SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Download to read offline
¹Penulis Penanggung Jawab
²Penulis Penanggung Jawab
KONTRIBUSI PERCEIVED SOCIAL SUPPORT DALAM MEMODERASI PENGARUH
RESILIENSI TERHADAP POSTTRAUMATIC GROWTH PADA PENYINTAS ERUPSI
GUNUNG MERAPI
Chandra C. A. Putri
Departemen Psikologi
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia
chandraputri@outlook.com
Ifa Hanifah Misbach, M. A., Psi.¹
Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia
Medianta Tarigan, M. Psi.²
Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak: Selain memicu dampak negatif, bencana alam sebagai salah satu peristiwa traumatik juga bisa
mendorong perkembangan individu yang mengarah pada perubahan positif, hal ini dikenal dengan
postraumatic growth. Beberapa studi mengemukakan jika perubahan ini dipengaruhi oleh beberapa
konstruk psikologis, diantaranya resiliensi dan perceived social support. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efek moderasi dari perceived social support pada pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic
growth. Dengan menggunakan teknik conveience sampling, penelitian ini dilakukan kepada 82 penyintas
erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan, DIY Yogyakarta. Data diperoleh melalui instrumen
Connor-Davidson Resilience Scale 10 (CD-RIS 10) dalam mengukur resiliensi, Multiple Scale of
Perceived Social Support (MSPSS) dalam mengukur perceived social support, dan instrumen Post-
Traumatic Growth Inventory (PTGI) dalam mengukur posttraumatic growth. Ketiga instrumen
penelitian telah diuji serta memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas item berdasarkan pemodelan
Rasch. Dengan menggunakan teknik Moderating Regression Analysis (MRA) diketahui jika interaksi
antara resiliensi dan perceived social support memberikan konstribusi sebesar 21,6% dalam
mempengaruhi skor posttraumatic growth. Namun, perceived social support yang berperan sebagai
variabel moderator dalam penelitian ini memberikan efek moderasi yang negatif, dimana peningkatan
skor resiliensi diikuti oleh menurunnya skor perceived social support. Dengan kata lain, dalam penelitian
ini perceived social support memperlemah pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic growth.
Kata kunci: posttraumatic growth, resiliensi, perceived social support, penyintas bencana alam, erupsi
Merapi
Abstract: In addition to negative effects, natural disaster as a traumatic event also can encourage the
survivors development that leads to positive change, this is known as posttraumatic growth. A number
of studies have suggested that these changes are influenced by some psychological constructs, including
resilience and perceived social support. The purpose of this study is to determine the moderating effect
of perceived social support on the effect of resilience to posttraumatic growth. The participants of this
study were 82 survivors of Mt. Merapi volcanic eruption in 2010 who were living in temporary houses.
Post-Traumatic Growth Inventory (PTGI), Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC 10), and
Multiple Scale of Perceived Social Support (MSPSS) were used to measure the defined characteristics.
According to requirements of validity and reliability, these instruments had been tested based on Rasch
Modeling. The analysis technique used is Moderating Regression Analysis (MRA). The result showed
that interaction between resilience and perceived social support contributes 21.6% to predict
posttraumatic growth score. However, perceived social support provide a negative moderating effects,
by means increasing the score of resilience followed by decreasing score of perceived social support. In
other words, perceived social support weakens the relationship between resilience and posttraumatic
growth.
Keywords: posttraumatic growth, resilience, perceived social support, survivors of disaster, Mt. Merapi
volcanic eruption.
2
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang
terletak diantara tiga lempeng benua aktif,
diantaranya: lempeng Indo-Australia di
selatan, lempeng Euro-Asia di utara, dan
lempeng Pasifik di timur. Pergerakan ketiga
lempeng ini dapat mengakibatkan berbagai
bencana di Indonesia, salah satunya bencana
yang terjadi karena aktifnya kawasan
tektonik dan vulkanik (BNPB, 2010),
termasuk aktifnya Gunung Merapi yang
terletak diantara provinsi Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Pada tahun 2010, salah satu
gunung api yang paling aktif di Indonesia ini
mengalami peningkatan aktivitas, hingga
pada 26 Oktober 2010 aktivitas gunung
mencapai puncaknya yang ditandai dengan
letusan gunung dan erupsi yang bersifat
eksplosif.
Data terakhir Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
menunjukkan bahwa sebanyak 386 individu
meninggal dunia, sementara sebanyak 829
orang terluka dan kehilangan, baik
kehilangan tempat tinggal maupun
kehilangan anggota keluarga (BNPB, 2016).
Berbagai dampak baik secara fisik maupun
psikologis bisa dialami oleh individu yang
selamat dari bencana yang kemudian disebut
sebagai survivor atau penyintas.
Permasalahan pada aspek psikologis
bisa terjadi berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun paska bencana. Kematian
anggota keluarga, kehilangan pekerjaan dan
perpisahan dengan keluarga bisa memicu
beberapa gangguan psikologis (Enrenreich,
2001). Hal yang sama juga terjadi pada para
penyintas erupsi Gunung Merapi 2010.
Analisis terhadap sejumlah penyintas yang
dilayani oleh tim Psikolog gabungan dari
Center for Public Mental Health, Fakultas
Psikologi UGM, dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Sleman menunjukkan adanya
permasalahan-permasalahan kesehatan
mental dan psikososial pada kelompok
penyintas erupsi, diantaranya gejala-gejala
depresi, gangguan stress paska trauma, dan
kecemasan (Hidayat, 2011).
Namun, tidak saja memicu dampak
negatif, bencana juga dapat mendorong
perkembangan individu yang mengarah pada
perubahan positif. Park dan Murch (1996)
dalam studinya mengemukakan bahwa 30-
90% individu melaporkan adanya perubahan
positif setelah mengalami peristiwa
traumatik, peristiwa tersebut memberikan
kesempatan yang membantu mereka untuk
lebih memaknai hidup. Terkait bencana alam,
sebuah studi yang dilakukan kepada 2080
penyintas gempa Sinchuan tahun 2008
menunjukkan prevalensi penyintas gempa
yang mengalami perubahan positif paska
bencana sebesar 56,8% (Xu & Liao, 2011).
Perubahan positif setelah mengalami
peristiwa traumatik tersebut kemudian
dikenal dengan posttraumatic growth.
3
Posttraumatic growth merupakan
perubahan secara positif pada aspek kognitif
dan emosi individu yang digambarkan dalam
sebuah spektrum yang berkembang setelah
individu mengalami peristiwa traumatik
(Tedeschi & Calhoun, 2006). Beberapa
istilah seperti pemaknaan (founding
meaning), stress-related growth, self-
transformation, digunakan dalam
menggambarkan pengalaman berupa
perubahan positif atau growth (Siegel &
Schrimshaw, 2000). Dalam konteks peristiwa
traumatik, termasuk bencana alam,
mengoptimalkan intervensi yang berfokus
pada postraumatic growth sebagai aspek
yang lebih bersifat positif penting dilakukan
untuk meningkatkan kesehatan mental
penyintas paska bencana (Schmidt, 2008).
Perubahan yang dimaksud dalam
posttraumatic growth meliputi perubahan
dalam persepsi diri (perception of self),
hubungan dengan orang lain, dan perubahan
filosofi hidup individu (Tedeschi & Calhoun,
2006).
Hal yang sama juga dialami oleh
penyintas erupsi Gunung Merapi 2010,
beberapa komunitas secara aktif
mengembangkan berbagai program dan
jangkauan paska erupsi yang pada dasarnya
mengalami transisi dalam berbagai hal,
termasuk kehidupan di tempat tinggal baru.
Paska erupsi, para penyintas yang kehilangan
tempat tinggalnya dan berpindah ke sebuah
shelter yang sejak tahun 2013 menjadi hunian
tetap atau dikenal dengan huntap. Totok
Hartanto sebagai salah seorang penyintas
erupsi yang membentuk komunitas Pasag
Merapi mengemukakan bahwa dirinya
mengalami perubahan dalam memaknai
kehidupan paska erupsi, ia mengemukakan
bahwa “Ketika kita mau memaknai apa yang
terjadi, Gunung Merapi yang menjadi
mahaguru memberikan banyak pelajaran bagi
para warga yang tinggal di sekitarnya, kita
bisa bersahabat dengan ancaman jika lebih
peka terhadap sekitar” (wawancara, 9
Oktober, 2015).
Tidak semua penyintas mengalami
posttraumatic growth paska bencana,
terutama setelah tinggal di huntap. Selain
faktor demografis, berbagai aspek bisa
mempengaruhi tingkat atau muncul tidaknya
posttraumatic growth paska bencana,
resiliensi dan dukungan sosial menjadi
sebuah konstruk yang berhubungan dengan
posttraumatic growth (Tedeschi & Calhoun,
2006). Vaquentina sebagai salah seorang
psikolog yang menangani penyintas erupsi
Merapi 2010 mengemukakan bahwa
“Resiliensi menjadi salah satu faktor yang
paling penting bagi para penyintas dalam
menghadapi masa transisi paska erupsi,
dimana sebagian penyintas bisa membangun
kembali kehidupan barunya sementara yang
lain semakin terpuruk” (wawancara, 8
Oktober, 2015). Resiliensi didefinisikan
sebagai kemampuan untuk bangkit kembali
(bounce back) setelah
4
mengalami kesulitan (Wagnild & Young,
1993; McCubbin, 2001; Siebert, 2005; dan
Campbell-Sills & Stein, 2007).
Studi yang dilakukan kepada 450
mahasiswa di Universitas Baghdad yang
menjadi penyintas perang Iraq menunjukan
bahwa resiliensi secara positif signifikan
berpengaruh terhadap posttraumatic growth
(Mahdi, Prihadi, & Hashim, 2014). Artinya,
semakin tinggi tingkat resiliensi semakin
tinggi pula kecenderungan individu dalam
mengembangkan posttraumatic growth.
Selain resiliensi, dukungan sosial juga
menjadi salah satu aspek psikologis yang
berhubungan dengan posttraumatic growth.
Studi yang dilakukan kepada 104 perempuan
yang menjalani kemoterapi karena kanker
menunjukkan bahwa dukungan sosial secara
signifikan berpengaruh dalam
mengembangkan posttraumatic growth
(Bozo, 2009). Terkait penyintas erupsi
Merapi, studi mengenai hubungan dukungan
sosial dengan posttraumatic growth juga
pernah dilakukan dan menunjukkan hasil
yang sama, yakni dukungan sosial secara
signifikan berpengaruh terhadap
posttraumatic growth (Akbar, 2014).
Dalam kaitannya dengan kedua
konstruk yang berhubungan dengan
posttraumatic tersebut, Horswill dan
Carleton (2014) dalam studinya
mengemukakan jika dukungan sosial menjadi
faktor penting bagi resiliensi dalam
mengembangkan posttraumatic growth.
Dengan kata lain, dukungan sosial menjadi
perantara bagi hubungan antara resiliensi dan
posttraumatic growth. Secara matematis, hal
ini bisa dianalisis dalam sebuah uji moderasi
yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh
dukungan sosial sebagai perantara hubungan
antara resiliensi dan posttraumatic growth,
apakah memperkuat atau memperlemah
hubungan keduanya (Fairchild &
MacKinnon, 2009). Dalam psikologi,
mengetahui peran perantara dalam fenomena
tertentu penting dilakukan untuk
mengoptimalkan intervensi dalam
meningkatkan kesehatan mental suatu
kelompok masyarakat (Urbayatun &
Widhiarso, 2012).
Berdasarkan hal tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan studi mengenai
kontribusi perceived social support dalam
memoderasi pengaruh resiliensi terhadap
posttraumatic growth pada penyintas erupsi
Gunung Merapi.
METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Dengan pendekatan kuantitatif, model
modrasi digunakan sebagai desain dari
penelitian ini. Model moderasi digunakan
untuk mengetahui apakah perceived social
support memperkuat atau memperlemah
pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic
hrowth.
5
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Subjek atau populasi dalam penelitian ini
adalah penyintas erupsi Gunung Merapi yang
tinggal di Kecamatan Cangkringan,
Yogyakarta. Dengan karakteristik sampel:
penyintas yang berusia 20-40 tahun sebagai
individu yang berada dalam masa
perkembangan dewasa (Papalia & Fieldman,
2004), sebanyak 82 penyintas berperan
sebagai responden dalam penelitian ini.
3. Variabel Penelitian dan Definisi
Operasional
Dalam penelitian ini, variabel yang akan
diuji terdiri dari variabel dependen (kriteria)
dan independen (prediktor), yang
digambarkan sebagai berikut.
a. Variabel dependen (kriteria), yakni
variabel diuji perubahan skornya setelah
duhubungkan dengan prediktor.
Posttraumatic growth sebagai variabel
dependen dalam penelitian ini
disimbolkan dengan huruf Y.
b. Variabel independen (prediktor), yakni
variabel yang diuji untuk diketahui
kontribusinya terhadap variabel dependen.
Dalam penelitian ini, variabel prediktor
terdiri dari dua variabel yaitu: a) Resiliensi
yang disimbolkan dengan X1, dan b)
Perceived social support yang juga
berperan sebagai moderator. Dimana,
perceived social support diuji
konstribusinya terhadap hubungan antara
resiliensi dan posttraumatic growth.
Perceived social support disimbolkan
dengan X2.
Dalam penelitian ini, secara operasional
resiliensi ditujukan sebagai kemampuan
individu untuk mengatasi perubahan (dalam
hal ini kehidupan paska bencana),
kemampuan untuk menggunakan humor
ketika menghadapi suatu masalah, serta
ketekunan untuk menyelesaikan tujuan
dengan segala kendala yang ada.
Sementara perceived social support
ditujukan sebagai penilaian subjektif individu
mengenai dukungan sosial yang diterimanya
dari tiga sumber, yaitu: keluarga, teman-
teman, dan pasangan atau orang terdekat
(significant other). Adapun posttraumatic
growth ditujukan pada tingkat perubahan
yang dialami individu dalam lima aspek,
yaitu hubungan dengan orang lain,
keterbukaan terhadap peluang baru, kekuatan
personal, perubahan spiritual, dan
penghargaan dalam hidup.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan memberikan
kuesioner yang harus dilengkapi oleh
responden penelitian. Kuesioner yang
digunakan merupakan suatu set pernyataan
mengenai resiliensi, perceived social
support, dan posttraumatic growth melalui
masing-masing instrumen yang telah
diujicobakan.
6
5. Instrumen Penelitian
a. Instrumen Resiliensi
Tingkat resiliensi partisipan diukur
dengan menggunakan Connor-Davidson
Resilience Scale 10 (CD-RISC 10) yang
sudah dialihbahasakan oleh Pusat Krisis
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Instrumen pengukuran didapat dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan kepada subjek
penelitian yang sama (Wulandari, 2012).
Selanjutnya instrumen diujicobakan kepada
responden yang memiliki kriteria yang
serupa, yakni penyintas bencana alam berusia
20-40 tahun. Uji coba instrumen dilakukan
kepada 117 penyintas bencana dan
mengalami sejumlah perbaikan, diantaranya
perubahan konten item nomor 3 dari “Saya
mencoba melihat sisi lucu dari masalah yang
saya hadapi” menjadi “Ketika menghadapi
masalah, saya masih bisa tertawa dan
bercanda untuk mengurangi ketegangan.”
Selain konten item, perbaikan juga dilakukan
pada skala pilihan jawaban dari lima pilihan
jawaban (“tidak pernah sama sekali”,
“hampir tidak pernah”, “sesekali”, ”sesekali”,
dan “hampir selalu”) menjadi empat pilihan
jawaban dengan membuang pilihan jawaban
“hampir tidak pernah.” Perbaikan instrumen
dilakukan dengan pemodelan Rasch. Adapun
reliabilitas instrumen ditujukan oleh skor
alpha cronbach sebesar 0,89.
b. Instrumen Perceived Social Support
Pengukuran perceived social support
dilakukan dengan mengadaptasi instrumen
Multidimensional Scale of Perceived Social
Supprt (MSPSS) yang dikembangkan oleh
Gregory D. Zimet pada tahun 1988. MSPSS
terdiri dari 12 item yang terdiri dari 3
subskala yang mewakili persepsi dukungan
yang diterima responden berdasarkan tiga
sumber dukungan yakni: pasangan, teman-
teman, dan keluarga.
Setelah diterjemahkan dan dilakukan uji
keterbacaan kepada ahli bahasa, instrumen
diujicobakan kepada 117 penyintas bencana
alam. Setelah dianalisis menggunakan
pemodelan rasch, instrumen mengalami
perbaikan pada item nomo4r 1 dan 4. Adapun
reliabilitas instrumen ditujukan oleh skor
alpha cronbach sebesar 0,84.
c. Instrumen Posttraumatic Growth
Instrumen yang digunakan untuk
mengukur posttraumatic growth adalah Post-
Traumatic Growth Inventory (PTGI) yang
dikembangkan oleh Tedeschi dan Calhoun
(198). PTGI memiliki 21 item untuk
menggambarkan karakteristik posttraumatic
growth yang terdiri dari lima faktor, yakni:
hubungan dengan orang lain, keterbukaan
terhadap peluang baru, kekuatan personal,
perubahan spiritual, dan penghargaan dalam
hidup.
Setelah diterjemahkan dan dilakukan uji
keterbacaan kepada ahli bahasa, instrumen
diujicobakan kepada 117 penyintas bencana
alam. Setelah dianalisis menggunakan
pemodelan rasch, instrumen mengalami
perbaikan pada empat buah item, yakni item
7
nomor 3, 5, 6, dan 15. Adapun reliabilitas
instrumen ditujukan oleh skor alpha
cronbach sebesar 0,96.
6. Analisis Data
Sebelum melakukan analisis statistik pada
ketiga variabel penelitian, dilakukan uji
asumsi untuk memastikan bahwa analisis
regesi moderasi seperti yang telah dipaparkan
pada sub bab sebelumnya benar-benar bisa
digunakan kebermanfaatannya. Uji asumsi
dilakukan dengan beberapa langkah,
diantaranya: uji sampel; tipe variabel
(interval); uji normalitas; uji
multikolinieritas; dan uji heterokedatisitas.
Adapun teknik analisis data yang
digunakan dari desai penelitian MRA seperti
yang telah dipaparkan akan menghasilkan
persamaan sebagai berikut:
Y = i5 + β1X1 + β2X2 + β3X1X2 + e
Pada persamaan tersebut, β1 merupakan
koefisien yang menghubungkan variabel
independen (X1) dan hasil penelitian (Y)
ketika X2 = 0, β2 merupakan koefisien yang
menghubungkan variabel moderator (X2)
pada hasil penelitian (Y) ketika X1 = 0, i5
merupakan nilai tengah (intercept) dalam
persamaan, dan emerupakan sisa (residual)
dalam persamaan. Sementara, β3 merupakan
koefisien regresi yang menunjukkan estimasi
pengaruh dari variabel moderator dalam
sebuah uji moderasi. Jika β3 secara statistik
tidak sama dengan nol ( β3 ≠ 0), maka uji
moderasi dalam data hubungan antara X1-Y
dapat dikatakan signifikan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data yang diperoleh dari 82
penyintas erupsi Merapi sebagai responden
penelitian, dengan menggunakan desain dan
teknik analisis data penelitian seperti yang
telah dipaparkan, hasil dari analisis yang
dilakukan dalam penelitian ini digambarkan
dalam persamaan berikut:
Y = 0,318 + 0,315X1 + 0,542X2 –
0,112X1X2 + e
Persamaan tersebut secara simultan bersifat
signifikan. Artinya, kontribusi resiliensi (X1)
dan perceived social support (X2) benar-
benar mempengaruhi skor posttraumatic
growth (Y) sebagai variabel dependen dalam
penelitian ini. Berdasarkan persamaan
tersebut, 0,318 merupakan konstanta (a) dari
variabel posttraumatic growth (Y). Artinya,
jika resiliensi (X1) dan perceived social
support (X2) bernilai nol maka posttraumatic
growth akan bernilai 0,318. Kemudian,
koefisien regresi resiliensi (X1) bernilai
0,351 yang berarti jika perceived social
support (X2) dan koefisien moderasi konstan,
maka kenaikan resiliensi (X1) akan
menyebabkan peningkatan posttraumatc
growth (Y) sebesar 0,351. Selain itu,
koefisien regresi perceived social support
(X2) bernilai 0,542 yang berarti jika resiliensi
(X1) dan koefisien moderasi konstan, maka
kenaikan perceived social support (X2) akan
menyebabkan peningkatan posttraumatic
growth sebesar 0,542.
8
Secara parsial, kedua prediktor baik
resiliensi (X1) maupun perceived social
support (X2) yang diasumsikan mampu
memoderasi kekuatan resiliensi dalam
mempengaruhi nilai posttraumatic growth
(Y) ini bersifat positif. Artinya, semakin
tinggi nilai resiliensi (X1) dan perceived
social support (X2) maka akan semakin
tinggi pula nilai posttraumatic growth (Y).
Namun, dalam persamaan regresi ini,
efek moderasi (X1X2) bernilai negatif, yakni
-0,112. Artinya, kenaikan skor resiliensi yang
meningkatkan skor posttraumatic growth
diikuti dengan rendahnya skor perceived
social support. Bisa disimpulkan bahwa
ketika resiliensi harus berinteraksi dengan
perceived social support kontribusinya dalam
mempengaruhi skor posttraumatic growth
menurun, dengan kata lain perceived social
support sebagai variabel moderasi dalam
penelitian ini memperlemah pengaruh
resiliensi terhadap posttraumatic growth.
PEMBAHASAN
Secara umum diketahui jika tingkat
resiliensi, perceived social support, dan
posttraumatic growth responden penelitian
berada pada kategori sedang. Selain itu,
berdasarkan jenis kelamin dan status
pernikahannya, tidak dapat perbedaan pola
respon pada responden laki-laki, perempuan,
responden yang belum menikah, maupun
responden yang telah menikah. Perbedaan
pola respon hanya terjadi pada beberapa item
sehingga polanya tidak bisa digeneralisir.
Selain itu, seperti yang telah dipaparkan
bahwa efek moderasi yang diberikan oleh
perceived social support bersifat negatif. Hal
ini bisa dijelaskan oleh sejumlah pendekatan.
Secara teoritis hal ini dijelaskan dalam dua
pendekatan. Pertama, konsep perceived
social support ini berpotensi bersifat
tumpang tindih dengan received social
support atau dukungan sosial yang
sebenarnya diterima secara langsung. Taylor,
Sterman, dan Kim (2014) mengemukakan
bahwa terlalu banyak dukungan sosial yang
sebenarnya dapat memperburuk stres. Senada
dengan pernyataan tersebut, Totok Hartanto
(2015, dalam wawancara) sebagai salah satu
penyintas erupsi Merapi 2010
mengemukakan bahwa meskipun bantuan
yang diberikan banyak, bahkan terlampau
banyak, kami menjadi bergantung dan mulai
kebingungan ketika bantuan semakin
berkurang sementara kehidupan kami
termasuk dalam pekerjaan harus berubah.
Kaniasty & Norris (2004) memaparkan
bahwa siklus pemberian dukungan sosial
yang diterima penyintas paska bencana akan
mempengaruhi perceived social support
karena bantuan yang diterima oleh penyintas
akan semakin berkurang dari waktu ke waktu,
rendahnya perceived social support bisa
merefleksikan kekecewaan bahwa bantuan
dari kerabat dan teman-teman tidak sama
siapnya seperti apa yang diduga.
9
Kedua, hal ini bisa dijelaskan dalam
konsep buffering model, dimana dukungan
sosial dijelaskan sebagai suatu proses yang
tersedia untuk melindungi individu ketika
menghadapi peristiwa yang penuh tekanan
(Cohen dan Wills, 1985). Cohen dan Wills
(1985) mengemukakan bahwa efek buffering
ini hanya akan bekerja jika terdapat
“reasonable match between coping
requirements and available support” atau
adanya keseimbangan antara kebutuhan
dengan tersedianya dukungan. Dengan kata
lain, keseimbangan antara perceived social
support dengan received social support
dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi
dukungan sosial baik dukungan secara
langsung (received social support) maupun
dukungan yang dipersepsikan (perceived
social support) oleh individu, dalam hal ini
penyintas bencana alam. Jika keseimbangan
ini tercapai, akan semakin mudah bagi
individu untuk mengakses sumber dukungan
secara langsung sehingga dapat
meminimalisisr dampak dari stresor sosial
(ketika membutuhkan bantuan) yang
dirasakan (Cohen dan Wills, 1985).
Beberapa studi menunjukkan adanya
efek buffering dalam dukungan sosial
sementara studi lain tidak (Frese, 1999).
Rendahnya konsistensi dari beberapa studi ini
disebabkan oleh dua hal penting. Pertama,
keterbatasan dalam metode penelitian.
Kedua, dukungan sosial tidak bisa
memberikan dampak positif dalam beberapa
situasi (Frese, 1999). Bonanno (2005)
megemukakan bahwa meskipun studi
mengenai dukungan sosial dalam kaitannya
dengan resiliensi pada individu (fase dewasa)
paska trauma banyak dilakukan, esensi
mengenai bagaimana fenomena ini bekerja
masih sulit dipahami.
Secara matematis, kontribusi perceived
social support dalam memberikan efek
moderasi terhadap hubungan resiliensi-
posttraumatic growth didominasi oleh
persepsi responden terhadap dukungan sosial
yang bersumber dari keluarga dengan
mayoritas skor responden pada dimensi
tersebut berada dalam kategori rendah
(48,78%).
Selain itu, untuk menjawab mengapa hal
ini terjadi adalah masalah multikolinearitas
yang rentan terjadi pada model MRA (Liana,
2009). Meskipun dalam pemaparan uji
asumsi sebelumnya dijelaskan bahwa kedua
prediktor toleran terhadap kemungkinan
terjadinya multikolinearitas (skor toleransi >
10% , skor VIF <10), korelasi antara kedua
prediktor dengan variabel moderat cenderung
tinggi dimana keduanya mendekati skor 80%.
Skor korelasi antara resiliensi (X1) dengan
variabel moderat (X1X2) bernilai 0,742, dan
korelasi antara perceived social support (X2)
dengan variabel moderat (X1X2) adalah
0,656 (data terlampir). Liana (2009)
mengemukakan bahwa hubungan
multikolinieritas diatas 80% dapat
menimbulkan masalah regresi.
10
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Penelitian yang telah dilakukan
menyimpukan bahwa perceived social
support sebagai moderator penelitian
memperlemah pengaruh resiliensi dalam
meningkatkan posttraumatic growth
penyintas erupsi Merapi sebagai responden
penelitian. Kontribusi perceived social
support dalam memberikan efek moderasi
yang negatif ini didominasi oleh persepsi
dukungan yang diterima responden dari
keluarganya. Oleh karena itu, penelitian
merekomendasikan kepada para kepadala
dusun atau dukuh yang kerapkali aktif
bersama-sama komunitas melakukan
kegiatan di masing-masing hunian tetap atau
huntap agar mengembangkan kegiatan yang
melibatkan interaksi antara warga dengan
anggota keluarganya masing-masing.
Sebagai contoh, salah satu kegiatan yang
pernah dilakukan oleh dukuh kepada warga
huntap Dongkelsari yang melibatkan
interaksi antara anak-orang tua warga sekitar
dalam sebuah kegiatan bernama kelompok
anak pecinta lingkungan atau “kancing”
dimana bersama dengan orang tuanya anak
diajak untuk mengenal lingkungan tempat
tinggalnya yang pada dasarnya rawan
terhadap bencana, diluar tujuan utamanya
dalam meningkatkan pemahaman mengenai
bencana, kelekatan yang terjalin antara anak
dan orang tua diharapkan mampu
meningkatkan persepsi anak akan dukungan
sosial yang bisa diterima dari keluarganya
ketika anak tumbuh dewasa. Hal yang sama
bisa diterapkan dalam pengembangan
program sekolah siaga bencana yang biasa
dilakukakan di beberapa sekolah di
kecamatan Cangkringan, yakni dengan
melibatkan orang tua siswa dalam program.
Kemudian, program yang melibatkan
warga dan anggota keluarganya juga bisa
dilakukan melalui kegiatan rutin yang biasa
dilakukan di setiap huntap. Sebagai contoh,
melalui kegiatan kerja bakti yang masih rutin
dilakukan warga setiap minggu, para dukuh
atau kelompok masyarakat yang berpengaruh
dalam memberikan kegiatan kepada warga
bisa bersama-sama mengajak warga agar
melibatkan seluruh anggota keluarganya
dalam kegiatan kerja bakti, karena dari
pengalaman peneliti ketika melakukan
pengambilan data, kegiatan kerja bakti
didominasi oleh kepala keluarga dan
pasangannya, jarang sekali terlihat pemuda
yang terlibat dalam kegiatan.
Selain itu, para dukuh juga bisa
berkoordinasi dengan Psikolog (dan timnya)
di Puskesmas kecamatan Cangkringan untuk
mengembangkan program ketahanan
keluarga (family resilience) kepada warga
penyintas erupsi Merapi 2010, karena
berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan,
salah satu Psikolog di puskesmas kecamatan
cangkringan juga mengemukakan perlunya
mengembangkan secara langsung kepada
warga penyintas erupsi Merapi 2010 sebagai
11
salah satu langkah dalam mensosialisasikan
peran mereka dalam meningkatkan kesehatan
mental warga, dalam hal ini masyarakat
sekitar puskesmas kecamatan Cangkringan.
Rekomendasi juga diberikan kepada
penelitian selanjutnya sebagai berikut:
a. Penelitian selanjutnya bisa menggunakan
dan mengembangkan instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini dengan
reliabilitas yang lebih baik, yakni
dilakukannya kalibrasi item untuk
mendapatkan model instrumen yang fit
pada semua item.
b. Berdasarkan temuan yang dipaparkan
dalam penelitian ini, penelitian berikutnya
bisa menambahkan beberapa variabel lain
yang memiliki potensi dalam
mempengaruhi ketiga variabel penelitian,
variabel seperti coping, stres, dan
beberapa variabel terkait perkembangan
kognitif seperti moral dan spiritual bisa
dianalisis kontribusinya terhadap ketiga
variabel penelitian ini.
c. Penelitian berikutnya bisa secara khusus
memperdalam pengembangan salah satu
dimensi dalam variabel moderator dalam
penelitian ini, yaitu persepsi individu
terhadap dukungan yang diterimanya dari
keluarga (perceived family support).
d. Dalam penelitian berikutnya, peneliti
mengharapkan teknik analisis statistika
dilakukan secara lebih detil daripada yang
dilakukan dalam penelitian ini. Sebagai
contoh, uji SEM (Structural Equation
Modelling) dapat dilakukan untuk
membantu peneliti mendapatkan hasil
analisis yang lebih beragam.
e. Penelitian berikutnya diharapkan mampu
mengembangkan riset-riset terkait
psikologi kebencanaan yang lebih tepat
dan beragam mengingat Indonesia
merupakan salah satu negara yang begitu
rawan terhadap bencana alam.
12
REFERENSI
Akbar, Zarina. (2014). Post-Traumatic Growth, Coping, and Social Support among
Disaster Survivors in the Province of Yogyakarta, Indonesia. InScience Press, 34-44
Almedom, A. M., & Tumwine, J. K. (2008). Resilience to Disasters: A Paradigm Shift from
Vulnerability to Strength. African Health Sciences, 8 (S), 1-4.
Aprianti, Indah. (2012). Hubungan Antara Peceived Social Support dan Psychological Well-
Being Pada Mahasiswa Perantau Tahun Pertama di Universitas Indonesia. Skripsi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2010). National Disaster Management Plan 2010-
2014. Jakarta, Indonesia: Bappenas-BNBP.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2016). Data dan Informasi Bencana Indonesia.
[Online]. Diunduh dari: http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana/lihat-data/per-
halaman=100;halaman=1. Diakses pada: September 2016.
Bonanno, G. A. (2004). Loss, Trauma, and Human Resilience: Have We Underestimated the
Human Capacity to Thrive After Extrremely Aversive Events. Journal of American
Psychological Association, 59 (1), 20-28.
Bonanno, G. A. (2005). Resilience in the Face of Potential Trauma. Current Directions in
Psychological Science, 14 (3), 135-138.
Bonanno, G. A., Galea, S., Bucciarelli, A., & Vlavov, D. (2007). What Predicts Psychological
Resilience After Disaster? The Role of Demographics, Resources, and Life Stress.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 75 (5), 671-682.
Boone, W., Staver, J., & Yale, M. (2014). Rasch Analysis in the Human Sciences. New York:
Springer Dorddrecht Heidelberg.
Bozo, O., Gundog˘du, E., & Ik-Çolak, C. B. (2009). The Moderating Role of Different Sources
of Perceived Social Support on the Dispotitional Optimism Posttraumatic Growth
Relationship in Postperative Breast cancer Patients. Journal of Health Psychology, 14
(7), 1009-1020.
Brissette, I., Cohen, S. and Seeman, T.E. (2000). Measuring Social Integration and Social
Networks, dalam Social Support Measurement and Intervention-A Guide for Health
and Social Scientist (eds Sheldon Cohen dkk.). New York: Oxford University Press,
Inc.
Cahyana, L. (1 April 2016). Penanggulangan Bencana Indonesia Diakui AS. Lines Indonesia.
Diterima dari http://www.linesindonesia.com/read/2016/04/01/7051/penanggulangan-
bencana-indonesia-diakui-as/
13
Campbell-Sills, L., & Stein, M. B. (2007). Psychometric Analysis and Refinement of The
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) Validation of 10-item Measure of
Resilience. Journal of Traumatic Stress, 20 (6), 1019- 1028.
Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hyphotesis. The
American Psychological Association, 2, 310-357. Doi: 0033-2909/85/400.75.
Cohen, S., Underwood, L., & Gottlieb, B. (2000). Social Support Measurement and
Intervention: A Guide for Health and Social Scientists. New York: Oxford University
Press.
Connor, K. M., & Davidson, J. R. (2003). Development of a New Resilience Scale: The Connor-
Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18, 76-82.
Cozby, P. C., & Bates S. C. (2012). Methods in Behavioral Research: 11th Edition. New York:
McGraw Hills.
Fara, Elsha. (2012). Resiliensi Pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya Aceh yang
Mengalami Bencana Tsunami 2004. Skrispsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Enrenreich, John. (2001). Coping With Disaster. A Guidebook to Psychosocial
Intervention. Revised Edition. Center for Psychology & Society, State University of New
York.
Fairchild, A. J., & MacKinnon, D. P. (2009). A General Model for Testing Mediation and
Moderation Effects. Prev Sci, 10: 87-99, doi: 10. 1007/s11121-008-0109-6.
Field, Andy. (2009). Discovering Statistics Using SPSS: Third Edition. Singapore: Sage
Publication Ltd.
Frese, Michael. (1999). Social Suport as a Moderator of the Relationship Between Work
Stressors and Psychological Dysfunctioning: A Longitudinal Study With Objective
Measures. Journal of Occupational Health Psychology, 4 (3), 179-192.
Herrman, H., Steward, D. E., Diaz-Granadoz, N., Berger, E. L., Jackson, B., & Yuen, T. (2011).
What Is Resilience?. Canadian Journal of Psychiatry, 56 (5), 258-265.
Hidayat, Rahmat. (2011). Dampak Kesehatan Mental dan Psikososial Bencana Erupsi Gunung
Merapi 2010. Simposium Gunung Merapi, ISBN: 97-602- 98759-0-4.
Horswill, S. C., & Carleton, R. N. (2014). Risk and Resilience Variables as Predictors of
Posttraumatich Stress and Growth: A Longitudinal Media- Based Study. Journal of
Traumatic Stress Disorder and Treatment, 4 (1).
Islam, J. (2004). Marital Relationship Status, Social Support and Psychological Well-Being
Among Rural, Low-Income Mothers. Thesis. Master of Science in Faculty of the
Graduate School of the University of Maryland.
Kaniasty, K., & Norris, F. (2004). Social support in the aftermath of disasters, catastrophes, and
acts of terrorism: altruistic, overwhelmed, uncertain, antagonistic, and patrotic
14
communities. Psychological and Public Health Interventions (eds R. J. Ursano, A. E.
Norwood & C. S. Fullerton). United States: Cambridge University Press.
Lakey, B, dan Cohen, S. (2000). Social Support Theory and Measurement, dalam Social Support
Measurement and Intervention-A Guide for Health and Social Scientist (ed. Sheldon
Cohen et al). New York: Oxford University Press, Inc.
Levine, S. Z, Laufer, A., Stein, E., Raz, Y. H., & Solomon, Z. (2009). Examining the
Relationship Between Resilience and Posttraumatic Growth. Journal of Traumatic
Stress, 22 (4), 282-286.
Liana, Lie. (2009). Penggunaan MRA dengan Spss untuk Menguji Pengaruh Variabel
Moderating terhadap Hubungan antara Variabel Independen dan Variabel Dependen.
Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, 14 (2), 90-97.
Liud, I. Y. (2012). Resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Merapi dari latar belakang budaya
Jawa usia dewasa madya akhir. Abstrak skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Wulandari, Risca. (2012). Resiliensi Pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya Jawa yang
Menjadi Korban Erupsi Merapi 2010. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The construct of resilience: A critical
evaluation and guidelines for future. Child Development, 71, 543- 562.
Mackinnon, S. P. (2011). Perceived Social Support and Academic Achievement:Cross-lagged
Panel and Bivariate Growth Curve Analysis. Journal of Youth and Adolescence, doi:
10.1007/s10964-011-9691-1.
Mahdi, H. K., Prihadi, K., & Hashim, S. (2014). Posttraumatic Growth and Resilience after A
Prolonged War: A Study in Baghdad, Iraq. International Journal of Evaluation and
Research Education, 3 (3), 197-204.
Mazziya, P. A., Sukarsa, I., & Asih, N. M. (2015). Mengatasi Heteroskedastisitas pada Regresi
dengan Menggunakan Weighted Least Square. E-Jurnal Matematika, 4 (1), 20-25.
McCubbin, Laurie. (2001). Challenges to the definition of Resilience. California: American
Psychological Association.
Llanes, R., F, Vos., & Sapir, G. (2013). Measuring psychological resilience to disasters: are
evidence-based indicators an achievable goal?. Journal of Environmental Health, 12
(115), Doi 10.1186/1476-069X-12-115.
Ozbay, F., Johnson, C. D., Dimoulas, E. , Morgan, C. A., Charney, D., & Southwick, S. (2007).
Social Support and Resilience to Stress: Form Neurology to Clinical Practice.
Psychiatry, 35-40.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development (9th edition).
New York: McGraw Hill.
15
Park, C. L., & Murch, R. L. (1996). Assesment and prediction of stress-related growth. Journal
of Personality, 64 (1), 71-105.
Pfeifer, C. J. (2011). The Effects of Perceived Social Support and Coping Self-Efficacy on
Trauma Symptoms After A Traumatic Events. Thesis. North Carolina: Western Carolina
University.
Piko, Bettina. (2001). Gender Differences and Similarities in Adolescents’ Ways of Coping. The
Psychological Record, 51, 223-235.
Reich, J. (2006). Three Psychological Principles of Resilience in Natural Disasters. Disaster
Prevention Management, 15 (5), 793-798.
Richardson, G. E. (2002). The Metatheory of resilience and resiliency. Journal of
clinical psycjology, 58 (3), 307-321.
Rinaldi. (2010). Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal
Psikologi, 3 (2), 99-105
Rutter, M. (1990). Resilience concepts and findings: Implication for family therapy. Journal of
Family Therapy, 21, 119-144.
Sarason, I. G., Levine, H. M., Basham, R. B., Sarason, B. R. (1983). Assesing social support:
The social support questionaire. Journal of Personality and Social Psychology, 44, 127-
139.
Sarason, I., & Sarason, B. (1985). Social Support: Theory, Research, and Application. Boston:
Martinus Nijhoff Publishers.
Sarason, I., & Sarason, B. (2009). Social support: Mapping the construct. Journal of Social and
Personal Relationships, 26 (1), 113-120.
Schmidt, Anna. (2008). The Relation between Posttraumatic Growth and Resilience in South
Africa Context. Disertasi. Master in Clinical Psychology of University of
Witwatersrand, Johannesburg.
Shapiro, A., & Keyes, C. (2008). Marital Status and Social Well-Being: Are Maried Always
Better Off?. Soc Indic Res, 88, 328-346,Doi 10.1007/s11205-007-9194-3.
Shaumi, Haonisa. (2012). Resiliensi Orang Jawa Dewasa Muda Akhir yang Menjadi Penyintas
Erupsi Gunung Merapi 2010. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Wills, T. A. & Shinar, O. (2000). Measuring perceived and received social support. Dalam S.
Cohen., I., G., Underwood., & B. H. Gottlieb. (Ed), Social support measurement and
intervention: A guide for health and social scientists. Oxford: Oxford University ress.
Siebert, Al. (2005). The resiliency advantage: Master change, thrive under pressure, and
bounce back from setback. San Fransisco: Berett-Koehler Publishers, Inc.
Siegel, K., & Schrimshaw, E. W. (2000). Perceiving benefits in adversity: stress-related growth
in women living with HIV/AIDS. Journal of Social Science & Medicine, 51 (10), 1543-
1554.
16
Soman, S., Bhat, SM., Latha, KS., & Praharaj, SK. (2016). Gender Differences in Perceived
Social Support and Stressful Life Events in Depressed Patients. East Asian Arch
Psychiatry, 9, 22-26.
Subandi, M. A., Achmad, T., Kurniati, H., & Febri, R. (2014). Spirituality, gratitude, hope and
post-traumatic growth among the survivors of the 2010 eruption of Mount Merapi in
Java, Indonesia. Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies, 18 (1).
Sugiono. (2004). Konsep, Identifikasi, Alat Analisis dan Masalah Penggunaan Variabel
Moderator. Jurnal Studi Manajemen & Organisasi, 1 (2), 61.
Sumintono, B., & Widhiarso, W. (2014). Apliaksi Model Rasch Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu
Sosial. Cimahi: Trim Komunikasta Publishing House.
Taylor, S. E., Sherman, D. K., & Kim, H. S. (2004). Culture and social support: Who seeks it
and why?. Journal of Personality and Social Psychology, 3, 354-362. Doi:
10.1037/0022-3514.87.3.354
Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (1998). Posttraumatic Growth: Conceptual Foundation and
Empirical Evidence. Psychological Inquiry, 15 (1): 1-18.
Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2006). The Foundations of Posttraumatic Growth: An
Expanded Framework. Dalam Tedeschi, R. G. & Calhoun, L. G. (Ed), Handbook of
Posttraumatic Growth: Research and Practice. London: Lawrence Erlbraum.
Urbayatun, S., & Widhiarso, W. (2012). Variabel Mediator dan Moderator dalam Penelitian
Psikologi Kesehatan Masyarakat. Jurnal Psikologi, 39 (2): 180-188.
Vaux, Alan. (1988). Social Support: Theory, Research, and Intervention. New York: Peager.
Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric Evaluation of
Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1 (2).
Wagnild, G. M. (2010). Discovering your resilience core. Diakses dari:
https://www.resiliencescale.com/papers/pdf/Discovering_Your_Resilience_Core.pdf.
Westfall, K. (2014). Exploration of the relationship between resilience, social support and
formal help seeking, and evaluation of Guelph’s 1 in 5 mental helath awareness. Tesis.
Canada: Master of Science in Family Relations and Human Development, The
University of Guelph.
Wijayanti, A. (2014). Dampak Bencana Gunung Api terhadap Perubahan Mata Pencaharian.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Bandung: Sekolah Arsitektur Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan ITB.
Wilson, C., & Morgan. (2007). Understanding Power and Rules of Thumb for Determining
Sample Size. Tutorials in Quantitative Methods for Psychology, 3 (2), 43-50.
Wills, Thomas & Shinar, Ori. (2000). Measuring Perceived and Received Social Support. Dalam
Cohen, S., Underwood, L., & Gottlieb, B. Social Support Measurement and
Intervention: A Guide for Health and Social Scientists. (hal 68-135). New York: Oxford
University Press.
17
Wu, K., Zhang, Y., Liu, Z., Zhou, P., & Wei, C. (2015). Coexistence and different
determinants of posttraumatic stress disorder and posttraumatic growth among
Chinese siurvivors after earthquake: role of resilience and rumination. Front. Psychol.
6: 1043. Doi: 10.3389/fpsyg.2015.01043I.
Xu, Jiuping & Liao. (2011). Prevalence and Predictors of Posttraumatic Growth among
Adult Survivors One Year Following 2008 Sinchuan Earthquake. Journal of Affective
Disorder, 133 (1-2), 274-280.
Zimet, G., Dahlem, N., Zimet, S., & Farley, G. (1988). The Multidimensional Scale of Perceived
Social Support. Journal of Personality Assessment, 52 (1), 30-41.
Zimet, GD., & J, Canty-Mitchell. (2000). Psychometric properties of Multidimensional Scale of
Perceived Social Support in urban adolescents. Journal of Community Psychology, 28
(3), 391-400.
Zuhri, A. (22 Nopember 2014). Huntap Pengungsi Merapi Pecahkan Rekor Muri. Diterima dari
http://www.harianjogja.com/baca/2014/11/22/huntap-pengungsi-merapi-pecahkan-
rekor-muri-554175

More Related Content

Similar to THE MODERATING ROLE OF PECEIVED SOCIAL SUPPORT ON THE RELATIONSHIP BETWEEN RESILIENCE AND POSTTRAUMATIC GROWTH

Ppt uas psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...
Ppt uas   psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...Ppt uas   psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...
Ppt uas psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...Universitas Lampung
 
Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...
Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...
Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...illamutiaraayuntsani
 
Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)
Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)
Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)Andi Emi Maharani
 
Kep. Bencana Dampak Psikologis 2023.pptx
Kep. Bencana  Dampak Psikologis 2023.pptxKep. Bencana  Dampak Psikologis 2023.pptx
Kep. Bencana Dampak Psikologis 2023.pptxAnnisaRaudhatulLaili
 
Attitude Theory from Hilmi Dzakwan S.H
Attitude Theory from Hilmi Dzakwan S.HAttitude Theory from Hilmi Dzakwan S.H
Attitude Theory from Hilmi Dzakwan S.HFaiz Sujudi
 
Tugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptx
Tugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptxTugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptx
Tugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptxKevinPutraHerwansyah
 
Jurnal lansia
Jurnal lansia Jurnal lansia
Jurnal lansia Yissu
 
Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...
Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...
Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...Wajoku Digital Library
 
makalah komunitas agregat deawas pria.pdf
makalah komunitas agregat deawas pria.pdfmakalah komunitas agregat deawas pria.pdf
makalah komunitas agregat deawas pria.pdfmaung8
 
Komunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptx
Komunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptxKomunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptx
Komunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptxmuhamadalvin936
 
Makalah hubungan antarpribadi
Makalah hubungan antarpribadiMakalah hubungan antarpribadi
Makalah hubungan antarpribadiaisy12
 
ringkasan Self Resilience.pptx
ringkasan Self Resilience.pptxringkasan Self Resilience.pptx
ringkasan Self Resilience.pptxssuser1da203
 
Kelompok 2 teori perkembangan anak
Kelompok 2 teori perkembangan anakKelompok 2 teori perkembangan anak
Kelompok 2 teori perkembangan anakFitri Meliani
 
Lazarus’s theory
Lazarus’s theoryLazarus’s theory
Lazarus’s theoryanmeyshie
 
Buku Perkembangan Peserta Didik
Buku Perkembangan Peserta DidikBuku Perkembangan Peserta Didik
Buku Perkembangan Peserta Didiksintaroyani
 
EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...
EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...
EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...RosmanRangga
 
recovery jiwa.docx
recovery jiwa.docxrecovery jiwa.docx
recovery jiwa.docxciciwijaya2
 

Similar to THE MODERATING ROLE OF PECEIVED SOCIAL SUPPORT ON THE RELATIONSHIP BETWEEN RESILIENCE AND POSTTRAUMATIC GROWTH (20)

Ppt uas psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...
Ppt uas   psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...Ppt uas   psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...
Ppt uas psikologi -unj- kelompok 3 - intervensi psikologis pada penyintas t...
 
Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...
Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...
Review Buku Panduan Dukungan Psikologi Anak Korban Bencana - Illa Mutiara - 2...
 
Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)
Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)
Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)
 
Kep. Bencana Dampak Psikologis 2023.pptx
Kep. Bencana  Dampak Psikologis 2023.pptxKep. Bencana  Dampak Psikologis 2023.pptx
Kep. Bencana Dampak Psikologis 2023.pptx
 
Fix bencana
Fix bencanaFix bencana
Fix bencana
 
Proposal Penelitian
Proposal Penelitian Proposal Penelitian
Proposal Penelitian
 
Attitude Theory from Hilmi Dzakwan S.H
Attitude Theory from Hilmi Dzakwan S.HAttitude Theory from Hilmi Dzakwan S.H
Attitude Theory from Hilmi Dzakwan S.H
 
Tugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptx
Tugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptxTugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptx
Tugas Manajemen & Intervensi Bencana Alam_KEVIN PUTRA HERWANSYAH_20530014.pptx
 
Jurnal lansia
Jurnal lansia Jurnal lansia
Jurnal lansia
 
Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...
Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...
Review Jurnal: Does Time Spent Using Social Media Impact Mental Health?: An E...
 
makalah komunitas agregat deawas pria.pdf
makalah komunitas agregat deawas pria.pdfmakalah komunitas agregat deawas pria.pdf
makalah komunitas agregat deawas pria.pdf
 
Komunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptx
Komunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptxKomunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptx
Komunikasi Kebencanaan Pusdalops PB.pptx
 
Makalah hubungan antarpribadi
Makalah hubungan antarpribadiMakalah hubungan antarpribadi
Makalah hubungan antarpribadi
 
ringkasan Self Resilience.pptx
ringkasan Self Resilience.pptxringkasan Self Resilience.pptx
ringkasan Self Resilience.pptx
 
Kelompok 2 teori perkembangan anak
Kelompok 2 teori perkembangan anakKelompok 2 teori perkembangan anak
Kelompok 2 teori perkembangan anak
 
1. ppt seminar proposal tesis
1. ppt seminar proposal tesis 1. ppt seminar proposal tesis
1. ppt seminar proposal tesis
 
Lazarus’s theory
Lazarus’s theoryLazarus’s theory
Lazarus’s theory
 
Buku Perkembangan Peserta Didik
Buku Perkembangan Peserta DidikBuku Perkembangan Peserta Didik
Buku Perkembangan Peserta Didik
 
EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...
EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...
EFEKTIVITAS BERDZIKIR SEBAGAI INTERVENSI ALTERNATIF TERHADAP PENURUNAN TINGKA...
 
recovery jiwa.docx
recovery jiwa.docxrecovery jiwa.docx
recovery jiwa.docx
 

THE MODERATING ROLE OF PECEIVED SOCIAL SUPPORT ON THE RELATIONSHIP BETWEEN RESILIENCE AND POSTTRAUMATIC GROWTH

  • 1. ¹Penulis Penanggung Jawab ²Penulis Penanggung Jawab KONTRIBUSI PERCEIVED SOCIAL SUPPORT DALAM MEMODERASI PENGARUH RESILIENSI TERHADAP POSTTRAUMATIC GROWTH PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG MERAPI Chandra C. A. Putri Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia chandraputri@outlook.com Ifa Hanifah Misbach, M. A., Psi.¹ Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia Medianta Tarigan, M. Psi.² Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia Abstrak: Selain memicu dampak negatif, bencana alam sebagai salah satu peristiwa traumatik juga bisa mendorong perkembangan individu yang mengarah pada perubahan positif, hal ini dikenal dengan postraumatic growth. Beberapa studi mengemukakan jika perubahan ini dipengaruhi oleh beberapa konstruk psikologis, diantaranya resiliensi dan perceived social support. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek moderasi dari perceived social support pada pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic growth. Dengan menggunakan teknik conveience sampling, penelitian ini dilakukan kepada 82 penyintas erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan, DIY Yogyakarta. Data diperoleh melalui instrumen Connor-Davidson Resilience Scale 10 (CD-RIS 10) dalam mengukur resiliensi, Multiple Scale of Perceived Social Support (MSPSS) dalam mengukur perceived social support, dan instrumen Post- Traumatic Growth Inventory (PTGI) dalam mengukur posttraumatic growth. Ketiga instrumen penelitian telah diuji serta memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas item berdasarkan pemodelan Rasch. Dengan menggunakan teknik Moderating Regression Analysis (MRA) diketahui jika interaksi antara resiliensi dan perceived social support memberikan konstribusi sebesar 21,6% dalam mempengaruhi skor posttraumatic growth. Namun, perceived social support yang berperan sebagai variabel moderator dalam penelitian ini memberikan efek moderasi yang negatif, dimana peningkatan skor resiliensi diikuti oleh menurunnya skor perceived social support. Dengan kata lain, dalam penelitian ini perceived social support memperlemah pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic growth. Kata kunci: posttraumatic growth, resiliensi, perceived social support, penyintas bencana alam, erupsi Merapi Abstract: In addition to negative effects, natural disaster as a traumatic event also can encourage the survivors development that leads to positive change, this is known as posttraumatic growth. A number of studies have suggested that these changes are influenced by some psychological constructs, including resilience and perceived social support. The purpose of this study is to determine the moderating effect of perceived social support on the effect of resilience to posttraumatic growth. The participants of this study were 82 survivors of Mt. Merapi volcanic eruption in 2010 who were living in temporary houses. Post-Traumatic Growth Inventory (PTGI), Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC 10), and Multiple Scale of Perceived Social Support (MSPSS) were used to measure the defined characteristics. According to requirements of validity and reliability, these instruments had been tested based on Rasch Modeling. The analysis technique used is Moderating Regression Analysis (MRA). The result showed that interaction between resilience and perceived social support contributes 21.6% to predict posttraumatic growth score. However, perceived social support provide a negative moderating effects, by means increasing the score of resilience followed by decreasing score of perceived social support. In other words, perceived social support weakens the relationship between resilience and posttraumatic growth. Keywords: posttraumatic growth, resilience, perceived social support, survivors of disaster, Mt. Merapi volcanic eruption.
  • 2. 2 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang terletak diantara tiga lempeng benua aktif, diantaranya: lempeng Indo-Australia di selatan, lempeng Euro-Asia di utara, dan lempeng Pasifik di timur. Pergerakan ketiga lempeng ini dapat mengakibatkan berbagai bencana di Indonesia, salah satunya bencana yang terjadi karena aktifnya kawasan tektonik dan vulkanik (BNPB, 2010), termasuk aktifnya Gunung Merapi yang terletak diantara provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pada tahun 2010, salah satu gunung api yang paling aktif di Indonesia ini mengalami peningkatan aktivitas, hingga pada 26 Oktober 2010 aktivitas gunung mencapai puncaknya yang ditandai dengan letusan gunung dan erupsi yang bersifat eksplosif. Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa sebanyak 386 individu meninggal dunia, sementara sebanyak 829 orang terluka dan kehilangan, baik kehilangan tempat tinggal maupun kehilangan anggota keluarga (BNPB, 2016). Berbagai dampak baik secara fisik maupun psikologis bisa dialami oleh individu yang selamat dari bencana yang kemudian disebut sebagai survivor atau penyintas. Permasalahan pada aspek psikologis bisa terjadi berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun paska bencana. Kematian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan dan perpisahan dengan keluarga bisa memicu beberapa gangguan psikologis (Enrenreich, 2001). Hal yang sama juga terjadi pada para penyintas erupsi Gunung Merapi 2010. Analisis terhadap sejumlah penyintas yang dilayani oleh tim Psikolog gabungan dari Center for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman menunjukkan adanya permasalahan-permasalahan kesehatan mental dan psikososial pada kelompok penyintas erupsi, diantaranya gejala-gejala depresi, gangguan stress paska trauma, dan kecemasan (Hidayat, 2011). Namun, tidak saja memicu dampak negatif, bencana juga dapat mendorong perkembangan individu yang mengarah pada perubahan positif. Park dan Murch (1996) dalam studinya mengemukakan bahwa 30- 90% individu melaporkan adanya perubahan positif setelah mengalami peristiwa traumatik, peristiwa tersebut memberikan kesempatan yang membantu mereka untuk lebih memaknai hidup. Terkait bencana alam, sebuah studi yang dilakukan kepada 2080 penyintas gempa Sinchuan tahun 2008 menunjukkan prevalensi penyintas gempa yang mengalami perubahan positif paska bencana sebesar 56,8% (Xu & Liao, 2011). Perubahan positif setelah mengalami peristiwa traumatik tersebut kemudian dikenal dengan posttraumatic growth.
  • 3. 3 Posttraumatic growth merupakan perubahan secara positif pada aspek kognitif dan emosi individu yang digambarkan dalam sebuah spektrum yang berkembang setelah individu mengalami peristiwa traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2006). Beberapa istilah seperti pemaknaan (founding meaning), stress-related growth, self- transformation, digunakan dalam menggambarkan pengalaman berupa perubahan positif atau growth (Siegel & Schrimshaw, 2000). Dalam konteks peristiwa traumatik, termasuk bencana alam, mengoptimalkan intervensi yang berfokus pada postraumatic growth sebagai aspek yang lebih bersifat positif penting dilakukan untuk meningkatkan kesehatan mental penyintas paska bencana (Schmidt, 2008). Perubahan yang dimaksud dalam posttraumatic growth meliputi perubahan dalam persepsi diri (perception of self), hubungan dengan orang lain, dan perubahan filosofi hidup individu (Tedeschi & Calhoun, 2006). Hal yang sama juga dialami oleh penyintas erupsi Gunung Merapi 2010, beberapa komunitas secara aktif mengembangkan berbagai program dan jangkauan paska erupsi yang pada dasarnya mengalami transisi dalam berbagai hal, termasuk kehidupan di tempat tinggal baru. Paska erupsi, para penyintas yang kehilangan tempat tinggalnya dan berpindah ke sebuah shelter yang sejak tahun 2013 menjadi hunian tetap atau dikenal dengan huntap. Totok Hartanto sebagai salah seorang penyintas erupsi yang membentuk komunitas Pasag Merapi mengemukakan bahwa dirinya mengalami perubahan dalam memaknai kehidupan paska erupsi, ia mengemukakan bahwa “Ketika kita mau memaknai apa yang terjadi, Gunung Merapi yang menjadi mahaguru memberikan banyak pelajaran bagi para warga yang tinggal di sekitarnya, kita bisa bersahabat dengan ancaman jika lebih peka terhadap sekitar” (wawancara, 9 Oktober, 2015). Tidak semua penyintas mengalami posttraumatic growth paska bencana, terutama setelah tinggal di huntap. Selain faktor demografis, berbagai aspek bisa mempengaruhi tingkat atau muncul tidaknya posttraumatic growth paska bencana, resiliensi dan dukungan sosial menjadi sebuah konstruk yang berhubungan dengan posttraumatic growth (Tedeschi & Calhoun, 2006). Vaquentina sebagai salah seorang psikolog yang menangani penyintas erupsi Merapi 2010 mengemukakan bahwa “Resiliensi menjadi salah satu faktor yang paling penting bagi para penyintas dalam menghadapi masa transisi paska erupsi, dimana sebagian penyintas bisa membangun kembali kehidupan barunya sementara yang lain semakin terpuruk” (wawancara, 8 Oktober, 2015). Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit kembali (bounce back) setelah
  • 4. 4 mengalami kesulitan (Wagnild & Young, 1993; McCubbin, 2001; Siebert, 2005; dan Campbell-Sills & Stein, 2007). Studi yang dilakukan kepada 450 mahasiswa di Universitas Baghdad yang menjadi penyintas perang Iraq menunjukan bahwa resiliensi secara positif signifikan berpengaruh terhadap posttraumatic growth (Mahdi, Prihadi, & Hashim, 2014). Artinya, semakin tinggi tingkat resiliensi semakin tinggi pula kecenderungan individu dalam mengembangkan posttraumatic growth. Selain resiliensi, dukungan sosial juga menjadi salah satu aspek psikologis yang berhubungan dengan posttraumatic growth. Studi yang dilakukan kepada 104 perempuan yang menjalani kemoterapi karena kanker menunjukkan bahwa dukungan sosial secara signifikan berpengaruh dalam mengembangkan posttraumatic growth (Bozo, 2009). Terkait penyintas erupsi Merapi, studi mengenai hubungan dukungan sosial dengan posttraumatic growth juga pernah dilakukan dan menunjukkan hasil yang sama, yakni dukungan sosial secara signifikan berpengaruh terhadap posttraumatic growth (Akbar, 2014). Dalam kaitannya dengan kedua konstruk yang berhubungan dengan posttraumatic tersebut, Horswill dan Carleton (2014) dalam studinya mengemukakan jika dukungan sosial menjadi faktor penting bagi resiliensi dalam mengembangkan posttraumatic growth. Dengan kata lain, dukungan sosial menjadi perantara bagi hubungan antara resiliensi dan posttraumatic growth. Secara matematis, hal ini bisa dianalisis dalam sebuah uji moderasi yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh dukungan sosial sebagai perantara hubungan antara resiliensi dan posttraumatic growth, apakah memperkuat atau memperlemah hubungan keduanya (Fairchild & MacKinnon, 2009). Dalam psikologi, mengetahui peran perantara dalam fenomena tertentu penting dilakukan untuk mengoptimalkan intervensi dalam meningkatkan kesehatan mental suatu kelompok masyarakat (Urbayatun & Widhiarso, 2012). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan studi mengenai kontribusi perceived social support dalam memoderasi pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic growth pada penyintas erupsi Gunung Merapi. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Dengan pendekatan kuantitatif, model modrasi digunakan sebagai desain dari penelitian ini. Model moderasi digunakan untuk mengetahui apakah perceived social support memperkuat atau memperlemah pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic hrowth.
  • 5. 5 2. Populasi dan Sampel Penelitian Subjek atau populasi dalam penelitian ini adalah penyintas erupsi Gunung Merapi yang tinggal di Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta. Dengan karakteristik sampel: penyintas yang berusia 20-40 tahun sebagai individu yang berada dalam masa perkembangan dewasa (Papalia & Fieldman, 2004), sebanyak 82 penyintas berperan sebagai responden dalam penelitian ini. 3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Dalam penelitian ini, variabel yang akan diuji terdiri dari variabel dependen (kriteria) dan independen (prediktor), yang digambarkan sebagai berikut. a. Variabel dependen (kriteria), yakni variabel diuji perubahan skornya setelah duhubungkan dengan prediktor. Posttraumatic growth sebagai variabel dependen dalam penelitian ini disimbolkan dengan huruf Y. b. Variabel independen (prediktor), yakni variabel yang diuji untuk diketahui kontribusinya terhadap variabel dependen. Dalam penelitian ini, variabel prediktor terdiri dari dua variabel yaitu: a) Resiliensi yang disimbolkan dengan X1, dan b) Perceived social support yang juga berperan sebagai moderator. Dimana, perceived social support diuji konstribusinya terhadap hubungan antara resiliensi dan posttraumatic growth. Perceived social support disimbolkan dengan X2. Dalam penelitian ini, secara operasional resiliensi ditujukan sebagai kemampuan individu untuk mengatasi perubahan (dalam hal ini kehidupan paska bencana), kemampuan untuk menggunakan humor ketika menghadapi suatu masalah, serta ketekunan untuk menyelesaikan tujuan dengan segala kendala yang ada. Sementara perceived social support ditujukan sebagai penilaian subjektif individu mengenai dukungan sosial yang diterimanya dari tiga sumber, yaitu: keluarga, teman- teman, dan pasangan atau orang terdekat (significant other). Adapun posttraumatic growth ditujukan pada tingkat perubahan yang dialami individu dalam lima aspek, yaitu hubungan dengan orang lain, keterbukaan terhadap peluang baru, kekuatan personal, perubahan spiritual, dan penghargaan dalam hidup. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan kuesioner yang harus dilengkapi oleh responden penelitian. Kuesioner yang digunakan merupakan suatu set pernyataan mengenai resiliensi, perceived social support, dan posttraumatic growth melalui masing-masing instrumen yang telah diujicobakan.
  • 6. 6 5. Instrumen Penelitian a. Instrumen Resiliensi Tingkat resiliensi partisipan diukur dengan menggunakan Connor-Davidson Resilience Scale 10 (CD-RISC 10) yang sudah dialihbahasakan oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Instrumen pengukuran didapat dari penelitian sebelumnya yang dilakukan kepada subjek penelitian yang sama (Wulandari, 2012). Selanjutnya instrumen diujicobakan kepada responden yang memiliki kriteria yang serupa, yakni penyintas bencana alam berusia 20-40 tahun. Uji coba instrumen dilakukan kepada 117 penyintas bencana dan mengalami sejumlah perbaikan, diantaranya perubahan konten item nomor 3 dari “Saya mencoba melihat sisi lucu dari masalah yang saya hadapi” menjadi “Ketika menghadapi masalah, saya masih bisa tertawa dan bercanda untuk mengurangi ketegangan.” Selain konten item, perbaikan juga dilakukan pada skala pilihan jawaban dari lima pilihan jawaban (“tidak pernah sama sekali”, “hampir tidak pernah”, “sesekali”, ”sesekali”, dan “hampir selalu”) menjadi empat pilihan jawaban dengan membuang pilihan jawaban “hampir tidak pernah.” Perbaikan instrumen dilakukan dengan pemodelan Rasch. Adapun reliabilitas instrumen ditujukan oleh skor alpha cronbach sebesar 0,89. b. Instrumen Perceived Social Support Pengukuran perceived social support dilakukan dengan mengadaptasi instrumen Multidimensional Scale of Perceived Social Supprt (MSPSS) yang dikembangkan oleh Gregory D. Zimet pada tahun 1988. MSPSS terdiri dari 12 item yang terdiri dari 3 subskala yang mewakili persepsi dukungan yang diterima responden berdasarkan tiga sumber dukungan yakni: pasangan, teman- teman, dan keluarga. Setelah diterjemahkan dan dilakukan uji keterbacaan kepada ahli bahasa, instrumen diujicobakan kepada 117 penyintas bencana alam. Setelah dianalisis menggunakan pemodelan rasch, instrumen mengalami perbaikan pada item nomo4r 1 dan 4. Adapun reliabilitas instrumen ditujukan oleh skor alpha cronbach sebesar 0,84. c. Instrumen Posttraumatic Growth Instrumen yang digunakan untuk mengukur posttraumatic growth adalah Post- Traumatic Growth Inventory (PTGI) yang dikembangkan oleh Tedeschi dan Calhoun (198). PTGI memiliki 21 item untuk menggambarkan karakteristik posttraumatic growth yang terdiri dari lima faktor, yakni: hubungan dengan orang lain, keterbukaan terhadap peluang baru, kekuatan personal, perubahan spiritual, dan penghargaan dalam hidup. Setelah diterjemahkan dan dilakukan uji keterbacaan kepada ahli bahasa, instrumen diujicobakan kepada 117 penyintas bencana alam. Setelah dianalisis menggunakan pemodelan rasch, instrumen mengalami perbaikan pada empat buah item, yakni item
  • 7. 7 nomor 3, 5, 6, dan 15. Adapun reliabilitas instrumen ditujukan oleh skor alpha cronbach sebesar 0,96. 6. Analisis Data Sebelum melakukan analisis statistik pada ketiga variabel penelitian, dilakukan uji asumsi untuk memastikan bahwa analisis regesi moderasi seperti yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya benar-benar bisa digunakan kebermanfaatannya. Uji asumsi dilakukan dengan beberapa langkah, diantaranya: uji sampel; tipe variabel (interval); uji normalitas; uji multikolinieritas; dan uji heterokedatisitas. Adapun teknik analisis data yang digunakan dari desai penelitian MRA seperti yang telah dipaparkan akan menghasilkan persamaan sebagai berikut: Y = i5 + β1X1 + β2X2 + β3X1X2 + e Pada persamaan tersebut, β1 merupakan koefisien yang menghubungkan variabel independen (X1) dan hasil penelitian (Y) ketika X2 = 0, β2 merupakan koefisien yang menghubungkan variabel moderator (X2) pada hasil penelitian (Y) ketika X1 = 0, i5 merupakan nilai tengah (intercept) dalam persamaan, dan emerupakan sisa (residual) dalam persamaan. Sementara, β3 merupakan koefisien regresi yang menunjukkan estimasi pengaruh dari variabel moderator dalam sebuah uji moderasi. Jika β3 secara statistik tidak sama dengan nol ( β3 ≠ 0), maka uji moderasi dalam data hubungan antara X1-Y dapat dikatakan signifikan. HASIL PENELITIAN Berdasarkan data yang diperoleh dari 82 penyintas erupsi Merapi sebagai responden penelitian, dengan menggunakan desain dan teknik analisis data penelitian seperti yang telah dipaparkan, hasil dari analisis yang dilakukan dalam penelitian ini digambarkan dalam persamaan berikut: Y = 0,318 + 0,315X1 + 0,542X2 – 0,112X1X2 + e Persamaan tersebut secara simultan bersifat signifikan. Artinya, kontribusi resiliensi (X1) dan perceived social support (X2) benar- benar mempengaruhi skor posttraumatic growth (Y) sebagai variabel dependen dalam penelitian ini. Berdasarkan persamaan tersebut, 0,318 merupakan konstanta (a) dari variabel posttraumatic growth (Y). Artinya, jika resiliensi (X1) dan perceived social support (X2) bernilai nol maka posttraumatic growth akan bernilai 0,318. Kemudian, koefisien regresi resiliensi (X1) bernilai 0,351 yang berarti jika perceived social support (X2) dan koefisien moderasi konstan, maka kenaikan resiliensi (X1) akan menyebabkan peningkatan posttraumatc growth (Y) sebesar 0,351. Selain itu, koefisien regresi perceived social support (X2) bernilai 0,542 yang berarti jika resiliensi (X1) dan koefisien moderasi konstan, maka kenaikan perceived social support (X2) akan menyebabkan peningkatan posttraumatic growth sebesar 0,542.
  • 8. 8 Secara parsial, kedua prediktor baik resiliensi (X1) maupun perceived social support (X2) yang diasumsikan mampu memoderasi kekuatan resiliensi dalam mempengaruhi nilai posttraumatic growth (Y) ini bersifat positif. Artinya, semakin tinggi nilai resiliensi (X1) dan perceived social support (X2) maka akan semakin tinggi pula nilai posttraumatic growth (Y). Namun, dalam persamaan regresi ini, efek moderasi (X1X2) bernilai negatif, yakni -0,112. Artinya, kenaikan skor resiliensi yang meningkatkan skor posttraumatic growth diikuti dengan rendahnya skor perceived social support. Bisa disimpulkan bahwa ketika resiliensi harus berinteraksi dengan perceived social support kontribusinya dalam mempengaruhi skor posttraumatic growth menurun, dengan kata lain perceived social support sebagai variabel moderasi dalam penelitian ini memperlemah pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic growth. PEMBAHASAN Secara umum diketahui jika tingkat resiliensi, perceived social support, dan posttraumatic growth responden penelitian berada pada kategori sedang. Selain itu, berdasarkan jenis kelamin dan status pernikahannya, tidak dapat perbedaan pola respon pada responden laki-laki, perempuan, responden yang belum menikah, maupun responden yang telah menikah. Perbedaan pola respon hanya terjadi pada beberapa item sehingga polanya tidak bisa digeneralisir. Selain itu, seperti yang telah dipaparkan bahwa efek moderasi yang diberikan oleh perceived social support bersifat negatif. Hal ini bisa dijelaskan oleh sejumlah pendekatan. Secara teoritis hal ini dijelaskan dalam dua pendekatan. Pertama, konsep perceived social support ini berpotensi bersifat tumpang tindih dengan received social support atau dukungan sosial yang sebenarnya diterima secara langsung. Taylor, Sterman, dan Kim (2014) mengemukakan bahwa terlalu banyak dukungan sosial yang sebenarnya dapat memperburuk stres. Senada dengan pernyataan tersebut, Totok Hartanto (2015, dalam wawancara) sebagai salah satu penyintas erupsi Merapi 2010 mengemukakan bahwa meskipun bantuan yang diberikan banyak, bahkan terlampau banyak, kami menjadi bergantung dan mulai kebingungan ketika bantuan semakin berkurang sementara kehidupan kami termasuk dalam pekerjaan harus berubah. Kaniasty & Norris (2004) memaparkan bahwa siklus pemberian dukungan sosial yang diterima penyintas paska bencana akan mempengaruhi perceived social support karena bantuan yang diterima oleh penyintas akan semakin berkurang dari waktu ke waktu, rendahnya perceived social support bisa merefleksikan kekecewaan bahwa bantuan dari kerabat dan teman-teman tidak sama siapnya seperti apa yang diduga.
  • 9. 9 Kedua, hal ini bisa dijelaskan dalam konsep buffering model, dimana dukungan sosial dijelaskan sebagai suatu proses yang tersedia untuk melindungi individu ketika menghadapi peristiwa yang penuh tekanan (Cohen dan Wills, 1985). Cohen dan Wills (1985) mengemukakan bahwa efek buffering ini hanya akan bekerja jika terdapat “reasonable match between coping requirements and available support” atau adanya keseimbangan antara kebutuhan dengan tersedianya dukungan. Dengan kata lain, keseimbangan antara perceived social support dengan received social support dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi dukungan sosial baik dukungan secara langsung (received social support) maupun dukungan yang dipersepsikan (perceived social support) oleh individu, dalam hal ini penyintas bencana alam. Jika keseimbangan ini tercapai, akan semakin mudah bagi individu untuk mengakses sumber dukungan secara langsung sehingga dapat meminimalisisr dampak dari stresor sosial (ketika membutuhkan bantuan) yang dirasakan (Cohen dan Wills, 1985). Beberapa studi menunjukkan adanya efek buffering dalam dukungan sosial sementara studi lain tidak (Frese, 1999). Rendahnya konsistensi dari beberapa studi ini disebabkan oleh dua hal penting. Pertama, keterbatasan dalam metode penelitian. Kedua, dukungan sosial tidak bisa memberikan dampak positif dalam beberapa situasi (Frese, 1999). Bonanno (2005) megemukakan bahwa meskipun studi mengenai dukungan sosial dalam kaitannya dengan resiliensi pada individu (fase dewasa) paska trauma banyak dilakukan, esensi mengenai bagaimana fenomena ini bekerja masih sulit dipahami. Secara matematis, kontribusi perceived social support dalam memberikan efek moderasi terhadap hubungan resiliensi- posttraumatic growth didominasi oleh persepsi responden terhadap dukungan sosial yang bersumber dari keluarga dengan mayoritas skor responden pada dimensi tersebut berada dalam kategori rendah (48,78%). Selain itu, untuk menjawab mengapa hal ini terjadi adalah masalah multikolinearitas yang rentan terjadi pada model MRA (Liana, 2009). Meskipun dalam pemaparan uji asumsi sebelumnya dijelaskan bahwa kedua prediktor toleran terhadap kemungkinan terjadinya multikolinearitas (skor toleransi > 10% , skor VIF <10), korelasi antara kedua prediktor dengan variabel moderat cenderung tinggi dimana keduanya mendekati skor 80%. Skor korelasi antara resiliensi (X1) dengan variabel moderat (X1X2) bernilai 0,742, dan korelasi antara perceived social support (X2) dengan variabel moderat (X1X2) adalah 0,656 (data terlampir). Liana (2009) mengemukakan bahwa hubungan multikolinieritas diatas 80% dapat menimbulkan masalah regresi.
  • 10. 10 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Penelitian yang telah dilakukan menyimpukan bahwa perceived social support sebagai moderator penelitian memperlemah pengaruh resiliensi dalam meningkatkan posttraumatic growth penyintas erupsi Merapi sebagai responden penelitian. Kontribusi perceived social support dalam memberikan efek moderasi yang negatif ini didominasi oleh persepsi dukungan yang diterima responden dari keluarganya. Oleh karena itu, penelitian merekomendasikan kepada para kepadala dusun atau dukuh yang kerapkali aktif bersama-sama komunitas melakukan kegiatan di masing-masing hunian tetap atau huntap agar mengembangkan kegiatan yang melibatkan interaksi antara warga dengan anggota keluarganya masing-masing. Sebagai contoh, salah satu kegiatan yang pernah dilakukan oleh dukuh kepada warga huntap Dongkelsari yang melibatkan interaksi antara anak-orang tua warga sekitar dalam sebuah kegiatan bernama kelompok anak pecinta lingkungan atau “kancing” dimana bersama dengan orang tuanya anak diajak untuk mengenal lingkungan tempat tinggalnya yang pada dasarnya rawan terhadap bencana, diluar tujuan utamanya dalam meningkatkan pemahaman mengenai bencana, kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua diharapkan mampu meningkatkan persepsi anak akan dukungan sosial yang bisa diterima dari keluarganya ketika anak tumbuh dewasa. Hal yang sama bisa diterapkan dalam pengembangan program sekolah siaga bencana yang biasa dilakukakan di beberapa sekolah di kecamatan Cangkringan, yakni dengan melibatkan orang tua siswa dalam program. Kemudian, program yang melibatkan warga dan anggota keluarganya juga bisa dilakukan melalui kegiatan rutin yang biasa dilakukan di setiap huntap. Sebagai contoh, melalui kegiatan kerja bakti yang masih rutin dilakukan warga setiap minggu, para dukuh atau kelompok masyarakat yang berpengaruh dalam memberikan kegiatan kepada warga bisa bersama-sama mengajak warga agar melibatkan seluruh anggota keluarganya dalam kegiatan kerja bakti, karena dari pengalaman peneliti ketika melakukan pengambilan data, kegiatan kerja bakti didominasi oleh kepala keluarga dan pasangannya, jarang sekali terlihat pemuda yang terlibat dalam kegiatan. Selain itu, para dukuh juga bisa berkoordinasi dengan Psikolog (dan timnya) di Puskesmas kecamatan Cangkringan untuk mengembangkan program ketahanan keluarga (family resilience) kepada warga penyintas erupsi Merapi 2010, karena berdasarkan pengalaman peneliti di lapangan, salah satu Psikolog di puskesmas kecamatan cangkringan juga mengemukakan perlunya mengembangkan secara langsung kepada warga penyintas erupsi Merapi 2010 sebagai
  • 11. 11 salah satu langkah dalam mensosialisasikan peran mereka dalam meningkatkan kesehatan mental warga, dalam hal ini masyarakat sekitar puskesmas kecamatan Cangkringan. Rekomendasi juga diberikan kepada penelitian selanjutnya sebagai berikut: a. Penelitian selanjutnya bisa menggunakan dan mengembangkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dengan reliabilitas yang lebih baik, yakni dilakukannya kalibrasi item untuk mendapatkan model instrumen yang fit pada semua item. b. Berdasarkan temuan yang dipaparkan dalam penelitian ini, penelitian berikutnya bisa menambahkan beberapa variabel lain yang memiliki potensi dalam mempengaruhi ketiga variabel penelitian, variabel seperti coping, stres, dan beberapa variabel terkait perkembangan kognitif seperti moral dan spiritual bisa dianalisis kontribusinya terhadap ketiga variabel penelitian ini. c. Penelitian berikutnya bisa secara khusus memperdalam pengembangan salah satu dimensi dalam variabel moderator dalam penelitian ini, yaitu persepsi individu terhadap dukungan yang diterimanya dari keluarga (perceived family support). d. Dalam penelitian berikutnya, peneliti mengharapkan teknik analisis statistika dilakukan secara lebih detil daripada yang dilakukan dalam penelitian ini. Sebagai contoh, uji SEM (Structural Equation Modelling) dapat dilakukan untuk membantu peneliti mendapatkan hasil analisis yang lebih beragam. e. Penelitian berikutnya diharapkan mampu mengembangkan riset-riset terkait psikologi kebencanaan yang lebih tepat dan beragam mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang begitu rawan terhadap bencana alam.
  • 12. 12 REFERENSI Akbar, Zarina. (2014). Post-Traumatic Growth, Coping, and Social Support among Disaster Survivors in the Province of Yogyakarta, Indonesia. InScience Press, 34-44 Almedom, A. M., & Tumwine, J. K. (2008). Resilience to Disasters: A Paradigm Shift from Vulnerability to Strength. African Health Sciences, 8 (S), 1-4. Aprianti, Indah. (2012). Hubungan Antara Peceived Social Support dan Psychological Well- Being Pada Mahasiswa Perantau Tahun Pertama di Universitas Indonesia. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2010). National Disaster Management Plan 2010- 2014. Jakarta, Indonesia: Bappenas-BNBP. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2016). Data dan Informasi Bencana Indonesia. [Online]. Diunduh dari: http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana/lihat-data/per- halaman=100;halaman=1. Diakses pada: September 2016. Bonanno, G. A. (2004). Loss, Trauma, and Human Resilience: Have We Underestimated the Human Capacity to Thrive After Extrremely Aversive Events. Journal of American Psychological Association, 59 (1), 20-28. Bonanno, G. A. (2005). Resilience in the Face of Potential Trauma. Current Directions in Psychological Science, 14 (3), 135-138. Bonanno, G. A., Galea, S., Bucciarelli, A., & Vlavov, D. (2007). What Predicts Psychological Resilience After Disaster? The Role of Demographics, Resources, and Life Stress. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 75 (5), 671-682. Boone, W., Staver, J., & Yale, M. (2014). Rasch Analysis in the Human Sciences. New York: Springer Dorddrecht Heidelberg. Bozo, O., Gundog˘du, E., & Ik-Çolak, C. B. (2009). The Moderating Role of Different Sources of Perceived Social Support on the Dispotitional Optimism Posttraumatic Growth Relationship in Postperative Breast cancer Patients. Journal of Health Psychology, 14 (7), 1009-1020. Brissette, I., Cohen, S. and Seeman, T.E. (2000). Measuring Social Integration and Social Networks, dalam Social Support Measurement and Intervention-A Guide for Health and Social Scientist (eds Sheldon Cohen dkk.). New York: Oxford University Press, Inc. Cahyana, L. (1 April 2016). Penanggulangan Bencana Indonesia Diakui AS. Lines Indonesia. Diterima dari http://www.linesindonesia.com/read/2016/04/01/7051/penanggulangan- bencana-indonesia-diakui-as/
  • 13. 13 Campbell-Sills, L., & Stein, M. B. (2007). Psychometric Analysis and Refinement of The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) Validation of 10-item Measure of Resilience. Journal of Traumatic Stress, 20 (6), 1019- 1028. Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hyphotesis. The American Psychological Association, 2, 310-357. Doi: 0033-2909/85/400.75. Cohen, S., Underwood, L., & Gottlieb, B. (2000). Social Support Measurement and Intervention: A Guide for Health and Social Scientists. New York: Oxford University Press. Connor, K. M., & Davidson, J. R. (2003). Development of a New Resilience Scale: The Connor- Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18, 76-82. Cozby, P. C., & Bates S. C. (2012). Methods in Behavioral Research: 11th Edition. New York: McGraw Hills. Fara, Elsha. (2012). Resiliensi Pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya Aceh yang Mengalami Bencana Tsunami 2004. Skrispsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Enrenreich, John. (2001). Coping With Disaster. A Guidebook to Psychosocial Intervention. Revised Edition. Center for Psychology & Society, State University of New York. Fairchild, A. J., & MacKinnon, D. P. (2009). A General Model for Testing Mediation and Moderation Effects. Prev Sci, 10: 87-99, doi: 10. 1007/s11121-008-0109-6. Field, Andy. (2009). Discovering Statistics Using SPSS: Third Edition. Singapore: Sage Publication Ltd. Frese, Michael. (1999). Social Suport as a Moderator of the Relationship Between Work Stressors and Psychological Dysfunctioning: A Longitudinal Study With Objective Measures. Journal of Occupational Health Psychology, 4 (3), 179-192. Herrman, H., Steward, D. E., Diaz-Granadoz, N., Berger, E. L., Jackson, B., & Yuen, T. (2011). What Is Resilience?. Canadian Journal of Psychiatry, 56 (5), 258-265. Hidayat, Rahmat. (2011). Dampak Kesehatan Mental dan Psikososial Bencana Erupsi Gunung Merapi 2010. Simposium Gunung Merapi, ISBN: 97-602- 98759-0-4. Horswill, S. C., & Carleton, R. N. (2014). Risk and Resilience Variables as Predictors of Posttraumatich Stress and Growth: A Longitudinal Media- Based Study. Journal of Traumatic Stress Disorder and Treatment, 4 (1). Islam, J. (2004). Marital Relationship Status, Social Support and Psychological Well-Being Among Rural, Low-Income Mothers. Thesis. Master of Science in Faculty of the Graduate School of the University of Maryland. Kaniasty, K., & Norris, F. (2004). Social support in the aftermath of disasters, catastrophes, and acts of terrorism: altruistic, overwhelmed, uncertain, antagonistic, and patrotic
  • 14. 14 communities. Psychological and Public Health Interventions (eds R. J. Ursano, A. E. Norwood & C. S. Fullerton). United States: Cambridge University Press. Lakey, B, dan Cohen, S. (2000). Social Support Theory and Measurement, dalam Social Support Measurement and Intervention-A Guide for Health and Social Scientist (ed. Sheldon Cohen et al). New York: Oxford University Press, Inc. Levine, S. Z, Laufer, A., Stein, E., Raz, Y. H., & Solomon, Z. (2009). Examining the Relationship Between Resilience and Posttraumatic Growth. Journal of Traumatic Stress, 22 (4), 282-286. Liana, Lie. (2009). Penggunaan MRA dengan Spss untuk Menguji Pengaruh Variabel Moderating terhadap Hubungan antara Variabel Independen dan Variabel Dependen. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, 14 (2), 90-97. Liud, I. Y. (2012). Resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Merapi dari latar belakang budaya Jawa usia dewasa madya akhir. Abstrak skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Wulandari, Risca. (2012). Resiliensi Pada Dewasa Awal Berlatar Belakang Budaya Jawa yang Menjadi Korban Erupsi Merapi 2010. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The construct of resilience: A critical evaluation and guidelines for future. Child Development, 71, 543- 562. Mackinnon, S. P. (2011). Perceived Social Support and Academic Achievement:Cross-lagged Panel and Bivariate Growth Curve Analysis. Journal of Youth and Adolescence, doi: 10.1007/s10964-011-9691-1. Mahdi, H. K., Prihadi, K., & Hashim, S. (2014). Posttraumatic Growth and Resilience after A Prolonged War: A Study in Baghdad, Iraq. International Journal of Evaluation and Research Education, 3 (3), 197-204. Mazziya, P. A., Sukarsa, I., & Asih, N. M. (2015). Mengatasi Heteroskedastisitas pada Regresi dengan Menggunakan Weighted Least Square. E-Jurnal Matematika, 4 (1), 20-25. McCubbin, Laurie. (2001). Challenges to the definition of Resilience. California: American Psychological Association. Llanes, R., F, Vos., & Sapir, G. (2013). Measuring psychological resilience to disasters: are evidence-based indicators an achievable goal?. Journal of Environmental Health, 12 (115), Doi 10.1186/1476-069X-12-115. Ozbay, F., Johnson, C. D., Dimoulas, E. , Morgan, C. A., Charney, D., & Southwick, S. (2007). Social Support and Resilience to Stress: Form Neurology to Clinical Practice. Psychiatry, 35-40. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development (9th edition). New York: McGraw Hill.
  • 15. 15 Park, C. L., & Murch, R. L. (1996). Assesment and prediction of stress-related growth. Journal of Personality, 64 (1), 71-105. Pfeifer, C. J. (2011). The Effects of Perceived Social Support and Coping Self-Efficacy on Trauma Symptoms After A Traumatic Events. Thesis. North Carolina: Western Carolina University. Piko, Bettina. (2001). Gender Differences and Similarities in Adolescents’ Ways of Coping. The Psychological Record, 51, 223-235. Reich, J. (2006). Three Psychological Principles of Resilience in Natural Disasters. Disaster Prevention Management, 15 (5), 793-798. Richardson, G. E. (2002). The Metatheory of resilience and resiliency. Journal of clinical psycjology, 58 (3), 307-321. Rinaldi. (2010). Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi, 3 (2), 99-105 Rutter, M. (1990). Resilience concepts and findings: Implication for family therapy. Journal of Family Therapy, 21, 119-144. Sarason, I. G., Levine, H. M., Basham, R. B., Sarason, B. R. (1983). Assesing social support: The social support questionaire. Journal of Personality and Social Psychology, 44, 127- 139. Sarason, I., & Sarason, B. (1985). Social Support: Theory, Research, and Application. Boston: Martinus Nijhoff Publishers. Sarason, I., & Sarason, B. (2009). Social support: Mapping the construct. Journal of Social and Personal Relationships, 26 (1), 113-120. Schmidt, Anna. (2008). The Relation between Posttraumatic Growth and Resilience in South Africa Context. Disertasi. Master in Clinical Psychology of University of Witwatersrand, Johannesburg. Shapiro, A., & Keyes, C. (2008). Marital Status and Social Well-Being: Are Maried Always Better Off?. Soc Indic Res, 88, 328-346,Doi 10.1007/s11205-007-9194-3. Shaumi, Haonisa. (2012). Resiliensi Orang Jawa Dewasa Muda Akhir yang Menjadi Penyintas Erupsi Gunung Merapi 2010. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Wills, T. A. & Shinar, O. (2000). Measuring perceived and received social support. Dalam S. Cohen., I., G., Underwood., & B. H. Gottlieb. (Ed), Social support measurement and intervention: A guide for health and social scientists. Oxford: Oxford University ress. Siebert, Al. (2005). The resiliency advantage: Master change, thrive under pressure, and bounce back from setback. San Fransisco: Berett-Koehler Publishers, Inc. Siegel, K., & Schrimshaw, E. W. (2000). Perceiving benefits in adversity: stress-related growth in women living with HIV/AIDS. Journal of Social Science & Medicine, 51 (10), 1543- 1554.
  • 16. 16 Soman, S., Bhat, SM., Latha, KS., & Praharaj, SK. (2016). Gender Differences in Perceived Social Support and Stressful Life Events in Depressed Patients. East Asian Arch Psychiatry, 9, 22-26. Subandi, M. A., Achmad, T., Kurniati, H., & Febri, R. (2014). Spirituality, gratitude, hope and post-traumatic growth among the survivors of the 2010 eruption of Mount Merapi in Java, Indonesia. Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies, 18 (1). Sugiono. (2004). Konsep, Identifikasi, Alat Analisis dan Masalah Penggunaan Variabel Moderator. Jurnal Studi Manajemen & Organisasi, 1 (2), 61. Sumintono, B., & Widhiarso, W. (2014). Apliaksi Model Rasch Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Cimahi: Trim Komunikasta Publishing House. Taylor, S. E., Sherman, D. K., & Kim, H. S. (2004). Culture and social support: Who seeks it and why?. Journal of Personality and Social Psychology, 3, 354-362. Doi: 10.1037/0022-3514.87.3.354 Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (1998). Posttraumatic Growth: Conceptual Foundation and Empirical Evidence. Psychological Inquiry, 15 (1): 1-18. Tedeschi, R. G., & Calhoun, L. G. (2006). The Foundations of Posttraumatic Growth: An Expanded Framework. Dalam Tedeschi, R. G. & Calhoun, L. G. (Ed), Handbook of Posttraumatic Growth: Research and Practice. London: Lawrence Erlbraum. Urbayatun, S., & Widhiarso, W. (2012). Variabel Mediator dan Moderator dalam Penelitian Psikologi Kesehatan Masyarakat. Jurnal Psikologi, 39 (2): 180-188. Vaux, Alan. (1988). Social Support: Theory, Research, and Intervention. New York: Peager. Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric Evaluation of Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1 (2). Wagnild, G. M. (2010). Discovering your resilience core. Diakses dari: https://www.resiliencescale.com/papers/pdf/Discovering_Your_Resilience_Core.pdf. Westfall, K. (2014). Exploration of the relationship between resilience, social support and formal help seeking, and evaluation of Guelph’s 1 in 5 mental helath awareness. Tesis. Canada: Master of Science in Family Relations and Human Development, The University of Guelph. Wijayanti, A. (2014). Dampak Bencana Gunung Api terhadap Perubahan Mata Pencaharian. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Bandung: Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB. Wilson, C., & Morgan. (2007). Understanding Power and Rules of Thumb for Determining Sample Size. Tutorials in Quantitative Methods for Psychology, 3 (2), 43-50. Wills, Thomas & Shinar, Ori. (2000). Measuring Perceived and Received Social Support. Dalam Cohen, S., Underwood, L., & Gottlieb, B. Social Support Measurement and Intervention: A Guide for Health and Social Scientists. (hal 68-135). New York: Oxford University Press.
  • 17. 17 Wu, K., Zhang, Y., Liu, Z., Zhou, P., & Wei, C. (2015). Coexistence and different determinants of posttraumatic stress disorder and posttraumatic growth among Chinese siurvivors after earthquake: role of resilience and rumination. Front. Psychol. 6: 1043. Doi: 10.3389/fpsyg.2015.01043I. Xu, Jiuping & Liao. (2011). Prevalence and Predictors of Posttraumatic Growth among Adult Survivors One Year Following 2008 Sinchuan Earthquake. Journal of Affective Disorder, 133 (1-2), 274-280. Zimet, G., Dahlem, N., Zimet, S., & Farley, G. (1988). The Multidimensional Scale of Perceived Social Support. Journal of Personality Assessment, 52 (1), 30-41. Zimet, GD., & J, Canty-Mitchell. (2000). Psychometric properties of Multidimensional Scale of Perceived Social Support in urban adolescents. Journal of Community Psychology, 28 (3), 391-400. Zuhri, A. (22 Nopember 2014). Huntap Pengungsi Merapi Pecahkan Rekor Muri. Diterima dari http://www.harianjogja.com/baca/2014/11/22/huntap-pengungsi-merapi-pecahkan- rekor-muri-554175