang baik akan diwariskan kepada anak-anak di
kemudian hari. Selian itu ada satu contoh lagi misal ada peminta-minta datang.
Sang ibu bisa menyampaikan bahwa ada seorang peminta-minta dan kewajiban
kita untuk berderma. Serta memberikan penjelasan kepada janin pentingnya
berbagi dan bersikap peduli.
Reaksi pada bayi akan nampak seperti mengeliat-geliat, bahkan menendang-
nendang ke arah perut sang ibu. Dalam oenelitian Rene Van de Carr di Hua Chiew
General Hospital, Bangkok, Thailand menyimpulkan, bayi dalam kandungan yang
diberi stimulasi yang baik, maka lebih cepat mahir dalam membaca, menirukan
suara, menyebutkan kata pertama, tersenyum secara spontan, lebih tanggap
terhadap nada, dan mampu mengembangkan pola sosial yang lebih baik saat bayi
telah dewasa.
5. Memberikan nutrisi terbaik dan menjaga kondisi psikis. Apa yang kita makan
akan juga dimakan oleh janin dalam kandungan seorang ibu. Maka menjaga
asupan nutrisi saat kehamilan demi mendapatkan anak yang sehat dan cerdas
menjadi perhatian. Sebagai orang tua harus teliti terhadap kandungan yang ada
pada makanan yang akan dikonsumsi selama kehamilan.
Sebagai ibu harus paham makanan kandungan gizi terbaik yang dikonsumsi
sehingga mengantarkan pada pertumbuhan dan perkembangan bayi setelah lahir.
Utamakan jenis makanan yang mengandung protein, vitamin A, B dan C.
Mengkonsumsi makanan yang mengandung Omega 3, Asam Folat, DHA, AA,
vitamin B1, vitamin B6 dan zat besi juga sangat bagus untuk bayi dalam
kandungan anda. Beberapa makanan seperti ikan segar, daging segar akan sangat
bermanfaat sebagai nutrisi bayi karena kaya protein. Begitu juga buah-buahan
segar yang kaya akan vitamin.
Perlu juga belajar untuk mengenali zat yang berbahaya bagi tubuh. Dan sebisa
mungkin menghindari makanan yang mengandung zat yang mengandung
pengawat. Hal ini dapat berpengaruh buruk pada perkembangan otak bayi.
Konsumsi makanan sehat dan segar akan jauh lebih baik untuk bayi anda, daripada
makanan siap saji.
Stres saat kehamilan akan berbahaya pada bayi yang ada dalam kandungan. Hal ini
sangat tidak baik untuk perkembangan bayi. Juga berdampak pada pertumbuhan
18. seperti kondisi stunting pasca lahir. Maka perlu suasana nyaman dan sebisa
mungkin hindari stres demi memiliki bayi yang cerdas. Tingkat stres yang tinggi
dapat menurunkan potensi untuk memiliki bayi cerdas. Bukan itu saja, stres bisa
menyebabkan resiko hipertansi, kelahiran prematur atau berat badan bayi yang
rendah. Istirahat cukup, rajin olahraga dan mengatur pola makan akan membantu
ibu hamil meminimalisir stres.
Begitulah, pentingnya pendidikan anak shalih-shalihat yang dimulai dari dalam
kandungan.
Mengapa kita perlu melakukannya sejak dalam kandungan karena secara
medis, diakui bahwa selama dalam kandungan sampai dengan bayi lahir, apa-apa
yang masuk ke dalam janin, baik makanan halalan thayyibah maupun kata-kata
dan aktivitas lingkungan shalihah (bi’ah shaihah) di sekitar bayi, akan berpengaruh
bagi perkembangan jiwa, otak dan saraf janin.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam bidang
perkembangan pralahir menunjukan bahwa selama berada dalam rahim, anak dapat
belajar, merasa, serta mengetahui perbedaan antara gelap dan terang.
Ketika umur kandungan telah mencapai lima bulan, maka instrumen indra anak
dalam kandungan sudah potensial menerima stimulasi dan sensasi dari luar rahim,
seperti indra peraba bayi sudah bisa merasakan sentuhan dan rabaan orang tuanya,
indra pendengaran bayi sudah mampu mendengar, misalnya suara khas ibunya, dan
indra penglihatan bayi sudah mampu melihat sinar terang dan gelap di luar rahim.
Di sinilah perlunya melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti tersebut tadi,
sebagai latihan edukasi pralahir, upaya memberikan stimulasi sistematis bagi otak
dan perkembangan saraf bayi sebelum dilahirkan
Salah satu praktik sosial yang lumrah terjadi di masyarakat adalah mengangkat anak
orang lain sebagai anak sendiri atau sering dikenal dengan istilah adopsi. Ada
berbagai alasan seseorang mengangkat anak; tidak memiliki keturunan, menolong
karena lemahnya kondisi ekonomi keluarga anak yang diadopsi, dan lain sebagainya.
Pada kenyataannya tidak jarang praktik adopsi ini diikuti dengan praktik menisbatkan
nasab sang anak kepada orang tua angkatnya, sehingga nasab anak kepada orang tua
kandungnya seakan terputus. Tak hanya nasab yang terputus, praktik adopsi tak jarang
juga mengakibatkan hubungan si anak dengan orang tuanya benar-benar hilang hingga
sang anak sama sekali tak mengenali orang tua kandung dan keluarga asalnya. Pada
19. gilirannya banyak kepentingan anak yang semestinya melibatkan orang tua kandung
digantikan oleh orang tua angkat meski hal itu acapkali melanggar aturan syariat.
Lalu bagaimana syariat Islam mengatur praktik adopsi anak ini?
Praktik mengadopsi anak merupakan salah satu praktik sosial yang berlaku pada
bangsa Arab. Budaya pada masyarakat Arab kala itu orang yang mengangkat
seseorang sebagai anaknya akan memperlakukan anak tersebut sebagaimana ia
memperlakukan anak kandung sendiri. Bahkan mereka menasabkan anak angkat
tersebut kepada orang tua angkatnya.
Hal itu pula yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap Zaid bin Haritsah, seorang
budak yang dihadiahkan oleh istri pertama beliau, Khadijah, yang kemudian oleh
Rasulullah Zaid dimerdekakan dan diangkat sebagai anak. Rasulullah menasabkan
Zaid kepada dirinya sehingga orang-orang pada saat itu tidak memanggilnya sebagai
Zaid bin Haritsah tapi Zaid bin Muhammad. Bahkan Rasulullah sempat mewartakan
hal itu kepada masyarakat dengan mengatakan, “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah
bahwa sesungguhnya Zaid adalah anakku. Ia mewarisiku dan aku pun mewarisinya.”
Keterangan ini bisa ditemukan dalam kitab karya Syekh Muhammad Nawawi Al-
Jawi, Marâh Labîd (Beirut: Darul Fikr, 2007, II:196).
Dengan demikian maka pada masa-masa awal Islam menasabkan anak angkat kepada
orang tua angkatnya adalah sesuatu yang diperbolehkan. Akan tetapi di kemudian hari
kebolehan ini dihapus dan menjadi terlarang dengan turunnya ayat 5 surat Al-Ahzab.
Allah subhânahû wa ta’âlâ berfirman:
اََِْْۢ اْ اِذْذِكَد ذ
ْ ََْْۢ َقَااهَْ َباهذ ذ ِ
ِ ارذنَْ اَِل َْ َكاَُ اََِْۢدكَدْ اَِاَذ َْافذنَْ شذْ ذذنيلب َذل ََْت َااَِا َالََل َا اَِااََكَ ُنَكهََ كَ َذْ اَِ اأَتافَْ
ذهذد ايذاَل َا كَت اعَبِ ََُ اَِاَدَْكَه َكرَ َا َ ِ
ِ رْظَخَا كر َ ذم َظ
20. Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada
bapak-napak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah. Maka apabila kalian tidak
mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam
agama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak
kalian sengaja, akan tetapi berdosa apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Baca juga:
• Hukum Menikahi Anak Angkat
• Hukum Menikahi Saudari Tiri
Para ulama ahli tafsir menuturkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin
Haritsah sebagai anak angkat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
dijelaskan di atas. Dengan ayat ini Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab
para anak angkat kepada bapak mereka yang sesungguhnya. Adalah sebuah dosa bila
dengan sengaja menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya.
Namun demikian menurut Imam Ibnu Kasir dalam Tafsîrul Qur’ânil
‘Adhîm (Semarang: Toha Putra, tt., III:466) bahwa memanggil orang lain dengan
sebutan “anakku” tidak menjadi masalah bila itu dilakukan dalam rangka memuliakan
dan menunjukkan rasa cinta. Ibnu Kasir menyandarkan pendapatnya ini pada hadits—
salah satunya riwayat Imam Muslim—yang meriwayatkan bahwa sahabat Anas bin
Malik berkata, bahwa Rasulullah pernah berkata kepadanya dengan memanggil
“wahai anakku”.
Apa yang diatur syariat Islam di atas semestinya menjadi pedoman bagi masyarakat
muslim ketika ia mengadopsi seorang anak sebagai anak angkatnya. Islam tidak
melarang umatnya untuk mengasuh, mendidik, dan mengadopsi seorang anak. Bahkan
hal ini merupakan sebuah kebaikan sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam wa
ta’âwanû ‘alal birri wat taqwâ, saling tolong-menolonglah kalian di dalam kebaikan
dan ketakwaan.
21. Hanya saja Islam melarang bila praktik adopsi itu diikuti dengan penisbatan nasab
anak angkat kepada orang tua yang mengadopsinya. Bagi Islam anak angkat tetaplah
anak bagi orang tua yang melahirkannya dan selamanya tidak akan pernah berubah
menjadi anak bagi orang yang mengadopsinya. Tidak mungkin seorang anak memiliki
dua orang bapak.
Di dalam surat Al-Ahzab ayat 4 Allah berfirman:
كَت َا َعَََُ اَِ َدكََذ اَْْ اَِ َدَكهادَْ
Artinya: “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anakmu.”
Baca juga:
• Bolehkah Ayah Tiri Menjadi Wali Nikah?
• Larangan Memutus Hubungan Kekeluargaan dalam Islam
Ini perlu diperhatikan mengingat tidak sedikit praktik adopsi di masyarakat yang
diikuti dengan menisbatkan nasab anak tersebut kepada orang tua yang
mengadopsinya. Perilaku ini dibuktikan dengan pencantuman nama orang tua yang
mengadopsi pada akta lahir dan kartu keluarga si anak, bukan nama orang tua yang
sesungguhnya.
Hal ini kelak pada gilirannya akan menimbulkan berbagai permasalahan khususnya
yang berkaitan dengan syariat Islam. Sebagai contoh, saat seorang anak perempuan
angkat hendak melangsungkan pernikahan maka pihak KUA akan menetapkan dan
menuliskan nama ayah dan walinya berdasarkan nama yang tercantum di akta lahir.
Padahal nama ayah yang tercantum itu adalah nama orang tua angkat, bukan orang tua
yang semestinya. Bila hal ini terus ditutupi oleh semua pihak yang mengetahuinya
maka pernikahan yang dilangsungkan—yang secara kasat mata dianggap sah—
menjadi batal menurut syariat, karena wali nikahnya bukan orang yang semestinya.
22. Pun seorang anak angkat yang secara nyata dituliskan nama orang tua angkatnya di
akta lahir maka ia bisa menuntut hak mewarisi dari kedua orang tua angkatnya dengan
berdasarkan pada bukti hitam di atas putih akta lahir tersebut. Padahal hal ini jelas-
jelas tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Wallâhu a’lam.
Akibat Hukum terhadap Penyangkalan Anak
Anak yang disangkal oleh ayahnya, sama saja dengan anak yang
tidak sah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.May 1, 2020Kedudukan Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif Hal tersebut berlaku beragama Islam walaupun bertentangan dengan hukum Positif. Dan
orang Islam tidak mempunyai hak untuk membagikan warisan kepada anak angkat dikarenakan bukan darah
dagingnya (nasab) yang jelas dan yang lebih berhak mendapatkan warisan adalah anak kandung dikarenakan
terdapat hak dalam pewarisan sedangkan anak angkat tidak bisa mendapatkannya dikarenakan bukan
hubungan sedarah, Sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Ahzab Ayat 4-5.
Hukum Islam menggariskan bahwa hubungan hubungan hukum antara orangtua angkat dengan anak angkat
terbatas sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang diperluas dan sama sekali tidak
menciptakan hubungan nasab.
Islam menekankan larangan menasabkan anak angkat kepada orang tua angkat sebab hal tersebut
berhubungan dengan warisan dan perkawinan. Alasan tersebut merupakan alasan yang logis, sebab jika kita
mengatakan anak angkat sebagai anak angkat sebagai anak sendiri yaitu lahir dari tetesan dari orang tua.
Maka jelas hal tersebut merupakan suatu pengingkaran yang nyata baik terhadap Allah maupun terhadap
manusia. Apabila anak angkat dikatakan tetap sebagai anak angkat yang berarti statusnya bukan sebagai
anak kandung, tentunya hal tersebut berpengaruh pula terhadap status kewarisan dan perkawinannya. Akan
tetapi dalam pasal 1 ayat 9 undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Dengan kata lain, anak angkat dapat disebut
sebagai ahli waris tergantung dari latar belakang terjadinya anak angkat tersebut, yang dipakai di Indonesia
dan di praktekkan adalah terdapat sinkronisasi antara hukum Islam dan Hukum Positif yang dimana
23. kewenangan pengadilan agama terdapat di undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang pengangkatan anak
berdasarkan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak dan Kompilasi Hukum Islam dalam
pasal 176 sampai dengan pasal 193
"Barangsiapa yang mengklaim (penisbatan dirinya) kepada selain bapaknya, padahal dia
tahu bahwa dia bukan bapaknya, maka surga diharamkan baginya" (muttafaq 'alaih)
Ayah di sini adalah yang sifatnya halal dan bukan anak hasil perzinahan. Secara hukum
syar’i, anak hasil perzinahan tidaklah diakui sebagai anak dari ayah biologisnya karena
tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan.