Aqiqah adalah tradisi menyembelih hewan untuk anak baru lahir sebagai perayaan kelahirannya. Menurut madzhab Syafi'i dan Hambali, jika anak laki-laki disembelih dua ekor domba dan untuk perempuan satu ekor, sedangkan menurut madzhab lain satu ekor untuk keduanya. Waktu pelaksanaannya berbeda menurut madzhab, antara hari ketujuh hingga sebelum baligh. Aqiqah bertuju
3. HUKUM AQIQAH
Menurut madzhab Hanafi, aqiqah hukumnya mubah dan tidak sampai mustahab (dianjurkan)
Menurut jumhur ulama [selain Hanafiyah) sunnah, hukum aqiqah ini tidak wajib.
Menurut madzhab Syafi'i, aqiqah sunnah dilakukan oleh pihak-pihak yang wajib menafkahi si anak.
JENIS HEWAN
Hewan yang akan disembelih sebagai aqiqah, baik dari segi jenis, usia, dan sifat-sifatnya yang harus bebas dari
cacat, tidak berbeda dari hewan kurban. jenis hewan yang akan diaqiqahkan itu adalah unta, sapi, atau domba.
Namun menurut satu pendapat, tidak boleh beraqiqah dengan sapi atau unta.
JUMLAH HEWAN
Menurut madzhab Maliki, jumlah hewan aqiqah itu adalah satu ekor baik yang lahir adalah anak laki-laki atau
perempuan. Hal itu didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas di atas, bahwa Rasulullah saw menyembelih satu ekor
domba jantan ketika Hasan dan Husein lahir.
menurut madzhab Syafi'i dan Hambali, jika yang lahir adalah anak laki-laki, maka disembelih dua ekor domba,
sementara jika anak perempuan satu ekor. Hal itu didasarkan pada riwayat yang disampaikan Aisyah, "Untuk anak
laki-laki disembelih dua ekor domba yang sama kualitasnya, sementara untuk anak perempuan satu ekori’
Demikian juga, jika seseorang menyembelih seekor unta atau sapi untuk mengaqiqahkan tujuh orang anaknya,
maka tindakan itu dibolehkan, sebagaimana sah juga menurut madzhab Syafi'i aqiqah yang dilakukan dalam bentuk
unta atau sapi,
4. Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan
cuma dianggap sembelihan biasa.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah
membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan
dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari
keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi,
dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya
itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.[5]