SlideShare a Scribd company logo
1 of 31
MAKALAH
Pembandingan Budaya Dalam Konteks Beliefes Values
Dan Lifeways Dalam Siklus Kehidupan Prenatal
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Transkultural Nursing
Oleh :
Kelompok 1
1. Filliya Azzura 1811311002
2. Dhinda Aulya Metrya 1811311004
3. Rifqa Luthfi Addistia 1811311006
4. Tiara Auliya 1811311008
5. Mufebrina 1811311010
6. Atikah Miftahul Jannah 1811311014
7. Hamelda Fajri Weirpa 1811311016
8. Intan Fitria Arifin 1811311018
9. Mimi Srima Annisa 1811311020
10.Rini Agustina Susanti 1811311022
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
i
Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang berjudul “Pembandingan Budaya Dalam Konteks Beliefes
Values Dan Lifeways Dalam Siklus Kehidupan Prenatal” . Diharapkan Makalah
ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Besar harapan
kami semoga penulisan makalah ini dapat memenuhi syarat. Mudah-mudahan
hasil dari tugas makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi kita
sekalian, Aamiin.
Padang, Februari 2020
Penyusun
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi .................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah
.............................................................................................1
C. Tujuan................................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkawainan dan nilai keluarga dalam berbagai budaya
..................................3
B. Kehamilan dalam konteks
budaya.....................................................................6
C. Kelahiran dan
budaya.........................................................................................9
D. Perawatan post
natal.........................................................................................11
E. Genetik dan budaya yang diturunkan
..............................................................12.
F. Sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya
...........................................13
G. Fertility dan infertility dalam konteks
budaya.................................................14
H. Aborsi dalam konteks
budaya.........................................................................19.
I. Aplikasi askep peka budaya pada
prenatal.......................................................22
iii
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................2
5
B. Saran.................................................................................................................2
5
Daftar Pustaka........................................................................................................26
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konteks antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya
dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip
penting dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam konteks
ini sering diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi . Untuk memahami dunia
dan tindakan-tindakan orang lain, harus lebih dahulu memahami kerangka
persepsinya.
Tiga unsur sosio budaya mempunyai pengaruh besar dan langsung atas
makna-makna yang dibangun dalam persepsi budaya . Unsur-unsur tersebut
adalah sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude). Ketiga
unsur utama ini mempengaruhi persepsi dan makna yang dibangun dalam
persepsi, unsur-unsur tersebut mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat
pribadi dan subyektif.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu perkawinan dan makna keluarga dalam budaya di Kalimantan?
2. Bagaimana kehamilan dalam konteks budaya di Kalimantan?
3. Bagaimana makna kelahiran dalam budaya di Kalimantan ?
4. Bagaimana perawatan post Natal yang perawat lakukan?
5. Bagaimana budaya dan genetik yang diturunkan?
6. Bagaimana sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya di
Kalimantan?
7. Bagaimana fertility dan infertility dalam konteks budaya di Kalimantan?
8. Bagaimana aborsi dalam konteks budaya di kalimantan?
9. Bagaimana aplikasi askep peka budaya dalam konteks budaya di
kalimantan?
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu perkawinan dan makna keluarga dalam
budaya di Kalimantan
2. Untuk mengetahui bagaimana kehamilan dalam konteks budaya di
Kalimantan
3. Untuk mengetahui bagaimana makna kelahiran dalam budaya di
Kalimantan
4. Untuk mengetahui bagaimana perawatan post Natal yang perawat
lakukan
5. Untuk mengetahui bagaimana budaya dan genetik yang diturunkan
6. Untuk mengetahui bagaimana sterilisasi dan keluarga berencana dalam
budaya di Kalimantan
7. Untuk mengetahui bagaimana fertility dan infertility dalam konteks
budaya di Kalimantan
8. Untuk mengetahui bagaimana aborsi dalam konteks budaya di
kalimantan
9. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi askep peka budaya dalam
konteks budaya di Kalimantan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Dan Nilai Keluarga Dalam Berbagai Budaya Di Kalimantan
1. Perkawinan Dalam BerbagaiBudaya Di Kalimantan
Perkawinan dipandang luhur dan suci bagi orang Dayak Maanyan. Mereka
bebas untuk mencari pasangan hidup masing-masing bahkan dari suku atau
sekalipun dari bangsa lain, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai kesetiaan,
menghindari poligami serta melaksanakan pernikahan sesuai ketentuan adat yang
berlaku. (Puji, Lelay Nangkai)
Acara perkawinan adat Dayak Maanyan yang sering disebut Pemenuhan
Hukum Adat merupakan salah satu ketentuan yang harus dipenuhi selain
pernikahan catatan sipil dan pernikahan secara agama. Hal ini merupakan suatu
keharusan bagi warga Dayak Maanyan, karena dalam acara tersebut nilai-nilai
budaya dan pentingnya pemenuhan hukum adat ditunjukankan di depan orang
banyak dan disaksikan para kerabat keluarga di depan para pemangku adat. (Puji,
Lelay Nangkai)
Perkawinan menurut adat atau perkawinan secara adat bertujuan untuk
mengatur hidup dan perilaku hidup bahadat/beradat, mengatur hubungan manusia
berlainan jenis kelamin guna terpeliharanya ketertiban masyarakat agar
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak tercela, menata kehidupan
berumah tangga yang baik sejak dini, tertata dengan baik dan santun, beradab dan
bermartabat, menjamin kelangsungan hidup suatu suku/puak dan medapatkan
keturunan yang sehat jasmani dan rohani serta menata garis keturunan yang
teratur, menetapkan status sosial dalam masyarakat, menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam pergaulan muda-mudi supaya terhindar dari cela
ataupun kutuk yang berdampak luas, menyelesaikan permasalahan yang
berdampak pada komplik internal, eksternal dan antarsuku. (Puji, Lelay Nangkai)
4
Pelaksanaan Prosesi Perkawinan adat Dayak Maanyan
a. Pelaksanaan ProsesiNatas Banjang
Natas Banjang merupakan kegiatan melepaskan tali pengikat galah/kayu
penghalang pada pintu gerbang. Ada dua jenis Banjang yang khusus untuk
pernikahan adat (Dansen, 29 Juli 2017) yaitu; banjang yang dihiasi dengan janur,
tebu, bermacam-macam buah dan sayuran, disebut dengan banjang manta, dan
banjang banang, yaitu memakai pita dua warna. (Puji, Lelay Nangkai)
Petugas yang meyambut kedatangan rombongan pihak laki-laki adalah para penari Bawo,
yang semuanya penari laki-laki berada pada posisi di luar banjang/gerbang, sedangkan
penari Dadas,yang semuanya perempuan berada di pihak perempuan, dengan posisi di
dalam banjang bersama rombongan pihak perempuan selaku tuan rumah. (Puji, Lelay
Nangkai)
b. Pelaksanaan ProsesiPemenuhan Hukum Adat
Menurut Dansen (29 Juli 2017), pemenuhan hukum adat dayak
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab yang mengikat dan merupakan
perjanjian secara nyata dari hati nurani sendiri. Apabila tidak bisa memenuhi
hukum adat tersebut (padahal saling cinta) dilakukan musyawarah mufakat, antara
mempelai laki-laki dan perempuan, orang tua laki-laki dan perempuan. Menurut
Leiden (5 Juni 2017), apabila ingin melaksanakan Hukum Adat Dayak Maanyan
ini biasanya pihak perempuannya yang Dayak Maanyan, sehingga pihak laki-laki
harus tunduk/wajib dengan aturan adat Dayak Maanyan. (Puji, Lelay Nangkai)
Pelaksanaan pemenuhan hukum adat diserahkan sepenuhnya kepada
mantir adat. Para mantir yang bertugas melakukan patatiba/perbincangan tentang
maksud atau tujuan kedatangan pihak rombongan laki-laki. Biasanya
perbincangan dibumbui dengan hal-hal yang humoris atau kelakar. Para mantir
membacakan dan menagih barang-barang yang tertera dalam 105 surat perjanjian
perkawinan adat. Pihak laki-laki menunjukkan barang tersebut satu persatu dan
disaksikan mantir serta pihak perempuan. Penyerahan barang Pemenuhan Hukum
Adat dari orang tua pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan sambil
berdiri dan disaksikan mantir (Puji, Lelay Nangkai)
5
c. Pelaksanaan ProsesiI Wurung Jue
I Wurung Jue diambil dari bahasa Dayak Maanyan Pangun Raun artiya
ialah memiliki sifat seperti W
urung Jue. Burung Jue adalah burung yang indah dan elok rupa, tempat
tinggalnya tidak sembarangan, mencintai kebersihan, dan burung yang setia pada
pasangan. I Wurung Jue ini biasanya diperankan oleh para balian/penari gelang
(disebut wadian sanggar/penari sanggar) yang biasanya dipakai orang untuk
keramaian, perayaan, dan kemeriahan, juga dipakai orang di acara pengantinan
untuk peruntungan mencari pengantin. (Puji, Lelay Nangkai)
d. Pelaksanaan ProsesiI Gunung Pirak
I Gunung Pirak artinya ialah hendaknya seperti gunung berkat dan
rezekinya, emasnya akan menggunung berlimpah-limpah atau harapan bagi
pengantin agar kelak kehidupannya selalu terpenuhi bahkan menjadi kaya raya. I
gunung pirak atau ngamuan gunung pirak adalah upacara perkawinan yang
dilaksanakan suku Dayak Maanyan di daerah Barito Timur, yang merupakan
salah satu acara perkawinan yang meriah dan sedikit mewah. Biasanya upacara
tersebut dilaksanakan hanyalah sekadar untuk melaksanakan niat atau nazar
seseorang, bisa juga karena kesepakatan kedua belah pihak dan adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak ahli waris dalam sebuah keluarga untuk
menjodohkan anaknya, misalnya karena anak perempuan satu-satunya, atau
karena anak bungsu/anak terakhir, dan lain-lain (Taway, 1999. Gunung pirak
dikelilingi sebanyak 3x oleh penari, pengantin, dan seluruh keluarga diiringi oleh
musik tradisional. (Puji, Lelay Nangkai)
e. Pelaksanaan ProsesiTurus Tajak
Turus tajak adalah tiang yang ditancapkan di pinggir sungai atau pantai
yang berguna untuk mengikat bahtera atau perahu supaya tidak hanyut terbawa
arus, ombak, gelombang bahkan tenggelam. Pernikahan diibaratkan
perahu/bahtera. Sejak pernikahan bahtera/perahu mulai dilepaskan talinya dari
6
turus tajak tadi. Hal ini diharapkan mereka akan memulai rumah tangga 106
sendiri secara mandiri. (Puji, Lelay Nangkai)
f. Pengukuhan Pernikahan Adat
Pengukuhan atau mensahkan perkawinan adat dipimpin oleh mantir adat. Pengantin,
orang tua kedua belah pihak, dan mantir tumpang tangan bersama-sama. Mantir
mengucapkan kata-kata pengukuhan (Puji, Lelay Nangkai)
2. Nilai Keluarga Dalam Berbagai Budaya Di kalimantan
1) Hubungan Manusia dengan Manusia Lain.
Nilai kesopanan dan keramahan terjadi ketika menyambut tamu di
depan gerbang, menanyakan kejelasan maksud dan tujuan
kedatangan, mempersilakan tamu masuk. (Puji, Lelay Nangkai)
2) Hubungan Manusia dengan Tuhan
Mantir mengarahkan mandau tersebut ke atas, memohonkan kepada
Tuhan agar acara berjalan dengan lancar dan agar terhindar dari hal-
hal jahat yang akan mengganggu jalannya acara di rumah tersebut.
Hal ini merupakan nilai religius yang menunjukan hubungan manusia
dengan Tuhannya. (Puji, Lelay Nangkai) (Puji, Lelay Nangkai)
3) Hubungan Manusia dengan Alam
Nilai budaya bagaimana manusia menghargai alam ciptaan Tuhan
dan mengusahakan serta menikmati hasil bumi/kebun merupakan
nilai budaya hubungan manusia dengan alam. (Puji, Lelay Nangkai)
4) Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
Banjang merupakan batas halaman rumah dengan lingkungan luar
sehingga apabila ada niat jahat atau hal yang dapat mengganggu
keamanan dan kenyamanan tuan rumah maka harus melewati
gerbang tersebut. Dalam hal ini, banjang memiliki fungsi sebagai
perlindungan bagi tuan rumah atau benteng pertahanan dari orang-
orang yang berniat jahat (Leiden, 5 Juni 2017). (Puji, Lelay Nangkai)
B. Kehamilan Dalam Konteks Budaya Di kalimantan
1. Pandangan mengenai kehamilan
Persepsi tentang kehamilan yang dimiliki oleh masyarakat sangat
menentukan perilaku masyarakat terhadap kehamilan. Persepsi tentang kehamilan
ini terbentuk berdasarkan kepercayaan - kepercayaan dan simbol-simbol yang
dimiliki oleh masyarakat (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
Pengalaman kehamilan khususnya adalah sumber dari simbol tentang
kesuburan, pertumbuhan bayi đalam kandungan, dan kesehatan ibu dan anak.
kehamilan, persalinan, dan nifas merupakan peristiwa yang istimewa bagi
keluarga sehingga kepedulian keluarga dan masyarakat cukup tinggi. Kepedulian
7
tersebut terwujud dalam adanya pantangan makanan dan perilaku yang
menunjukan kepedulian keluarga terhadap keselamatan si ibu dan bayinya.
(Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
2. Pandangan mengenai pantangan makan dan perilaku selama kehamilan
Pada masyarakat Tanjung Limau, jenis makanan yang dipantang selama masa hanil dan
setelah melahirkan cukup banyak. Walaupun tidak dipatuhi oleh semua ibu hamil, karena
tidak lagi merasa pengaruh adat yang kuat menekan perlunya pantangan tersebut dipatuhi.
(Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
Bagi mereka yang masih memegang kepercayaan mengakui adanya pantangan makan.
Mereka mengungkapkan sejumlah bahan makanan yang termasuk dalam pantangan
seperti :
a ikan asin yang menurut mereka dapat meningkatkan tekanan darah, juga
pantangan makan cumi-cumi yang ditakutkan dapat menyebabkan plasenta
atau tembuni lengket. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
b terdapat pula pantangan mengkonsumsi buah-buahan tertentu. Buah seperti
jeruk nipis, nanas muda dan durian merupakan pantangan. Jeruk nipis
disebutkan dapat menyebabkan kesulitan dalam persalinan, nanas muda dan
durian dianggap dapat keguguran. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike,
2008)
c terdapat pula sejumlah pantangan dalam bentuk perilaku.
Pantangan perilaku tersebut terutama terkait dengan kepercayaan bahwa perilaku ibu
selama kebamian akan berpengaruh terbadap keselamatan kesempurnaan bayi yang
sedang dikandung. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
1) Seorang wanita hamil tidak boleh melilitkan handuk di leher karena akan
mengakibatkan bayi bisa telilit tali pusar. (Nurrachmawati,Annisa ;
Anggraeni, Ike, 2008)
2) Pantangan lain yaitu ibu hamil tidak boleh tidur akan guling karena
memakai menyebabkan bayi lahir dengan kepala besar
(Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
3) tidak boleh tidur dengan posisi serta melintang karena akan
menyebabkan bayi lahir sungsang. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni,
Ike, 2008)
4) Terdapat pula larangan mandi sore di atas jam tima sore karena akan
menyebabkan bayi lahir menderita sakit influenza.
(Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
5) Terdapat juga aspek bahaya supranatural .Hal ini merupakan kepercayaan
yang umum ditemukan pada berbagai suku bangsa di Indonesia yaitu
keyakinan mengenai roh-roh halus. Pada saat hamil, seorang wanita
dianggap mudah terkena gangguan yang datang dari unsur gaib atau roh
jahat. Seorang wanita yang sedang mengandung dipercaya menimbulkan
khas akan mengundang bau harum yang mahluk halus untuk datang
menghampiri si ibu yang dapat mengakibatkan si ibu menjadi bisu dan
tuli. Untuk menghindari gangguan dari roh halus tersebut maka ada
sejumlah pantangan perilaku yang harus dipatuhi si ibu hamil, yaitu tidak
8
boleh jalan-jalan menjelang senja hari atau menjelang waktu maghrib
(Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
6) Terdapat juga larangan untuk mengurai rambut mengenakan baju yang
terbuka karena akan mengundang datangnya gang mahluk halus yang
disebut kuntilanak. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
7) Terdapat pula pantangan perilaku yang juga harus dipatuhi oleh suami,
menyiratkan pula bahwa keselamatan anak pandangan bukanlah semata-
mata menjadi tanggung istri melainkan juga suaminyayaitu pantangan
perbuatan adalah membunuh atau umum yang menyiksa hewan yang
dianggap akan mengakibatkan sang bayi meninggal saat lahir atau
mempunyai cacat pada bagian tubuhnya seperti hewan yang pernah
dianiaya orang tuanya. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
3. Pandangan mengenai pemeriksaan dan perawatan kehamilan.
Selama kehamilan bukan hanya bidan yang berhubungan dengan ibu hamil
dan keluarganya tetapi juga peran dukun masih besar dan diinginkan oleh
masyarakat. Dukun beranak disini adalah orang-orang yang mempunyai
keterampilan pengobatan secara turun temurun terutama yang mempunyai
keterampilan menolong persalinan. Dukun beranak sebagian besar berjenis
kelamin perempuan, dan biasa dipanggil "sanro" sesuai bahasa Bugis yang
merupakan bahasa sehari-hari masyarakat Desa Tanjung Limau.
(Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
Dukun beranak biasa dipanggil datang ke rumah si ibu hamil untuk
melakukan pemijatan agar posisi bayi dalam kandungan tidak sungsang sehingga
si ibu dapat melahirkan secara normal. Pemijatan juga dilakukan bila si ibu
mengalami cidera fisik yang dapat mempengaruhi posisi bayi dalam kandungan,
misalnya terjatuh saat hamil. Masa kehamilan dan kelahiran juga dianggap
sebagai masa krisis yang berbahaya, baik bagi janin maupun bagi ibunya.
(Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
Karena itu sejak bayi masih dalam kandungan hingga sesudah
kelahirannya, para kerabat mengadakan serangkaian upacara bagi wanita hamil,
dengan tujuan mencari keselamatan bagi diri si ibu dari bayinya saat berada dalam
kandungan hingga saat lahirnya. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008)
Kepercayaan ini juga diadopsi oleh sebagianbesar masyarakat desa
Tanjung Limau. Upacara adat yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu hamil di desa
Tanjung Limau dilangsungkan terutama pada saat kehamila mencapai usia tujuh
9
bulan kehamilan. Menurut adat Bugis upacara ini disebut Maccera Wettang yang
artinya mengurut perut. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008).
C. Perawatan kelahiran dan budaya
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam
suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal
sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh
aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993).
Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang
kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus
dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya,
wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita
hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu sepertirebung. Makan jantung pisang
juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir dengan ukuran yang
kecil.
Masyarakat Dayak Ngaju meyakini bahwa masa kehamilan memerlukan
upcara khusus. Ritual tersebut dilakukan ketika seorang ibu positif hamil dan
ketika usia kandungan tiga bulan, tujuh bulan dan sembilan bulan.
Ritual untuk usia kandungan tiga bulan disebut PALETENG
KALANGKANG SAWANG, ritual ini bertujuan agar ibu yang hamil tidak
diganggu oleh roh jahat dari dalam air. Ritual usia kandungan tujuh bulan disebut
NYAKI EHET atau NYAKI DIRIT, yang hakikatnya untuk memilih leluhur mana
yang akan menyertai dan melindungi ibu dan anakn dikandungannya. Kemudia
ritual pada usia kandungan sembilan bulan disebut MANGKANG KAHANG
BADAK, bertujuan agar bayinya tidak lahir prematur.
10
PALETENG KALANGKANG SAWANG
Sebagai tanda permohonan agar persalinan berjalan normal, dipasanglah
lilitan seperti stagen dari kuningan berisi manik-manik dan dilingkarkan di
pinggang ibu. Syarat-syarat ritual untuk semua usia kandungan adalah hewan
kurba (ayam dan babi), manik-manik untuk ehet, tambak, behas tawur, sesajen
dan manik lilis dan manas untuk dipasang pada ibu hamil.
Untuk prosesi kelahiran ada satu proses yang unik dimana posisi sang ibu
tubuhnya miring, kepalanya dibagian atas dan kakinya dibagian bawah. Sang ibu
dibaringkan di suatu tempat yang disebut SANGGUHAN. Petugas yang
membantu proses persalinan biasanya bidan kampung atau dukun. Kelengkapan
proses melahirkan berupa; tempat ari-ari / KUSAK TABUNI, pemotong tali pusar
/ SEMBILU, tempat bersalin / SANGGUHAN MANAK, tempat pakaian / SAOK,
tempat menyimpan air panas, parafin, tempat air untuk memandikan bayi /
KANDARAH dll
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih
dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini,
pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta
berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang sering
menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kehamilan dan
kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai
upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni,
procotan, dan brokohan.
Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh
dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern
penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat,bidan, dan lain sebagainya tapi penangana
dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi
umumnya adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi
adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut balian manak dengan
usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh perempuan karena dalam
proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya
boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya.
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada
dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari
nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa
terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata
mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus
11
terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga
kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau
keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter
memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat menangani
ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan
bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses
persalinan.
Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan
kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagaiproses
yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai
kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan,
wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya,penggunaan ramuan atau
obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan
keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayidan ibunya.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang
memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam
pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan
etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan
serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan
mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang
mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya.
D. Perawatan yang diberikan pada ibu post natal adalah sebagai berikut:
1) Setelah melahirkan, ibu harus cukup istirahat. Delapan jam setelah melahirkan,
ibu harus tidur telentang untuk mencegah perdarahan. Setelah itu ibu boleh miring
ke kiri atau ke kanan untuk mencehag trombosis.
2) Ibu dan bayi ditempatkan pada tempat yang sama supaya terjalin kontak fisik
dan psikis (kejiwaan) yang erat. Hal ini juga akan memudahkan dalam melakukan
aktivitas menyusui.
3) Makanan yang diberikan harus sehat, cukup kalori, protein, dan serat (sayur,
buah).
4) Dianjurkan untuk memeriksakan diri enam pekan setelah melahirkan.
Pemeriksaan dilakukan untuk melihat keadaan umum ibu secara menyeluruh dan
menindaklanjuti jika ada keluhan setelah melahirkan. (Andriyani, 2012).
Pendapat masyarakat Suku Dayak Sanggau kalimantan tentang lama
waktu setelah melahirkan ibu boleh beraktivitas juga bervariasi. Ada yang
berpendapat jika sehat ibu dapat langsung bergerak, ada juga yang berpendapat
setelah tiga hari baru boleh bergerak, tetapi sebagian besar menyatakan bahwa
12
setelah melahirkan langsung dapat melakukan aktifitas seperti biasanya, seperti
yang diungkap informan DKT ibu usia subur: “..tiga hari baru boleh jalan biar
kuat” “..kalau saya langsung jak jalan yang penting kuat” Pendapat mereka
tentang obat-obatan cenderung pada ramuan tradisional yang diberikan oleh bidan
kampung seperti minuman yang terbuat dari campuran tuak, liak (jahe) dan gula.
Tujuannya agar badan hangat sehingga darah dan darah beku dapat cepat keluar
dan air susu lancar. Namun ada juga yang minum kopi supaya badan hangat dan
tidak lemah. Selain minuman, mereka juga memberikan bedak yang terbuat dari
kunyit, liak, dan kencur pada perut ibu dengan tujuan agar kandungan cepat
kembali muda, seperti yang dikatakan informan DKT ibu usia subur: “.. kalau
habis melahirkan dikasih minum air liak dicampur tuak...biar badan panas..darah
kotor cepat keluar” “...iya biar badan panas dan air susu cepat keluar” “... minum
kopi biar badan kuat nda lemah..” Menurut masyarakat, makanan yang baik untuk
ibu nifas adalah makan nasi dicampur garam dan sayur daun bungkal, selain itu
dapat ditambah ikan asin atau ikan teri. “....kalau habis melahirkan hanya makan
nasi pakai garam dan daun bungkal” Masyarakat Suku Dayak Sanggau tidak
mempunyai konsep hubungan suami istri setelah melahirkan yang jelas.
Hubungan suami istri bisa dilakukan, seminggu, dua minggu atau satu bulan
setelah melahirkan, seperti pernyataan informan DKT ibu usia subur berikut:
“...biasanya sebulan sesudah melahirkan..” “...kalau menurut saya dua minggu..”
“...seminggu gak boleh kalau suaminya mau gimana..”
E. Genetik dan budaya yang diturunkan di kalimantan
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mempunyai sebuah kearifan lokal
yang disebut sebagai falsafah Huma Betang atau budaya Betang. Kearifan lokal
ini termuat dalam Peraturan daerah kota Palangkaraya tahun 2008 yang kemudian
direvisi menjadi tahun 2009. Perda tersebut menjelaskan tentang perilaku hidup
yang menjunjung tinggi perilaku yang berlandaskan pada falsafah Huma Betang,
agar dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang aman, rukun, damai dan
hidup berdampingan demi terciptanya kesejahteraan bersama.Kebermaknaan
falsafah Huma Betang bagi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah yaitu terdiri
dari empat bagian utama, yaitu nilai kebersamaan, kejujuran, kesetaraan dan
13
toleransi, namun secara umum diantara dapat dipahami bahwa dari keempat nilai
tersebut nilai toleransi adalah yang memiliki nilai yang paling utama dari falsafah
Huma Betang.
Nilai toleransi ini telah mencakup semua nilai-nilai pada falsafah Huma
Betang karena itu kebermaknaan falsafah Huma Betang bagi masyarakat Dayak
memiliki tujuan agar terciptanya masyarakat yang aman, damai, harmonis tanpa
perpecahan atau hal-hal yang dapat merusak kesatuan dan persatuan masyarakat
Kalimantan Tengah.Konselor memiliki kesadaran multikultural yang kuat dan
pemahaman yang mendalam tentang asas budaya, hal ini akan mewujudkan
kompetensi konselor yang sadar akan budaya, kompetensi multikultural pada
konselor dianggap memiliki peran penting dalam menjalankan tugas sebagai
konselor di sekolah, yaitu dengan memahami ciri atau pola kebudayaan suku
Dayak yang ada di Kalimantan Tengah.Kompetensi multikultural pada konselor
memiliki tujuan utama yaitu memahami keragaman budaya yang ada pada
konseli, dengan nilai-nilai budaya Dayak Kalimantan Tengah konselor dapat
belajar dan menyerap nilai-nilai budaya tersebut untuk diimplementasikan di
sekolah, karena nilai-nilai budaya Dayak yang Universal dan mengandung unsur
nilai Bhinneka Tunggal Ika.13
F. Sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya di Kalimantan
Peran Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana dalam
pelaksanaan program KB melalui pelaksanaan program dan sosialisasi masih
belum optimal karena masih terkendala oleh faktor sumber daya manusia yang
kurang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sarana dan prasarana yang
kurang memadai, sehingga jumlah PUS yang tidak ikut KB semakin bertambah
banyak.
Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten
Tanah Laut adalah a) Internal : sumber daya petugas yang masih kurang, tingkat
frekuensi sosialisasi yang rendah, keterbatasan keterjangkauan, kemampuan
petugas masih kurang, sarana prasarana serta fasilitas yang belum begitu baik. b)
faktor ekksternal : rasa pesimis masyarakat, rendahnya pengetahuan akan alat
kontrasepsi, kurangnya partisipasi maysarakat dalam pelaksanaan program KB.
14
Berdasarkan hal-hal di atas maka alternatif yang perlu dilakukan
diantaranya adalah mengelola KB secara profesional, yaitu selain dengan
melaksanakan kerjasama dan koordinasi antar instansi pemerintah Kabupaten
Tanah Laut yang terkait dengan program KB, serta melakukan kolaborasi antara
pemerintah dan institusi masyarakat/ LSM, kader yang bergerak dalam
pengendalian kependudukan, juga dilakukan dengan penigkatan mutu kader KB
yaitu dengan memberikan pendidikan dan pelatihan.
Selanjutnya lebih intens melakukan sosialisasi dengan pelibatan setiap
desa, sosialisasi bukan hanya wewenang kecamatan namun juga dijadikan
wewenang desa, sehingga desa turut memiliki tanggung jawab terhadap PUS yang
ada di wilayah desa itu sendiri.
Program lainnya dengan cara promosi penggunaan alat kotrasepsi melalui
iklan di media massa kepada pasangan usia subur yang sudah terikat dalam
pernikahan, dengan menjadikan seseorang yang memiliki pengaruh besar seperti
tokoh agama, tokoh masyarakat dan pejabat publik lainnya dalam
mempromosikan penggunaan alat KB. Apabila dimungkinkan pelayanan alat
kontrasepsi secara gratis kepada pasangan yang sudah menikah tidak hanya pada
pil KB dan kondom saja tetapi juga alat kontrasepsi baik hormonal maupun non-
hormonal sehingga peran serta masyarakat dalam ber-KB dapat meningkat.
Selanjutnya agar menambah motivasi dam memberikan reward kepada
petugas KB perlu dilakukan penambahan/kenaikan insentif, mengoptimalkan
sarana prasarana yang ada dengan melakukan perawatan kendaraan atau apabila
memiliki anggaran yang cukup mengusulkan tambahan kendaraan yang
proporsional sesuai wilayah kerja yang harus di layani, termasuk memperbaiki
ruang tunggu yang representatif bagi pelayanan KB.
G. fertility dan infertility dalam konteks budaya di Kalimantan
Istilah fertilitas atau kesuburan adalah suatu kemampuan atau hasil
reproduksi seorang wanita atau sekelompok wanita. Indikasi dari fertilitas seorang
perempuan adalah diawali dengan dia hamil atau mengandung sampai melahirkan
seorang bayi. Walaupun pada saat dia mengandung sempat atau mengalami
keguguran (pendarahan). Disamping istilah fertilitas ada juga istilah fekunditas
15
(fecundity) sebagai petunjuk kepada kemampuan fisiologis dan biologis seorang
perempuan untuk menghasilkan anak lahir hidup. Sedangkan jika di dalam
masyarakat seorang perempuan (ibu) tidak dapat melahirkan anak maka dikatakan
infertil (mandul).
Ketidakmampuan wanita untuk hamil membuat wanita sering mengalami
peristiwa yang tidak menyenangkan bila dibandingkan dengan pria. Kecemasan
adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan ketidakpastian,
ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan (Stuart, 2016). 74,6% wanita
infertil dilaporkan mengalami perubahan suasana hati, merasa tidak berdaya
karena durasi infertilitas yang dialaminya (Ramezanzadeh et al., 2004). Wanita
infertil merasa berkurang feminitas yang dapat mengganggu harga diri dan citra
dirinya sedangkan perasaan cemas membuat mereka sulit untuk berbagi perasaan
dengan kerabat, sehingga muncullah perasaan kesepian dan tertekan, yang lebih
lanjut membuat mereka menarik diri atau mengisolasi diri (Sultan & Tahir, 2011).
Cemas yang dialami wanita infertil memiliki tingkatan yang berbeda-beda mulai
dari yang tidak mengalami kecemasan sampai pada batas panik.
Penduduk di Kabupaten Sanggau terdiri dari berbagai suku dengan
suku mayoritas adalah suku Dayak, Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Suku
Dayak Sanggau sebagian besar tinggal di daerah pedalaman yang sulit dijangkau
dengan alat transportasi baik darat maupun sungai.Mata pencaharian suku ini
sebagian besar adalah petani dan buruh perkebunan, sedangkan tingkat pendidikan
mereka masih sangat rendah, sebagian besar tidak tamat SD.7 Masyarakat Suku
Dayak Sanggau masih menjunjung tinggi adat istiadat yang terlihat pada
terpeliharanya hukum dan lembaga peradilan adat. Melalui lembaga peradilan ini
berbagai masalah sengketa internal dan eksternal yang timbul di masyarakat dapat
diselesaikan.
7 Uraian di atas mengindikasikan bahwa ada pratek budaya di dalam masyarakat
yang dapat membahayakan kehamilan, persalinan dan nifas.
Beberapa istilah lokal yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan,
dan nifas pada masyarakat Suku. Dayak Sanggau antara lain adalah: Ngidam
16
(ngeraah),kaki bengkak selama hamil (bosu,muntut), serotinus (kandung babi),
keguguran (mulus, kelabuh), presentasi bokong (lipat kajang) presentasi kaki
(turun tangga) (Lihat tabel 1) Praktek budaya pada kehamilan,persalinan, dan
nifas masyarakat Suku Dayak Sanggaupada dasarnya adalah tindakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu upaya kesehatan
diluar ilmu kedokteran. Pada penelitian ini praktek budaya dilihat dari variabel
pengetahuan, kepercayaan dan persepsi masyarakat Suku Dayak Sanggau
termasuk praktek tradisional yang dilakukan oleh dukun bayi yang lebih dikenal
dengan bidan kampung.
 Pengetahuan tentang Kehamilan
Pengetahuan tentang kehamilan mencakup tanda-tanda kehamilan,
pemeriksaan kehamilan, makanan, dan obat-obat yang berpengaruh terhadap
kehamilan. Pengetahuan masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang tanda-tanda
kehamilan bervariasi, umumnya mereka menyebutkan “pembesaran perut”
karena dalamnya ada bayi yang disertai “ngeraah” (ngidam). Beberapa
menyebutkan “tidak datang bulan” , “lemah badan”, “ pusingpusing”
(sakit kepala) dan tidak ada nafsu makan, seperti yang diungkapkan informan
DKT ibu usia subur:
“....tandanya perut besar ada anak kecil di dalam perut.....”
“....ngeraah, pusing-pusing...”
“.... badan lemah nda ada nafsu makan..”
“...nda dapat min lagi..”
Pengetahuan masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang pemeriksaan
kehamilan yang bervariasi dapat dikelompokan menjadi: ketersediaan tenaga, segi
manfaat dan sesuai kebutuhan (situasional). Dari segi ketersediaan tenaga
masyarakat sebenarnya tahu dan mau
memeriksakan kehamilan ke bidan. Pada umumnya mereka menyatakan selama
hamil paling tidak harus memeriksakan kehamilan sebanyak 3-4 kali.
Pemeriksaan kehamilan ke bidan kampung biasanya dilakukan untuk meluruskan
letak bayi melalui teknik mengangkat kandungan seperti hasil wawancara
mendalam dengan informan ibu hamil sebagai berikut:
17
“... kame’ mau bah periksa ke bu bidan, tapi bu
bidan bah jarang ada di sini jadi terpaksa kame nda
periksa......biasa 3 sampai 4 kali bah kame’ periksa selama
hamil”
Dari segi manfaat, masyarakat Suku Dayak Sanggau menganggap bahwa
pemeriksaan kehamilan dapat menyehatkan bayi dan ibunya, memperlancar
proses persalinan, diungkapkan oleh informan ibu hamil sebagai
berikut:
“.. ya.. biar sehat bayinya dan juga ibunya lah ...”
Pengetahuan masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang makanan yang
sehat selama masa kehamilan dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu
aspek jenisdan aspek jumlah makanan. Dari segi jenisnya, makanan yang
dianggap sehat untuk ibu hamil adalah sayuran hijau, ikan dan daging,
sebagaimana yang diungkapkan oleh informan ibu hami sebagai berikut: “... yang
bagus tu.. sayur yang hijau-hijau macam
daun ubi..” “... ikan kalau ada juga bagus” Dari segi banyaknya makanan yang
dimakan
masyarakat Suku Dayak Sanggau sebagian besar beranggapan bahwa ibu hamil
harus banyak makan, alasan masyarakat karena makanan tersebut untuk dua orang
yaitu ibu dan bayinya, seperti yang dikatakan informan bidan kampung sebagai
berikut:
“.. ibu hamil tu harus banyak makan biar kuat kerja
karena yang makan berdua ibu dan anaknya bah..”
 Pengetahuan tentang Nifas
Pengetahuan masyarakat tentang masa nifas meliputi aspek waktu, mobilisasi,
obat-obat, makanan, dan hubungan seksual. Masyarakat Suku Dayak Sanggau
tidak mengenal istilah
nifas karena itu digunakan istilah masa setelah melahirkan. Menurut masyarakat
Suku Dayak Sanggau lamanya masa nifas bervariasi ada yang menyatakan satu
minggu, dua minggu dan satu bulan mereka tidak tahu secara pasti berapa
lamanya masa nifas, seperti diungkap
informan DKT ibu usia subur sebagai berikut:
18
“... seminggu ..”
“.. sebulan bah..”
“...bisa gak dua minggu..”
Pendapat masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang lama waktu setelah
melahirkan ibu boleh beraktivitas juga bervariasi. Ada yang berpendapat jika
sehat ibu dapat
langsung bergerak, ada juga yang berpendapat setelah tiga hari baru boleh
bergerak, tetapi sebagian besar menyatakan bahwa setelah melahirkan langsung
dapat melakukan aktifitas seperti biasanya, seperti yang diungkap informan DKT
ibu usia subur:
“..tiga hari baru boleh jalan biar kuat”
 Kepercayaan tentang Kehamilan
Kepercayaan masyarakat Suku Dayak Sanggau pada saat hamil meliputi
pantangan dan anjuran. Pantangan yang dilakukan masyarakat yang berhubungan
dengan ibu hamil meliputi pantang makan dan pantang perbuatan. Pantangan
makan pada saat hamil menurut masyarakat Suku Dayak Sanggau tidak terlalu
banyak mereka hanya melarang ibu hamil untuk tidak makan daging binatang
yang hidup didalam lobang seperti trenggiling, daging ular dan daging labi-labi
(sejenis kura-kura) dengan alasan takut kalau melahirkan akan susah keluar
(persalinan macet). Keyakinan tersebut didapatsecara turun temurun dan harus
ditaati agar tidak terkena badi (kualat atau dampak melanggar pantang), seperti
pendapat informan:
“...yang nda boleh makan daging labi-labi, ular, tenggiling nanti kena
badinya..anaknya susah lahir”
Pantangan perbuatan menurut masyarakat meliputi perbuatan yang tidak
boleh dilakukan oleh suami maupun istri yang sedang hamil. Perbuatan yang tidak
boleh dilakukan istri seperti duduk ditengah lawang (pintu), duduk di tangga,
menjahit bantal, merendam pakaian, dan duduk diatas lesung. Pantangan yang
tidak boleh dikerjakan suami adalah memasang pukat (jaring untuk menangkap
ikan), memasang tajur (pancing), mengisi peluru, menambal perahu, menangkap
binatang yang hidup dalam lobang dan membendung parit (anak sungai) dan
19
sawah. Alasan dilakukan pantangan tersebut agar ibu melahirkan dengan lancar,
seperti yang disampaikan informan ibu hamil:
“....banyak pantangnya nda boleh duduk di lawang, duduk dilesung, menjahit
bantal.....kalau suami nda boleh najur, masang pukat....pokoknya banyak bah”
Anjuran yang harus dipatuhi masyarakat Suku Dayak Sanggau adalah ibu
hamil harus banyak bekerja tidak boleh banyak tidur karena diyakini kalau banyak
tidur bayinya akan lengket pada tulang belakang ibu sehingga
akan susah waktu melahirkan.
 Persepsi tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas
Persepsi masyarakat terhadap kehamilan, persalinan dan nifas adalah
pandangan masyarakat terhadap bahaya kehamilan, bersalin dan nifas juga
pandangan terhadap kejadian kematian ibu. Masyarakat Suku Dayak Sanggau
mempunyai pandangan tersendiri terhadap bahaya kehamilan, persalinan dan
nifas. Menurut sebagian besar informan saat yang berbahaya adalah saat
melahirkan karena pada saat itu ibu bisa mengalami perdarahan, persalinan macet,
sedangkan pada saat hamil dan nifas tidak berbahaya karena hamil dan nifas
bersifat alami. Tetapi ada sebagian kecil informan yang mengatakan bahwa hamil,
bersalin dan nifas berbahaya. Menurut mereka pada saat hamil jika ibu tidak sehat
nantinya susah melahirkan, sedangkan pada saat melahirkan bahaya jika terjadi
perdarahan, partus macet. Pada masa nifas berbahaya karena badan lemah,
demam.
“..yang bahaya tu waktu melahirkan bisa mati, tapi kalu hamil sih nda..kan udah
biasa perempuan hamil”
Sedang persepsi masyarakat terhadap kejadian kematian ibu mereka
berpandangan bahwa kalau ibu mati itu sudah ajalnya, sudah waktunya, mereka
memandang dari sudut agama. “..itulah kalau mati sudah panggilan tuhan”
H. Aborsi dalam konteks budaya
Dewasa ini, kita melihat aborsi sebagai perilaku masyarakat terkhusus
pada remaja, yaitu sebuah penyimpangan sosial yang berawal dari salah satu
20
faktor, yakni minimnya pengetahuan akan pendidikan seks atau seks Education,
sehingga menimbulkan ketidakmapanan remaja yang melakukan tindakan seks
diluar nikah dan berdampak kehamilan terlalu dini. Kasus ini dipandang sebagai
suatu kecacatan dimana para pelaku melakukan solusi dengan mengugurkan
kandungan tersebut dengan menomorduakan resiko yang ditanggung, mulai dari
kerusakan organ vital atau kelamin si wanita hingga resiko kematian. ‘Jalan
pintas’ ini menjadi sebuah trend yang berkembang dan melekat pada cara pandang
masyarakat kekinian, sehingga membentuk budaya negatif di masyarakat. Lalu,
bagaimana Aborsi bisa mencapai ke tingkat kesadaran masyarakat hanya
mencakup suatu penyimpangan sosial dan dengan mudah melabelkan Aborsi
sebagai tindakan yang tidak manusiawi? Paradigma seperti itu lambat laun
menjadi realita dimana dalam pengecapan atau peresmian suatu aktivitas rutin
manusia dengan berbahasa menciptakan suatu realitas sosial (Brouwer, 1983:64).
Pengetahuan tentang Persalinan dan kegueguran (Aborsi)
Pengetahuan tentang persalinan meliputi: tanda-tanda persalinan, penolong
persalinan, tempat persalinan, kelainan selama persalinan, dan obat-obatan.
Tanda-tanda persalinan yang diketahui oleh masyarakat Suku Dayak Sanggau
meliputi keluar lendir darah atau calak, perut mulas, sakit pinggang, pecah air
ketuban atau piying ntutup. Menurut mereka, tanda-tanda tersebut akan muncul
ketika saat melahirkan sudah tiba, yang biasanya terjadi pada usia kehamilan 9
bulan dan 10 hari atau 40 minggu, seperti dinyatakan oleh informan DKT ibu usia
subur:
“...tandanya keluar calak, perut mulas....biasa umur 9 bulan 10 hari..”
“...sakit pinggang gak, perut mulas trus keluar piying ntutup..”
Hampir semua informan menyatakan bahwa penolong persalinan adalah
dukun bayi yang mereka sebut (bidan kampung). Setiap persalinan umumnya
ditolong oleh tiga orang bidan kampung dengan tugas yang berbeda, yang
meliputi pendorong perut ibu, pemegang ibu dan penerima bayi.
Bagi orang Dayak, aturan lalu lintas hidup bagi seseorang dengan
orang lain atau sesama dan pribadinya lazim disebut adat istiadat. Makna yang
terkandung dalam adat istiadat dapat berupa hukum, budaya adat, kepercayaan
21
adat dan bahasa adat. Hukum adat dalam suku Dayak Kalai dapat diartikan pada
sebuah peraturan yang mengatur hubungan antara orang seorang dengan orang
lain atau orang seorang dengan makhluk sekitar, yang dulunya tidak tertulis,
apabila dilanggar dikenakan sangsi hukuman dan sangsi adat. Hukum adat ini
meliputi aturan lalu lintas hidup yang mulai dari sejak di dalam kandungan sampai
pada kematian yang dapat dipisahkan.
Dalam hal pemidanaan suku Dayak Kalai disebut dengan hukum adat
berdarah merah (pidana). Dalam menyelesaikan perkara hukum adat orang Dayak
Kalai mengenal suatu lembaga yang sah diakui dan diangkat oleh masyarakat
persekutuan itu sendiri.
Menurut Hukum Pidana adat suku Dayak Kalimantan Barat, jika terjadi
sumbang didalam suatu daerah, maka perkara itu tidak boleh diputuskan oleh
pasirah melainkan harus dibawa kepada rapat besar atau kepala suku sumbang
besar mesti dihukum lagi buat pembasuh dusun seekor kerbau dan sumbang kecil
seekor kambing, beras, kelapa dan lain sebagainya untuk keperluan sedekah yang
cukup. Perzinaan antara pria dengan gadis atau janda jika tidak sampai hamil,
maka pria dan wanita itu dihukum denda sampai tiga buah tajau. Tetapi jika
sampai hamil, maka si pria di hukum denda sampai tiga buah tajau dan mereka
segera dikawinkan.
Istilah hamil gelap atau bunting gelap dipergunakan untuk menunjukkan
kesalahan wanita mengandung anak yang tidak diketahui siapa pria yang
membuahinya. Menurut hukum adat suku tersebut, dimasa lampau wanita yang
hamil gelap dihukum buang, karena terjadi perbuatan sumbang atau mengampang
atau dipaksa harus kawin dengan seorang lelaki agar anak yang lahir berbapak dan
kerabat punyimbangnya didenda karena terjadi
sumbang. Jika pria yang kawin bukan yang membuahi sianak maka anak yang
lahir disebut anak kappang dan jika pria yang kawin memang ia yang
membuahinya maka anak yang lahir disebut kappang tubas30.
Di dalam Hukum Pidana adat suku Dayak Kalai dikatakan jika ada wanita
yang hamil gelap harus dikawinkan dengan seseorang. Kemudian punyimbangnya
harus membayar denda satu buah tajau dan jika lelaki yang kawin itu adalah yang
membuahi wanita itu, maka iapun dikenakan denda tiga puluh tajau. Di
22
Kabupaten Ketapang wanita yang hamil gelap dihukum denda sampai tiga buah
tajau dan jika ia naik kerumah seseorang pria tanpa izin yang punya rumah untuk
melahirkan anaknya, maka ia dihukum membayar tiga buah tajau kepada yang
punya rumah. Selanjutnya jika yang hamil gelap itu adalah isteri orang, maka
hukumannya denda sampai tiga buah tajau serta harus membayar kepala suku adat
yaitu sebuah guci, seratus mangkok serta menanggung harta benda.
Dalam pidana adat suku Dayak disini, Jika ada wanita yang melahirkan
anak ngampang yang perbuatannya itu terbukti dengan adanya saksi, maka suku
(kerabat) wanita itu dikenakan hukuman denda empat buah sampai tiga buah loso.
Cara membagi denda dalam persidangan adat adalah tiga kali lima puluh dari
harga guci tersebut dan tiga buah tajau sampai lima puluh tajau diperuntukkan
semua anggota adat yang hadir memutuskan perkara. Sisanya lima puluh dari
harga guci dan satu mangkok diperuntukkan kerabat yang mengampang. Sebelum
semua denda tersebut dibayar, maka yang bersangkutan dilarang bercampur gaul
dengan anggota adat, oleh karena yang bersangkutan dianggap seperti binatang.
Hukuman denda tersebut diadakan apabila sidang keberatan untuk
menjatuhkan hukuman. Jadi kalau yang ngampang itu tidak mampu membayar
denda tersebut, maka yang harus membayar adalah punyimbangnya dan si pelaku
dikeluarkan dari pandangan umum dan para kerabat ahli warisnya lepas tangan
terhadap orang itu. Kemudian punyimbangnya memberikan satu buah guci untuk
menerangkan kepada umum bahwa orang yang bersalah itu
telah diusir seperti binatang. Dengan demikian maka pepadun punyimbangnya itu
tidak lagi terbalik.
Pada umumnya perbuatan zina diantara anggota keluarga adalah
perbuatan yang sangat keji. Dilingkungan masyarakat adat suku Dayak
Kalimantan Barat, jika ada keluarga yang berbuat zina diantara mereka, berarti
ia merusak bumi adatnya atau merusak tahta kepunyimbangan.
I. Aplikasi askep peka budaya pada prenatal di Kalimantan
“TradisiMasyarakatSuku Dayak MenyambutKelahiranBayi” Menjelang
persalinan membutuhkan beberapa perlengkapan khusus, demikian pula bagi
Suku Dayak ada beberapa perlengkapan suku dayak menjelang persalinan atau
23
proses melahirkan yang harus dipersiapkan sedemikian rupa untuk menggelar
beberapa ritual atau upacara adat suku Dayak dalam menjelang dan menyambut
kelahiran seorang bayi.
Kultur budaya suku Dayak Kalimantan Tengah menempatkan kaum wanita
pada derajat yang tinggi. Tak heran, kedudukan wanita dalam masyarakat dayak
memang spesial, kaum perempuan selalu mendapatkan perhatian penuh,
terlebihsaat proses menjelang persalinan.
Fase Melahirkan dalam budaya Suku Dayak mengisyaratkan perlunya
sejumlah persiapan termasuk persiapan perlengkapan suku dayak menjelang
persalinan. Pada proses jelang melahirkan bayi atau Awau, sang calon ibu
dibaringkan pada sebuah dipan kecil dengan posisi miring terbuat dari kayu yang
disebut Sangguhan dengan motif ukiran Dayak di masing-masing sisi. Kemudian
saat melahirkan,disiapkan pula Botol Mau sebagai tempat untuk menungku peru
tibu agar darah kotor cepat keluar. Selain sebagai perlengkapan suku dayak
menjelang persalinan Botol Mau ini juga digunakan untuk menyiman air panas.
Selanjutnya, keluarga yang melahirkan juga perlu menyiapkan Kain
Bahalai (JarikdalambahasaJawa) dengan lapisan yang berbeda. Tujuh lapis kain
bahalai saat menyambut bayi laki-laki dan lima lapis kain bahalai untuk bayi
dengan jenis kelamin perempuan. Walaupun sebagai peralatan penunjang,
keberadaannya dalam persiapan prosesI persalinan menurut budaya Suku Dayak
mutlak diperlukan.
Pada fase ketika bayi telah lahir, maka tali pusar atau ari ari bayi dipotong
menggunakan sebuah sembilu. Untuk tahap pertama dan pemotongan terakhir ari-
ari dengan uang ringgit. Kedua perlengkapan suku dayak menjelang persalinan
tersebut disiapkan sejak awal dalam sebuah piring atau Paraten. Sedangkan ari-ari
yang terpotong tadi disimpan di dalam Kusak Tabuni. Bayi (awau) yang baru lahir
dimandikan dalam Kandarah, dan popok bayi yang digunakan disimpan dalam
Saok. Bagi sang ibu setelah melahirkan biasa menggunakan Stagen
(BabatKuningan) untuk mengikat perut agar mengembalikan perut ibu ke kondisi
semula dengan cepat.
Tentu nya untuk menjaga tubuh ibu setelah melahirkan dan juga berfungsi
untuk berjaga-jaga dalam kondisi yang tidak terduga seperti sulitnya bayi keluar,
24
masyarakat Dayak memiliki cara yang khas dan bernuansa magis, yakni
menggunakan buah kelapa yang bertunas untuk kemudian disentuhkan kearah
selaput bayi. Tujuan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut
adalah agar dapat membuka ruang sehingga bayi dapat keluar dengan mudah.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Unsur sosio budaya mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna
yang dibangun dalam persepsi budaya .
Unsur-unsur tersebut adalah sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value),
sikap (attitude). Ketiga unsur utama ini mempengaruhi persepsi dan makna yang
dibangun dalam persepsi, unsur-unsur tersebut mempengaruhi aspek-aspek makna
yang bersifat pribadi dan subyektif.
B. Saran
Semoga kekurangan yang ada makalah ini dapat disempurnakan dan dapat
menjadi acuan perawat dalam memeberikan asuhan keperawatan.
26
DAFTAR PUSTAKA
 Puji, Lelay Nangkai. Nilai Budaya Dalam Tradisi Lisan Pernikahan
Adat Dayak Maanyan Di Kalimantan Tengah (Cultural Value In
Oral Tradition Of Dayak Maanyan Customary Marriage In
Central Kalimantan), Halaman 102 – 112.
 Didapatkan dari : file:///C:/Users/Acer/Downloads/4815-9932-1-
SM.pdf diakses tanggal 17 februari 2020
 Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike (2008). Tradisi Kepercayaan
Masyarakat Pesisir Mengenai Kesehatan Ibu Di Desa Tanjung Limau
Muara Badak Kalimantan Timur Tahun 2008.
 Didapatkan dari : https://drive.google.com/file/d/1DcQo94Hi_-
8U3cWixNXJhljfGUb-7Mwj/view?usp=drivesdk diakses tanggal 17
februari 2020.
 Juriah. 2018 . Kepercayaan Dan Praktik Budaya Pada Masa Kehamilan
Masyarakat Desa Karangsari, Kabupaten Garut. Junal ilmu-ilmu social dan
humaniora. (20) (2)
 Ginger, J. N. dan Davidhizar (1995). Transcultural Nursing:
Assessment and Intervention. St.
 Louis: Mosby, hal 1-157.
 Dody Riswanto1, Andi Mappiare-AT2, Mohammad Irtadji2.
KOMPETENSI MULTIKULTURAL KONSELOR PADA
KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KALIMANTAN TENGAH
 Rossy Lambelanova; Muhammad Buyung Ramadhan." Peran Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) dalam
Melaksanakan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Tanah Laut
Provinsi Kalimantan Selatan"
 Frater, Alison & Wright, Catherine. 1994. Dilema Abortus. Penerbit
Arcan.
27
 Boyle, Mary. 1997. Re-thinking Abortion: Psychology, Gender, Power
and The Law. Routledge, 11 New Fetter Lane, London.
 Sonjaya, J.A. 2010. Manusia Langit. Penerbit Buku Kompas.
 Lubis, Mochtar. 1985. Transformasi Budaya Untuk Masa Depan. Inti
Idayu Press Jakarta.
 Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah.Penerbiat Tiara Wacana.
 Freud, Sigmund. 2006. Deviant Love, Cinta yang Menyimpang. Penguin
Books.

More Related Content

Similar to PERKAWINAN DAN BUDAYA KALIMANTAN

Cara pendekatan sosial budaya
Cara pendekatan sosial budayaCara pendekatan sosial budaya
Cara pendekatan sosial budayaInke Malahayati
 
Peran keluarga dalam pembinaan lansia
Peran keluarga dalam pembinaan lansiaPeran keluarga dalam pembinaan lansia
Peran keluarga dalam pembinaan lansiathoufan pratama
 
Pancasila sebagai solusi problem bangsa.pptx
Pancasila sebagai solusi problem bangsa.pptxPancasila sebagai solusi problem bangsa.pptx
Pancasila sebagai solusi problem bangsa.pptxfitrafernanda
 
Hak reproduksi dan konsep gender dalam kespro
Hak reproduksi dan konsep gender dalam kesproHak reproduksi dan konsep gender dalam kespro
Hak reproduksi dan konsep gender dalam kesprofabian931271
 
6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.ppt
6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.ppt6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.ppt
6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.pptDaraHumayra
 
Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...
Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...
Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...AstriYuliaSariLubis1
 
Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...
Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...
Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...AhmadLuthfi72
 
Macam macam budi pekerti
Macam macam budi pekertiMacam macam budi pekerti
Macam macam budi pekertiwisty yulia
 
Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA Operator Warnet Vast Raha
 

Similar to PERKAWINAN DAN BUDAYA KALIMANTAN (20)

Cara pendekatan sosial budaya
Cara pendekatan sosial budayaCara pendekatan sosial budaya
Cara pendekatan sosial budaya
 
Hukum perkawinan adat
Hukum perkawinan adatHukum perkawinan adat
Hukum perkawinan adat
 
Peran keluarga dalam pembinaan lansia
Peran keluarga dalam pembinaan lansiaPeran keluarga dalam pembinaan lansia
Peran keluarga dalam pembinaan lansia
 
Pancasila sebagai solusi problem bangsa.pptx
Pancasila sebagai solusi problem bangsa.pptxPancasila sebagai solusi problem bangsa.pptx
Pancasila sebagai solusi problem bangsa.pptx
 
Hak reproduksi dan konsep gender dalam kespro
Hak reproduksi dan konsep gender dalam kesproHak reproduksi dan konsep gender dalam kespro
Hak reproduksi dan konsep gender dalam kespro
 
6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.ppt
6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.ppt6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.ppt
6. KONSEP KELUARGA SEBAGAI ANGGOTA MASYARAKAT.ppt
 
seminar proposal
seminar proposalseminar proposal
seminar proposal
 
Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...
Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...
Norma dan Praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dan kemampuan reproduksi...
 
Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...
Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...
Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni Studi Etnografi Komun...
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
Macam macam budi pekerti
Macam macam budi pekertiMacam macam budi pekerti
Macam macam budi pekerti
 
Presentation for ko k (1)
Presentation for ko k (1)Presentation for ko k (1)
Presentation for ko k (1)
 
Ko k group 3@3
Ko k group 3@3Ko k group 3@3
Ko k group 3@3
 
Makalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kbMakalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kb
 
Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
Makalah pandangan islam tentang kb AKBID PARAMATA RAHA KAB. MUNA
 
Makalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kbMakalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kb
 
Makalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kbMakalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kb
 
Makalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kbMakalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kb
 
Makalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kbMakalah pandangan islam tentang kb
Makalah pandangan islam tentang kb
 
Keluarga dan masyarakat
Keluarga dan masyarakatKeluarga dan masyarakat
Keluarga dan masyarakat
 

PERKAWINAN DAN BUDAYA KALIMANTAN

  • 1. MAKALAH Pembandingan Budaya Dalam Konteks Beliefes Values Dan Lifeways Dalam Siklus Kehidupan Prenatal Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Transkultural Nursing Oleh : Kelompok 1 1. Filliya Azzura 1811311002 2. Dhinda Aulya Metrya 1811311004 3. Rifqa Luthfi Addistia 1811311006 4. Tiara Auliya 1811311008 5. Mufebrina 1811311010 6. Atikah Miftahul Jannah 1811311014 7. Hamelda Fajri Weirpa 1811311016 8. Intan Fitria Arifin 1811311018 9. Mimi Srima Annisa 1811311020 10.Rini Agustina Susanti 1811311022 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2020
  • 2. i Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “Pembandingan Budaya Dalam Konteks Beliefes Values Dan Lifeways Dalam Siklus Kehidupan Prenatal” . Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Besar harapan kami semoga penulisan makalah ini dapat memenuhi syarat. Mudah-mudahan hasil dari tugas makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi kita sekalian, Aamiin. Padang, Februari 2020 Penyusun
  • 3. ii Daftar Isi Kata Pengantar..........................................................................................................i Daftar Isi .................................................................................................................ii BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...................................................................................................1 B. Rumusan Masalah .............................................................................................1 C. Tujuan................................................................................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN A. Perkawainan dan nilai keluarga dalam berbagai budaya ..................................3 B. Kehamilan dalam konteks budaya.....................................................................6 C. Kelahiran dan budaya.........................................................................................9 D. Perawatan post natal.........................................................................................11 E. Genetik dan budaya yang diturunkan ..............................................................12. F. Sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya ...........................................13 G. Fertility dan infertility dalam konteks budaya.................................................14 H. Aborsi dalam konteks budaya.........................................................................19. I. Aplikasi askep peka budaya pada prenatal.......................................................22
  • 4. iii BAB III PENUTUP A. Kesimpulan......................................................................................................2 5 B. Saran.................................................................................................................2 5 Daftar Pustaka........................................................................................................26
  • 5. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konteks antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam konteks ini sering diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi . Untuk memahami dunia dan tindakan-tindakan orang lain, harus lebih dahulu memahami kerangka persepsinya. Tiga unsur sosio budaya mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi budaya . Unsur-unsur tersebut adalah sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude). Ketiga unsur utama ini mempengaruhi persepsi dan makna yang dibangun dalam persepsi, unsur-unsur tersebut mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subyektif. B. Rumusan masalah 1. Apa itu perkawinan dan makna keluarga dalam budaya di Kalimantan? 2. Bagaimana kehamilan dalam konteks budaya di Kalimantan? 3. Bagaimana makna kelahiran dalam budaya di Kalimantan ? 4. Bagaimana perawatan post Natal yang perawat lakukan? 5. Bagaimana budaya dan genetik yang diturunkan? 6. Bagaimana sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya di Kalimantan? 7. Bagaimana fertility dan infertility dalam konteks budaya di Kalimantan? 8. Bagaimana aborsi dalam konteks budaya di kalimantan? 9. Bagaimana aplikasi askep peka budaya dalam konteks budaya di kalimantan?
  • 6. 2 C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa itu perkawinan dan makna keluarga dalam budaya di Kalimantan 2. Untuk mengetahui bagaimana kehamilan dalam konteks budaya di Kalimantan 3. Untuk mengetahui bagaimana makna kelahiran dalam budaya di Kalimantan 4. Untuk mengetahui bagaimana perawatan post Natal yang perawat lakukan 5. Untuk mengetahui bagaimana budaya dan genetik yang diturunkan 6. Untuk mengetahui bagaimana sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya di Kalimantan 7. Untuk mengetahui bagaimana fertility dan infertility dalam konteks budaya di Kalimantan 8. Untuk mengetahui bagaimana aborsi dalam konteks budaya di kalimantan 9. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi askep peka budaya dalam konteks budaya di Kalimantan
  • 7. 3 BAB II PEMBAHASAN A. Perkawinan Dan Nilai Keluarga Dalam Berbagai Budaya Di Kalimantan 1. Perkawinan Dalam BerbagaiBudaya Di Kalimantan Perkawinan dipandang luhur dan suci bagi orang Dayak Maanyan. Mereka bebas untuk mencari pasangan hidup masing-masing bahkan dari suku atau sekalipun dari bangsa lain, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai kesetiaan, menghindari poligami serta melaksanakan pernikahan sesuai ketentuan adat yang berlaku. (Puji, Lelay Nangkai) Acara perkawinan adat Dayak Maanyan yang sering disebut Pemenuhan Hukum Adat merupakan salah satu ketentuan yang harus dipenuhi selain pernikahan catatan sipil dan pernikahan secara agama. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi warga Dayak Maanyan, karena dalam acara tersebut nilai-nilai budaya dan pentingnya pemenuhan hukum adat ditunjukankan di depan orang banyak dan disaksikan para kerabat keluarga di depan para pemangku adat. (Puji, Lelay Nangkai) Perkawinan menurut adat atau perkawinan secara adat bertujuan untuk mengatur hidup dan perilaku hidup bahadat/beradat, mengatur hubungan manusia berlainan jenis kelamin guna terpeliharanya ketertiban masyarakat agar melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak tercela, menata kehidupan berumah tangga yang baik sejak dini, tertata dengan baik dan santun, beradab dan bermartabat, menjamin kelangsungan hidup suatu suku/puak dan medapatkan keturunan yang sehat jasmani dan rohani serta menata garis keturunan yang teratur, menetapkan status sosial dalam masyarakat, menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang terjadi dalam pergaulan muda-mudi supaya terhindar dari cela ataupun kutuk yang berdampak luas, menyelesaikan permasalahan yang berdampak pada komplik internal, eksternal dan antarsuku. (Puji, Lelay Nangkai)
  • 8. 4 Pelaksanaan Prosesi Perkawinan adat Dayak Maanyan a. Pelaksanaan ProsesiNatas Banjang Natas Banjang merupakan kegiatan melepaskan tali pengikat galah/kayu penghalang pada pintu gerbang. Ada dua jenis Banjang yang khusus untuk pernikahan adat (Dansen, 29 Juli 2017) yaitu; banjang yang dihiasi dengan janur, tebu, bermacam-macam buah dan sayuran, disebut dengan banjang manta, dan banjang banang, yaitu memakai pita dua warna. (Puji, Lelay Nangkai) Petugas yang meyambut kedatangan rombongan pihak laki-laki adalah para penari Bawo, yang semuanya penari laki-laki berada pada posisi di luar banjang/gerbang, sedangkan penari Dadas,yang semuanya perempuan berada di pihak perempuan, dengan posisi di dalam banjang bersama rombongan pihak perempuan selaku tuan rumah. (Puji, Lelay Nangkai) b. Pelaksanaan ProsesiPemenuhan Hukum Adat Menurut Dansen (29 Juli 2017), pemenuhan hukum adat dayak dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab yang mengikat dan merupakan perjanjian secara nyata dari hati nurani sendiri. Apabila tidak bisa memenuhi hukum adat tersebut (padahal saling cinta) dilakukan musyawarah mufakat, antara mempelai laki-laki dan perempuan, orang tua laki-laki dan perempuan. Menurut Leiden (5 Juni 2017), apabila ingin melaksanakan Hukum Adat Dayak Maanyan ini biasanya pihak perempuannya yang Dayak Maanyan, sehingga pihak laki-laki harus tunduk/wajib dengan aturan adat Dayak Maanyan. (Puji, Lelay Nangkai) Pelaksanaan pemenuhan hukum adat diserahkan sepenuhnya kepada mantir adat. Para mantir yang bertugas melakukan patatiba/perbincangan tentang maksud atau tujuan kedatangan pihak rombongan laki-laki. Biasanya perbincangan dibumbui dengan hal-hal yang humoris atau kelakar. Para mantir membacakan dan menagih barang-barang yang tertera dalam 105 surat perjanjian perkawinan adat. Pihak laki-laki menunjukkan barang tersebut satu persatu dan disaksikan mantir serta pihak perempuan. Penyerahan barang Pemenuhan Hukum Adat dari orang tua pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan sambil berdiri dan disaksikan mantir (Puji, Lelay Nangkai)
  • 9. 5 c. Pelaksanaan ProsesiI Wurung Jue I Wurung Jue diambil dari bahasa Dayak Maanyan Pangun Raun artiya ialah memiliki sifat seperti W urung Jue. Burung Jue adalah burung yang indah dan elok rupa, tempat tinggalnya tidak sembarangan, mencintai kebersihan, dan burung yang setia pada pasangan. I Wurung Jue ini biasanya diperankan oleh para balian/penari gelang (disebut wadian sanggar/penari sanggar) yang biasanya dipakai orang untuk keramaian, perayaan, dan kemeriahan, juga dipakai orang di acara pengantinan untuk peruntungan mencari pengantin. (Puji, Lelay Nangkai) d. Pelaksanaan ProsesiI Gunung Pirak I Gunung Pirak artinya ialah hendaknya seperti gunung berkat dan rezekinya, emasnya akan menggunung berlimpah-limpah atau harapan bagi pengantin agar kelak kehidupannya selalu terpenuhi bahkan menjadi kaya raya. I gunung pirak atau ngamuan gunung pirak adalah upacara perkawinan yang dilaksanakan suku Dayak Maanyan di daerah Barito Timur, yang merupakan salah satu acara perkawinan yang meriah dan sedikit mewah. Biasanya upacara tersebut dilaksanakan hanyalah sekadar untuk melaksanakan niat atau nazar seseorang, bisa juga karena kesepakatan kedua belah pihak dan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak ahli waris dalam sebuah keluarga untuk menjodohkan anaknya, misalnya karena anak perempuan satu-satunya, atau karena anak bungsu/anak terakhir, dan lain-lain (Taway, 1999. Gunung pirak dikelilingi sebanyak 3x oleh penari, pengantin, dan seluruh keluarga diiringi oleh musik tradisional. (Puji, Lelay Nangkai) e. Pelaksanaan ProsesiTurus Tajak Turus tajak adalah tiang yang ditancapkan di pinggir sungai atau pantai yang berguna untuk mengikat bahtera atau perahu supaya tidak hanyut terbawa arus, ombak, gelombang bahkan tenggelam. Pernikahan diibaratkan perahu/bahtera. Sejak pernikahan bahtera/perahu mulai dilepaskan talinya dari
  • 10. 6 turus tajak tadi. Hal ini diharapkan mereka akan memulai rumah tangga 106 sendiri secara mandiri. (Puji, Lelay Nangkai) f. Pengukuhan Pernikahan Adat Pengukuhan atau mensahkan perkawinan adat dipimpin oleh mantir adat. Pengantin, orang tua kedua belah pihak, dan mantir tumpang tangan bersama-sama. Mantir mengucapkan kata-kata pengukuhan (Puji, Lelay Nangkai) 2. Nilai Keluarga Dalam Berbagai Budaya Di kalimantan 1) Hubungan Manusia dengan Manusia Lain. Nilai kesopanan dan keramahan terjadi ketika menyambut tamu di depan gerbang, menanyakan kejelasan maksud dan tujuan kedatangan, mempersilakan tamu masuk. (Puji, Lelay Nangkai) 2) Hubungan Manusia dengan Tuhan Mantir mengarahkan mandau tersebut ke atas, memohonkan kepada Tuhan agar acara berjalan dengan lancar dan agar terhindar dari hal- hal jahat yang akan mengganggu jalannya acara di rumah tersebut. Hal ini merupakan nilai religius yang menunjukan hubungan manusia dengan Tuhannya. (Puji, Lelay Nangkai) (Puji, Lelay Nangkai) 3) Hubungan Manusia dengan Alam Nilai budaya bagaimana manusia menghargai alam ciptaan Tuhan dan mengusahakan serta menikmati hasil bumi/kebun merupakan nilai budaya hubungan manusia dengan alam. (Puji, Lelay Nangkai) 4) Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri Banjang merupakan batas halaman rumah dengan lingkungan luar sehingga apabila ada niat jahat atau hal yang dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan tuan rumah maka harus melewati gerbang tersebut. Dalam hal ini, banjang memiliki fungsi sebagai perlindungan bagi tuan rumah atau benteng pertahanan dari orang- orang yang berniat jahat (Leiden, 5 Juni 2017). (Puji, Lelay Nangkai) B. Kehamilan Dalam Konteks Budaya Di kalimantan 1. Pandangan mengenai kehamilan Persepsi tentang kehamilan yang dimiliki oleh masyarakat sangat menentukan perilaku masyarakat terhadap kehamilan. Persepsi tentang kehamilan ini terbentuk berdasarkan kepercayaan - kepercayaan dan simbol-simbol yang dimiliki oleh masyarakat (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) Pengalaman kehamilan khususnya adalah sumber dari simbol tentang kesuburan, pertumbuhan bayi đalam kandungan, dan kesehatan ibu dan anak. kehamilan, persalinan, dan nifas merupakan peristiwa yang istimewa bagi keluarga sehingga kepedulian keluarga dan masyarakat cukup tinggi. Kepedulian
  • 11. 7 tersebut terwujud dalam adanya pantangan makanan dan perilaku yang menunjukan kepedulian keluarga terhadap keselamatan si ibu dan bayinya. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 2. Pandangan mengenai pantangan makan dan perilaku selama kehamilan Pada masyarakat Tanjung Limau, jenis makanan yang dipantang selama masa hanil dan setelah melahirkan cukup banyak. Walaupun tidak dipatuhi oleh semua ibu hamil, karena tidak lagi merasa pengaruh adat yang kuat menekan perlunya pantangan tersebut dipatuhi. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) Bagi mereka yang masih memegang kepercayaan mengakui adanya pantangan makan. Mereka mengungkapkan sejumlah bahan makanan yang termasuk dalam pantangan seperti : a ikan asin yang menurut mereka dapat meningkatkan tekanan darah, juga pantangan makan cumi-cumi yang ditakutkan dapat menyebabkan plasenta atau tembuni lengket. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) b terdapat pula pantangan mengkonsumsi buah-buahan tertentu. Buah seperti jeruk nipis, nanas muda dan durian merupakan pantangan. Jeruk nipis disebutkan dapat menyebabkan kesulitan dalam persalinan, nanas muda dan durian dianggap dapat keguguran. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) c terdapat pula sejumlah pantangan dalam bentuk perilaku. Pantangan perilaku tersebut terutama terkait dengan kepercayaan bahwa perilaku ibu selama kebamian akan berpengaruh terbadap keselamatan kesempurnaan bayi yang sedang dikandung. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 1) Seorang wanita hamil tidak boleh melilitkan handuk di leher karena akan mengakibatkan bayi bisa telilit tali pusar. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 2) Pantangan lain yaitu ibu hamil tidak boleh tidur akan guling karena memakai menyebabkan bayi lahir dengan kepala besar (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 3) tidak boleh tidur dengan posisi serta melintang karena akan menyebabkan bayi lahir sungsang. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 4) Terdapat pula larangan mandi sore di atas jam tima sore karena akan menyebabkan bayi lahir menderita sakit influenza. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 5) Terdapat juga aspek bahaya supranatural .Hal ini merupakan kepercayaan yang umum ditemukan pada berbagai suku bangsa di Indonesia yaitu keyakinan mengenai roh-roh halus. Pada saat hamil, seorang wanita dianggap mudah terkena gangguan yang datang dari unsur gaib atau roh jahat. Seorang wanita yang sedang mengandung dipercaya menimbulkan khas akan mengundang bau harum yang mahluk halus untuk datang menghampiri si ibu yang dapat mengakibatkan si ibu menjadi bisu dan tuli. Untuk menghindari gangguan dari roh halus tersebut maka ada sejumlah pantangan perilaku yang harus dipatuhi si ibu hamil, yaitu tidak
  • 12. 8 boleh jalan-jalan menjelang senja hari atau menjelang waktu maghrib (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 6) Terdapat juga larangan untuk mengurai rambut mengenakan baju yang terbuka karena akan mengundang datangnya gang mahluk halus yang disebut kuntilanak. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 7) Terdapat pula pantangan perilaku yang juga harus dipatuhi oleh suami, menyiratkan pula bahwa keselamatan anak pandangan bukanlah semata- mata menjadi tanggung istri melainkan juga suaminyayaitu pantangan perbuatan adalah membunuh atau umum yang menyiksa hewan yang dianggap akan mengakibatkan sang bayi meninggal saat lahir atau mempunyai cacat pada bagian tubuhnya seperti hewan yang pernah dianiaya orang tuanya. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) 3. Pandangan mengenai pemeriksaan dan perawatan kehamilan. Selama kehamilan bukan hanya bidan yang berhubungan dengan ibu hamil dan keluarganya tetapi juga peran dukun masih besar dan diinginkan oleh masyarakat. Dukun beranak disini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan pengobatan secara turun temurun terutama yang mempunyai keterampilan menolong persalinan. Dukun beranak sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dan biasa dipanggil "sanro" sesuai bahasa Bugis yang merupakan bahasa sehari-hari masyarakat Desa Tanjung Limau. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) Dukun beranak biasa dipanggil datang ke rumah si ibu hamil untuk melakukan pemijatan agar posisi bayi dalam kandungan tidak sungsang sehingga si ibu dapat melahirkan secara normal. Pemijatan juga dilakukan bila si ibu mengalami cidera fisik yang dapat mempengaruhi posisi bayi dalam kandungan, misalnya terjatuh saat hamil. Masa kehamilan dan kelahiran juga dianggap sebagai masa krisis yang berbahaya, baik bagi janin maupun bagi ibunya. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) Karena itu sejak bayi masih dalam kandungan hingga sesudah kelahirannya, para kerabat mengadakan serangkaian upacara bagi wanita hamil, dengan tujuan mencari keselamatan bagi diri si ibu dari bayinya saat berada dalam kandungan hingga saat lahirnya. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008) Kepercayaan ini juga diadopsi oleh sebagianbesar masyarakat desa Tanjung Limau. Upacara adat yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu hamil di desa Tanjung Limau dilangsungkan terutama pada saat kehamila mencapai usia tujuh
  • 13. 9 bulan kehamilan. Menurut adat Bugis upacara ini disebut Maccera Wettang yang artinya mengurut perut. (Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike, 2008). C. Perawatan kelahiran dan budaya Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993). Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu sepertirebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil. Masyarakat Dayak Ngaju meyakini bahwa masa kehamilan memerlukan upcara khusus. Ritual tersebut dilakukan ketika seorang ibu positif hamil dan ketika usia kandungan tiga bulan, tujuh bulan dan sembilan bulan. Ritual untuk usia kandungan tiga bulan disebut PALETENG KALANGKANG SAWANG, ritual ini bertujuan agar ibu yang hamil tidak diganggu oleh roh jahat dari dalam air. Ritual usia kandungan tujuh bulan disebut NYAKI EHET atau NYAKI DIRIT, yang hakikatnya untuk memilih leluhur mana yang akan menyertai dan melindungi ibu dan anakn dikandungannya. Kemudia ritual pada usia kandungan sembilan bulan disebut MANGKANG KAHANG BADAK, bertujuan agar bayinya tidak lahir prematur.
  • 14. 10 PALETENG KALANGKANG SAWANG Sebagai tanda permohonan agar persalinan berjalan normal, dipasanglah lilitan seperti stagen dari kuningan berisi manik-manik dan dilingkarkan di pinggang ibu. Syarat-syarat ritual untuk semua usia kandungan adalah hewan kurba (ayam dan babi), manik-manik untuk ehet, tambak, behas tawur, sesajen dan manik lilis dan manas untuk dipasang pada ibu hamil. Untuk prosesi kelahiran ada satu proses yang unik dimana posisi sang ibu tubuhnya miring, kepalanya dibagian atas dan kakinya dibagian bawah. Sang ibu dibaringkan di suatu tempat yang disebut SANGGUHAN. Petugas yang membantu proses persalinan biasanya bidan kampung atau dukun. Kelengkapan proses melahirkan berupa; tempat ari-ari / KUSAK TABUNI, pemotong tali pusar / SEMBILU, tempat bersalin / SANGGUHAN MANAK, tempat pakaian / SAOK, tempat menyimpan air panas, parafin, tempat air untuk memandikan bayi / KANDARAH dll Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan brokohan. Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat,bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya. Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus
  • 15. 11 terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan. Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagaiproses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya,penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayidan ibunya. Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya. D. Perawatan yang diberikan pada ibu post natal adalah sebagai berikut: 1) Setelah melahirkan, ibu harus cukup istirahat. Delapan jam setelah melahirkan, ibu harus tidur telentang untuk mencegah perdarahan. Setelah itu ibu boleh miring ke kiri atau ke kanan untuk mencehag trombosis. 2) Ibu dan bayi ditempatkan pada tempat yang sama supaya terjalin kontak fisik dan psikis (kejiwaan) yang erat. Hal ini juga akan memudahkan dalam melakukan aktivitas menyusui. 3) Makanan yang diberikan harus sehat, cukup kalori, protein, dan serat (sayur, buah). 4) Dianjurkan untuk memeriksakan diri enam pekan setelah melahirkan. Pemeriksaan dilakukan untuk melihat keadaan umum ibu secara menyeluruh dan menindaklanjuti jika ada keluhan setelah melahirkan. (Andriyani, 2012). Pendapat masyarakat Suku Dayak Sanggau kalimantan tentang lama waktu setelah melahirkan ibu boleh beraktivitas juga bervariasi. Ada yang berpendapat jika sehat ibu dapat langsung bergerak, ada juga yang berpendapat setelah tiga hari baru boleh bergerak, tetapi sebagian besar menyatakan bahwa
  • 16. 12 setelah melahirkan langsung dapat melakukan aktifitas seperti biasanya, seperti yang diungkap informan DKT ibu usia subur: “..tiga hari baru boleh jalan biar kuat” “..kalau saya langsung jak jalan yang penting kuat” Pendapat mereka tentang obat-obatan cenderung pada ramuan tradisional yang diberikan oleh bidan kampung seperti minuman yang terbuat dari campuran tuak, liak (jahe) dan gula. Tujuannya agar badan hangat sehingga darah dan darah beku dapat cepat keluar dan air susu lancar. Namun ada juga yang minum kopi supaya badan hangat dan tidak lemah. Selain minuman, mereka juga memberikan bedak yang terbuat dari kunyit, liak, dan kencur pada perut ibu dengan tujuan agar kandungan cepat kembali muda, seperti yang dikatakan informan DKT ibu usia subur: “.. kalau habis melahirkan dikasih minum air liak dicampur tuak...biar badan panas..darah kotor cepat keluar” “...iya biar badan panas dan air susu cepat keluar” “... minum kopi biar badan kuat nda lemah..” Menurut masyarakat, makanan yang baik untuk ibu nifas adalah makan nasi dicampur garam dan sayur daun bungkal, selain itu dapat ditambah ikan asin atau ikan teri. “....kalau habis melahirkan hanya makan nasi pakai garam dan daun bungkal” Masyarakat Suku Dayak Sanggau tidak mempunyai konsep hubungan suami istri setelah melahirkan yang jelas. Hubungan suami istri bisa dilakukan, seminggu, dua minggu atau satu bulan setelah melahirkan, seperti pernyataan informan DKT ibu usia subur berikut: “...biasanya sebulan sesudah melahirkan..” “...kalau menurut saya dua minggu..” “...seminggu gak boleh kalau suaminya mau gimana..” E. Genetik dan budaya yang diturunkan di kalimantan Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mempunyai sebuah kearifan lokal yang disebut sebagai falsafah Huma Betang atau budaya Betang. Kearifan lokal ini termuat dalam Peraturan daerah kota Palangkaraya tahun 2008 yang kemudian direvisi menjadi tahun 2009. Perda tersebut menjelaskan tentang perilaku hidup yang menjunjung tinggi perilaku yang berlandaskan pada falsafah Huma Betang, agar dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang aman, rukun, damai dan hidup berdampingan demi terciptanya kesejahteraan bersama.Kebermaknaan falsafah Huma Betang bagi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah yaitu terdiri dari empat bagian utama, yaitu nilai kebersamaan, kejujuran, kesetaraan dan
  • 17. 13 toleransi, namun secara umum diantara dapat dipahami bahwa dari keempat nilai tersebut nilai toleransi adalah yang memiliki nilai yang paling utama dari falsafah Huma Betang. Nilai toleransi ini telah mencakup semua nilai-nilai pada falsafah Huma Betang karena itu kebermaknaan falsafah Huma Betang bagi masyarakat Dayak memiliki tujuan agar terciptanya masyarakat yang aman, damai, harmonis tanpa perpecahan atau hal-hal yang dapat merusak kesatuan dan persatuan masyarakat Kalimantan Tengah.Konselor memiliki kesadaran multikultural yang kuat dan pemahaman yang mendalam tentang asas budaya, hal ini akan mewujudkan kompetensi konselor yang sadar akan budaya, kompetensi multikultural pada konselor dianggap memiliki peran penting dalam menjalankan tugas sebagai konselor di sekolah, yaitu dengan memahami ciri atau pola kebudayaan suku Dayak yang ada di Kalimantan Tengah.Kompetensi multikultural pada konselor memiliki tujuan utama yaitu memahami keragaman budaya yang ada pada konseli, dengan nilai-nilai budaya Dayak Kalimantan Tengah konselor dapat belajar dan menyerap nilai-nilai budaya tersebut untuk diimplementasikan di sekolah, karena nilai-nilai budaya Dayak yang Universal dan mengandung unsur nilai Bhinneka Tunggal Ika.13 F. Sterilisasi dan keluarga berencana dalam budaya di Kalimantan Peran Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana dalam pelaksanaan program KB melalui pelaksanaan program dan sosialisasi masih belum optimal karena masih terkendala oleh faktor sumber daya manusia yang kurang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sarana dan prasarana yang kurang memadai, sehingga jumlah PUS yang tidak ikut KB semakin bertambah banyak. Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten Tanah Laut adalah a) Internal : sumber daya petugas yang masih kurang, tingkat frekuensi sosialisasi yang rendah, keterbatasan keterjangkauan, kemampuan petugas masih kurang, sarana prasarana serta fasilitas yang belum begitu baik. b) faktor ekksternal : rasa pesimis masyarakat, rendahnya pengetahuan akan alat kontrasepsi, kurangnya partisipasi maysarakat dalam pelaksanaan program KB.
  • 18. 14 Berdasarkan hal-hal di atas maka alternatif yang perlu dilakukan diantaranya adalah mengelola KB secara profesional, yaitu selain dengan melaksanakan kerjasama dan koordinasi antar instansi pemerintah Kabupaten Tanah Laut yang terkait dengan program KB, serta melakukan kolaborasi antara pemerintah dan institusi masyarakat/ LSM, kader yang bergerak dalam pengendalian kependudukan, juga dilakukan dengan penigkatan mutu kader KB yaitu dengan memberikan pendidikan dan pelatihan. Selanjutnya lebih intens melakukan sosialisasi dengan pelibatan setiap desa, sosialisasi bukan hanya wewenang kecamatan namun juga dijadikan wewenang desa, sehingga desa turut memiliki tanggung jawab terhadap PUS yang ada di wilayah desa itu sendiri. Program lainnya dengan cara promosi penggunaan alat kotrasepsi melalui iklan di media massa kepada pasangan usia subur yang sudah terikat dalam pernikahan, dengan menjadikan seseorang yang memiliki pengaruh besar seperti tokoh agama, tokoh masyarakat dan pejabat publik lainnya dalam mempromosikan penggunaan alat KB. Apabila dimungkinkan pelayanan alat kontrasepsi secara gratis kepada pasangan yang sudah menikah tidak hanya pada pil KB dan kondom saja tetapi juga alat kontrasepsi baik hormonal maupun non- hormonal sehingga peran serta masyarakat dalam ber-KB dapat meningkat. Selanjutnya agar menambah motivasi dam memberikan reward kepada petugas KB perlu dilakukan penambahan/kenaikan insentif, mengoptimalkan sarana prasarana yang ada dengan melakukan perawatan kendaraan atau apabila memiliki anggaran yang cukup mengusulkan tambahan kendaraan yang proporsional sesuai wilayah kerja yang harus di layani, termasuk memperbaiki ruang tunggu yang representatif bagi pelayanan KB. G. fertility dan infertility dalam konteks budaya di Kalimantan Istilah fertilitas atau kesuburan adalah suatu kemampuan atau hasil reproduksi seorang wanita atau sekelompok wanita. Indikasi dari fertilitas seorang perempuan adalah diawali dengan dia hamil atau mengandung sampai melahirkan seorang bayi. Walaupun pada saat dia mengandung sempat atau mengalami keguguran (pendarahan). Disamping istilah fertilitas ada juga istilah fekunditas
  • 19. 15 (fecundity) sebagai petunjuk kepada kemampuan fisiologis dan biologis seorang perempuan untuk menghasilkan anak lahir hidup. Sedangkan jika di dalam masyarakat seorang perempuan (ibu) tidak dapat melahirkan anak maka dikatakan infertil (mandul). Ketidakmampuan wanita untuk hamil membuat wanita sering mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan bila dibandingkan dengan pria. Kecemasan adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan (Stuart, 2016). 74,6% wanita infertil dilaporkan mengalami perubahan suasana hati, merasa tidak berdaya karena durasi infertilitas yang dialaminya (Ramezanzadeh et al., 2004). Wanita infertil merasa berkurang feminitas yang dapat mengganggu harga diri dan citra dirinya sedangkan perasaan cemas membuat mereka sulit untuk berbagi perasaan dengan kerabat, sehingga muncullah perasaan kesepian dan tertekan, yang lebih lanjut membuat mereka menarik diri atau mengisolasi diri (Sultan & Tahir, 2011). Cemas yang dialami wanita infertil memiliki tingkatan yang berbeda-beda mulai dari yang tidak mengalami kecemasan sampai pada batas panik. Penduduk di Kabupaten Sanggau terdiri dari berbagai suku dengan suku mayoritas adalah suku Dayak, Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Suku Dayak Sanggau sebagian besar tinggal di daerah pedalaman yang sulit dijangkau dengan alat transportasi baik darat maupun sungai.Mata pencaharian suku ini sebagian besar adalah petani dan buruh perkebunan, sedangkan tingkat pendidikan mereka masih sangat rendah, sebagian besar tidak tamat SD.7 Masyarakat Suku Dayak Sanggau masih menjunjung tinggi adat istiadat yang terlihat pada terpeliharanya hukum dan lembaga peradilan adat. Melalui lembaga peradilan ini berbagai masalah sengketa internal dan eksternal yang timbul di masyarakat dapat diselesaikan. 7 Uraian di atas mengindikasikan bahwa ada pratek budaya di dalam masyarakat yang dapat membahayakan kehamilan, persalinan dan nifas. Beberapa istilah lokal yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas pada masyarakat Suku. Dayak Sanggau antara lain adalah: Ngidam
  • 20. 16 (ngeraah),kaki bengkak selama hamil (bosu,muntut), serotinus (kandung babi), keguguran (mulus, kelabuh), presentasi bokong (lipat kajang) presentasi kaki (turun tangga) (Lihat tabel 1) Praktek budaya pada kehamilan,persalinan, dan nifas masyarakat Suku Dayak Sanggaupada dasarnya adalah tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu upaya kesehatan diluar ilmu kedokteran. Pada penelitian ini praktek budaya dilihat dari variabel pengetahuan, kepercayaan dan persepsi masyarakat Suku Dayak Sanggau termasuk praktek tradisional yang dilakukan oleh dukun bayi yang lebih dikenal dengan bidan kampung.  Pengetahuan tentang Kehamilan Pengetahuan tentang kehamilan mencakup tanda-tanda kehamilan, pemeriksaan kehamilan, makanan, dan obat-obat yang berpengaruh terhadap kehamilan. Pengetahuan masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang tanda-tanda kehamilan bervariasi, umumnya mereka menyebutkan “pembesaran perut” karena dalamnya ada bayi yang disertai “ngeraah” (ngidam). Beberapa menyebutkan “tidak datang bulan” , “lemah badan”, “ pusingpusing” (sakit kepala) dan tidak ada nafsu makan, seperti yang diungkapkan informan DKT ibu usia subur: “....tandanya perut besar ada anak kecil di dalam perut.....” “....ngeraah, pusing-pusing...” “.... badan lemah nda ada nafsu makan..” “...nda dapat min lagi..” Pengetahuan masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang pemeriksaan kehamilan yang bervariasi dapat dikelompokan menjadi: ketersediaan tenaga, segi manfaat dan sesuai kebutuhan (situasional). Dari segi ketersediaan tenaga masyarakat sebenarnya tahu dan mau memeriksakan kehamilan ke bidan. Pada umumnya mereka menyatakan selama hamil paling tidak harus memeriksakan kehamilan sebanyak 3-4 kali. Pemeriksaan kehamilan ke bidan kampung biasanya dilakukan untuk meluruskan letak bayi melalui teknik mengangkat kandungan seperti hasil wawancara mendalam dengan informan ibu hamil sebagai berikut:
  • 21. 17 “... kame’ mau bah periksa ke bu bidan, tapi bu bidan bah jarang ada di sini jadi terpaksa kame nda periksa......biasa 3 sampai 4 kali bah kame’ periksa selama hamil” Dari segi manfaat, masyarakat Suku Dayak Sanggau menganggap bahwa pemeriksaan kehamilan dapat menyehatkan bayi dan ibunya, memperlancar proses persalinan, diungkapkan oleh informan ibu hamil sebagai berikut: “.. ya.. biar sehat bayinya dan juga ibunya lah ...” Pengetahuan masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang makanan yang sehat selama masa kehamilan dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu aspek jenisdan aspek jumlah makanan. Dari segi jenisnya, makanan yang dianggap sehat untuk ibu hamil adalah sayuran hijau, ikan dan daging, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan ibu hami sebagai berikut: “... yang bagus tu.. sayur yang hijau-hijau macam daun ubi..” “... ikan kalau ada juga bagus” Dari segi banyaknya makanan yang dimakan masyarakat Suku Dayak Sanggau sebagian besar beranggapan bahwa ibu hamil harus banyak makan, alasan masyarakat karena makanan tersebut untuk dua orang yaitu ibu dan bayinya, seperti yang dikatakan informan bidan kampung sebagai berikut: “.. ibu hamil tu harus banyak makan biar kuat kerja karena yang makan berdua ibu dan anaknya bah..”  Pengetahuan tentang Nifas Pengetahuan masyarakat tentang masa nifas meliputi aspek waktu, mobilisasi, obat-obat, makanan, dan hubungan seksual. Masyarakat Suku Dayak Sanggau tidak mengenal istilah nifas karena itu digunakan istilah masa setelah melahirkan. Menurut masyarakat Suku Dayak Sanggau lamanya masa nifas bervariasi ada yang menyatakan satu minggu, dua minggu dan satu bulan mereka tidak tahu secara pasti berapa lamanya masa nifas, seperti diungkap informan DKT ibu usia subur sebagai berikut:
  • 22. 18 “... seminggu ..” “.. sebulan bah..” “...bisa gak dua minggu..” Pendapat masyarakat Suku Dayak Sanggau tentang lama waktu setelah melahirkan ibu boleh beraktivitas juga bervariasi. Ada yang berpendapat jika sehat ibu dapat langsung bergerak, ada juga yang berpendapat setelah tiga hari baru boleh bergerak, tetapi sebagian besar menyatakan bahwa setelah melahirkan langsung dapat melakukan aktifitas seperti biasanya, seperti yang diungkap informan DKT ibu usia subur: “..tiga hari baru boleh jalan biar kuat”  Kepercayaan tentang Kehamilan Kepercayaan masyarakat Suku Dayak Sanggau pada saat hamil meliputi pantangan dan anjuran. Pantangan yang dilakukan masyarakat yang berhubungan dengan ibu hamil meliputi pantang makan dan pantang perbuatan. Pantangan makan pada saat hamil menurut masyarakat Suku Dayak Sanggau tidak terlalu banyak mereka hanya melarang ibu hamil untuk tidak makan daging binatang yang hidup didalam lobang seperti trenggiling, daging ular dan daging labi-labi (sejenis kura-kura) dengan alasan takut kalau melahirkan akan susah keluar (persalinan macet). Keyakinan tersebut didapatsecara turun temurun dan harus ditaati agar tidak terkena badi (kualat atau dampak melanggar pantang), seperti pendapat informan: “...yang nda boleh makan daging labi-labi, ular, tenggiling nanti kena badinya..anaknya susah lahir” Pantangan perbuatan menurut masyarakat meliputi perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh suami maupun istri yang sedang hamil. Perbuatan yang tidak boleh dilakukan istri seperti duduk ditengah lawang (pintu), duduk di tangga, menjahit bantal, merendam pakaian, dan duduk diatas lesung. Pantangan yang tidak boleh dikerjakan suami adalah memasang pukat (jaring untuk menangkap ikan), memasang tajur (pancing), mengisi peluru, menambal perahu, menangkap binatang yang hidup dalam lobang dan membendung parit (anak sungai) dan
  • 23. 19 sawah. Alasan dilakukan pantangan tersebut agar ibu melahirkan dengan lancar, seperti yang disampaikan informan ibu hamil: “....banyak pantangnya nda boleh duduk di lawang, duduk dilesung, menjahit bantal.....kalau suami nda boleh najur, masang pukat....pokoknya banyak bah” Anjuran yang harus dipatuhi masyarakat Suku Dayak Sanggau adalah ibu hamil harus banyak bekerja tidak boleh banyak tidur karena diyakini kalau banyak tidur bayinya akan lengket pada tulang belakang ibu sehingga akan susah waktu melahirkan.  Persepsi tentang Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Persepsi masyarakat terhadap kehamilan, persalinan dan nifas adalah pandangan masyarakat terhadap bahaya kehamilan, bersalin dan nifas juga pandangan terhadap kejadian kematian ibu. Masyarakat Suku Dayak Sanggau mempunyai pandangan tersendiri terhadap bahaya kehamilan, persalinan dan nifas. Menurut sebagian besar informan saat yang berbahaya adalah saat melahirkan karena pada saat itu ibu bisa mengalami perdarahan, persalinan macet, sedangkan pada saat hamil dan nifas tidak berbahaya karena hamil dan nifas bersifat alami. Tetapi ada sebagian kecil informan yang mengatakan bahwa hamil, bersalin dan nifas berbahaya. Menurut mereka pada saat hamil jika ibu tidak sehat nantinya susah melahirkan, sedangkan pada saat melahirkan bahaya jika terjadi perdarahan, partus macet. Pada masa nifas berbahaya karena badan lemah, demam. “..yang bahaya tu waktu melahirkan bisa mati, tapi kalu hamil sih nda..kan udah biasa perempuan hamil” Sedang persepsi masyarakat terhadap kejadian kematian ibu mereka berpandangan bahwa kalau ibu mati itu sudah ajalnya, sudah waktunya, mereka memandang dari sudut agama. “..itulah kalau mati sudah panggilan tuhan” H. Aborsi dalam konteks budaya Dewasa ini, kita melihat aborsi sebagai perilaku masyarakat terkhusus pada remaja, yaitu sebuah penyimpangan sosial yang berawal dari salah satu
  • 24. 20 faktor, yakni minimnya pengetahuan akan pendidikan seks atau seks Education, sehingga menimbulkan ketidakmapanan remaja yang melakukan tindakan seks diluar nikah dan berdampak kehamilan terlalu dini. Kasus ini dipandang sebagai suatu kecacatan dimana para pelaku melakukan solusi dengan mengugurkan kandungan tersebut dengan menomorduakan resiko yang ditanggung, mulai dari kerusakan organ vital atau kelamin si wanita hingga resiko kematian. ‘Jalan pintas’ ini menjadi sebuah trend yang berkembang dan melekat pada cara pandang masyarakat kekinian, sehingga membentuk budaya negatif di masyarakat. Lalu, bagaimana Aborsi bisa mencapai ke tingkat kesadaran masyarakat hanya mencakup suatu penyimpangan sosial dan dengan mudah melabelkan Aborsi sebagai tindakan yang tidak manusiawi? Paradigma seperti itu lambat laun menjadi realita dimana dalam pengecapan atau peresmian suatu aktivitas rutin manusia dengan berbahasa menciptakan suatu realitas sosial (Brouwer, 1983:64). Pengetahuan tentang Persalinan dan kegueguran (Aborsi) Pengetahuan tentang persalinan meliputi: tanda-tanda persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, kelainan selama persalinan, dan obat-obatan. Tanda-tanda persalinan yang diketahui oleh masyarakat Suku Dayak Sanggau meliputi keluar lendir darah atau calak, perut mulas, sakit pinggang, pecah air ketuban atau piying ntutup. Menurut mereka, tanda-tanda tersebut akan muncul ketika saat melahirkan sudah tiba, yang biasanya terjadi pada usia kehamilan 9 bulan dan 10 hari atau 40 minggu, seperti dinyatakan oleh informan DKT ibu usia subur: “...tandanya keluar calak, perut mulas....biasa umur 9 bulan 10 hari..” “...sakit pinggang gak, perut mulas trus keluar piying ntutup..” Hampir semua informan menyatakan bahwa penolong persalinan adalah dukun bayi yang mereka sebut (bidan kampung). Setiap persalinan umumnya ditolong oleh tiga orang bidan kampung dengan tugas yang berbeda, yang meliputi pendorong perut ibu, pemegang ibu dan penerima bayi. Bagi orang Dayak, aturan lalu lintas hidup bagi seseorang dengan orang lain atau sesama dan pribadinya lazim disebut adat istiadat. Makna yang terkandung dalam adat istiadat dapat berupa hukum, budaya adat, kepercayaan
  • 25. 21 adat dan bahasa adat. Hukum adat dalam suku Dayak Kalai dapat diartikan pada sebuah peraturan yang mengatur hubungan antara orang seorang dengan orang lain atau orang seorang dengan makhluk sekitar, yang dulunya tidak tertulis, apabila dilanggar dikenakan sangsi hukuman dan sangsi adat. Hukum adat ini meliputi aturan lalu lintas hidup yang mulai dari sejak di dalam kandungan sampai pada kematian yang dapat dipisahkan. Dalam hal pemidanaan suku Dayak Kalai disebut dengan hukum adat berdarah merah (pidana). Dalam menyelesaikan perkara hukum adat orang Dayak Kalai mengenal suatu lembaga yang sah diakui dan diangkat oleh masyarakat persekutuan itu sendiri. Menurut Hukum Pidana adat suku Dayak Kalimantan Barat, jika terjadi sumbang didalam suatu daerah, maka perkara itu tidak boleh diputuskan oleh pasirah melainkan harus dibawa kepada rapat besar atau kepala suku sumbang besar mesti dihukum lagi buat pembasuh dusun seekor kerbau dan sumbang kecil seekor kambing, beras, kelapa dan lain sebagainya untuk keperluan sedekah yang cukup. Perzinaan antara pria dengan gadis atau janda jika tidak sampai hamil, maka pria dan wanita itu dihukum denda sampai tiga buah tajau. Tetapi jika sampai hamil, maka si pria di hukum denda sampai tiga buah tajau dan mereka segera dikawinkan. Istilah hamil gelap atau bunting gelap dipergunakan untuk menunjukkan kesalahan wanita mengandung anak yang tidak diketahui siapa pria yang membuahinya. Menurut hukum adat suku tersebut, dimasa lampau wanita yang hamil gelap dihukum buang, karena terjadi perbuatan sumbang atau mengampang atau dipaksa harus kawin dengan seorang lelaki agar anak yang lahir berbapak dan kerabat punyimbangnya didenda karena terjadi sumbang. Jika pria yang kawin bukan yang membuahi sianak maka anak yang lahir disebut anak kappang dan jika pria yang kawin memang ia yang membuahinya maka anak yang lahir disebut kappang tubas30. Di dalam Hukum Pidana adat suku Dayak Kalai dikatakan jika ada wanita yang hamil gelap harus dikawinkan dengan seseorang. Kemudian punyimbangnya harus membayar denda satu buah tajau dan jika lelaki yang kawin itu adalah yang membuahi wanita itu, maka iapun dikenakan denda tiga puluh tajau. Di
  • 26. 22 Kabupaten Ketapang wanita yang hamil gelap dihukum denda sampai tiga buah tajau dan jika ia naik kerumah seseorang pria tanpa izin yang punya rumah untuk melahirkan anaknya, maka ia dihukum membayar tiga buah tajau kepada yang punya rumah. Selanjutnya jika yang hamil gelap itu adalah isteri orang, maka hukumannya denda sampai tiga buah tajau serta harus membayar kepala suku adat yaitu sebuah guci, seratus mangkok serta menanggung harta benda. Dalam pidana adat suku Dayak disini, Jika ada wanita yang melahirkan anak ngampang yang perbuatannya itu terbukti dengan adanya saksi, maka suku (kerabat) wanita itu dikenakan hukuman denda empat buah sampai tiga buah loso. Cara membagi denda dalam persidangan adat adalah tiga kali lima puluh dari harga guci tersebut dan tiga buah tajau sampai lima puluh tajau diperuntukkan semua anggota adat yang hadir memutuskan perkara. Sisanya lima puluh dari harga guci dan satu mangkok diperuntukkan kerabat yang mengampang. Sebelum semua denda tersebut dibayar, maka yang bersangkutan dilarang bercampur gaul dengan anggota adat, oleh karena yang bersangkutan dianggap seperti binatang. Hukuman denda tersebut diadakan apabila sidang keberatan untuk menjatuhkan hukuman. Jadi kalau yang ngampang itu tidak mampu membayar denda tersebut, maka yang harus membayar adalah punyimbangnya dan si pelaku dikeluarkan dari pandangan umum dan para kerabat ahli warisnya lepas tangan terhadap orang itu. Kemudian punyimbangnya memberikan satu buah guci untuk menerangkan kepada umum bahwa orang yang bersalah itu telah diusir seperti binatang. Dengan demikian maka pepadun punyimbangnya itu tidak lagi terbalik. Pada umumnya perbuatan zina diantara anggota keluarga adalah perbuatan yang sangat keji. Dilingkungan masyarakat adat suku Dayak Kalimantan Barat, jika ada keluarga yang berbuat zina diantara mereka, berarti ia merusak bumi adatnya atau merusak tahta kepunyimbangan. I. Aplikasi askep peka budaya pada prenatal di Kalimantan “TradisiMasyarakatSuku Dayak MenyambutKelahiranBayi” Menjelang persalinan membutuhkan beberapa perlengkapan khusus, demikian pula bagi Suku Dayak ada beberapa perlengkapan suku dayak menjelang persalinan atau
  • 27. 23 proses melahirkan yang harus dipersiapkan sedemikian rupa untuk menggelar beberapa ritual atau upacara adat suku Dayak dalam menjelang dan menyambut kelahiran seorang bayi. Kultur budaya suku Dayak Kalimantan Tengah menempatkan kaum wanita pada derajat yang tinggi. Tak heran, kedudukan wanita dalam masyarakat dayak memang spesial, kaum perempuan selalu mendapatkan perhatian penuh, terlebihsaat proses menjelang persalinan. Fase Melahirkan dalam budaya Suku Dayak mengisyaratkan perlunya sejumlah persiapan termasuk persiapan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan. Pada proses jelang melahirkan bayi atau Awau, sang calon ibu dibaringkan pada sebuah dipan kecil dengan posisi miring terbuat dari kayu yang disebut Sangguhan dengan motif ukiran Dayak di masing-masing sisi. Kemudian saat melahirkan,disiapkan pula Botol Mau sebagai tempat untuk menungku peru tibu agar darah kotor cepat keluar. Selain sebagai perlengkapan suku dayak menjelang persalinan Botol Mau ini juga digunakan untuk menyiman air panas. Selanjutnya, keluarga yang melahirkan juga perlu menyiapkan Kain Bahalai (JarikdalambahasaJawa) dengan lapisan yang berbeda. Tujuh lapis kain bahalai saat menyambut bayi laki-laki dan lima lapis kain bahalai untuk bayi dengan jenis kelamin perempuan. Walaupun sebagai peralatan penunjang, keberadaannya dalam persiapan prosesI persalinan menurut budaya Suku Dayak mutlak diperlukan. Pada fase ketika bayi telah lahir, maka tali pusar atau ari ari bayi dipotong menggunakan sebuah sembilu. Untuk tahap pertama dan pemotongan terakhir ari- ari dengan uang ringgit. Kedua perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut disiapkan sejak awal dalam sebuah piring atau Paraten. Sedangkan ari-ari yang terpotong tadi disimpan di dalam Kusak Tabuni. Bayi (awau) yang baru lahir dimandikan dalam Kandarah, dan popok bayi yang digunakan disimpan dalam Saok. Bagi sang ibu setelah melahirkan biasa menggunakan Stagen (BabatKuningan) untuk mengikat perut agar mengembalikan perut ibu ke kondisi semula dengan cepat. Tentu nya untuk menjaga tubuh ibu setelah melahirkan dan juga berfungsi untuk berjaga-jaga dalam kondisi yang tidak terduga seperti sulitnya bayi keluar,
  • 28. 24 masyarakat Dayak memiliki cara yang khas dan bernuansa magis, yakni menggunakan buah kelapa yang bertunas untuk kemudian disentuhkan kearah selaput bayi. Tujuan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut adalah agar dapat membuka ruang sehingga bayi dapat keluar dengan mudah.
  • 29. 25 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Unsur sosio budaya mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi budaya . Unsur-unsur tersebut adalah sistem-sistem kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude). Ketiga unsur utama ini mempengaruhi persepsi dan makna yang dibangun dalam persepsi, unsur-unsur tersebut mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subyektif. B. Saran Semoga kekurangan yang ada makalah ini dapat disempurnakan dan dapat menjadi acuan perawat dalam memeberikan asuhan keperawatan.
  • 30. 26 DAFTAR PUSTAKA  Puji, Lelay Nangkai. Nilai Budaya Dalam Tradisi Lisan Pernikahan Adat Dayak Maanyan Di Kalimantan Tengah (Cultural Value In Oral Tradition Of Dayak Maanyan Customary Marriage In Central Kalimantan), Halaman 102 – 112.  Didapatkan dari : file:///C:/Users/Acer/Downloads/4815-9932-1- SM.pdf diakses tanggal 17 februari 2020  Nurrachmawati,Annisa ; Anggraeni, Ike (2008). Tradisi Kepercayaan Masyarakat Pesisir Mengenai Kesehatan Ibu Di Desa Tanjung Limau Muara Badak Kalimantan Timur Tahun 2008.  Didapatkan dari : https://drive.google.com/file/d/1DcQo94Hi_- 8U3cWixNXJhljfGUb-7Mwj/view?usp=drivesdk diakses tanggal 17 februari 2020.  Juriah. 2018 . Kepercayaan Dan Praktik Budaya Pada Masa Kehamilan Masyarakat Desa Karangsari, Kabupaten Garut. Junal ilmu-ilmu social dan humaniora. (20) (2)  Ginger, J. N. dan Davidhizar (1995). Transcultural Nursing: Assessment and Intervention. St.  Louis: Mosby, hal 1-157.  Dody Riswanto1, Andi Mappiare-AT2, Mohammad Irtadji2. KOMPETENSI MULTIKULTURAL KONSELOR PADA KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KALIMANTAN TENGAH  Rossy Lambelanova; Muhammad Buyung Ramadhan." Peran Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) dalam Melaksanakan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan"  Frater, Alison & Wright, Catherine. 1994. Dilema Abortus. Penerbit Arcan.
  • 31. 27  Boyle, Mary. 1997. Re-thinking Abortion: Psychology, Gender, Power and The Law. Routledge, 11 New Fetter Lane, London.  Sonjaya, J.A. 2010. Manusia Langit. Penerbit Buku Kompas.  Lubis, Mochtar. 1985. Transformasi Budaya Untuk Masa Depan. Inti Idayu Press Jakarta.  Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah.Penerbiat Tiara Wacana.  Freud, Sigmund. 2006. Deviant Love, Cinta yang Menyimpang. Penguin Books.