SlideShare a Scribd company logo
1 of 166
Download to read offline
1
Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum
Perdagangan Internasional (WTO)
Huala Adolf
2
DAFTAR ISI
BAB 1 PENGANTAR
BAB 2 LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs
Addendum: Canada Administration of the Foreign Investment Review Act,
Report of the Panel, 7 February 1984.
BAB 3 NEGOSIASI TRIMs DALAM PUTARAN URUGUAY (URUGUAY ROUND)
BAB 4 PERJANJIAN WTO MENGENAI TRIMS
Addendum: Agreement on Trade-Related Investment Measures
BAB 5 ARTI PENTING PERJANJIAN TRIMs
BAB 6 PERKEMBANGAN PERJANJIAN TRIMs DALAM KONPERENSI TINGKAT TINGGI
WTO
BAB 7 SENGKETA PENANAMAN MODAL DI WTO: SENGKETA MOBIL NASIONAL RI
Addendum: Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile
Industry, Report of the Panel, 2 July 1998.
3
KATA PENGANTAR
Buku berjudul 'Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum
Perdagangan Internasional (WTO)' ini merupakan buku sejenis Cases
and Materials. Buku ini memuat bacaan awal atau dasar mengenai
perjanjian penanaman modal dalam WTO, yani Perjanjian TRIMs -
(Trade-Related Investment Measures), muatan isi perjajian TRIMs,
dan perkembangan negosiasi Perjanjian TRIMs dalam WTO.
Penulis menyusun naskah ini karena sangat kurangnya buku-
buku mengenai hukum perdagangan internasional (WTO) di tanah air.
Sedangkan kebutuhan akan tulisan atau buku seperti ini masih
langka. Buku ini memuat perjanjian dan sengketa-sengketa GATT dan
WTO yang terkait dengan penanaman modal. Dalam buku ini dua
sengketa yang secara khusus terkait mengenai TRIMs, yaitu sengketa
the FIRA (Foreign Review Investment Act) Case, yaitu sengketa yang
terjadi dalam kerangka GATT. Sengketa kedua adalah sengketa Mobil
Nasional RI (Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile
Industry), yaitu sengketa pertama dan terkenal sehubungan dengan
pembahasan mengenai TRIMs dalam WTO.
Buku ini semata-mata buku pengantar untuk memahami TRIMs
lebih lanjut. Kepada penerbit PT Rajagrafindo Persada yang telah
bersedia menerbitkan naskah-naskah penulis sebelumnya, penulis
ucapkan terima kasih. Mudah-mudahan buku ini dapat memberi setitik
sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum yang kita cintai. Kritik
dan saran perbaikan atas buku ini akan penulis hargai dan ucapkan
terima kasih.
Bandung, Mei 2004.
Huala Adolf SH LLM PhD
1
BAB I
PENGANTAR
A. Pendahuluan
Penanaman modal asing1
berperan penting baik di negara maju
maupun negara sedang berkembang. Di dalam suatu laporannya yang
diterbitkan pada tahun 1996, WTO menunjukkan bahwa telah terjadi
suatu perkembangan yang cukup mendasar di bidang penanaman modal,
khususnya sejak tahun 1980-an. Aliran penanaman modal secara
global hanyalah sekitar 60 miliar dollar AS pada tahun 1985. Namun
angka ini mengalami peningkatan yang cepat dalam kurun waktu 10
tahun kemudian (pada tahun 1995), yaitu sebesar 315 miliar dollar
AS.2
Demikian pula aliran penanaman modal asing ke negara-negara
sedang berkembang mengalami perkembangan yang berarti dalam jangka
waktu 15 tahun terakhir. Aliran penanaman modal asing ke negara-
negara ini telah mengalami peningkatan yang berarti, yaitu dari
1
Prof. M. Sornarajah mendefinisikan penanaman modal sebagai 'the
transfer of tangible or intangible assets from one country to another
for the purpose of use in that country to generate wealth under the
total or partial control of the owner of the assets.' (M. Sornarajah,
The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge U.P., 1994), hlm.
4. Cf., Untuk definisi lainnya, lihat: Paul E. Comeaux & N. Stephan
Kinsella, Protecting Foreign Investment Under International Law (Dobbs
Ferry, New York: Oceana Publications Inc., 1997), hlm. xix,xx. Untuk
kajian hukum internasional secara umum mengenai penanaman modal lihat,
antara lain, G. Schwarzenberger, Foreign Investment and International
Law (London: Stevens & Sons, 1969); Cynthia D. Wallace, (ed.), Foreign
Direct Investment in the 1990s (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff,
1990); Ibrahim F.I. Shihata, Legal Treatment of Foreign Investment: The
World Bank Guidelines (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1993);
Richard B. Lilich, The Protection of Foreign Investment (Syracuse, New
York: Sijthoff, 1965); Zouhair A. Kronfol, Protection of Foreign
Investment (Leiden: Sijthoff, 1972). Untuk kajian mengenai praktek
(hukum) penanaman modal asing, lihat P.T. Muchlinski, Multinational
Enterprises and the Law (Oxford, Cambridge: Blackwell, 1995).
2
WTO, Annual Report 1996, (Geneva: WTO, 1996), hlm. 44; Lihat pula:
UNCTAD, World Investment Report: 1996 (New York: United Nations, 1996).
2
sekitar hanya 5 persen di tahun 1983 hingga 1987, menjadi 15
persen pada tahun 1995, yaitu sekitar 200 miliar dollar AS.3
Meskipun adanya peningkatan, namun tidak ada penjelasan
resmi mengenai sebab-sebab terjadinya peningkatan angka penanaman
modal tersebut. Namun demikian sebuah penelitian menunjukkan bahwa
adanya liberalisasi hukum penanaman modal asing baik di negara
maju maupun negara berkembang menjadi faktor penyebab utama
meningkatnya angka penanaman modal asing tersebut.4
Yang menjadi permasalahan cukup mendasar adalah bahwa hukum
internasional yang mengatur bidang ini ternyata berkembang agak
lambat guna mengimbangi perkembangan ini. Salah satu pendapat yang
berkembang mengungkapkan bahwa lambatnya perkembangan hukum
internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena
kurangnya upaya koordinasi masyarakat internasional untuk
merumuskan aturan-aturan hukum di bidang ini.
Pendapat lainnya menyatakan bahwa lemahnya aturan hukum
internasional mengatur bidang ini disebabkan karena tidak adanya
keinginan yang sungguh dari masyarakat internasional. Michael
Geist mengungkapkan bahwa tidak adanya niat yang serius dari
berbagai negara untuk mengatur bidang ini merupakan kendala bagi
perkembangan hukum di bidang investasi.5
Ada pula yang berpendirian bahwa alasan utama dari lambatnya
hukum internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena
3
WTO, Annual Report 1996 (Geneva: WTO, 1996), hlm. 46.
4
Untuk kajian umum mengenai hal ini, lihat: Renato Ruggiero, 'Whither
The Trade System Next?' dalam: Jagdish Bhagwati & Mathias Hirsch,
(eds.), The Uruguay Round and Beyond. (Berlin, New York: Springer,
1998), khususnya hlm. 126 et.seq.
3
tidak adanya lembaga khusus yang memformulasikan hukum
internasional di bidang penanaman modal asing.6
Pada prinsipnya terdapat 4 (empat) bidang utama dari hukum
internasional yang mengatur penanaman modal ini.
(1) Hukum internasional yang mengatur perlindungan terhadap
investor dan harta miliknya.
(2) Hukum internasional yang mengatur hubungan atau transaksi
bilateral antara dua negara (yang disebut juga sebagai BIT
atau bilateral investment treaty). Perjanjian seperti ini
banyak dibuat baik negara maju maupun berkembang.
(3) Hukum internasional yang mengatur upaya-upaya penanaman modal
di suatu wilayah (region) tertentu. Upaya ini timbul sebagai
reaksi ketidakpuasan terhadap hukum internasional yang
melindungi investor dan harta miliknya. Termasuk dalam hal
ini adalah prinsip pembayaran ganti rugi manakalah terjadi
nasionalisasi penanaman modal asing.
(4) Berkembangnya aturan hukum internasional baru yang mengatur
upaya-upaya penanaman modal yang terkait dengan perdagangan
internasional (the trade-related investment measures atau
TRIMs dalam kerangka WTO).7
Bidang keempat pengaturan hukum penanaman modal ini timbul
sebagai reaksi terhadap semakin meningkatnya kekhawatiran para
investor asing dan negara-negara maju terhadap semakin banyaknya
5
Michael A Geist, 'Toward a General Agreement on the Regulation of
Foreign Direct Investment,' 26 Law & Pol'y Int'l Bus. 673 (1995).
6
M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 15,16.
4
kebijakan-kebijakan penanaman modal khususnya di negara sedang
berkembang. Mereka menganggap upaya-upaya atau kebijakan penanaman
modal tersebut telah mempengaruhi atau berdampak terhadap
perdagangan internasional.
Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini telah semakin
dirasakan seiring dengan semakin berkembangnya kesadaran
masyarakat internasional. Fenomena tersebut sekarang ini digembar-
gemborkan sebagai liberalisasi atau globalisasi ekonomi. Termasuk
di dalamnya adalah dijunjung tingginya kebebasan aliran penanaman
modal. Bidang keempat dari hukum internasional ini sekarang telah
menjadi hukum internasional positif setelah dirampungkannya hasil-
hasil perundingan Uruguay yakni dengan disahkannya perjanjian
mengenai TRIMs.
Buku ini mengkaji secara ringkas bidang hukum internasional
mengenai penanaman modal yang keempat. Kajian menunjukkan bahwa
lambatnya di dalam mengembangkan hukum intenasional di bidang ini
semata-mata disebabkan karena sulitnya upaya untuk mencakup dan
mengatur seluruh aspek mengenai hukum penanaman modal asing.
Besarnya perbedaan pandangan antara negara maju dan negara
berkembang ternyata sulit sekali untuk mencapai titik temu. Negara
maju menekankan pentingnya keterbukaan dan dihilangkannya semua
upaya atau kebijakan penanaman modal yang terkait dengan
perdagangan atau rintangan-rintangan penanaman modal.
Sebaliknya, negara sedang berkembang menganut sikap
preventif. Mereka acapkali menyandarkan diri kepada alasan
7
Untuk kajian mengenai sejarah atau latar belakang mengenai TRIMs,
lihat: Paul B. Christy III, 'Negotiating Investment in the GATT: A Call
5
kedaulatan dan menekankan kepada kebutuhan penanaman modal yang
dikaitkan dengan aspek pembangunan.
Kajian ini juga menyimpulkan bahwa: Pertama, WTO, bukan Bank
Dunia, PBB atau OECD, adalah forum yang tepat untuk mengatur
upaya-upaya penanaman modal yang merintangi perdagangan
internasional (TRIMs).
Kedua, kebijakan-kebijakan penanaman modal yang termuat
dalam hukum nasional masing-masing negara sedikit banyak akan
mempengaruhi posisi atau pendirian negara-negara tersebut di dalam
proses negosiasi pembentukan aturan-aturan penanaman modal.
B. Upaya-upaya Penanaman Modal yang terkait dengan Perdagangan
(Trade Related Investment Measures).
Dewasa ini, negara-negara penerima penanaman modal asing
tidak lagi menganggap masuknya modal asing sebagai suatu ancaman.
Mereka tidak lagi memandangnya dengan kecurigaan. Pendirian ini
berbeda di waktu awal tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Pada
waktu itu negara-negara sedang berkembang masih kental menganggap
bahwa masuknya modal asing adalah suatu ancaman penjajahan
(ekonomi) baru dari bekas negara kolonial-nya (asing). Karena itu,
setiap bentuk modal asing akan dipandang sebagai sesuatu yang
patut dicurigai.
Dewasa ini pandangan tersebut berubah. Modal asing tidak
lagi dipandang sebagai suatu, istilah Sir Leon Brittan, ‘Trojan
for Functionalism,' 12 Mich. J. Int'l.L 743 (1991).
6
Horses’ (‘Kuda-kuda bangsa Troja’).8
Sekarang negara berkembang
berpendapat bahwa modal asing dapat memberi modal kerja dan
mendatangkan keahlian manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan
koneksi pasar.9
Penanaman modal asing dapat pula berperan dalam meningkatkan
pendapatan mata uang asing melalui aktivitas ekspor oleh
perusahaan multinasional (Multinational Enterprise atau MNE).10
Yang juga penting, penanaman modal asing (PMA) tidak melahirkan
utang baru. Selain itu negara penerima tidak perlu merisaukan atau
menghadapi risiko manakala suatu PMA yang masuk ke negerinya
ternyata tidak mendapatkan untung dari modal yang ditanamnya.11
Meskipun adanya aspek-aspek positif dari PMA dalam membantu
upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negara-negara
penerima, PMA ternyata dapat pula berdampak negatif terhadap
perekonomian negara penerima. Namun demikian sudah lama diakui
bahwa PMA dapat melahirkan sengketa dengan negara penerima atau
dengan penduduk asli setempat, khususnya di negara-negara sedang
berkembang.
8
Sir Leon Brittan, 'Building on the Singapore Ministerial: Trade,
Investment and Competition,' dalam: Jagdisch Bhagwati & Mathias Hirsch,
supra, note 4, hlm. 272.
9
William A. Fennel and Joseph W. Tyler, Trade and International
Investment from the GATT to the Multilateral Agreement on Investment
(1995), hlm. 2003.
10
Lihat Eric M. Burt, 'Developing Countries and the Framework for
Negotiations on Foreign Direct Investment in the World Trade
Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L & Pol'y 1022 (1997); Ibrahim F.I.
Shihata, 'Factors Influencing the Flow of Foreign Investment and the
Relevance of a Multilateral Guarantee Scheme,' 21 Int'l. Law 671, 675
(1987).
11
William A. Fennel, supra, note 9, hlm. 23.
7
Dampak lainnya adalah bahwa PMA oleh MNE dapat mengontrol
atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal.12
Sebagai akibatnya,
mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan
kebijakan-kebijakan politis dari negara penerima.
Di samping itu pula, MNE banyak dikecam telah mengembalikan
keuntungan-keuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara di mana
perusahaan induknya berada. Praktek seperti ini sedikitnya telah
mengurangi cadangan persediaan mata uang asing (foreign exchange
reserves) dari negara penerima.
Yang lebih banyak dikecam pula adalah adanya tuduhan-tuduhan
terhadap MNE yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak
lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama di negara-negara
sedang berkembang. Pasalnya adalah, MNE ini telah menggunakan zat-
zat yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang
tidak atau kurang memperhatikan kelestarian lingkungan.13
Dampak negatif lainnya adalah bahwa MNE dikritik telah
merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal itu sendiri di
negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya praktek MNE yang
acapkali menerapkan kegiatan-kegiatan usahanya yang bersifat
restriktif (restrictive business practices).14
12
Sir Leon Brittan, supra, note 8, hlm. 271 (berpendapat bahwa banyak
negara maju, khususnya di Eropa dan sekutunya menganggap penanaman modal
sebagai saingan yang potensial terhadap perusahaan di dalam negeri).
13
Misalnya saja, perusakan lingkungan di Papua (Irian Jaya) sebagai
akibat dari pengoperasian proyek tembaga dan mas oleh PT Freeport
Indonesia (suatu anak perusahaan Amerika Serikat, the Freeport-McMoran
Company), atau kasus bocornya reaktor nuklir di India yang terkenal
dengan kasus the Bhopal case.
14
Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1023.
8
C. TRIMS di Negara Sedang Berkembang.
Dengan mengingat dampak-dampak negatif PMA, dewasa ini
negara-negara berkembang umumnya berpendapat bahwa akivitas atau
ruang lingkup usaha perusahaan-perusahaan besar ini perlu
dibatasi. Mereka tidak boleh dengan bebas menanamkan modalnya di
segala sektor. Negara-negara ini memandang bahwa PMA harus diawasi
guna mencegah timbulnya aspek-aspek negatif tersebut tadi.15
Negara-negara berkembang umumnya,16
menerapkan pengawasan
modal yang tertuang dalam bentuk berbagai upaya penanaman modal
dan persyaratan-persyaratan penanaman modal. Persyaratan-
persyaratan demikian sekarang dikenal dengan istilah TRIMs atau
trade-related investment measures terhadap perusahaan-perusahaan
asing yang hendak menanamkan modalnya. Tujuan utama dari pengenaan
upaya-upaya atau persyaratan-persyaratan ini oleh negara penerima
adalah untuk mengatur dan mengontrol aliran PMA sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi tujuan pembangunannya.17
15
Pendekatan ini yang diperkenalkan oleh Prof. M. Sornarajah, yang
dikenal pula sebagai teori jalan tengah ('middle path theory'). Teori
ini berupaya mendamaikan adanya polarisasi dari dua teori yang saling
bersilangan, yaitu teori klasik ('classical theory') yang berpendapat
bahwa semua PMA adalah baik sifatnya dan teori kedua yaitu teori
ketergantungan ('dependency theory') yang beranggapan bahwa semua PMA
sifatnya adalah membahayakan. (Lihat, M. Sornarajah, supra, note 1, hlm.
45 et.seqq).
16
Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1982 oleh pemerintah Amerika
Serikat menunjukkan bahwa negara-negara sedang berkembang telah
menerapkan sekitar 28 per sen TRIMS dibandingkan dengan negara-negara
maju yang hanya menerapkan 7,5 %. (David Greenaway, 'Why Are We
Negotiating on TRIMs?', dalam: David Greenaway, et.al., Global
Protectionism (Macmillan, Hampshire, 1991), hlm. 152.
17
Mina Mashayekhi and Murray Gibbs, 'Lessons from the Uruguay Round
Negotiations on Investment,' 33:6 JWT 1 (1999) (menyatakan antara lain
bahwa negara-negara sedang berkembang lebih menyukai kombinasi antara
insentif penanaman modal dan persyaratan pelaksanaan (performance
requirements) guna memenuhi tujuan pembangunannya); United Nations
Centre on Transnational Corporations, United Nations Conference on Trade
and Development, The Impact of Trade Related Investment Measures on
9
Pada prinsipnya TRIMs ini merupakan unsur yang penting bagi
kebijakan-kebijakan negara tuan rumah, terutama negara sedang
berkembang. Beberapa negara sedang berkembang bahkan ada pula yang
menganggap TRIMs sebagai sarana pembangunannya.18
Negara
berkembang lainnya menggunakan TRIMS ini untuk meminimalkan dampak
dari PMA. Negara-negara ini telah pula menjadikan upaya-upaya
tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya untuk mencapai
tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya.19
Tujuan lainnya dari negara tuan rumah di dalam menerapkan
TRIMS ini adalah mencegah perusahaan PMA untuk membuat putusan
atau kebijakan yang sifatnya lintas batas. Putusan atau kebijakan
seperti ini biasanya dapat mempengaruhi kebijakan atau
perekonomian negara tuan rumahnya.20
Di samping itu pula,
penerapan TRIMS dipandang semata-mata sebagai suatu hak atau
kebijakan setiap negara yang merdeka untuk mengatur
Trade and Development (UN Doc.ST/CTC/120, U.N. Sales No. E.91.II,A.19
(1991).
18
Lihat misalnya pernyataan yang dibuat oleh Delegasi ASEAN pada Joint
ASEAN Statement on the Uruguay Round at the APEC Ministerial Meeting,
Singapore, 30 July 1990, para. 14.
19
Ralph H. Folsom & Michael W. Gordon, International Business
Transactions, vol. 2 (St. Paul Minn.,: West Publishing Co., 1995), hlm.
137 (menyatakan bahwa negara-negara sedang berkembang berpendirian bahwa
TRIMS adalah sarana untuk mendorong tujuan-tujuan pemerintah di dalam
memajukan pembangunan ekonomi dan memastikan perdagangan yang
berimbang); Rachel McCulloch, 'Investment Policies in the GATT,' 13
World Economy 541, 545 (1990), (mengungkapkan berbagai bentuk kebijakan
nasional di bidang penanaman modal), Edmund M.A. Kwan, 'Trade Related
Investment Measures in the Uruguay Round: Towards a GATT for
Investment,' 16 N.C.J.Int'l.L.& Com.Reg. 309, 309, 319 (1991).
20
Lars Oxelheim, 'Foreign Direct Investment and the Liberalization of
Capital Movements,' dalam Lars Oxelheim (ed)., The Global Race for
Foreign Direct Investment, (Berlin: Springer-Verlag, 1993), hlm. 14.
Cf., Puri dan Bondap berpendapat bahwa TRIMS tidak semata-mata mengatur
FDI untuk memenuhi kebijakan negara tuan ruman tetapi juga untuk
mengundang investor datang ke negaranya. (Puri and Bondad, 'TRIMS,
Development Aspects and the General Agreement,' dalam Uruguay Round:
Further Papers on Selected Issues, (New York: United Nations, 1990),
hlm. 57.
10
perekonomiannya termasuk PMA di dalamnya (guna mencegah dampak
buruk dari PMA).21
Kebijakan seperti ini sudah barang tentu suatu langkah yang
lebih menguntungkan negara penerima (khususnya negara sedang
berkembang) daripada negara-negara maju (pengimpor modal dan
negara di mana perusahaan-perusahaan besar berdomisili).22
Para investor asing sebaliknya berpendapat lain. Mereka
beranggapan, TRIMS merupakan rintangan terhadap perdagangan dunia
dan aliran penanaman modal serta telah menghalangi mereka dalam
menerapkan strategi kompetitif global yang terpadu.23
Suatu
penelitian yang dilakukan pada tahun 1977 dan 1982, misalnya,
menunjukkan bahwa 45 hingga 60 persen perusahaan-perusahaan
Amerika Serikat terkena pengaruh dari adanya TRIMS ini.24
21
P.T Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172. Untuk kajian secara umum
tentang TRIMS, khususnya mengenai sifat dan perkembangannya, lihat:
United Nations Centre on Transnational Corporations, United Nations
Conference on Trade and Development, The Impact of Trade Related
Investment Measures on Trade and Development (UN Doc.ST/CTC/120, U.N.
Sales No. E.91.II,A.19 (1991).
22
Cf., sewaktu Tokyo Round (1979) berlangsung, mantan duta besar Kanada
untuk GATT menyatakan bahwa kebijakan negara-negara sedang berkembang
yang mengenakan syarat-syarat terhadap penanaman modal asing langsung
merupakan praktek yang telah lama berlangsung dan diakui. Beliau
berpendapat bahwa secara umum para investor asing pun dapat menerima
adanya persyaratan-persyaratan tersebut sebagai harga yang harus dibayar
atas kesempatan untuk membuat keuntungan yang besar di dalam pasar
negara-negara sedang berkembang. (Rodney de C. Grey, " '1992' TRIMS and
Selected Issues (New York: United Nations, 1990), hlm. 238).
23
UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New
York: UN, 1997), hlm. 135.
24
Low and Subramanian, 'TRIMs in the Uruguay Round: An Unfinished
Business,' dalam: Robert M. Stern, (ed.), Multilateral Trading System
(Ann Arbor: the University of Michigan Press, 1993), hlm. 418. Cf.,
suatu pandangan yang berbeda dikemukakan oleh sarjana Hong Kong yang
menyatakan tidak ada bukti yang jelas dan dapat diterima bahwa TRIMS
benar-benar merintangi perdagangan dan aliran penanaman modal. Suatu
kajian dari sudut pandang ekonomi mengungkapkan bahwa TRIMS sesungguhnya
dapat digunakan secara efisien sebagai penyangkal atas akibat buruk dari
akibat negatif dari perdagangan dan penanaman modal. (Lihat lebih
lanjut: Eden S.H. Yu and Chi-Chun Chao, 'On Investment Measures and
Trade,' 21 World Economy 4 (1998), hlm. 549 dan khususnya hlm. 559.
11
Pada umumnya, persyaratan penanaman modal dapat digolongkan
ke dalam dua bentuk.25
Pertama, persyaratan masuk (entry
requirement) dan kedua, persyaratan operasional (operational
requirement). Kebijakan negara-negara menunjukkan bahwa pada
umumnya negara-negara menerapkan kedua bentuk persyaratan tersebut
sebagai syarat untuk masuknya modal asing ke negaranya.26
Pada tahap pertama, yaitu persyaratan masuk (entry
requirement), biasanya badan penanaman modal dari negara penerima
memeriksa apakah usulan atau proposal penanaman modal asing sesuai
atau cocok dengan tujuan-tujuan pembangunan negaranya.
Pertimbangan lainnya, apakah proposal tersebut memberikan
keuntungan kepada negara penerima.27
Karena itu, manakala negara
penerima setelah memeriksa suatu proposal PMA beranggapan bahwa
proposal tersebut tidak memenuhi persyaratan masuk atau
persyaratan kebijakan penanaman modal nasionalnya, maka pemerintah
tersebut dapat menolak permohonan penanaman modal.
Sebaliknya, manakala pemerintah negara penerima beranggapan
bahwa suatu usulan PMA memenuhi persyaratan untuk masuknya suatu
penanaman modal, maka negara yang bersangkutan akan menerapkan
persyaratan yang kedua, yaitu persyaratan operasional atau
persyaratan pelaksanaan (operational atau performance
requirements). Ruang lingkup persyaratan-persyaratan ini cukup
25
Lihat juga Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172 et.seq.
26
Fennel berpendapat bahwa ada juga TRIMS yang tidak secara eksplisit
merupakan bagian dari kebijakan perdagangan, yaitu rintangan-rintangan
birokrasi di berbagai negara sedang berkembang yang dapat menjadi
rintangan bagi penanaman modal. (Lihat: William A. Fennel and Joseph W.
Tyler, supra, note 9, hlm. 2034).
27
M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100-102.
12
luas, bergantung kepada tujuan atau kebijakan masing-masing
negara.
Namun demikian persyaratan pelaksanaan yang paling umum
adalah persyaratan menggunakan kandungan local (local content
requirements), persyaratan perdagangan yang berimbang (trade
balancing requirements) persyaratan ekspor (export performance
requirements), pembatasan impor (limitation on imports),
persyaratan mata uang asing dan pengiriman mata uang asing
(foreign exchange and remittance requirements), persyaratan modal
minimum (minimum local equity requirements), persyaratan alih
teknologi (technology transfer requirements), dan persyaratan
lisensi produk (product licensing requirements).28
Dengan diterapkannya persyaratan-persyaratan ini, negara
tuan rumah akan memastikan bahwa PMA akan memberikan keuntungan
maksimum kepada pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, PMA akan
digunakan sebaik-baiknya untuk membangun atau untuk memenuhi
rencana pembangunan atau rencana perekonomian negaranya.
Semua persyaratan ini lebih banyak dan lazim dipraktekkan
oleh negara tuan rumah. Legalitas upaya ini disandarkan pada
alasan untuk memelihara kedaulatan atau pengawasan negara terhadap
PMA.29
Setiap usulan penanaman modal yang tidak memenuhi tujuan
dari negara tuan rumah atau usulan PMA yang diduga akan
28
Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1025.
29
Maskus and Eby, 'Developing New Rules and Disciplines on Trade-Related
Investment Measures,' in Robert M. Stern (ed.), supra, note 24, hlm.
451.
13
membahayakan tujuan pembangunan negaranya, maka negara tersebut
akan menolak masuknya PMA.30
Semua upaya atau kebijakan tersebut adalah sah. Pada
prinsipnya hukum internasional memberikan kekuasaan, jurisdiksi
atau hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap
kegiatan. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan perdagangan atau
ekonomi di wilayahnya.
Perlu ditekankan di sini bahwa jangka waktu penanaman modal
MNEs di negara tuan rumah biasanya cukup lama. Karena itu,
pertimbangan waktu inilah yang juga menjadi latar belakang mengapa
negara tuan rumah mengatur ruang lingkup PMA. Langkah ini perlu
guna mengantisipasi akibat-akibat yang mungkin timbul di kemudian
hari dari PMA melalui berbagai kebijakan atau persyaratan.31
Kewenangan negara tuan rumah untuk mengatur masuknya PMA
hanya tunduk kepada perjanjian-perjanjian internasional (di bidang
PMA) yang ditandatangani oleh negara yang bersangkutan.32
Pengakuan atas hak ini sangat penting untuk negara-negara,
khususnya negara sedang berkembang. Hak tersebut diperlukan untuk
mengatur dan mengawasi masuknya PMA ke dalam wilayahnya.33
Prof.
M. Sornarajah menjelaskan hak ini sebagai berikut:34
'The right of a state to control entry of foreign investment
is unlimited, as it is a right that flows from sovereignty.
Entry of any foreign investment can be excluded by a state.
Once an alien enters a state, both he and his property are
30
M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100.
31
Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1027.
32
Muchlinski, supra, note 1, hlm. 173.
33
Dapat dikemukakan di sini bahwa adanya pengakuan untuk mengatur dan
mengontrol ini telah mencerminkan pendirian negara-negara sedang
berkembang di Uruguay Round mengenai TRIMS.
34
M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 83.
14
subject to the law of the host state. This result flows from
the fact that the foreign investor had voluntarily subjected
himself to the regime of the host state by making entry into
it. The absoluteness of the right to exclude the alien prior
to entry becomes somewhat modified after entry as the alien
then comes to enjoy a status, which is protected by
international law.'
Tampak bahwa hukum internasional berperan penting di dalam
penanaman modal. Peranan hukum ini juga cukup luas. Ia juga
berperan penting di dalam menyelesaikan sengketa yang timbul
antara dua negara, yakni antara negara penerima dengan negara dari
para investor.35
Uraian di atas menunjukkan hukum internasional telah
mengakui hak negara-negara untuk mengontrol orang asing (investor
asing atau MNE). Ironisnya perkembangan hukum internasional di
bidang ini (khususnya PMA) masih diwarnai oleh berbagai debat di
antara para ahli hukum internasional.36
Latar belakang dari keadaan ini adalah masih adanya sengketa
atau polarisasi pandangan antara (sarjana-sarjana) negara maju dan
negara sedang berkembang. Pada prinsipnya sarjana dari negara maju
berpandangan perlunya suatu rejim hukum internasional yang
liberal, yaitu rejim yang tidak boleh menghalangi aliran penanaman
modal ke mana pun juga.
Sedangkan sarjana dari negara berkembang acapkali masih
bersandar pada prinsip kedaulatan negara. Mereka berpendapat bahwa
35
M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 7-8. Secara umum, peranan yang
dimainkan oleh hukum internasional antara lain adalah bahwa hukum ini
meletakkan beberapa prinsip tentang penyelesaian sengketa, misalnya
saja, prinsip penyelesaian sengketa melalui cara-cara damai, atau
larangan menggunakan kekerasan di dalam menyelesaikan sengketa.
15
adalah hak berdaulat setiap negara untuk mengontrol setiap PMA,
dari manapun asalnya, yang masuk ke dalamnya.37
Pandangan negara-negara maju terhadap adanya TRIMS adalah
bahwa TRIMS tersebut telah memaksa mereka untuk mempertimbangkan
faktor-faktor non-ekonomis di dalam rencana penanaman modal
mereka. Dalam pandangan mereka, TRIMS tidaklah kondusif dan telah
menjadi rintangan bagi perdagangan. Karena itu, mereka bertekad
untuk mengurangi atau bahkan menghapus adanya upaya-upaya TRIMS
tersebut.
D. TRIMS di Negara Maju
Meskipun adanya pandangan-pandangan di atas, beberapa negara
maju sebenarnya telah juga menerapkan rintangan-rintangan
perdagangan terhadap penanaman modal. Hal ini terjadi ketika
beberapa negara telah berubah kedudukannya, yaitu bukan lagi
semata-mata sebagai pengekspor modal, tetapi juga sebagai
pengimpor atau penerima modal asing.38
Adalah benar bahwa negara-negara ini telah mengurangi atau
berupaya menghapus rintangan-rintangan penanaman modal. Namun
rintangan tersebut tidak seluruhnya hilang. Ada beberapa rintangan
yang masih ada. Ada dua alasan mendasar mengapa beberapa rintangan
masih dipertahankan. Pertama, negara maju kadang-kadang pula
36
Prof. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 1 (menyatakan bahwa hukum
penanaman modal telah menjadi bahan debat yang cukup sengit di antara
para sarjana hukum internasional pada pertengahan abad ke dua-puluh).
37
M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85.
38
Robert H. Edwards Jr and Simon N. Lester, 'Towards a More
Comprehensive World Trade Organization on Trade-Related Investment
Measures,' 33 Stan.J. Int'l.L. 169 (1997), khususnya hlm. 184-186
(memberikan contoh-contoh praktek Amerika Serikat dan Kanada di dalam
menerapkan TRIMS terhadap penanaman modal asing).
16
menyandarkan pendekatannya kepada rasa nasionalisme yang tinggi.
Kedua, terdapat rasa kekhawatiran pada sebagian negara maju bahwa
modal asing akan mengambil alih aset-aset produktif di
negaranya.39
Selain itu, beberapa negara maju telah pula menutup atau
melarang beberapa sektor untuk PMA. Atau, kalaupun akhirnya
sektor-sektor tersebut diliberalisasi, tingkat keikutsertaan PMA
di sektor tersebut sangat dibatasi.40
PMA tidak diperkenankan
untuk ikut serta di dalam permodalan di dalam privatisasi aset-
aset milik negara. Atau, PMA ini akan dikaji dan hanya
diperbolehkan manakala mereka telah memenuhi beberapa persyaratan
tertentu.41
Negara-negara maju utama, seperti Eropa, Kanada, Australia
dan bahkan Amerika Serikat mempraktekkan kebijakan-kebijakan
penanaman modal seperti ini. Mereka menyandarkan kebijakan-
kebijakan tersebut kepada standar-standar mereka yang pada
hakekaktnya merupakan hambatan terhadap masuknya PMA ke negara-
negara tersebut. Dalam laporan pada tahun 1988, PBB mengungkapkan
bahwa Amerika Serikat telah membatasi kepemilikan atas sektor-
sektor oleh PMA yang dapat mempengaruhi atau mengancam keselamatan
dan kepentingan vital, seperti pengangkutan laut (maritim) dan
pengangkutan udara.42
39
Lars Oxelheim, supra, note 20, hlm. 27.
40
Stephen J. Canner, 'Trade and International Investment: from GATT to
the Multilateral Agreement on Investment,' dalam: Joseph F. Dennin,
(ed)., Law and Practice of the World Trade Organization (New York:
Oceana Publ., 1995), hlm. 12.
41
Stephen J. Canner, Ibid, hlm. 12.
42
William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2037,
(mengutip U.N. Center on Transnational Corps., 7 National Legislation
17
Guna mengantisipasi masuknya PMA ke negaranya, Amerika
Serikat mengundangkan suatu Undang-Undang yang disebut Defense
Production Act. Tujuan utama dari UU ini adalah mengawasi dan
melindungi produk-produk yang sifatnya strategis bagi pertahanan
Amerika Serikat.
Di tahun 1975, Amerika Serikat mendirikan suatu badan antar
departemen yang disebut the Interagency Committee on Foreign
Investment in the U.S. (CFIUS). Badan baru ini bertugas mengawasi
aliran masuk PMA di bidang perminyakan.
Setahun kemudian di tahun 1976, Amerika Serikat
mengundangkan the International Investment and Trade in Service
Survey Act (IITSSA) guna memonitor aliran penanaman modal Amerika
Serikat ke luar negeri dan PMA yang masuk ke dalam wilayah Amerika
Serikat. The IITSSA mewajibakan para investor untuk memberikan
laporan secara periodik mengenai kegiatan penanaman modalnya.43
Pada tahun 1988, pemerintah Amerika Serikat mengundangkan
the Exxon-Florio Act. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada
presiden untuk mengkaji ulang setiap penanaman modal asing. Kajian
ini dipandang perlu dilakukan untuk mengetahui apakah penanaman
modal tersebut akan mempengaruhi atau membahayakan keamanan
nasional Amerika Serikat. Undang-Undang ini juga memberi wewenang
kepada presiden untuk menunda atau melarang PMA yang ternyata
and Regulation Relating to Transnational Corporations 289, ST/CTC/31,
U.N. Sales No. E. 89. II. A.9 [1989]).
43
Robert H. Edwards Jr and Simon N. Lester, supra, note 38, hlm. 184-
186.
18
mempengaruhi atau membahayakan keamanan nasional Amerika
Serikat.44
44
William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2037; M.
Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85.
1
BAB II
LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs
Hingga dewasa ini belum ada aturan hukum internasional
komprehensif yang mengatur PMA. Sedangkan lembaga internasional
yang mengatur dan mengawasi liberalisasi PMA baru terbentuk pada
tahun 1995. Alasan utama dari keadaan ini adalah karena upaya-
upaya masyarakat internasional terhadap masalah ini masih sangat
sektoral sifatnya.1
Dalam perkembangan awalnya, penanaman modal asing secara
langsung mulai tampak di masa penjajahan (kolonialisme). Penanaman
modal pada waktu itu berlangsung dalam bentuk pergerakan manusia
(investor) bersama modalnya dari Eropa ke negara-negara di Asia,
Afrika dan Amerika selatan. Umumnya modal yang ditanamkan tersebut
ditujukan untuk mengeksploitasi kekayaan melimpah di negara-negara
tersebut.
Pemerintah penjajah biasanya membuat suatu kebijakan yang
menarik bagi para investor asing. Mereka juga memberikan
perlindungan dan jaminan bahwa para investor dan harta bendanya
dapat tunduk kepada jurisdiksi pengadilan negara penerima di mana
para investor tersebut berdomisili atau menginvestasikan modalnya.
1
Cf., Pandangan yang berbeda dapat terlihat dalam: Lee E. Preston and
Duane Windsor, (eds)., The Rules of the Game in the Global Economy:
Policy Regime for International Business, (Boston-Dordrecht-London:
Kluwer, 2nd.ed., 1977), hlm.137 (yang berpendapat bahwa peranan penaman
modal asing akan memainkan perannya pasca perang tata ekonomi
internasional tidak diantisipasi manakala fondasi dari hukum perdagangan
dan pembayaran tidak ada).
2
Atau, mereka diperkenankan pula untuk tunduk kepada jurisdiksi
nasional negara para investor tersebut.2
Sebenarnya perlindungan investasi pada waktu itu tidak
merupakan masalah yang penting. Umumnya para penguasa
(pemerintahan penjajahan) telah menjadikan masalah perlindungan
ini sebagai salah satu bagian dari kebijakannya di wilayah negara
jajahannya. Karena itu kebutuhan investor akan perlindungan hukum
internasional tidaklah begitu penting.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang diikuti oleh
lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Selatan
yang memerdekakan dirinya, para investor mulai mengfokuskan
perhatiannya kepada pembangunan kembali negara-negara baru
tersebut. Mereka berupaya pula mencari syarat-syarat yang
menguntungkan di dalam usaha penanaman modalnya.3
Dalam masa ini terjadi suatu masa baru di mana para investor
dan pemerintah negara-negara baru tersebut membuat kesepakatan-
kesepakatan mengenai penanaman modal yang tertuang di dalam suatu
perjanjian. Dalam hal ini, para investor asing mulai berupaya
mencari aturan-aturan yang mengatur penanaman modal asing di
tingkat bilateral, regional atau internasional.
Upaya petama di dalam menetapkan aturan hukum intenasional
bagi penanaman modal asing terjadi sebelum Perang Dunia II. Pada
masa itu, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menetapkan
2
Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', in:
Ronald St. John Macdonald, (ed)., Essays in Honour of Wang Tieya,
(Dordrecht, Boston, London: Martinus Nijhoff Publishers, 1993), hlm.
704.
3
Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 136.
3
standar-standar internasional untuk perlindungan penanaman modal
asing.
Standar-standar bagi perlindungan penanaman modal ini
sesungguhnya pula dibuat untuk menampung kebutuhan negara-negara
(maju) dan para investornya. Fokus utama dari standar tersebut
adalah mengenai status orang asing. Standar ini diterapkan
terhadap berbagai aspek hukum mengenai penanaman modal dan
perlindungan modalnya.4
Termasuk di dalamnya adalah pengaturan
mengenai perlindungan hak-hak milik penanaman modal asing (the
regulations of foreign investment protection of property rights),
penyelesian sengketa, hak asasi manusia dan orang asing, dan
perlindungan dalam hal terjadinya pemberontakan atau kekacauan.5
Negara-negara maju tersebut berpendapat bahwa pengaturan-
pengaturan seperti ini harus ditaati oleh semua negara. Mereka
menyebut pengaturan-pengaturan tersebut sebagai standar minimum
yang harus diterapkan secara internasional (international minimum
standard).6
Standar-standar perlakuan tersebut juga dimasukkan di dalam
perjanjian-perjanjian di bidang perdagangan. Untuk memastikan agar
standar-standar tersebut mengikat, negara-negara maju berupaya
4
Untuk analsis lebih lanjut mengenai hal ini lihat: M. Sornarajah,
'Power & Justice in International Law,' 1 SJICL 28 (1997), (berpendapat
bahwa hukum internasional 'has been an extension of power play of states
and curtailment of such use of power by normative principles involved in
notions of justice'). (hlm.49)
5
Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', supra.,
note 2, hlm. 706.
6
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai standar minimum internasional
ini, lihat: G. Schwarzenberger, Foreign Investments and International
Law (London: Stevens & Sons, 1969).
4
memaksakan standar-standar tersebut melalui tekanan-tekanan
politik atau bahkan kadang kala melalui intervensi militer.7
Perlakuan yang cenderung lebih menguntungkan investor asing
ditentang keras oleh beberapa negara Amerika Latin. Salah seorang
sarjana yang menentang standar internasional ini adalah Carlos
Calvo, seorang ahli hukum dan menteri luar negeri Argentina.8
Menurut Calvo, seorang asing yang menetap di negera lain (untuk
berusaha dan lain-lain) tunduk kepada hak-hak perlindungan yang
sama dengan warga negara di negara tersebut.
Menurut Calvo pula, orang asing tidak dapat menuntut hak
perlindungan yang lebih besar.9
Pendapat ini menjadi standar yang
digunakan dan diterapkan oleh sebagian besar negara sedang
berkembang dalam upaya mereka mengatur penanaman modal asing.
Mereka berpendapat bahwa penanaman modal asing di suatu negara
tunduk kepada hukum di negara tersebut, termasuk perlindungannya
7
UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New
York: UN, 1997), hlm. 135.
8
Untuk pengkajian mengenai status Calvo Doctrine dewasa ini dalam
hubungannya dengan prinsip nasional di dalam hukum internasional
mengenai penanaman modal, lihat: Denise Manning-Cabrol, 'The Imminent
Death of the Calvo Clause and the Rebirth of the Calvo Principle:
Equality of Foreign and National Investors,' 26 Law & Pol'y Int'l. Bus.
1169 (1995) at 1199.
9
'M. Sornarajah, The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge
U.P., 1994), hlm. 11. Perlu dikemukakan di sini, sebagaimana diungkapkan
oleh Prof. M. Sornarajah, bahwa ‘hukum yang mengatur penanaman modal
asing selama adanya konflik pandangan antara Amerika Serikat dan negara-
negara Amerika Latin tidak terkait dengan pengambil-alihan harta milik
orang asing. Masalah utamanya adalah kasus-kasus mengenai penyerangan
oleh penduduk atau balas dendam politis yang dilakukan untuk memberi
keuntungan kepada pemerintah Junta yang sedang berkuasa. Beliau pun
menyatakan bahwa 'the law on foreign investment in this nature should be
kept in mind since the early scholars tended to apply the uniform
principles between the investment cases in Latin American mentioned
above and the cases of the taking of foreign investment resulting from
economic reforms in later period both in Latin America and other part of
the world'). (M. Sornarajah, supra, note 8, hlm. 11).
5
dan ganti ruginya manakala negara penerima menasionalisasi
penanaman modal asing.
Begitu pula manakala suatu sengketa timbul dari adanya suatu
perjanjian penanaman modal asing. Dalam keadaan tersebut sengketa
harus diselesaikan menurut hukum nasional negara penerima
investasi. Pengadilan yang mengadili sengketa itu pun haruslah
pengadilan nasional dari negara tuan rumah (penerima PMA).
Standar nasional ini diikuti, antara lain, oleh Indonesia
selama tahun 1960-an di dalam sengketa nasionalisasi perusahaan-
perusahaan perkebunan Belanda di Sumatera. Dalam sengketa ini,
pemerintah Indonesia menyandarkan pada hukum nasionalnya untuk
membayar ganti rugi kepada pemerintah Belanda.10
Konflik antara dua standar tersebut di atas juga mendapat
perhatian Liga Bngsa-Bangsa (LBB). Dalam berbagai konperensi badan
dunia ini, negara-negara gagal mencapai kesepakatan mengenai
perbedaan standar yang harus diterapkan antara kewajiban-kewajiban
negara tuan rumah dengan hak-hak investor asing.11
Upaya yang lebih serius dari masyarakat internasional untuk
merumuskan pengaturan mengenai PMA terjadi setelah Perang Dunia II
usai. Dalam suatu konperensi PBB mengenai Perdagangan dan
Ketenagakerjaan (the United Nations Conference on Trade and
Employment) di tahun 1947-1948, negara-negara juga telah menaruh
perhatiannya kepada masalah penanaman modal ini. Namun pada waktu
10
Lihat Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional mengenai
Nasionalisasi di Indonesia (Djakarta: Universitas, 1969); Martin Domke,
'Indonesian Nationalization Measures before Foreign Courts,' 54
Am.J.Int'l.L 305 (1960); Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum
Internasional, Jakarta: Rjagrafindo Persada, cet. 3, 2002, khususnya Bab
V tentang Tanggung Jawab Negara.
6
itu, isu penanaman modal bukan merupakan suatu agenda khusus. Ia
semata-mata masih bagian dari suatu agenda yang membahas persoalan
praktek bisnis yang restriktif (restrictive business practices).12
Isu penanaman modal mendapat suatu tempat khusus dan serius
dalam aganda suatu konperensi internasional terjadi ketika
masyarakat internasional menandatanani the Final Act of the Havana
Charter for International Trade Organization.13
Final Act (Piagam
Havana) ini mengatur di dalamnya upaya penggalakan aliran modal
intenasional untuk penanaman modal yang produktif di antara tujuan
dari the International Trade Organization (ITO) (Article 1 : 2).
Bab III dari Final Act tersebut yang berjudul "International
Investment for Economic Development and Reconstructions" antara
lain menyatakan bahwa:
“1. The Members recognize that:
(a) international investment, both public and private, can be
of great value in promoting economic development and
reconstruction and consequent social progress. ...
(c) without prejudice to existing international agreements to
which Members are parties, a Member has the right:
(i) to take any appropriate safeguards necessary to ensure
that foreign investment is not used as a basis for
interference in internal affairs or national policies;
(ii) to determine whether and to what extent and upon what
terms it will allow future foreign investment... .”14
11
UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136.
12
UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136.
13
Untuk teks the Havana Charter, lihat: United Nations Conference on
Trade and Employment, Final Act and Related Documents, ECONF. 2/78. Teks
tersebut juga termuat dalam buku klasik mengentai ITO: Clair Wilcox, A
Charter for World Trade (New York: Macmillan, 1949), hlm. 227-319. The
Havana Charter tidak pernah berlaku karena adanya kondisi-kondisi pada
waktu itu. Pasal 103 Charter, tidak terpenuhi dalam jangka waktu yang
ditetapkan. Keengganan Amerika Serikat untuk meratifikasi the Charter
merupakan penyebab utama kegagalannya.
14
Article 12:1 Havana Charter. Analisis lebih lanjut dan latar belakang
sejarah Bab III dan pasal-pasal mengenai penanaman modal dalam Charter,
lihat: Clair Wilcox, supra note 13, hlm. 140-148.
7
Piagam Havana tidak meletakkan persyaratan terhadap negara-
negara anggotanya untuk mempraktekkan perlakuan non-diskriminatif
atau perlakuan nasional terhadap PMA.15
Di samping itu, Piagam
juga tidak mengatur isu-isu penting lainnya, seperti penggunaan
insentif penanaman modal atau persyaratan-persyaratan pelaksanaan
oleh negara penerima. Piagam juga tidak mengatur penyelesaian
sengketa untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal
antara negara tuan rumah dan investor asing.16
Beberapa sarjana berpendapat bahwa salah satu alasan
gagalnya ITO adalah karena adanya ketentuan mengenai penanaman
modal sebagaimana diatur dalam Pasal 12 tersebut. Salah satu
pendapat menyatakan bahwa pasal tersebut terlalu memberi
perlindungan kepada negara berkembang. Dalam hal ini, Sylvia Ostry
menyatakan sebagai berikut:
“The ITO did include investment as well as trade but the
provisions were heavily circumscribed, reflecting the fears
of many developing countries strong pro-investment rules
would lead to foreign control over natural resources and
'strategic' industries.”17
GATT yang semula direncanakan sebagai suatu dokumen yang
dilampirkan kepada Piagam ITO tidak menyebut suatu ketentuan apa
pun mengenai penanaman modal. Dapat dimaklumi, GATT sejak semula
hanya direncanakan untuk mengatur tarif dan perdagangan.
15
Edward M. Graham, 'Should There Be Rules on Foreign Direct
Investment,' dalam: John H. Dunning, (ed)., Governments, Globalization,
and International Business (New York: Oxford U.P., 1997), hlm. 484.
16
Edward M. Graham, Ibid., hlm. 484.
17
Sylvia Ostry, A New Regime for Foreign Direct Investment (Washington
DC: Group of Thirty, 1997), hlm. 3. Cf., Eric M. Burt, 'Developing
Countries and the Framework for Negotiations on Foreign Direct
Investment in the World Trade Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L &
Pol'y 1028 (1997) (mengupas keinginan negara sedang berkembang bahwa
pasal-pasal mengenai penanaman modal di dalam ITO atau Havana Charter
lebih menguntungkan negara sedang berkembang).
8
Namun demikian, the CONTRACTING PARTIES GATT telah pula
memberi perhatiannya kepada penanaman modal internasional.
Sayangnya perhatian tersebut tidaklah terlalu serius. Dalam salah
satu resolusinya mengenai 'International Investment for Economic
Development,' pada tanggal 4 Maret 1955, the CONTRCTING PARTIES
antara lain menyatakan:
“Recommended that the contracting parties who are in a
position to provide capital for international investment and
the contracting parties who desire to obtain such capital
use their best endeavours to create conditions calculated to
stimulate the international flow of capital having regard in
particular, to the importance for this purpose of providing
by appropriate methods for security for existing and future
investment, the avoidance of double taxation, and facilities
for the transfer of earning upon foreign investment, and
urge that contracting parties upon the request of any
contracting party enter into consultation or participate in
negotiations directed to the conclusion of bilateral and
multilateral agreement relating to these matters.”18
Dalam suatu pengamatannya, UNCTAD berpendapat bahwa pada
waktu tahun-tahun permulaan Perang Dunia II, negara-negara
sebenarnya belum siap untuk mengadopsi aturan-aturan hukum
internasional untuk mengatur kebijakan penanaman modalnya. Karena
itu pula negara-negara, terutama negara maju, mengambil kebijakan
untuk mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lainnya di
bidang penanaman modal ini.
Waktu itu perjanjian demikian dikenal sebagai the
Friendship, Commerce and Navigation (FCN) treaties.19
Perjanjian
seperti ini biasanya mengatur hal-hal yang cukup luas. Termasuk di
dalamnya adalah hak warga negara dari masing-masing negara dan
perlindungan harta miliknya di luar negeri. Prinsip lainnya yang
18
3S/49,50, GATT, Guide to GATT Law and Practice, updated 6th
.ed. (1995).
19
UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136.
9
terkait adalah perlakuan nasional dan perlakuan MFN, pelayaran dan
masalah jurisdiksi masing-masing negara.
Ketentuan yang luas ini sebagaimana termuat dalam perjanjian
FCN ternyata tidak memuaskan para investor dan negara penerima.
Mereka berpendapat bahwa perlu adanya peraturan yang khusus untuk
mengatur masalah penanaman modal. Pandangan seperti ini kemudian
melahirkan suatu bentuk perjanjian baru yang khusus di bidang
penanaman modal yaitu perjanjian penanaman modal bilateral (the
bilateral investment treaty atau BIT).20
Dalam perkembangannya kemudian, negara-negara telah
menggunakan perjanjian seperti BIT ini sebagai salah satu upaya
untuk mengadakan perjanjian dengan negara lainnya. Menurut
professor Sornarajah, suatu pengkajian terhadap BIT ini
menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2000 BIT yang dibuat sejak
tahun 1990.21
20
Nico Schrijver, 'Developments', supra, note 2, hlm. 713. Cf., untuk
kajian mengenai peralihan dari FCN ke BIT ini, lihat: Jeswald Salacuse,
'BIT by BIT: The Growth of BITs and Their Impact on Foreign Investment
Treaties and the Impact on Foreign Investment in Developing Countries,'
24 Int'l. Law 657 (1990). Lihat juga: Todd S Shenkin, 'Trade Related
Investment Measures in Bilateral Investment Treaties and The GATT:
Moving Toward a Multilateral Investment Treaty,' 55 U. Pitt. L. Rev. 548
(1994); Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, cet. 3, 2002, khususnya Bab I..
21
Kumpulan perjanjian penanaman modal bilateral dapat dilihat pada:
ICSID, Investment Laws of the World (Dobbs Ferry, New York: Oceana
Publications, 1972 - ), Lihat pula website ICSID di:
<http://www.worldbank.com/icsid/treaties/treaties.htm>; Paul Peters,
'Exhaustion of Local Remedies: Ignorance in Most Bilateral Investment
Treaties,' XLIV NILR 233 (1997), hlm. 244. Kajian pengantar (awal) untuk
BIT ini lihat: Margrete Stevens & Ruvan de Alwis, 'References on
Bilateral Investment Treaties,' 7 ICSID Rev. FILJ (1992), hlm. 229-283.
Kajian lengkap mengenai BIT, lihat: Dolzer & M. Stevens, Bilateral
Investment Treaties (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1995). Dan
untuk kajian agak kontroversial mengenai status BIT ini sebagai hukum
kebiasaan internasional, lihat: M. Sornarajah, The Pursuit of
Nationalized Property (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1986),
hlm. 40; Schwarzenberger, Foreign Investments and International Law,
(London: Stevens and Sons, 1969), hlm. 8-9.
10
Tujuan utama dari perjanjian bilateral seperti itu adalah
untuk memastikan bahwa harta milik para investor tidak akan
diambil alih tanpa adanya ganti rugi yang sifatnya Prompt,
Adequate and Effective. Perjanjian seperti ini juga mengandung
ketentuan mengenai perlakuan non-diskriminatif, peralihan dana,
dan prosedur penyelesaian sengketanya manakala sengketa timbul
antara investor dengan negara tuan rumah.
Pembahasan mengenai penanaman modal internasional pada
tingkat multilateral dimulai kembali di PBB khususnya pada tahun
1960-an dan 1970-an. Dengan semakin banyak lahirnya negara-negara
baru di Asia dan Afrika, peran negara-negara ini di dalam
menyuarakan kepentingan dan keprihatinan mereka mengenai penanaman
modal cukup penting. Negara-negara ini mengemukakan pendapatnya
dengan mengedepankan aspek kedaulatan secara kental. Mereka
berpendapat standar internasional di bidang penanaman modal
sebagaimana diperkenalkan negara-negara maju selama abad ke – 19
tidaklah sesuai dengan aspirasi negara-negara ini.
Upaya negara sedang berkembang untuk merumuskan kepentingan
dan kebutuhan mereka untuk meningkatkan pembangunannya melalui PMA
dilakukan antara lain melalui PBB. Hasil yang cukup penting dari
upaya ini adalah dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB mengenai
the Permanent Sovereignty over Natural Resources pada tahun
1962.22
Resolusi penting lainnya adalah resolusi mengenai the
Charter of Economic Rights and Duties of States pada tahun 1974.
22
Lihat lebih lanjut: Nico Schrijver, 'Permanent Sovereignty over
natural resources versus the common heritage of mankind; complementary
or contradictory principles of international economic law' in: de Waart,
Peters and Denters, (eds.), International Law and Development
11
Resolusi pertama (the Permanent Sovereignty Resolution)
mengakui hak setiap negara untuk secara bebas memanfaatkan
kekayaan alamnya sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Resolusi
ini juga menegaskan bahwa perjanjian penanaman modal yang
dilakukan oleh negara-negara berdaulat secara bebas harus
dihormati dengan itikad baik.23
Piagam Hak-Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara (the
Charter of Economic Rights and Duties of States) mengandung
pengaturan yang lebih banyak mengenai penanaman modal asing. Pasal
2 Piagam mengatur hak-hak setiap negara untuk mengatur dan
melaksanakan jurisdiksinya atas penanaman modal sesuai dengan
hukum dan perundangannya serta sejalan dengan tujuan-tujuan dan
prioritas-prioritas internasionalnya. Pasal ini juga menyatakan
dengan tegas bahwa negara-negara tidak dapat dipaksakan untuk
memberikan perlakuan yang menguntungkan kepada sesuatu PMA.24
The United Nations Commission on Transnational Corporations
juga sudah mengeluarkan the Draft Code of Conduct in Transnational
Corporation (Rancangan Perjanjian Aturan Tingkah Laku Bagi
(Dordrecht, Nijhoff, 1988), also Nico Schrijver, Sovereignty Over
Natural Resources; Balancing Rights and Duties (Cambridge: Cambridge
U.P., 1997), khususnya pada bab 2 dan 3
23
Paragraph 8. CERDS dikritik keras oleh negara-negara maju. Sewaktu
pengesahannya, CERDS mendapat 104 suara, 16 menolak dan 6 abstein. Suara
penolakan datang dari negara maju. Alasan utama penolakan adalah
keberatan negara maju atas pasal atau ketentuan mengenai nasionalisasi
yang mensyaratkan bahwa kompensasi atau pembayaran ganti rugi harus
dilakukan sesuai dengan ‘hukum atau perundangan yang relevan dan dengan
memperhatikan keadaan-keadaan yang relevan ... ' (Article 2 paragraph 2
(2)). Kajian menarik mengenai CERDS lihat: S.K. Chatterjee, 'The Charter
of Economic Rights and Duties of States; An evaluation after 15 years,'
(1991) 40 Int'l.&Comp.L.Q. 669; Milan Bulagic, Principle of Development
of International Law (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher,
1986); E.U. Petersmann, 'Charter of Economic Rights and Duties of
States,' in R. Bernhardt (ed)., Encyclopedia of Public International
Law, Installment 5 (1985).
12
Perusahaan Transnasional).25
Rancangan Perjanjian ini juga
mengatur beberapa aspek mengenai penanaman modal asing. Rancangan
perjanjian ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan kegiatan
perusahaan transnasional, seperti praktek-praktek bisnis yang
restriktif, transfer pricing, perlakuan terhadap perusahaan
transnasional, nasionalisasi, apropriasi, ganti rugi, dll.26
Negara-negara maju menentang keras aturan-aturan tersebut di
atas. Mereka berpendapat aturan-aturan tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum.27
Mereka memandang ketentuan-ketentuan mengenai
penanaman modal sebagaimana termuat dalam resolusi-resolusi
Majelis Umum PBB di atas sifatnya adalah hukum internasional yang
tidak mengikat ('soft' international law).28
Sejarah pembentukan perjanjian-perjanjian internasional
penting dalam hukum internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa
tanpa adanya dukungan dari negara-negara maju, maka perjanjian-
perjanjian tersebut akan sangat sulit untuk dapat berlaku.
Misalnya saja, tidak adanya ratifikasi Amerika Serikat terhadap
Piagam ITO telah menyebabkan Piagam ini tidak dapat berlaku.29
Karena itu pula tampak bahwa upaya-upaya PBB untuk
merumuskan dan mengatur penanaman modal gagal karena tidak adanya
24
UNCTAD, supra, note 7, hlm.136.
25
Draft, UN Code of Conduct on Transnational Corporations (UN
Doc.5/1988/39/- add.1.)
26
UNCTAD, supra, note 7, hlm.136.
27
Pembahasan lebih lanjut dan evaluasi terhadap beberapa pendapat
sarjana mengenai masalah ini, lihat: Ignaz Seidl-Hohenveldern,
International Economic Law (Dordrecht, Boston, London; Martinus Nijhoff
Publisher, 2nd
.ed., 1992), khususnya hlm. 37-42.
28
UNCTAD, supra, note 7, hlm. 137.
29
Contoh lainnya adalah penolakan negara-negara maju untuk menaati
ketentuan-ketentuan dalam Bab XI dari Konvensi Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on Law of the Sea of 1982).
13
dukugan dari negara maju. Sejalan dengan itu pula, keengganan
negara-negara sedang berkembang secara umum untuk mengatur masalah
ini berdasarkan GATT merupakan alasan lainnya mengapa pengaturan
penanaman modal khususnya TRIMS juga lambat untuk berkembang.
Tahun 1970 Goldberg and Kindleberger dalam suatu tulisannya
berjudul 'Towards a GATT for Investment: A Proposal for
Supervision of the International Corporation,'30
mengusulkan suatu
pengaturan internasional komprehensif mengenai penanaman modal.
Mereka berhasil mengemukakan berbagai hal yang menjadi penghalang
bagi penanaman modal, termasuk di dalamnya adalah kontrol neraca
pembayaran, kontrol ekspor dan pengaturan mengenai jaminan
(securities regulation) terhadap perusahaan transnasional.
Goldberg dan Kindleberger juga mengemukakan dua usulan
penting berkaitan dengan penanaman modal ini, yaitu pertama
perlunya membentuk suatu ‘General Agreement for International
Corporation’ (‘the Agreement’). Kedua, perlunya membentuk suatu
badan khusus yang bertugas untuk melaksanakan the Agreement
tersebut.31
Peranan Bank Dunia di dalam mengembangkan aturan-aturan
internasional mengenai penanaman modal juga cukup besar.
30
Paul M. Goldberg and Charles P. Kindleberger, 'Towards A GATT for
Investment: A Proposal for Supervision of the International
Corporation,' 2 Law & Pol'y Int'l Bus. 295-325 (1970).
31
Goldberg and Kindleberger, ibid, hlm. 323. Upaya lain yang juga
penting untuk dikemukakan di sini adalah upaya Bank Dunia yang berupaya
mempersiapkan suatu ketentuan internasional mengenai penanaman modal
asing. Karya komprehensif yang membahsa hal ini adalah Ibrahim F.I.
Shihata yang berhasil merampungkan dan menerbitkan 'Guidelines on the
Treatment of Foreign Direct investment.' Namun demikian karya penting
tersebut tetap hanyalah sebagai pedoman semata ('guideline'). Ia tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat negara-negara. (Lihat: World Bank,
Legal Framework for the Treatment of Foreign Investment, Vol.: 1; Survey
14
Khususnya, Bank Dunia membantu penyelesaian sengketa mengenai
penanaman modal dan di dalam memberikan jaminan bagi penanaman
modal. Perjanjian multilateral pertama yang berhasil dibuat adalah
the Convention on the Establishment of an International Centre for
the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals
of Other States (ICSID). Konvensi ini berlaku pada tanggal 14
Oktober 1966. ICSID mengatur prosedur penyelesaian sengketa
penanaman modal. ICSID juga memiliki suatu daftar nama-nama orang
yang berkualitas sebagai konsiliator atau arbitrator yang dapat
dipilih oleh para pihak yang bersengketa.32
Perjanjian multilateral kedua yang dibuat oleh Bank Dunia
adalah the Convention Establishing the Multilateral Investment
Guarantee Agency (MIGA). Konvensi ini berlaku pada tanggal 12
April 1988. Tujuan utama dari lembaga MIGA ini adalah untuk
memberikan jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis
khususnya di negara sedang berkembang. Di samping itu, MIGA
berperan dalam menggalakkan aliran penanaman modal untuk tujuan-
tujuan produktif ke negara-negara sedang berkembang.33
Pada pokoknya Konvensi MIGA tidak mengatur hal-hal pokok
mengenai standar perlakuan dari suatu PMA. Ia hanya menyatakan di
dalam menjamin penanaman modal, MIGA harus berkeyakinan bahwa
of Existing Instruments, Progress Report and Background Studies
(Washington D.C.: the World Bank Group, 1992).
32
Diskusi lebih lanjut mengenai ICSID, lihat: Aron Broches, Selected
Essays: World Bank, ICSID and Other Subjects of Public and Private
International Law (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1995), khususnya
Part III; Antonio Parra, 'Provisions on the Settlement of Investment
Disputes in Modern Investment Laws, Bilateral Investment Treaties and
Multilateral Instrument on Investment,' 12 ICSID Rev.- FILJ 287 (1977).
33
Jurgen Voss, 'The MIGA: Status, Mandate, Concept, Features and
Implications, 4 J.W.T. (1987), hlm. 1-23; Ibrahim F.I. Shihata, Multi
15
kondisi-kondisi penanaman modal di negara tuan rumah telah
tersedia, termasuk tersedianya perlakuan yang fair dan equitable
serta perlindungan hukum bagi penanaman modal.34
Beberapa negara di region-region tertentu telah pula membuat
ketentuan atau perjanjian penanaman modalnya sendiri. Misalnya
saja, Perjanjian Roma (the Treaty of Rome) pada 1957 yang
mendirikan MEE. Perjanjian ini memberi kebebasan bagi setiap orang
untuk melakukan usaha di bidang jasa dan modal. Pasal 52 hingga 58
Perjanjian mengenai hak untuk mendirikan perusahaan menyatakan,
antara lain, bahwa kebebasan untuk mendirikan perusahaan (freedom
of establishment) termasuk di dalamnya adalah hak untuk melakukan
kegiatan-kegiatan sebagai orang perorangan (self-employed
persons). Tercakup di dalamnya adalah hak untuk mendirikan dan
melaksanakan usahanya, khususnya perusahaan atau firma,
berdasarkan prinsip perlakuan nasional (national treatment).35
Perjanjian lainnya yang terkait dengan penanaman modal yang
dibuat di region Amerika Utara adalah the North American Free
Trade Agreement (NAFTA) yang mulai berlaku pada 1994.36
Bab 11
Perjanjian NAFTA memuat pengaturan komprehensif mengenai PMA.37
Investment Guarantee Agency and Foreign Investment (Dordrecht: Martinus
Nijhoff, 1988).
34
Article 12 : 2 MIGA Convention. Bahasan lebih lanjut mengenai peran
MIGA dan ICSID, lihat: Malcolm D. Rowat, 'Multilateral Approaches to
Improving the Investment Climate of Developing Countries: the Cases of
ICSID and MIGA,' 33 Harv.Int'l.L.J. 103 (1992).
35
Pembahasan lebih lanjut mengenai Pasal-pasal 52 hingga 58 Perjanjian
Roma, lihat: John Temple, The Common Market and Common Law (Chicago,
London: the University of Chicago Press, 1966), khususnya Bab 5 (Freedom
of Establishment).
36
The North American Free Trade Agreement mengatur prinsip-prinsip
seperti national treatment, MFN, non-discriminatory treatment, dan
minimum standards of treatment sesuai dengan hukum internasional (untuk
investor dan modal dari negara lainnya. Perjanjian ini juga melarang
16
The Association of South-East Asian Nations (ASEAN) juga
telah menyepakati suatu perjanjian guna memajukan dan melindungi
penanaman modal pada tahun 1987.38
Tujuan dari perjanjian ini
adalah untuk menggalakkan dan memajukan aliran alih teknologi dan
penanaman modal di antara negara-negara anggotanya.
Pengaturan mengenai penanaman modal di Asia dan Pasifik
(APEC) telah termuat dalam suatu pengaturan khusus mengenai
penanaman modal. APEC telah menyepakati suatu prinsip yang tidak
mengikat (non-binding principles) sebagai suatu pedoman untuk
menghapus secara progresif rintangan-rintangan penanaman modal di
antara anggotanya dan perlindungannya.39
Upaya lainnya yang mendapat sorotan kuat adalah usulan dari
the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Lembaga negara-negara maju ini mengusulkan pembentukan suatu
perjanjian multilateral mengenai penanaman modal atau the
Multilateral Agreement on Investment (MAI).40
OECD secara resmi mengusulkan MAI pada the Ministerial
Meeting OECD pada bulan Mei 1995. Prinsip utama yang diemban MAI
adalah prinsip non-diskriminasi dengan menekankan aspek-aspek
sebagai berikut:
penerapan pensyaratan pelaksanaan (performance requirement). (Lihat:
UNCTAD, supra, note 7, p.137).
37
The NAFTA diterbitkan dalam 32 ILM 289 (1993); lihat juga:
<http://www.legal.gsa. gov/legal27qnafta.htm>.
38
Teks perjanjian ASEAN untuk Penggalakan dan perlindungan Penanaman
Modal tanggal 15 Desember 1987 diterbitkan pula di dalam 27 ILM 612
(1988), lihat juga website: <http: //www.asean.or.id>.
39
Lihat: M. Sornarajah, 'Protection of Foreign Investment in the Asia-
Pacific Economic Co-operation Region,' 29 J.W.T. 2 (1995), hlm. 105 -
129. Lihat pula website: <http://www.apecsec.org.sg>.
17
1) prinsip perlakuan nasional (national treatment) yang
mensyaratkan perusahaan-perusahaan asing dan domestik dan
penanaman modal untuk diperlakukan secara sama (adil);
2) Prinsip transparansi yang mensyaratkan para anggotanya untuk
menerapkan prinsip transparansi di dalam peraturan
perundangannya (beserta implikasinya) terhadap anggota
lainnya; dan
3) prinsip pengaturan konsiliasi dan penyelesaian sengketa yang
spesifik.41
Dinyatakan pula bahwa manakala MAI ini kelak disahkan, maka
instrumen ini akan mengikat secara hukum. MAI akan pula berlaku
tidak saja kepada negara anggota OECD, tetapi juga terhadap semua
negara yang mau tunduk kepadanya, termasuk negara sedang
berkembang.42
Sebagaimana telah direncanakan, MAI akan dipandang sebagai
perjanjian multilateral pertama yang mengatur penanaman modal
asing secara umum di samping pengaturan yang telah ada yang
sifatnya sektoral. Misalnya, pengaturan penyelesaian sengketa di
bidang penanaman modal asing seperti ICSID atau pengaturan
mengenai penjaminan penanaman modal (misalnya investment guarantee
dalam MIGA).
Namun demikian, perkembangan mengenai perundingan dari
instrumen ini sangatlah sulit. Adanya pendekatan yang tidak
40
William H. Witherel, 'The OECD Multilateral Agreement on
Investment,'4:2 Transnational Corporation 1-14 (1995); Preston and
Windsor, supra, note 1, hlm. 140.
41
Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 140.
42
Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 140.
18
konsisten dari para juru runding MAI telah menuai banyak kritik
para sarjana.43
Pembahasan lebih lanjut mengenai peraturan multilateral
mengenai penanaman modal dilakukan kembali setelah dirampungkannya
putaran (perundingan) Tokyo tahun 1979. Beberapa negara maju
mencoba untuk memasukkan masalah penanaman modal asing ini di
dalam GATT. Mereka berupaya keras untuk membatasi persyaratan
pelaksanaan (perfomance requirement) oleh negara tuan rumah dalam
hubungannya dengan persyaratan penggunaan kandungan lokal hingga
persyaratan ekspor (local content - export performance).
Upaya-upaya di atas juga telah gagal. Sebagian besar negara
sedang berkembang enggan merundingkan masalah ini dalam kerangka
GATT. Mereka tetap berpendirian, GATT tidak mengurus penanaman
modal.
Kemajuan penting mengenai upaya pengaturan penanaman modal
di dalam kerangka GATT terjadi di tahun 1982. Waktu itu timbul
sengketa antara Amerika Serikat dan Kanada mengenai keabsahan UU
PMA Kanada yang terkenal bernama the Administration of the Foreign
Investment Review Act (FIRA).44
43
M. Sornarajah, A Developing Country Perspective on International
Economic Law in the Context of Dispute Settlement, (Manuscript, 2001,
hlm. 17). Lihat pula upaya yang dilakukan oleh the Friends of Earth,
suatu LSM yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan. LSM ini
mengkritik dengan tajam dan menentang dibentuknya MAI, dengan alasan
bahwa MAI akan membiarkan investor asing merusak lingkungan. (Lihat:
website: <http://www.foe.org/FOE/ ga/mai.html>; David Henderson, The MAI
Affair: A Story and Its Lessons (London: Royal Institute of
International Affairs, 1999).
44
Canada-Administration of the Foreign Investment Review Act (FIRA)
(Panel Report) (GATT B.I.S.D 30s/140 (disahkan pada tanggal 7 Februari),
Pierre Pescatore, William J.Davey & Andreas F.Lowenfeld, eds., Handbook
of WTO/GATT Dispute Settlement (Vol I, 1997), Cs 54/1; GATT Analytical
Index, pp 165 et.segg. [Lihat addendum bab ini].
19
Sebelum UU ini disahkan, Amerika Serikat menikmati kebebasan
berusaha dalam bentuk penanaman modal di Kanada tanpa adanya
syarat-syarat yang membebaninya.45
Namun, di tahun 1973, Kanada
mengundangkan FIRA yang mensyaratkan para investor asing untuk
membeli barang-barang atau produk Kanada dibandingkan dengan
produk impor dari negara lain. Amerika Serikat yang terkena banyak
dampak oleh UU ini, menganggap bahwa FIRA melanggar pasal III:4,
III:5, XI and XVI:1 (c) GATT.
Sebelum GATT menangani kasus ini, negara-negara sedang
berkembang yang diwakili oleh Argentina sempat mempermasalahkan
jurisdiksi atau kewenangan GATT untuk mengadili sengketa penanaman
modal. Negara sedang berkembang berpendapat GATT tidak memiliki
jurisdiksi untuk menangani sengketa mengenai perundangan PMA.
Meskipun ada keberatan, Dewan GATT (GATT Council) ternyata
memberi lampu hijau kepada panel GATT untuk memeriksa kasus
tersebut. Dewan GATT juga menyatakan, kewenangan GATT di dalam
menangani kasus ini hanya dibatasi semata-mata kepada kewajiban
perdagangan negara anggota GATT.46
Panel GATT memutuskan, upaya atau persyaratan untuk membeli
produk-produk asli Kanada dibandingkan dengan produk impor dari
negara lain secara jelas menunjukkan bahwa Kanada telah memberikan
45
Rodney de C. Grey, '1992, TRIM and the Uruguay Round,' dalam: Uruguay
Round: Further Papers on Selected Issues, UNCTAD, (New York: United
Nations, 1990), hlm. 239.
46
Penting dikemukakan di sini bahwa dengan memperhatikan kepentingan
negara sedang berkembang, Panel GATT telah memutuskan untuk tidak
menguji aturan-aturan khusus yang berlaku terhadap penanaman modal di
negara sedang berkembang, seperti misalnya pasal XVIII:c (Lihat: Pierre
Pescatore, William J. Davey, Andreas F. Lowenfeld, Handbook of WTO/GATT
Dispute Settlement (Irvington-on-Hudson, New York: Transnational
Publishers, 1997).
20
perlakuan yang lebih ‘favourable’ (menguntungkan) daripada yang
diberikan kepada produk-proudk sejenis dari negara lainnya.
Panel juga menyatakan bahwa kebijakan PMA Kanada yang
termuat dalam FIRA adalah bertentangan dengan Pasal III:4 GATT.
Pasal III:4 menyatakan bahwa produk-produk impor harus diberikan
perlakuan yang tidak boleh kurang daripada perlakuan yang
diberikan kepada produk yang sama dalam hubungannya dengan
persyaratan-persyaratan yang mempengaruhi jual beli, penawaran,
pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaannya secara
lintas batas (internasional).47
Panel berpendapat, upaya-upaya yang mensyaratkan agar
membeli produk Kanada tidak mencegah masuknya produk-produk impor
dan karenanya tidaklah bertentangan dengan pasal XI:1 GATT
mengenai larangan resktiktif kuantitatif. Panel juga menyimpulkan,
persyaratan-persyaratan yang dikenakan oleh Kanada bahwa investor
harus membuat pernyataan secara tertulis dan bahwa mereka akan
mengekspor produksinya dalam jumlah tertentu tidaklah bertentangan
dengan pasal XVI:1.48
Panel dalam sengketa ini telah hati-hati untuk tidak
menerapkan prinsip non-diskriminasi di dalam pasal III GATT di
47
Dalam kesimpulannya, Panel memutus sebagai berikut:
'The Panel sympathized with the desire of the Canadian authorities to
ensure that Canadian goods and suppliers would be given a fair chance to
compete with imported goods. However, the Panel holds the view that the
purchase requirements under examination do not stop short of this
objective but tend to tip the balance in favour of Canadian products,
thus coming into conflict with Article III:4....
'…Purchase requirement supplied to foreign investors in Canada which are
inconsistent with article III:4 can affect the trade interest of all
contracting parties, and impinge upon their rights.' (Huruf miring oleh
kami).
48
UNCTAD, supra, note 7, hlm. 138.
21
dalam kasus penanaman modal ini. Di samping itu, Panel dengan
tegas menyatakan bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk
mengadili apakah para investor asing telah terpengaruh oleh adanya
persyaratan untuk membeli (purchase requirements).49
Kasus ini merupakan kasus yang penting di dalam penyelesaian
sengketa GATT. Putusan Dewan GATT yang merestui panel untuk
melanjutkan penyelidikannya dalam menangani kasus ini merupakan
terobosan hukum dan langkah inovatif Panel.
Namun demikian, persetujuan Dewan GATT tersebut tampaknya
agak berlebihan. Pokok sengketa dalam kasus ini bukanlah masalah
perdagangan atau sengketa mengenai tarif, suatu wilayah jurisdiksi
GATT. Jelas tampak bahwa sebenarnya pokok sengketanya adalah
penanaman modal.
Maka dari itu sangatlah sulit untuk diterima bahwa GATT
sebagai suatu organisasi internasional yang mengatur masalah
perdagangan dan tarif harus menangani masalah atau sengketa
penanaman modal. Kasus ini memberi preseden ‘buruk’, bahwa setiap
sengketa atau pokok perkara yang ternyata dapat mempengaruhi
perdagangan, maka sengketa tersebut (baik berupa perburuhan,
lingkungan, hak asasi manusia, dll) yang dapat dikatakan sebagai
terkait dengan perdagangan maka dapat ditafsirkan pula sebagai
sengketa yang terkait dengan perdagangan (trade related).
49
GATT BISD, 30th supp. art 167 (1984). Kanada menerima putusan Panel.
Namun negara-negara sedang berkembang berpendapat, putusan tersebut
tidak berlaku untuk mereka sehubungan dengan seringnya negara-negara ini
mensyaratkan penggunaan kandungan lokal sebagai kebijakan penanaman
modal mereka berdasarkan pasal XVIII.c GATT. Lihat: Edward M. Graham,
supra, (should there be) note 15, hlm.48. Cf., Sarjana lain yang
mendukung posisi Kanada: lihat: R.ST.J Macdonald, 'Trade Related
Performance Requirement and the GATT', dalam: Jerzy Makarczyk, (ed.),
22
Sengketa FIRA ini dan adanya fakta bahwa terdapat banyak
negara yang mempraktekkan TRIMS yang memiliki pengaruh langsung
dengan perdagangan telah menjadi pendorong penting bagi Amerika
Serikat untuk memasukkan masalah TRIMS ini ke dalam agenda
perundingan GATT di Uruguay Round.
Kehendak Amerika Serikat untuk memasukkan isu ini telah
dimulai di tahun 1981 tatkala Amerika Serikat mengeluarkan suatu
kebijakan perdagangannya yang tertuang di dalam '1981 White
Paper.' Dokumen ini menyatakan keinginan pemerintah Amerika
Serikat untuk memasukkan isu penanaman modal ke dalam perundingan
perdagangan.50
Amerika Serikat menghendaki masuknya TRIMS ini yang
akan mencakup antara lain:
a. pengaturan mengenai upaya-upaya yang mengganggu aliran
perdagangan dan penanaman modal dengan merugikan negara anggota
lainnya;
b. hak untuk melakukan penanaman modal;
c. pemberlakuan prinsip national treatment dan MFN untuk penanaman
modal yang baru.51
Uraian di atas menunjukkan, upaya hukum intenasional untuk
mengatur penanaman modal asing tampaknya masih sangat sulit. Hukum
di bidang ini yang telah berkembang pada awal abad ke 20, ternyata
belum dapat berkembang secara memuaskan. Meskipun telah cukup
Essays in International Law in Honour of Judge Manfred Lachs, (The
Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1984), hlm. 717 et.seqq.
50
David Greenaway, 'Why Are We Negotiating on TRIMs,' dalam: David
Greenaway, et.al., (eds.), Global Protectionism, (London: Macmillan,
1991), hlm. 145.
51
Stephen J. Canner, 'Trade and International Investment: From GATT to
the Multilateral Agreement on Investment,' dalam: Joseph F. Dennin,
(ed)., Law and Practice of the World Trade Organization (New York:
Oceana Publ., 1995), hlm. 3.
23
banyak kajian dilakukan oleh para sarjana dan berbagai organisasi
internasional, namun tidak ada satu aturan pun yang dapat mencakup
semua aspek dari bidang penanaman modal ini.
Luasnya ruang lingkup penanaman modal telah membuat upaya
pembentukan hukum komprensif tersebut gagal. Misalnya saja, di
dalam proses penanaman modal, para calon investor akan segera
menghadapi hukum administrasi (proses 'screening'), hukum
perusahaan (pendirian badan usaha asing), alih teknologi dan hak
atas kekayaan intelektual.
Bidang hukum lainnya adalah hukum mengenai praktek bisnis
restriktif (restrictive business practices), hukum persaingan,
hukum lingkungan, perburuhan dan hak asasi manusia, hukum keuangan
(perpajakan, pengembalian keuntungan, dan masalah-masalah keuangan
lainnya, hukum perdagangan internasional dalam GATT, serta
penyelesaian sengketa di dalam GATT. Yang juga penting adalah
masalah-masalah sensitif seperti politik yang dapat mempengaruhi
kebijakan negara tuan rumah. Dalam hal ini yang terutama adalah
adanya ketakutan bahwa masuknya penanaman modal asing tersebut
akan mempengaruhi kebijakan politik negara tuan rumah.
Di samping itu, tampak bahwa pembentukan aturan-aturan
multilateral di bidang ini masih jauh dari kenyataan. Alasan
utamanya, pertama, adanya pendangan yang berbeda antara negara
maju dan sedang berkembang sehubungan dengan tetap adanya dua
kepentingan yang berbeda mengenai penanaman modal. Negara sedang
berkembang menyandarkan kepada tujuan pembangunan ekonomi
nasionalnya. Sebaliknya investor asing berupaya mendapat
24
keuntungan yang besarnya dari modal yang ditanamnya. Dua kubu
kepentingan yang berbeda ini sulit didamaikan.
Kedua, terdapatnya berbagai organisasi regional dengan
berbagai bentuk perjanjian regional di bidang penanaman modal.
Organisasi-organisasi ini berupaya membentuk suatu hukum
perjanjian di bidang ini.
Upaya-upaya tersebut menyebabkan dan menunjukkan sulitnya di
dalam merumuskan aturan hukum internasional di bidang ini. Hal ini
juga dipersulit oleh adanya perbedaan pandangan yang cukup tajam,
perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi dan keadaan-keadaan khusus
di setiap negara.
Ketiga, adanya fakta seperti tesebut di atas bahwa
organisasi internasional multilateral hingga saat ini hanya dapat
merumuskan aturan-aturan penanaman modal yang sifatnya sektoral
atau sebagian kecil saja dari penanaman modal. Hal ini mempertegas
sekaligus memperlihatkan sulitnya merumuskan aturan hukum
internasional di bidang ini.
Keempat, adanya upaya yang ‘terbatas’ yang gagal untuk
mencakup semua sektor akan mengakibatkan gagalnya upaya tersebut.
Upaya terbatas yang bersifat tanggung ini tampak misalnya dalam
hal pembahasan mengenai MAI.
25
ADDENDUM
CANADA - ADMINISTRATION OF THE FOREIGN INVESTMENT REVIEW ACT
Report of the Panel adopted on 7 February 1984
(L/5504 - 30S/140)
1. Introduction
1.1 In a communication dated 5 January 1982, the United States requested the government of
Canada to consult under Article XXII:1 on the administration of the Canadian Foreign Investment
Review Act. Among the issues which the United States wished to raise in the consultation was the
practice of the government of Canada to enter into agreements with foreign investors according to
which these are to give preference to the purchase of Canadian goods over imported goods and to
meet certain export performance requirements. The communication was circulated to the contracting
parties on 7 January 1982 (L/5280). Since the consultation did not lead to a solution, the United
States, in a communication dated 19 March 1982, referred the matter to the CONTRACTING
PARTIES in accordance with Article XXIII:2 (L/5308).
1.2 At its meeting on 31 March 1982 the Council agreed to establish a Panel and authorized its
Chairman, in consultation with the two parties concerned and with other interested contracting parties,
to decide on appropriate terms of reference and, in consultation with the two parties concerned, to
designate the Chairman and the members of the Panel.
1.3 At the meeting of the Council on 2 November 1982 the Chairman of the Council informed the
Council that these consultations had been held and that the following composition and terms of
reference had been agreed:
Composition
Chairman: Mr. T.C. O'Brien
Members: Mr. J.N. Feij
Mr. M. Ikeda
Terms of Reference
"To examine, in the light of the relevant GATT provisions, the matter referred to the
CONTRACTING PARTIES by the United States concerning the administration of the Foreign
Investment Review Act of Canada with respect to the purchase of goods in Canada and/or
export of goods from Canada by certain firms subject to that Act; and to make such findings as
will assist the CONTRACTING PARTIES in making the recommendations or rulings provided
for in paragraph 2 of Article XXIII."
1.4 At the Council meeting, a number of delegations expressed doubts whether the dispute
between the United States and Canada was one for which the GATT had competence since it
involved investment legislation, a subject not covered by the GATT. They therefore reserved their
position on the terms of reference (C/M/162, pages 25-26). The representative of the United States
said that his government was not calling into question the Canadian investment legislation as such
but was complaining about the two specific trade-related issues mentioned in the terms of reference.
The representative of Canada said that, in the view of his government, the terms of reference
26
ensured that the examination would touch only on trade matters within the purview of GATT. The
Chairman suggested, and the Council so decided, that the terms of reference remain as they stood,
that the reservations and statements made be placed on the record and that it be presumed that the
Panel would be limited in its activities and findings to within the four corners of GATT.
1.5 The representatives of the contracting parties which had spoken on the matter in the Council
were asked by the Chairman of the Panel, in letters dated 20 December 1982, whether they wished to
have an opportunity to be heard by the Panel as provided in paragraph 15 of the Understanding
Regarding Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance (BISD 26S/213). Argentina
asked to be given this opportunity and was heard by the Panel on 25 January 1983. (The views of
Argentina are summarized below in paragraphs 4.1 and 4.2).
2. Factual Aspects
2.1 The following description of the factual aspects, particularly in paragraphs 2.3, 2.5, 2.7 and
2.12, contains much information about the Foreign Investment Review Act which is not directly at
issue in this dispute but is useful in placing the dispute in its general context.
2.2 The Foreign Investment Review Act. In December 1973 the Parliament of Canada enacted
the Foreign Investment Review Act. According to Section 2(1) of this Act, the Parliament adopted the
law "in recognition that the extent to which control of Canadian industry, trade and commerce has
become acquired by persons other than Canadians and the effect thereof on the ability of Canadians
to maintain effective control over their economic environment is a matter of national concern" and that
it was therefore expedient to ensure that acquisitions of control of a Canadian business or
establishments of a new business by persons other than Canadians be reviewed and assessed and
only be allowed to proceed if the government had determined that they were, or were likely to be, of
"significant benefit to Canada".
2.3 Section 2(2) lists five factors to be taken into account in assessing whether a proposed
investment is or is likely to be of significant benefit to Canada. These are:
(a) The effect of the acquisition or establishment on the level and nature of economic
activity in Canada, including, without limiting the generality of the foregoing, the effect on
employment, on resource processing, on the utilization of parts, components and services
produced in Canada, and on exports from Canada;
(b) the degree and significance of participation by Canadians in the business enterprise
or new business and in any industry or industries in Canada of which the business enterprise or
new business forms or would form a part;
(c)the effect of the acquisition or establishment on productivity, industrial efficiency,
technological development, product innovation and product variety in Canada;
(d) the effect of the acquisition or establishment on competition within any industry or
industries in Canada; and
(e) the compatibility of the acquisition or establishment with national industrial and
economic policies, taking into consideration industrial and economic policy objectives
enunciated by the government or legislature of any province likely to be significantly affected by
the acquisition or establishment.
2.4 Written undertakings given by investors. The Act provides that investors may submit written
undertakings on the conduct of the business they are proposing to acquire or establish, conditional on
approval by the Canadian government of the proposed acquisition or establishment. The submission
27
of undertakings is not required under the Act but, as the administration of the Act evolved, they are
now routinely submitted in support of nearly all larger investment proposals. Many undertakings are
the result of negotiations between the investor and the Canadian government. Undertakings given by
investors may deal with any aspect of the conduct of a business, including employment, investment,
research and development, participation of Canadian shareholders and managers, productivity
improvements as well as practices with respect to purchasing, manufacturing and exports. There are
no pre-set formulas or prescriptions for the undertakings.
2.5 Purchase undertakings. Undertakings with respect to the purchase of goods have been
given in a variety of forms:
- Some involve best efforts to seek Canadian sources of supply;
- some specify a percentage or amount of purchases of Canadian products;
- some envisage replacement of imports with Canadian-made goods in a
specific dollar amount;
- some refer to the purchase of Canadian products, others only to the purchase from
Canadian suppliers (whether of domestic or imported goods);
- some involve a commitment to set up a purchasing division in the Canadian Subsidiary;
and
- some involve a commitment to consult with federal or provincial industry specialists in
drawing up tender lists.
Undertakings on purchases are often but not always conditional on goods being "available",
"reasonably available" or "competitively available" in Canada with respect to price, quality, and
delivery or other factors specified by the investor.
2.6 Manufacturing undertakings. Some firms have given undertakings to manufacture in Canada
products or components of a product used or sold by the firm.
2.7 Export undertakings. The undertakings involving the export of goods have been given in a
variety of forms:
- Some involving development of natural resources are predicated on the development of
offshore markets;
- some involve a specific export target, expressed as a percentage of output or sales, often
to be achieved within a specified time frame;
- some involve assigning to the Canadian business exclusive rights to export either all its
products to certain countries or specified products on a world basis;
- some involve a commitment by the investor to assist the Canadian subsidiary in selling its
products in foreign markets; and
- some involve commitments that the Canadian business will not be restricted from seeking
out and taking advantage of any export opportunities.
2.8 Statistics on the undertakings. The Act came into force on 9 April 1974 with respect to
acquisitions and on 15 October 1975 with respect to new businesses. From April 1974 to
28
September 1982, the Government of Canada has rendered decisions on 4,103 investment proposals,
of which 2,448 were from the United States. Approximately 90 per cent of the reviewable investment
proposals on which the government has taken a decision have been judged to be of significant benefit
to Canada and have, therefore, been allowed. The Panel asked questions about the frequency with
which the various types of undertakings have been given. In order to answer these questions the
Canadian government reviewed a sample of 181 investments allowed in the month of November in
the years 1980, 1981 and 1982. (November was the latest month for which data were available). In
this sample, 55 of the investors or 30 per cent of the total gave no undertakings relating to sourcing.
The remaining 126 investors gave a total of 178 sourcing undertakings. (Some investors gave more
than one sourcing undertaking). Of those 178 sourcing undertakings, 65 per cent referred to the
purchase of goods and services from Canadian suppliers or words to that effect, 15 per cent referred
to purchase of Canadian produced goods. The remaining 20 per cent were sourcing commitments of
other kinds, e.g. to set up a Canadian purchasing division, or to consult with a government body to
identify potential Canadian suppliers. This latter 20 per cent also includes undertakings relating
solely to the purchase of services. 71 per cent of the undertakings to purchase in Canada or to
purchase Canadian produced goods carried a qualification with respect to the availability of goods on
competitive terms.
2.9 With respect to export undertakings in the same sample of 181 investments, 97 investors or
54 per cent of the total gave no export undertakings of any kind. The remaining 84 investors gave 96
export undertakings. (Again some investors gave more than one undertaking relating to exports). Of
the 96 export undertakings, 32 per cent referred to a quantifiable level of exports, e.g. target value of
exports or a percentage of output. The remaining 68 per cent were export undertakings of other
kinds, such as an undertaking not to restrict the export activities of the Canadian business, or to
actively pursue export opportunities.
2.10 Enforcement of the undertakings. Written undertakings given by firms are legally binding on
the investor if the investment is allowed. According to Section 21 of the Act the Minister responsible
for the administration of the Act may apply to the courts for a remedial order in the event an investor
fails to implement undertakings he has given. The Minister responsible for the Act made the following
statement in the Canadian Parliament in 1973 on the enforcement of undertakings:
"In normal circumstances the inability to fulfil undertakings will lead to discussions with the
Minister and perhaps to the negotiation of new undertakings. Like any contract, an undertaking
can be modified with the consent of both parties. If, however, the failure to comply with an
undertaking is clearly the result of changed market conditions - for example, the undertaking to
export frisbees is followed by the collapse of the frisbee market - the person would not be held
accountable. It should be remembered, however, that some undertakings may be tailored to a
range of market expectations."
2.11 All investments that are allowed subject to the Act are monitored by the government of
Canada. If the investment involves specific undertakings the investor is asked at regular intervals for
a progress report on the implementation of his undertakings. All undertakings are monitored at least
once before the file is closed, normally after the fifth anniversary of the date on which the permission
to invest was granted. If the investor's progress report reveals a variation from the undertakings, or
non-fulfilment of them, the investor is asked to provide a more detailed explanation. Depending on
the circumstances, performance of unfulfilled undertakings has so far always been either postponed
or waived, or the undertakings have been replaced by revised undertakings. To date, the Minister
responsible for the administration of the Act has not applied to the courts to enforce an investor's
written undertaking.
29
2.12 Recent changes in the administration of the Foreign Investment Review Act. During the
second half of 1982 some changes were introduced in the administration of the Foreign Investment
Review Act, without entailing modifications in the Act itself. Among the most important changes was
the decision to raise the threshold for the review of new investments or direct acquisitions under the
small business procedures from Can$ 2 million and 100 employees to Can$ 5 million and 200
employees. The small business procedures do not require a full review, except under special
circumstances. Approximately, 85 per cent of all proposals fall within the small business procedure.
3. Main Arguments
3.1 The United States requested the Panel to find that the written undertakings obtained by the
Government of Canada under the Foreign Investment Review Act which oblige foreign investors
subject to the Act
(a) to purchase goods of Canadian origin in preference to imported goods or in specified
amounts or proportions, or to purchase goods from Canadian sources;
(b) to manufacture in Canada goods which would be imported otherwise
are inconsistent with Articles III:4, III:5, XI and XVII:1(c) of the General Agreement, and that the
undertakings which oblige foreign investors
(c) to export specified quantities or proportions of their production
are inconsistent with Article XVII:1(c) of the General Agreement, and that any such undertakings
therefore constitute a prima facie case of nullification and impairment under Article XXIII of the
General Agreement. The United States further requested the Panel to suggest that the
CONTRACTING PARTIES recommend that Canada (a) make clear that it will not regard as binding,
or seek to enforce in the context of the Foreign Investment Review Act, any undertaking of the kind
found to be inconsistent with the General Agreement, and (b) that it cease eliciting and accepting
such undertakings as part of investment proposals.
3.2 Canada requested the Panel to find that the purchase undertakings (paragraph 3.l(a)) given
by foreign investors are not inconsistent with the provisions of Articles III:4, III:5, XI or XVII:1(c) of the
General Agreement, that the export undertakings (paragraph 3.1(c) ) are not inconsistent with the
provisions of Article XVII:1(c) and that, were the purchase and/or export undertakings to fall within the
provisions of one or more of these Articles, they, would constitute measures within the provisions of
Article XX(d). As to the manufacturing undertakings (paragraph 3.1(b)), Canada asked the Panel to
find that these do not fall under the Panel's terms of reference.
3.3 Both parties agreed that the issue before the Panel was not the Foreign Investment Review
Act itself or Canada's right to regulate the entry and expansion of foreign direct investments, but
rather the consistency with the General Agreement of the purchase and export undertakings given by
investors subject to the Foreign Investment Review Act.
(a) Undertakings to purchase goods of Canadian origin in preference to imported goods or in
specified amounts or proportions, or to purchase goods from Canadian sources
3.4 Article III:4. The United States contended that the written undertakings which oblige investors
to purchase goods of Canadian origin in preference to imported goods or in specified amounts or
proportions, or to purchase goods from Canadian sources (henceforth referred to as "purchase
undertakings") violated Article III:4 because they constituted requirements giving less favourable
treatment to imported products than to like products of national origin.
30
3.5 In the view of the United States even those undertakings that obliged a firm to purchase
goods in Canada whenever "available", "reasonably available", or "competitively available" had the
effect of according less favourable treatment to imported goods. Such undertakings prevented the
investor from choosing freely between imported and domestic goods since they obliged him to opt in
favour of domestic products whenever the availability condition was fulfilled. The provisos
"reasonably available" or "competitively available" were vague and involved value judgements
regarding quality, reliability of supply and the like. A firm subject to an undertaking with such a proviso
was therefore likely to purchase Canadian goods even when they were less attractive than imported
goods in order to avoid possible conflict with Canadian officials monitoring compliance who have a
different perspective and apply different value judgements on these matters. Undertakings to
purchase from Canadian sources or suppliers (whether the products purchased were domestic or
imported) would also result in less favourable treatment to imports than that given to Canadian
products because in cases where a product was produced in both Canada and other countries such
undertakings would oblige the investor to purchase imports from a Canadian "middleman" (the
importer/distributor/retailer), thus forcing the investor to incur additional costs in the form of the
middleman's profit if he decided to import, but leaving him free to purchase directly from a Canadian
manufacturer, thereby avoiding the additional cost of the "middleman". Even more discrimination
against imported products would result in instances in which Canadian sources and suppliers did not
stock or distribute imported products sought by the investor.
3.6 Canada held that the purchase undertakings did not constitute laws, regulations or
requirements within the meaning of Article III:4. There was no provision in the Foreign Investment
Review Act, its regulations or any other Canadian act or regulation which stipulated that any
undertaking shall be given by a firm as a condition of investment. While there was an overall
requirement under the Act that a foreign investor demonstrate that his proposal, as an overall
package, was, or was likely to be, of significant benefit to Canada, it was entirely up to him to choose
the means to do this. Frequently, investors chose to offer purchase undertakings in support of their
proposals. Canada further stated that the investment screening procedures were not intended nor
applied so as to provide protection to Canadian manufacturers or to oblige companies to depart from
commercially sound practices. Investors, having decided on their plans for conducting business in
Canada, generally had no hesitation in giving undertakings which reflected these plans. Since both
the investor and the Canadian government had to act in the context of markets in which the investor's
competitors were not subject to undertakings, it was highly unlikely that purchase undertakings would
either be offered or sought that departed significantly from the purchasing practices the investor would
follow in the absence of the undertaking. Where undertakings were given, they reflected a decision
by the investor about how he intended to conduct his business in Canada. Undertakings would only
represent a cost to the investor if they did not reflect his business intentions. When investors gave
purchase undertakings without any qualification as to the competitive availability of goods in Canada,
it was usually because either the investor had already identified his sources of supply, or, given the
nature of his business, purchases were ordinarily made locally. A review of the circumstances of the
investment proposals specifically cited by the United States in their submission did not support the
claim that the undertakings given in these proposals had to be regarded as requirements.
3.7 The United States replied that it was true that the Act itself did not require investors to offer
undertakings, but, once given, the undertakings had to be regarded as requirements in the light of the
circumstances in which they were offered and accepted and of their legally binding character. No
private business would bind its future purchasing practices unless the achievement of some benefit or
the avoidance of some penalty was made contingent upon that binding. The investors only offered
undertakings in order to obtain the Canadian government's approval of their investment proposals.
Moreover, there were many cases in which purchase undertakings were the result of negotiations in
which Canada sought new or "improved" undertakings. The government of Canada itself had
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)
4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)

More Related Content

What's hot

Ekonomi internasional (1)
Ekonomi internasional (1)Ekonomi internasional (1)
Ekonomi internasional (1)ine srinurjanah
 
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli TanahPerjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli TanahLeks&Co
 
kepemimpinan dan pengambilan keputusan
kepemimpinan dan pengambilan keputusankepemimpinan dan pengambilan keputusan
kepemimpinan dan pengambilan keputusanistirokhah ioz
 
Go Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKM
Go Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKMGo Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKM
Go Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKMPeterPakpahan1
 
Mengenal Reksadana
Mengenal ReksadanaMengenal Reksadana
Mengenal Reksadanaade orreo
 
1 teori perdagangan internasional
1   teori perdagangan internasional1   teori perdagangan internasional
1 teori perdagangan internasionalBadrotuz Zahro
 
Materi Rapat Bisnis
Materi Rapat BisnisMateri Rapat Bisnis
Materi Rapat Bisnisrerenanggunw
 
Strategy and kpi finance &amp; accounting department
Strategy and kpi finance &amp; accounting departmentStrategy and kpi finance &amp; accounting department
Strategy and kpi finance &amp; accounting departmentWADIYO .
 
Modal asing dan utang luar negeri
Modal asing dan utang luar negeriModal asing dan utang luar negeri
Modal asing dan utang luar negeriLutfiyah Siti
 
Akuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajiban
Akuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajibanAkuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajiban
Akuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajibanSujatmiko Wibowo
 
Ekonomi manajerial penaksiran dan peramalan biaya
Ekonomi manajerial penaksiran dan peramalan biayaEkonomi manajerial penaksiran dan peramalan biaya
Ekonomi manajerial penaksiran dan peramalan biayaHamdan Yuafi
 
Ekonomi manajerial
Ekonomi manajerialEkonomi manajerial
Ekonomi manajerialhoyin rizmu
 
MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)
MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)
MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)Putri Sanuria
 
Akuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptx
Akuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptxAkuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptx
Akuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptxRyan Gamof
 
PPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan Organisasi
PPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan OrganisasiPPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan Organisasi
PPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan OrganisasiilmahnurmaYanti
 
MANAJEMEN OPERASI
MANAJEMEN OPERASIMANAJEMEN OPERASI
MANAJEMEN OPERASI yuniar putri
 

What's hot (20)

Ekonomi internasional (1)
Ekonomi internasional (1)Ekonomi internasional (1)
Ekonomi internasional (1)
 
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli TanahPerjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah
 
kepemimpinan dan pengambilan keputusan
kepemimpinan dan pengambilan keputusankepemimpinan dan pengambilan keputusan
kepemimpinan dan pengambilan keputusan
 
Go Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKM
Go Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKMGo Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKM
Go Modern - Sistem Manajemen Mutu Untuk UMKM
 
Mengenal Reksadana
Mengenal ReksadanaMengenal Reksadana
Mengenal Reksadana
 
Studi kasus msdm
Studi kasus msdmStudi kasus msdm
Studi kasus msdm
 
1 teori perdagangan internasional
1   teori perdagangan internasional1   teori perdagangan internasional
1 teori perdagangan internasional
 
Materi Rapat Bisnis
Materi Rapat BisnisMateri Rapat Bisnis
Materi Rapat Bisnis
 
Strategy and kpi finance &amp; accounting department
Strategy and kpi finance &amp; accounting departmentStrategy and kpi finance &amp; accounting department
Strategy and kpi finance &amp; accounting department
 
Modal asing dan utang luar negeri
Modal asing dan utang luar negeriModal asing dan utang luar negeri
Modal asing dan utang luar negeri
 
Akuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajiban
Akuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajibanAkuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajiban
Akuntansi aset, persediaan, investasi dan kewajiban
 
Ekonomi manajerial penaksiran dan peramalan biaya
Ekonomi manajerial penaksiran dan peramalan biayaEkonomi manajerial penaksiran dan peramalan biaya
Ekonomi manajerial penaksiran dan peramalan biaya
 
Pp 2 penentuan lokasi pabrik
Pp 2 penentuan lokasi pabrikPp 2 penentuan lokasi pabrik
Pp 2 penentuan lokasi pabrik
 
Ekonomi manajerial
Ekonomi manajerialEkonomi manajerial
Ekonomi manajerial
 
MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)
MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)
MAKALAH EKSPOR IMPOR (PENGENALAN)
 
3. Job Order Costing.pptx
3. Job Order Costing.pptx3. Job Order Costing.pptx
3. Job Order Costing.pptx
 
penanaman modal
penanaman modalpenanaman modal
penanaman modal
 
Akuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptx
Akuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptxAkuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptx
Akuntansi Biaya Metode Harga Pokok Pesanan Full Costing.pptx
 
PPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan Organisasi
PPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan OrganisasiPPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan Organisasi
PPT Kelompok 6 Etika Manajemen dan Organisasi
 
MANAJEMEN OPERASI
MANAJEMEN OPERASIMANAJEMEN OPERASI
MANAJEMEN OPERASI
 

Similar to 4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)

Similar to 4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto) (14)

Liz
LizLiz
Liz
 
Neoliberalism
NeoliberalismNeoliberalism
Neoliberalism
 
The Impact of International Businesses in a Global Economy: An Interdisciplin...
The Impact of International Businesses in a Global Economy: An Interdisciplin...The Impact of International Businesses in a Global Economy: An Interdisciplin...
The Impact of International Businesses in a Global Economy: An Interdisciplin...
 
@GRIAusConf_Plenary Panel: The Role of Reporting In The Transition To A Susta...
@GRIAusConf_Plenary Panel: The Role of Reporting In The Transition To A Susta...@GRIAusConf_Plenary Panel: The Role of Reporting In The Transition To A Susta...
@GRIAusConf_Plenary Panel: The Role of Reporting In The Transition To A Susta...
 
GATT & WTO and implications of them
GATT & WTO and implications of themGATT & WTO and implications of them
GATT & WTO and implications of them
 
WTO (World Trade Organization)
WTO (World Trade Organization)WTO (World Trade Organization)
WTO (World Trade Organization)
 
Neoliberalism
NeoliberalismNeoliberalism
Neoliberalism
 
Global Technological Environment
Global Technological EnvironmentGlobal Technological Environment
Global Technological Environment
 
The Contemporary World: Global Economic Structures
The Contemporary World: Global Economic StructuresThe Contemporary World: Global Economic Structures
The Contemporary World: Global Economic Structures
 
Nagrale
NagraleNagrale
Nagrale
 
Globalisation
GlobalisationGlobalisation
Globalisation
 
148323
148323148323
148323
 
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
 
Imf and w orld bank
Imf and w orld bankImf and w orld bank
Imf and w orld bank
 

More from Putu Ajus

Sekilas tentang siwagama
Sekilas tentang siwagamaSekilas tentang siwagama
Sekilas tentang siwagamaPutu Ajus
 
Pp no 52_th_2012
Pp no 52_th_2012Pp no 52_th_2012
Pp no 52_th_2012Putu Ajus
 
Contoh SOP business development
Contoh SOP business developmentContoh SOP business development
Contoh SOP business developmentPutu Ajus
 
Leadership indonesia.
Leadership indonesia.Leadership indonesia.
Leadership indonesia.Putu Ajus
 
Computer technology indonesia.
Computer technology indonesia.Computer technology indonesia.
Computer technology indonesia.Putu Ajus
 
Food & beverage indonesia.
Food & beverage   indonesia.Food & beverage   indonesia.
Food & beverage indonesia.Putu Ajus
 
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)Putu Ajus
 

More from Putu Ajus (9)

Sekilas tentang siwagama
Sekilas tentang siwagamaSekilas tentang siwagama
Sekilas tentang siwagama
 
Pp no 52_th_2012
Pp no 52_th_2012Pp no 52_th_2012
Pp no 52_th_2012
 
BNSP
BNSPBNSP
BNSP
 
Contoh SOP business development
Contoh SOP business developmentContoh SOP business development
Contoh SOP business development
 
Leadership indonesia.
Leadership indonesia.Leadership indonesia.
Leadership indonesia.
 
Computer technology indonesia.
Computer technology indonesia.Computer technology indonesia.
Computer technology indonesia.
 
Food & beverage indonesia.
Food & beverage   indonesia.Food & beverage   indonesia.
Food & beverage indonesia.
 
SELARAS
SELARASSELARAS
SELARAS
 
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
 

Recently uploaded

Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...
Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...
Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...Lviv Startup Club
 
Keppel Ltd. 1Q 2024 Business Update Presentation Slides
Keppel Ltd. 1Q 2024 Business Update  Presentation SlidesKeppel Ltd. 1Q 2024 Business Update  Presentation Slides
Keppel Ltd. 1Q 2024 Business Update Presentation SlidesKeppelCorporation
 
Call Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Available
Call Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service AvailableCall Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Available
Call Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service AvailableDipal Arora
 
VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow ) 🔝 8923113531 🔝 Cash Payment (COD) 👒
VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow  ) 🔝 8923113531 🔝  Cash Payment (COD) 👒VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow  ) 🔝 8923113531 🔝  Cash Payment (COD) 👒
VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow ) 🔝 8923113531 🔝 Cash Payment (COD) 👒anilsa9823
 
Socio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptx
Socio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptxSocio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptx
Socio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptxtrishalcan8
 
Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...
Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...
Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...Roland Driesen
 
Sales & Marketing Alignment: How to Synergize for Success
Sales & Marketing Alignment: How to Synergize for SuccessSales & Marketing Alignment: How to Synergize for Success
Sales & Marketing Alignment: How to Synergize for SuccessAggregage
 
Catalogue ONG NUOC PPR DE NHAT .pdf
Catalogue ONG NUOC PPR DE NHAT      .pdfCatalogue ONG NUOC PPR DE NHAT      .pdf
Catalogue ONG NUOC PPR DE NHAT .pdfOrient Homes
 
Call Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine Service
Call Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine ServiceCall Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine Service
Call Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine Serviceritikaroy0888
 
Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779
Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779
Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779Delhi Call girls
 
Creating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature Set
Creating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature SetCreating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature Set
Creating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature SetDenis Gagné
 
A DAY IN THE LIFE OF A SALESMAN / WOMAN
A DAY IN THE LIFE OF A  SALESMAN / WOMANA DAY IN THE LIFE OF A  SALESMAN / WOMAN
A DAY IN THE LIFE OF A SALESMAN / WOMANIlamathiKannappan
 
Insurers' journeys to build a mastery in the IoT usage
Insurers' journeys to build a mastery in the IoT usageInsurers' journeys to build a mastery in the IoT usage
Insurers' journeys to build a mastery in the IoT usageMatteo Carbone
 
Monthly Social Media Update April 2024 pptx.pptx
Monthly Social Media Update April 2024 pptx.pptxMonthly Social Media Update April 2024 pptx.pptx
Monthly Social Media Update April 2024 pptx.pptxAndy Lambert
 
7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...
7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...
7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...Paul Menig
 
Cash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call Girls
Cash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call GirlsCash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call Girls
Cash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call GirlsApsara Of India
 
GD Birla and his contribution in management
GD Birla and his contribution in managementGD Birla and his contribution in management
GD Birla and his contribution in managementchhavia330
 
VIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130 Available With Room
VIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130  Available With RoomVIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130  Available With Room
VIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130 Available With Roomdivyansh0kumar0
 
Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...
Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...
Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...Dipal Arora
 

Recently uploaded (20)

Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...
Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...
Yaroslav Rozhankivskyy: Три складові і три передумови максимальної продуктивн...
 
Keppel Ltd. 1Q 2024 Business Update Presentation Slides
Keppel Ltd. 1Q 2024 Business Update  Presentation SlidesKeppel Ltd. 1Q 2024 Business Update  Presentation Slides
Keppel Ltd. 1Q 2024 Business Update Presentation Slides
 
Call Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Available
Call Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service AvailableCall Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Available
Call Girls Pune Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Available
 
VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow ) 🔝 8923113531 🔝 Cash Payment (COD) 👒
VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow  ) 🔝 8923113531 🔝  Cash Payment (COD) 👒VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow  ) 🔝 8923113531 🔝  Cash Payment (COD) 👒
VIP Call Girls In Saharaganj ( Lucknow ) 🔝 8923113531 🔝 Cash Payment (COD) 👒
 
Socio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptx
Socio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptxSocio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptx
Socio-economic-Impact-of-business-consumers-suppliers-and.pptx
 
Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...
Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...
Ensure the security of your HCL environment by applying the Zero Trust princi...
 
Sales & Marketing Alignment: How to Synergize for Success
Sales & Marketing Alignment: How to Synergize for SuccessSales & Marketing Alignment: How to Synergize for Success
Sales & Marketing Alignment: How to Synergize for Success
 
Catalogue ONG NUOC PPR DE NHAT .pdf
Catalogue ONG NUOC PPR DE NHAT      .pdfCatalogue ONG NUOC PPR DE NHAT      .pdf
Catalogue ONG NUOC PPR DE NHAT .pdf
 
Call Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine Service
Call Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine ServiceCall Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine Service
Call Girls In Panjim North Goa 9971646499 Genuine Service
 
Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779
Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779
Best VIP Call Girls Noida Sector 40 Call Me: 8448380779
 
Creating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature Set
Creating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature SetCreating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature Set
Creating Low-Code Loan Applications using the Trisotech Mortgage Feature Set
 
Nepali Escort Girl Kakori \ 9548273370 Indian Call Girls Service Lucknow ₹,9517
Nepali Escort Girl Kakori \ 9548273370 Indian Call Girls Service Lucknow ₹,9517Nepali Escort Girl Kakori \ 9548273370 Indian Call Girls Service Lucknow ₹,9517
Nepali Escort Girl Kakori \ 9548273370 Indian Call Girls Service Lucknow ₹,9517
 
A DAY IN THE LIFE OF A SALESMAN / WOMAN
A DAY IN THE LIFE OF A  SALESMAN / WOMANA DAY IN THE LIFE OF A  SALESMAN / WOMAN
A DAY IN THE LIFE OF A SALESMAN / WOMAN
 
Insurers' journeys to build a mastery in the IoT usage
Insurers' journeys to build a mastery in the IoT usageInsurers' journeys to build a mastery in the IoT usage
Insurers' journeys to build a mastery in the IoT usage
 
Monthly Social Media Update April 2024 pptx.pptx
Monthly Social Media Update April 2024 pptx.pptxMonthly Social Media Update April 2024 pptx.pptx
Monthly Social Media Update April 2024 pptx.pptx
 
7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...
7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...
7.pdf This presentation captures many uses and the significance of the number...
 
Cash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call Girls
Cash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call GirlsCash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call Girls
Cash Payment 9602870969 Escort Service in Udaipur Call Girls
 
GD Birla and his contribution in management
GD Birla and his contribution in managementGD Birla and his contribution in management
GD Birla and his contribution in management
 
VIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130 Available With Room
VIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130  Available With RoomVIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130  Available With Room
VIP Kolkata Call Girl Howrah 👉 8250192130 Available With Room
 
Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...
Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...
Call Girls Navi Mumbai Just Call 9907093804 Top Class Call Girl Service Avail...
 

4 perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional (wto)

  • 1. 1 Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO) Huala Adolf
  • 2. 2 DAFTAR ISI BAB 1 PENGANTAR BAB 2 LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs Addendum: Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, Report of the Panel, 7 February 1984. BAB 3 NEGOSIASI TRIMs DALAM PUTARAN URUGUAY (URUGUAY ROUND) BAB 4 PERJANJIAN WTO MENGENAI TRIMS Addendum: Agreement on Trade-Related Investment Measures BAB 5 ARTI PENTING PERJANJIAN TRIMs BAB 6 PERKEMBANGAN PERJANJIAN TRIMs DALAM KONPERENSI TINGKAT TINGGI WTO BAB 7 SENGKETA PENANAMAN MODAL DI WTO: SENGKETA MOBIL NASIONAL RI Addendum: Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile Industry, Report of the Panel, 2 July 1998.
  • 3. 3 KATA PENGANTAR Buku berjudul 'Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO)' ini merupakan buku sejenis Cases and Materials. Buku ini memuat bacaan awal atau dasar mengenai perjanjian penanaman modal dalam WTO, yani Perjanjian TRIMs - (Trade-Related Investment Measures), muatan isi perjajian TRIMs, dan perkembangan negosiasi Perjanjian TRIMs dalam WTO. Penulis menyusun naskah ini karena sangat kurangnya buku- buku mengenai hukum perdagangan internasional (WTO) di tanah air. Sedangkan kebutuhan akan tulisan atau buku seperti ini masih langka. Buku ini memuat perjanjian dan sengketa-sengketa GATT dan WTO yang terkait dengan penanaman modal. Dalam buku ini dua sengketa yang secara khusus terkait mengenai TRIMs, yaitu sengketa the FIRA (Foreign Review Investment Act) Case, yaitu sengketa yang terjadi dalam kerangka GATT. Sengketa kedua adalah sengketa Mobil Nasional RI (Indonesia - Certain Measures Affecting the Automobile Industry), yaitu sengketa pertama dan terkenal sehubungan dengan pembahasan mengenai TRIMs dalam WTO. Buku ini semata-mata buku pengantar untuk memahami TRIMs lebih lanjut. Kepada penerbit PT Rajagrafindo Persada yang telah bersedia menerbitkan naskah-naskah penulis sebelumnya, penulis ucapkan terima kasih. Mudah-mudahan buku ini dapat memberi setitik sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum yang kita cintai. Kritik dan saran perbaikan atas buku ini akan penulis hargai dan ucapkan terima kasih. Bandung, Mei 2004. Huala Adolf SH LLM PhD
  • 4. 1 BAB I PENGANTAR A. Pendahuluan Penanaman modal asing1 berperan penting baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Di dalam suatu laporannya yang diterbitkan pada tahun 1996, WTO menunjukkan bahwa telah terjadi suatu perkembangan yang cukup mendasar di bidang penanaman modal, khususnya sejak tahun 1980-an. Aliran penanaman modal secara global hanyalah sekitar 60 miliar dollar AS pada tahun 1985. Namun angka ini mengalami peningkatan yang cepat dalam kurun waktu 10 tahun kemudian (pada tahun 1995), yaitu sebesar 315 miliar dollar AS.2 Demikian pula aliran penanaman modal asing ke negara-negara sedang berkembang mengalami perkembangan yang berarti dalam jangka waktu 15 tahun terakhir. Aliran penanaman modal asing ke negara- negara ini telah mengalami peningkatan yang berarti, yaitu dari 1 Prof. M. Sornarajah mendefinisikan penanaman modal sebagai 'the transfer of tangible or intangible assets from one country to another for the purpose of use in that country to generate wealth under the total or partial control of the owner of the assets.' (M. Sornarajah, The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge U.P., 1994), hlm. 4. Cf., Untuk definisi lainnya, lihat: Paul E. Comeaux & N. Stephan Kinsella, Protecting Foreign Investment Under International Law (Dobbs Ferry, New York: Oceana Publications Inc., 1997), hlm. xix,xx. Untuk kajian hukum internasional secara umum mengenai penanaman modal lihat, antara lain, G. Schwarzenberger, Foreign Investment and International Law (London: Stevens & Sons, 1969); Cynthia D. Wallace, (ed.), Foreign Direct Investment in the 1990s (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1990); Ibrahim F.I. Shihata, Legal Treatment of Foreign Investment: The World Bank Guidelines (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1993); Richard B. Lilich, The Protection of Foreign Investment (Syracuse, New York: Sijthoff, 1965); Zouhair A. Kronfol, Protection of Foreign Investment (Leiden: Sijthoff, 1972). Untuk kajian mengenai praktek (hukum) penanaman modal asing, lihat P.T. Muchlinski, Multinational Enterprises and the Law (Oxford, Cambridge: Blackwell, 1995). 2 WTO, Annual Report 1996, (Geneva: WTO, 1996), hlm. 44; Lihat pula: UNCTAD, World Investment Report: 1996 (New York: United Nations, 1996).
  • 5. 2 sekitar hanya 5 persen di tahun 1983 hingga 1987, menjadi 15 persen pada tahun 1995, yaitu sekitar 200 miliar dollar AS.3 Meskipun adanya peningkatan, namun tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab-sebab terjadinya peningkatan angka penanaman modal tersebut. Namun demikian sebuah penelitian menunjukkan bahwa adanya liberalisasi hukum penanaman modal asing baik di negara maju maupun negara berkembang menjadi faktor penyebab utama meningkatnya angka penanaman modal asing tersebut.4 Yang menjadi permasalahan cukup mendasar adalah bahwa hukum internasional yang mengatur bidang ini ternyata berkembang agak lambat guna mengimbangi perkembangan ini. Salah satu pendapat yang berkembang mengungkapkan bahwa lambatnya perkembangan hukum internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena kurangnya upaya koordinasi masyarakat internasional untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang ini. Pendapat lainnya menyatakan bahwa lemahnya aturan hukum internasional mengatur bidang ini disebabkan karena tidak adanya keinginan yang sungguh dari masyarakat internasional. Michael Geist mengungkapkan bahwa tidak adanya niat yang serius dari berbagai negara untuk mengatur bidang ini merupakan kendala bagi perkembangan hukum di bidang investasi.5 Ada pula yang berpendirian bahwa alasan utama dari lambatnya hukum internasional di dalam mengatur masalah ini adalah karena 3 WTO, Annual Report 1996 (Geneva: WTO, 1996), hlm. 46. 4 Untuk kajian umum mengenai hal ini, lihat: Renato Ruggiero, 'Whither The Trade System Next?' dalam: Jagdish Bhagwati & Mathias Hirsch, (eds.), The Uruguay Round and Beyond. (Berlin, New York: Springer, 1998), khususnya hlm. 126 et.seq.
  • 6. 3 tidak adanya lembaga khusus yang memformulasikan hukum internasional di bidang penanaman modal asing.6 Pada prinsipnya terdapat 4 (empat) bidang utama dari hukum internasional yang mengatur penanaman modal ini. (1) Hukum internasional yang mengatur perlindungan terhadap investor dan harta miliknya. (2) Hukum internasional yang mengatur hubungan atau transaksi bilateral antara dua negara (yang disebut juga sebagai BIT atau bilateral investment treaty). Perjanjian seperti ini banyak dibuat baik negara maju maupun berkembang. (3) Hukum internasional yang mengatur upaya-upaya penanaman modal di suatu wilayah (region) tertentu. Upaya ini timbul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap hukum internasional yang melindungi investor dan harta miliknya. Termasuk dalam hal ini adalah prinsip pembayaran ganti rugi manakalah terjadi nasionalisasi penanaman modal asing. (4) Berkembangnya aturan hukum internasional baru yang mengatur upaya-upaya penanaman modal yang terkait dengan perdagangan internasional (the trade-related investment measures atau TRIMs dalam kerangka WTO).7 Bidang keempat pengaturan hukum penanaman modal ini timbul sebagai reaksi terhadap semakin meningkatnya kekhawatiran para investor asing dan negara-negara maju terhadap semakin banyaknya 5 Michael A Geist, 'Toward a General Agreement on the Regulation of Foreign Direct Investment,' 26 Law & Pol'y Int'l Bus. 673 (1995). 6 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 15,16.
  • 7. 4 kebijakan-kebijakan penanaman modal khususnya di negara sedang berkembang. Mereka menganggap upaya-upaya atau kebijakan penanaman modal tersebut telah mempengaruhi atau berdampak terhadap perdagangan internasional. Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini telah semakin dirasakan seiring dengan semakin berkembangnya kesadaran masyarakat internasional. Fenomena tersebut sekarang ini digembar- gemborkan sebagai liberalisasi atau globalisasi ekonomi. Termasuk di dalamnya adalah dijunjung tingginya kebebasan aliran penanaman modal. Bidang keempat dari hukum internasional ini sekarang telah menjadi hukum internasional positif setelah dirampungkannya hasil- hasil perundingan Uruguay yakni dengan disahkannya perjanjian mengenai TRIMs. Buku ini mengkaji secara ringkas bidang hukum internasional mengenai penanaman modal yang keempat. Kajian menunjukkan bahwa lambatnya di dalam mengembangkan hukum intenasional di bidang ini semata-mata disebabkan karena sulitnya upaya untuk mencakup dan mengatur seluruh aspek mengenai hukum penanaman modal asing. Besarnya perbedaan pandangan antara negara maju dan negara berkembang ternyata sulit sekali untuk mencapai titik temu. Negara maju menekankan pentingnya keterbukaan dan dihilangkannya semua upaya atau kebijakan penanaman modal yang terkait dengan perdagangan atau rintangan-rintangan penanaman modal. Sebaliknya, negara sedang berkembang menganut sikap preventif. Mereka acapkali menyandarkan diri kepada alasan 7 Untuk kajian mengenai sejarah atau latar belakang mengenai TRIMs, lihat: Paul B. Christy III, 'Negotiating Investment in the GATT: A Call
  • 8. 5 kedaulatan dan menekankan kepada kebutuhan penanaman modal yang dikaitkan dengan aspek pembangunan. Kajian ini juga menyimpulkan bahwa: Pertama, WTO, bukan Bank Dunia, PBB atau OECD, adalah forum yang tepat untuk mengatur upaya-upaya penanaman modal yang merintangi perdagangan internasional (TRIMs). Kedua, kebijakan-kebijakan penanaman modal yang termuat dalam hukum nasional masing-masing negara sedikit banyak akan mempengaruhi posisi atau pendirian negara-negara tersebut di dalam proses negosiasi pembentukan aturan-aturan penanaman modal. B. Upaya-upaya Penanaman Modal yang terkait dengan Perdagangan (Trade Related Investment Measures). Dewasa ini, negara-negara penerima penanaman modal asing tidak lagi menganggap masuknya modal asing sebagai suatu ancaman. Mereka tidak lagi memandangnya dengan kecurigaan. Pendirian ini berbeda di waktu awal tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Pada waktu itu negara-negara sedang berkembang masih kental menganggap bahwa masuknya modal asing adalah suatu ancaman penjajahan (ekonomi) baru dari bekas negara kolonial-nya (asing). Karena itu, setiap bentuk modal asing akan dipandang sebagai sesuatu yang patut dicurigai. Dewasa ini pandangan tersebut berubah. Modal asing tidak lagi dipandang sebagai suatu, istilah Sir Leon Brittan, ‘Trojan for Functionalism,' 12 Mich. J. Int'l.L 743 (1991).
  • 9. 6 Horses’ (‘Kuda-kuda bangsa Troja’).8 Sekarang negara berkembang berpendapat bahwa modal asing dapat memberi modal kerja dan mendatangkan keahlian manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan koneksi pasar.9 Penanaman modal asing dapat pula berperan dalam meningkatkan pendapatan mata uang asing melalui aktivitas ekspor oleh perusahaan multinasional (Multinational Enterprise atau MNE).10 Yang juga penting, penanaman modal asing (PMA) tidak melahirkan utang baru. Selain itu negara penerima tidak perlu merisaukan atau menghadapi risiko manakala suatu PMA yang masuk ke negerinya ternyata tidak mendapatkan untung dari modal yang ditanamnya.11 Meskipun adanya aspek-aspek positif dari PMA dalam membantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negara-negara penerima, PMA ternyata dapat pula berdampak negatif terhadap perekonomian negara penerima. Namun demikian sudah lama diakui bahwa PMA dapat melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli setempat, khususnya di negara-negara sedang berkembang. 8 Sir Leon Brittan, 'Building on the Singapore Ministerial: Trade, Investment and Competition,' dalam: Jagdisch Bhagwati & Mathias Hirsch, supra, note 4, hlm. 272. 9 William A. Fennel and Joseph W. Tyler, Trade and International Investment from the GATT to the Multilateral Agreement on Investment (1995), hlm. 2003. 10 Lihat Eric M. Burt, 'Developing Countries and the Framework for Negotiations on Foreign Direct Investment in the World Trade Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L & Pol'y 1022 (1997); Ibrahim F.I. Shihata, 'Factors Influencing the Flow of Foreign Investment and the Relevance of a Multilateral Guarantee Scheme,' 21 Int'l. Law 671, 675 (1987). 11 William A. Fennel, supra, note 9, hlm. 23.
  • 10. 7 Dampak lainnya adalah bahwa PMA oleh MNE dapat mengontrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal.12 Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan-kebijakan politis dari negara penerima. Di samping itu pula, MNE banyak dikecam telah mengembalikan keuntungan-keuntungan dari kegiatan bisnisnya ke negara di mana perusahaan induknya berada. Praktek seperti ini sedikitnya telah mengurangi cadangan persediaan mata uang asing (foreign exchange reserves) dari negara penerima. Yang lebih banyak dikecam pula adalah adanya tuduhan-tuduhan terhadap MNE yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama di negara-negara sedang berkembang. Pasalnya adalah, MNE ini telah menggunakan zat- zat yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang tidak atau kurang memperhatikan kelestarian lingkungan.13 Dampak negatif lainnya adalah bahwa MNE dikritik telah merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal itu sendiri di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya praktek MNE yang acapkali menerapkan kegiatan-kegiatan usahanya yang bersifat restriktif (restrictive business practices).14 12 Sir Leon Brittan, supra, note 8, hlm. 271 (berpendapat bahwa banyak negara maju, khususnya di Eropa dan sekutunya menganggap penanaman modal sebagai saingan yang potensial terhadap perusahaan di dalam negeri). 13 Misalnya saja, perusakan lingkungan di Papua (Irian Jaya) sebagai akibat dari pengoperasian proyek tembaga dan mas oleh PT Freeport Indonesia (suatu anak perusahaan Amerika Serikat, the Freeport-McMoran Company), atau kasus bocornya reaktor nuklir di India yang terkenal dengan kasus the Bhopal case. 14 Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1023.
  • 11. 8 C. TRIMS di Negara Sedang Berkembang. Dengan mengingat dampak-dampak negatif PMA, dewasa ini negara-negara berkembang umumnya berpendapat bahwa akivitas atau ruang lingkup usaha perusahaan-perusahaan besar ini perlu dibatasi. Mereka tidak boleh dengan bebas menanamkan modalnya di segala sektor. Negara-negara ini memandang bahwa PMA harus diawasi guna mencegah timbulnya aspek-aspek negatif tersebut tadi.15 Negara-negara berkembang umumnya,16 menerapkan pengawasan modal yang tertuang dalam bentuk berbagai upaya penanaman modal dan persyaratan-persyaratan penanaman modal. Persyaratan- persyaratan demikian sekarang dikenal dengan istilah TRIMs atau trade-related investment measures terhadap perusahaan-perusahaan asing yang hendak menanamkan modalnya. Tujuan utama dari pengenaan upaya-upaya atau persyaratan-persyaratan ini oleh negara penerima adalah untuk mengatur dan mengontrol aliran PMA sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi tujuan pembangunannya.17 15 Pendekatan ini yang diperkenalkan oleh Prof. M. Sornarajah, yang dikenal pula sebagai teori jalan tengah ('middle path theory'). Teori ini berupaya mendamaikan adanya polarisasi dari dua teori yang saling bersilangan, yaitu teori klasik ('classical theory') yang berpendapat bahwa semua PMA adalah baik sifatnya dan teori kedua yaitu teori ketergantungan ('dependency theory') yang beranggapan bahwa semua PMA sifatnya adalah membahayakan. (Lihat, M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 45 et.seqq). 16 Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1982 oleh pemerintah Amerika Serikat menunjukkan bahwa negara-negara sedang berkembang telah menerapkan sekitar 28 per sen TRIMS dibandingkan dengan negara-negara maju yang hanya menerapkan 7,5 %. (David Greenaway, 'Why Are We Negotiating on TRIMs?', dalam: David Greenaway, et.al., Global Protectionism (Macmillan, Hampshire, 1991), hlm. 152. 17 Mina Mashayekhi and Murray Gibbs, 'Lessons from the Uruguay Round Negotiations on Investment,' 33:6 JWT 1 (1999) (menyatakan antara lain bahwa negara-negara sedang berkembang lebih menyukai kombinasi antara insentif penanaman modal dan persyaratan pelaksanaan (performance requirements) guna memenuhi tujuan pembangunannya); United Nations Centre on Transnational Corporations, United Nations Conference on Trade and Development, The Impact of Trade Related Investment Measures on
  • 12. 9 Pada prinsipnya TRIMs ini merupakan unsur yang penting bagi kebijakan-kebijakan negara tuan rumah, terutama negara sedang berkembang. Beberapa negara sedang berkembang bahkan ada pula yang menganggap TRIMs sebagai sarana pembangunannya.18 Negara berkembang lainnya menggunakan TRIMS ini untuk meminimalkan dampak dari PMA. Negara-negara ini telah pula menjadikan upaya-upaya tersebut sebagai bagian dari pembangunan ekonominya untuk mencapai tingkat pertumbuhan pembangunan negaranya.19 Tujuan lainnya dari negara tuan rumah di dalam menerapkan TRIMS ini adalah mencegah perusahaan PMA untuk membuat putusan atau kebijakan yang sifatnya lintas batas. Putusan atau kebijakan seperti ini biasanya dapat mempengaruhi kebijakan atau perekonomian negara tuan rumahnya.20 Di samping itu pula, penerapan TRIMS dipandang semata-mata sebagai suatu hak atau kebijakan setiap negara yang merdeka untuk mengatur Trade and Development (UN Doc.ST/CTC/120, U.N. Sales No. E.91.II,A.19 (1991). 18 Lihat misalnya pernyataan yang dibuat oleh Delegasi ASEAN pada Joint ASEAN Statement on the Uruguay Round at the APEC Ministerial Meeting, Singapore, 30 July 1990, para. 14. 19 Ralph H. Folsom & Michael W. Gordon, International Business Transactions, vol. 2 (St. Paul Minn.,: West Publishing Co., 1995), hlm. 137 (menyatakan bahwa negara-negara sedang berkembang berpendirian bahwa TRIMS adalah sarana untuk mendorong tujuan-tujuan pemerintah di dalam memajukan pembangunan ekonomi dan memastikan perdagangan yang berimbang); Rachel McCulloch, 'Investment Policies in the GATT,' 13 World Economy 541, 545 (1990), (mengungkapkan berbagai bentuk kebijakan nasional di bidang penanaman modal), Edmund M.A. Kwan, 'Trade Related Investment Measures in the Uruguay Round: Towards a GATT for Investment,' 16 N.C.J.Int'l.L.& Com.Reg. 309, 309, 319 (1991). 20 Lars Oxelheim, 'Foreign Direct Investment and the Liberalization of Capital Movements,' dalam Lars Oxelheim (ed)., The Global Race for Foreign Direct Investment, (Berlin: Springer-Verlag, 1993), hlm. 14. Cf., Puri dan Bondap berpendapat bahwa TRIMS tidak semata-mata mengatur FDI untuk memenuhi kebijakan negara tuan ruman tetapi juga untuk mengundang investor datang ke negaranya. (Puri and Bondad, 'TRIMS, Development Aspects and the General Agreement,' dalam Uruguay Round: Further Papers on Selected Issues, (New York: United Nations, 1990), hlm. 57.
  • 13. 10 perekonomiannya termasuk PMA di dalamnya (guna mencegah dampak buruk dari PMA).21 Kebijakan seperti ini sudah barang tentu suatu langkah yang lebih menguntungkan negara penerima (khususnya negara sedang berkembang) daripada negara-negara maju (pengimpor modal dan negara di mana perusahaan-perusahaan besar berdomisili).22 Para investor asing sebaliknya berpendapat lain. Mereka beranggapan, TRIMS merupakan rintangan terhadap perdagangan dunia dan aliran penanaman modal serta telah menghalangi mereka dalam menerapkan strategi kompetitif global yang terpadu.23 Suatu penelitian yang dilakukan pada tahun 1977 dan 1982, misalnya, menunjukkan bahwa 45 hingga 60 persen perusahaan-perusahaan Amerika Serikat terkena pengaruh dari adanya TRIMS ini.24 21 P.T Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172. Untuk kajian secara umum tentang TRIMS, khususnya mengenai sifat dan perkembangannya, lihat: United Nations Centre on Transnational Corporations, United Nations Conference on Trade and Development, The Impact of Trade Related Investment Measures on Trade and Development (UN Doc.ST/CTC/120, U.N. Sales No. E.91.II,A.19 (1991). 22 Cf., sewaktu Tokyo Round (1979) berlangsung, mantan duta besar Kanada untuk GATT menyatakan bahwa kebijakan negara-negara sedang berkembang yang mengenakan syarat-syarat terhadap penanaman modal asing langsung merupakan praktek yang telah lama berlangsung dan diakui. Beliau berpendapat bahwa secara umum para investor asing pun dapat menerima adanya persyaratan-persyaratan tersebut sebagai harga yang harus dibayar atas kesempatan untuk membuat keuntungan yang besar di dalam pasar negara-negara sedang berkembang. (Rodney de C. Grey, " '1992' TRIMS and Selected Issues (New York: United Nations, 1990), hlm. 238). 23 UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New York: UN, 1997), hlm. 135. 24 Low and Subramanian, 'TRIMs in the Uruguay Round: An Unfinished Business,' dalam: Robert M. Stern, (ed.), Multilateral Trading System (Ann Arbor: the University of Michigan Press, 1993), hlm. 418. Cf., suatu pandangan yang berbeda dikemukakan oleh sarjana Hong Kong yang menyatakan tidak ada bukti yang jelas dan dapat diterima bahwa TRIMS benar-benar merintangi perdagangan dan aliran penanaman modal. Suatu kajian dari sudut pandang ekonomi mengungkapkan bahwa TRIMS sesungguhnya dapat digunakan secara efisien sebagai penyangkal atas akibat buruk dari akibat negatif dari perdagangan dan penanaman modal. (Lihat lebih lanjut: Eden S.H. Yu and Chi-Chun Chao, 'On Investment Measures and Trade,' 21 World Economy 4 (1998), hlm. 549 dan khususnya hlm. 559.
  • 14. 11 Pada umumnya, persyaratan penanaman modal dapat digolongkan ke dalam dua bentuk.25 Pertama, persyaratan masuk (entry requirement) dan kedua, persyaratan operasional (operational requirement). Kebijakan negara-negara menunjukkan bahwa pada umumnya negara-negara menerapkan kedua bentuk persyaratan tersebut sebagai syarat untuk masuknya modal asing ke negaranya.26 Pada tahap pertama, yaitu persyaratan masuk (entry requirement), biasanya badan penanaman modal dari negara penerima memeriksa apakah usulan atau proposal penanaman modal asing sesuai atau cocok dengan tujuan-tujuan pembangunan negaranya. Pertimbangan lainnya, apakah proposal tersebut memberikan keuntungan kepada negara penerima.27 Karena itu, manakala negara penerima setelah memeriksa suatu proposal PMA beranggapan bahwa proposal tersebut tidak memenuhi persyaratan masuk atau persyaratan kebijakan penanaman modal nasionalnya, maka pemerintah tersebut dapat menolak permohonan penanaman modal. Sebaliknya, manakala pemerintah negara penerima beranggapan bahwa suatu usulan PMA memenuhi persyaratan untuk masuknya suatu penanaman modal, maka negara yang bersangkutan akan menerapkan persyaratan yang kedua, yaitu persyaratan operasional atau persyaratan pelaksanaan (operational atau performance requirements). Ruang lingkup persyaratan-persyaratan ini cukup 25 Lihat juga Muchlinski, supra, note 1, hlm. 172 et.seq. 26 Fennel berpendapat bahwa ada juga TRIMS yang tidak secara eksplisit merupakan bagian dari kebijakan perdagangan, yaitu rintangan-rintangan birokrasi di berbagai negara sedang berkembang yang dapat menjadi rintangan bagi penanaman modal. (Lihat: William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2034). 27 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100-102.
  • 15. 12 luas, bergantung kepada tujuan atau kebijakan masing-masing negara. Namun demikian persyaratan pelaksanaan yang paling umum adalah persyaratan menggunakan kandungan local (local content requirements), persyaratan perdagangan yang berimbang (trade balancing requirements) persyaratan ekspor (export performance requirements), pembatasan impor (limitation on imports), persyaratan mata uang asing dan pengiriman mata uang asing (foreign exchange and remittance requirements), persyaratan modal minimum (minimum local equity requirements), persyaratan alih teknologi (technology transfer requirements), dan persyaratan lisensi produk (product licensing requirements).28 Dengan diterapkannya persyaratan-persyaratan ini, negara tuan rumah akan memastikan bahwa PMA akan memberikan keuntungan maksimum kepada pembangunan ekonominya. Dalam hal ini, PMA akan digunakan sebaik-baiknya untuk membangun atau untuk memenuhi rencana pembangunan atau rencana perekonomian negaranya. Semua persyaratan ini lebih banyak dan lazim dipraktekkan oleh negara tuan rumah. Legalitas upaya ini disandarkan pada alasan untuk memelihara kedaulatan atau pengawasan negara terhadap PMA.29 Setiap usulan penanaman modal yang tidak memenuhi tujuan dari negara tuan rumah atau usulan PMA yang diduga akan 28 Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1025. 29 Maskus and Eby, 'Developing New Rules and Disciplines on Trade-Related Investment Measures,' in Robert M. Stern (ed.), supra, note 24, hlm. 451.
  • 16. 13 membahayakan tujuan pembangunan negaranya, maka negara tersebut akan menolak masuknya PMA.30 Semua upaya atau kebijakan tersebut adalah sah. Pada prinsipnya hukum internasional memberikan kekuasaan, jurisdiksi atau hak-hak berdaulat kepada suatu negara untuk mengatur setiap kegiatan. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan perdagangan atau ekonomi di wilayahnya. Perlu ditekankan di sini bahwa jangka waktu penanaman modal MNEs di negara tuan rumah biasanya cukup lama. Karena itu, pertimbangan waktu inilah yang juga menjadi latar belakang mengapa negara tuan rumah mengatur ruang lingkup PMA. Langkah ini perlu guna mengantisipasi akibat-akibat yang mungkin timbul di kemudian hari dari PMA melalui berbagai kebijakan atau persyaratan.31 Kewenangan negara tuan rumah untuk mengatur masuknya PMA hanya tunduk kepada perjanjian-perjanjian internasional (di bidang PMA) yang ditandatangani oleh negara yang bersangkutan.32 Pengakuan atas hak ini sangat penting untuk negara-negara, khususnya negara sedang berkembang. Hak tersebut diperlukan untuk mengatur dan mengawasi masuknya PMA ke dalam wilayahnya.33 Prof. M. Sornarajah menjelaskan hak ini sebagai berikut:34 'The right of a state to control entry of foreign investment is unlimited, as it is a right that flows from sovereignty. Entry of any foreign investment can be excluded by a state. Once an alien enters a state, both he and his property are 30 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 100. 31 Eric M. Burt, supra, note 10, hlm. 1027. 32 Muchlinski, supra, note 1, hlm. 173. 33 Dapat dikemukakan di sini bahwa adanya pengakuan untuk mengatur dan mengontrol ini telah mencerminkan pendirian negara-negara sedang berkembang di Uruguay Round mengenai TRIMS. 34 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 83.
  • 17. 14 subject to the law of the host state. This result flows from the fact that the foreign investor had voluntarily subjected himself to the regime of the host state by making entry into it. The absoluteness of the right to exclude the alien prior to entry becomes somewhat modified after entry as the alien then comes to enjoy a status, which is protected by international law.' Tampak bahwa hukum internasional berperan penting di dalam penanaman modal. Peranan hukum ini juga cukup luas. Ia juga berperan penting di dalam menyelesaikan sengketa yang timbul antara dua negara, yakni antara negara penerima dengan negara dari para investor.35 Uraian di atas menunjukkan hukum internasional telah mengakui hak negara-negara untuk mengontrol orang asing (investor asing atau MNE). Ironisnya perkembangan hukum internasional di bidang ini (khususnya PMA) masih diwarnai oleh berbagai debat di antara para ahli hukum internasional.36 Latar belakang dari keadaan ini adalah masih adanya sengketa atau polarisasi pandangan antara (sarjana-sarjana) negara maju dan negara sedang berkembang. Pada prinsipnya sarjana dari negara maju berpandangan perlunya suatu rejim hukum internasional yang liberal, yaitu rejim yang tidak boleh menghalangi aliran penanaman modal ke mana pun juga. Sedangkan sarjana dari negara berkembang acapkali masih bersandar pada prinsip kedaulatan negara. Mereka berpendapat bahwa 35 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 7-8. Secara umum, peranan yang dimainkan oleh hukum internasional antara lain adalah bahwa hukum ini meletakkan beberapa prinsip tentang penyelesaian sengketa, misalnya saja, prinsip penyelesaian sengketa melalui cara-cara damai, atau larangan menggunakan kekerasan di dalam menyelesaikan sengketa.
  • 18. 15 adalah hak berdaulat setiap negara untuk mengontrol setiap PMA, dari manapun asalnya, yang masuk ke dalamnya.37 Pandangan negara-negara maju terhadap adanya TRIMS adalah bahwa TRIMS tersebut telah memaksa mereka untuk mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomis di dalam rencana penanaman modal mereka. Dalam pandangan mereka, TRIMS tidaklah kondusif dan telah menjadi rintangan bagi perdagangan. Karena itu, mereka bertekad untuk mengurangi atau bahkan menghapus adanya upaya-upaya TRIMS tersebut. D. TRIMS di Negara Maju Meskipun adanya pandangan-pandangan di atas, beberapa negara maju sebenarnya telah juga menerapkan rintangan-rintangan perdagangan terhadap penanaman modal. Hal ini terjadi ketika beberapa negara telah berubah kedudukannya, yaitu bukan lagi semata-mata sebagai pengekspor modal, tetapi juga sebagai pengimpor atau penerima modal asing.38 Adalah benar bahwa negara-negara ini telah mengurangi atau berupaya menghapus rintangan-rintangan penanaman modal. Namun rintangan tersebut tidak seluruhnya hilang. Ada beberapa rintangan yang masih ada. Ada dua alasan mendasar mengapa beberapa rintangan masih dipertahankan. Pertama, negara maju kadang-kadang pula 36 Prof. M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 1 (menyatakan bahwa hukum penanaman modal telah menjadi bahan debat yang cukup sengit di antara para sarjana hukum internasional pada pertengahan abad ke dua-puluh). 37 M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85. 38 Robert H. Edwards Jr and Simon N. Lester, 'Towards a More Comprehensive World Trade Organization on Trade-Related Investment Measures,' 33 Stan.J. Int'l.L. 169 (1997), khususnya hlm. 184-186 (memberikan contoh-contoh praktek Amerika Serikat dan Kanada di dalam menerapkan TRIMS terhadap penanaman modal asing).
  • 19. 16 menyandarkan pendekatannya kepada rasa nasionalisme yang tinggi. Kedua, terdapat rasa kekhawatiran pada sebagian negara maju bahwa modal asing akan mengambil alih aset-aset produktif di negaranya.39 Selain itu, beberapa negara maju telah pula menutup atau melarang beberapa sektor untuk PMA. Atau, kalaupun akhirnya sektor-sektor tersebut diliberalisasi, tingkat keikutsertaan PMA di sektor tersebut sangat dibatasi.40 PMA tidak diperkenankan untuk ikut serta di dalam permodalan di dalam privatisasi aset- aset milik negara. Atau, PMA ini akan dikaji dan hanya diperbolehkan manakala mereka telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu.41 Negara-negara maju utama, seperti Eropa, Kanada, Australia dan bahkan Amerika Serikat mempraktekkan kebijakan-kebijakan penanaman modal seperti ini. Mereka menyandarkan kebijakan- kebijakan tersebut kepada standar-standar mereka yang pada hakekaktnya merupakan hambatan terhadap masuknya PMA ke negara- negara tersebut. Dalam laporan pada tahun 1988, PBB mengungkapkan bahwa Amerika Serikat telah membatasi kepemilikan atas sektor- sektor oleh PMA yang dapat mempengaruhi atau mengancam keselamatan dan kepentingan vital, seperti pengangkutan laut (maritim) dan pengangkutan udara.42 39 Lars Oxelheim, supra, note 20, hlm. 27. 40 Stephen J. Canner, 'Trade and International Investment: from GATT to the Multilateral Agreement on Investment,' dalam: Joseph F. Dennin, (ed)., Law and Practice of the World Trade Organization (New York: Oceana Publ., 1995), hlm. 12. 41 Stephen J. Canner, Ibid, hlm. 12. 42 William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2037, (mengutip U.N. Center on Transnational Corps., 7 National Legislation
  • 20. 17 Guna mengantisipasi masuknya PMA ke negaranya, Amerika Serikat mengundangkan suatu Undang-Undang yang disebut Defense Production Act. Tujuan utama dari UU ini adalah mengawasi dan melindungi produk-produk yang sifatnya strategis bagi pertahanan Amerika Serikat. Di tahun 1975, Amerika Serikat mendirikan suatu badan antar departemen yang disebut the Interagency Committee on Foreign Investment in the U.S. (CFIUS). Badan baru ini bertugas mengawasi aliran masuk PMA di bidang perminyakan. Setahun kemudian di tahun 1976, Amerika Serikat mengundangkan the International Investment and Trade in Service Survey Act (IITSSA) guna memonitor aliran penanaman modal Amerika Serikat ke luar negeri dan PMA yang masuk ke dalam wilayah Amerika Serikat. The IITSSA mewajibakan para investor untuk memberikan laporan secara periodik mengenai kegiatan penanaman modalnya.43 Pada tahun 1988, pemerintah Amerika Serikat mengundangkan the Exxon-Florio Act. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada presiden untuk mengkaji ulang setiap penanaman modal asing. Kajian ini dipandang perlu dilakukan untuk mengetahui apakah penanaman modal tersebut akan mempengaruhi atau membahayakan keamanan nasional Amerika Serikat. Undang-Undang ini juga memberi wewenang kepada presiden untuk menunda atau melarang PMA yang ternyata and Regulation Relating to Transnational Corporations 289, ST/CTC/31, U.N. Sales No. E. 89. II. A.9 [1989]). 43 Robert H. Edwards Jr and Simon N. Lester, supra, note 38, hlm. 184- 186.
  • 21. 18 mempengaruhi atau membahayakan keamanan nasional Amerika Serikat.44 44 William A. Fennel and Joseph W. Tyler, supra, note 9, hlm. 2037; M. Sornarajah, supra, note 1, hlm. 85.
  • 22. 1 BAB II LATAR BELAKANG NEGOSIASI TRIMs Hingga dewasa ini belum ada aturan hukum internasional komprehensif yang mengatur PMA. Sedangkan lembaga internasional yang mengatur dan mengawasi liberalisasi PMA baru terbentuk pada tahun 1995. Alasan utama dari keadaan ini adalah karena upaya- upaya masyarakat internasional terhadap masalah ini masih sangat sektoral sifatnya.1 Dalam perkembangan awalnya, penanaman modal asing secara langsung mulai tampak di masa penjajahan (kolonialisme). Penanaman modal pada waktu itu berlangsung dalam bentuk pergerakan manusia (investor) bersama modalnya dari Eropa ke negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika selatan. Umumnya modal yang ditanamkan tersebut ditujukan untuk mengeksploitasi kekayaan melimpah di negara-negara tersebut. Pemerintah penjajah biasanya membuat suatu kebijakan yang menarik bagi para investor asing. Mereka juga memberikan perlindungan dan jaminan bahwa para investor dan harta bendanya dapat tunduk kepada jurisdiksi pengadilan negara penerima di mana para investor tersebut berdomisili atau menginvestasikan modalnya. 1 Cf., Pandangan yang berbeda dapat terlihat dalam: Lee E. Preston and Duane Windsor, (eds)., The Rules of the Game in the Global Economy: Policy Regime for International Business, (Boston-Dordrecht-London: Kluwer, 2nd.ed., 1977), hlm.137 (yang berpendapat bahwa peranan penaman modal asing akan memainkan perannya pasca perang tata ekonomi internasional tidak diantisipasi manakala fondasi dari hukum perdagangan dan pembayaran tidak ada).
  • 23. 2 Atau, mereka diperkenankan pula untuk tunduk kepada jurisdiksi nasional negara para investor tersebut.2 Sebenarnya perlindungan investasi pada waktu itu tidak merupakan masalah yang penting. Umumnya para penguasa (pemerintahan penjajahan) telah menjadikan masalah perlindungan ini sebagai salah satu bagian dari kebijakannya di wilayah negara jajahannya. Karena itu kebutuhan investor akan perlindungan hukum internasional tidaklah begitu penting. Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang diikuti oleh lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Selatan yang memerdekakan dirinya, para investor mulai mengfokuskan perhatiannya kepada pembangunan kembali negara-negara baru tersebut. Mereka berupaya pula mencari syarat-syarat yang menguntungkan di dalam usaha penanaman modalnya.3 Dalam masa ini terjadi suatu masa baru di mana para investor dan pemerintah negara-negara baru tersebut membuat kesepakatan- kesepakatan mengenai penanaman modal yang tertuang di dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini, para investor asing mulai berupaya mencari aturan-aturan yang mengatur penanaman modal asing di tingkat bilateral, regional atau internasional. Upaya petama di dalam menetapkan aturan hukum intenasional bagi penanaman modal asing terjadi sebelum Perang Dunia II. Pada masa itu, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menetapkan 2 Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', in: Ronald St. John Macdonald, (ed)., Essays in Honour of Wang Tieya, (Dordrecht, Boston, London: Martinus Nijhoff Publishers, 1993), hlm. 704. 3 Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 136.
  • 24. 3 standar-standar internasional untuk perlindungan penanaman modal asing. Standar-standar bagi perlindungan penanaman modal ini sesungguhnya pula dibuat untuk menampung kebutuhan negara-negara (maju) dan para investornya. Fokus utama dari standar tersebut adalah mengenai status orang asing. Standar ini diterapkan terhadap berbagai aspek hukum mengenai penanaman modal dan perlindungan modalnya.4 Termasuk di dalamnya adalah pengaturan mengenai perlindungan hak-hak milik penanaman modal asing (the regulations of foreign investment protection of property rights), penyelesian sengketa, hak asasi manusia dan orang asing, dan perlindungan dalam hal terjadinya pemberontakan atau kekacauan.5 Negara-negara maju tersebut berpendapat bahwa pengaturan- pengaturan seperti ini harus ditaati oleh semua negara. Mereka menyebut pengaturan-pengaturan tersebut sebagai standar minimum yang harus diterapkan secara internasional (international minimum standard).6 Standar-standar perlakuan tersebut juga dimasukkan di dalam perjanjian-perjanjian di bidang perdagangan. Untuk memastikan agar standar-standar tersebut mengikat, negara-negara maju berupaya 4 Untuk analsis lebih lanjut mengenai hal ini lihat: M. Sornarajah, 'Power & Justice in International Law,' 1 SJICL 28 (1997), (berpendapat bahwa hukum internasional 'has been an extension of power play of states and curtailment of such use of power by normative principles involved in notions of justice'). (hlm.49) 5 Nico Schrijver, 'Developments in International Investment Law', supra., note 2, hlm. 706. 6 Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai standar minimum internasional ini, lihat: G. Schwarzenberger, Foreign Investments and International Law (London: Stevens & Sons, 1969).
  • 25. 4 memaksakan standar-standar tersebut melalui tekanan-tekanan politik atau bahkan kadang kala melalui intervensi militer.7 Perlakuan yang cenderung lebih menguntungkan investor asing ditentang keras oleh beberapa negara Amerika Latin. Salah seorang sarjana yang menentang standar internasional ini adalah Carlos Calvo, seorang ahli hukum dan menteri luar negeri Argentina.8 Menurut Calvo, seorang asing yang menetap di negera lain (untuk berusaha dan lain-lain) tunduk kepada hak-hak perlindungan yang sama dengan warga negara di negara tersebut. Menurut Calvo pula, orang asing tidak dapat menuntut hak perlindungan yang lebih besar.9 Pendapat ini menjadi standar yang digunakan dan diterapkan oleh sebagian besar negara sedang berkembang dalam upaya mereka mengatur penanaman modal asing. Mereka berpendapat bahwa penanaman modal asing di suatu negara tunduk kepada hukum di negara tersebut, termasuk perlindungannya 7 UNCTAD, The Outcome of the Uruguay Round: An Initial Assessment (New York: UN, 1997), hlm. 135. 8 Untuk pengkajian mengenai status Calvo Doctrine dewasa ini dalam hubungannya dengan prinsip nasional di dalam hukum internasional mengenai penanaman modal, lihat: Denise Manning-Cabrol, 'The Imminent Death of the Calvo Clause and the Rebirth of the Calvo Principle: Equality of Foreign and National Investors,' 26 Law & Pol'y Int'l. Bus. 1169 (1995) at 1199. 9 'M. Sornarajah, The Law on Foreign Investment, (Cambridge: Cambridge U.P., 1994), hlm. 11. Perlu dikemukakan di sini, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. M. Sornarajah, bahwa ‘hukum yang mengatur penanaman modal asing selama adanya konflik pandangan antara Amerika Serikat dan negara- negara Amerika Latin tidak terkait dengan pengambil-alihan harta milik orang asing. Masalah utamanya adalah kasus-kasus mengenai penyerangan oleh penduduk atau balas dendam politis yang dilakukan untuk memberi keuntungan kepada pemerintah Junta yang sedang berkuasa. Beliau pun menyatakan bahwa 'the law on foreign investment in this nature should be kept in mind since the early scholars tended to apply the uniform principles between the investment cases in Latin American mentioned above and the cases of the taking of foreign investment resulting from economic reforms in later period both in Latin America and other part of the world'). (M. Sornarajah, supra, note 8, hlm. 11).
  • 26. 5 dan ganti ruginya manakala negara penerima menasionalisasi penanaman modal asing. Begitu pula manakala suatu sengketa timbul dari adanya suatu perjanjian penanaman modal asing. Dalam keadaan tersebut sengketa harus diselesaikan menurut hukum nasional negara penerima investasi. Pengadilan yang mengadili sengketa itu pun haruslah pengadilan nasional dari negara tuan rumah (penerima PMA). Standar nasional ini diikuti, antara lain, oleh Indonesia selama tahun 1960-an di dalam sengketa nasionalisasi perusahaan- perusahaan perkebunan Belanda di Sumatera. Dalam sengketa ini, pemerintah Indonesia menyandarkan pada hukum nasionalnya untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah Belanda.10 Konflik antara dua standar tersebut di atas juga mendapat perhatian Liga Bngsa-Bangsa (LBB). Dalam berbagai konperensi badan dunia ini, negara-negara gagal mencapai kesepakatan mengenai perbedaan standar yang harus diterapkan antara kewajiban-kewajiban negara tuan rumah dengan hak-hak investor asing.11 Upaya yang lebih serius dari masyarakat internasional untuk merumuskan pengaturan mengenai PMA terjadi setelah Perang Dunia II usai. Dalam suatu konperensi PBB mengenai Perdagangan dan Ketenagakerjaan (the United Nations Conference on Trade and Employment) di tahun 1947-1948, negara-negara juga telah menaruh perhatiannya kepada masalah penanaman modal ini. Namun pada waktu 10 Lihat Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional mengenai Nasionalisasi di Indonesia (Djakarta: Universitas, 1969); Martin Domke, 'Indonesian Nationalization Measures before Foreign Courts,' 54 Am.J.Int'l.L 305 (1960); Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rjagrafindo Persada, cet. 3, 2002, khususnya Bab V tentang Tanggung Jawab Negara.
  • 27. 6 itu, isu penanaman modal bukan merupakan suatu agenda khusus. Ia semata-mata masih bagian dari suatu agenda yang membahas persoalan praktek bisnis yang restriktif (restrictive business practices).12 Isu penanaman modal mendapat suatu tempat khusus dan serius dalam aganda suatu konperensi internasional terjadi ketika masyarakat internasional menandatanani the Final Act of the Havana Charter for International Trade Organization.13 Final Act (Piagam Havana) ini mengatur di dalamnya upaya penggalakan aliran modal intenasional untuk penanaman modal yang produktif di antara tujuan dari the International Trade Organization (ITO) (Article 1 : 2). Bab III dari Final Act tersebut yang berjudul "International Investment for Economic Development and Reconstructions" antara lain menyatakan bahwa: “1. The Members recognize that: (a) international investment, both public and private, can be of great value in promoting economic development and reconstruction and consequent social progress. ... (c) without prejudice to existing international agreements to which Members are parties, a Member has the right: (i) to take any appropriate safeguards necessary to ensure that foreign investment is not used as a basis for interference in internal affairs or national policies; (ii) to determine whether and to what extent and upon what terms it will allow future foreign investment... .”14 11 UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136. 12 UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136. 13 Untuk teks the Havana Charter, lihat: United Nations Conference on Trade and Employment, Final Act and Related Documents, ECONF. 2/78. Teks tersebut juga termuat dalam buku klasik mengentai ITO: Clair Wilcox, A Charter for World Trade (New York: Macmillan, 1949), hlm. 227-319. The Havana Charter tidak pernah berlaku karena adanya kondisi-kondisi pada waktu itu. Pasal 103 Charter, tidak terpenuhi dalam jangka waktu yang ditetapkan. Keengganan Amerika Serikat untuk meratifikasi the Charter merupakan penyebab utama kegagalannya. 14 Article 12:1 Havana Charter. Analisis lebih lanjut dan latar belakang sejarah Bab III dan pasal-pasal mengenai penanaman modal dalam Charter, lihat: Clair Wilcox, supra note 13, hlm. 140-148.
  • 28. 7 Piagam Havana tidak meletakkan persyaratan terhadap negara- negara anggotanya untuk mempraktekkan perlakuan non-diskriminatif atau perlakuan nasional terhadap PMA.15 Di samping itu, Piagam juga tidak mengatur isu-isu penting lainnya, seperti penggunaan insentif penanaman modal atau persyaratan-persyaratan pelaksanaan oleh negara penerima. Piagam juga tidak mengatur penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal antara negara tuan rumah dan investor asing.16 Beberapa sarjana berpendapat bahwa salah satu alasan gagalnya ITO adalah karena adanya ketentuan mengenai penanaman modal sebagaimana diatur dalam Pasal 12 tersebut. Salah satu pendapat menyatakan bahwa pasal tersebut terlalu memberi perlindungan kepada negara berkembang. Dalam hal ini, Sylvia Ostry menyatakan sebagai berikut: “The ITO did include investment as well as trade but the provisions were heavily circumscribed, reflecting the fears of many developing countries strong pro-investment rules would lead to foreign control over natural resources and 'strategic' industries.”17 GATT yang semula direncanakan sebagai suatu dokumen yang dilampirkan kepada Piagam ITO tidak menyebut suatu ketentuan apa pun mengenai penanaman modal. Dapat dimaklumi, GATT sejak semula hanya direncanakan untuk mengatur tarif dan perdagangan. 15 Edward M. Graham, 'Should There Be Rules on Foreign Direct Investment,' dalam: John H. Dunning, (ed)., Governments, Globalization, and International Business (New York: Oxford U.P., 1997), hlm. 484. 16 Edward M. Graham, Ibid., hlm. 484. 17 Sylvia Ostry, A New Regime for Foreign Direct Investment (Washington DC: Group of Thirty, 1997), hlm. 3. Cf., Eric M. Burt, 'Developing Countries and the Framework for Negotiations on Foreign Direct Investment in the World Trade Organization,' 12:6 Am. U.J.Int'l.L & Pol'y 1028 (1997) (mengupas keinginan negara sedang berkembang bahwa pasal-pasal mengenai penanaman modal di dalam ITO atau Havana Charter lebih menguntungkan negara sedang berkembang).
  • 29. 8 Namun demikian, the CONTRACTING PARTIES GATT telah pula memberi perhatiannya kepada penanaman modal internasional. Sayangnya perhatian tersebut tidaklah terlalu serius. Dalam salah satu resolusinya mengenai 'International Investment for Economic Development,' pada tanggal 4 Maret 1955, the CONTRCTING PARTIES antara lain menyatakan: “Recommended that the contracting parties who are in a position to provide capital for international investment and the contracting parties who desire to obtain such capital use their best endeavours to create conditions calculated to stimulate the international flow of capital having regard in particular, to the importance for this purpose of providing by appropriate methods for security for existing and future investment, the avoidance of double taxation, and facilities for the transfer of earning upon foreign investment, and urge that contracting parties upon the request of any contracting party enter into consultation or participate in negotiations directed to the conclusion of bilateral and multilateral agreement relating to these matters.”18 Dalam suatu pengamatannya, UNCTAD berpendapat bahwa pada waktu tahun-tahun permulaan Perang Dunia II, negara-negara sebenarnya belum siap untuk mengadopsi aturan-aturan hukum internasional untuk mengatur kebijakan penanaman modalnya. Karena itu pula negara-negara, terutama negara maju, mengambil kebijakan untuk mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lainnya di bidang penanaman modal ini. Waktu itu perjanjian demikian dikenal sebagai the Friendship, Commerce and Navigation (FCN) treaties.19 Perjanjian seperti ini biasanya mengatur hal-hal yang cukup luas. Termasuk di dalamnya adalah hak warga negara dari masing-masing negara dan perlindungan harta miliknya di luar negeri. Prinsip lainnya yang 18 3S/49,50, GATT, Guide to GATT Law and Practice, updated 6th .ed. (1995). 19 UNCTAD, supra, note 7, hlm. 136.
  • 30. 9 terkait adalah perlakuan nasional dan perlakuan MFN, pelayaran dan masalah jurisdiksi masing-masing negara. Ketentuan yang luas ini sebagaimana termuat dalam perjanjian FCN ternyata tidak memuaskan para investor dan negara penerima. Mereka berpendapat bahwa perlu adanya peraturan yang khusus untuk mengatur masalah penanaman modal. Pandangan seperti ini kemudian melahirkan suatu bentuk perjanjian baru yang khusus di bidang penanaman modal yaitu perjanjian penanaman modal bilateral (the bilateral investment treaty atau BIT).20 Dalam perkembangannya kemudian, negara-negara telah menggunakan perjanjian seperti BIT ini sebagai salah satu upaya untuk mengadakan perjanjian dengan negara lainnya. Menurut professor Sornarajah, suatu pengkajian terhadap BIT ini menunjukkan bahwa terdapat sekitar 2000 BIT yang dibuat sejak tahun 1990.21 20 Nico Schrijver, 'Developments', supra, note 2, hlm. 713. Cf., untuk kajian mengenai peralihan dari FCN ke BIT ini, lihat: Jeswald Salacuse, 'BIT by BIT: The Growth of BITs and Their Impact on Foreign Investment Treaties and the Impact on Foreign Investment in Developing Countries,' 24 Int'l. Law 657 (1990). Lihat juga: Todd S Shenkin, 'Trade Related Investment Measures in Bilateral Investment Treaties and The GATT: Moving Toward a Multilateral Investment Treaty,' 55 U. Pitt. L. Rev. 548 (1994); Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta: Rajagrafindo Persada, cet. 3, 2002, khususnya Bab I.. 21 Kumpulan perjanjian penanaman modal bilateral dapat dilihat pada: ICSID, Investment Laws of the World (Dobbs Ferry, New York: Oceana Publications, 1972 - ), Lihat pula website ICSID di: <http://www.worldbank.com/icsid/treaties/treaties.htm>; Paul Peters, 'Exhaustion of Local Remedies: Ignorance in Most Bilateral Investment Treaties,' XLIV NILR 233 (1997), hlm. 244. Kajian pengantar (awal) untuk BIT ini lihat: Margrete Stevens & Ruvan de Alwis, 'References on Bilateral Investment Treaties,' 7 ICSID Rev. FILJ (1992), hlm. 229-283. Kajian lengkap mengenai BIT, lihat: Dolzer & M. Stevens, Bilateral Investment Treaties (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1995). Dan untuk kajian agak kontroversial mengenai status BIT ini sebagai hukum kebiasaan internasional, lihat: M. Sornarajah, The Pursuit of Nationalized Property (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1986), hlm. 40; Schwarzenberger, Foreign Investments and International Law, (London: Stevens and Sons, 1969), hlm. 8-9.
  • 31. 10 Tujuan utama dari perjanjian bilateral seperti itu adalah untuk memastikan bahwa harta milik para investor tidak akan diambil alih tanpa adanya ganti rugi yang sifatnya Prompt, Adequate and Effective. Perjanjian seperti ini juga mengandung ketentuan mengenai perlakuan non-diskriminatif, peralihan dana, dan prosedur penyelesaian sengketanya manakala sengketa timbul antara investor dengan negara tuan rumah. Pembahasan mengenai penanaman modal internasional pada tingkat multilateral dimulai kembali di PBB khususnya pada tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan semakin banyak lahirnya negara-negara baru di Asia dan Afrika, peran negara-negara ini di dalam menyuarakan kepentingan dan keprihatinan mereka mengenai penanaman modal cukup penting. Negara-negara ini mengemukakan pendapatnya dengan mengedepankan aspek kedaulatan secara kental. Mereka berpendapat standar internasional di bidang penanaman modal sebagaimana diperkenalkan negara-negara maju selama abad ke – 19 tidaklah sesuai dengan aspirasi negara-negara ini. Upaya negara sedang berkembang untuk merumuskan kepentingan dan kebutuhan mereka untuk meningkatkan pembangunannya melalui PMA dilakukan antara lain melalui PBB. Hasil yang cukup penting dari upaya ini adalah dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB mengenai the Permanent Sovereignty over Natural Resources pada tahun 1962.22 Resolusi penting lainnya adalah resolusi mengenai the Charter of Economic Rights and Duties of States pada tahun 1974. 22 Lihat lebih lanjut: Nico Schrijver, 'Permanent Sovereignty over natural resources versus the common heritage of mankind; complementary or contradictory principles of international economic law' in: de Waart, Peters and Denters, (eds.), International Law and Development
  • 32. 11 Resolusi pertama (the Permanent Sovereignty Resolution) mengakui hak setiap negara untuk secara bebas memanfaatkan kekayaan alamnya sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Resolusi ini juga menegaskan bahwa perjanjian penanaman modal yang dilakukan oleh negara-negara berdaulat secara bebas harus dihormati dengan itikad baik.23 Piagam Hak-Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara (the Charter of Economic Rights and Duties of States) mengandung pengaturan yang lebih banyak mengenai penanaman modal asing. Pasal 2 Piagam mengatur hak-hak setiap negara untuk mengatur dan melaksanakan jurisdiksinya atas penanaman modal sesuai dengan hukum dan perundangannya serta sejalan dengan tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas internasionalnya. Pasal ini juga menyatakan dengan tegas bahwa negara-negara tidak dapat dipaksakan untuk memberikan perlakuan yang menguntungkan kepada sesuatu PMA.24 The United Nations Commission on Transnational Corporations juga sudah mengeluarkan the Draft Code of Conduct in Transnational Corporation (Rancangan Perjanjian Aturan Tingkah Laku Bagi (Dordrecht, Nijhoff, 1988), also Nico Schrijver, Sovereignty Over Natural Resources; Balancing Rights and Duties (Cambridge: Cambridge U.P., 1997), khususnya pada bab 2 dan 3 23 Paragraph 8. CERDS dikritik keras oleh negara-negara maju. Sewaktu pengesahannya, CERDS mendapat 104 suara, 16 menolak dan 6 abstein. Suara penolakan datang dari negara maju. Alasan utama penolakan adalah keberatan negara maju atas pasal atau ketentuan mengenai nasionalisasi yang mensyaratkan bahwa kompensasi atau pembayaran ganti rugi harus dilakukan sesuai dengan ‘hukum atau perundangan yang relevan dan dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang relevan ... ' (Article 2 paragraph 2 (2)). Kajian menarik mengenai CERDS lihat: S.K. Chatterjee, 'The Charter of Economic Rights and Duties of States; An evaluation after 15 years,' (1991) 40 Int'l.&Comp.L.Q. 669; Milan Bulagic, Principle of Development of International Law (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publisher, 1986); E.U. Petersmann, 'Charter of Economic Rights and Duties of States,' in R. Bernhardt (ed)., Encyclopedia of Public International Law, Installment 5 (1985).
  • 33. 12 Perusahaan Transnasional).25 Rancangan Perjanjian ini juga mengatur beberapa aspek mengenai penanaman modal asing. Rancangan perjanjian ini mengatur berbagai hal yang terkait dengan kegiatan perusahaan transnasional, seperti praktek-praktek bisnis yang restriktif, transfer pricing, perlakuan terhadap perusahaan transnasional, nasionalisasi, apropriasi, ganti rugi, dll.26 Negara-negara maju menentang keras aturan-aturan tersebut di atas. Mereka berpendapat aturan-aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.27 Mereka memandang ketentuan-ketentuan mengenai penanaman modal sebagaimana termuat dalam resolusi-resolusi Majelis Umum PBB di atas sifatnya adalah hukum internasional yang tidak mengikat ('soft' international law).28 Sejarah pembentukan perjanjian-perjanjian internasional penting dalam hukum internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya dukungan dari negara-negara maju, maka perjanjian- perjanjian tersebut akan sangat sulit untuk dapat berlaku. Misalnya saja, tidak adanya ratifikasi Amerika Serikat terhadap Piagam ITO telah menyebabkan Piagam ini tidak dapat berlaku.29 Karena itu pula tampak bahwa upaya-upaya PBB untuk merumuskan dan mengatur penanaman modal gagal karena tidak adanya 24 UNCTAD, supra, note 7, hlm.136. 25 Draft, UN Code of Conduct on Transnational Corporations (UN Doc.5/1988/39/- add.1.) 26 UNCTAD, supra, note 7, hlm.136. 27 Pembahasan lebih lanjut dan evaluasi terhadap beberapa pendapat sarjana mengenai masalah ini, lihat: Ignaz Seidl-Hohenveldern, International Economic Law (Dordrecht, Boston, London; Martinus Nijhoff Publisher, 2nd .ed., 1992), khususnya hlm. 37-42. 28 UNCTAD, supra, note 7, hlm. 137. 29 Contoh lainnya adalah penolakan negara-negara maju untuk menaati ketentuan-ketentuan dalam Bab XI dari Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on Law of the Sea of 1982).
  • 34. 13 dukugan dari negara maju. Sejalan dengan itu pula, keengganan negara-negara sedang berkembang secara umum untuk mengatur masalah ini berdasarkan GATT merupakan alasan lainnya mengapa pengaturan penanaman modal khususnya TRIMS juga lambat untuk berkembang. Tahun 1970 Goldberg and Kindleberger dalam suatu tulisannya berjudul 'Towards a GATT for Investment: A Proposal for Supervision of the International Corporation,'30 mengusulkan suatu pengaturan internasional komprehensif mengenai penanaman modal. Mereka berhasil mengemukakan berbagai hal yang menjadi penghalang bagi penanaman modal, termasuk di dalamnya adalah kontrol neraca pembayaran, kontrol ekspor dan pengaturan mengenai jaminan (securities regulation) terhadap perusahaan transnasional. Goldberg dan Kindleberger juga mengemukakan dua usulan penting berkaitan dengan penanaman modal ini, yaitu pertama perlunya membentuk suatu ‘General Agreement for International Corporation’ (‘the Agreement’). Kedua, perlunya membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk melaksanakan the Agreement tersebut.31 Peranan Bank Dunia di dalam mengembangkan aturan-aturan internasional mengenai penanaman modal juga cukup besar. 30 Paul M. Goldberg and Charles P. Kindleberger, 'Towards A GATT for Investment: A Proposal for Supervision of the International Corporation,' 2 Law & Pol'y Int'l Bus. 295-325 (1970). 31 Goldberg and Kindleberger, ibid, hlm. 323. Upaya lain yang juga penting untuk dikemukakan di sini adalah upaya Bank Dunia yang berupaya mempersiapkan suatu ketentuan internasional mengenai penanaman modal asing. Karya komprehensif yang membahsa hal ini adalah Ibrahim F.I. Shihata yang berhasil merampungkan dan menerbitkan 'Guidelines on the Treatment of Foreign Direct investment.' Namun demikian karya penting tersebut tetap hanyalah sebagai pedoman semata ('guideline'). Ia tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat negara-negara. (Lihat: World Bank, Legal Framework for the Treatment of Foreign Investment, Vol.: 1; Survey
  • 35. 14 Khususnya, Bank Dunia membantu penyelesaian sengketa mengenai penanaman modal dan di dalam memberikan jaminan bagi penanaman modal. Perjanjian multilateral pertama yang berhasil dibuat adalah the Convention on the Establishment of an International Centre for the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (ICSID). Konvensi ini berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966. ICSID mengatur prosedur penyelesaian sengketa penanaman modal. ICSID juga memiliki suatu daftar nama-nama orang yang berkualitas sebagai konsiliator atau arbitrator yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa.32 Perjanjian multilateral kedua yang dibuat oleh Bank Dunia adalah the Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi ini berlaku pada tanggal 12 April 1988. Tujuan utama dari lembaga MIGA ini adalah untuk memberikan jaminan kepada investor terhadap risiko non ekonomis khususnya di negara sedang berkembang. Di samping itu, MIGA berperan dalam menggalakkan aliran penanaman modal untuk tujuan- tujuan produktif ke negara-negara sedang berkembang.33 Pada pokoknya Konvensi MIGA tidak mengatur hal-hal pokok mengenai standar perlakuan dari suatu PMA. Ia hanya menyatakan di dalam menjamin penanaman modal, MIGA harus berkeyakinan bahwa of Existing Instruments, Progress Report and Background Studies (Washington D.C.: the World Bank Group, 1992). 32 Diskusi lebih lanjut mengenai ICSID, lihat: Aron Broches, Selected Essays: World Bank, ICSID and Other Subjects of Public and Private International Law (Dordrecht, Boston: Martinus Nijhoff, 1995), khususnya Part III; Antonio Parra, 'Provisions on the Settlement of Investment Disputes in Modern Investment Laws, Bilateral Investment Treaties and Multilateral Instrument on Investment,' 12 ICSID Rev.- FILJ 287 (1977). 33 Jurgen Voss, 'The MIGA: Status, Mandate, Concept, Features and Implications, 4 J.W.T. (1987), hlm. 1-23; Ibrahim F.I. Shihata, Multi
  • 36. 15 kondisi-kondisi penanaman modal di negara tuan rumah telah tersedia, termasuk tersedianya perlakuan yang fair dan equitable serta perlindungan hukum bagi penanaman modal.34 Beberapa negara di region-region tertentu telah pula membuat ketentuan atau perjanjian penanaman modalnya sendiri. Misalnya saja, Perjanjian Roma (the Treaty of Rome) pada 1957 yang mendirikan MEE. Perjanjian ini memberi kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan usaha di bidang jasa dan modal. Pasal 52 hingga 58 Perjanjian mengenai hak untuk mendirikan perusahaan menyatakan, antara lain, bahwa kebebasan untuk mendirikan perusahaan (freedom of establishment) termasuk di dalamnya adalah hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan sebagai orang perorangan (self-employed persons). Tercakup di dalamnya adalah hak untuk mendirikan dan melaksanakan usahanya, khususnya perusahaan atau firma, berdasarkan prinsip perlakuan nasional (national treatment).35 Perjanjian lainnya yang terkait dengan penanaman modal yang dibuat di region Amerika Utara adalah the North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang mulai berlaku pada 1994.36 Bab 11 Perjanjian NAFTA memuat pengaturan komprehensif mengenai PMA.37 Investment Guarantee Agency and Foreign Investment (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1988). 34 Article 12 : 2 MIGA Convention. Bahasan lebih lanjut mengenai peran MIGA dan ICSID, lihat: Malcolm D. Rowat, 'Multilateral Approaches to Improving the Investment Climate of Developing Countries: the Cases of ICSID and MIGA,' 33 Harv.Int'l.L.J. 103 (1992). 35 Pembahasan lebih lanjut mengenai Pasal-pasal 52 hingga 58 Perjanjian Roma, lihat: John Temple, The Common Market and Common Law (Chicago, London: the University of Chicago Press, 1966), khususnya Bab 5 (Freedom of Establishment). 36 The North American Free Trade Agreement mengatur prinsip-prinsip seperti national treatment, MFN, non-discriminatory treatment, dan minimum standards of treatment sesuai dengan hukum internasional (untuk investor dan modal dari negara lainnya. Perjanjian ini juga melarang
  • 37. 16 The Association of South-East Asian Nations (ASEAN) juga telah menyepakati suatu perjanjian guna memajukan dan melindungi penanaman modal pada tahun 1987.38 Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menggalakkan dan memajukan aliran alih teknologi dan penanaman modal di antara negara-negara anggotanya. Pengaturan mengenai penanaman modal di Asia dan Pasifik (APEC) telah termuat dalam suatu pengaturan khusus mengenai penanaman modal. APEC telah menyepakati suatu prinsip yang tidak mengikat (non-binding principles) sebagai suatu pedoman untuk menghapus secara progresif rintangan-rintangan penanaman modal di antara anggotanya dan perlindungannya.39 Upaya lainnya yang mendapat sorotan kuat adalah usulan dari the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Lembaga negara-negara maju ini mengusulkan pembentukan suatu perjanjian multilateral mengenai penanaman modal atau the Multilateral Agreement on Investment (MAI).40 OECD secara resmi mengusulkan MAI pada the Ministerial Meeting OECD pada bulan Mei 1995. Prinsip utama yang diemban MAI adalah prinsip non-diskriminasi dengan menekankan aspek-aspek sebagai berikut: penerapan pensyaratan pelaksanaan (performance requirement). (Lihat: UNCTAD, supra, note 7, p.137). 37 The NAFTA diterbitkan dalam 32 ILM 289 (1993); lihat juga: <http://www.legal.gsa. gov/legal27qnafta.htm>. 38 Teks perjanjian ASEAN untuk Penggalakan dan perlindungan Penanaman Modal tanggal 15 Desember 1987 diterbitkan pula di dalam 27 ILM 612 (1988), lihat juga website: <http: //www.asean.or.id>. 39 Lihat: M. Sornarajah, 'Protection of Foreign Investment in the Asia- Pacific Economic Co-operation Region,' 29 J.W.T. 2 (1995), hlm. 105 - 129. Lihat pula website: <http://www.apecsec.org.sg>.
  • 38. 17 1) prinsip perlakuan nasional (national treatment) yang mensyaratkan perusahaan-perusahaan asing dan domestik dan penanaman modal untuk diperlakukan secara sama (adil); 2) Prinsip transparansi yang mensyaratkan para anggotanya untuk menerapkan prinsip transparansi di dalam peraturan perundangannya (beserta implikasinya) terhadap anggota lainnya; dan 3) prinsip pengaturan konsiliasi dan penyelesaian sengketa yang spesifik.41 Dinyatakan pula bahwa manakala MAI ini kelak disahkan, maka instrumen ini akan mengikat secara hukum. MAI akan pula berlaku tidak saja kepada negara anggota OECD, tetapi juga terhadap semua negara yang mau tunduk kepadanya, termasuk negara sedang berkembang.42 Sebagaimana telah direncanakan, MAI akan dipandang sebagai perjanjian multilateral pertama yang mengatur penanaman modal asing secara umum di samping pengaturan yang telah ada yang sifatnya sektoral. Misalnya, pengaturan penyelesaian sengketa di bidang penanaman modal asing seperti ICSID atau pengaturan mengenai penjaminan penanaman modal (misalnya investment guarantee dalam MIGA). Namun demikian, perkembangan mengenai perundingan dari instrumen ini sangatlah sulit. Adanya pendekatan yang tidak 40 William H. Witherel, 'The OECD Multilateral Agreement on Investment,'4:2 Transnational Corporation 1-14 (1995); Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 140. 41 Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 140. 42 Preston and Windsor, supra, note 1, hlm. 140.
  • 39. 18 konsisten dari para juru runding MAI telah menuai banyak kritik para sarjana.43 Pembahasan lebih lanjut mengenai peraturan multilateral mengenai penanaman modal dilakukan kembali setelah dirampungkannya putaran (perundingan) Tokyo tahun 1979. Beberapa negara maju mencoba untuk memasukkan masalah penanaman modal asing ini di dalam GATT. Mereka berupaya keras untuk membatasi persyaratan pelaksanaan (perfomance requirement) oleh negara tuan rumah dalam hubungannya dengan persyaratan penggunaan kandungan lokal hingga persyaratan ekspor (local content - export performance). Upaya-upaya di atas juga telah gagal. Sebagian besar negara sedang berkembang enggan merundingkan masalah ini dalam kerangka GATT. Mereka tetap berpendirian, GATT tidak mengurus penanaman modal. Kemajuan penting mengenai upaya pengaturan penanaman modal di dalam kerangka GATT terjadi di tahun 1982. Waktu itu timbul sengketa antara Amerika Serikat dan Kanada mengenai keabsahan UU PMA Kanada yang terkenal bernama the Administration of the Foreign Investment Review Act (FIRA).44 43 M. Sornarajah, A Developing Country Perspective on International Economic Law in the Context of Dispute Settlement, (Manuscript, 2001, hlm. 17). Lihat pula upaya yang dilakukan oleh the Friends of Earth, suatu LSM yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan. LSM ini mengkritik dengan tajam dan menentang dibentuknya MAI, dengan alasan bahwa MAI akan membiarkan investor asing merusak lingkungan. (Lihat: website: <http://www.foe.org/FOE/ ga/mai.html>; David Henderson, The MAI Affair: A Story and Its Lessons (London: Royal Institute of International Affairs, 1999). 44 Canada-Administration of the Foreign Investment Review Act (FIRA) (Panel Report) (GATT B.I.S.D 30s/140 (disahkan pada tanggal 7 Februari), Pierre Pescatore, William J.Davey & Andreas F.Lowenfeld, eds., Handbook of WTO/GATT Dispute Settlement (Vol I, 1997), Cs 54/1; GATT Analytical Index, pp 165 et.segg. [Lihat addendum bab ini].
  • 40. 19 Sebelum UU ini disahkan, Amerika Serikat menikmati kebebasan berusaha dalam bentuk penanaman modal di Kanada tanpa adanya syarat-syarat yang membebaninya.45 Namun, di tahun 1973, Kanada mengundangkan FIRA yang mensyaratkan para investor asing untuk membeli barang-barang atau produk Kanada dibandingkan dengan produk impor dari negara lain. Amerika Serikat yang terkena banyak dampak oleh UU ini, menganggap bahwa FIRA melanggar pasal III:4, III:5, XI and XVI:1 (c) GATT. Sebelum GATT menangani kasus ini, negara-negara sedang berkembang yang diwakili oleh Argentina sempat mempermasalahkan jurisdiksi atau kewenangan GATT untuk mengadili sengketa penanaman modal. Negara sedang berkembang berpendapat GATT tidak memiliki jurisdiksi untuk menangani sengketa mengenai perundangan PMA. Meskipun ada keberatan, Dewan GATT (GATT Council) ternyata memberi lampu hijau kepada panel GATT untuk memeriksa kasus tersebut. Dewan GATT juga menyatakan, kewenangan GATT di dalam menangani kasus ini hanya dibatasi semata-mata kepada kewajiban perdagangan negara anggota GATT.46 Panel GATT memutuskan, upaya atau persyaratan untuk membeli produk-produk asli Kanada dibandingkan dengan produk impor dari negara lain secara jelas menunjukkan bahwa Kanada telah memberikan 45 Rodney de C. Grey, '1992, TRIM and the Uruguay Round,' dalam: Uruguay Round: Further Papers on Selected Issues, UNCTAD, (New York: United Nations, 1990), hlm. 239. 46 Penting dikemukakan di sini bahwa dengan memperhatikan kepentingan negara sedang berkembang, Panel GATT telah memutuskan untuk tidak menguji aturan-aturan khusus yang berlaku terhadap penanaman modal di negara sedang berkembang, seperti misalnya pasal XVIII:c (Lihat: Pierre Pescatore, William J. Davey, Andreas F. Lowenfeld, Handbook of WTO/GATT Dispute Settlement (Irvington-on-Hudson, New York: Transnational Publishers, 1997).
  • 41. 20 perlakuan yang lebih ‘favourable’ (menguntungkan) daripada yang diberikan kepada produk-proudk sejenis dari negara lainnya. Panel juga menyatakan bahwa kebijakan PMA Kanada yang termuat dalam FIRA adalah bertentangan dengan Pasal III:4 GATT. Pasal III:4 menyatakan bahwa produk-produk impor harus diberikan perlakuan yang tidak boleh kurang daripada perlakuan yang diberikan kepada produk yang sama dalam hubungannya dengan persyaratan-persyaratan yang mempengaruhi jual beli, penawaran, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaannya secara lintas batas (internasional).47 Panel berpendapat, upaya-upaya yang mensyaratkan agar membeli produk Kanada tidak mencegah masuknya produk-produk impor dan karenanya tidaklah bertentangan dengan pasal XI:1 GATT mengenai larangan resktiktif kuantitatif. Panel juga menyimpulkan, persyaratan-persyaratan yang dikenakan oleh Kanada bahwa investor harus membuat pernyataan secara tertulis dan bahwa mereka akan mengekspor produksinya dalam jumlah tertentu tidaklah bertentangan dengan pasal XVI:1.48 Panel dalam sengketa ini telah hati-hati untuk tidak menerapkan prinsip non-diskriminasi di dalam pasal III GATT di 47 Dalam kesimpulannya, Panel memutus sebagai berikut: 'The Panel sympathized with the desire of the Canadian authorities to ensure that Canadian goods and suppliers would be given a fair chance to compete with imported goods. However, the Panel holds the view that the purchase requirements under examination do not stop short of this objective but tend to tip the balance in favour of Canadian products, thus coming into conflict with Article III:4.... '…Purchase requirement supplied to foreign investors in Canada which are inconsistent with article III:4 can affect the trade interest of all contracting parties, and impinge upon their rights.' (Huruf miring oleh kami). 48 UNCTAD, supra, note 7, hlm. 138.
  • 42. 21 dalam kasus penanaman modal ini. Di samping itu, Panel dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apakah para investor asing telah terpengaruh oleh adanya persyaratan untuk membeli (purchase requirements).49 Kasus ini merupakan kasus yang penting di dalam penyelesaian sengketa GATT. Putusan Dewan GATT yang merestui panel untuk melanjutkan penyelidikannya dalam menangani kasus ini merupakan terobosan hukum dan langkah inovatif Panel. Namun demikian, persetujuan Dewan GATT tersebut tampaknya agak berlebihan. Pokok sengketa dalam kasus ini bukanlah masalah perdagangan atau sengketa mengenai tarif, suatu wilayah jurisdiksi GATT. Jelas tampak bahwa sebenarnya pokok sengketanya adalah penanaman modal. Maka dari itu sangatlah sulit untuk diterima bahwa GATT sebagai suatu organisasi internasional yang mengatur masalah perdagangan dan tarif harus menangani masalah atau sengketa penanaman modal. Kasus ini memberi preseden ‘buruk’, bahwa setiap sengketa atau pokok perkara yang ternyata dapat mempengaruhi perdagangan, maka sengketa tersebut (baik berupa perburuhan, lingkungan, hak asasi manusia, dll) yang dapat dikatakan sebagai terkait dengan perdagangan maka dapat ditafsirkan pula sebagai sengketa yang terkait dengan perdagangan (trade related). 49 GATT BISD, 30th supp. art 167 (1984). Kanada menerima putusan Panel. Namun negara-negara sedang berkembang berpendapat, putusan tersebut tidak berlaku untuk mereka sehubungan dengan seringnya negara-negara ini mensyaratkan penggunaan kandungan lokal sebagai kebijakan penanaman modal mereka berdasarkan pasal XVIII.c GATT. Lihat: Edward M. Graham, supra, (should there be) note 15, hlm.48. Cf., Sarjana lain yang mendukung posisi Kanada: lihat: R.ST.J Macdonald, 'Trade Related Performance Requirement and the GATT', dalam: Jerzy Makarczyk, (ed.),
  • 43. 22 Sengketa FIRA ini dan adanya fakta bahwa terdapat banyak negara yang mempraktekkan TRIMS yang memiliki pengaruh langsung dengan perdagangan telah menjadi pendorong penting bagi Amerika Serikat untuk memasukkan masalah TRIMS ini ke dalam agenda perundingan GATT di Uruguay Round. Kehendak Amerika Serikat untuk memasukkan isu ini telah dimulai di tahun 1981 tatkala Amerika Serikat mengeluarkan suatu kebijakan perdagangannya yang tertuang di dalam '1981 White Paper.' Dokumen ini menyatakan keinginan pemerintah Amerika Serikat untuk memasukkan isu penanaman modal ke dalam perundingan perdagangan.50 Amerika Serikat menghendaki masuknya TRIMS ini yang akan mencakup antara lain: a. pengaturan mengenai upaya-upaya yang mengganggu aliran perdagangan dan penanaman modal dengan merugikan negara anggota lainnya; b. hak untuk melakukan penanaman modal; c. pemberlakuan prinsip national treatment dan MFN untuk penanaman modal yang baru.51 Uraian di atas menunjukkan, upaya hukum intenasional untuk mengatur penanaman modal asing tampaknya masih sangat sulit. Hukum di bidang ini yang telah berkembang pada awal abad ke 20, ternyata belum dapat berkembang secara memuaskan. Meskipun telah cukup Essays in International Law in Honour of Judge Manfred Lachs, (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1984), hlm. 717 et.seqq. 50 David Greenaway, 'Why Are We Negotiating on TRIMs,' dalam: David Greenaway, et.al., (eds.), Global Protectionism, (London: Macmillan, 1991), hlm. 145. 51 Stephen J. Canner, 'Trade and International Investment: From GATT to the Multilateral Agreement on Investment,' dalam: Joseph F. Dennin, (ed)., Law and Practice of the World Trade Organization (New York: Oceana Publ., 1995), hlm. 3.
  • 44. 23 banyak kajian dilakukan oleh para sarjana dan berbagai organisasi internasional, namun tidak ada satu aturan pun yang dapat mencakup semua aspek dari bidang penanaman modal ini. Luasnya ruang lingkup penanaman modal telah membuat upaya pembentukan hukum komprensif tersebut gagal. Misalnya saja, di dalam proses penanaman modal, para calon investor akan segera menghadapi hukum administrasi (proses 'screening'), hukum perusahaan (pendirian badan usaha asing), alih teknologi dan hak atas kekayaan intelektual. Bidang hukum lainnya adalah hukum mengenai praktek bisnis restriktif (restrictive business practices), hukum persaingan, hukum lingkungan, perburuhan dan hak asasi manusia, hukum keuangan (perpajakan, pengembalian keuntungan, dan masalah-masalah keuangan lainnya, hukum perdagangan internasional dalam GATT, serta penyelesaian sengketa di dalam GATT. Yang juga penting adalah masalah-masalah sensitif seperti politik yang dapat mempengaruhi kebijakan negara tuan rumah. Dalam hal ini yang terutama adalah adanya ketakutan bahwa masuknya penanaman modal asing tersebut akan mempengaruhi kebijakan politik negara tuan rumah. Di samping itu, tampak bahwa pembentukan aturan-aturan multilateral di bidang ini masih jauh dari kenyataan. Alasan utamanya, pertama, adanya pendangan yang berbeda antara negara maju dan sedang berkembang sehubungan dengan tetap adanya dua kepentingan yang berbeda mengenai penanaman modal. Negara sedang berkembang menyandarkan kepada tujuan pembangunan ekonomi nasionalnya. Sebaliknya investor asing berupaya mendapat
  • 45. 24 keuntungan yang besarnya dari modal yang ditanamnya. Dua kubu kepentingan yang berbeda ini sulit didamaikan. Kedua, terdapatnya berbagai organisasi regional dengan berbagai bentuk perjanjian regional di bidang penanaman modal. Organisasi-organisasi ini berupaya membentuk suatu hukum perjanjian di bidang ini. Upaya-upaya tersebut menyebabkan dan menunjukkan sulitnya di dalam merumuskan aturan hukum internasional di bidang ini. Hal ini juga dipersulit oleh adanya perbedaan pandangan yang cukup tajam, perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi dan keadaan-keadaan khusus di setiap negara. Ketiga, adanya fakta seperti tesebut di atas bahwa organisasi internasional multilateral hingga saat ini hanya dapat merumuskan aturan-aturan penanaman modal yang sifatnya sektoral atau sebagian kecil saja dari penanaman modal. Hal ini mempertegas sekaligus memperlihatkan sulitnya merumuskan aturan hukum internasional di bidang ini. Keempat, adanya upaya yang ‘terbatas’ yang gagal untuk mencakup semua sektor akan mengakibatkan gagalnya upaya tersebut. Upaya terbatas yang bersifat tanggung ini tampak misalnya dalam hal pembahasan mengenai MAI.
  • 46. 25 ADDENDUM CANADA - ADMINISTRATION OF THE FOREIGN INVESTMENT REVIEW ACT Report of the Panel adopted on 7 February 1984 (L/5504 - 30S/140) 1. Introduction 1.1 In a communication dated 5 January 1982, the United States requested the government of Canada to consult under Article XXII:1 on the administration of the Canadian Foreign Investment Review Act. Among the issues which the United States wished to raise in the consultation was the practice of the government of Canada to enter into agreements with foreign investors according to which these are to give preference to the purchase of Canadian goods over imported goods and to meet certain export performance requirements. The communication was circulated to the contracting parties on 7 January 1982 (L/5280). Since the consultation did not lead to a solution, the United States, in a communication dated 19 March 1982, referred the matter to the CONTRACTING PARTIES in accordance with Article XXIII:2 (L/5308). 1.2 At its meeting on 31 March 1982 the Council agreed to establish a Panel and authorized its Chairman, in consultation with the two parties concerned and with other interested contracting parties, to decide on appropriate terms of reference and, in consultation with the two parties concerned, to designate the Chairman and the members of the Panel. 1.3 At the meeting of the Council on 2 November 1982 the Chairman of the Council informed the Council that these consultations had been held and that the following composition and terms of reference had been agreed: Composition Chairman: Mr. T.C. O'Brien Members: Mr. J.N. Feij Mr. M. Ikeda Terms of Reference "To examine, in the light of the relevant GATT provisions, the matter referred to the CONTRACTING PARTIES by the United States concerning the administration of the Foreign Investment Review Act of Canada with respect to the purchase of goods in Canada and/or export of goods from Canada by certain firms subject to that Act; and to make such findings as will assist the CONTRACTING PARTIES in making the recommendations or rulings provided for in paragraph 2 of Article XXIII." 1.4 At the Council meeting, a number of delegations expressed doubts whether the dispute between the United States and Canada was one for which the GATT had competence since it involved investment legislation, a subject not covered by the GATT. They therefore reserved their position on the terms of reference (C/M/162, pages 25-26). The representative of the United States said that his government was not calling into question the Canadian investment legislation as such but was complaining about the two specific trade-related issues mentioned in the terms of reference. The representative of Canada said that, in the view of his government, the terms of reference
  • 47. 26 ensured that the examination would touch only on trade matters within the purview of GATT. The Chairman suggested, and the Council so decided, that the terms of reference remain as they stood, that the reservations and statements made be placed on the record and that it be presumed that the Panel would be limited in its activities and findings to within the four corners of GATT. 1.5 The representatives of the contracting parties which had spoken on the matter in the Council were asked by the Chairman of the Panel, in letters dated 20 December 1982, whether they wished to have an opportunity to be heard by the Panel as provided in paragraph 15 of the Understanding Regarding Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance (BISD 26S/213). Argentina asked to be given this opportunity and was heard by the Panel on 25 January 1983. (The views of Argentina are summarized below in paragraphs 4.1 and 4.2). 2. Factual Aspects 2.1 The following description of the factual aspects, particularly in paragraphs 2.3, 2.5, 2.7 and 2.12, contains much information about the Foreign Investment Review Act which is not directly at issue in this dispute but is useful in placing the dispute in its general context. 2.2 The Foreign Investment Review Act. In December 1973 the Parliament of Canada enacted the Foreign Investment Review Act. According to Section 2(1) of this Act, the Parliament adopted the law "in recognition that the extent to which control of Canadian industry, trade and commerce has become acquired by persons other than Canadians and the effect thereof on the ability of Canadians to maintain effective control over their economic environment is a matter of national concern" and that it was therefore expedient to ensure that acquisitions of control of a Canadian business or establishments of a new business by persons other than Canadians be reviewed and assessed and only be allowed to proceed if the government had determined that they were, or were likely to be, of "significant benefit to Canada". 2.3 Section 2(2) lists five factors to be taken into account in assessing whether a proposed investment is or is likely to be of significant benefit to Canada. These are: (a) The effect of the acquisition or establishment on the level and nature of economic activity in Canada, including, without limiting the generality of the foregoing, the effect on employment, on resource processing, on the utilization of parts, components and services produced in Canada, and on exports from Canada; (b) the degree and significance of participation by Canadians in the business enterprise or new business and in any industry or industries in Canada of which the business enterprise or new business forms or would form a part; (c)the effect of the acquisition or establishment on productivity, industrial efficiency, technological development, product innovation and product variety in Canada; (d) the effect of the acquisition or establishment on competition within any industry or industries in Canada; and (e) the compatibility of the acquisition or establishment with national industrial and economic policies, taking into consideration industrial and economic policy objectives enunciated by the government or legislature of any province likely to be significantly affected by the acquisition or establishment. 2.4 Written undertakings given by investors. The Act provides that investors may submit written undertakings on the conduct of the business they are proposing to acquire or establish, conditional on approval by the Canadian government of the proposed acquisition or establishment. The submission
  • 48. 27 of undertakings is not required under the Act but, as the administration of the Act evolved, they are now routinely submitted in support of nearly all larger investment proposals. Many undertakings are the result of negotiations between the investor and the Canadian government. Undertakings given by investors may deal with any aspect of the conduct of a business, including employment, investment, research and development, participation of Canadian shareholders and managers, productivity improvements as well as practices with respect to purchasing, manufacturing and exports. There are no pre-set formulas or prescriptions for the undertakings. 2.5 Purchase undertakings. Undertakings with respect to the purchase of goods have been given in a variety of forms: - Some involve best efforts to seek Canadian sources of supply; - some specify a percentage or amount of purchases of Canadian products; - some envisage replacement of imports with Canadian-made goods in a specific dollar amount; - some refer to the purchase of Canadian products, others only to the purchase from Canadian suppliers (whether of domestic or imported goods); - some involve a commitment to set up a purchasing division in the Canadian Subsidiary; and - some involve a commitment to consult with federal or provincial industry specialists in drawing up tender lists. Undertakings on purchases are often but not always conditional on goods being "available", "reasonably available" or "competitively available" in Canada with respect to price, quality, and delivery or other factors specified by the investor. 2.6 Manufacturing undertakings. Some firms have given undertakings to manufacture in Canada products or components of a product used or sold by the firm. 2.7 Export undertakings. The undertakings involving the export of goods have been given in a variety of forms: - Some involving development of natural resources are predicated on the development of offshore markets; - some involve a specific export target, expressed as a percentage of output or sales, often to be achieved within a specified time frame; - some involve assigning to the Canadian business exclusive rights to export either all its products to certain countries or specified products on a world basis; - some involve a commitment by the investor to assist the Canadian subsidiary in selling its products in foreign markets; and - some involve commitments that the Canadian business will not be restricted from seeking out and taking advantage of any export opportunities. 2.8 Statistics on the undertakings. The Act came into force on 9 April 1974 with respect to acquisitions and on 15 October 1975 with respect to new businesses. From April 1974 to
  • 49. 28 September 1982, the Government of Canada has rendered decisions on 4,103 investment proposals, of which 2,448 were from the United States. Approximately 90 per cent of the reviewable investment proposals on which the government has taken a decision have been judged to be of significant benefit to Canada and have, therefore, been allowed. The Panel asked questions about the frequency with which the various types of undertakings have been given. In order to answer these questions the Canadian government reviewed a sample of 181 investments allowed in the month of November in the years 1980, 1981 and 1982. (November was the latest month for which data were available). In this sample, 55 of the investors or 30 per cent of the total gave no undertakings relating to sourcing. The remaining 126 investors gave a total of 178 sourcing undertakings. (Some investors gave more than one sourcing undertaking). Of those 178 sourcing undertakings, 65 per cent referred to the purchase of goods and services from Canadian suppliers or words to that effect, 15 per cent referred to purchase of Canadian produced goods. The remaining 20 per cent were sourcing commitments of other kinds, e.g. to set up a Canadian purchasing division, or to consult with a government body to identify potential Canadian suppliers. This latter 20 per cent also includes undertakings relating solely to the purchase of services. 71 per cent of the undertakings to purchase in Canada or to purchase Canadian produced goods carried a qualification with respect to the availability of goods on competitive terms. 2.9 With respect to export undertakings in the same sample of 181 investments, 97 investors or 54 per cent of the total gave no export undertakings of any kind. The remaining 84 investors gave 96 export undertakings. (Again some investors gave more than one undertaking relating to exports). Of the 96 export undertakings, 32 per cent referred to a quantifiable level of exports, e.g. target value of exports or a percentage of output. The remaining 68 per cent were export undertakings of other kinds, such as an undertaking not to restrict the export activities of the Canadian business, or to actively pursue export opportunities. 2.10 Enforcement of the undertakings. Written undertakings given by firms are legally binding on the investor if the investment is allowed. According to Section 21 of the Act the Minister responsible for the administration of the Act may apply to the courts for a remedial order in the event an investor fails to implement undertakings he has given. The Minister responsible for the Act made the following statement in the Canadian Parliament in 1973 on the enforcement of undertakings: "In normal circumstances the inability to fulfil undertakings will lead to discussions with the Minister and perhaps to the negotiation of new undertakings. Like any contract, an undertaking can be modified with the consent of both parties. If, however, the failure to comply with an undertaking is clearly the result of changed market conditions - for example, the undertaking to export frisbees is followed by the collapse of the frisbee market - the person would not be held accountable. It should be remembered, however, that some undertakings may be tailored to a range of market expectations." 2.11 All investments that are allowed subject to the Act are monitored by the government of Canada. If the investment involves specific undertakings the investor is asked at regular intervals for a progress report on the implementation of his undertakings. All undertakings are monitored at least once before the file is closed, normally after the fifth anniversary of the date on which the permission to invest was granted. If the investor's progress report reveals a variation from the undertakings, or non-fulfilment of them, the investor is asked to provide a more detailed explanation. Depending on the circumstances, performance of unfulfilled undertakings has so far always been either postponed or waived, or the undertakings have been replaced by revised undertakings. To date, the Minister responsible for the administration of the Act has not applied to the courts to enforce an investor's written undertaking.
  • 50. 29 2.12 Recent changes in the administration of the Foreign Investment Review Act. During the second half of 1982 some changes were introduced in the administration of the Foreign Investment Review Act, without entailing modifications in the Act itself. Among the most important changes was the decision to raise the threshold for the review of new investments or direct acquisitions under the small business procedures from Can$ 2 million and 100 employees to Can$ 5 million and 200 employees. The small business procedures do not require a full review, except under special circumstances. Approximately, 85 per cent of all proposals fall within the small business procedure. 3. Main Arguments 3.1 The United States requested the Panel to find that the written undertakings obtained by the Government of Canada under the Foreign Investment Review Act which oblige foreign investors subject to the Act (a) to purchase goods of Canadian origin in preference to imported goods or in specified amounts or proportions, or to purchase goods from Canadian sources; (b) to manufacture in Canada goods which would be imported otherwise are inconsistent with Articles III:4, III:5, XI and XVII:1(c) of the General Agreement, and that the undertakings which oblige foreign investors (c) to export specified quantities or proportions of their production are inconsistent with Article XVII:1(c) of the General Agreement, and that any such undertakings therefore constitute a prima facie case of nullification and impairment under Article XXIII of the General Agreement. The United States further requested the Panel to suggest that the CONTRACTING PARTIES recommend that Canada (a) make clear that it will not regard as binding, or seek to enforce in the context of the Foreign Investment Review Act, any undertaking of the kind found to be inconsistent with the General Agreement, and (b) that it cease eliciting and accepting such undertakings as part of investment proposals. 3.2 Canada requested the Panel to find that the purchase undertakings (paragraph 3.l(a)) given by foreign investors are not inconsistent with the provisions of Articles III:4, III:5, XI or XVII:1(c) of the General Agreement, that the export undertakings (paragraph 3.1(c) ) are not inconsistent with the provisions of Article XVII:1(c) and that, were the purchase and/or export undertakings to fall within the provisions of one or more of these Articles, they, would constitute measures within the provisions of Article XX(d). As to the manufacturing undertakings (paragraph 3.1(b)), Canada asked the Panel to find that these do not fall under the Panel's terms of reference. 3.3 Both parties agreed that the issue before the Panel was not the Foreign Investment Review Act itself or Canada's right to regulate the entry and expansion of foreign direct investments, but rather the consistency with the General Agreement of the purchase and export undertakings given by investors subject to the Foreign Investment Review Act. (a) Undertakings to purchase goods of Canadian origin in preference to imported goods or in specified amounts or proportions, or to purchase goods from Canadian sources 3.4 Article III:4. The United States contended that the written undertakings which oblige investors to purchase goods of Canadian origin in preference to imported goods or in specified amounts or proportions, or to purchase goods from Canadian sources (henceforth referred to as "purchase undertakings") violated Article III:4 because they constituted requirements giving less favourable treatment to imported products than to like products of national origin.
  • 51. 30 3.5 In the view of the United States even those undertakings that obliged a firm to purchase goods in Canada whenever "available", "reasonably available", or "competitively available" had the effect of according less favourable treatment to imported goods. Such undertakings prevented the investor from choosing freely between imported and domestic goods since they obliged him to opt in favour of domestic products whenever the availability condition was fulfilled. The provisos "reasonably available" or "competitively available" were vague and involved value judgements regarding quality, reliability of supply and the like. A firm subject to an undertaking with such a proviso was therefore likely to purchase Canadian goods even when they were less attractive than imported goods in order to avoid possible conflict with Canadian officials monitoring compliance who have a different perspective and apply different value judgements on these matters. Undertakings to purchase from Canadian sources or suppliers (whether the products purchased were domestic or imported) would also result in less favourable treatment to imports than that given to Canadian products because in cases where a product was produced in both Canada and other countries such undertakings would oblige the investor to purchase imports from a Canadian "middleman" (the importer/distributor/retailer), thus forcing the investor to incur additional costs in the form of the middleman's profit if he decided to import, but leaving him free to purchase directly from a Canadian manufacturer, thereby avoiding the additional cost of the "middleman". Even more discrimination against imported products would result in instances in which Canadian sources and suppliers did not stock or distribute imported products sought by the investor. 3.6 Canada held that the purchase undertakings did not constitute laws, regulations or requirements within the meaning of Article III:4. There was no provision in the Foreign Investment Review Act, its regulations or any other Canadian act or regulation which stipulated that any undertaking shall be given by a firm as a condition of investment. While there was an overall requirement under the Act that a foreign investor demonstrate that his proposal, as an overall package, was, or was likely to be, of significant benefit to Canada, it was entirely up to him to choose the means to do this. Frequently, investors chose to offer purchase undertakings in support of their proposals. Canada further stated that the investment screening procedures were not intended nor applied so as to provide protection to Canadian manufacturers or to oblige companies to depart from commercially sound practices. Investors, having decided on their plans for conducting business in Canada, generally had no hesitation in giving undertakings which reflected these plans. Since both the investor and the Canadian government had to act in the context of markets in which the investor's competitors were not subject to undertakings, it was highly unlikely that purchase undertakings would either be offered or sought that departed significantly from the purchasing practices the investor would follow in the absence of the undertaking. Where undertakings were given, they reflected a decision by the investor about how he intended to conduct his business in Canada. Undertakings would only represent a cost to the investor if they did not reflect his business intentions. When investors gave purchase undertakings without any qualification as to the competitive availability of goods in Canada, it was usually because either the investor had already identified his sources of supply, or, given the nature of his business, purchases were ordinarily made locally. A review of the circumstances of the investment proposals specifically cited by the United States in their submission did not support the claim that the undertakings given in these proposals had to be regarded as requirements. 3.7 The United States replied that it was true that the Act itself did not require investors to offer undertakings, but, once given, the undertakings had to be regarded as requirements in the light of the circumstances in which they were offered and accepted and of their legally binding character. No private business would bind its future purchasing practices unless the achievement of some benefit or the avoidance of some penalty was made contingent upon that binding. The investors only offered undertakings in order to obtain the Canadian government's approval of their investment proposals. Moreover, there were many cases in which purchase undertakings were the result of negotiations in which Canada sought new or "improved" undertakings. The government of Canada itself had