SlideShare a Scribd company logo
1 of 90
Download to read offline
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 i
ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
Pelindung:
Ketua Yayasan Jayabaya
Pembina:
Rektor Universitas Jayabaya
Prof. H. Amir Santoso, Ph.D
Penanggung Jawab:
Dekan FISIP Univ. Jayabaya
Drs. Erwin Zein, M.Si
Pemimpin Umum/
Pemimpin Redaksi:
Dr. Umar S. Bakry
Mitra Bestari:
Prof. Dr. Arry Bainus, MA
Prof. Yanyan M. Yani, Ph.D
Prof. Bob S. Hadiwinata, Ph.D
Prof. Suke Djelantik, Ph.D
Musafir Kelana, Ph.D
Redaktur Pelaksana:
Drs. Denny Ramdhany, M.Si
Sekretaris Redaksi:
Iin Sofyan, SE, MM
Dewan Editor:
Drs. Saiful Syam, MA, Ph.D
Dra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D
Drs. Subarno, M.Hum
Dra. Ambarwati, M.Si
Drs. Mansyur Kardi, M.Si
Sinta Julina, S.Sos, M.Si
Alamat Redaksi:
FISIP-HI Universitas Jayabaya
Jl. Pulomas Selatan Kav. 23
Jakarta Timur 13210
Telp/Fax: 021-4700903
HP 08111755379/0818718570
E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg
ISSN: 2087 – 7048
VOLUME 06 NOMOR 02 – 2016
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
(Hal. ii)
RUNTUHNYA INTEGRASI UNI EROPA?
(Hal. 81 – 95)
PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DALAM
POLITIK LUAR NEGERI: SEBUAH KAJIAN
IDIOSINKRATIK
(Hal. 96 – 114)
POKOK BAHASAN HUKUM INTERNASIONAL
DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUBUNGAN
INTERNASIONAL
(Hal. 115 – 131)
KAJIAN KOMUNIKASI GLOBAL
DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLITIK
LUAR NEGERI
(Hal. 132 – 150)
STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM
MENGHADAPI EVOLUSI KEAMANAN GLOBAL
CHINA
(Hal. 151 – 165)
PEDOMAN PENULISAN
(Hal. 166)
ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan
oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan
untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran-
pemikiranalternatifdalamIlmuHubunganInternasional.
Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan
peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit
dua kali (dua volume) dalam setahun.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016ii
PENGANTAR REDAKSI
AMITAV Acharya mengatakan bahwa studi Hubungan Internasional (HI) merupakan
salah satu disiplin akademis yang paling cepat pertumbuhannya (the fastest growing academic
disciplines), baik dalam hal pokok bahasan maupun metodologi yang digunakan. Ini terjadi
karena fenomena politik dunia dan masyarakat global yang menjadi objek kajian studi HI
berubah begitu cepat dan dinamis. Setiap perubahan yang terjadi dalam praktik hubungan
internasional (terutama perubahan-perubahan fundamental) tentu menuntut reorientasi dan
bahkan redefinisi dari teori-teori dan studi HI itu sendiri.
Jurnal Ilmu Hubungan Internasional ALTERNATIF edisi kali ini kembali menyajikan
beberapa tulisan yang terkait dengan perubahan atau dinamika hubungan internasional yang
berimplikasi pada studi HI. Tulisan pertama berjudul “Runtuhnya Integrasi Uni Eropa?”
merupakan refleksi pemikiran dari Asrudin Azwar tentang perkembangan terbaru Uni Eropa
terkait dengan keluarnya Inggris (Brexit) dari unit politik tersebut serta fenomena kebangkitan
kembali nasionalisme di negara-negara Eropa. Fenomena ini oleh banyak peneliti HI dianggap
sebagai kemunduran integrasi Eropa, tetapi Asrudin Azwar mencoba melihat dari perspektif
yang berbeda.
Tulisan Gema Nusantara Bakry berjudul “Kajian Komunikasi Global dan Pengaruhnya
terhadapPolitikLuarNegeri”memberikanalternatifsebuahpendekatanbarudalammenganalisis
politik luar negeri suatu negara, yakni global communication approach, yang belum banyak
dioptimalkan oleh para penstudi HI di Indonesia. Sedangkan karya Lastika Kusumardhani
berjudul “ Strategi Amerika Serikat dalam Menghadapi Evolusi Keamanan Global China”
menyoroti dinamika keamanan regional di Asia-Pasifik yang memanas sehubungan dengan
bangkitnya kekuatan militer China. Sementara tulisan karya Umar Suryadi Bakry (Pengaruh
Faktor Individu dalam Politik Luar Negeri) dan artikel Muhammad Ikhwan Hakiki (Pokok
Bahasan Hukum Internasional) lebih ditujukan untuk membahas studi HI dari aspek teoritis.
Semoga seluruh artikel yang kami sajikan dalam ALTERNATIF edisi kali ini
bermanfaat bagi para pembaca dan komunitas studi HI pada umumnya. Salam!
• Redaksi
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 81
RUNTUHNYA INTEGRASI UNI EROPA?
Oleh: Asrudin Azwar
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
E-mail: d_asrudian@yahoo.co.id
ABSTRACT
Speaking of European Union (EU), narrations appearing on some International Relations
(IR) literature mostly reveal the success of EU integration. Only a few of them talk about the failure
of EU integration. The literature frequently cited by IR researchers to measure EU integration are
still referring the old writings of David Mitrany, Ernst B. Haas, Karl Deutsch, Joseph Nye, etc.
Therefore, no wonder if IR researchers are always optimist about EU integration. This article seeks
not to follow the most IR researcher’s grip and would like to begin from skepticism. From the current
tendencies, the author refuses to say that EU had been succeeded on its integration. This refusal was
based on the case of England’s resignation from EU or Britain Exit (Brexit), and also by the rise of
European country’s nationalism that joined in EU. From those cases, the author wants to show that
EU integration’s cohesion is threatened, more precisely lead to collapse.
Keywords: integration, European Union, nastonalism, Brexit, international relations.
ABSTRAK
Berbicara tentang Uni Eropa (EU), narasi yang muncul pada beberapa literatur Hubun-
gan Internasional (HI) sebagian besar mengungkapkan keberhasilan integrasi Uni Eropa. Hanya
beberapa dari mereka berbicara tentang kegagalan integrasi Uni Eropa. Literatur yang sering diku-
tip oleh peneliti-peneliti HI untuk mengukur integrasi Uni Eropa masih mengacu tulisan-tulisan
lama dari David Mitrany, Ernst B. Haas, Karl Deutsch, Joseph Nye, dll. Oleh karena itu, tak heran
jika para peneliti HI selalu optimis tentang integrasi Uni Eropa. Artikel ini berusaha untuk tidak
mengikuti pakem dari kebanyakan peneliti HI dan ingin mengawalinya dari skeptisisme. Dari
kecenderungan saat ini, penulis menolak untuk mengatakan bahwa Uni Eropa telah berhasil atas
integrasinya. Penolakan ini didasarkan pada kasus pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa atau
Britain Exit (Brexit), dan juga oleh kebangkitan nasionalisme negara-negara Eropa yang tergabung
dalam Uni Eropa. Dari kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa kohesi integrasi Uni
Eropa terancam, lebih tepatnya mengarah pada keruntuhan.
Kata kunci: integrasi, Uni Eropa, nasionalisme, Brexit, hubungan internasional.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201682
PENDAHULUAN
Kajian tentang integrasi UE memang selalu menarik untuk dikupas. Karena
kajian tentang ini dinilai banyak teoretikus HI paling sesuai dengan khittah-nya ilmu
HI, yaitu untuk menciptakan perdamaian dunia. Bahkan kesuksesan integrasi UE
ini, kata Mohtar Mas’oed, telah melampaui apa yang sudah dilakukan oleh organisasi
internasional manapun, termasuk PBB.
Pada buku yang disunting oleh Wisnu Tri Hanggoro, Johnly E.P. Poerba, dan
Andreas Harsono, Perang, Militerisme, dan Tantangan Perdamaian, Mohtar misalnya
dengan nada optimis menceritakan satu pengalaman penciptaan perdamaian di Eropa
yang jalannya agak fungsionalis, yaitu dengan penciptaan kerja sama dalam bidang-
bidang teknis, sebisa mungkin nonpolitis sehingga orang tidak lagi berbicara tentang
kedaulatan. Dari situ mereka secara bersama-sama menghadapi persoalan-persoalan
yang sifatnya supra-internasional. Di Eropa pada waktu itu mulainya dengan kerja
sama di dua bidang, yaitu energi batubara dan baja. Kerja sama semacam inilah yang
kemudian menjadi sangat beragam, sehingga memunculkan apa yang kita kenal sebagai
Masyarakat Eropa.1
Kini menjadi Uni Eropa.
Selanjutnya Mas’oed menyinggung perubahan sosial dalam pengertian kondisi
dan presipitasi. Memang yang terjadi akhir-akhir ini, seolah-olah merupakan akibat
dari ulah para pemimpin. Padahal kondisi untuk itu, menurut penilaian Mas’oed sudah
ada sebelumnya, paling tidak sesudah Perang Dunia II. Ada dua negara yang selama
beratus-ratus tahun berperang, yakni Jerman dan Perancis. Tapi karena kondisinya
tidak memungkinkan mereka berperang, ya tidak berperang. Dan ketika kondisi itu
sudah siap, muncul percikan itu, presipitasi (precipitation). Dan percikan itu munculnya
dalam bentuk pilihan-pilihan para pemimpin. Munculnya pemimpin-pemimpin
seperti Helmut Kohl yang tidak melulu mendahulukan kepentingan nasional, tapi
kepentingan yang lebih luas, telah memunculkan suatu eksperimen perdamaian yang
paling besar di dunia. Ratusan tahun perang, namun kemudian dilupakan orang.2
Jadi, kalau kita ingin tahu yang konkrit, yakni bagaimana mengupayakan
perdamaian, tegas Mohtar, kita bisa melihatnya melalui pengalaman Eropa. Dan bagi
Mohtar kasus Eropa ini adalah proses yang sangat empirik dan jelas kontribusinya
terhadap perdamaian.3
1	 Mohtar Mas’oed dalam Wisnu Tri Hanggoro, Johnly E.P. Poerba, dan Andreas Harsono (eds.), Perang, Mi-
literisme, dan Tantangan Perdamaian, (Salatiga & Jakarta: Satya Wacana University Press & Gramedia Widi-
asarana Indonesia, 1994), hal. 101.
2	 Ibid, hal. 102.
3	 Ibid.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 83
Namun,kinisituasiekonomidanpolitikdinegara-negaraEropasudahberubah.
Terdapat sejumlah rintangan yang bisa menganggu kohesivitas negara-negara Eropa.
Dalam konteks itulah, penulis ingin membuka narasi yang berbeda dan jauh lebih
skeptis dari Mohtar.4
Penulis menilai bahwa terdapat masalah dalam proses integrasi di
UE, yang kemudian memicu lahirnya tuntutan dari warga negara-negara Eropa yang
tergabung dalam UE untuk melakukan referendum: bertahan di UE atau ke luar dari
UE. Masalah itu atau rintangan itu terkait dengan adanya defisit demokrasi di dalam
tubuh UE dan persoalan imigran ilegal yang terus membanjiri wilayah-wilayah UE.
Karena masalah-masalah itulah Inggris ke luar dari UE (Brexit) dan bangkitnya
nasionalisme di sejumlah negara Eropa. Tulisan ini akan mengurai secara mendalam
bagaimana Inggris bisa ke luar dari UE (Brexit) dan bagaimana partai-partai yang
berhaluan kanan (nasionalis) saat ini bisa mendapat tempat di hati khalayak publik
Eropa.
Untuk sampai pada inti tulisan ini, penulis akan mengulas lima ulasan penting.
Pertama, tulisan ini akan mengulas bagaimana proses integrasi di Eropa terbentuk dan
bisa menjadi besar seperti sekarang ini. Kedua, akan diulas pula sejumlah rintangan
yang ikut menyertai proses integrasi di Eropa. Ketiga, mengupas dampak dari rintangan
itu: Brexit dan Bangkitnya Nasionalisme di Eropa. Keempat, bagaimana dampak
dari rintangan itu telah membuat UE dilema dalam mengambil keputusan. Kelima,
memberikan hipotesa atas apa yang sudah penulis bahas sebelumnya.
INTEGRASI UNI EROPA
Konsepsi tentang integrasi memang merupakan pokok bahasan menarik
dalam ilmu HI pasca Perang Dunia II. Bahasan tentang integrasi ini dikaji karena
berkenaan dengan upaya-upaya untuk mencegah perang dan menciptakan perdamaian
dunia. Pendekatan tentang terjadinya perang itu sendiri salah satunya merujuk pada
terlalu kuatnya sistem negara bangsa warisan Westphalia.5
Karena itulah negara-negara
Eropa membuat sebuah formulasi baru untuk menciptakan perdamaian dengan tidak
4	 Untuk ulasan yang skeptis tentang integrasi UE, bisa juga dibaca dalam buku Asrudin Azwar, Teori Perda-
maian Demokratis, (Malang: Intrans Publishing, 2016), hal. 175-200.
5	 Ambarwati, “Aplikasi Teori Integrasi dalam Hubungan Internasional: Eropa dan Asia Timur,” dalam Asrudin
& Mirza Jaka Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2009), hal 125; baca juga ulasan tentang teori integrasi secara komprehensif dalam Tanja A. Bor-
zel, “Comparative Regionalism: European Integration and Beyond”, dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse,
dan Beth A. Simmons (eds.), Handbook of International Relations, (London: SAGE Publications, 2013), hal.
503-522.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201684
menekankan kembali pada kuatnya peran negara bangsa, seperti yang pernah dilakukan
pada 1648.6
Tapi dengan mengalihkan kesetiaan negara-negara Eropa pada organisasi
yang lebih besar atau yang berskala regional. Pengalihan kesetiaan itu ditunjukkan oleh
negara-negara Eropa dengan mengikatkan diri (integrasi) satu sama lain, agar tidak
mengulangi era kegelapan seperti yang pernah terjadi pada masa Perang Dunia (I &
II).
Karena hal itulah sejumlah teoretikus HI menyebut integrasi negara-negara
Eropa ini sebagai sesuatu yang unik. Stephen Krasner misalnya - seorang realis politik
terdepan yang begitu percaya dengan dominannya negara berdaulat – mengakui bahwa
Uni Eropa adalah sesuatu yang berbeda. Uni Eropa, tegasnya, telah memberikan
contoh lain seperangkat karakteristik alternatif: organisasi regional ini memiliki
wilayah, pengakuan, kontrol, otoritas nasional, otoritas ekstranasional, dan otoritas
supranasional. Krasner bahkan mengatakan Uni Eropa bukanlah model yang bisa
ditiru oleh belahan dunia lain.7
Jalan menuju integrasi Eropa sendiri berawal dari peran Amerika Serikat.
Amerika-lah yang memulihkan Eropa yang berada dalam keadaan kacau pada
1945. Jerman terpecah dan diduduki dan Amerika berusaha untuk memulihkan
perekonomian Eropa sebagai bagian dari upaya untuk memulai kembali aktivitas
ekonomi global pada masa damai, memperbaharui Eropa sebagai pasar bagi barang-
barang Amerika, dan mengurangi daya tarik komunisme bagi orang-orang Eropa.
Langkah pertama Amerika adalah menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif
untuk melakukan rekonstruksi. Untuk mencapai hal ini, Amerika Serikat menjalankan
strategi dua langkah. Pertama, memberikan kepada Eropa alat-alat untuk membangun
kembali, dimulai dengan Marshall Plan. Kedua, memperkuat keamanan Eropa, yang
mencapai puncaknya dengan pembentukan North Atlantic Treaty Organization
(NATO) pada 1949. Kedua langkah tersebut mengusahakan penyatuan Eropa Barat
sebagai penyeimbang USSR.8
	 Marshall Plan memberikan bantuan ekonomi, yang
tunduk pada koordinasi upaya pemulihan Eropa. Ini merupakan langkah awal dalam
jalan panjang menuju penyatuan Eropa. Pada 1948, Organisasi Kerja Sama Ekonomi
Eropa (Organization for European Economic Cooperation/OEEC) dibentuk untuk
mengoordinir bantuan Marshal. Hingga terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa
6	 Tentang Westphalia baca Paul Hirst., War and Power in the 21st
Century: The State, Military Conflict, and the
International System (Cambridge: Polity, 2001).
7	 Lihat Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy, (Princeton, NJ: Princeton University Press,
1999), hal. 235.
8	 Lihat Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, (London & New York:
Routledge, 2008), bab 9.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 85
(European Economic Community/EEC), OEEC berperan penting dalam mendorong
perdagangan dan memberi Eropa kemudahan menukar mata uang.9
Bantuan Marshall Plan diberikan kepada seluruh negara Eropa, termasuk
negara-negara Eropa Timur, namun Stalin memaksa mereka untuk menolak bantuan
ini karena khawatir bantuan tersebut akan meningkatkan pengaruh Amerika di blok
Soviet. Selain itu, meskipun ada OEEC, permintaan bantuan Eropa sedikit lebih banyak
daripada daftar permintaan masing-masing negara alih-alih sebuah upaya serius untuk
kerjasama luas. Namun, pembagian Jerman dan peran penting Jerman Barat di garis
depan Perang Dingin memastikan berlanjutnya kepentingan Amerika dalam integrasi
Eropa. Sebuah entitas Eropa, menurutnya, akan membuat Jerman baru menjadi
bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada Eropa sendiri, sehingga meredakan
kekhawatiran negara-negara Eropa lainnya akan lahirnya kembali nasionalisme Jerman
namun memungkinkan Jerman untuk berkontribusi pada rekonstruksi dan keamanan
Eropa.10
Untuk mensukseskan rekonstruksi, Eropa mengandalkan pada potensi industri
Eropa Barat (Ruhr Basin), lokasi produksi baja dan batu bara terbesar di Eropa. Dengan
menempatkan daerah ini di bawah kontrol internasional, akan memaksa Perancis dan
Jerman Barat - negara-negara yang sempat berperang selama beratus-ratus tahun lalu -
untuk bekerja sama. Meskipun Perancis sempat curiga, langkah besar pertama menuju
integrasi Eropa sebagian besar adalah karya pakar ekonomi Perancis yang berpandangan
jauh dan mantan pejabat Liga Bangsa-Bangsa, Jean Monet (1888-1979). “Tidak akan
ada perdamaian di Eropa,” kata Monnet tahun 1943, “jika negara-negara membangun
kembali diri mereka berdasarkan kedaulatan nasional, dengan semua yang tersirat di
dalamnya melalui kebijakan prestise dan proteksionisme ekonomi.” Pada 9 Mei 1950,
Menteri Luar Negeri Perancis, Robert Schuman (1886-1963), dalam sebuah pidato
yang dipersiapkan oleh Monnet, mengusulkan integrasi industri batu bara dan baja
Jerman dan Perancis di bawah institusi supranasional yang disebut High Otority.
Diikuti dengan masuknya negara-negara Eropa yang lain, seperti Italia, Belgia, Belanda,
dan Luxemburg, Schuman Plan menjadi dasar bagi disepakatinya Masyarakat Baja dan
Batu Bara Eropa (European Coal and Steel Community-ECSC) pada 1951.11
Tujuan
politiknya, menurut Perjanjian Paris (Treaty of Paris) adalah “untuk menggantikan
rivalitas turun-temurun dengan penggabungan kepentingan-kepentingan ekonomi
esensial mereka.
9	 Ibid.
10	 Ibid.
11	 Ibid.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201686
Satu inisiatif penting lainnya diambil pada Perjanjian Roma (Treaty of Rome),
yang membawa pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa/Pasar Bersama
(European Economic Community – EEC/Common Market), terdiri dari Perancis,
Republik Federal Jerman, Italia, Belgia, Luksemburg, dan Belanda. Di tahun 1960-
an, Eropa Barat mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk mengejar kesatuan
moneter. Pembentukan Sistem Moneter Eropa (European Monetary System – EMS)
merupakan satu inisiatif awal penting menuju kesatuan moneter. Sejak dilakukannya
penandatanganan Akta Eropa Tunggal (Single European Act – SEA) ditahun 1986,
yang memerinci tujuan penciptaan pasar Eropa bersatu pada 1992, pergerakan menuju
penyatuan Eropa mengalami percepatan. Dengan disepakatinya perjanjian Maastricht
pada 9 Februari 1992, akhirnya terbentuklah Uni Eropa – UE (European Union-EU).12
Terbentuknya UE ini kemudian menciptakan sebuah Economic and Monetary
Union (Kesatuan Ekonomi dan Moneter) tunggal dengan menghubungkan mata
uang nasional negara-negara anggota dan menuntut komitmen anggota-anggotanya
untuk menciptakan satu mata uang Eropa. Pada tahun 2000 diperkenalkan “zona
euro” baru dengan penggantian mata uang-mata uang nasional dengan satu mata uang
yang disebut euro dan pembentukan European Central Bank (Bank Sentral Eropa)
yang bertanggungjawab atas kebijakan moneter Eropa secara keseluruhan. Pada 2004,
euro berhasil menjadi mata uang yang kuat dan menjadi pesaing dollar AS dalam
transaksi internasional.13
Kesuksesan demi kesuksesan yang berhasil di raih Uni Eropa
inilah yang lalu menciptakan apa yang disebut oleh David Mitrany sebagai Doctrine
of Ramification atau Spillover dalam istilahnya Ernst B. Haas.14
Karenanya menjadi
lumrah jika kemudian keanggotaan UE terus bertambah. Hingga kini keanggotaan UE
telah mencapai 28 negara, termasuk di dalamnya adalah negara-negara Eropa Timur.
Itu artinya negara-negara Eropa mulai menyadari pentingnya kerjasama ketimbang
berperang.
Menengok jauh ke belakang dalam sejarah perang, yang menjadi keajaiban
tentu saja adalah penolakan negara-negara Eropa terhadap sebuah tradisi 700 tahun,
yaitu penyelesaian masalah melalui kekuatan militer. Tidak ada lagi aksi saling bunuh.
12	 Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad ke-21, (Jakarta:
Murai Kencana, 2002), hal. 209.
13	 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty (2008), Bab 9.
14	 Lihat karya-karya klasik dari Mitrany dan Haas: David Mitrany, “The Functional Approach to World Orga-
nization,” dalam International Affairs 24 (1948); David Mitrany, The Functional Theory of Politics, (New York:
St Martin Press, 1975); Ernst B. Haas, “International Integration: the European and the Universal Process,”
dalam International Organization 15 (1961); Ernst B. Haas, The Obsolescence of Regional Integration Theory,
(Berkeley: University of California Press, 1975); Ernst B. Haas, The Uniting Europe: Political, Social, and Eco-
nomic Forces, (Stanford, California: Stanford University Press, 1968).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 87
Semua masalah Eropa kini akan dihadapi dengan diplomasi, hukum internasional,
negosiasi, dan multilateralisme. Pembentukan Uni Eropa merupakan sebuah perubahan
besar, perubahan geopolitik terbesar dalam sejarah dunia.15
Georg Sorensen bahkan menilai bahwa suksesnya integrasi UE itu tidak lepas
dari keyakinan negara-negara Eropa pada nilai demokrasi yang dimiliki bersama: saling
percaya.16
Dan keyakinan ini - mengutip istilah Karl Deutsch – bisa menciptakan yang
namanya komunitas keamanan, yang didefinisikan sebagai:
“a group of people which has become ‘integrated’. By integration we mean the
attainment, within a territory, of a ‘sense of community’ and of institutions and practices
strong enough and widespread enough to assure...dependable expectations of ‘peaceful
change’ among its population. By sense of community we mean a belief...that common social
problems must and can be resolved by processes of peaceful change.”17
DefinisiDeutschianmengenaiintegrasibukanhanyaberfokuspadaperdamaian,
dan syarat-syarat bagi perdamaian, namun lebih dari itu. Sebuah komunitas keamanan
melibatkan bukan hanya ketiadaan akan perang, tapi yang lebih penting lagi, ketiadaan
akan pilihan militer dalam interaksi antarnegara Eropa dalam komunitas keamanan.
RINTANGAN UNI EROPA: DEFISIT DEMOKRASI
Meski ulasan proses integrasi UE di atas nampak begitu optimistik, namun
pada kenyataannya pergerakan menuju unifikasi ekonomi dan politik Eropa yang
lebih besar masih merupakan sebuah pergerakan elite yang terdiri dari para pemimpin
politik nasional, pemimpin bisnis, dan pejabat pemerintahan UE. Opini publik dalam
masyarakat negara-negara Eropa, di sisi lain, cenderung melawan atau setidaknya belum
siap dengan langkah-langkah ambisius yang diambil menuju struktur ekonomi dan
politik UE yang lebih terintegrasi. Walaupun perjanjian Maastricht, ditandatangani
oleh semua lima belas anggota UE pada waktu itu, namun penolakan tetap datang
dari masyarakat di Denmark, Perancis, dan Inggris. Bahkan di Jerman sekalipun
terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang dengan kuat menolak gagasan
menyerahkan Mark dengan Euro. Kesadaran politik di Eropa rupanya sebagian besar
15	 John Naisbitt, Mind Set!, (Jakarta: Daras Books, 2007), hal. 266.
16	 Lihat Georg Sorensen, Democracy and Democratization: Processes and Prospect in a Changing World, (Westview
Press: 1993).
17	 Karl Deutsch & S.A. Burrell, Political Community and the North Atlantic Area, (Princeton: Princeton Univer-
sity Press, 1957), hal. 5.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201688
masih bersifat nasional: orang Jerman, orang Perancis, orang Inggris, dll.. dan bukan
orang UE. Fakta-fakta politik menyangkut identitas nasional yang terpisah-terpisah
ini terus-menerus berbenturan dengan upaya-upaya gigih para elite politik Eropa
untuk mengimplementasikan perjanjian Maastricht: Satu Eropa, baik secara ekonomi
ataupun secara politik. Itu artinya opini publik dalam masyarakat Eropa tidak memiliki
pengaruh langsung atas institusi-institusi utama pembuat keputusan UE – Dewan
maupun Komisi Eropa – dan institusi-institusi tersebut tidak bertanggung jawab
kepada masyarakat UE. Terlepas dari keberhasilannya mendorong para anggota Komisi
untuk mengundurkan diri di tahun 1999, Parlemen UE di Strassbourg yang dipilih
secara langsung oleh masyarakatnya hanya memiliki kekuatan terbatas. Kalau kata
Harlan Cleveland, Eropa tidak akan pernah bisa terintegrasi secara politik.18
Karena adanya “defisit demokrasi” ini, masyarakat Eropa jadinya hanya sedikit
memiliki rasa identitas dengan UE dan kurang loyal terhadap institusi-institusinya.19
Sebagai contoh dari defisit demokrasi ini bisa dilihat ketika opini publik dari
masyarakat negara-negara Eropa merespons secara negatif pembuatan konstitusi Eropa.
Sebagaimana diketahui, sebagai hasil dari pertemuan Laeken, Belgia (Desember 2001),
Dewan Eropa membentuk Konvensi tentang Masa Depan Eropa untuk menyusun
rancangan konstitusi yang selesai bulan Juli 2003. Konstitusi yang diusulkan tersebut
menggabungkan Perjanjian Roma dan Perjanjian Maastricht dengan ditambah
beberapa pasal baru. Konstitusi ini mengharuskan setiap negara anggota untuk saling
membantu jika terjadi serangan teroris dan mengusulkan surat perintah penahanan
Eropa untuk memudahkan penegakan hukum. Konstitusi tersebut mendeskripsikan
UE sebagai sebuah “personalitas hukum”, sebuah pernyataan yang memberinya status
yuridis yang setara dengan negara berdaulat. Tiga prinsip mengatur konstitusi tersebut:
penyerahan kekuasaan (konferal), pencabangan (subsidiaritas), dan proporsionalitas.
Menurut prinsip penyerahan kekuasan, bidang-bidang kebijakan yang tidak secara
eksplisit diserahkan ke UE oleh para anggota, tetap berada di bawah otoritas negara.
Ini sama dengan klausul dalam konstitusi AS yang mempertahankan semua kekuasaan
negara bagian yang tidak secara eksplisit diserahkan ke Pemerintah Federal. Menurut
prinsip Pencabangan, UE hanya dapat bertindak ketika negara-negara anggota setuju
bahwa tindakan masing-masing tidak cukup untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Akhirnya prinsip proporsionalitas mengatur bahwa tindakan UE tidak boleh dilakukan
melebihi yang seharusnya untuk mencapai tujuannya.
18	 Lihat Harlan Cleveland, Lahirnya Sebuah Dunia Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesi, 1995), hal. 294.
19	 Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin (2002), hal. 231-232.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 89
Pada 18 Juni 2004, negara-negara Eropa akhirnya menyetujui draft perjanjian
Konstitusi Eropa (European Constitutional Treaty), namun masih harus diratifikasi
oleh 25 anggota. Negara-negara Eropa, khususnya dari para warganya yang takut
kehilangan kedaulatan nasional, tidak menyukai beberapa klausul dalam draft tersebut.
Target utama mereka adalah mengganti suara mutlak dengan suara mayoritas dalam
beberapa keputusan. Mereka juga menolak klausul yang menyatakan bahwa UU
UE berada di atas undang-undang nasional, meski pun hal ini sudah berlaku selama
beberapa dekade. Itulah sebabnya, draft tersebut menjadi kontroversi sengit dalam
hampir sepanjang tahun 2005. Pada awalnya, beberapa negara anggota menyetujui
konstitusi tersebut, namun pada 29 Mei 2005 pemilih Perancis secara meyakinkan
menolak konstitusi yang diajukan tersebut dalam sebuah referendum, dan seminggu
kemudian pemilih di Belanda melakukan hal yang sama.20
Dari sini terlihat jelas bahwa persoalan defisit demokrasi tidak bisa dianggap
enteng oleh elite-elite politik di UE. Karena ke depan hal ini akan bisa menjadi
rintangan yang besar bagi UE untuk bisa memperkokoh kohesivitasnya.
IMPLIKASI: BREXIT & BANGKITNYA NASIONALISME DI EROPA
Defisit demokrasi, sebagaimana penulis bahas di atas, pada intinya dapat
memberikan implikasi kepada penolakan publik negara-negara di Eropa terhadap
institusi UE. Implikasi itu dengan sangat terang-benderang dapat dilihat pada 23
Juni 2016 ketika masyarakat Inggris memutuskan mengadakan referendum untuk
menentukan apakah Inggris akan bertahan di UE atau meninggalkan UE. Setelah
dihitung, Brexit (Britain Exit), kelompok yang memilih keluar dari UE berhasil meraih
52 % suara, mengalahkan masyarakat yang menginginkan tetap berada di dalam UE
(48% suara).
Kemenangan kelompok yang menginginkan Brexit itu bahkan membuat
Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron mundur dari jabatannya. PM Cameron
digantikan oleh Theresa May yang merupakan Menteri Dalam Negeri Inggris.21
Cameron yang memimpin kampanye agar Inggris tetap berada di UE, mengatakan
“pilihan rakyat Inggris harus dihargai. Untuk itu, tak tepat bagi saya untuk berusaha
20	 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty (2008), bab 9.
21	 Lihat “Theresa May, Perdana Menteri Inggris Pengganti David Cameron”, dalam https://m.tempo.co/read/
news/2016/07/12/117786884/theresa-may-perdana-menteri-inggris-pengganti-david-cameron [Diakses 4
Januari 2017].
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201690
menjadi kapten yang menahkodai negara kita ke tujuan berikutnya. Kini rakyat Inggris
memerlukan pemimpin baru untuk memandunya ke arah ini”.
Putusan PM Cameron untuk mundur pada dasarnya adalah sebuah keputusan
idealpolitik,sesuaidenganrambu-rambudemokrasi(sesuaidengankeinginanmayoritas
masyarakat Inggris). Itu artinya, Brexit bukanlah suatu persoalan yang sesungguhnya.
Brexit adalah akibat yang disebabkan oleh persoalan UE itu sendiri.
Persoalan itu bisa dilihat dari keputusan UE untuk menerima imigran yang
umumnya ditolak oleh masyarakat Inggris dan masyarakat dari negara-negara anggota
UE lainnya. Itulah sebabnya mengapa banyak warga dari Inggris memilih ke luar
dari UE dan warga dari negara-negara anggota UE lainnya mulai memutuskan untuk
memilih partai yang anti-imigran dan cenderung menjadi lebih nasionalis.
Sebelum Brexit, sejumlah partai dari negara-negara Eropa lainnya sebetulnya
telah lebih dulu menunjukkan sikap yang anti terhadap UE. Partai-partai yang
umumnya berhaluan Kanan tersebut mulai menghebuskan isu nasionalisme dan
penolakannya terhadap UE. Dan ini bukannya tidak membuahkan hasil. Di Perancis,
Front Nasional (FN) yang dipunggawai oleh Marine Le pen dan Marion Marechal
Le pen mulai mengimbangi partai-partai lainnya yang sangat dominan, seperti Partai
Sosialis dan Partai Republik. FN di Perancis terbilang cukup berhasil memobilisasi
massa. Melalui retorika pulangkan imigran dan kembalikan mata uang Perancis, FN
berhasil memeroleh 14% suara.
Di Jerman, partai yang terkenal sangat nasionalis, Alternatif untuk Jerman, juga
mulai unjuk gigi. Partai yang dipimpin oleh Frauke Petry ini berhasil mendominasi
pemilu regional di wilayah-wilayah yang menjadi basis suara partai berkuasa, partai
Angela Merkel. Alternatif untuk Jerman ini memeroleh suara tak kurang dari 4,7%.
Di Austria sendiri pemilu presiden yang diselenggarakan pada 22 Mei 2016,
berlangsung sangat ketat. Calon presiden dari Partai Kebebasan (PK) yang anti-
imigran dan anti-euro Norbert Hofer kalah tipis, 0,3%, dari Alexander Van der Bellen
yang didukung Partai Hijau. Namun penting untuk dicatat, PK memiliki 21% suara.
Dengan suara ini, PK bisa mengganggu stabilitas Bellen jika tidak becus memimpin
Austria.
Bangkitnya partai-partai nasionalis di Eropa ini tidak hanya terjadi di Perancis,
Jerman, dan Austria saja. Di Swedia, Partai Demokrat Swedia berhasil mendapatkan
dukungan 13% suara. Partai Jobbik di Hongaria 21% suara. Partai Rakyat Swiss 29%
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 91
suara. The Finns di Finlandia 18% suara. Liga Utara di Italia 7% suara. Slowakia
Kita 8% suara. Golden Down di Yunani yang saat ini sedang dilanda krisis ekonomi
akut memperoleh 7% suara. Partai Kebebasan di Belanda 10% suara. Partai Rakyat
Denmark 21% suara (BBC).
Ini semua adalah indikator dari bangkitnya nasionalisme di Eropa. Jika UE
tidak segera mengoreksi langlah-langkah kebijakannya sendiri, khususnya terkait
dengan masalah imigran, cepat atau lambat masyarakat dari negara-negara anggota UE
sendiri yang akan mengoreksinya dengan ke luar dari organisasi regional tersebut, baik
melalui referendum atau pun pemilu.
DILEMA UNI EROPA
Suka atau tidak, kini xenophobia – perasaan benci terhadap orang asing
(imigran) - telah menjadi faktor determinan yang bisa mengancam eksistensi UE ke
depannya. Intinya, masyarakat dari negara-negara anggota UE cenderung menolak
dengan keras keberadaan imigran. Alasannya karena imigran dinilai dapat mengancam
pekerjaan mereka di negaranya sendiri. Padahal di sisi lain, keberadaan imigran tetap
begitu dibutuhkan UE karena rendahnya tingkat kelahiran di Eropa.
Namun, banyak pihak di Eropa mengatakan bahwa imigran hanya mencari
manfaat model kesejahteraan Eropa, sementara serikat-serikat pekerja mengeluh bahwa
para imigran hanya merebut pekerjaan anggota mereka. Dalam sebuah perekonomian
yang dinamis, selalu ada pekerjaan yang hilang; pergantian pekerjaan merupakan
akomodasi bagi perubahan waktu.
Menurut John Naisbitt dalam bukunya Mind Set! (2007), rendahnya tingkat
kelahiran di Eropa, ditambah dengan keengganan masyarakat umum untuk menerima
imigran, hanya akan membawa dampak buruk bagi ekonomi Eropa. Tingkat kelahiran
di Eropa hanya 1,4 – artinya, para wanita di Eropa kini hanya melahirkan rata-rata
1,4 anak. Padahal untuk mempertahankan populasi di tingkat konstan, dibutuhkan
tingkat kelahiran 2,1.22
Jika tingkat kelahiran di Eropa tidak meningkat dan jika Eropa
terus membatasi imigrasi, jumlah penduduk Eropa akan menjadi setengah populasi
saat ini dalam dua generasi ke depan.
22	 Tingkat kesuburan yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi pada level konstan (yang disebut
”tingkat fertilitas pengganti”) adalah 2,1 kelahiran per ibu, karena demografer hanya menganggap sebuah
kelahiran dapat menjadi pengganti jika anak yang terlahir itu mencapai usia 15 tahun.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201692
Dalam laporan Demografi Eropa 2010 misalnya disebutkan, tingkat kelahiran
di negara-negara anggota UE memang hanya mengalami sedikit kenaikan. Rata-rata
tingkat kelahiran hanya 1,6 anak per ibu. Laju rata-rata kelahiran Eropa itu tetap
tidak mencukupi kuota yang dibutuhkan. Di sisi lainnya, peta demografi Eropa
juga mengalami penuaaan. Umur harapan hidup rata-rata pria mencapai 78 tahun
dan perempuan 82 tahun. Populasi manula terbanyak terdapat di Jerman, Italia dan
Perancis. Semakin banyak manula, berarti semakin sedikit penduduk yang berusia
produktif. Celakanya tren seperti ini terus berlangsung hingga tahun 2016.
Jika tidak ada langkah konstruktif yang bisa diambil UE untuk mengatasi
perubahan demografi ini, maka perspektif pertumbuhan ekonomi di Eropa akan
direduksi. Karena bagaimanapun juga yang menentukan dalam ekonomi adalah,
seberapa banyak kuota penduduk usia produktif pada keseluruhan populasi.
Di sinilah dilema-nya UE. Di satu sisi, jika UE terus menerima imigran, hal ini
akan berakibat pada penolakan secara massif dari masyarakat-nya dan isu ini pun akan
digoreng oleh elite-elite politik-nya yang anti-imigran dan ingin membawa negaranya
ke luar dari UE. Di sisi lain, jika UE memutuskan untuk menolak masuknya imigran,
hal ini juga akan berakibat pada ekonomi Eropa.
HIPOTESIS: MASA DEPAN UNI EROPA
Merujuk pada semua ulasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa warga dari
masyarakat negara-negara di Eropa saat ini cenderung menjadi nasionalistik dan lebih
mementingkan kepentingan nasional negaranya daripada kepentingan UE itu sendiri.
Kasus Brexit dan bangkitnya nasionalisme di Eropa bisa menjadi contoh bagus dari
rapuhnya integrasi di tubuh UE.
Cas Mudde di jurnal bergensi Foreign Affairs telah mengonfirmasi inti dari tema
tulisan ini.23
Menurutnya, kini hampir semua negara di Eropa mengalami kebangkitan
partai sayap kanan. Kaum populis kini menguasai porsi terbesar parlemen di enam
negara, yaitu, Yunani, Hongaria, Italia, Polandia, Swiss, dan Slowakia. Bahkan di
Hongaria, partai yang berkuasa maupun partai oposisi sama-sama populis. Adapun di
Finlandia, Norwegia, dan Lituania, partai-partai populis kini tergabung dalam koalisi
pemerintahan.
23	 Lihat Cas Mudde, “Europe’s Populist Surge”, dalam Foreign Affairs (November/December 2016). Artikel
Mudde ini bisa diakses dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/europe/2016-10-17/europe-s-popu-
list-surge.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 93
Namun ini baru sebatas hipotesa. Kesimpulan final baru dapat dilihat pada
tahun 2017, karena ditahun ini Jerman, Perancis, dan Belanda akan mengadakan
Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilihan di ketiga negara itu akan menjadi penentu
apakah para kandidat dari partai arus utama masih dipercaya rakyatnya, atau justru
kandidat partai sayap kanan yang akan duduk di kursi kekuasaan.
Di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang dipimpin Frauke Petry
berhasil menggeser dominasi partai-partai arus utama dalam pemilu negara bagian.
Untuk pertama kalinya partai sayap kanan memiliki perwakilan di 10 parlemen negara
bagian. Sepuluh tahun lalu, partai sejenis AfD yang memiliki ideologi xenofobia
selalu diprotes warga Jerman jika berkampanye. Kini mereka menjadi partai harapan.
Serangan teroris dengan menggunakan truk di bazar Natal Berlin, pekan lalu, semakin
menekan posisi Kanselir Angela Merkel. Ia dikecam tidak hanya oleh kubu oposisi,
tetapi juga oleh partai sekandung, Uni Sosial Kristen (CSU), yang sejak awal menentang
kebijakan Merkel yang membuka pintu kepada imigran. Setelah serangkaian aksi teror
yang terjadi musim panas lalu di Wuerzburg, Ansbach, Reutlingen, dan Muenchen,
yang semuanya dilakukan oleh keturunan imigran dan pengungsi, insiden truk di
Berlin yang dilakukan warga Tunisia semakin membuat Merkel sulit berkelit. Bagi
AfD dan para pendukungnya, Merkel dianggap sudah tamat.24
Demikian juga Front Nasional Perancis yang dipimpin Marine Le Pen, putri
pendiri FN Jean-Marie Le Pen. Dulu, rakyat Perancis dari kubu berbeda sepakat
menggalang gerakan untuk mencegah Jean-Marie Le Pen memenangi pemilu 2002,
dengan memilih Jacques Chirac.25
Tren politik di Belanda pun demikian.  Banyak yang tidak menduga bahwa
Party for Freedom yang dipimpin oleh Greet Wilders grafiknya mengalami peningkatan
kekuatan di parlemen. Peningkatannya pun cukup signifikan. Meski raihan kursi partai
ini sempat menurun pada tahun 2010 akibat perselisihan internal, namun kembali
mengalami peningkatan perolehan kursi dari 5,9% pada 2006 menjadi 10,1% pada
2012.
Celakanya lagi bagi UE adalah bahwa pemimpin dari dua kekuatan besar
dunia: Donald Trump (Amerika Serikat) dan Vladimir Putin (Rusia) lebih cenderung
mendukung partai-partai berhaluan Kanan di Eropa. Jika partai-partai berhaluan
Kanan berhasil menguasai semua panggung kekuasaan di masing-masing negara Eropa
24	 Lihat Myrna Ratna, “Bersiap Hadapi Eropa Kanan”, dalam Kompas, 27 Desember 2016.
25	 Ibid.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201694
pada 2017 ini, tentu saja eksistensi UE akan menjadi terancam. Dan bukan tidak
mungkin pula runtuhnya integrasi UE akan menjadi kenyataan. Kita tunggu saja hasil
pemilu 2017 di beberapa negara Eropa. Karena runtuh atau tidak-nya integrasi UE
akan sangat bergantung pada hasil dari pemilu tersebut.
KEPUSTAKAAN
Ambarwati, “Aplikasi Teori Integrasi dalam Hubungan Internasional: Eropa dan Asia
Timur,” dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana (eds.), Refleksi Teori Hubungan
Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009).
Azwar, Asrudin Teori Perdamaian Demokratis, (Malang: Intrans Publishing, 2016).
Cleveland, Harlan., Lahirnya Sebuah Dunia Baru, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesi, 1995).
Borzel, Tanja A., “Comparative Regionalism: European Integration and Beyond”,
dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons (eds.), Handbook
of International Relations, (London: SAGE Publications, 2013).
Deutsch, Karl, & A. Burrell, Political Community and the North Atlantic Area,
(Princeton: Princeton University Press, 1957).
Gilpin, Robert & Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad
ke-21, (Jakarta: Murai Kencana, 2002).
Hanggoro, Wisnu Tri, Johnly E.P. Poerba, & Andreas Harsono (eds.), Perang,
Militerisme, dan Tantangan Perdamaian, (Salatiga & Jakarta: Satya Wacana
University Press & Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994).
Haas, Ernst B., “International Integration: the European and the Universal Process,”
dalam International Organization 15 (1961).
__________., The Obsolescence of Regional Integration Theory, (Berkeley: University of
California Press, 1975).
__________., The Uniting Europe: Political, Social, and Economic Forces, (Stanford,
California: Stanford University Press, 1968).
Hirst, Paul., War and Power in the 21st
Century: The State, Military Conflict, and the
International System (Cambridge: Polity, 2001).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 95
Krasner, Stephen D., Sovereignty: Organized Hypocrisy, (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1999).
Mansbach, Richard W., & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, (London
& New York: Routledge, 2008).
Mitrany, David, Functional Approach to World Organization,” dalam International
Affairs 24 (1948).
__________, The Functional Theory of Politics, (New York: St Martin Press, 1975).
Mudde, Cas “Europe’s Populist Surge”, dalam Foreign Affairs (November/December
2016). Artikel Mudde ini bisa diakses dalam https://www.foreignaffairs.com/
articles-europe/2016-10-17/europe-s-populist-surge.
Naisbitt, John, Mind Set!, (Jakarta: Daras Books, 2007).
Ratna, Myrna “Bersiap Hadapi Eropa Kanan”, dalam Kompas, 27 Desember 2016.
Sorensen, Georg., Democracy and Democratization: Processes and Prospect in a Changing
World, (New York: Westview Press, 1993).
“Theresa May, Perdana Menteri Inggris Pengganti David Cameron”, dalam https://m.
tempo.co/read/news/2016/07/12/117786884/theresa-may-perdana-menteri-
inggris-pengganti-david-cameron
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201696
PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DALAM POLITIK LUAR NEGERI:
SEBUAH KAJIAN IDIOSINKRATIK
Oleh: Umar Suryadi Bakry
Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya
E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg
ABSTRACT
Foreign policy decisions are influenced by a lot of factors, because the real world is compli-
cated and a lot of variables have to be taken into consideration when a policy maker take a decision.
This is why the level of analysis is important in the study of International Relations (IR), especially
when we have to analyze the foreign policy of a state. This paper examines an innovative element
in the study of international relations through the analysis of the subjective elements (idiosyncratic
factors) which appear in the foreign policy decisional process, at the individual level. Psychological
approach of foreign policy decision making process facilitates the understanding of complexity in
world politics. To gain a more comprehensive and in-depth understanding, this paper deliberately
presenting a conceptual framework from some IR scholars concerned about the influence of individ-
ual factors on the foreign policy of a state.
Keywords: idiosyncratic factors, level of analysis, individual level, personality, foreign policy
ABSTRAK
Keputusan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, karena dunia nyata
adalah rumit dan banyak variabel harus dipertimbangkan ketika pembuat kebijakan mengambil
keputusan. Inilah sebabnya mengapa tingkat analisis penting dalam studi Hubungan Internasional
(HI), terutama ketika kita harus menganalisis kebijakan luar negeri suatu negara. Tulisan ini
membahas elemen inovatif dalam kajian hubungan internasional melalui analisis unsur subjektif
(faktor idiosinkratik) yang muncul dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri,
pada tingkat individu. Pendekatan psikologis mengenai proses pengambilan keputusan politik luar
negeri memfasilitasi pemahaman kompleksitas dalam politik dunia. Untuk mendapatkan pemaha-
man yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menyajikan kerangka konseptual
dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian tentang pengaruh faktor individu pada kebija-
kan luar negeri sebuah negara.
Kata kunci: faktor-faktor idiosinkratik, peringkat analisis, level individu, kepribadian, politik luar
negeri.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 97
PENDAHULUAN
SEBAGAI sebuah fenomena sosial, hubungan internasional itu sangat rumit
dan kompleks. Sebab itu, untuk memahami hubungan internasional diperlukan sebuah
metode atau perangkat konseptual yang tepat. Dalam studi Hubungan Internasional
(HI) dapat ditemukan banyak metode atau perangkat konseptual yang diperlukan
untuk mempelajari fenomena hubungan internasional. Salah satu perangkat konseptual
yang paling banyak dikenal dan berguna untuk menjelaskan fenomena hubungan
internasional yang kompleks tersebut adalah pendekatan peringkat analisis (level of
analysis).1
Sebagaimana dikatakan Joyce Kaufman, peringkat analisis merupakan
sebuah kerangka kerja yang menyeluruh (overarching framework) yang diperlukan
dalam memahami hubungan internasional.2
Pendekatan peringkat analisis terutama banyak digunakan oleh para sarjana HI
yang beraliran realis (neorealis). Karena dalam kerangka pendekatan ini, diasumsikan
bahwa aktor utama (primary actor) hubungan internasional adalah negara. Selain
itu penggagas awal pendekatan ini adalah seorang neorealis (Kenneth Waltz). Secara
umum, para pakar HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yaitu individual
level, state level, dan international system level. Tulisan ini secara khusus akan membahas
mengenai peringkat analisis individu, khususnya tentang bagaimana pengaruh faktor
individu terhadap politik luar negeri suatu negara. Untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menampilkan sejumlah
kerangka konseptual dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian mengenai
pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara.
PENGERTIAN PERINGKAT ANALISIS
Apakah yang dimaksud dengan peringkat analisis? Dalam setiap kegiatan
keilmuan dan penelitian ilmiah, selalu terdapat berbagai cara di mana fenomena yang
kita pelajari (atau kita teliti) dapat dipilah atau diatur untuk sebuah analisis secara
sistematis. Sebagai contoh dalam ilmu kimia, kita dapat mempelajari pada tingkat unit-
unit mikro (seperti atom), pada tingkat unit-unit menengah (seperti senyawa kimia),
atau kumpulan dari unit-unit makro (seperti polusi industri). Inilah yang dimaksud
dengan peringkat analisis (level of analysis). Dalam studi HI, kita membagi realitas
1	 Taku Tamaki, “The Level of Analysis of the International System”, dalam Emilian Kavalski (ed.), Encounters
with World Affairs: An Introduction to International Relations (Farnham, UK: Ashgate, 2002).
2	 Joyce P. Kaufman, Introduction to International Relations: Theory and Practice (Maryland: Rowman & Little-
field Publishers, Inc., 2013), hal. 10.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 201698
yang kompleks dari fenomena internasional menjadi ‘potongan-potongan’ kecil (atau
tingkat-tingkat) sehingga mempelajarinya menjadi lebih mudah. Peringkat analisis
memungkinkan kita untuk menentukan ‘keputusan apa’ dibuat ‘oleh siapa’ dan di
bawah kendala apa saja. Intinya, peringkat analisis dalam studi HI dapat dikatakan
sebagai sebuah metode atau perangkat konseptual yang digunakan untuk menjelajahi
atau mengeksplorasi masalah-masalah internasional.
Dalam pandangan Stuart Robinson, peringkat analisis adalah titik-pandang
atau agregasi yang relatif lengkap untuk mengatur penelitian, biasanya untuk
mengidentifikasi penyebab utama di balik beberapa aspek perilaku internasional.
Peringkat analisis merupakan perangkat yang berguna untuk menggambarkan jebakan
yang logis dalam studi HI, memperjelas manfaat serta keterbatasan jenis tertentu fokus
analitis.3
Sedangkan menurut Marc Genest, konsep peringkat analisis adalah alat untuk
membantu kita dalam melakukan penelitian tentang hubungan internasional. Peringkat
analisis membantu kita memahami bahwa hubungan internasional merupakan hasil
dari sejumlah sumber. Setiap tingkat memiliki pandangan dan memfokuskan pada
masalah yang berbeda mengenai peristiwa yang kita teliti. Peringkat analisis adalah
salah satu pendekatan atau metode yang paling abadi (paling lama bertahan) dalam
mempelajari hubungan internasional.4
Dengan menetapkan peringkat analisis, kita dapat memahami tindakan
(politik luar negeri) suatu negara dalam hubungan internasional. Dengan kata lain,
tujuan dan perlunya ditetapkan peringkat analisis adalah untuk memahami hal-hal
yang mendorong tindakan (perilaku) suatu negara dalam hubungan internasional,
misalnya: (1) Apakah tindakan (perilaku) itu hanya merefleksikan preferensi individu
pemimpin negara yang bersangkutan; (2) Apakah tindakan itu merupakan resultante
kekuatan politik dan birokrasi domestik negara tersebut; (3) Apakah perilaku suatu
negara benar-benar dapat dipandang sebagai resonansi dari kepentingan nasional yang
telah dirumuskan dalam tujuan dan kebijakan nasional; (4) Apakah perilaku negara
tersebut hanya sebagai respons terhadap sinyal-sinyal dan situasi yang terjadi dalam
sistem regional atau global.5
Menurut J. David Singer, model peringkat analisis sangat membantu kita
3	 Stuart Robinson, “Level of Analysis”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of International Relations and
Global Politics (New York: Routledge, 2005).
4	 Marc A. Genest, Conflict and Cooperation: Evolving Theories on International Relations (Belmont, CA: Wad-
sworth, 2004), hal. 3.
5	 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Framework for Understanding (New York: Longman
Publishing Co., 2002).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 99
dalam membuat deskripsi, eksplanasi, dan prediksi tentang fenomena internasional
yang ingin kita pelajari. Dengan peringkat analisis kita dapat membuat deskripsi
yang akurat mengenai suatu peristiwa internasional, artinya mampu menggambarkan
suatu peristiwa internasional yang kita pelajari secara lengkap dan tidak terdistorsi.
Sedangkan yang dimaksud dengan kemampuan eksplanasi adalah kapasitas untuk
menjelaskan hubungan antar fenomena yang diteliti, atau kapabilitas untuk mengelola
hubungan kausal secara valid dan cermat (parsimonious). Sementara yang dimaksud
dengan kemampuan prediksi adalah kapasitas untuk memperhitungkan kemungkinan
apa yang terjadi di masa depan berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini.6
Pendekatan peringkat analisis sebagai sebuah metode untuk mempelajari
hubungan internasional awalnya dikembangkan oleh seorang neorealis bernama
Kenneth Waltz melalui konsepnya Three Images. Waltz menunjukkan bahwa ada
tiga peringkat analisis yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari mengapa perang
terjadi. Tingkat pertama adalah perilaku manusia (human behavior). Pada tingkat ini
kita berasumsi bahwa sifat manusia yang egois lah yang menjadi penyebab perang.
Peringkat analisis ini menyiratkan bahwa kita tidak perlu keluar dari atribut (sifat)
pribadi dari para pembuat kebijakan untuk menganalisis sebab-sebab perang (the causes
of war). Waltz mengatakan, lokus dari penyebab utama perang dapat ditemukan dalam
sifat dan perilaku manusia. Peperangan adalah hasil keegoisan, dari dorongan yang
salah arah, dari kebodohan manusia.7
Tingkat kedua adalah struktur internal dari negara-negara (the internal structure
of states). Pada tingkat ini kita berfokus pada faktor-faktor internal dalam suatu negara,
seperti dasar-dasar ideologis. Argumen apakah negara demokratis lebih damai atau
tidak dibandingkan negara otokratis, misalnya, menentukan cara kita menjelaskan
suatu peristiwa internasional. Waltz mengatakan, perang seringkali dapat melahirkan
persatuan internal dalam negara-negara yang terlibat. Sebab itu banyak negara ketika
sedang menghadapi perselisihan internal sengaja menunggu serangan dari negara lain
atau sengaja menciptakan perang dengan negara lain demi terbentuknya perdamaian
internal.8
Tingkat ketiga adalah sifat anarkhis dari sistem internasional (the anarchic nature
of the international system). Pada tingkat ini, perhatian tidak lagi kita fokuskan pada siapa
aktornyaatauaktormelakukanapa,melainkanlebihditujukanpadabagaimanastruktur
6	 J. David Singer, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam World Politics, Vol. 14 No.
1 (1961), hal. 77-92.
7	 Kenneth Waltz, Man, the State, and War (New York: Columbia University Press, 1959), hal. 16.
8	 Ibid., hal. 81.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016100
sistem internasional yang berlaku atau bagaimana sistem internasional bekerja. Waltz
mengatakan, dalam sistem internasional di mana terdapat banyak negara berdaulat,
dengan tidak ada sistem hukum yang dapat dipaksakan untuk mereka, dengan setiap
negara menilai kekecewaan dan ambisi menurut alasannya sendiri-sendiri, konflik atau
perang antar negara menjadi sangat mudah terjadi.9
Meskipun istilah peringkat analisis pertama kali dikembangkan oleh Kenneth
Waltz, tetapi beberapa pakar HI melihat asal-usul perdebatan mengenai masalah
peringkat analisis dalam komunitas studi HI muncul setelah David Singer merilis
artikelnya yang berjudul “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”
(1961). Menurut sejumlah ahli, pandangan Singer tentang isu-isu peringkat analisis
dalam stud HI berbeda secara fundamental dari Waltz. Jika Waltz lebih menekankan
pada kategori faktor-faktor eksplanatori, Singer lebih mengacu pada agregasi atau
entitas sosial mengenai deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang dapat digunakan dalam
studi tertentu.10
Singer sendiri membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yakni
systemic level, national state level, dan individual level.
Banyak sarjana HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level sebagaimana
yang dilakukan oleh David Singer, misalnya Theodore Couloumbis dan James Wolfe
(1981), John Spanier (1981), Kalevi Holsti (1981), Marc A. Genest (2004), John
Rourke dan Mark Boyer (2009), serta Charles Kegley dan Shannon Blanton (2011).
Tiga peringkat analisis menurut Charles Kegley dan Shannon Blanton adalah global
level of analysis, state level analysis, dan individual lebel of analysis. Tingkat analisis
global mengacu pada interakasi aktor-aktor negara dan non-negara pada pentas global
yang perilakunya membentuk sistem politik internasional serta tingkat konflik dan
kerjasama yang mewarnai politik dunia. Tingkat analisis negara menekankan unit-
unit pembuatan keputusan yang otoritatif yang mengatur proses-proses kebijakan
luar negeri dan atribut-atribut internal dari suatu negara (seperti jenis pemerintahan,
tingkat kemampuan ekonomi dan militer, dan sebagainya) yang membentuk dan
menghambat pilihan-pilihan kebijakan luar negeri. Sedangkan tingkat analisis individu
mengacu pada karakteristik personal dari individu, terutama mereka yang bertanggung
jawab membuat keputusan-keputusan penting atas nama aktor-aktor negara dan non-
negara.11
9	 Ibid., hal. 159.
10	 Lihat James Lee Ray, “Integrating Levels of Analysis in World Politics”, dalam Journal of Theoretical Politics,
Vol. 13 No. 4 (2001), hal. 355-388.
11	 Charles W. Kegley, Jr. dan Shannon L. Blanton, World Politics: Trend and Transformation (Boston, MA: Wad-
sworth Cengage Learning, 2011), hal. 18-19.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 101
Tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai peringkat analisis
individu, khususnya tentang bagaimana pengaruh faktor individu terhadap politik
luar negeri suatu negara. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif
dan mendalam, tulisan ini sengaja menampilkan sejumlah kerangka konseptual dari
beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian mengenai pengaruh faktor individu
terhadap politik luar negeri suatu negara.
PERINGKAT ANALISIS INDIVIDU
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendekatan tingkat individu
terhadap politik luar negeri dan politik internasional menekankan karakter umum dari
semua individu, sering disebut sebagai ‘sifat manusia’ (human nature). Dalam kaitannya
dengan studi Kenneth Waltz mengapa perang terjadi, asumsinya adalah bahwa
sifat manusia yang egoistik yang menyebabkan perang.12
Para pakar lain kemudian
menggunakan pendekatan ini untuk mencari penjelasan mengenai bagaimana
pengaruh individu tertentu (biasanya pengambil kebijakan tertinggi di suatu negara)
terhadap keputusan politik luar negeri negara tertentu.
Menurut Marc Genest, eksplanasi tingkat individu membahas aktor manusia
dalam berbagai cara yang berbeda. Pendekatan pertama melihat karakteristik dasar dari
sifat manusia secara umum. Sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes bahwa individu
yang secara alamiah bersifat agresif dan merasa tidak aman (insecure), membentuk,
menentukan, dan menggambarkan sifat masyarakat dan pemerintahnya.13
Pendekatan
kedua menganalisis motif-motif, prinsip-prinsip, dan prakonsepsi dari individu.
Thomas Carlyle mengatakan bahwa “sejarah dunia adalah tentang biografi orang
besar”. Pernyataan ini menegaskan bahwa persepsi, mispersepsi, dan perilaku dari
individu pemimpin dapat memiliki pengaruh yang dramatis terhadap tindakan suatu
negara. Tindakan ini kemudian menciptakan riak melalui sistem internasional secara
keseluruhan.14
Menurut Hubert Blalock, dalam penelitian ilmu sosial dikenal istilah micro-
level analysis, meso-level analysis, dan macro-level analysis.15
Dengan mengacu pada
pembagian ini, peringkat analisis individu dapat digolongkan sebagai micro-level
analysis (analisis tingkat mikro). Pada tingkat ini, yang diperhatikan adalah gaya
12	 Kenneth Waltz sebagaimana dikutip Taku Tamaki, loc. cit.
13	 Thomas Hobbes, Human Nature and De Corpore Politico (Oxford: Oxford University Press, 2008).
14	 Marc A. Genest, op. cit., hal. 10.
15	 Hubert M. Blalock, Social Statistics (New York: McGraw-Hill, 1979).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016102
kepemimpinan (leadership style) dari individu negarawan. Apakah yang dimaksud
dengan gaya kepemimpinan? Menurut Juliet Kaarbo, gaya kepemimpinan adalah
kebiasaan kerja (work habits) para pemimpin, yakni bagaimana mereka berhubungan
dengan orang-orang di sekitar mereka, bagaimana mereka menerima informasi, dan
bagaimana mereka mengambil keputusan.16
Ini semua membentuk pola tertentu
yang berbeda antara satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Misalnya, beberapa
pemimpin cenderung banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sementara
beberapa lainnya lebih menyukai pendelegasian wewenang. Beberapa pemimpin
menyukai mengumpulkan saran atau informasi dari banyak sumber sebelum
mengambil keputusan, namun beberapa lainnya cenderung mengandalkan informasi
dari penasihat terpercaya atau bahkan dari dirinya sendiri.
Namun pemisahan paling umum untuk mengakses gaya pengambilan
keputusan seorang pemimpin adalah apakah pemimpin itu terbuka atau tertutup.
Pemimpin dengan gaya yang lebih terbuka (open style) selalu menyesuaikan perilaku
merekaagarselarasdengantuntutansituasi,untukmemastikandimanaposisioranglain
dengan memperhatikan masalah dan mempertimbangkan bagaimana kecenderungan
tindakan dari pemerintah negara-negara lain sebelum membuat keputusan. Untuk
menjadi pemimpin yang dapat diterima (acceptable leader), gagasan, sikap, keyakinan,
dan motif yang dimilikinya harus mendapatkan validasi eksternal dari orang lain.
Karena isyarat situasional begitu penting untuk menentukan perilaku yang pantas, para
pemimpin yang lebih responsif biasanya berusaha untuk menciptakan dan memelihara
jaringan pengumpulan informasi yang luas agar selalu dapat memahami apa yang
terjadi. Mereka ingin orang-orang di sekitar mereka mewakili berbagai konstituennya,
sehingga dapat terus mengikuti kebutuhan dan kepentingan para konstituen tempat
mereka mengharapkan dukungan.17
Sementara para pemimpin dengan gaya yang lebih tertutup (closed style)
cenderungyakinpadaposisidanpreferensikebijakanmereka,sertasedikitmenggunakan
nasihat orang lain. Apa yang menentukan keputusan mereka adalah bagaimana mereka
memandangsituasimelaluisistemkepercayaanyangdimilikinya,kurangmempedulikan
oposisi atau peringatan dari orang lain. Pengaruh dari pemimpin dengan gaya tertutup
terhadap politik luar negeri bersifat langsung. Apa yang dipersepsikan, nilai-nilai,
16	 Juliet Kaarbo, “Prime Minister Leadership Styles in Foreign Policy Decision Making: A Framework for Re-
search”, dalam Political Psychology, Vol 18 (1997), hal. 553-581.
17	 Margaret G. Hermann, “Leaders and Foreign Policy Decision-Making”, dalam D. Caldwell dan T. McKeon
(eds.), Diplomacy, Force and Leadership: Essay in Honor of Alexander George (Bouler, CO: Westview Press,
1993), hal. 82.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 103
dan keyakinan seorang pemimpin, kemungkinan besar akan menentukan keputusan
yang dibuat, meskipun ada kendala domestik maupun internasional. Sedangkan efek
pemimpin dengan gaya terbuka terhadap politik luar negeri bersifat tidak langsung
(indirect). Contoh pemimpin dunia yang memiliki gaya kepemimpinan tertutup
adalah Ronald Reagan, George W. Bush, dan Margareth Thatcher.18
Sedangkan yang
memiliki gaya kepemimpinan terbuka diantaranya Jimmy Carter, Bill Clinton, dan
Hashemi Rafsanjani. Sedangkan untuk konteks Indonesia, Presiden Soeharto dan
Megawati Soekarnoputri barangkali dapat diklasifikasikan sebagai tipe policy maker
dari gaya kepemimpinan tertutup, sedangkan Presiden Joko Widodo dan B.J. Habibie
lebih mendekati karakteristik dengan gaya kepemimpinan terbuka.
Kaum tradisionalis dalam studi HI biasanya memberi istilah pendekatan
micro-level analysis sebagai biografi, sedangkan para penganut aliran saintifik menyebut
pendekatan ini lebih menekankan pada investigasi perilaku idiosinkratik elit (elite
idiosyncratic behavior) atau kode operasional (operational code).19
Secara leksikal,
idiosinkratik adalah sesuatu yang unik dalam kepribadian seseorang. Jika kita ingin
mengetahui idiosinkratik seseorang maka kita harus mengamati apa yang dilakukan
sesorang dengan caranya sendiri. Heikki Patomäki secara lebih lengkap mengatakan
bahwa idiosinkratik seseorang termanifestasi dalam konteks interaksi dan wacana
(serta terkait dengan kemampaun dan keterampilan praktis).20
Analisis idiosinkratik
adalah kajian tentang manusia sebagai individu dan bagaimana karakter pribadi setiap
pemimpin turut membentuk keputusan-keputusan yang dibuatnya. Misalnya, apakah
pemimpin yang otoriter cenderung mudah mengawali dan meningkatkan konflik
dengan negara lain daripada pemimpin yang demokratis.
Kode operasional (operational code) merupakan varian dari belief-system yang
lebih modern, lebih detail, dan lebih terstruktur. Menurut Melanie Gabriela, kode
operasional digunakan untuk mengidentifikasi dua kategori keyakinan (belief), yaitu
keyakinan filosofis (philosophical belief) dan keyakinan instrumental (instrumental
belief). Keyakinan filosofis terdiri dari beberapa sub-kategori, seperti hakikat esensial
dari dunia (keyakinan filosofis utama), optimisme, kemampuan memprediksi
(predictability), kemampuan mengendalikan (ablity to control), peran yang dimainkan
secara kebutulan (the role played by chance), dan sebagainya. Sedangkan keyakinan
18	 Juliet Kaarbo, loc. cit.
19	 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New
Delhi: Prentice-Hall of India, 1981), hal. 26.
20	 Heikki Patomäki, After International Relations: Critical Realism and the (Re)-Construction of World Politics
(London: Routledge, 2002), hal. 117.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016104
instrumental mencakup beberapa sub-kategori, misalnya arah strategi (keyakinan
instrumental utama), intensitas taktik (intensity of tactics), orientasi tentang resiko
(orientation of risk), periodisasi atau fleksibilitas taktik, penggunaan power (power
exercise), dan sebagainya.21
James Kuhlman menyatakan bahwa operasionalisasi konsep karakteristik
idiosinkratik seorang elit politik dalam analis politik luar bukan pekerjaan mudah.
Aspek idiosinkratik dalam politik luar negeri biasanya didekati dari perspektif
menggambarkan images (citra, kesan) yang ditangkap seorang pengambil keputusan
(decision-maker). Sebuah images merupakan “representasi terorganisir” tentang suatu
obyek dalam sebuah sistem kognitif individu. Images dapat menyebabkan timbulnya
perasaan positif, negatif, atau netral pada orang yang menangkapnya, sehingga dengan
demikian images terkait dengan sikap. Dengan kata lain, bahwa hubungan antara
images dan decisions adalah kunci pokok bagi kerangka kerja yang sangat berharga
dalam analisis politik luar negeri.22
Harold Jacobson dan William Zimmerman mengatakan bahwa eksplanasi
tradisional tentang politik luar negeri selain dapat dikategorikan dalam pendekatan
sistemik, environmental, societal, dan governmental, juga dalam pendekatan idiosinkratik
(psikologis). Pendekatan idiosinkratik memfokuskan diri pada faktor-faktor
kepribadian (personalities). Bagi Jacobson dan Zimmerman, politik luar negeri dengan
pendekatan idiosinkratik adalah yang paling elegan dan secara estetis paling menarik,
namun pendekatan ini sekaligus juga paling sulit (terutama dalam mengaitkannya
dengan realitas empiris). Pendekatan idiosinkratik memberikan indikasi paling sedikit
mengenai dinamika perilaku negara (politik luar negeri).23
Sementara Margaret Hermann berpendapat bahwa dengan menganalisis faktor
idiosinkratik, karakteristik dan kepribadian, prediksi mengenai pengambilan keputusan
politik luar negeri dapat dibuat, karena analisis tersebut dapat memberikan gambaran
yang jelas dari kecenderungan perilaku pribadi para pemimpin. Prediksi biasanya
dilakukan dengan cara analisis dan pemetaan kognitif dari proses-proses kognitif dan
psikologis yang terlibat dalam pengambilan keputusan.24
Jika kita ingin menganalisis
21	 Melanie Gabriela, “Idiosyncracies in Foreign Policy Decision Making: Post Cold War”, disertasi pada Faculty
of European Studies, Babes-Bolya Universiti (Cluj Nopoca, Romania, 2012).
22	 James A. Kuhlman (ed.), The Foreign Policies of Eastern Europe: Domestics and International Determinants
(Leyden: A.W. Sijthoff, 1978), hal. 195.
23	 Harold Jacobson dan William Zimmerman sebagaimana dikutip Paul G. Harris (ed.), Environmental Change
and Foreign Policy: Theory and Practice (London: Routledge, 2009), hal. 5.
24	 Margaret G. Hermann, “Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political
Leaders”, dalam International Studies Quaterly, Vol. 24 No. 1 (1990), hal. 7-46.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 105
suatu peristiwa internasional atau politik luar negeri suatu negara dengan menggunakan
pendekatan peringkat analisis individu, para pembuat keputusan (decision makers) kita
asumsikan sedang menetapkan tujuan, memilih berbagai sebab-sebab tindakan, dan
mendayagunakan kapabilitas nasional untuk mencapai tujuan politik luar negeri atas
nama negaranya.
Dalam pandangan Kalevi Holsti, peringkat analisis ini memusatkan perhatian
pada variabel-variabel ideologi, motivasi, cita-cita, persepsi, dan nilai-nilai, atau
idiosinkratik para individu yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan
politik luar negeri bagi negaranya.25
Sedangkan menurut Caitlin Smith, idiosinkratik
seorang pengambil keputusan dapat dikelompokkan dalam kategori-kategori
karakteristik pribadinya, yang mencakup keyakinan (beliefs), motif (motives), gaya
pengambilan keputusan (decisional style), gaya interpersonal (interpersonal style).26
Sementara Melania Gabriela membagi faktor idiosinkratik dalam pembuatan keputusan
politik luar negeri menjadi empat jenis, yaitu: cognitive idiosyncracies, social perception
idiosyncracies, motivational idiosyncracies, dan emotional (affective) idiosyncracies.27
Cognitive idiosyncracies diidentifikasi sebagai kategori-kategori seperti framing,
anchoring, disponibility, utilitas, kerangka perspetual, persepsi tentang tugas (task
perception), konsistensi kognitif, kompleksitas konseptual, kompleksitas integratif,
gaya berbicara, events presentation, konstruksi yang mempengaruhi gaya putusan, citra,
analogi historis, dan sebagainya. Social perception idiosyncracies diidentifikasi sebagai
kategori-kategori yang berpusat pada self dan others yang ditunjukkan melalui fragmen-
fragmen dalam berbagai wacana dan wawancara, seperti transparansi dan pendekatan
perspektif (self) serta prioritas kepentingan dan memahami bagian pihak lain (others).
Sementara motivational idiosyncracies ditunjukkan dalam beberapa kategori seperti
realisasi diri (self-realization), kohorensi dan keseimbangan (coherence and balance),
kerjasama, dan tanggung jawab. Sedangkan emotional (affective) idiosyncracies
mencakup kategori emosi-emosi positif (apakah ia seorang periang, bergairah, penuh
harapan, dan sebagainya) serta emosi-emosi negatif (orang yang penyedih, gampang
merasa tidak nyaman, mudah marah, dan sebagainya).28
Menurut John Rourke dan Mark Boyer, analisis tingkat individu melibatkan
pemahaman mengenai individu sebagai spesies, individu dalam kelompok, dan
25	 Kalevi J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis (New Jersey: Prentice-Hall, 1995).
26	 Caitlin Smith, “Personality in Foreign Policy Decision-Making”, dalam http://www.e-ir.info/2012/10/16/
[Diakses 28 Desember 2016].
27	 Melanie Gabriela, loc. cit.
28	 Ibid.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016106
individu secara idiosinkratik. Dalam pendekatan individu sebagai spesies, pembuatan
keputusan politik luar negeri dipengaruhi oleh faktor-faktor kognitif, emosional,
psikologis, persepsi, dan seringkali biologis (etologi dan gender). Dalam pendekatan
individu dalam kelompok, dapat diilustrasikan dua konsep, yakni perilaku peran (role
behavior) dan perilaku pengambilan keputusan dalam kelompok (group decision-making
behavior). Sedangkan pendekatan idiosinkratik sedikitnya menelaah lima faktor, yakni
faktor kepribadian, faktor kesehatan fisik dan jiwa, faktor ego dan ambisi, faktor
sejarah politik dan pengalaman pribadi; dan faktor persepsi dan realitas operasional.29
Tabel 1
Faktor Individu Dalam Politik Luar Negeri
PENDEKATAN VARIABEL
A.	 Individu sebagai sebuah spesies 1.	 Cognitive factors
2.	 Emotional factors
3.	 Psychological factors
4.	 Perception factors
5.	 Biological factors
B.	 Individu dalam kelompok 1.	 Role Behavior
2.	 Group decision-making behavior
C.	 Individu dalam konteks
idiosinkratik
1.	 Personality factors
2.	 Physical and mental health
3.	 Ego and ambitions
4.	 Political history and personal experiences
5.	 Perceptions and operational reality
Sumber: John T. Rourke dan Mark A, Boyer (2009).
Ketika menganalisis jenis kepribadian (personality type) dan dampaknya
terhadap kebijakan, kita hendaknya menelaah orientasi dasar seorang pemimpin
terhadap dirinya dan orang lain, pola perilaku, dan sikapnya mengenai konsep-konsep
yang relevan secara politis, misalnya konsep otoritas. Menurut Joseph Grieco (et al),
kepribadian seorang pemimpin terbentuk dari sejumlah sumber, termasuk faktor
29	 John T. Rourke dan Mark A. Boyer, International Politics on the World Stage (New York: McGraw-Hill Educa-
tion, 2009), hal. 74-76.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 107
genetika, sosialisasi semasa kanak-kanak, dan pengalaman pada masa dewasa awal.30
Faktor kepribadian ini dapat berpengaruh kuat pada apa yang dipikirkan seorang
pemimpin mengenai masalah internasional dan politik luar negeri. Sebagai contoh,
beberapa analisis telah menegaskan bahwa identitas rasial dan pengalaman masa kanak-
kanak Presiden Barack Obama tinggal di Indonesia, telah menjadikannya sebagai
presiden Amerika pertama yang memiliki sensitivitas multi-etnis dan multi-rasial di
dalam maupun di luar negeri.
Ada sejumlah skema kategorisasi tentang kepribadian. Salah satu yang paling
banyak digunakan dalam analisis kepribadian politik adalah skala aktif-pasif dan skala
positif-negatif dari James Barber. Pemimpin yang aktif (active leaders) adalah inovator
kebijakan dan pemimpin yang pasif (passive leaders) merupakan seorang yang reaktor.
Sementara itu pemimpin yang berkepribadian positif (positive personalities) biasanya
memiliki kepribadian yang cukup kuat untuk menerima lingkungan politik yang
berbeda (kontroversial), sedangkan pemimpin yang berkepribadian negatif (negative
personalities) cenderung merasa terbebani (bahkan merasa dilecehkan) oleh kritik-
kritik politik.31
Kesehatan jiwa dan fisik (physical and mental health), seorang pemimpin,
menurut Rourke dan Boyer, juga menjadi faktor penting dalam pembuatan keputusan
politikluarnegeri.Sebagaicontoh,ketikaFranklinRooseveltdinyatakansakithipertensi
pada 1945, kelemahan fisik dan jiwa Presiden Amerika Serikat ini menyebabkan ia tidak
dapat menolak tuntutan Joseph Stalin untuk menduduki Eropa Timur. Menyangkut
kesehatan jiwa dan fisik ini adalah kebiasaan minum alkohol. Misalnya, Presiden
Richard Nixon yang dijuluki oleh Henry Kissinger sebagai “my drunken friend”,
dilaporkan sering membuat keputusan-keputusan yang kurang tepat selama era krisis
dengan Uni Soviet. Pembuatan keputusan politik luar negeri, menurut Rourke dan
Boyer, juga dapat dipengaruhi oleh faktor ego dan ambisi pribadi (ego and personal
ambitions) dari seorang pemimpin. Kebijakan Washington mengintervensi Irak 2003,
misalnya, oleh sejumlah pengamat banyak dipengaruhi faktor ego dan ambisi pribadi
Presiden George Bush.32
Begitu pula invasi militer Irak ke Kuwait sebelum itu, banyak
didominasi oleh ego dan ambisi pribadi Presiden Saddam Hussein.
30	 Joseph Grieco, John Ikenberry, dan Michael Mastanduno, Introduction to International Relations (New York:
Palgrave Macmillan, 2015), hal. 113.
31	 Lihat James D. Barber, The Presidential Character: Predicting Performance in the White House (New York:
Prentice-Hall, Inc., 1992).
32	 Lihat George W. Bush, Decision Points (New York: Broadway Paperbacks, 2011).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016108
Pengambil keputusan politik luar negeri seringkali juga dipengaruhi
pengalaman pribadi (personal experiences) mereka. Margaret Hermann mengatakan
bahwa pengalaman masa lalu seorang pemimpin dapat mempengaruhi kebijakan luar
negeri negaranya, di samping faktor-faktor kepribadian lainnya. Meskipun masih
bersifat spekulasi, pengalaman personal Presiden George Bush, menurut Rourke dan
Boyer, mempengaruhi tekadnya untuk menjatuhkan Saddam Hussein dari tampuk
kekuasaan pada 2003.33
Terakhir, images mengenai realitas dari para pengambil
keputusan merupakan elemen idiosinkratik yang juga mempengaruhi pendekatan
mereka terhadap politik luar negeri. Tidak dapat dinafikkan bahwa persepsi seorang
pemimpin memainkan peran sentral dalam pembuatan keputusan politik luar negeri.
Apapun sumbernya, persepsi seorang pemimpin menciptakan pandangan dunianya
(his/her world view). Persepsi memainkan peran kunci dalam kebijakan karena persepsi
membentuk realitas operasional. Artinya, pembuat kebijakan cenderung bertindak
berdasarkan persepsi, apakah persepsi itu akurat atau tidak. Kode operasional, menurut
Rourke dan Boyer, terkait dengan fenomena perseptual. Gagasan ini menjelaskan
bagaimana pandangan dunia setiap pemimpin dan kecenderungan filosofis untuk
mendiagnosis bagaimana politik dunia beroperasi, mempengaruhi kecenderungan
mereka untuk memilih cara imbalan, ancaman, kekuatan, atau metode diplomasi
lainnya.34
Dalam pandangan Russel Bova, faktor-faktor individu yang dapat
mempengaruhi politik luar negeri diklasifikasikan dalam dua variabel utama, yaitu
sistem keyakinan (belief systems) dan atribut kepribadian (personality attributes).
Sebuah sistem keyakinan merujuk pada seperangkat nilai-nilai dan pemahaman
substantif mengenai dunia yang dianut oleh seorang individu. Jika kita meyakini
bahwa kualitas pemimpin mempunyai pengaruh pada politik luar negeri suatu negara,
kita akan langsung mengacu pada gagasan dan keyakinan substantif mereka mengenai
dunia. Dalam konteks ini, perbedaan dalam sistem keyakinan dapat terwujud dalam
perbedaan posisi ketika menanggapi tantangan kebijakan luar negeri tertentu. Sistem
keyakinan yang tingkatnya paling rumit dan sangat terintegrasi adalah ideologi. Dalam
hal ini, ideologi adalah seperangkat asumsi dan pemahaman yang terintegrasi mengenai
bagaimana dunia sosial, ekonomi, dan politik seharusnya dikelola, distrukturisasi atau
diorganisasi. Seorang pemimpin yang ‘berideologi’ nasionalis, misalnya, akan memiliki
pemahaman yang sangat berbeda mengenai dunia daripada seorang pemimpin yang
33	 John T. Rourke dan Mark A. Boyer, loc. cit.
34	 Mengenai peran kode operasional ini, lihat juga Mark Schafer and Stephen Walker (eds.), Beliefs and Leader-
ship in World Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2006).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 109
berorientasi liberal. Perbedaan ideologis ini pada gilirannya akan mempengaruhi
pandangan negara (state view) mengenai siapa yang dianggap sahabat dan musuh di
dunia, sifat dari tantangan dan ancaman yang dihadapinya, serta instrumen yang dapat
digunakan untuk menghadapi tantangan dan ancaman tersebut.35
Selain sistem keyakinan, atribut-atribut kepribadian seorang pemimpin dapat
juga membentuk atau mempengaruhi keputusan politik luar negeri. Apakah seorang
individu pemimpin memiliki kepribadian yang pragmatis atau dogmatis, otoriter
atau demokratis, impulsif atau deliberatif, yang berhati-hati atau pengambil resiko
(cautious or risk-taking), dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan yang
dibuatnya atas nama negara. Salah seorang sarjana HI yang telah melakukan pengujian
mengenai pengaruh atribut kepribadian pemimpin terhadap politik luar negeri suatu
negara adalah Margaret Hermann. Dengan mempelajari apa yang dikatakan para
pemimpin melalui pidato-pidato dan wawancara-wawancara, Hermann membagi ke
dalam tujuh ciri-ciri kepribadian yang berbeda, yaitu: (1) keyakinan bahwa seseorang
dapat mempengaruhi dan mengontrol apa yang terjadi; (2) membutuhkan kekuasaan
dan pengaruh; (3) tingkat kompleksitas konseptual; (4) percaya diri; (5) cenderung
memusatkan perhatian pada pemecahan masalah dan berorientasi prestasi dan menjaga
kelompok atau senang dengan gagasan yang sensitif; (6) tidak percaya atau mencurigai
orang lain; dan (7) tingkat bias dalam kelompok.36
Versi sederhana dari analisis Margaret Hermann mengenai atribut kepribadian
tersebut disajikan dalam Tabel 2. Dengan mengkombinasikan beberapa dari tujuh
ciri kepribadian di atas, Tabel 2 mencoba membedakan para pemimpin ke dalam
dua dimensi, yaitu tanggap terhadap kendala-kendala eksternal dan terbuka terhadap
informasi. Tanggap terhadap kendala (responsiveness to external constraints) harus
dilakukan dengan sejauh mungkin pemimpin memandang keadaan eksternal di tingkat
analisis sistemik dan negara untuk membatasi kebebasan tindakannya. Keterbukaan
terhadap informasi juga perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana seorang
pemimpin berusaha dan menerima informasi yang bertentangan dengan pandangan
dan kebijakan yang telah ditetapkannya. Hasilnya adalah empat jenis kepemimpinan,
yaitu crusaders, opportunists, strategists dan pragmatists.
35	 Russel Bova, How the World Works: A Brief Survey of International Relations (New York: Pearson Education,
Inc., 2016), hal. 78.
36	 Margaret C. Hermann, “Assesing Leadership Style: A Traits Analysis”, dalam http://socialscience.net/ [Diak-
ses 22 September 2016].
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016110
Tabel 2
Tipologi Gaya Kepemimpinan
MENGIKUTI KENDALA MENENTANG KENDALA
TERBUKA TER-
HADAP INFOR-
MASI
OPPORTUNISTS
•	 Paling sensitif terhadap
konteks
•	 Cenderung untuk kompro-
mi dan bargaining
•	 Tampak sangat berhati-hati
STRATEGISTS
•	 Memiliki tujuan yang jelas
•	 Mencari informasi terbaik
untuk mencapai tujuan
•	 Tampak tak dapat diprediksi
TERTUTUP TER-
HADAP INFOR-
MASI
PRAGMATIS
•	 Merasakan tekanan dari
kendala eksternal
•	 Menunda tujuan apabila
waktu dan keadaan tidak
menunjang
•	 Tampak tidak tegas
CRUSADERS
•	 Kurang sensitive terhadap
konteks
•	 Memiliki tujuan jelas dan
mencapainya tanpa ker-
aguan
•	 Tampak sabar, tapi tegas
Sumber: Margaret Hermann, Thomas Preston, Baghat Korany, dan Timothy Shaw, “Who Leads Mat-
ters: The Effects of Powerful Individual”, dalam International Studies Review, Vol. 3 No.2 (2001).
	
Dalam studinya yang lain, Margaret Hermann menemukan sejumlah
karakteristik kepribadian yang mempengaruhi politik luar negeri. Ia diantaranya
menemukan bahwa pemimpin dengan tingkat nasionalisme yang tinggi, memiliki
kebutuhan yang kuat akan kekuasaan, dan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi
terhadap orang lain, cenderung mengembangkan orientasi politik luar negeri yang
independen. Sebaliknya, pemimpin dengan tingkat nasionalisme yang rendah,
memiliki kebutuhan yang tinggi akan evaluasi, dan tingkat ketidakpercayaan yang
rendah terhadap orang lain, cenderung mengembangkan orientasi politik luar
negeri yang partisipatif. Hasil penelitian Hermann menunjukkan bahwa pengaruh
faktor kepribadian dalam kepemimpinan diktator cenderung lebih tinggi daripada
dalam kepemimpinan demokratis, karena dalam kepemimpinan diktator tidak ada
pemeriksaan kelembagaan yang efektif.37
37	 Margaret G. Hermann sebagaimana dikutip oleh Karen A. Mingst, Essentials of International Relations (New
York: W.W. Norton & Company, 2004), hal. 140-142.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 111
KESIMPULAN
Untuk memahami hubungan internasional diperlukan sebuah metode atau
perangkat konseptual yang tepat. Salah satu perangkat konseptual yang paling banyak
dikenal dan berguna untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional yang
kompleks tersebut adalah pendekatan peringkat analisis (level of analysis). Pendekatan
peringkat analisis terutama banyak digunakan oleh para sarjana HI yang beraliran realis
(neorealis), terutama untuk menjelaskan perilaku internasional atau politik luar negeri
suatu negara. Banyak sarjana HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yaitu
level individu, level negara, dan level sistem internasional. Menjelaskan politik luar
negeri dengan menekankan pada level individu seringkali disebut sebagai pendekatan
idiosinkratik. Pendekatan ini merupakan yang paling elegan dan secara estetis paling
menarik, namun sekaligus juga paling sulit (terutama dalam mengaitkannya dengan
realitas empiris).
Ada perbedaan pemahaman diantara pakar HI mengenai pendekatan
idiosinkratik. Namun pada umumnya mereka memandang idiosinkratik sebagai faktor-
faktor yang berkaitan dengan aspek kepribadian (personality) dari seorang pengambil
keputusan (policy maker). Kajian idiosinkratik selain membedah karakteristik individual
atau gaya kepemimpinan (leadership style) seorang pengambil keputusan yang
mempengaruhi politik luar negeri negaranya, juga mengulas tentang faktor-faktor yang
membentuk karakteristik individual atau gaya kepemimpinan tersebut. Karakteristik
individual atau gaya kepemimpinan, misalnya apakah pengambil keputusan tersebut
seorang yang aktif atau pasif, seorang yang terbuka atau tertutup, seorang yang cautious
atau risk-taking, seorang yang otoriter atau demokratis, seorang yang oportunist atau
strategist, seorang yang pragmatis atau crusaders, seorang yang berkepribadian positif
atau negatif, seorang yang impulsif atau deliberatif, dan sebagainya. Sedangkan faktor-
faktor yang membentuk karakteristik individual atau gaya kepemimpinan tersebut
diantaranya personal experience (lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan,
pengalaman semasa remaja, lingkungan kerja, sejarah aktivitasnya dalam politik,
pengalaman organisasi), nilai-nilai (values), sistem kepercayaan (belief system), ambisi,
motivasi, ego, kesehatan fisik dan mental, faktor biologis (laki-laki atau perempuan),
dan masih banyak lagi.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016112
KEPUSTAKAAN
Barber, James D., The Presidential Character: Predicting Performance in the White House
(New York: Prentice-Hall, Inc., 1992).
Blalock, Hubert M., Social Statistics (New York: McGraw-Hill, 1979).
Bova, Russel, How the World Works: A Brief Survey of International Relations (New York:
Pearson Education, Inc., 2016).
Bush, George W., Decision Points (New York: Broadway Paperbacks, 2011).
Caldwell, Dan dan Timothy McKeon (eds.), Diplomacy, Force and Leadership: Essay in
Honor of Alexander George (Bouler, CO: Westview Press, 1993).
Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations:
Power and Justice (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1981).
Genest, Marc A., Conflict and Cooperation: Evolving Theories on International Relations
(Belmont, CA: Wadsworth, 2004).
Gabriela, Melanie “Idiosyncracies in Foreign Policy Decision Making: Post Cold
War”, disertasi pada Faculty of European Studies, Babes-Bolya Universiti (Cluj
Nopoca, Romania, 2012).
Grieco, Joseph, John Ikenberry, dan Michael Mastanduno, Introduction to International
Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2015).
Harris, Paul G. (ed.), Environmental Change and Foreign Policy: Theory and Practice
(London: Routledge, 2009).
Hermann, Margaret G., “Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal
Characteristics of Political Leaders”, dalam International Studies Quaterly, Vol.
24 No. 1 (1990), hal. 7-46.
Hermann, Margaret, Thomas Preston, Baghat Korany, dan Timothy Shaw, “Who
Leads Matters: The Effects of Powerful Individual”, dalam International Studies
Review, Vol. 3 No.2 (2001), hal. 83-131.
Hermann, Margaret C., “Assesing Leadership Style: A Traits Analysis”, dalam http://
socialscience.net/ [Diakses 22 September 2016].
Hobbes, Thomas, Human Nature and De Corpore Politico (Oxford: Oxford University
Press, 2008).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 113
Holsti, Kalevi J., International Politics: A Framework for Analysis (New Jersey: Prentice-
Hall, 1995).
Kaarbo, Juliet, “Prime Minister Leadership Styles in Foreign Policy Decision Making:
A Framework for Research”, dalam Political Psychology, Vol 18 (1997), hal.
553-581.
Kaarbo, Juliet dan James Lee Ray, Global Politics (Boston, MA: Wadsworth Cengage
Learning, 2011).
Kaufman, Joyce P., Introduction to International Relations: Theory and Practice
(Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2013).
Kavalski, Emilian (ed.), Encounters With World Affairs: An Introduction to International
Relations (Farnham, UK: Ashgate, 2002).
Kegley, Jr., CharlesW. dan Shannon L. Blanton, World Politics:Trend andTransformation
(Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011).
Kuhlman, James A. (ed.), The Foreign Policies of Eastern Europe: Domestics and
International Determinants (Leyden: A.W. Sijthoff, 1978).
Mingst, Karen A., Essentials of International Relations (New York: W.W. Norton &
Company, 2004).
Papp, Daniel S., Contemporary International Relations: Framework for Understanding
(New York: Longman Publishing Co., 2002).
Patomäki, Heikki, After International Relations: Critical Realism and the (Re)-
Construction of World Politics (London: Routledge, 2002).
Ray, James Lee, “Integrating Levels of Analysis in World Politics”, dalam Journal of
Theoretical Politics, Vol. 13 No. 4 (2001), hal. 355-388.
Robinson, Stuart, “Level of Analysis”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of
International Relations and Global Politics (New York: Routledge, 2005).
Rourke, John T. dan Mark A. Boyer, International Politics on the World Stage (New
York: McGraw-Hill Education, 2009).
Schafer, Mark dan Stephen Walker (eds.), Beliefs and Leadership in World Politics (New
York: Palgrave Macmillan, 2006).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016114
Singer, J. David, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam
World Politics, Vol. 14 No. 1 (1961), hal. 77-92.
Smith, Caitlin, “Personality in Foreign Policy Decision-Making”, dalam http://www.e-
ir.info/2012/10/16/ [Diakses 28 Desember 2016].
Waltz, Kenneth, Man, the State, andWar (New York: Columbia University Press, 1959).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 115
POKOK BAHASAN HUKUM INTERNASIONAL
DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUBUNGAN INTERNASIONAL
Oleh: Muhammad Ikhwan Hakiki
Dosen FISIP-HI IISIP Jakarta
E-mail: hakikiikhwan87@gmail.com
ABSTRACT
This paper discusses the international law as one of the subjects in the study of International
Relations (IR). The discussion begins from the history of international law, the scope and sources
of international law, the main theories in international law, and concludes with a discussion of
international law viewed from the theories of International Relations. There are a number of theories
of International Relations who paid attention to the phenomenon of international law, but in this
article only discussed the perspective of realist theory, liberal theory and constructivist theory about
international law. This mainstream theories in the study of IR has a different perspective about
the existence of international law in international relations. Realism, for example, tend to have a
pessimistic view of the existence of international law. Analysis of liberalism tends to be positive against
international law, that view of international law as a coordination mechanism and an important
instrument to facilitate cooperation and interdependence between nations. While the constructivist
theory more emphasis on the process of formation, admission, and changes of international norms
(law) in the international community.
Keywords: international law, international relations, realist theory, constructivist theory, liberal
theory.
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang hukum international sebagai salah satu pokok bahasan
dalam studi HI. Pembahasan dimulai dari sejarah hukum internasional, lingkup dan sumber-
sumber hukum internasional, teori-teori utama dalam hukum internasional, dan ditutup dengan
bahasan hukum internasional dilihat dari teori-teori Hubungan Internasional. Ada sejumlah
teori HI yang menaruh perhatian terhadap fenomena hukum internasional, namun dalam tulisan
ini hanya dibahas pandangan teori realis, teori liberal, dan teori konstruktivis terhadap hukum
internasional. Ketiga teori arus utama dalam studi HI ini memiliki perspektif yang berbeda-beda
terhadap eksistensi hukum internasional dalam hubungan internasional. Realisme, misalnya
cenderung memiliki pandangan yang pesimistik tentang eksistensi hukum internasional. Analisis
liberalisme cenderung bersifat positif terhadap hukum internasional, yakni melihat hukum
internasional sebagai sebuah mekanisme koordinasi dan instrumen penting untuk memfasilitasi
kerjasama dan interdependensi antar-negara. Sedangkan teori konstruktivis lebih menekankan
pada proses pembentukan, penerimaan dan perubahan norma-norma (hukum) internasional
dalam masyarakat internasional.
Kata kunci: hukum internasional, hubungan internasional, teori realis, teori konstruktvis, teori
liberal.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016116
PENDAHULUAN
Hukum international (international law) adalah seperangkat aturan yang secara
umum dianggap dan diterima sebagai mengikat dalam hubungan antar-negara dan
antar-bangsa,yangberfungsisebagaikerangkakerjabagipraktikhubunganinternasional
yang stabil dan terorganisir.1
Dengan kata lain, hukum internasional merupakan
seperangkat aturan yang dimaksudkan untuk mengikat (to bind) negara-negara dalam
hubungan mereka satu sama lain. Hukum internasional berbeda dengan sistem-sistem
hukum berbasis negara (state-based legal systems), karena hukum internasional terutama
berlaku untuk negara-negara, sedangkan sistem hukum berbasis negara lebih ditujukan
untuk warga negara.
Selain perbedaan hukum internasional dan hukum nasional, banyak ‘orang
awam’ sering dibingungkan dengan terminologi hukum yang mengandung unsur asing
(foreign law) atau kata internasionalnya. Secara garis besar, hukum yang mengandung
unsur asing (internasional) dapat dibedakan menjadi hukum internasional publik
(public international law) dan hukum perdata internasional (private international law).
Hukum internasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hukum internasional
publik, sedangkan hukum perdata internasional pada hakikatnya bukan merupakan
hukum internasional (melainkan hukum nasional biasa).
Kajian hukum internasional telah lama menjadi bagian dari studi Hubungan
Internasional (HI), bahkan hukum internasional dapat dikatakan sebagai pokok
bahasan yang paling tua dalam studi HI selain diplomasi dan organisasi internasional.
Sebagaimana diketahui, aliran pemikiran (school of thought) yang pertama kali tumbuh
dalam studi HI adalah aliran idealisme yang mengedepankan pentingnya pendekatan
hukum dan organisasi internasional untuk mewujudkan perdamaian dunia. Meskipun
demikian, kajian tentang hukum internasional hingga kini tetap menjadi salah satu
pokok bahasan yang penting (core-subject) dalam studi HI di hampir semua universitas
di dunia.
Akan tetapi, pembelajaran hukum internasional di lingkungan studi HI
(terutama di hampir semua universitas di Indonesia) masih terlalu berorientasi pada
pendekatan ilmu hukum (legal formal). Dengan kata lain, hukum internasional
diajarkan dari perspektif ilmu hukum, bukan dari perspektif studi HI. Salah satu
penyebabnya adalah karena banyak pengajar hukum internasional di program studi
1	 William R. Slomanson, Fundamental Perspectives on International Law (Boston, MA: Wadsworth Cengage
Learning, 2011), hal. 4-5.
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 117
HI berlatar belakang ilmu hukum atau dosen dari fakultas hukum. Padahal orientasi
dan substansi kajian hukum internasional di lingkungan studi HI berbeda dengan di
lingkungan fakultas atau ilmu hukum. Tulisan ini berusaha untuk mengelaborasi hal
ihwal kajian hukum internasional secara umum dan mencoba melihat dari perspektif
studi HI.
SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL
Istilah ‘hukum internasional’ (international law) pertama kali digunakan oleh
Jeremy Bentham pada 1780 dalam karyanya berjudul Introduction to the Principles
of Morals and Legislation. Istilah ‘hukum international’ itu telah menggantikan dua
terminologi yang lebih tua, yaitu ‘law of nations’ (Inggris) dan ‘droit de gens’ (Perancis)
yang dapat ditelusuri kembali pada konsep ‘ius gentium’ (Romawi) dan tulisan-
tulisan dari Cicero. Sedangkan dalam bahasa Jerman, Belanda, Skandinavia, dan
Slavia terdapat terminologi yang lebih tua lagi, yakni ‘Völkerrecht’, ‘Volkenrecht’, dan
sebagainya.2
Jeremy Bentham sendiri mendefinisikan hukum internasional sebagai
himpunan aturan (collection of rules) yang mengatur hubungan antar-negara.
Kendati istilah ‘hukum internasional’ baru diperkenalkan Jeremy Bentham
1780, prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar yang bekaitan dengan hukum
internasional (seperti perjanjian-perjanjian) dapat ditelusuri ribuan tahun sebelumnya.
Menurut banyak ahli sejarah, di wilayah yang sekarang kita kenal dengan India, sudah
ribuan tahun mengenal prinsip-prinsip ‘hukum internasional’ ketika negara-negara
Barat masih berada dalam tahap belum beradab (uncivilized stage). Selain referensi-
referensi dalam kitab Arthshastra, dalam periode pasca-Veda telah ada aturan-aturan
tertentu yang mengatur bagaimana perang dideklarasikan, perjanjian-perjanjian
diumumkan, aliansi-aliansi dinegosiasikan, dan duta-duta besar diakreditasi. Waktu
itu juga sudah ada aturan diplomatik bagaimana seorang duta yang menyampaikan
pesan dari penguasa negaranya tidak boleh dibunuh.3
Contoh awal adanya perjanjian (treaty) sudah terjadi sekitar 2100 SM, yakni
sebuah persetujuan (agreement) negara-kota Lagash dan Umma di Mesopotamia.
Perjanjian ini tertulis pada sebuah blok batu yang secara garis besar menetapkan batas
antara dua negara-kota tersebut. Di samping itu, sekitar 1000 SM sebuah persetujuan
2	 Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law (London: Routledge, 1997), hal. 1.
3	 Pooja, “International Law: Definition, Evolution, and Scope of International Law”, dalam http://www.polit-
ical-sciencenotes.com/articles/international-law- [Diakses 23 Desember 2016].
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016118
ditandatangani antara Ramses II dari Mesir dan Raja Hittites dari Suriah. Perjanjian ini
menerapkan “perdamaian dan persaudaraan abadi” antara dua bangsa, yang juga berisi
sikap saling menghormati wilayah masing-masing dan persetujuan untuk membentuk
sebuah aliansi defensif.4
Yunani Kuno sebelum Alexander Agung juga melahirkan
banyak perjanjian untuk mengatur bagaimana negara-negara kota di wilayah tersebut
berinteraksi.
Pada era Kekaisaran Romawi hukum internasional tidak berkembang. Sebab
dalam berinteraksi dengan wilayah-wilayah yang belum menjadi bagian kekaisaran,
mereka tidak peduli dengan aturan-aturan ekternal. Saat itu yang berkembang di
Romawi justru hukum yang mengatur interaksi antara warga Romawi dengan orang
asing, atau apa yang sekarang dikenal dengan hukum perdata internasional. Setelah
jatuhnya Kekaisaran Romawi dan runtuhnya Tahta Suci Romawi, barulah muncul
kebutuhan dari unit-unit politik yang ada saat itu (kota-kota mandiri, kerajaan-
kerajaan, bangsa-bangsa) atas adanya aturan untuk mengatur perilaku dan interaksi
mereka.
Perdagangan internasional merupakan katalis nyata bagi perlunya
pengembangan aturan perilaku antar negara yang obyektif. Para pedagang lintas-
batas membutuhkan sebuah aturan (code of conduct) untuk melindungi kepentingan
perdagangan mereka. Selain perdagangan, peperangan juga merupakan aktivitas ummat
manusia yang memicu lahirnya hukum internasional. Paling tidak, adanya sebuah
praktik dan kebiasaan bersama yang berlaku umum saat itu dipandang penting oleh
para pelaku perdagangan dan peperangan. Dimulai dari munculnya Liga Hanseatik
(kumpulan dari 150 entitas di Jerman, Skandinavia, dan Baltik) yang mengembangkan
beberapa kebiasaan ‘internasional’ (international customs) untuk memfasilitasi aktivitas
perdagangan dan komunikasi diantara mereka pada abad ke-13 hingga ke-15 M.5
Setelah itu negara-negara kota di Italia mulai mengembangkan aturan-aturan
diplomatik,karenamerekamulaimengirimkandutabesarkeberbagainegara,khususnya
untuk mengatur urusan-urusan perdagangan. Perjanjian-perjanjian antar pemerintah
pun mulai dibuat yang dimaksudkan untuk mengikat interaksi mereka, atau setidaknya
dapat menjadi instrumen yang berguna untuk melindungi perdagangan diantara
mereka. Pada saat yang sama, peristiwa “Perang Tiga Puluh Tahun” (Thirty Years’ War)
4	 Arthur Nussbaum sebagaimana dikutip Christopher N. Warren, Literature and the Law of Nations 1580-1680
(Oxford: Oxford University Press, 2015).
5	 Lihat David Nicolle, Forces of the Hanseatic League: 13th–15th Centuries (London: Osprey Publish-
ing, 2014).
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 119
semakin mendorong perlunya diciptakan aturan pertempuran (rules of combat) yang
dapat melindungi masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran. Gagasan
inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menginspirasi munculnya
Konvensi Geneva 1949.
Perjanjian Westphalia 1648 merupakan titik balik dalam upaya membangun
hukum internasional sehubungan dengan dintroduksinya konsep kedaulatan negara
(state sovereignty). Namun upaya pertama untuk merumuskan sebuah teori otonom
tentang hukum internasional telah terjadi sebelum itu, tepatnya di Spanyol pada abad
ke-16. Francisco de Vitoria, misalnya, menulis tentang aspek keadilan penaklukan
Spanyol di Amerika yang diterbitkan pada 1557. Alberico Gentili (1598) dan Francisco
Suarez (1612) melakukan elaborasi tentang doktrin perang yang adil (just war doctrine),
dan membedakan hukum alam (jus natural) dengan hukum yang dipraktikkan negara-
negara (jus gentium). Kemudian Hugo Grotius (1625) mempublikasikan sebuah buku
berjudul De Jure Belli ac Pacis (hukum tentang perang dan damai). Berkat karyanya
yang fenomenal ini, Hugo Grotius di kemudian hari dinobatkan sebagai “bapak
hukum internasional”.6
Pada abad ke-17 hingga 19, berbagai upaya masih dilakukan oleh para ahli
hukum untuk mengkodifikasi hukum internasional. Misalnya, pada 1672 Samuel
Pufendorf menulis buku berjudul De Jure Naturae et Gentium (hukum alam dan negara),
yang kemudian menjadikannya sebagai pionir aliran naturalis tentang pemikiran
hukum. Lantas, pada 1863 Francois Lieber menyiapkan A Code for the Government
of Armies yang digunakan selama Perang Perancis-Prussia (1870-1871). Pada 1868,
Bluntschli juga membuat upaya-upaya yang komprehensif menuju kodifikasi hukum
internasional. Pada 1872, David Dudley Field mengeluarkan Draft Outline of an
International Code. Sarjana hukum Italia, Pasquale Flore, pada 1899 menerbitkan
sebuah kode yang mencakup berbagai bidang dari hukum internasional.7
Sebuah perkembangan penting dalam hukum internasional modern adalah
konsep “persetujuan” (consent). Sebelum Perang Dunia II, sebuah negara tidak akan
dianggap terikat oleh sebuah aturan internasional kecuali negara tersebut telah secara
resmi menyetujui untuk terikat terhadap aturan tersebut, atau dianggap sudah lazim
mematuhi aturan tersebut. Namun, di era modern sekarang ini, sekedar menyetujui
sebuah praktik internasional dianggap cukup untuk terikat dengan praktik tersebut,
6	 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New
Delhi: Prentice-Hall of India, 1981), hal. 230.
7	 Peu Ghosh, International Relations (New Delhi: PHI Learning Private Limited., 2015), hal., 258.
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2
Jurnal alternatif vol 6-2

More Related Content

Similar to Jurnal alternatif vol 6-2

Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiYasirecin Yasir
 
Essay - Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi Rohingya
Essay -  Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi RohingyaEssay -  Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi Rohingya
Essay - Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi RohingyaIndira Jauzā
 
Fenomena pendidikan persekolahan
Fenomena pendidikan persekolahanFenomena pendidikan persekolahan
Fenomena pendidikan persekolahanbarokah hilmi
 
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIKPEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIKMuhammadSurifArief
 
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...keyshacaca
 
Paper lengkap sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni&ilmu ;terapan
Paper  lengkap sosiologi  pendidikan sebagai ilmu  murni&ilmu ;terapanPaper  lengkap sosiologi  pendidikan sebagai ilmu  murni&ilmu ;terapan
Paper lengkap sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni&ilmu ;terapanDadang DjokoKaryanto
 
PPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptx
PPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptxPPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptx
PPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptxTrieAnanda2
 
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdfaureliagao
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaAinina Sa'id
 
Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.
Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.
Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.Septian Muna Barakati
 
Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlinePembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlineDenny Kodrat
 
Perlunya reorientasi sosiologi di indonesi ax
Perlunya reorientasi sosiologi di indonesi axPerlunya reorientasi sosiologi di indonesi ax
Perlunya reorientasi sosiologi di indonesi axrhyzkey
 
bahanklasikal soio.docx
bahanklasikal soio.docxbahanklasikal soio.docx
bahanklasikal soio.docxChorong Park
 
Uas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djokoUas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djokojuniato
 

Similar to Jurnal alternatif vol 6-2 (20)

Kelompok 8
Kelompok 8Kelompok 8
Kelompok 8
 
Sejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologiSejarah perkembangan sosiologi
Sejarah perkembangan sosiologi
 
Essay - Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi Rohingya
Essay -  Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi RohingyaEssay -  Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi Rohingya
Essay - Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi Rohingya
 
MARXISME DAN EVOLUSI MANUSIA -- DEDE MULYANTO
MARXISME DAN EVOLUSI MANUSIA -- DEDE MULYANTOMARXISME DAN EVOLUSI MANUSIA -- DEDE MULYANTO
MARXISME DAN EVOLUSI MANUSIA -- DEDE MULYANTO
 
Fenomena pendidikan persekolahan
Fenomena pendidikan persekolahanFenomena pendidikan persekolahan
Fenomena pendidikan persekolahan
 
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIKPEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
PEMAKAIAN BAHASA DI MEDIA MASSA CETAK DAN ELEKTRONIK
 
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
Perbedaan Pendapat Antar Pertemanan dalam Memahami Sebuah Pesan di Salah Satu...
 
Paper lengkap sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni&ilmu ;terapan
Paper  lengkap sosiologi  pendidikan sebagai ilmu  murni&ilmu ;terapanPaper  lengkap sosiologi  pendidikan sebagai ilmu  murni&ilmu ;terapan
Paper lengkap sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni&ilmu ;terapan
 
PPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptx
PPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptxPPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptx
PPT ANTROPOLOGI PERTEMUAN 2.pptx
 
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
 
3 93-1-pb
3 93-1-pb3 93-1-pb
3 93-1-pb
 
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai AlirannyaFilsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
Filsafat Barat Kontemporer dan Berbagai Alirannya
 
Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.
Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.
Makalah hubungan filsafat dengan ilmu nurhalima s.
 
Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_onlinePembingkaian berita lgbt_di_media_online
Pembingkaian berita lgbt_di_media_online
 
Perlunya reorientasi sosiologi di indonesi ax
Perlunya reorientasi sosiologi di indonesi axPerlunya reorientasi sosiologi di indonesi ax
Perlunya reorientasi sosiologi di indonesi ax
 
Modul 1
Modul 1Modul 1
Modul 1
 
bahanklasikal soio.docx
bahanklasikal soio.docxbahanklasikal soio.docx
bahanklasikal soio.docx
 
130313 spiral of silence
130313 spiral of silence130313 spiral of silence
130313 spiral of silence
 
Sejarah sosiologi
Sejarah sosiologiSejarah sosiologi
Sejarah sosiologi
 
Uas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djokoUas jawaban no 5 djoko
Uas jawaban no 5 djoko
 

Recently uploaded

PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...rofinaputri
 
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI pptMATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI pptAnggitBetaniaNugraha
 
3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.ppt
3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.ppt3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.ppt
3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.pptsulistyaningsih20
 
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiAnalisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiMemenAzmi1
 
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdfSoal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdfArfan Syam
 
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptxMateri Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptxRizkya19
 
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT KehutanananPATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananantrialamsyah
 
imunisasi measles rubella indonesia puskesmas
imunisasi measles rubella indonesia puskesmasimunisasi measles rubella indonesia puskesmas
imunisasi measles rubella indonesia puskesmasMhd Fardhan
 
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...TitinSolikhah2
 
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non BankRuang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non BankYunitaReykasari
 
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024SDNTANAHTINGGI09
 

Recently uploaded (11)

PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
 
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI pptMATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
 
3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.ppt
3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.ppt3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.ppt
3. Sejarah masuknya islam ke Nusantara dan KERAJAAN ISLAM DEMAK.ppt
 
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiAnalisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
 
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdfSoal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
 
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptxMateri Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
 
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT KehutanananPATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
 
imunisasi measles rubella indonesia puskesmas
imunisasi measles rubella indonesia puskesmasimunisasi measles rubella indonesia puskesmas
imunisasi measles rubella indonesia puskesmas
 
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
 
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non BankRuang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
 
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
 

Jurnal alternatif vol 6-2

  • 1. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 i ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL Pelindung: Ketua Yayasan Jayabaya Pembina: Rektor Universitas Jayabaya Prof. H. Amir Santoso, Ph.D Penanggung Jawab: Dekan FISIP Univ. Jayabaya Drs. Erwin Zein, M.Si Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi: Dr. Umar S. Bakry Mitra Bestari: Prof. Dr. Arry Bainus, MA Prof. Yanyan M. Yani, Ph.D Prof. Bob S. Hadiwinata, Ph.D Prof. Suke Djelantik, Ph.D Musafir Kelana, Ph.D Redaktur Pelaksana: Drs. Denny Ramdhany, M.Si Sekretaris Redaksi: Iin Sofyan, SE, MM Dewan Editor: Drs. Saiful Syam, MA, Ph.D Dra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D Drs. Subarno, M.Hum Dra. Ambarwati, M.Si Drs. Mansyur Kardi, M.Si Sinta Julina, S.Sos, M.Si Alamat Redaksi: FISIP-HI Universitas Jayabaya Jl. Pulomas Selatan Kav. 23 Jakarta Timur 13210 Telp/Fax: 021-4700903 HP 08111755379/0818718570 E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg ISSN: 2087 – 7048 VOLUME 06 NOMOR 02 – 2016 DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI (Hal. ii) RUNTUHNYA INTEGRASI UNI EROPA? (Hal. 81 – 95) PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DALAM POLITIK LUAR NEGERI: SEBUAH KAJIAN IDIOSINKRATIK (Hal. 96 – 114) POKOK BAHASAN HUKUM INTERNASIONAL DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUBUNGAN INTERNASIONAL (Hal. 115 – 131) KAJIAN KOMUNIKASI GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLITIK LUAR NEGERI (Hal. 132 – 150) STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI EVOLUSI KEAMANAN GLOBAL CHINA (Hal. 151 – 165) PEDOMAN PENULISAN (Hal. 166) ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran- pemikiranalternatifdalamIlmuHubunganInternasional. Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit dua kali (dua volume) dalam setahun.
  • 2. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016ii PENGANTAR REDAKSI AMITAV Acharya mengatakan bahwa studi Hubungan Internasional (HI) merupakan salah satu disiplin akademis yang paling cepat pertumbuhannya (the fastest growing academic disciplines), baik dalam hal pokok bahasan maupun metodologi yang digunakan. Ini terjadi karena fenomena politik dunia dan masyarakat global yang menjadi objek kajian studi HI berubah begitu cepat dan dinamis. Setiap perubahan yang terjadi dalam praktik hubungan internasional (terutama perubahan-perubahan fundamental) tentu menuntut reorientasi dan bahkan redefinisi dari teori-teori dan studi HI itu sendiri. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional ALTERNATIF edisi kali ini kembali menyajikan beberapa tulisan yang terkait dengan perubahan atau dinamika hubungan internasional yang berimplikasi pada studi HI. Tulisan pertama berjudul “Runtuhnya Integrasi Uni Eropa?” merupakan refleksi pemikiran dari Asrudin Azwar tentang perkembangan terbaru Uni Eropa terkait dengan keluarnya Inggris (Brexit) dari unit politik tersebut serta fenomena kebangkitan kembali nasionalisme di negara-negara Eropa. Fenomena ini oleh banyak peneliti HI dianggap sebagai kemunduran integrasi Eropa, tetapi Asrudin Azwar mencoba melihat dari perspektif yang berbeda. Tulisan Gema Nusantara Bakry berjudul “Kajian Komunikasi Global dan Pengaruhnya terhadapPolitikLuarNegeri”memberikanalternatifsebuahpendekatanbarudalammenganalisis politik luar negeri suatu negara, yakni global communication approach, yang belum banyak dioptimalkan oleh para penstudi HI di Indonesia. Sedangkan karya Lastika Kusumardhani berjudul “ Strategi Amerika Serikat dalam Menghadapi Evolusi Keamanan Global China” menyoroti dinamika keamanan regional di Asia-Pasifik yang memanas sehubungan dengan bangkitnya kekuatan militer China. Sementara tulisan karya Umar Suryadi Bakry (Pengaruh Faktor Individu dalam Politik Luar Negeri) dan artikel Muhammad Ikhwan Hakiki (Pokok Bahasan Hukum Internasional) lebih ditujukan untuk membahas studi HI dari aspek teoritis. Semoga seluruh artikel yang kami sajikan dalam ALTERNATIF edisi kali ini bermanfaat bagi para pembaca dan komunitas studi HI pada umumnya. Salam! • Redaksi
  • 3. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 81 RUNTUHNYA INTEGRASI UNI EROPA? Oleh: Asrudin Azwar Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) E-mail: d_asrudian@yahoo.co.id ABSTRACT Speaking of European Union (EU), narrations appearing on some International Relations (IR) literature mostly reveal the success of EU integration. Only a few of them talk about the failure of EU integration. The literature frequently cited by IR researchers to measure EU integration are still referring the old writings of David Mitrany, Ernst B. Haas, Karl Deutsch, Joseph Nye, etc. Therefore, no wonder if IR researchers are always optimist about EU integration. This article seeks not to follow the most IR researcher’s grip and would like to begin from skepticism. From the current tendencies, the author refuses to say that EU had been succeeded on its integration. This refusal was based on the case of England’s resignation from EU or Britain Exit (Brexit), and also by the rise of European country’s nationalism that joined in EU. From those cases, the author wants to show that EU integration’s cohesion is threatened, more precisely lead to collapse. Keywords: integration, European Union, nastonalism, Brexit, international relations. ABSTRAK Berbicara tentang Uni Eropa (EU), narasi yang muncul pada beberapa literatur Hubun- gan Internasional (HI) sebagian besar mengungkapkan keberhasilan integrasi Uni Eropa. Hanya beberapa dari mereka berbicara tentang kegagalan integrasi Uni Eropa. Literatur yang sering diku- tip oleh peneliti-peneliti HI untuk mengukur integrasi Uni Eropa masih mengacu tulisan-tulisan lama dari David Mitrany, Ernst B. Haas, Karl Deutsch, Joseph Nye, dll. Oleh karena itu, tak heran jika para peneliti HI selalu optimis tentang integrasi Uni Eropa. Artikel ini berusaha untuk tidak mengikuti pakem dari kebanyakan peneliti HI dan ingin mengawalinya dari skeptisisme. Dari kecenderungan saat ini, penulis menolak untuk mengatakan bahwa Uni Eropa telah berhasil atas integrasinya. Penolakan ini didasarkan pada kasus pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit), dan juga oleh kebangkitan nasionalisme negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Dari kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa kohesi integrasi Uni Eropa terancam, lebih tepatnya mengarah pada keruntuhan. Kata kunci: integrasi, Uni Eropa, nasionalisme, Brexit, hubungan internasional.
  • 4. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201682 PENDAHULUAN Kajian tentang integrasi UE memang selalu menarik untuk dikupas. Karena kajian tentang ini dinilai banyak teoretikus HI paling sesuai dengan khittah-nya ilmu HI, yaitu untuk menciptakan perdamaian dunia. Bahkan kesuksesan integrasi UE ini, kata Mohtar Mas’oed, telah melampaui apa yang sudah dilakukan oleh organisasi internasional manapun, termasuk PBB. Pada buku yang disunting oleh Wisnu Tri Hanggoro, Johnly E.P. Poerba, dan Andreas Harsono, Perang, Militerisme, dan Tantangan Perdamaian, Mohtar misalnya dengan nada optimis menceritakan satu pengalaman penciptaan perdamaian di Eropa yang jalannya agak fungsionalis, yaitu dengan penciptaan kerja sama dalam bidang- bidang teknis, sebisa mungkin nonpolitis sehingga orang tidak lagi berbicara tentang kedaulatan. Dari situ mereka secara bersama-sama menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya supra-internasional. Di Eropa pada waktu itu mulainya dengan kerja sama di dua bidang, yaitu energi batubara dan baja. Kerja sama semacam inilah yang kemudian menjadi sangat beragam, sehingga memunculkan apa yang kita kenal sebagai Masyarakat Eropa.1 Kini menjadi Uni Eropa. Selanjutnya Mas’oed menyinggung perubahan sosial dalam pengertian kondisi dan presipitasi. Memang yang terjadi akhir-akhir ini, seolah-olah merupakan akibat dari ulah para pemimpin. Padahal kondisi untuk itu, menurut penilaian Mas’oed sudah ada sebelumnya, paling tidak sesudah Perang Dunia II. Ada dua negara yang selama beratus-ratus tahun berperang, yakni Jerman dan Perancis. Tapi karena kondisinya tidak memungkinkan mereka berperang, ya tidak berperang. Dan ketika kondisi itu sudah siap, muncul percikan itu, presipitasi (precipitation). Dan percikan itu munculnya dalam bentuk pilihan-pilihan para pemimpin. Munculnya pemimpin-pemimpin seperti Helmut Kohl yang tidak melulu mendahulukan kepentingan nasional, tapi kepentingan yang lebih luas, telah memunculkan suatu eksperimen perdamaian yang paling besar di dunia. Ratusan tahun perang, namun kemudian dilupakan orang.2 Jadi, kalau kita ingin tahu yang konkrit, yakni bagaimana mengupayakan perdamaian, tegas Mohtar, kita bisa melihatnya melalui pengalaman Eropa. Dan bagi Mohtar kasus Eropa ini adalah proses yang sangat empirik dan jelas kontribusinya terhadap perdamaian.3 1 Mohtar Mas’oed dalam Wisnu Tri Hanggoro, Johnly E.P. Poerba, dan Andreas Harsono (eds.), Perang, Mi- literisme, dan Tantangan Perdamaian, (Salatiga & Jakarta: Satya Wacana University Press & Gramedia Widi- asarana Indonesia, 1994), hal. 101. 2 Ibid, hal. 102. 3 Ibid.
  • 5. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 83 Namun,kinisituasiekonomidanpolitikdinegara-negaraEropasudahberubah. Terdapat sejumlah rintangan yang bisa menganggu kohesivitas negara-negara Eropa. Dalam konteks itulah, penulis ingin membuka narasi yang berbeda dan jauh lebih skeptis dari Mohtar.4 Penulis menilai bahwa terdapat masalah dalam proses integrasi di UE, yang kemudian memicu lahirnya tuntutan dari warga negara-negara Eropa yang tergabung dalam UE untuk melakukan referendum: bertahan di UE atau ke luar dari UE. Masalah itu atau rintangan itu terkait dengan adanya defisit demokrasi di dalam tubuh UE dan persoalan imigran ilegal yang terus membanjiri wilayah-wilayah UE. Karena masalah-masalah itulah Inggris ke luar dari UE (Brexit) dan bangkitnya nasionalisme di sejumlah negara Eropa. Tulisan ini akan mengurai secara mendalam bagaimana Inggris bisa ke luar dari UE (Brexit) dan bagaimana partai-partai yang berhaluan kanan (nasionalis) saat ini bisa mendapat tempat di hati khalayak publik Eropa. Untuk sampai pada inti tulisan ini, penulis akan mengulas lima ulasan penting. Pertama, tulisan ini akan mengulas bagaimana proses integrasi di Eropa terbentuk dan bisa menjadi besar seperti sekarang ini. Kedua, akan diulas pula sejumlah rintangan yang ikut menyertai proses integrasi di Eropa. Ketiga, mengupas dampak dari rintangan itu: Brexit dan Bangkitnya Nasionalisme di Eropa. Keempat, bagaimana dampak dari rintangan itu telah membuat UE dilema dalam mengambil keputusan. Kelima, memberikan hipotesa atas apa yang sudah penulis bahas sebelumnya. INTEGRASI UNI EROPA Konsepsi tentang integrasi memang merupakan pokok bahasan menarik dalam ilmu HI pasca Perang Dunia II. Bahasan tentang integrasi ini dikaji karena berkenaan dengan upaya-upaya untuk mencegah perang dan menciptakan perdamaian dunia. Pendekatan tentang terjadinya perang itu sendiri salah satunya merujuk pada terlalu kuatnya sistem negara bangsa warisan Westphalia.5 Karena itulah negara-negara Eropa membuat sebuah formulasi baru untuk menciptakan perdamaian dengan tidak 4 Untuk ulasan yang skeptis tentang integrasi UE, bisa juga dibaca dalam buku Asrudin Azwar, Teori Perda- maian Demokratis, (Malang: Intrans Publishing, 2016), hal. 175-200. 5 Ambarwati, “Aplikasi Teori Integrasi dalam Hubungan Internasional: Eropa dan Asia Timur,” dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal 125; baca juga ulasan tentang teori integrasi secara komprehensif dalam Tanja A. Bor- zel, “Comparative Regionalism: European Integration and Beyond”, dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons (eds.), Handbook of International Relations, (London: SAGE Publications, 2013), hal. 503-522.
  • 6. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201684 menekankan kembali pada kuatnya peran negara bangsa, seperti yang pernah dilakukan pada 1648.6 Tapi dengan mengalihkan kesetiaan negara-negara Eropa pada organisasi yang lebih besar atau yang berskala regional. Pengalihan kesetiaan itu ditunjukkan oleh negara-negara Eropa dengan mengikatkan diri (integrasi) satu sama lain, agar tidak mengulangi era kegelapan seperti yang pernah terjadi pada masa Perang Dunia (I & II). Karena hal itulah sejumlah teoretikus HI menyebut integrasi negara-negara Eropa ini sebagai sesuatu yang unik. Stephen Krasner misalnya - seorang realis politik terdepan yang begitu percaya dengan dominannya negara berdaulat – mengakui bahwa Uni Eropa adalah sesuatu yang berbeda. Uni Eropa, tegasnya, telah memberikan contoh lain seperangkat karakteristik alternatif: organisasi regional ini memiliki wilayah, pengakuan, kontrol, otoritas nasional, otoritas ekstranasional, dan otoritas supranasional. Krasner bahkan mengatakan Uni Eropa bukanlah model yang bisa ditiru oleh belahan dunia lain.7 Jalan menuju integrasi Eropa sendiri berawal dari peran Amerika Serikat. Amerika-lah yang memulihkan Eropa yang berada dalam keadaan kacau pada 1945. Jerman terpecah dan diduduki dan Amerika berusaha untuk memulihkan perekonomian Eropa sebagai bagian dari upaya untuk memulai kembali aktivitas ekonomi global pada masa damai, memperbaharui Eropa sebagai pasar bagi barang- barang Amerika, dan mengurangi daya tarik komunisme bagi orang-orang Eropa. Langkah pertama Amerika adalah menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif untuk melakukan rekonstruksi. Untuk mencapai hal ini, Amerika Serikat menjalankan strategi dua langkah. Pertama, memberikan kepada Eropa alat-alat untuk membangun kembali, dimulai dengan Marshall Plan. Kedua, memperkuat keamanan Eropa, yang mencapai puncaknya dengan pembentukan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 1949. Kedua langkah tersebut mengusahakan penyatuan Eropa Barat sebagai penyeimbang USSR.8 Marshall Plan memberikan bantuan ekonomi, yang tunduk pada koordinasi upaya pemulihan Eropa. Ini merupakan langkah awal dalam jalan panjang menuju penyatuan Eropa. Pada 1948, Organisasi Kerja Sama Ekonomi Eropa (Organization for European Economic Cooperation/OEEC) dibentuk untuk mengoordinir bantuan Marshal. Hingga terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa 6 Tentang Westphalia baca Paul Hirst., War and Power in the 21st Century: The State, Military Conflict, and the International System (Cambridge: Polity, 2001). 7 Lihat Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999), hal. 235. 8 Lihat Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, (London & New York: Routledge, 2008), bab 9.
  • 7. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 85 (European Economic Community/EEC), OEEC berperan penting dalam mendorong perdagangan dan memberi Eropa kemudahan menukar mata uang.9 Bantuan Marshall Plan diberikan kepada seluruh negara Eropa, termasuk negara-negara Eropa Timur, namun Stalin memaksa mereka untuk menolak bantuan ini karena khawatir bantuan tersebut akan meningkatkan pengaruh Amerika di blok Soviet. Selain itu, meskipun ada OEEC, permintaan bantuan Eropa sedikit lebih banyak daripada daftar permintaan masing-masing negara alih-alih sebuah upaya serius untuk kerjasama luas. Namun, pembagian Jerman dan peran penting Jerman Barat di garis depan Perang Dingin memastikan berlanjutnya kepentingan Amerika dalam integrasi Eropa. Sebuah entitas Eropa, menurutnya, akan membuat Jerman baru menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada Eropa sendiri, sehingga meredakan kekhawatiran negara-negara Eropa lainnya akan lahirnya kembali nasionalisme Jerman namun memungkinkan Jerman untuk berkontribusi pada rekonstruksi dan keamanan Eropa.10 Untuk mensukseskan rekonstruksi, Eropa mengandalkan pada potensi industri Eropa Barat (Ruhr Basin), lokasi produksi baja dan batu bara terbesar di Eropa. Dengan menempatkan daerah ini di bawah kontrol internasional, akan memaksa Perancis dan Jerman Barat - negara-negara yang sempat berperang selama beratus-ratus tahun lalu - untuk bekerja sama. Meskipun Perancis sempat curiga, langkah besar pertama menuju integrasi Eropa sebagian besar adalah karya pakar ekonomi Perancis yang berpandangan jauh dan mantan pejabat Liga Bangsa-Bangsa, Jean Monet (1888-1979). “Tidak akan ada perdamaian di Eropa,” kata Monnet tahun 1943, “jika negara-negara membangun kembali diri mereka berdasarkan kedaulatan nasional, dengan semua yang tersirat di dalamnya melalui kebijakan prestise dan proteksionisme ekonomi.” Pada 9 Mei 1950, Menteri Luar Negeri Perancis, Robert Schuman (1886-1963), dalam sebuah pidato yang dipersiapkan oleh Monnet, mengusulkan integrasi industri batu bara dan baja Jerman dan Perancis di bawah institusi supranasional yang disebut High Otority. Diikuti dengan masuknya negara-negara Eropa yang lain, seperti Italia, Belgia, Belanda, dan Luxemburg, Schuman Plan menjadi dasar bagi disepakatinya Masyarakat Baja dan Batu Bara Eropa (European Coal and Steel Community-ECSC) pada 1951.11 Tujuan politiknya, menurut Perjanjian Paris (Treaty of Paris) adalah “untuk menggantikan rivalitas turun-temurun dengan penggabungan kepentingan-kepentingan ekonomi esensial mereka. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid.
  • 8. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201686 Satu inisiatif penting lainnya diambil pada Perjanjian Roma (Treaty of Rome), yang membawa pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa/Pasar Bersama (European Economic Community – EEC/Common Market), terdiri dari Perancis, Republik Federal Jerman, Italia, Belgia, Luksemburg, dan Belanda. Di tahun 1960- an, Eropa Barat mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk mengejar kesatuan moneter. Pembentukan Sistem Moneter Eropa (European Monetary System – EMS) merupakan satu inisiatif awal penting menuju kesatuan moneter. Sejak dilakukannya penandatanganan Akta Eropa Tunggal (Single European Act – SEA) ditahun 1986, yang memerinci tujuan penciptaan pasar Eropa bersatu pada 1992, pergerakan menuju penyatuan Eropa mengalami percepatan. Dengan disepakatinya perjanjian Maastricht pada 9 Februari 1992, akhirnya terbentuklah Uni Eropa – UE (European Union-EU).12 Terbentuknya UE ini kemudian menciptakan sebuah Economic and Monetary Union (Kesatuan Ekonomi dan Moneter) tunggal dengan menghubungkan mata uang nasional negara-negara anggota dan menuntut komitmen anggota-anggotanya untuk menciptakan satu mata uang Eropa. Pada tahun 2000 diperkenalkan “zona euro” baru dengan penggantian mata uang-mata uang nasional dengan satu mata uang yang disebut euro dan pembentukan European Central Bank (Bank Sentral Eropa) yang bertanggungjawab atas kebijakan moneter Eropa secara keseluruhan. Pada 2004, euro berhasil menjadi mata uang yang kuat dan menjadi pesaing dollar AS dalam transaksi internasional.13 Kesuksesan demi kesuksesan yang berhasil di raih Uni Eropa inilah yang lalu menciptakan apa yang disebut oleh David Mitrany sebagai Doctrine of Ramification atau Spillover dalam istilahnya Ernst B. Haas.14 Karenanya menjadi lumrah jika kemudian keanggotaan UE terus bertambah. Hingga kini keanggotaan UE telah mencapai 28 negara, termasuk di dalamnya adalah negara-negara Eropa Timur. Itu artinya negara-negara Eropa mulai menyadari pentingnya kerjasama ketimbang berperang. Menengok jauh ke belakang dalam sejarah perang, yang menjadi keajaiban tentu saja adalah penolakan negara-negara Eropa terhadap sebuah tradisi 700 tahun, yaitu penyelesaian masalah melalui kekuatan militer. Tidak ada lagi aksi saling bunuh. 12 Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad ke-21, (Jakarta: Murai Kencana, 2002), hal. 209. 13 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty (2008), Bab 9. 14 Lihat karya-karya klasik dari Mitrany dan Haas: David Mitrany, “The Functional Approach to World Orga- nization,” dalam International Affairs 24 (1948); David Mitrany, The Functional Theory of Politics, (New York: St Martin Press, 1975); Ernst B. Haas, “International Integration: the European and the Universal Process,” dalam International Organization 15 (1961); Ernst B. Haas, The Obsolescence of Regional Integration Theory, (Berkeley: University of California Press, 1975); Ernst B. Haas, The Uniting Europe: Political, Social, and Eco- nomic Forces, (Stanford, California: Stanford University Press, 1968).
  • 9. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 87 Semua masalah Eropa kini akan dihadapi dengan diplomasi, hukum internasional, negosiasi, dan multilateralisme. Pembentukan Uni Eropa merupakan sebuah perubahan besar, perubahan geopolitik terbesar dalam sejarah dunia.15 Georg Sorensen bahkan menilai bahwa suksesnya integrasi UE itu tidak lepas dari keyakinan negara-negara Eropa pada nilai demokrasi yang dimiliki bersama: saling percaya.16 Dan keyakinan ini - mengutip istilah Karl Deutsch – bisa menciptakan yang namanya komunitas keamanan, yang didefinisikan sebagai: “a group of people which has become ‘integrated’. By integration we mean the attainment, within a territory, of a ‘sense of community’ and of institutions and practices strong enough and widespread enough to assure...dependable expectations of ‘peaceful change’ among its population. By sense of community we mean a belief...that common social problems must and can be resolved by processes of peaceful change.”17 DefinisiDeutschianmengenaiintegrasibukanhanyaberfokuspadaperdamaian, dan syarat-syarat bagi perdamaian, namun lebih dari itu. Sebuah komunitas keamanan melibatkan bukan hanya ketiadaan akan perang, tapi yang lebih penting lagi, ketiadaan akan pilihan militer dalam interaksi antarnegara Eropa dalam komunitas keamanan. RINTANGAN UNI EROPA: DEFISIT DEMOKRASI Meski ulasan proses integrasi UE di atas nampak begitu optimistik, namun pada kenyataannya pergerakan menuju unifikasi ekonomi dan politik Eropa yang lebih besar masih merupakan sebuah pergerakan elite yang terdiri dari para pemimpin politik nasional, pemimpin bisnis, dan pejabat pemerintahan UE. Opini publik dalam masyarakat negara-negara Eropa, di sisi lain, cenderung melawan atau setidaknya belum siap dengan langkah-langkah ambisius yang diambil menuju struktur ekonomi dan politik UE yang lebih terintegrasi. Walaupun perjanjian Maastricht, ditandatangani oleh semua lima belas anggota UE pada waktu itu, namun penolakan tetap datang dari masyarakat di Denmark, Perancis, dan Inggris. Bahkan di Jerman sekalipun terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang dengan kuat menolak gagasan menyerahkan Mark dengan Euro. Kesadaran politik di Eropa rupanya sebagian besar 15 John Naisbitt, Mind Set!, (Jakarta: Daras Books, 2007), hal. 266. 16 Lihat Georg Sorensen, Democracy and Democratization: Processes and Prospect in a Changing World, (Westview Press: 1993). 17 Karl Deutsch & S.A. Burrell, Political Community and the North Atlantic Area, (Princeton: Princeton Univer- sity Press, 1957), hal. 5.
  • 10. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201688 masih bersifat nasional: orang Jerman, orang Perancis, orang Inggris, dll.. dan bukan orang UE. Fakta-fakta politik menyangkut identitas nasional yang terpisah-terpisah ini terus-menerus berbenturan dengan upaya-upaya gigih para elite politik Eropa untuk mengimplementasikan perjanjian Maastricht: Satu Eropa, baik secara ekonomi ataupun secara politik. Itu artinya opini publik dalam masyarakat Eropa tidak memiliki pengaruh langsung atas institusi-institusi utama pembuat keputusan UE – Dewan maupun Komisi Eropa – dan institusi-institusi tersebut tidak bertanggung jawab kepada masyarakat UE. Terlepas dari keberhasilannya mendorong para anggota Komisi untuk mengundurkan diri di tahun 1999, Parlemen UE di Strassbourg yang dipilih secara langsung oleh masyarakatnya hanya memiliki kekuatan terbatas. Kalau kata Harlan Cleveland, Eropa tidak akan pernah bisa terintegrasi secara politik.18 Karena adanya “defisit demokrasi” ini, masyarakat Eropa jadinya hanya sedikit memiliki rasa identitas dengan UE dan kurang loyal terhadap institusi-institusinya.19 Sebagai contoh dari defisit demokrasi ini bisa dilihat ketika opini publik dari masyarakat negara-negara Eropa merespons secara negatif pembuatan konstitusi Eropa. Sebagaimana diketahui, sebagai hasil dari pertemuan Laeken, Belgia (Desember 2001), Dewan Eropa membentuk Konvensi tentang Masa Depan Eropa untuk menyusun rancangan konstitusi yang selesai bulan Juli 2003. Konstitusi yang diusulkan tersebut menggabungkan Perjanjian Roma dan Perjanjian Maastricht dengan ditambah beberapa pasal baru. Konstitusi ini mengharuskan setiap negara anggota untuk saling membantu jika terjadi serangan teroris dan mengusulkan surat perintah penahanan Eropa untuk memudahkan penegakan hukum. Konstitusi tersebut mendeskripsikan UE sebagai sebuah “personalitas hukum”, sebuah pernyataan yang memberinya status yuridis yang setara dengan negara berdaulat. Tiga prinsip mengatur konstitusi tersebut: penyerahan kekuasaan (konferal), pencabangan (subsidiaritas), dan proporsionalitas. Menurut prinsip penyerahan kekuasan, bidang-bidang kebijakan yang tidak secara eksplisit diserahkan ke UE oleh para anggota, tetap berada di bawah otoritas negara. Ini sama dengan klausul dalam konstitusi AS yang mempertahankan semua kekuasaan negara bagian yang tidak secara eksplisit diserahkan ke Pemerintah Federal. Menurut prinsip Pencabangan, UE hanya dapat bertindak ketika negara-negara anggota setuju bahwa tindakan masing-masing tidak cukup untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Akhirnya prinsip proporsionalitas mengatur bahwa tindakan UE tidak boleh dilakukan melebihi yang seharusnya untuk mencapai tujuannya. 18 Lihat Harlan Cleveland, Lahirnya Sebuah Dunia Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesi, 1995), hal. 294. 19 Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin (2002), hal. 231-232.
  • 11. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 89 Pada 18 Juni 2004, negara-negara Eropa akhirnya menyetujui draft perjanjian Konstitusi Eropa (European Constitutional Treaty), namun masih harus diratifikasi oleh 25 anggota. Negara-negara Eropa, khususnya dari para warganya yang takut kehilangan kedaulatan nasional, tidak menyukai beberapa klausul dalam draft tersebut. Target utama mereka adalah mengganti suara mutlak dengan suara mayoritas dalam beberapa keputusan. Mereka juga menolak klausul yang menyatakan bahwa UU UE berada di atas undang-undang nasional, meski pun hal ini sudah berlaku selama beberapa dekade. Itulah sebabnya, draft tersebut menjadi kontroversi sengit dalam hampir sepanjang tahun 2005. Pada awalnya, beberapa negara anggota menyetujui konstitusi tersebut, namun pada 29 Mei 2005 pemilih Perancis secara meyakinkan menolak konstitusi yang diajukan tersebut dalam sebuah referendum, dan seminggu kemudian pemilih di Belanda melakukan hal yang sama.20 Dari sini terlihat jelas bahwa persoalan defisit demokrasi tidak bisa dianggap enteng oleh elite-elite politik di UE. Karena ke depan hal ini akan bisa menjadi rintangan yang besar bagi UE untuk bisa memperkokoh kohesivitasnya. IMPLIKASI: BREXIT & BANGKITNYA NASIONALISME DI EROPA Defisit demokrasi, sebagaimana penulis bahas di atas, pada intinya dapat memberikan implikasi kepada penolakan publik negara-negara di Eropa terhadap institusi UE. Implikasi itu dengan sangat terang-benderang dapat dilihat pada 23 Juni 2016 ketika masyarakat Inggris memutuskan mengadakan referendum untuk menentukan apakah Inggris akan bertahan di UE atau meninggalkan UE. Setelah dihitung, Brexit (Britain Exit), kelompok yang memilih keluar dari UE berhasil meraih 52 % suara, mengalahkan masyarakat yang menginginkan tetap berada di dalam UE (48% suara). Kemenangan kelompok yang menginginkan Brexit itu bahkan membuat Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron mundur dari jabatannya. PM Cameron digantikan oleh Theresa May yang merupakan Menteri Dalam Negeri Inggris.21 Cameron yang memimpin kampanye agar Inggris tetap berada di UE, mengatakan “pilihan rakyat Inggris harus dihargai. Untuk itu, tak tepat bagi saya untuk berusaha 20 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty (2008), bab 9. 21 Lihat “Theresa May, Perdana Menteri Inggris Pengganti David Cameron”, dalam https://m.tempo.co/read/ news/2016/07/12/117786884/theresa-may-perdana-menteri-inggris-pengganti-david-cameron [Diakses 4 Januari 2017].
  • 12. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201690 menjadi kapten yang menahkodai negara kita ke tujuan berikutnya. Kini rakyat Inggris memerlukan pemimpin baru untuk memandunya ke arah ini”. Putusan PM Cameron untuk mundur pada dasarnya adalah sebuah keputusan idealpolitik,sesuaidenganrambu-rambudemokrasi(sesuaidengankeinginanmayoritas masyarakat Inggris). Itu artinya, Brexit bukanlah suatu persoalan yang sesungguhnya. Brexit adalah akibat yang disebabkan oleh persoalan UE itu sendiri. Persoalan itu bisa dilihat dari keputusan UE untuk menerima imigran yang umumnya ditolak oleh masyarakat Inggris dan masyarakat dari negara-negara anggota UE lainnya. Itulah sebabnya mengapa banyak warga dari Inggris memilih ke luar dari UE dan warga dari negara-negara anggota UE lainnya mulai memutuskan untuk memilih partai yang anti-imigran dan cenderung menjadi lebih nasionalis. Sebelum Brexit, sejumlah partai dari negara-negara Eropa lainnya sebetulnya telah lebih dulu menunjukkan sikap yang anti terhadap UE. Partai-partai yang umumnya berhaluan Kanan tersebut mulai menghebuskan isu nasionalisme dan penolakannya terhadap UE. Dan ini bukannya tidak membuahkan hasil. Di Perancis, Front Nasional (FN) yang dipunggawai oleh Marine Le pen dan Marion Marechal Le pen mulai mengimbangi partai-partai lainnya yang sangat dominan, seperti Partai Sosialis dan Partai Republik. FN di Perancis terbilang cukup berhasil memobilisasi massa. Melalui retorika pulangkan imigran dan kembalikan mata uang Perancis, FN berhasil memeroleh 14% suara. Di Jerman, partai yang terkenal sangat nasionalis, Alternatif untuk Jerman, juga mulai unjuk gigi. Partai yang dipimpin oleh Frauke Petry ini berhasil mendominasi pemilu regional di wilayah-wilayah yang menjadi basis suara partai berkuasa, partai Angela Merkel. Alternatif untuk Jerman ini memeroleh suara tak kurang dari 4,7%. Di Austria sendiri pemilu presiden yang diselenggarakan pada 22 Mei 2016, berlangsung sangat ketat. Calon presiden dari Partai Kebebasan (PK) yang anti- imigran dan anti-euro Norbert Hofer kalah tipis, 0,3%, dari Alexander Van der Bellen yang didukung Partai Hijau. Namun penting untuk dicatat, PK memiliki 21% suara. Dengan suara ini, PK bisa mengganggu stabilitas Bellen jika tidak becus memimpin Austria. Bangkitnya partai-partai nasionalis di Eropa ini tidak hanya terjadi di Perancis, Jerman, dan Austria saja. Di Swedia, Partai Demokrat Swedia berhasil mendapatkan dukungan 13% suara. Partai Jobbik di Hongaria 21% suara. Partai Rakyat Swiss 29%
  • 13. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 91 suara. The Finns di Finlandia 18% suara. Liga Utara di Italia 7% suara. Slowakia Kita 8% suara. Golden Down di Yunani yang saat ini sedang dilanda krisis ekonomi akut memperoleh 7% suara. Partai Kebebasan di Belanda 10% suara. Partai Rakyat Denmark 21% suara (BBC). Ini semua adalah indikator dari bangkitnya nasionalisme di Eropa. Jika UE tidak segera mengoreksi langlah-langkah kebijakannya sendiri, khususnya terkait dengan masalah imigran, cepat atau lambat masyarakat dari negara-negara anggota UE sendiri yang akan mengoreksinya dengan ke luar dari organisasi regional tersebut, baik melalui referendum atau pun pemilu. DILEMA UNI EROPA Suka atau tidak, kini xenophobia – perasaan benci terhadap orang asing (imigran) - telah menjadi faktor determinan yang bisa mengancam eksistensi UE ke depannya. Intinya, masyarakat dari negara-negara anggota UE cenderung menolak dengan keras keberadaan imigran. Alasannya karena imigran dinilai dapat mengancam pekerjaan mereka di negaranya sendiri. Padahal di sisi lain, keberadaan imigran tetap begitu dibutuhkan UE karena rendahnya tingkat kelahiran di Eropa. Namun, banyak pihak di Eropa mengatakan bahwa imigran hanya mencari manfaat model kesejahteraan Eropa, sementara serikat-serikat pekerja mengeluh bahwa para imigran hanya merebut pekerjaan anggota mereka. Dalam sebuah perekonomian yang dinamis, selalu ada pekerjaan yang hilang; pergantian pekerjaan merupakan akomodasi bagi perubahan waktu. Menurut John Naisbitt dalam bukunya Mind Set! (2007), rendahnya tingkat kelahiran di Eropa, ditambah dengan keengganan masyarakat umum untuk menerima imigran, hanya akan membawa dampak buruk bagi ekonomi Eropa. Tingkat kelahiran di Eropa hanya 1,4 – artinya, para wanita di Eropa kini hanya melahirkan rata-rata 1,4 anak. Padahal untuk mempertahankan populasi di tingkat konstan, dibutuhkan tingkat kelahiran 2,1.22 Jika tingkat kelahiran di Eropa tidak meningkat dan jika Eropa terus membatasi imigrasi, jumlah penduduk Eropa akan menjadi setengah populasi saat ini dalam dua generasi ke depan. 22 Tingkat kesuburan yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi pada level konstan (yang disebut ”tingkat fertilitas pengganti”) adalah 2,1 kelahiran per ibu, karena demografer hanya menganggap sebuah kelahiran dapat menjadi pengganti jika anak yang terlahir itu mencapai usia 15 tahun.
  • 14. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201692 Dalam laporan Demografi Eropa 2010 misalnya disebutkan, tingkat kelahiran di negara-negara anggota UE memang hanya mengalami sedikit kenaikan. Rata-rata tingkat kelahiran hanya 1,6 anak per ibu. Laju rata-rata kelahiran Eropa itu tetap tidak mencukupi kuota yang dibutuhkan. Di sisi lainnya, peta demografi Eropa juga mengalami penuaaan. Umur harapan hidup rata-rata pria mencapai 78 tahun dan perempuan 82 tahun. Populasi manula terbanyak terdapat di Jerman, Italia dan Perancis. Semakin banyak manula, berarti semakin sedikit penduduk yang berusia produktif. Celakanya tren seperti ini terus berlangsung hingga tahun 2016. Jika tidak ada langkah konstruktif yang bisa diambil UE untuk mengatasi perubahan demografi ini, maka perspektif pertumbuhan ekonomi di Eropa akan direduksi. Karena bagaimanapun juga yang menentukan dalam ekonomi adalah, seberapa banyak kuota penduduk usia produktif pada keseluruhan populasi. Di sinilah dilema-nya UE. Di satu sisi, jika UE terus menerima imigran, hal ini akan berakibat pada penolakan secara massif dari masyarakat-nya dan isu ini pun akan digoreng oleh elite-elite politik-nya yang anti-imigran dan ingin membawa negaranya ke luar dari UE. Di sisi lain, jika UE memutuskan untuk menolak masuknya imigran, hal ini juga akan berakibat pada ekonomi Eropa. HIPOTESIS: MASA DEPAN UNI EROPA Merujuk pada semua ulasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa warga dari masyarakat negara-negara di Eropa saat ini cenderung menjadi nasionalistik dan lebih mementingkan kepentingan nasional negaranya daripada kepentingan UE itu sendiri. Kasus Brexit dan bangkitnya nasionalisme di Eropa bisa menjadi contoh bagus dari rapuhnya integrasi di tubuh UE. Cas Mudde di jurnal bergensi Foreign Affairs telah mengonfirmasi inti dari tema tulisan ini.23 Menurutnya, kini hampir semua negara di Eropa mengalami kebangkitan partai sayap kanan. Kaum populis kini menguasai porsi terbesar parlemen di enam negara, yaitu, Yunani, Hongaria, Italia, Polandia, Swiss, dan Slowakia. Bahkan di Hongaria, partai yang berkuasa maupun partai oposisi sama-sama populis. Adapun di Finlandia, Norwegia, dan Lituania, partai-partai populis kini tergabung dalam koalisi pemerintahan. 23 Lihat Cas Mudde, “Europe’s Populist Surge”, dalam Foreign Affairs (November/December 2016). Artikel Mudde ini bisa diakses dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/europe/2016-10-17/europe-s-popu- list-surge.
  • 15. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 93 Namun ini baru sebatas hipotesa. Kesimpulan final baru dapat dilihat pada tahun 2017, karena ditahun ini Jerman, Perancis, dan Belanda akan mengadakan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilihan di ketiga negara itu akan menjadi penentu apakah para kandidat dari partai arus utama masih dipercaya rakyatnya, atau justru kandidat partai sayap kanan yang akan duduk di kursi kekuasaan. Di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang dipimpin Frauke Petry berhasil menggeser dominasi partai-partai arus utama dalam pemilu negara bagian. Untuk pertama kalinya partai sayap kanan memiliki perwakilan di 10 parlemen negara bagian. Sepuluh tahun lalu, partai sejenis AfD yang memiliki ideologi xenofobia selalu diprotes warga Jerman jika berkampanye. Kini mereka menjadi partai harapan. Serangan teroris dengan menggunakan truk di bazar Natal Berlin, pekan lalu, semakin menekan posisi Kanselir Angela Merkel. Ia dikecam tidak hanya oleh kubu oposisi, tetapi juga oleh partai sekandung, Uni Sosial Kristen (CSU), yang sejak awal menentang kebijakan Merkel yang membuka pintu kepada imigran. Setelah serangkaian aksi teror yang terjadi musim panas lalu di Wuerzburg, Ansbach, Reutlingen, dan Muenchen, yang semuanya dilakukan oleh keturunan imigran dan pengungsi, insiden truk di Berlin yang dilakukan warga Tunisia semakin membuat Merkel sulit berkelit. Bagi AfD dan para pendukungnya, Merkel dianggap sudah tamat.24 Demikian juga Front Nasional Perancis yang dipimpin Marine Le Pen, putri pendiri FN Jean-Marie Le Pen. Dulu, rakyat Perancis dari kubu berbeda sepakat menggalang gerakan untuk mencegah Jean-Marie Le Pen memenangi pemilu 2002, dengan memilih Jacques Chirac.25 Tren politik di Belanda pun demikian.  Banyak yang tidak menduga bahwa Party for Freedom yang dipimpin oleh Greet Wilders grafiknya mengalami peningkatan kekuatan di parlemen. Peningkatannya pun cukup signifikan. Meski raihan kursi partai ini sempat menurun pada tahun 2010 akibat perselisihan internal, namun kembali mengalami peningkatan perolehan kursi dari 5,9% pada 2006 menjadi 10,1% pada 2012. Celakanya lagi bagi UE adalah bahwa pemimpin dari dua kekuatan besar dunia: Donald Trump (Amerika Serikat) dan Vladimir Putin (Rusia) lebih cenderung mendukung partai-partai berhaluan Kanan di Eropa. Jika partai-partai berhaluan Kanan berhasil menguasai semua panggung kekuasaan di masing-masing negara Eropa 24 Lihat Myrna Ratna, “Bersiap Hadapi Eropa Kanan”, dalam Kompas, 27 Desember 2016. 25 Ibid.
  • 16. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201694 pada 2017 ini, tentu saja eksistensi UE akan menjadi terancam. Dan bukan tidak mungkin pula runtuhnya integrasi UE akan menjadi kenyataan. Kita tunggu saja hasil pemilu 2017 di beberapa negara Eropa. Karena runtuh atau tidak-nya integrasi UE akan sangat bergantung pada hasil dari pemilu tersebut. KEPUSTAKAAN Ambarwati, “Aplikasi Teori Integrasi dalam Hubungan Internasional: Eropa dan Asia Timur,” dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana (eds.), Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009). Azwar, Asrudin Teori Perdamaian Demokratis, (Malang: Intrans Publishing, 2016). Cleveland, Harlan., Lahirnya Sebuah Dunia Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesi, 1995). Borzel, Tanja A., “Comparative Regionalism: European Integration and Beyond”, dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons (eds.), Handbook of International Relations, (London: SAGE Publications, 2013). Deutsch, Karl, & A. Burrell, Political Community and the North Atlantic Area, (Princeton: Princeton University Press, 1957). Gilpin, Robert & Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad ke-21, (Jakarta: Murai Kencana, 2002). Hanggoro, Wisnu Tri, Johnly E.P. Poerba, & Andreas Harsono (eds.), Perang, Militerisme, dan Tantangan Perdamaian, (Salatiga & Jakarta: Satya Wacana University Press & Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994). Haas, Ernst B., “International Integration: the European and the Universal Process,” dalam International Organization 15 (1961). __________., The Obsolescence of Regional Integration Theory, (Berkeley: University of California Press, 1975). __________., The Uniting Europe: Political, Social, and Economic Forces, (Stanford, California: Stanford University Press, 1968). Hirst, Paul., War and Power in the 21st Century: The State, Military Conflict, and the International System (Cambridge: Polity, 2001).
  • 17. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 95 Krasner, Stephen D., Sovereignty: Organized Hypocrisy, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999). Mansbach, Richard W., & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, (London & New York: Routledge, 2008). Mitrany, David, Functional Approach to World Organization,” dalam International Affairs 24 (1948). __________, The Functional Theory of Politics, (New York: St Martin Press, 1975). Mudde, Cas “Europe’s Populist Surge”, dalam Foreign Affairs (November/December 2016). Artikel Mudde ini bisa diakses dalam https://www.foreignaffairs.com/ articles-europe/2016-10-17/europe-s-populist-surge. Naisbitt, John, Mind Set!, (Jakarta: Daras Books, 2007). Ratna, Myrna “Bersiap Hadapi Eropa Kanan”, dalam Kompas, 27 Desember 2016. Sorensen, Georg., Democracy and Democratization: Processes and Prospect in a Changing World, (New York: Westview Press, 1993). “Theresa May, Perdana Menteri Inggris Pengganti David Cameron”, dalam https://m. tempo.co/read/news/2016/07/12/117786884/theresa-may-perdana-menteri- inggris-pengganti-david-cameron
  • 18. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201696 PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DALAM POLITIK LUAR NEGERI: SEBUAH KAJIAN IDIOSINKRATIK Oleh: Umar Suryadi Bakry Dosen FISIP-HI Universitas Jayabaya E-mail: u_bakry@yahoo.com.sg ABSTRACT Foreign policy decisions are influenced by a lot of factors, because the real world is compli- cated and a lot of variables have to be taken into consideration when a policy maker take a decision. This is why the level of analysis is important in the study of International Relations (IR), especially when we have to analyze the foreign policy of a state. This paper examines an innovative element in the study of international relations through the analysis of the subjective elements (idiosyncratic factors) which appear in the foreign policy decisional process, at the individual level. Psychological approach of foreign policy decision making process facilitates the understanding of complexity in world politics. To gain a more comprehensive and in-depth understanding, this paper deliberately presenting a conceptual framework from some IR scholars concerned about the influence of individ- ual factors on the foreign policy of a state. Keywords: idiosyncratic factors, level of analysis, individual level, personality, foreign policy ABSTRAK Keputusan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, karena dunia nyata adalah rumit dan banyak variabel harus dipertimbangkan ketika pembuat kebijakan mengambil keputusan. Inilah sebabnya mengapa tingkat analisis penting dalam studi Hubungan Internasional (HI), terutama ketika kita harus menganalisis kebijakan luar negeri suatu negara. Tulisan ini membahas elemen inovatif dalam kajian hubungan internasional melalui analisis unsur subjektif (faktor idiosinkratik) yang muncul dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, pada tingkat individu. Pendekatan psikologis mengenai proses pengambilan keputusan politik luar negeri memfasilitasi pemahaman kompleksitas dalam politik dunia. Untuk mendapatkan pemaha- man yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menyajikan kerangka konseptual dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian tentang pengaruh faktor individu pada kebija- kan luar negeri sebuah negara. Kata kunci: faktor-faktor idiosinkratik, peringkat analisis, level individu, kepribadian, politik luar negeri.
  • 19. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 97 PENDAHULUAN SEBAGAI sebuah fenomena sosial, hubungan internasional itu sangat rumit dan kompleks. Sebab itu, untuk memahami hubungan internasional diperlukan sebuah metode atau perangkat konseptual yang tepat. Dalam studi Hubungan Internasional (HI) dapat ditemukan banyak metode atau perangkat konseptual yang diperlukan untuk mempelajari fenomena hubungan internasional. Salah satu perangkat konseptual yang paling banyak dikenal dan berguna untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional yang kompleks tersebut adalah pendekatan peringkat analisis (level of analysis).1 Sebagaimana dikatakan Joyce Kaufman, peringkat analisis merupakan sebuah kerangka kerja yang menyeluruh (overarching framework) yang diperlukan dalam memahami hubungan internasional.2 Pendekatan peringkat analisis terutama banyak digunakan oleh para sarjana HI yang beraliran realis (neorealis). Karena dalam kerangka pendekatan ini, diasumsikan bahwa aktor utama (primary actor) hubungan internasional adalah negara. Selain itu penggagas awal pendekatan ini adalah seorang neorealis (Kenneth Waltz). Secara umum, para pakar HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yaitu individual level, state level, dan international system level. Tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai peringkat analisis individu, khususnya tentang bagaimana pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menampilkan sejumlah kerangka konseptual dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian mengenai pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara. PENGERTIAN PERINGKAT ANALISIS Apakah yang dimaksud dengan peringkat analisis? Dalam setiap kegiatan keilmuan dan penelitian ilmiah, selalu terdapat berbagai cara di mana fenomena yang kita pelajari (atau kita teliti) dapat dipilah atau diatur untuk sebuah analisis secara sistematis. Sebagai contoh dalam ilmu kimia, kita dapat mempelajari pada tingkat unit- unit mikro (seperti atom), pada tingkat unit-unit menengah (seperti senyawa kimia), atau kumpulan dari unit-unit makro (seperti polusi industri). Inilah yang dimaksud dengan peringkat analisis (level of analysis). Dalam studi HI, kita membagi realitas 1 Taku Tamaki, “The Level of Analysis of the International System”, dalam Emilian Kavalski (ed.), Encounters with World Affairs: An Introduction to International Relations (Farnham, UK: Ashgate, 2002). 2 Joyce P. Kaufman, Introduction to International Relations: Theory and Practice (Maryland: Rowman & Little- field Publishers, Inc., 2013), hal. 10.
  • 20. ALTERNATIF VOL 06 (2) 201698 yang kompleks dari fenomena internasional menjadi ‘potongan-potongan’ kecil (atau tingkat-tingkat) sehingga mempelajarinya menjadi lebih mudah. Peringkat analisis memungkinkan kita untuk menentukan ‘keputusan apa’ dibuat ‘oleh siapa’ dan di bawah kendala apa saja. Intinya, peringkat analisis dalam studi HI dapat dikatakan sebagai sebuah metode atau perangkat konseptual yang digunakan untuk menjelajahi atau mengeksplorasi masalah-masalah internasional. Dalam pandangan Stuart Robinson, peringkat analisis adalah titik-pandang atau agregasi yang relatif lengkap untuk mengatur penelitian, biasanya untuk mengidentifikasi penyebab utama di balik beberapa aspek perilaku internasional. Peringkat analisis merupakan perangkat yang berguna untuk menggambarkan jebakan yang logis dalam studi HI, memperjelas manfaat serta keterbatasan jenis tertentu fokus analitis.3 Sedangkan menurut Marc Genest, konsep peringkat analisis adalah alat untuk membantu kita dalam melakukan penelitian tentang hubungan internasional. Peringkat analisis membantu kita memahami bahwa hubungan internasional merupakan hasil dari sejumlah sumber. Setiap tingkat memiliki pandangan dan memfokuskan pada masalah yang berbeda mengenai peristiwa yang kita teliti. Peringkat analisis adalah salah satu pendekatan atau metode yang paling abadi (paling lama bertahan) dalam mempelajari hubungan internasional.4 Dengan menetapkan peringkat analisis, kita dapat memahami tindakan (politik luar negeri) suatu negara dalam hubungan internasional. Dengan kata lain, tujuan dan perlunya ditetapkan peringkat analisis adalah untuk memahami hal-hal yang mendorong tindakan (perilaku) suatu negara dalam hubungan internasional, misalnya: (1) Apakah tindakan (perilaku) itu hanya merefleksikan preferensi individu pemimpin negara yang bersangkutan; (2) Apakah tindakan itu merupakan resultante kekuatan politik dan birokrasi domestik negara tersebut; (3) Apakah perilaku suatu negara benar-benar dapat dipandang sebagai resonansi dari kepentingan nasional yang telah dirumuskan dalam tujuan dan kebijakan nasional; (4) Apakah perilaku negara tersebut hanya sebagai respons terhadap sinyal-sinyal dan situasi yang terjadi dalam sistem regional atau global.5 Menurut J. David Singer, model peringkat analisis sangat membantu kita 3 Stuart Robinson, “Level of Analysis”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of International Relations and Global Politics (New York: Routledge, 2005). 4 Marc A. Genest, Conflict and Cooperation: Evolving Theories on International Relations (Belmont, CA: Wad- sworth, 2004), hal. 3. 5 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Framework for Understanding (New York: Longman Publishing Co., 2002).
  • 21. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 99 dalam membuat deskripsi, eksplanasi, dan prediksi tentang fenomena internasional yang ingin kita pelajari. Dengan peringkat analisis kita dapat membuat deskripsi yang akurat mengenai suatu peristiwa internasional, artinya mampu menggambarkan suatu peristiwa internasional yang kita pelajari secara lengkap dan tidak terdistorsi. Sedangkan yang dimaksud dengan kemampuan eksplanasi adalah kapasitas untuk menjelaskan hubungan antar fenomena yang diteliti, atau kapabilitas untuk mengelola hubungan kausal secara valid dan cermat (parsimonious). Sementara yang dimaksud dengan kemampuan prediksi adalah kapasitas untuk memperhitungkan kemungkinan apa yang terjadi di masa depan berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini.6 Pendekatan peringkat analisis sebagai sebuah metode untuk mempelajari hubungan internasional awalnya dikembangkan oleh seorang neorealis bernama Kenneth Waltz melalui konsepnya Three Images. Waltz menunjukkan bahwa ada tiga peringkat analisis yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari mengapa perang terjadi. Tingkat pertama adalah perilaku manusia (human behavior). Pada tingkat ini kita berasumsi bahwa sifat manusia yang egois lah yang menjadi penyebab perang. Peringkat analisis ini menyiratkan bahwa kita tidak perlu keluar dari atribut (sifat) pribadi dari para pembuat kebijakan untuk menganalisis sebab-sebab perang (the causes of war). Waltz mengatakan, lokus dari penyebab utama perang dapat ditemukan dalam sifat dan perilaku manusia. Peperangan adalah hasil keegoisan, dari dorongan yang salah arah, dari kebodohan manusia.7 Tingkat kedua adalah struktur internal dari negara-negara (the internal structure of states). Pada tingkat ini kita berfokus pada faktor-faktor internal dalam suatu negara, seperti dasar-dasar ideologis. Argumen apakah negara demokratis lebih damai atau tidak dibandingkan negara otokratis, misalnya, menentukan cara kita menjelaskan suatu peristiwa internasional. Waltz mengatakan, perang seringkali dapat melahirkan persatuan internal dalam negara-negara yang terlibat. Sebab itu banyak negara ketika sedang menghadapi perselisihan internal sengaja menunggu serangan dari negara lain atau sengaja menciptakan perang dengan negara lain demi terbentuknya perdamaian internal.8 Tingkat ketiga adalah sifat anarkhis dari sistem internasional (the anarchic nature of the international system). Pada tingkat ini, perhatian tidak lagi kita fokuskan pada siapa aktornyaatauaktormelakukanapa,melainkanlebihditujukanpadabagaimanastruktur 6 J. David Singer, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam World Politics, Vol. 14 No. 1 (1961), hal. 77-92. 7 Kenneth Waltz, Man, the State, and War (New York: Columbia University Press, 1959), hal. 16. 8 Ibid., hal. 81.
  • 22. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016100 sistem internasional yang berlaku atau bagaimana sistem internasional bekerja. Waltz mengatakan, dalam sistem internasional di mana terdapat banyak negara berdaulat, dengan tidak ada sistem hukum yang dapat dipaksakan untuk mereka, dengan setiap negara menilai kekecewaan dan ambisi menurut alasannya sendiri-sendiri, konflik atau perang antar negara menjadi sangat mudah terjadi.9 Meskipun istilah peringkat analisis pertama kali dikembangkan oleh Kenneth Waltz, tetapi beberapa pakar HI melihat asal-usul perdebatan mengenai masalah peringkat analisis dalam komunitas studi HI muncul setelah David Singer merilis artikelnya yang berjudul “The Level-of-Analysis Problem in International Relations” (1961). Menurut sejumlah ahli, pandangan Singer tentang isu-isu peringkat analisis dalam stud HI berbeda secara fundamental dari Waltz. Jika Waltz lebih menekankan pada kategori faktor-faktor eksplanatori, Singer lebih mengacu pada agregasi atau entitas sosial mengenai deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang dapat digunakan dalam studi tertentu.10 Singer sendiri membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yakni systemic level, national state level, dan individual level. Banyak sarjana HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level sebagaimana yang dilakukan oleh David Singer, misalnya Theodore Couloumbis dan James Wolfe (1981), John Spanier (1981), Kalevi Holsti (1981), Marc A. Genest (2004), John Rourke dan Mark Boyer (2009), serta Charles Kegley dan Shannon Blanton (2011). Tiga peringkat analisis menurut Charles Kegley dan Shannon Blanton adalah global level of analysis, state level analysis, dan individual lebel of analysis. Tingkat analisis global mengacu pada interakasi aktor-aktor negara dan non-negara pada pentas global yang perilakunya membentuk sistem politik internasional serta tingkat konflik dan kerjasama yang mewarnai politik dunia. Tingkat analisis negara menekankan unit- unit pembuatan keputusan yang otoritatif yang mengatur proses-proses kebijakan luar negeri dan atribut-atribut internal dari suatu negara (seperti jenis pemerintahan, tingkat kemampuan ekonomi dan militer, dan sebagainya) yang membentuk dan menghambat pilihan-pilihan kebijakan luar negeri. Sedangkan tingkat analisis individu mengacu pada karakteristik personal dari individu, terutama mereka yang bertanggung jawab membuat keputusan-keputusan penting atas nama aktor-aktor negara dan non- negara.11 9 Ibid., hal. 159. 10 Lihat James Lee Ray, “Integrating Levels of Analysis in World Politics”, dalam Journal of Theoretical Politics, Vol. 13 No. 4 (2001), hal. 355-388. 11 Charles W. Kegley, Jr. dan Shannon L. Blanton, World Politics: Trend and Transformation (Boston, MA: Wad- sworth Cengage Learning, 2011), hal. 18-19.
  • 23. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 101 Tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai peringkat analisis individu, khususnya tentang bagaimana pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menampilkan sejumlah kerangka konseptual dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian mengenai pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara. PERINGKAT ANALISIS INDIVIDU Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendekatan tingkat individu terhadap politik luar negeri dan politik internasional menekankan karakter umum dari semua individu, sering disebut sebagai ‘sifat manusia’ (human nature). Dalam kaitannya dengan studi Kenneth Waltz mengapa perang terjadi, asumsinya adalah bahwa sifat manusia yang egoistik yang menyebabkan perang.12 Para pakar lain kemudian menggunakan pendekatan ini untuk mencari penjelasan mengenai bagaimana pengaruh individu tertentu (biasanya pengambil kebijakan tertinggi di suatu negara) terhadap keputusan politik luar negeri negara tertentu. Menurut Marc Genest, eksplanasi tingkat individu membahas aktor manusia dalam berbagai cara yang berbeda. Pendekatan pertama melihat karakteristik dasar dari sifat manusia secara umum. Sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes bahwa individu yang secara alamiah bersifat agresif dan merasa tidak aman (insecure), membentuk, menentukan, dan menggambarkan sifat masyarakat dan pemerintahnya.13 Pendekatan kedua menganalisis motif-motif, prinsip-prinsip, dan prakonsepsi dari individu. Thomas Carlyle mengatakan bahwa “sejarah dunia adalah tentang biografi orang besar”. Pernyataan ini menegaskan bahwa persepsi, mispersepsi, dan perilaku dari individu pemimpin dapat memiliki pengaruh yang dramatis terhadap tindakan suatu negara. Tindakan ini kemudian menciptakan riak melalui sistem internasional secara keseluruhan.14 Menurut Hubert Blalock, dalam penelitian ilmu sosial dikenal istilah micro- level analysis, meso-level analysis, dan macro-level analysis.15 Dengan mengacu pada pembagian ini, peringkat analisis individu dapat digolongkan sebagai micro-level analysis (analisis tingkat mikro). Pada tingkat ini, yang diperhatikan adalah gaya 12 Kenneth Waltz sebagaimana dikutip Taku Tamaki, loc. cit. 13 Thomas Hobbes, Human Nature and De Corpore Politico (Oxford: Oxford University Press, 2008). 14 Marc A. Genest, op. cit., hal. 10. 15 Hubert M. Blalock, Social Statistics (New York: McGraw-Hill, 1979).
  • 24. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016102 kepemimpinan (leadership style) dari individu negarawan. Apakah yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan? Menurut Juliet Kaarbo, gaya kepemimpinan adalah kebiasaan kerja (work habits) para pemimpin, yakni bagaimana mereka berhubungan dengan orang-orang di sekitar mereka, bagaimana mereka menerima informasi, dan bagaimana mereka mengambil keputusan.16 Ini semua membentuk pola tertentu yang berbeda antara satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Misalnya, beberapa pemimpin cenderung banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sementara beberapa lainnya lebih menyukai pendelegasian wewenang. Beberapa pemimpin menyukai mengumpulkan saran atau informasi dari banyak sumber sebelum mengambil keputusan, namun beberapa lainnya cenderung mengandalkan informasi dari penasihat terpercaya atau bahkan dari dirinya sendiri. Namun pemisahan paling umum untuk mengakses gaya pengambilan keputusan seorang pemimpin adalah apakah pemimpin itu terbuka atau tertutup. Pemimpin dengan gaya yang lebih terbuka (open style) selalu menyesuaikan perilaku merekaagarselarasdengantuntutansituasi,untukmemastikandimanaposisioranglain dengan memperhatikan masalah dan mempertimbangkan bagaimana kecenderungan tindakan dari pemerintah negara-negara lain sebelum membuat keputusan. Untuk menjadi pemimpin yang dapat diterima (acceptable leader), gagasan, sikap, keyakinan, dan motif yang dimilikinya harus mendapatkan validasi eksternal dari orang lain. Karena isyarat situasional begitu penting untuk menentukan perilaku yang pantas, para pemimpin yang lebih responsif biasanya berusaha untuk menciptakan dan memelihara jaringan pengumpulan informasi yang luas agar selalu dapat memahami apa yang terjadi. Mereka ingin orang-orang di sekitar mereka mewakili berbagai konstituennya, sehingga dapat terus mengikuti kebutuhan dan kepentingan para konstituen tempat mereka mengharapkan dukungan.17 Sementara para pemimpin dengan gaya yang lebih tertutup (closed style) cenderungyakinpadaposisidanpreferensikebijakanmereka,sertasedikitmenggunakan nasihat orang lain. Apa yang menentukan keputusan mereka adalah bagaimana mereka memandangsituasimelaluisistemkepercayaanyangdimilikinya,kurangmempedulikan oposisi atau peringatan dari orang lain. Pengaruh dari pemimpin dengan gaya tertutup terhadap politik luar negeri bersifat langsung. Apa yang dipersepsikan, nilai-nilai, 16 Juliet Kaarbo, “Prime Minister Leadership Styles in Foreign Policy Decision Making: A Framework for Re- search”, dalam Political Psychology, Vol 18 (1997), hal. 553-581. 17 Margaret G. Hermann, “Leaders and Foreign Policy Decision-Making”, dalam D. Caldwell dan T. McKeon (eds.), Diplomacy, Force and Leadership: Essay in Honor of Alexander George (Bouler, CO: Westview Press, 1993), hal. 82.
  • 25. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 103 dan keyakinan seorang pemimpin, kemungkinan besar akan menentukan keputusan yang dibuat, meskipun ada kendala domestik maupun internasional. Sedangkan efek pemimpin dengan gaya terbuka terhadap politik luar negeri bersifat tidak langsung (indirect). Contoh pemimpin dunia yang memiliki gaya kepemimpinan tertutup adalah Ronald Reagan, George W. Bush, dan Margareth Thatcher.18 Sedangkan yang memiliki gaya kepemimpinan terbuka diantaranya Jimmy Carter, Bill Clinton, dan Hashemi Rafsanjani. Sedangkan untuk konteks Indonesia, Presiden Soeharto dan Megawati Soekarnoputri barangkali dapat diklasifikasikan sebagai tipe policy maker dari gaya kepemimpinan tertutup, sedangkan Presiden Joko Widodo dan B.J. Habibie lebih mendekati karakteristik dengan gaya kepemimpinan terbuka. Kaum tradisionalis dalam studi HI biasanya memberi istilah pendekatan micro-level analysis sebagai biografi, sedangkan para penganut aliran saintifik menyebut pendekatan ini lebih menekankan pada investigasi perilaku idiosinkratik elit (elite idiosyncratic behavior) atau kode operasional (operational code).19 Secara leksikal, idiosinkratik adalah sesuatu yang unik dalam kepribadian seseorang. Jika kita ingin mengetahui idiosinkratik seseorang maka kita harus mengamati apa yang dilakukan sesorang dengan caranya sendiri. Heikki Patomäki secara lebih lengkap mengatakan bahwa idiosinkratik seseorang termanifestasi dalam konteks interaksi dan wacana (serta terkait dengan kemampaun dan keterampilan praktis).20 Analisis idiosinkratik adalah kajian tentang manusia sebagai individu dan bagaimana karakter pribadi setiap pemimpin turut membentuk keputusan-keputusan yang dibuatnya. Misalnya, apakah pemimpin yang otoriter cenderung mudah mengawali dan meningkatkan konflik dengan negara lain daripada pemimpin yang demokratis. Kode operasional (operational code) merupakan varian dari belief-system yang lebih modern, lebih detail, dan lebih terstruktur. Menurut Melanie Gabriela, kode operasional digunakan untuk mengidentifikasi dua kategori keyakinan (belief), yaitu keyakinan filosofis (philosophical belief) dan keyakinan instrumental (instrumental belief). Keyakinan filosofis terdiri dari beberapa sub-kategori, seperti hakikat esensial dari dunia (keyakinan filosofis utama), optimisme, kemampuan memprediksi (predictability), kemampuan mengendalikan (ablity to control), peran yang dimainkan secara kebutulan (the role played by chance), dan sebagainya. Sedangkan keyakinan 18 Juliet Kaarbo, loc. cit. 19 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1981), hal. 26. 20 Heikki Patomäki, After International Relations: Critical Realism and the (Re)-Construction of World Politics (London: Routledge, 2002), hal. 117.
  • 26. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016104 instrumental mencakup beberapa sub-kategori, misalnya arah strategi (keyakinan instrumental utama), intensitas taktik (intensity of tactics), orientasi tentang resiko (orientation of risk), periodisasi atau fleksibilitas taktik, penggunaan power (power exercise), dan sebagainya.21 James Kuhlman menyatakan bahwa operasionalisasi konsep karakteristik idiosinkratik seorang elit politik dalam analis politik luar bukan pekerjaan mudah. Aspek idiosinkratik dalam politik luar negeri biasanya didekati dari perspektif menggambarkan images (citra, kesan) yang ditangkap seorang pengambil keputusan (decision-maker). Sebuah images merupakan “representasi terorganisir” tentang suatu obyek dalam sebuah sistem kognitif individu. Images dapat menyebabkan timbulnya perasaan positif, negatif, atau netral pada orang yang menangkapnya, sehingga dengan demikian images terkait dengan sikap. Dengan kata lain, bahwa hubungan antara images dan decisions adalah kunci pokok bagi kerangka kerja yang sangat berharga dalam analisis politik luar negeri.22 Harold Jacobson dan William Zimmerman mengatakan bahwa eksplanasi tradisional tentang politik luar negeri selain dapat dikategorikan dalam pendekatan sistemik, environmental, societal, dan governmental, juga dalam pendekatan idiosinkratik (psikologis). Pendekatan idiosinkratik memfokuskan diri pada faktor-faktor kepribadian (personalities). Bagi Jacobson dan Zimmerman, politik luar negeri dengan pendekatan idiosinkratik adalah yang paling elegan dan secara estetis paling menarik, namun pendekatan ini sekaligus juga paling sulit (terutama dalam mengaitkannya dengan realitas empiris). Pendekatan idiosinkratik memberikan indikasi paling sedikit mengenai dinamika perilaku negara (politik luar negeri).23 Sementara Margaret Hermann berpendapat bahwa dengan menganalisis faktor idiosinkratik, karakteristik dan kepribadian, prediksi mengenai pengambilan keputusan politik luar negeri dapat dibuat, karena analisis tersebut dapat memberikan gambaran yang jelas dari kecenderungan perilaku pribadi para pemimpin. Prediksi biasanya dilakukan dengan cara analisis dan pemetaan kognitif dari proses-proses kognitif dan psikologis yang terlibat dalam pengambilan keputusan.24 Jika kita ingin menganalisis 21 Melanie Gabriela, “Idiosyncracies in Foreign Policy Decision Making: Post Cold War”, disertasi pada Faculty of European Studies, Babes-Bolya Universiti (Cluj Nopoca, Romania, 2012). 22 James A. Kuhlman (ed.), The Foreign Policies of Eastern Europe: Domestics and International Determinants (Leyden: A.W. Sijthoff, 1978), hal. 195. 23 Harold Jacobson dan William Zimmerman sebagaimana dikutip Paul G. Harris (ed.), Environmental Change and Foreign Policy: Theory and Practice (London: Routledge, 2009), hal. 5. 24 Margaret G. Hermann, “Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders”, dalam International Studies Quaterly, Vol. 24 No. 1 (1990), hal. 7-46.
  • 27. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 105 suatu peristiwa internasional atau politik luar negeri suatu negara dengan menggunakan pendekatan peringkat analisis individu, para pembuat keputusan (decision makers) kita asumsikan sedang menetapkan tujuan, memilih berbagai sebab-sebab tindakan, dan mendayagunakan kapabilitas nasional untuk mencapai tujuan politik luar negeri atas nama negaranya. Dalam pandangan Kalevi Holsti, peringkat analisis ini memusatkan perhatian pada variabel-variabel ideologi, motivasi, cita-cita, persepsi, dan nilai-nilai, atau idiosinkratik para individu yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan politik luar negeri bagi negaranya.25 Sedangkan menurut Caitlin Smith, idiosinkratik seorang pengambil keputusan dapat dikelompokkan dalam kategori-kategori karakteristik pribadinya, yang mencakup keyakinan (beliefs), motif (motives), gaya pengambilan keputusan (decisional style), gaya interpersonal (interpersonal style).26 Sementara Melania Gabriela membagi faktor idiosinkratik dalam pembuatan keputusan politik luar negeri menjadi empat jenis, yaitu: cognitive idiosyncracies, social perception idiosyncracies, motivational idiosyncracies, dan emotional (affective) idiosyncracies.27 Cognitive idiosyncracies diidentifikasi sebagai kategori-kategori seperti framing, anchoring, disponibility, utilitas, kerangka perspetual, persepsi tentang tugas (task perception), konsistensi kognitif, kompleksitas konseptual, kompleksitas integratif, gaya berbicara, events presentation, konstruksi yang mempengaruhi gaya putusan, citra, analogi historis, dan sebagainya. Social perception idiosyncracies diidentifikasi sebagai kategori-kategori yang berpusat pada self dan others yang ditunjukkan melalui fragmen- fragmen dalam berbagai wacana dan wawancara, seperti transparansi dan pendekatan perspektif (self) serta prioritas kepentingan dan memahami bagian pihak lain (others). Sementara motivational idiosyncracies ditunjukkan dalam beberapa kategori seperti realisasi diri (self-realization), kohorensi dan keseimbangan (coherence and balance), kerjasama, dan tanggung jawab. Sedangkan emotional (affective) idiosyncracies mencakup kategori emosi-emosi positif (apakah ia seorang periang, bergairah, penuh harapan, dan sebagainya) serta emosi-emosi negatif (orang yang penyedih, gampang merasa tidak nyaman, mudah marah, dan sebagainya).28 Menurut John Rourke dan Mark Boyer, analisis tingkat individu melibatkan pemahaman mengenai individu sebagai spesies, individu dalam kelompok, dan 25 Kalevi J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis (New Jersey: Prentice-Hall, 1995). 26 Caitlin Smith, “Personality in Foreign Policy Decision-Making”, dalam http://www.e-ir.info/2012/10/16/ [Diakses 28 Desember 2016]. 27 Melanie Gabriela, loc. cit. 28 Ibid.
  • 28. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016106 individu secara idiosinkratik. Dalam pendekatan individu sebagai spesies, pembuatan keputusan politik luar negeri dipengaruhi oleh faktor-faktor kognitif, emosional, psikologis, persepsi, dan seringkali biologis (etologi dan gender). Dalam pendekatan individu dalam kelompok, dapat diilustrasikan dua konsep, yakni perilaku peran (role behavior) dan perilaku pengambilan keputusan dalam kelompok (group decision-making behavior). Sedangkan pendekatan idiosinkratik sedikitnya menelaah lima faktor, yakni faktor kepribadian, faktor kesehatan fisik dan jiwa, faktor ego dan ambisi, faktor sejarah politik dan pengalaman pribadi; dan faktor persepsi dan realitas operasional.29 Tabel 1 Faktor Individu Dalam Politik Luar Negeri PENDEKATAN VARIABEL A. Individu sebagai sebuah spesies 1. Cognitive factors 2. Emotional factors 3. Psychological factors 4. Perception factors 5. Biological factors B. Individu dalam kelompok 1. Role Behavior 2. Group decision-making behavior C. Individu dalam konteks idiosinkratik 1. Personality factors 2. Physical and mental health 3. Ego and ambitions 4. Political history and personal experiences 5. Perceptions and operational reality Sumber: John T. Rourke dan Mark A, Boyer (2009). Ketika menganalisis jenis kepribadian (personality type) dan dampaknya terhadap kebijakan, kita hendaknya menelaah orientasi dasar seorang pemimpin terhadap dirinya dan orang lain, pola perilaku, dan sikapnya mengenai konsep-konsep yang relevan secara politis, misalnya konsep otoritas. Menurut Joseph Grieco (et al), kepribadian seorang pemimpin terbentuk dari sejumlah sumber, termasuk faktor 29 John T. Rourke dan Mark A. Boyer, International Politics on the World Stage (New York: McGraw-Hill Educa- tion, 2009), hal. 74-76.
  • 29. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 107 genetika, sosialisasi semasa kanak-kanak, dan pengalaman pada masa dewasa awal.30 Faktor kepribadian ini dapat berpengaruh kuat pada apa yang dipikirkan seorang pemimpin mengenai masalah internasional dan politik luar negeri. Sebagai contoh, beberapa analisis telah menegaskan bahwa identitas rasial dan pengalaman masa kanak- kanak Presiden Barack Obama tinggal di Indonesia, telah menjadikannya sebagai presiden Amerika pertama yang memiliki sensitivitas multi-etnis dan multi-rasial di dalam maupun di luar negeri. Ada sejumlah skema kategorisasi tentang kepribadian. Salah satu yang paling banyak digunakan dalam analisis kepribadian politik adalah skala aktif-pasif dan skala positif-negatif dari James Barber. Pemimpin yang aktif (active leaders) adalah inovator kebijakan dan pemimpin yang pasif (passive leaders) merupakan seorang yang reaktor. Sementara itu pemimpin yang berkepribadian positif (positive personalities) biasanya memiliki kepribadian yang cukup kuat untuk menerima lingkungan politik yang berbeda (kontroversial), sedangkan pemimpin yang berkepribadian negatif (negative personalities) cenderung merasa terbebani (bahkan merasa dilecehkan) oleh kritik- kritik politik.31 Kesehatan jiwa dan fisik (physical and mental health), seorang pemimpin, menurut Rourke dan Boyer, juga menjadi faktor penting dalam pembuatan keputusan politikluarnegeri.Sebagaicontoh,ketikaFranklinRooseveltdinyatakansakithipertensi pada 1945, kelemahan fisik dan jiwa Presiden Amerika Serikat ini menyebabkan ia tidak dapat menolak tuntutan Joseph Stalin untuk menduduki Eropa Timur. Menyangkut kesehatan jiwa dan fisik ini adalah kebiasaan minum alkohol. Misalnya, Presiden Richard Nixon yang dijuluki oleh Henry Kissinger sebagai “my drunken friend”, dilaporkan sering membuat keputusan-keputusan yang kurang tepat selama era krisis dengan Uni Soviet. Pembuatan keputusan politik luar negeri, menurut Rourke dan Boyer, juga dapat dipengaruhi oleh faktor ego dan ambisi pribadi (ego and personal ambitions) dari seorang pemimpin. Kebijakan Washington mengintervensi Irak 2003, misalnya, oleh sejumlah pengamat banyak dipengaruhi faktor ego dan ambisi pribadi Presiden George Bush.32 Begitu pula invasi militer Irak ke Kuwait sebelum itu, banyak didominasi oleh ego dan ambisi pribadi Presiden Saddam Hussein. 30 Joseph Grieco, John Ikenberry, dan Michael Mastanduno, Introduction to International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2015), hal. 113. 31 Lihat James D. Barber, The Presidential Character: Predicting Performance in the White House (New York: Prentice-Hall, Inc., 1992). 32 Lihat George W. Bush, Decision Points (New York: Broadway Paperbacks, 2011).
  • 30. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016108 Pengambil keputusan politik luar negeri seringkali juga dipengaruhi pengalaman pribadi (personal experiences) mereka. Margaret Hermann mengatakan bahwa pengalaman masa lalu seorang pemimpin dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri negaranya, di samping faktor-faktor kepribadian lainnya. Meskipun masih bersifat spekulasi, pengalaman personal Presiden George Bush, menurut Rourke dan Boyer, mempengaruhi tekadnya untuk menjatuhkan Saddam Hussein dari tampuk kekuasaan pada 2003.33 Terakhir, images mengenai realitas dari para pengambil keputusan merupakan elemen idiosinkratik yang juga mempengaruhi pendekatan mereka terhadap politik luar negeri. Tidak dapat dinafikkan bahwa persepsi seorang pemimpin memainkan peran sentral dalam pembuatan keputusan politik luar negeri. Apapun sumbernya, persepsi seorang pemimpin menciptakan pandangan dunianya (his/her world view). Persepsi memainkan peran kunci dalam kebijakan karena persepsi membentuk realitas operasional. Artinya, pembuat kebijakan cenderung bertindak berdasarkan persepsi, apakah persepsi itu akurat atau tidak. Kode operasional, menurut Rourke dan Boyer, terkait dengan fenomena perseptual. Gagasan ini menjelaskan bagaimana pandangan dunia setiap pemimpin dan kecenderungan filosofis untuk mendiagnosis bagaimana politik dunia beroperasi, mempengaruhi kecenderungan mereka untuk memilih cara imbalan, ancaman, kekuatan, atau metode diplomasi lainnya.34 Dalam pandangan Russel Bova, faktor-faktor individu yang dapat mempengaruhi politik luar negeri diklasifikasikan dalam dua variabel utama, yaitu sistem keyakinan (belief systems) dan atribut kepribadian (personality attributes). Sebuah sistem keyakinan merujuk pada seperangkat nilai-nilai dan pemahaman substantif mengenai dunia yang dianut oleh seorang individu. Jika kita meyakini bahwa kualitas pemimpin mempunyai pengaruh pada politik luar negeri suatu negara, kita akan langsung mengacu pada gagasan dan keyakinan substantif mereka mengenai dunia. Dalam konteks ini, perbedaan dalam sistem keyakinan dapat terwujud dalam perbedaan posisi ketika menanggapi tantangan kebijakan luar negeri tertentu. Sistem keyakinan yang tingkatnya paling rumit dan sangat terintegrasi adalah ideologi. Dalam hal ini, ideologi adalah seperangkat asumsi dan pemahaman yang terintegrasi mengenai bagaimana dunia sosial, ekonomi, dan politik seharusnya dikelola, distrukturisasi atau diorganisasi. Seorang pemimpin yang ‘berideologi’ nasionalis, misalnya, akan memiliki pemahaman yang sangat berbeda mengenai dunia daripada seorang pemimpin yang 33 John T. Rourke dan Mark A. Boyer, loc. cit. 34 Mengenai peran kode operasional ini, lihat juga Mark Schafer and Stephen Walker (eds.), Beliefs and Leader- ship in World Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2006).
  • 31. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 109 berorientasi liberal. Perbedaan ideologis ini pada gilirannya akan mempengaruhi pandangan negara (state view) mengenai siapa yang dianggap sahabat dan musuh di dunia, sifat dari tantangan dan ancaman yang dihadapinya, serta instrumen yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan dan ancaman tersebut.35 Selain sistem keyakinan, atribut-atribut kepribadian seorang pemimpin dapat juga membentuk atau mempengaruhi keputusan politik luar negeri. Apakah seorang individu pemimpin memiliki kepribadian yang pragmatis atau dogmatis, otoriter atau demokratis, impulsif atau deliberatif, yang berhati-hati atau pengambil resiko (cautious or risk-taking), dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan yang dibuatnya atas nama negara. Salah seorang sarjana HI yang telah melakukan pengujian mengenai pengaruh atribut kepribadian pemimpin terhadap politik luar negeri suatu negara adalah Margaret Hermann. Dengan mempelajari apa yang dikatakan para pemimpin melalui pidato-pidato dan wawancara-wawancara, Hermann membagi ke dalam tujuh ciri-ciri kepribadian yang berbeda, yaitu: (1) keyakinan bahwa seseorang dapat mempengaruhi dan mengontrol apa yang terjadi; (2) membutuhkan kekuasaan dan pengaruh; (3) tingkat kompleksitas konseptual; (4) percaya diri; (5) cenderung memusatkan perhatian pada pemecahan masalah dan berorientasi prestasi dan menjaga kelompok atau senang dengan gagasan yang sensitif; (6) tidak percaya atau mencurigai orang lain; dan (7) tingkat bias dalam kelompok.36 Versi sederhana dari analisis Margaret Hermann mengenai atribut kepribadian tersebut disajikan dalam Tabel 2. Dengan mengkombinasikan beberapa dari tujuh ciri kepribadian di atas, Tabel 2 mencoba membedakan para pemimpin ke dalam dua dimensi, yaitu tanggap terhadap kendala-kendala eksternal dan terbuka terhadap informasi. Tanggap terhadap kendala (responsiveness to external constraints) harus dilakukan dengan sejauh mungkin pemimpin memandang keadaan eksternal di tingkat analisis sistemik dan negara untuk membatasi kebebasan tindakannya. Keterbukaan terhadap informasi juga perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana seorang pemimpin berusaha dan menerima informasi yang bertentangan dengan pandangan dan kebijakan yang telah ditetapkannya. Hasilnya adalah empat jenis kepemimpinan, yaitu crusaders, opportunists, strategists dan pragmatists. 35 Russel Bova, How the World Works: A Brief Survey of International Relations (New York: Pearson Education, Inc., 2016), hal. 78. 36 Margaret C. Hermann, “Assesing Leadership Style: A Traits Analysis”, dalam http://socialscience.net/ [Diak- ses 22 September 2016].
  • 32. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016110 Tabel 2 Tipologi Gaya Kepemimpinan MENGIKUTI KENDALA MENENTANG KENDALA TERBUKA TER- HADAP INFOR- MASI OPPORTUNISTS • Paling sensitif terhadap konteks • Cenderung untuk kompro- mi dan bargaining • Tampak sangat berhati-hati STRATEGISTS • Memiliki tujuan yang jelas • Mencari informasi terbaik untuk mencapai tujuan • Tampak tak dapat diprediksi TERTUTUP TER- HADAP INFOR- MASI PRAGMATIS • Merasakan tekanan dari kendala eksternal • Menunda tujuan apabila waktu dan keadaan tidak menunjang • Tampak tidak tegas CRUSADERS • Kurang sensitive terhadap konteks • Memiliki tujuan jelas dan mencapainya tanpa ker- aguan • Tampak sabar, tapi tegas Sumber: Margaret Hermann, Thomas Preston, Baghat Korany, dan Timothy Shaw, “Who Leads Mat- ters: The Effects of Powerful Individual”, dalam International Studies Review, Vol. 3 No.2 (2001). Dalam studinya yang lain, Margaret Hermann menemukan sejumlah karakteristik kepribadian yang mempengaruhi politik luar negeri. Ia diantaranya menemukan bahwa pemimpin dengan tingkat nasionalisme yang tinggi, memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan, dan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap orang lain, cenderung mengembangkan orientasi politik luar negeri yang independen. Sebaliknya, pemimpin dengan tingkat nasionalisme yang rendah, memiliki kebutuhan yang tinggi akan evaluasi, dan tingkat ketidakpercayaan yang rendah terhadap orang lain, cenderung mengembangkan orientasi politik luar negeri yang partisipatif. Hasil penelitian Hermann menunjukkan bahwa pengaruh faktor kepribadian dalam kepemimpinan diktator cenderung lebih tinggi daripada dalam kepemimpinan demokratis, karena dalam kepemimpinan diktator tidak ada pemeriksaan kelembagaan yang efektif.37 37 Margaret G. Hermann sebagaimana dikutip oleh Karen A. Mingst, Essentials of International Relations (New York: W.W. Norton & Company, 2004), hal. 140-142.
  • 33. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 111 KESIMPULAN Untuk memahami hubungan internasional diperlukan sebuah metode atau perangkat konseptual yang tepat. Salah satu perangkat konseptual yang paling banyak dikenal dan berguna untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional yang kompleks tersebut adalah pendekatan peringkat analisis (level of analysis). Pendekatan peringkat analisis terutama banyak digunakan oleh para sarjana HI yang beraliran realis (neorealis), terutama untuk menjelaskan perilaku internasional atau politik luar negeri suatu negara. Banyak sarjana HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yaitu level individu, level negara, dan level sistem internasional. Menjelaskan politik luar negeri dengan menekankan pada level individu seringkali disebut sebagai pendekatan idiosinkratik. Pendekatan ini merupakan yang paling elegan dan secara estetis paling menarik, namun sekaligus juga paling sulit (terutama dalam mengaitkannya dengan realitas empiris). Ada perbedaan pemahaman diantara pakar HI mengenai pendekatan idiosinkratik. Namun pada umumnya mereka memandang idiosinkratik sebagai faktor- faktor yang berkaitan dengan aspek kepribadian (personality) dari seorang pengambil keputusan (policy maker). Kajian idiosinkratik selain membedah karakteristik individual atau gaya kepemimpinan (leadership style) seorang pengambil keputusan yang mempengaruhi politik luar negeri negaranya, juga mengulas tentang faktor-faktor yang membentuk karakteristik individual atau gaya kepemimpinan tersebut. Karakteristik individual atau gaya kepemimpinan, misalnya apakah pengambil keputusan tersebut seorang yang aktif atau pasif, seorang yang terbuka atau tertutup, seorang yang cautious atau risk-taking, seorang yang otoriter atau demokratis, seorang yang oportunist atau strategist, seorang yang pragmatis atau crusaders, seorang yang berkepribadian positif atau negatif, seorang yang impulsif atau deliberatif, dan sebagainya. Sedangkan faktor- faktor yang membentuk karakteristik individual atau gaya kepemimpinan tersebut diantaranya personal experience (lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, pengalaman semasa remaja, lingkungan kerja, sejarah aktivitasnya dalam politik, pengalaman organisasi), nilai-nilai (values), sistem kepercayaan (belief system), ambisi, motivasi, ego, kesehatan fisik dan mental, faktor biologis (laki-laki atau perempuan), dan masih banyak lagi.
  • 34. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016112 KEPUSTAKAAN Barber, James D., The Presidential Character: Predicting Performance in the White House (New York: Prentice-Hall, Inc., 1992). Blalock, Hubert M., Social Statistics (New York: McGraw-Hill, 1979). Bova, Russel, How the World Works: A Brief Survey of International Relations (New York: Pearson Education, Inc., 2016). Bush, George W., Decision Points (New York: Broadway Paperbacks, 2011). Caldwell, Dan dan Timothy McKeon (eds.), Diplomacy, Force and Leadership: Essay in Honor of Alexander George (Bouler, CO: Westview Press, 1993). Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1981). Genest, Marc A., Conflict and Cooperation: Evolving Theories on International Relations (Belmont, CA: Wadsworth, 2004). Gabriela, Melanie “Idiosyncracies in Foreign Policy Decision Making: Post Cold War”, disertasi pada Faculty of European Studies, Babes-Bolya Universiti (Cluj Nopoca, Romania, 2012). Grieco, Joseph, John Ikenberry, dan Michael Mastanduno, Introduction to International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2015). Harris, Paul G. (ed.), Environmental Change and Foreign Policy: Theory and Practice (London: Routledge, 2009). Hermann, Margaret G., “Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders”, dalam International Studies Quaterly, Vol. 24 No. 1 (1990), hal. 7-46. Hermann, Margaret, Thomas Preston, Baghat Korany, dan Timothy Shaw, “Who Leads Matters: The Effects of Powerful Individual”, dalam International Studies Review, Vol. 3 No.2 (2001), hal. 83-131. Hermann, Margaret C., “Assesing Leadership Style: A Traits Analysis”, dalam http:// socialscience.net/ [Diakses 22 September 2016]. Hobbes, Thomas, Human Nature and De Corpore Politico (Oxford: Oxford University Press, 2008).
  • 35. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 113 Holsti, Kalevi J., International Politics: A Framework for Analysis (New Jersey: Prentice- Hall, 1995). Kaarbo, Juliet, “Prime Minister Leadership Styles in Foreign Policy Decision Making: A Framework for Research”, dalam Political Psychology, Vol 18 (1997), hal. 553-581. Kaarbo, Juliet dan James Lee Ray, Global Politics (Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011). Kaufman, Joyce P., Introduction to International Relations: Theory and Practice (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2013). Kavalski, Emilian (ed.), Encounters With World Affairs: An Introduction to International Relations (Farnham, UK: Ashgate, 2002). Kegley, Jr., CharlesW. dan Shannon L. Blanton, World Politics:Trend andTransformation (Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011). Kuhlman, James A. (ed.), The Foreign Policies of Eastern Europe: Domestics and International Determinants (Leyden: A.W. Sijthoff, 1978). Mingst, Karen A., Essentials of International Relations (New York: W.W. Norton & Company, 2004). Papp, Daniel S., Contemporary International Relations: Framework for Understanding (New York: Longman Publishing Co., 2002). Patomäki, Heikki, After International Relations: Critical Realism and the (Re)- Construction of World Politics (London: Routledge, 2002). Ray, James Lee, “Integrating Levels of Analysis in World Politics”, dalam Journal of Theoretical Politics, Vol. 13 No. 4 (2001), hal. 355-388. Robinson, Stuart, “Level of Analysis”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of International Relations and Global Politics (New York: Routledge, 2005). Rourke, John T. dan Mark A. Boyer, International Politics on the World Stage (New York: McGraw-Hill Education, 2009). Schafer, Mark dan Stephen Walker (eds.), Beliefs and Leadership in World Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2006).
  • 36. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016114 Singer, J. David, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam World Politics, Vol. 14 No. 1 (1961), hal. 77-92. Smith, Caitlin, “Personality in Foreign Policy Decision-Making”, dalam http://www.e- ir.info/2012/10/16/ [Diakses 28 Desember 2016]. Waltz, Kenneth, Man, the State, andWar (New York: Columbia University Press, 1959).
  • 37. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 115 POKOK BAHASAN HUKUM INTERNASIONAL DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUBUNGAN INTERNASIONAL Oleh: Muhammad Ikhwan Hakiki Dosen FISIP-HI IISIP Jakarta E-mail: hakikiikhwan87@gmail.com ABSTRACT This paper discusses the international law as one of the subjects in the study of International Relations (IR). The discussion begins from the history of international law, the scope and sources of international law, the main theories in international law, and concludes with a discussion of international law viewed from the theories of International Relations. There are a number of theories of International Relations who paid attention to the phenomenon of international law, but in this article only discussed the perspective of realist theory, liberal theory and constructivist theory about international law. This mainstream theories in the study of IR has a different perspective about the existence of international law in international relations. Realism, for example, tend to have a pessimistic view of the existence of international law. Analysis of liberalism tends to be positive against international law, that view of international law as a coordination mechanism and an important instrument to facilitate cooperation and interdependence between nations. While the constructivist theory more emphasis on the process of formation, admission, and changes of international norms (law) in the international community. Keywords: international law, international relations, realist theory, constructivist theory, liberal theory. ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang hukum international sebagai salah satu pokok bahasan dalam studi HI. Pembahasan dimulai dari sejarah hukum internasional, lingkup dan sumber- sumber hukum internasional, teori-teori utama dalam hukum internasional, dan ditutup dengan bahasan hukum internasional dilihat dari teori-teori Hubungan Internasional. Ada sejumlah teori HI yang menaruh perhatian terhadap fenomena hukum internasional, namun dalam tulisan ini hanya dibahas pandangan teori realis, teori liberal, dan teori konstruktivis terhadap hukum internasional. Ketiga teori arus utama dalam studi HI ini memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap eksistensi hukum internasional dalam hubungan internasional. Realisme, misalnya cenderung memiliki pandangan yang pesimistik tentang eksistensi hukum internasional. Analisis liberalisme cenderung bersifat positif terhadap hukum internasional, yakni melihat hukum internasional sebagai sebuah mekanisme koordinasi dan instrumen penting untuk memfasilitasi kerjasama dan interdependensi antar-negara. Sedangkan teori konstruktivis lebih menekankan pada proses pembentukan, penerimaan dan perubahan norma-norma (hukum) internasional dalam masyarakat internasional. Kata kunci: hukum internasional, hubungan internasional, teori realis, teori konstruktvis, teori liberal.
  • 38. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016116 PENDAHULUAN Hukum international (international law) adalah seperangkat aturan yang secara umum dianggap dan diterima sebagai mengikat dalam hubungan antar-negara dan antar-bangsa,yangberfungsisebagaikerangkakerjabagipraktikhubunganinternasional yang stabil dan terorganisir.1 Dengan kata lain, hukum internasional merupakan seperangkat aturan yang dimaksudkan untuk mengikat (to bind) negara-negara dalam hubungan mereka satu sama lain. Hukum internasional berbeda dengan sistem-sistem hukum berbasis negara (state-based legal systems), karena hukum internasional terutama berlaku untuk negara-negara, sedangkan sistem hukum berbasis negara lebih ditujukan untuk warga negara. Selain perbedaan hukum internasional dan hukum nasional, banyak ‘orang awam’ sering dibingungkan dengan terminologi hukum yang mengandung unsur asing (foreign law) atau kata internasionalnya. Secara garis besar, hukum yang mengandung unsur asing (internasional) dapat dibedakan menjadi hukum internasional publik (public international law) dan hukum perdata internasional (private international law). Hukum internasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hukum internasional publik, sedangkan hukum perdata internasional pada hakikatnya bukan merupakan hukum internasional (melainkan hukum nasional biasa). Kajian hukum internasional telah lama menjadi bagian dari studi Hubungan Internasional (HI), bahkan hukum internasional dapat dikatakan sebagai pokok bahasan yang paling tua dalam studi HI selain diplomasi dan organisasi internasional. Sebagaimana diketahui, aliran pemikiran (school of thought) yang pertama kali tumbuh dalam studi HI adalah aliran idealisme yang mengedepankan pentingnya pendekatan hukum dan organisasi internasional untuk mewujudkan perdamaian dunia. Meskipun demikian, kajian tentang hukum internasional hingga kini tetap menjadi salah satu pokok bahasan yang penting (core-subject) dalam studi HI di hampir semua universitas di dunia. Akan tetapi, pembelajaran hukum internasional di lingkungan studi HI (terutama di hampir semua universitas di Indonesia) masih terlalu berorientasi pada pendekatan ilmu hukum (legal formal). Dengan kata lain, hukum internasional diajarkan dari perspektif ilmu hukum, bukan dari perspektif studi HI. Salah satu penyebabnya adalah karena banyak pengajar hukum internasional di program studi 1 William R. Slomanson, Fundamental Perspectives on International Law (Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011), hal. 4-5.
  • 39. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 117 HI berlatar belakang ilmu hukum atau dosen dari fakultas hukum. Padahal orientasi dan substansi kajian hukum internasional di lingkungan studi HI berbeda dengan di lingkungan fakultas atau ilmu hukum. Tulisan ini berusaha untuk mengelaborasi hal ihwal kajian hukum internasional secara umum dan mencoba melihat dari perspektif studi HI. SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL Istilah ‘hukum internasional’ (international law) pertama kali digunakan oleh Jeremy Bentham pada 1780 dalam karyanya berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Istilah ‘hukum international’ itu telah menggantikan dua terminologi yang lebih tua, yaitu ‘law of nations’ (Inggris) dan ‘droit de gens’ (Perancis) yang dapat ditelusuri kembali pada konsep ‘ius gentium’ (Romawi) dan tulisan- tulisan dari Cicero. Sedangkan dalam bahasa Jerman, Belanda, Skandinavia, dan Slavia terdapat terminologi yang lebih tua lagi, yakni ‘Völkerrecht’, ‘Volkenrecht’, dan sebagainya.2 Jeremy Bentham sendiri mendefinisikan hukum internasional sebagai himpunan aturan (collection of rules) yang mengatur hubungan antar-negara. Kendati istilah ‘hukum internasional’ baru diperkenalkan Jeremy Bentham 1780, prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar yang bekaitan dengan hukum internasional (seperti perjanjian-perjanjian) dapat ditelusuri ribuan tahun sebelumnya. Menurut banyak ahli sejarah, di wilayah yang sekarang kita kenal dengan India, sudah ribuan tahun mengenal prinsip-prinsip ‘hukum internasional’ ketika negara-negara Barat masih berada dalam tahap belum beradab (uncivilized stage). Selain referensi- referensi dalam kitab Arthshastra, dalam periode pasca-Veda telah ada aturan-aturan tertentu yang mengatur bagaimana perang dideklarasikan, perjanjian-perjanjian diumumkan, aliansi-aliansi dinegosiasikan, dan duta-duta besar diakreditasi. Waktu itu juga sudah ada aturan diplomatik bagaimana seorang duta yang menyampaikan pesan dari penguasa negaranya tidak boleh dibunuh.3 Contoh awal adanya perjanjian (treaty) sudah terjadi sekitar 2100 SM, yakni sebuah persetujuan (agreement) negara-kota Lagash dan Umma di Mesopotamia. Perjanjian ini tertulis pada sebuah blok batu yang secara garis besar menetapkan batas antara dua negara-kota tersebut. Di samping itu, sekitar 1000 SM sebuah persetujuan 2 Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law (London: Routledge, 1997), hal. 1. 3 Pooja, “International Law: Definition, Evolution, and Scope of International Law”, dalam http://www.polit- ical-sciencenotes.com/articles/international-law- [Diakses 23 Desember 2016].
  • 40. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016118 ditandatangani antara Ramses II dari Mesir dan Raja Hittites dari Suriah. Perjanjian ini menerapkan “perdamaian dan persaudaraan abadi” antara dua bangsa, yang juga berisi sikap saling menghormati wilayah masing-masing dan persetujuan untuk membentuk sebuah aliansi defensif.4 Yunani Kuno sebelum Alexander Agung juga melahirkan banyak perjanjian untuk mengatur bagaimana negara-negara kota di wilayah tersebut berinteraksi. Pada era Kekaisaran Romawi hukum internasional tidak berkembang. Sebab dalam berinteraksi dengan wilayah-wilayah yang belum menjadi bagian kekaisaran, mereka tidak peduli dengan aturan-aturan ekternal. Saat itu yang berkembang di Romawi justru hukum yang mengatur interaksi antara warga Romawi dengan orang asing, atau apa yang sekarang dikenal dengan hukum perdata internasional. Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi dan runtuhnya Tahta Suci Romawi, barulah muncul kebutuhan dari unit-unit politik yang ada saat itu (kota-kota mandiri, kerajaan- kerajaan, bangsa-bangsa) atas adanya aturan untuk mengatur perilaku dan interaksi mereka. Perdagangan internasional merupakan katalis nyata bagi perlunya pengembangan aturan perilaku antar negara yang obyektif. Para pedagang lintas- batas membutuhkan sebuah aturan (code of conduct) untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka. Selain perdagangan, peperangan juga merupakan aktivitas ummat manusia yang memicu lahirnya hukum internasional. Paling tidak, adanya sebuah praktik dan kebiasaan bersama yang berlaku umum saat itu dipandang penting oleh para pelaku perdagangan dan peperangan. Dimulai dari munculnya Liga Hanseatik (kumpulan dari 150 entitas di Jerman, Skandinavia, dan Baltik) yang mengembangkan beberapa kebiasaan ‘internasional’ (international customs) untuk memfasilitasi aktivitas perdagangan dan komunikasi diantara mereka pada abad ke-13 hingga ke-15 M.5 Setelah itu negara-negara kota di Italia mulai mengembangkan aturan-aturan diplomatik,karenamerekamulaimengirimkandutabesarkeberbagainegara,khususnya untuk mengatur urusan-urusan perdagangan. Perjanjian-perjanjian antar pemerintah pun mulai dibuat yang dimaksudkan untuk mengikat interaksi mereka, atau setidaknya dapat menjadi instrumen yang berguna untuk melindungi perdagangan diantara mereka. Pada saat yang sama, peristiwa “Perang Tiga Puluh Tahun” (Thirty Years’ War) 4 Arthur Nussbaum sebagaimana dikutip Christopher N. Warren, Literature and the Law of Nations 1580-1680 (Oxford: Oxford University Press, 2015). 5 Lihat David Nicolle, Forces of the Hanseatic League: 13th–15th Centuries (London: Osprey Publish- ing, 2014).
  • 41. ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 119 semakin mendorong perlunya diciptakan aturan pertempuran (rules of combat) yang dapat melindungi masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran. Gagasan inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menginspirasi munculnya Konvensi Geneva 1949. Perjanjian Westphalia 1648 merupakan titik balik dalam upaya membangun hukum internasional sehubungan dengan dintroduksinya konsep kedaulatan negara (state sovereignty). Namun upaya pertama untuk merumuskan sebuah teori otonom tentang hukum internasional telah terjadi sebelum itu, tepatnya di Spanyol pada abad ke-16. Francisco de Vitoria, misalnya, menulis tentang aspek keadilan penaklukan Spanyol di Amerika yang diterbitkan pada 1557. Alberico Gentili (1598) dan Francisco Suarez (1612) melakukan elaborasi tentang doktrin perang yang adil (just war doctrine), dan membedakan hukum alam (jus natural) dengan hukum yang dipraktikkan negara- negara (jus gentium). Kemudian Hugo Grotius (1625) mempublikasikan sebuah buku berjudul De Jure Belli ac Pacis (hukum tentang perang dan damai). Berkat karyanya yang fenomenal ini, Hugo Grotius di kemudian hari dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”.6 Pada abad ke-17 hingga 19, berbagai upaya masih dilakukan oleh para ahli hukum untuk mengkodifikasi hukum internasional. Misalnya, pada 1672 Samuel Pufendorf menulis buku berjudul De Jure Naturae et Gentium (hukum alam dan negara), yang kemudian menjadikannya sebagai pionir aliran naturalis tentang pemikiran hukum. Lantas, pada 1863 Francois Lieber menyiapkan A Code for the Government of Armies yang digunakan selama Perang Perancis-Prussia (1870-1871). Pada 1868, Bluntschli juga membuat upaya-upaya yang komprehensif menuju kodifikasi hukum internasional. Pada 1872, David Dudley Field mengeluarkan Draft Outline of an International Code. Sarjana hukum Italia, Pasquale Flore, pada 1899 menerbitkan sebuah kode yang mencakup berbagai bidang dari hukum internasional.7 Sebuah perkembangan penting dalam hukum internasional modern adalah konsep “persetujuan” (consent). Sebelum Perang Dunia II, sebuah negara tidak akan dianggap terikat oleh sebuah aturan internasional kecuali negara tersebut telah secara resmi menyetujui untuk terikat terhadap aturan tersebut, atau dianggap sudah lazim mematuhi aturan tersebut. Namun, di era modern sekarang ini, sekedar menyetujui sebuah praktik internasional dianggap cukup untuk terikat dengan praktik tersebut, 6 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1981), hal. 230. 7 Peu Ghosh, International Relations (New Delhi: PHI Learning Private Limited., 2015), hal., 258.