Biografi singkat Rhoma Irama menggambarkan bahwa ia lahir di Tasikmalaya pada 1946 dari keluarga ningrat yang menyukai musik. Bakat musiknya muncul sejak kecil dan ia belajar berbagai alat musik. Pada masa remajanya ia aktif dalam dunia musik pop dan dangdut serta pernah menjadi pengamen. Ia akhirnya dikenal sebagai raja dangdut setelah kesuksesan album pertamanya.
1. Biografi Rhoma Irama
by: tonyvanjava
Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama yang berjuluk Raja
Dangdut, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia
bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah
bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara, yaitu
delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan saudara kandung,
dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya).
Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan
gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’
karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama Irama
Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Ia sangat
pandai dalam memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu cianjuran.
Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah, ia pun merupakan keturunan ningrat dan
pandai pula dalam menyanyi, seperti lagu No Other Love yang sering didengarkan
Rhoma sewaktu kecil.
Sebelum tinggal di Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota
inilah, kakaknya Benny Muharram dilahirkan. Sedangkan Rhoma lahir di
Tasikmalaya beberapa saat setelah pindah ke kota tersebut. Setelah lahir Rhoma,
lahir pula adik-adiknya, seperti Handi dan Ance. Setelah itu, mereka pindah lagi
ke Jakarta dan tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, lalu pindah ke Bukit Duri
Tanjakan. Di kota inilah mereka menghabiskan masa remajanya sampai tahun 1971,
lalu pindah ke Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti
tiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol ia
sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk
sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD ia sudah bisa membawakan lagu-lagu barat
dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan
ibunya dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Latta Mangeshkar.
Selain itu ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan oleh Umm
Kaltsum.
2. Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan
seruling dan menyanyikan lagu-lagu cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain
itu, pamannya, Arifin Ganda sering mengajarkan lagu-lagu Jepang ketika Rhoma
masih kecil.
Karena usia Rhoma yang tidak berbeda jauh dengan kakaknya, mereka
selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang malas
mengikuti pengajian di surau atau di rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian
dengan tekun. Setiap kali ayah dan ibunya bertanya, apakah kakaknya ikut
mengaji, Rhoma selalu menjawab ‘ya. Berangkat ke sekolah pun mereka selalu
berangkat bersama-sama dengan berboncengan sepeda. Keduanya bersekolah di
SD Kibono, Manggarai.
Ketika SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid
yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Uniknya, Rhoma
tidak sama dengan murid-murid yang lain yang sering malu-malu di depan kelas.
Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai kelas-kelas lain.
Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu anak-anak
maupun lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian dari penyanyi senior, Bing
Slamet karena terkesan melihat penampilan Rhoma ketika menyanyikan lagu barat
dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari, ketika Rhoma duduk di kelas 4, Bing
Slamet membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh
Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang berharga bagi Rhoma.
Sejak saat itu, meskipun belum berpikir untuk menjadi penyanyi Rhoma
sudah tidak terpisahkan lagi dari musik. Atas usaha sendiri ia belajar memainkan
gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering
membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang sekolah yang pertama
dicarinya adalah gitar. Begitu pula ketika setiap kali ia keluar rumah hampir selalu
membawa gitar. Pernah suatu kali ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi
Rhoma lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulah tersebut, ibunya merampas
gitarnya lalu melemparkannya ke pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat
Rhoma sedih karena gitar adalah teman nomor satu baginya.
3. Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari musik ia mulai menyadari
bahwa meskipun ayah dan ibunya pasangan berdarah ningrat yang menyukai musik,
tetapi mereka tetap menganggap bahwa dunia musik bukanlah sesuatu yang patut
dibanggakan atau dijadikan profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap
kali ia menyanyi dan beranggapan, bahwa musik akan menghambat sekolahnya.
Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma semakin berkembang di luar rumah
karena jika di rumah ia kurang mendapat dukungan.
Pada saat Rhoma duduk di kelas 5 SD tahun 1958 ayahnya meninggal dunia.
Sang ayah meninggalkan delapan anak yaitu: Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni,
Herry dan Yayang. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI,
Raden Soma Wijaya yang masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat.
Ayah tirinya ini membawa dua anak dari istrinya yang dulu dan setelah menikah
dengan ibu Rhoma memiliki dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup suasana di rumahnya feodal. Bahasa
sehari-hari ayah dan ibunya adalah bahasa Belanda. Segalanya harus serba
teratur dan menggunakan tatakrama tertentu. Para pembantu harus memanggil
anak-anak dengan sebutan ‘Den’ (raden). Anak -anak harus tidur siang dan makan
bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan
jika dianggap melakukan kesalahan, seperti bermain hujan ataupun membolos
sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya
bila dibandingkan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan memiliki
beberapa mobil, seperti, mobil merk Impala, mobil yang tergolong mewah pada
waktu itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal tersebut tidak ada lagi setelah ayah tirinya hadir
di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan, berkat ayah tiri serta pamannya inilah
Rhoma mendapatkan ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap
ayah tirinya membelikan alat musik akustik seperti, gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya di dunia musik.
Rhoma juga sering adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya
4. ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam
geng dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan atau paling tidak saling
bersaingan. Dengan demikian perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Bukitduri, tempat tinggalnya hampir setiap kampung di daerah itu terdapat
geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukitduri Boys Club), di Kenari
ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Banyak anak muda dari Bukitduri
Puteran dan dari Manggarai yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini
saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap mereka
bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah, bahwa teman-temannya
hampir selalu menjadikannya sebagai pemimpin. Tentu saja bila gengnya
bentrok dengan geng lain, Rhoma-lah yang diharapkan tampil di depan untuk
berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali Rhoma juga sering mengalami
babak belur bahkan luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi,
bagi Rhoma ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing karena sejak kecil ia sudah
dapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru lainnya. Rhoma pernah belajar silat
Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) kepada Pak Rohimin di Kebon Jeruk,
Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di jalan Talang, selain
beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng para anggotanya
saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah, maka Rhoma beberapa kali harus tinggal
kelas sehingga karena malu maka ia sering berpindah sekolah. Kelas 3 SMP pernah
dijalaninya di Medan, Sumatera Utara ketika ia dititipkan di rumah pamannya.
Tapi, tak berapa lama kemudian, ia pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Pada waktu
bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela
karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di
luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di dalam dan luar sekolah
5. membuatnya sering keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII
Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, SMA St.
Joseph di Solo dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak
jauh dari rumahnya.
Pada masa SMA di Solo Rhoma pernah melewati masa-masa sangat pahit.
Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan kota Solo. Di sana ia ditampung di rumah
seorang pengamen yang bernama Mas Gito. Sebenarnya sebelum terdampar di
Solo ia berniat hendak belajar di pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Namun, karena tidak membeli karcis Rhoma, Benny (kakaknya) dan tiga orang
temannya, Daeng, Umar dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur
selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan dan
diturunkan ditempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu,
Yogyakarta. Dari Yogya mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Ketika di Solo Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya
sekolahnya diperoleh dari ngamen dan menjual beberapa potong pakaian yang
dibawanya dari Jakarta. Namun karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma
harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai
akhirnya lulus tahun 1964. Kemudian, ia kuliah di Fakultas Sosial Politik,
Universitas 17 Agustus. Tapi, hal tersebut hanya bertahan satu tahun karena
ketertarikannya pada dunia musik yang begitu besar.
Musik pop dan rock merupakan langkah pertama Rhoma sebagai pemusik
dan penyanyi. Seperti dikisahkan kakak kandungnya, Benny Muharram, bahwa
Rhoma sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan oleh Dick Tamimi
dari perusahaan rekaman Dimita Moulding Company pada tahun 1967, meskipun
sebelumnya dia sudah sering menyanyi bersama sejumlah orkes melayu.
Selain menjadi penyanyi Orkes Melayu Candraleka dan Indraprasta, Rhoma
juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.
Bersama band-band tersebut Rhoma membawakan lagu-lagu pop barat dan
menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu yang berjudul Diana
ataupun Put Your Head On My Shoulder dan lagunya Andy Williams seperti,
6. Butterfly, Moon River, serta Tom Jones seperti, Green-green Grass of Home,
Dellilah.
Rhoma memang sudah bergelut dengan musik pop sejak masih di bangku
SMA. Bersama teman-teman sekolahnya ia sempat membentuk Band Gayhand.
Ketika musik Rock n’ Roll melanda Indonesia, ternyata hal tersebut membuat
Rhoma terpesona hingga dalam hatinya ia bertekad “Elvis saja bisa menjadi raja
dengan gitarnya, saya juga bisa”.
Namun begitu berada di dalam dunia musik, Rhoma ikut terbawa arusnya.
Dengan meniru gaya menyanyi Benyamis S. dan Ida Royani, Muchsin Alatas dan
Titiek Shandora yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan
Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaya dari perusahaan rekaman Metropolitan dan
Canary Records. Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Rhoma dan
Inneke rekaman dalam sejumlah lagu seperti, Pujaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga
dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabuk Kepayang, Jangan Dekat-dekat, Anaknya Lima,
Si Oteh, Lonceng Berbunyi, Melati di Musim Kemarau dan Cinta Buta. Menurut
Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknya Lima,
dibawakan duet ini. Munculnya pasangan Rhoma-Inneke sempat menggoyahkan
popularitas Muchsin Alatas dan Titiek Sandora.
Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, kemudian Zakaria
menyarankan Rhoma berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba
menyanyi di Singapura pada tahun 1971, dan duet Rhoma-Wiwiek berhasil menjadi
juara.
Pada acara Panggung Gembira Hari Radio ke 26 di halaman gedung RRI Jln.
Merdeka Barat, 19 Januari 1971, walau termasuk masih baru, duet Rhoma-Inneke
menjadi pusat perhatian di antara penyanyi-penyanyi duet lainnya, seperti, Elly
Kasim-Tiar Ramon, Vivi Sumanti-Frans Doromez dan Ida Royani- Benyamin Sueb.
Duet Rhoma-Inneke juga diiringi oleh Band Galaxi pimpinan Jopie Item ketika
rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Rhoma mengiringi sendirian
dengan pekik dan teriakan yang kemudian diteruskannya setelah mendirikan
Soneta Group pada 13 Oktober 1970.
7. Pergaulan Rhoma dengan musik pop dan rock pula yang mempertemukannya
dengan pimpinan band perempuan Beach Girls yang bernama Veronica Agustina
Timbuleng dan lantas menikahinya pada tahun 1972. Pasangan ini dikaruniai tiga
orang anak, yaitu Debbie Veramasari, Fikri Zulfikar dan Romy Syahrial.
Arus industri musik juga sempat membawa Rhoma dan Vero bertrio dengan
Debbie mengikuti sukses Chicha dengan lagu Heli serta Yoan dengan lagu Si Kodok
pada tahun 1976. Akan tetapi, setelah memimpin grupnya sendiri, Soneta Group
yang bersemboyan Voice of Moslem (Suara Muslim), Rhoma justru menjadi arus
itu sendiri dengan menyuntikkan musik rock ke dalam album dangdutnya yang
pertama yang berjudul ‘Begadang’, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja,
Sampai Pagi, Tung Keripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega dan
Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulut pro dan kontra. Komunitas dangdut
banyak yang keberatan, sementara kalangan pemusik rock menerima dengan sinis.
Ujung-ujungnya diadakan diskusi yang bertajuk “Sekitar Musik Hard Rock dan
Dangdut” di Gedung Merdeka Bandung pada akhir Juni 1976, dengan Maman S.
dari majalah Aktuil sebagai penyelenggara, dan menghadirkan pembicara Dr.
Sudjoko dari ITB, Remy Silado, Benny Subarja dan Denny Sabri sebagai wakil
Rhoma yang tidak hadir. Ahmad Albar dan Harry Roesli yang diundang tidak juga
tidak kelihatan. Eksperimen Rhoma yang semestinya dijadikan perhatian serius
justru menjadi olok-olok hingga timbul ejekan, seperti, tahi anjing dan bistik
jangan dibandingkan gado-gado. Grup rock God Bless dan Soneta dipertemukan di
Istora, pada 22 Desember 1977 dengan maksud melihat mana yang lebih hebat,
rock atau dangdut. Padahal, sebelum manggung Rhoma melepaskan merpati putih
sebagai tanda perdamaian.
Sebagaimana diskusinya, pertunjukan di Istora tersebut juga tidak
memberikan solusi yang konkret. Grup musik rock tetap berjalan sebagaimana
biasa, sementara Rhoma justru terus berkibar dengan dangdut rocknya yang
semakin membumi sampai-sampi masyarakat menjulukinya ‘Raja Dangdut’. Album-album
rekamannya yang semakin ‘ngerock’ mengalir tanpa bisa dibendung, bahkan
oleh pemerintah Orde Baru sekalipun yang dengan alasan politik melarangnya
tampil di stasiun televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Hal tersebut merupakan
dampak atas lagu-lagunya yang menyindir pemerintah, seperti pada lagu Hak
Azasi. Pada lagu tersebut dengan gagah berani Rhoma berbicara mengenai HAM,
kebebasan berbicara, beragama, bekerja dan sebagainya. Album rekamannya
menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang. Setelah album
8. Begadang menjadi sangat populer, menyusul album-album berikutnya, seperti;
Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta
(1978), Santai (1979), Hak Azasi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982),
hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi oleh Yukawi Corporation.
Perusahaan rekaman ini lantas berubah menjadi Soneta Records, milik Rhoma.
Langkah tegap Rhoma semakin mantap dengan membintangi beberapa film,
seperti; Oma Irama Penasaran (1976), Gitar Tua Oma Irama (1977), Oma Irama
Berkelana I (1978), Oma Irama Berkelana II (1978), Begadang (1978), Raja
Dangdut (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979), Perjuangan dan Doa
(1980), Melodi Cinta Rhoma Irama (1980), Badai di Awal Bahagia (1981), Satria
Bergitar (1984), Cinta Kembar (1984), Pengabdian (1985), Kemilau Cinta di Langit
Jingga (1985), Menggapai Matahari I (1986), Menggapai Matahari II (1986),
Nada-nada Rindu (1987), Bunga Desa (1988), Jaka Swara (1990), Nada dan Dawah
(1991), serta Tabir Biru (1994), diteruskannya dengan penerbitan soundtrack
yang laris manis. Dalam film Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok
Harahap dari grup rock Aka yang pernah bertarung dengan Soneta Group di atas
panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini.
Berdasarkan data penjualan kaset dan jumlah penonton film-film yang
dibintanginya, penggemar Rhoma tak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk
Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan tahun 1984. “Tidak ada kesenian
mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas”, tulis majalah Tempo pada 30
Juni 1984. sementara itu Rhoma sendiri berkata, “Saya takut publikasi, ternyata,
saya sudah terseret jauh”.
Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma laku. Bahkan,
sebelum sebuah film selesai diproses orang sudah membelinya, seperti film
berjudul Satria Bergitar misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini,
ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Menurut kakaknya,
Benny, yang juga produser PT Rhoma Film, Rhoma tidak pernah makan uang dari
hasil film, tetapi dari hasil penjualan kaset. Uang hasil film disumbangkan untuk,
antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja dan perbaikan kampung. Bahkan,
pada tahun 1983 Rhoma membayar zakat sebesar Rp 6 juta.
9. Meskipun demikian, jika dikaitkan dengan perolehan material, Rhoma bisa
dikatakan sebagai pemusik terkaya di negeri ini. Bayangkan, sebelum pemusik lain
naik mobil Mercy, ia sudah menikmati kenyamanan mobil mewah itu sejak tahun
70-an. Hal tersebut terindikasi ketika membaca wawancaranya dengan harian The
Jakarta Post, saat Rhoma secara rendah hati menyatakan punya uang yang cukup
meski tidak banyak. Hal itu masuk akal, mengingat sejeblok-jebloknya kaset
Rhoma Irama di pasaran, minimal akan terjual sampai 400 ribu copy per album. Ini
semakin menggelikan jika dibandingkan dengan musisi di luar dangdut yang
acapkali berbangga secara berlebihan meski kasetnya hanya terjual tak lebih dari
100 ribu copy.
Boleh jadi sampai kini kejayaan Rhoma belum tergantikan. Kalau dulu ada
sebutan The Big Five untuk para ‘Bintang Mahal’, seperti, Roby Sugara, Roy
Marten dan Yati Ocktavia, maka pada saat yang sama sebenarnya nilai kontrak
Rhoma tetap jauh di atas mereka. Bahkan, banyak produser film rela menunggu
giliran sampai tiga tahun hanya untuk dapat mengontrak Rhoma.
Selain itu, Rhoma juga terhitung sebagai salah satu penghibur paling
sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma bukan hanya tampil di dalam negeri,
tetapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura dan Brunei Darussalam
dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Beberapa
media massa Indonesia melaporkan, bahwa, penonton pertunjukan Rhoma di
berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka lantaran terlalu berdesakan.
Hal yang sangat disesalkan Rhoma sendiri. “Untuk mendapatkan hiburan, mengapa
mesti sampai jatuh korban begitu?” katanya.
Rhoma menyatakan, bahwa dirinya banyak dijadikan bahan rujukan
penelitian. Ada sekitar 7 skripsi tentang dirinya dan musik yang telah dihasilkan.
Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya obyek penelitian, salah satunya
adalah William H. Frederick, Doktor Sosiologi, Universitas Ohio, AS pada 1985
dengan judul; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary
Indonesia Popular Culture, yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta
pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat. Ia menyebutkan dalam tesisnya, bahwa:
“Rhoma Irama adalah revolusioner dalam dunia musik Indonesia. Hampir bisa
dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama adalah penghibur paling jempolan. Sejak
rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling
10. banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma Irama”. Lebih lanjut ia
mengatakan, “Bila di dunia musik Amerika sosok Mick Jagger sangat berpengaruh,
di Indonesia, bandingan sosok yang sepadan dengannya ada pada figur Rhoma
Irama. Kedua orang ini sama-sama jenius dan otodidak. Keduanya mampu tampil ke
posisi puncak musikalnya karena kekuatan bakat alam yang luar biasa hebat.”
Pada akhir April 1994 Rhoma Irama menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU) dengan Tanaka dari Life Record Jepang di Tokyo. Sebanyak
200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam bahasa Inggris dan Jepang, untuk
diedarkan di pasar Internasional. Rencananya lagu-lagu tersebut dibuat dalam
bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).
Mereka digambarkan sebagai raja dan ratu yang sama-sama mempunyai
kerajaan. Suasana itu makin kental dan legitim dengan hadirnya MURI (Museum
Rekor Indonesia -red.) yang memasukkan Rhoma dan Elvy sebagai raja dan ratu
dangdut Indonesia. Meski terlambat, tentu cukup menghibur. Soalnya, jauh
sebelum itu, di tahun 1985, majalah Asia Week telah menempatkan Rhoma Irama
sebagai raja musik Asia Tenggara.
11. Biografi Rhoma Irama
by: om wiki
Raden Oma Irama yang populer dengan nama Rhoma Irama (lahir di Tasikmalaya,
11 Desember 1946; umur 63 tahun) adalah musisi dangdut dari Indonesia yang
berjulukan "Raja Dangdut".
Sekilas
Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi
ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari band
Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes Chandra Leka,
sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama Soneta yang sejak 13 Oktober
1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang dipimpinnya, Rhoma tercatat
pernah memperoleh 11 Golden Record dari kaset-kasetnya.
Berdasarkan data penjualan kaset, dan jumlah penonton film- film yang
dibintanginya, penggemar Rhoma tidak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk
Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan 1984. "Tak ada jenis kesenian
mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas", tulis majalah TEMPO, 30 Juni
1984. Sementara itu, Rhoma sendiri bilang, "Saya takut publikasi. Ternyata, saya
sudah terseret jauh."
Rhoma Irama terhitung sebagai salah satu penghibur yang paling sukses
dalam mengumpulkan massa. Rhoma Irama bukan hanya tampil di dalam negeri tapi
ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura, dan Brunei dengan jumlah
penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Sering dalam konser
Rhoma Irama, penonton jatuh pingsan akibat berdesakan. Orang menyebut musik
Rhoma adalah musik dangdut, sementara ia sendiri lebih suka bila musiknya
disebut sebagai irama Melayu.
Pada 13 Oktober 1973, Rhoma mencanangkan semboyan "Voice of Moslem"
(Suara Muslim) yang bertujuan menjadi agen pembaharu musik Melayu yang
memadukan unsur musik rock dalam musik Melayu serta melakukan improvisasi
12. atas aransemen, syair, lirik, kostum, dan penampilan di atas panggung. Menurut
Achmad Albar, penyanyi rock Indonesia, "Rhoma pionir. Pintar mengawinkan orkes
Melayu dengan rock". Tetapi jika kita amati ternyata bukan hanya rock yang
dipadu oleh Rhoma Irama tetapi musik pop, India, dan orkestra juga. inilah yang
menyebabkan setiap lagu Rhoma memiiki cita rasa yang berbeda.
Bagi para penyanyi dangdut lagu Rhoma mewakili semua suasana ada nuansa
agama, cinta remaja, cinta kepada orang tua, kepada bangsa, kritik sosial, dan
lain-lain. "Mustahil mengadakan panggung dangdut tanpa menampilkan lagu Bang
Rhoma, karena semua menyukai lagu Rhoma," begitu tanggapan beberapa penyanyi
dangdut dalam suatu acara TV.
Rhoma juga sukses di dunia film, setidaknya secara komersial. Data PT
Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma selalu laku. Bahkan sebelum
sebuah film selesai diproses, orang sudah membelinya. Satria Bergitar, misalnya.
Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah
memperoleh pialang Rp 400 juta. Tetapi, "Rhoma tidak pernah makan dari uang
film. Ia hidup dari uang kaset," kata Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi
produser PT Rhoma Film. Hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim
piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung.
Ia juga terlibat dalam dunia politik. Di masa awal Orde Baru, ia sempat
menjadi maskot penting PPP, setelah terus dimusuhi oleh Pemerintah Orde baru
karena menolak untuk bergabung dengan Golkar. Rhoma Sempat tidak aktif
berpolitik untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya terpilih sebagai anggota DPR
mewakili utusan Golongan yakni mewakili seniman dan artis pada tahun 1993. Pada
pemilu 2004 Rhoma Irama tampil pula di panggung kampanye PKS.
Rhoma Irama sempat kuliah di Universitas 17 Agustus Jakarta, tetapi
tidak menyelesaikannya. "Ternyata belajar di luar lebih asyik dan menantang,"
katanya suatu saat. Ia sendiri mengatakan bahwa ia banyak menjadi rujukan
penelitian ada kurang lebih 7 skripsi tentang musiknya telah dihasilkan. Selain itu,
peneliti asing juga kerap menjadikannya sebagai objek penelitian seperti William
H. Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio, AS yang meneliti tentang
kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat.
13. Pada bulan Februari 2005, dia memperoleh gelar doktor honoris causa dari
American University of Hawaii dalam bidang dangdut, namun gelar tersebut
dipertanyakan banyak pihak karena universitas ini diketahui tidak mempunyai
murid sama sekali di Amerika Serikat sendiri, dan hanya mengeluarkan gelar
kepada warga non-AS di luar negeri. Selain itu, universitas ini tidak
diakreditasikan oleh pemerintah negara bagian Hawaii.
Sebagai musisi, pencipta lagu, dan bintang layar lebar, Rhoma selama
kariernya, seperti yang diungkapkan, telah menciptakan 685 buah lagu dan
bermain di lebih 10 film.
Pada tanggal 11 Desember 2007, Rhoma merayakan ulang tahunnya yang ke
61 yang juga merupakan perayaan ultah pertama kali sejak dari orok, sekaligus
pertanda peluncuran website pribadinya, rajadangdut.com.
14. Diskografi (belum lengkap)
Ke Bina Ria (1974)
Joget (1975)
Penasaran (1976)
Hak Asasi (1977)
Gitar Tua Oma Irama (1977)
Berkelana (1978)
Rupiah (1978)
Begadang (1978)
Filmografi
Oma Irama Penasaran (1976)
Gitar Tua Oma Irama (1977)
Darah Muda (1977)
Rhoma Irama Berkelana I (1978)
Rhoma Irama Berkelana II (1978)
Begadang (1978)
Raja Dangdut (1978)
Cinta Segitiga (1979)
Camelia (1979)
Perjuangan dan Doa (1980)
Melody Cinta Rhoma Irama (1980)
Badai di Awal Bahagia (1981)
Satria Bergitar (1984)
Cinta Kembar (1984)
Pengabdian (1985)
Kemilau Cinta di Langit Jingga (1985)
Menggapai Matahari (1986)
Menggapai Matahari II (1986)
Nada-Nada Rindu (1987)
Bunga Desa (1988)
Jaka Swara (1990)
Nada dan Dakwah (1991)
Tabir Biru (1994)
Dawai 2 Asmara (2010)