1. Permainan tradisional anak-anak di Jawa Tengah bernama Jongjang Angkup-Angkup melibatkan anak-anak membentuk lingkaran sambil bernyanyi dan menebak lokasi batu kecil yang disembunyikan.
2. Permainan ini diajarkan nilai kejujuran dan mengikuti aturan sederhana tanpa celah kecurangan, sebagai simulasi karakter yang baik untuk anak-anak.
3. Aturan permainan ini lebih
More than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike Routes
Junjang angkub angkub
1. NILAI ATURAN JONJANG ANGKUP-ANGKUP
Barangkali saat ini tidak banyak yang tahu atau ingat dengan permainan bocah yang disebut
Jongjang Angkup-Angkup. Dulu, selepas maghrib di bawah temaram rembulan, anak-anak di
sekitaran lembah Sungai Serayu berkumpul di salah satu pelataran rumah warga. Anak-anak
ini memperagakan bermacam permainan sampai larut dan para orang tua menyuruhnya
pulang.
Jonjang angkup-angkup, salah satu permainan yang cukup digemari kala itu. Permainan yang
dapat dilakukan secara masal, mulai dari 4 sampai 6 anak dan seterusnya. Anak-anak akan
memulai dengan hom pim pah terlebih dahulu sampai ada salah satu anak yang kalah. Bagi
anak-anak yang menang membentuk sebuah lingkaran. Mereka saling menggandengkan
tangan dengan mengacungkannya setinggi kepala. Bagi yang kalah langsung menempatkan
diri dalam pusat lingkaran anak-anak tersebut.
Selain anak-anak tadi, satu orang tua biasanya nenek atau kakek berada di luar lingkaran
yang akan terlibat dalam permainan ini. Nenek atau kakek ini berperan sebagai pemandu dan
mengontrol jalannya permainan ini. Nenek atau kakek ini akan menaruh batu sebesar ibu jari
yang akan diselipkan pada satu gandengan tangan. Lingkaran anak tesebut akan bergerak
searah jarum jam dan nenek atau kakek ini seolah-olah menyelipkan batu kecil tersebut pada
setiap gandengan tangan. Anak yang berada pada pusat lingkaran mengawasi gerak langkah
nenek atau kakek ini. Ia bertugas untuk menebak keberadaan batu kecil tersebut dan selama
lingkaran ini bergerak maka anak-anak menyanyikan tembang berikut ini dengan lepas.
Angkup-angkup siwaru, Angson-anson lagi metu/Metune laku dendeng/Go lawuh abang-
abang/Ijo-ijo temenggung/Temenggung rujak sewaru/Senggrang sapa mau/Lenggok
ledeng/Lenggok ledeng/Wong meteng ketiga rending/Jamune temu ireng.
Mereka menyanyi berulang-ulang disesuiakan dengan kebutuhan nenek atau kakek tersebut
memegang tiap gandengan tangan. Begitu selesai menyanyi, anak yang berada dalam
lingkaran segera menebak keberadaan batu tersebut dalam gandengan siapa. Ketika
tebakanya benar, maka kedua anak yang bergandengan segera suit untuk menggantikan posisi
anak yang berada di tengah. Apabila tebakanya salah, maka penebak bertahan di dalam
lingkaran tersebut di bawah pengawasan kakek atau nenek ini.
2. Bermacam jenis permainan yang diperagakan kala itu, salah satu yang cukup berkesan yakni
jonjang ankup-angkup ini. Rupanya permainan ini merupakan simulasi untuk belajar
mengenai kejujuran dan mematuhi aturan. Aturan sederhana yang dibuat dengan prinsip
kejujuran, tidak memberi peluang untuk berbuat kecurangan seperti halnya main mata dengan
teman yang berada pada lingkaran atau memanipulasi batu. Permainan dengan aturan yang
adil dalam pengawasan nenek atau kakek ini.
Barangkali permainan ini dapat menjadi simulasi yang baik bagi anak-anak sekarang ini.
Sebuah permainan yang langsung dapat dipraktikan tanpa harus banyak didiskusikan terlebih
dahulu. Permainan ini menjadi ajang ineraksi antar anak sebaya. Selain itu, permainan ini
dapat dipraktikan, sebagai pendidikan karakter di tengah ramainya kekerasan yang sering
terjadi antar siswa sekolah akhir-akhir ini. Serta sebagai benteng permainan tradisional di
tengah maraknya permainan modern terutama yang bermotif kekerasan.
Apabila dicermati aturan main dalam permainan tersebut cukup sederhana tetapi aturan ini
tidak memberi celah untuk membuat curang para pemainnya. Serta prinsip aturan yang jelas,
jujur dan tidak saling menjegal diajarkan dalam permainan ini dan para pemainnya
konsekuen mengikuti aturan.
Aturan tersebut cukup sederhana dibandingkan dengan aturan yang dibuat oleh para wakil
rakyat di senayan sana. Akan tetapi, aturan yang dibuat sepertinya tidak cukup kuat sehingga
dibutuhkan perubahan-perubahan. Simak saja kabar rapat pleno revisi UU KPK yang telah
dibahas Juli 2012 lalu. Pada awalnya kebanyakan fraksi setuju direvisi, baik revisi yang
melemahkan atau menguatkan KPK. Karena dukungan publik terhadap KPK yang menguat,
fraksi-fraksi berbalik arah menolak revisi UU tersebut.
Selain itu, kabar persinggungan lembaga KPK dengan polisi baru-baru ini. Sehingga Presiden
turun tangan dan berencana membuat peraturan pemerintah baru sehingga kesepakatan antara
KPK dan Polri diharapkan menjadi lebih baik.
Dua kabar tersebut menjadi gambaran bagaimana aturan yang telah dibuat tidak cukup kuat.
Sehingga menjadi mengkhawatirkan persinggungan lembaga tersebut terulang kembali.
3. Barangkali aturan yang dibuat sudah cukup baik namun karena kepentingan-kepentingan,
lembaga-lembaga tersebut kemudian bersinggungan.