2. PENDAHULUAN
• Umumnya tanaman ubi jalar Cilembu ini ditanam di wilayah dataran tinggi dengan
ciri karakteristik suhu yang lebih rendah ( 15 – 30oC) dibandingkan wilayah dataran
rendah yang suhunya cenderung lebih tinggi (20 – 33oC). Namun demikian, mengingat
konsumen ubi cilembu ini cukup luas, dan tidak hanya terbatas dari wilayah dataran tinggi
saja, maka upaya pengembangannya perlu diperluas ke wilayah yang mempunyai
ketinggian tempat yang lebih rendah seperti Jatikerto. Berbedanya kondisi agro-ekologi
dari kedua wilayah ini dimungkinkan akan memberikan pengaruh yang berbeda pada
pertumbuhan dan hasil ubi jalar Cilembu yang akan ditanam di wilayah Jatikerto. Oleh
karena itu, untuk melihat seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan akibat berbedanya
kondisi lingkungan mikro tersebut, baik terhadap pertumbuhan maupun hasil, maka
penelitian ini perlu dilakukan.
3. METODE
Pengumpulan data dilakukan secara destruktif, meliputi aspek fisiologi
tanaman (jumlah cabang, luas daun dan bobot kering total tanaman), analisis
pertumbuhan tanaman ( Laju Pertumbuhan relatif, harga satuan daun dan
indeks pembagian) serta hasil umbi per hektar. Uji F taraf 5% digunakan
untuk menguji pengaruh perlakuan, sedang perbedaan diantara rata-rata
perlakuan didasarkan pada nilai BNT taraf 5%. Analisis regresi digunakan
untuk menjajagi hubungan diantara dua variable tanaman
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
• Secara umum pemupukan N berpengaruh nyata pada semua
parameter yang diamati, mencakup aspek fisiologi, analisis
pertumbuhan tanaman maupun hasil per hektar. Pengamatan
difokuskan pada saat tanaman berumur 80 hari setelah tanam (hst)
dengan pertimbangan tanaman telah memasuki fase vegetatif
maksimum.
5. Aspek Fisiologi
Aspek pengukuran jumlah cabang, luas daun dan bobot kering total tanaman. Rerata
pengukuran dari ketiga parameter tesebut disajikan pada Tabel 1
Tabel 1. Rerata jumlah cabang, luas daun dan bobot kering total tanaman pada saat tanaman
berumur 80 hst
Perlakuan Jumlah cabang/
tanaman
Luas
daun (
cm2)
Bobot kering
total tanaman
(g)
Level pemupukan N
(%)
0% N 5,0 a 4073,58 a 81, 43 a
25% N 7,17 ab 4143,66 a 115,77 ab
50% N 7,17 ab 4324,78 a 147,90 ab
75% N 8,67 ab 5391,58 ab 132,72 ab
100% N 8,83 b 6863,74 cd 186,20 b
125% N 7,67 ab 5900,84 bc 139,75 ab
150% N 9,33 b 8109,95 d 118,70 ab
BNT 5% 3,50 1326,41 73,39
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5% ; hst : hari setelah tanam
6. Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk tanaman yang dipupuk N sebanyak 100%
maupun 125%, jumlah cabang yang dihasilkan lebih banyak 86,6% dan 76,6%
dibandingkan dengan tanaman yang tanpa dipupuk N. Pada tanaman yang tidak
dipupuk N, tingkat ketersediaan N sangat rendah sehingga berakibat pada rendahnya
laju pertumbuhan tanaman (Suminarti et al., 206). N bagi tanaman berperan dalam
penyusunan klorofil yang penting artinya dalam penyerapan cahaya untuk kegiatan
fotosintesis. Oleh karena itu, apabila ketersediaan N rendah, maka laju fotosintesispun
juga akan terhambat. N juga berperan dalam pembentukan protein, dan bersama-sama
asimilat, protein ini berfungsi sebagai energi pertumbuhan.
7. Analisis Pertumbuhan Tanaman
Pengamatan terhadap analisis pertumbuhan tanaman mencakup tiga aspek yaitu : laju pertumbuhan
relatif (LPR), harga satuan daun (HSD) dan indeks pembagian (IP). Penghitungan terhadap LPR dan
HSD dilakukan ketika tanaman akan memasuki fase vegetative puncak (antara umur 65 hst-80 hst),
sedangkan penghitungan IP dilakukan pada saat panen. Rerata hasil analisis ketiga komponen tersebut
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata LPR, HSD dan IP pada kisaran umur 65 hst – 80 hst untuk LPR dan HSD
dan umur 120 hst untuk IP.
Perlakuan LPR
(g.g-
1hari-1)
HSD
(mg. cm-2
hari-1)
IP
Level pemupukan N (%)
0% N 0,02 a 1,0 bc 0,60 b
25% N 0,03 ab 1,2 c 0,58 b
50% N 0,04 abc 0,6 ab 0,55 b
75% N 0,06 cd 0,6 ab 0,45 a
100% N 0,07 d 0,4 a 0,44 a
125% N 0,05 bcd 0,4 a 0,42 a
150% N 0,03 ab 0,3 a 0,38 a
BNT 5% 0,03 0,5 0,08
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5% ; hst : hari setelah tanam
8. LPR menggambarkan banyaknya asimilat yang dihasilkan tanaman dari bobot awal per satuan
waktu. LPR yang lebih rendah didapatkan pada perlakuan tanpa pupuk maupun yang dipupuk
25% N dan 50% N maupun 150% N. Pada tingkat pemupukan rendah, luas daun yang dibentuk
lebih sempit sehingga berpengaruh pada rendahnya asimilat yang dihasilkan. Sedangkan pada
tingkat pemupukan tinggi (150%), tingginya jumlah dan luas daun menyebabkan rendahnya
penetrasi cahaya yang diterima oleh setiap lamina daun sebagai akibat terjadinya peristiwa saling
menaungi diantara daun yang terbentuk. Akibatnya asimilat yang dihasilkan rendah. Hal ini juga
dapat dibuktikan melalui hasil
penghitungan harga luas daun. Umumnya HSD yang lebih rendah didapatkan pada tingkat
pemupukan tinggi, dan menunjukkan peningkatan ketika dosis pemupukan N diturunkan.
Indeks pembagian menggambarkan banyaknya asimilat yang dialokasikan ke bagian umbi dari
total asimilat yang dihasilkan. Umumnya Indeks pembagian yang lebih rendah didapatkan pada
tingkat pemupukan tinggi, karena sebagian dari asimilat yang dihasilkan dipergunakan untuk
energi pertumbuhan maupun pemeliharaan tanaman.
9. Hasil Umbi per hektar
Hasil umbi per hektar dihitung berdasarkan luasan pada sampel petak panen. Rerata
hasil umbi per hektar pada berbagai tingkat pemupukan N pada saat panen disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Rerata hasil umbi per hektar pada berbagai tingkat pemupukan N pada saat panen
Perlakuan Hasil umbi per hektar
(ton)
Level pemupukan N
(%) 0% N 23,73 a
25% N 34,22 b
50% N 36,05 b
75% N 36,55 b
100% N 36,59 b
125% N 34,59 b
150% N 31,73 b
BNT 5% 7,3
Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5% ; hst : hari setelah tanam
10. Hasil umbi per hektar pada berbagai tingkat pemupukan N memperlihatkan hasil yang tidak
berbeda nyata, dan nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan N. Oleh
karena itu, untuk menentukan dosis optimum pada pemupukanber N tersebut, hasil analisis regresi
memperlihatkan terbentuknya tanggapan kuadratik antara dosis pemupukan N (X) dengan hasil umbi
per hektar (Y) sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Berdasarkan persamaan tersebut di atas, maka dapat diketahui dosis optimum pupuk N yang diperlukan oleh
tanaman ubi jalar varietas Cilembu, yaitu sebesar 83,33% atau setara dengan 122,92 kg N ha-1
(267,22 kg urea
ha-1
) dengan hasil maksimum sebesar 36,95 ton ha-
11. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemupukan N
berpengaruh nyata pada pertumbuhan dan hasil tanaman ubi jalar Cilembu.
Pada tingkat pemupukan N paling rendah (0%), bobot umbi per hektar yang
dihasilkan paling rendah (23,73 ton ha-1). Hasil ubi jalar maksimum per hektar
(36,95 ton ha-1) didapatkan pada tingkat pemupukan N optimum sebesar
83,33% atau setara dengan 267,22 kg ha-1