Dokumen tersebut membahas partisipasi masyarakat sipil dalam pengelolaan wilayah sungai di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk memperluas peran masyarakat, namun implementasinya masih lemah. Organisasi masyarakat sipil berupaya memperkuat partisipasi melalui advokasi kebijakan dan penguatan kelompok lokal, meski hasilnya belum optimal. Peran organisasi masyarakat sipil dalam pengel
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
1. 1
KONSEP
POLICY PAPER
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL
DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
Tim Pelaksana Program LP3ES - TELAPAK1
A. Sumberdaya Air
Banjir dan kekeringan yang melanda di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini,
nampaknya akan menjadi peristiwa rutin di masa datang. Keduanya terjadi tidak lain
sebagai konsekwensi logis dari modernisasi, privatisasi dan komersialisasi dalam
kehidupan masyarakat dari aspek sosial-ekonomi. Dewasa ini posisi sumberdaya
air telah mengalami pergeseran nilai dan kegunaan. Kalau semula penggunaan air
dominan untuk kepentingan pertanian dan air minum, sekarang berubah untuk
berbagai kepentingan (industri, tenaga listrik, perikanan). Sehingga fungsi air yang
bersifat sosial dan milik umum (common property) akhirnya berubah menjadi
komoditi ekonomi dan dikuasai pemilik modal (private property).
Implikasinya, kompetisi penggunaan air diantara berbagai kepentingan menjadi
semakin meningkat baik di tingkat masyarakat pemakai air sendiri maupun dengan
pihak perusahaan. Terutama ketika ketersediaan air tidak cukup memadai dari sisi
kuantitas. Neraca sumberdaya air Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2000
defisit air sekitar 52.809 juta meter kubik dan diperkirakan mencapai 134.102 juta
meter kubik pada tahun 2015. Situasi krisis air (kekeringan), banjir dan longsor yang
berlangsung selama ini merupakan cerminan dari in-effektivitas dari pengelolaan
DAS. Data Dirjen Sumberdaya Air, Kimpraswil menyebutkan bahwa saat ini ada
sekitar 65 Daerah Aliran Sungai atau 13,8 % dari jumlah DAS di Indonesia dalam
keadaan sangat kritis dengan tingkat sedimentasi yang tinggi.
Kegagalan pemerintah khususnya dalam memberi solusi yang komprehensif atas
kelangsungan fungsi DAS akan menciptakan hilangnya potensi sumberdaya air
1
Program Penguatan Kapasitas CSO (Civil Society Organization) dalam Pengelolaan Wilayah Sungai di
Bengkulu, Jogyakarta dan Sulawesi Selatan, kerjasama LP3ES, TELAPAK dan Bank Dunia.
2. 2
sebagai asset negara (publik) yang dapat menjamin kegiatan pembangunan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Secara umum keberhasilan pengelolaan
DAS bisa dilihat dari aspek-aspek: (1) Kemampuan mendukung produktivitas
optimum bagi kepentingan kehidupan (indikator ekonomi). (2) Pengelolaan yang
mampu memberikan manfaat secara merata bagi kepentingan kehidupan (indikator
sosial). (3) Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk
tidak tergradasi (indikator lingkungan). (4) Pengelolaan dengan menggunakan
teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga
menstimulir tumbuhnya sistem intitusi yang mendukung (indikator teknologi).
Berangkat dari permasalahan diatas dan keterbatasan sumberdaya pemerintah
untuk menyelesaikan, partisipasi semua pihak dalam pengelolaan sumberdaya air
tidak mungkin dihindari. Hal ini akan mendorong effektivitas dan sinergitas
pengelolaan mulai dari perencanaan hingga penentuan kebijakan atau aturan
tentang sumberdaya air. Persoalannya adalah belum sepenuhnya pemerintah
memandang peran kelompok masyarakat sangat diperlukan dalam seluruh proses
pembangunan sumberdaya air. Pemerintah melihat bahwa kewenangan dalam
penentuan kebijakan merupakan domain pemerintah. Masyarakat pengguna air dan
organisasi masyarakat sipil lainnya masih diposisikan terlibat dalam aktivitas
pengelolaan sumberdaya air yang hanya dalam bersifat fisik. Padahal tanpa
keterlibatan semua pihak, dikuatirkan proses pengambilan keputusan yang terkait
dengan kebijakan dan program akan jauh dari realitas.
B. Dasar Hukum Partisipasi Warga 2006 – 2009
Bersamaan dengan reformasi politik, maka langkah-langkah nyata untuk
meningkatkan keterlibatan warga, pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa
peraturan untuk memperluas peran warga dalam semua konteks pembangunan.
Beberapa landasan hukum yang secara tegas menyebutkan pentingnya peran dan
keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan adalah :
1. UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah, dimana pemerintah memasukan bab
Partisipasi Masyarakat yang mencakup hak warga untuk mendapatkan
informasi tentang pelaksanaan pemerintahan daerah dan dilibatkan dalam
3. 3
proses-proses pemerintahan daerah (misalnya dalam perencanaan dan
penganggaran).
2. UU 7/2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, dimana pemerintah secara
jelas mengakomodasi peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air
mulai dari aspek perencanaan hingga penentuan kebijakan. Bahkan dalam
UU ini juga mendorong keikutsertaan masyarakat yang dicerminkan melalui
wakil CSO sebagai unsur dalam kelembagaan wilayah sungai.
3. Pada tingkat yang lebih mikro, Peraturan Presiden tentang PNPM Mandiri
akan menghubungkan perencanaan di tingkat komunitas dengan
perencanaan di pemerintahan daerah melalui mekanisme Musrenbang. Hal
ini akan mengubah karakter program yang tersentralisasi menjadi lebih
partispatif.
4. Sejumlah peraturan – perundangan lainnya baik di tingkat sector maupun
daerah berkenaan dengan perlunya keterlibatan masyarakat, LSM dan
oragnisasi masyarakat dalam proses pembangunan nasional dan daerah.
Melihat instrumen hukum dan kebijakan yang digunakan untuk mendorong
partisipasi, menunjukan bahwa polanya telah mengakomodasi prinsip-prinsip
partisipasi kedalam system hukum yang memiliki kekuatan di tingkat yang lebih
tinggi (Undang-undang). Namun yang menjadi masalah adalah prinsip partisipasi
cenderung diperlemah atau mengalami distorsi pada sisi eksekutif ketika
mengoperasionalkan kedalam instrumen yang tingkatnya lebih rendah (PP, SK).
Sehingga esensi partisipasi yang semula bersifat ideology yaitu masyarakat memiliki
hak (subjeck) atas pembangunan berubah menjadi masyarakat bagian dari proses
pembangunan (objeck). Dimana keterlibatannya pada aspek tehnis ketika
diperlukan. Karena itu, pertanyaan penting dalam pengembangan partisipasi
adalah bagaimana bekerjasama secara lebih dekat dengan pemerintah (pusat dan
daerah( untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman yang baik serta kemungkinan
pelembagaan keberhasilan yang sudah terdapat. Ruang kebijakan yang ada dalam
kerangka hukum penting untuk didayagunakan dalam memperkuat partisipasi
dengan mendasarkan pada pengalaman nyata di tingkat lokal.
4. 4
C. PERAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL
Situasi Era Reformasi
Studi Stock Taking tahun 2006 yang dilakukan DRSP – USAID mencatat bahwa
iklim berpartisipasi bagi warga pada tahun-tahun belakangan ini menjadi lebih
kondusif dengan munculnya berbagai perubahan dalam sistem legal yang terkait
dengan tata pemerintahan daerah. Berbagai bentuk Organisasi Masyarakat Madani
(Civil Society Organization) yang meliputi ; organisasi massa, yayasan, perkumpulan
telah memanfaatkan keterbukaan ini di tingkat nasional maupun dalam skala yang
lebih kecil di tingkat lokal.
Namun tantangan pokok yang umumnya dihadapi kalangan CSO dalam
menjalankan perannya untuk memperkuat partisipasi masyarakat adalah kapasitas
sumberdaya yang terbatas. Upaya membangun jaringan diantara CSO dalam
mengkomunikasikan tuntutan kepada negara (pemerintah) terkait dengan isu publik
tidak selamanya berjalan sukses. Kalaupun berjalan sukses maka lebih dikarenakan
dukungan dan bahkan ketergantungan pada dukungan sumberdaya lembaga donor.
Ini terlihat dari pengalaman CSO yang tergabung dalam JKII untuk advokasi
sumberdaya air, FKKM dalam kasus advokasi UU Kehutanan dan lainnya. Problem
lain yang dihadapi kalangan CSO adalah kesulitan menyebarluaskan keberhasilan
yang telah diraih dari inisiatif-inisiatif di tingkat lokal ke wilayah lain sehingga dapat
menghasilkan dampak yang lebih luas.
Menyadari keterbatasan-keterbatasa tersebut, maka kalangan CSO mencoba
melakukan perubahan pendekatan advokasi dan diseminasi yaitu dengan focus
mempengaruhi para pembuat kebijakan di tingkat lokal. Hal ini seiring dengan
pergeseran kebijakan politik pembangunan yang lebih member ruang bagi
pemerintah daerah (desentralisasi). Hal ini Nampak terlihat dari inisiatif sejumlah
CSO melakukan advokasi penyusunan perda partisipatif dalam bidang kehutanan.
Misalnya penyusunan Perda Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang
dilakukan oleh di Kabupaten Wonosobo. Namun upaya ini gagal karena ditolak
oleh pemerintah daerah. Sementara upaya yang dilakukan oleh LP3ES di
Kabupaten Sumbawa dalam mendorong hak inisiatif DRPD dalam penyusunan
5. 5
Perda PSDHBM meski berhasil diwujudkan, namun implementasi programnya
sangat lambat dalam arti sedikit sekali hutan yang diserahkan masyarakat untuk
pengelolaannya.
Pada sisi lain, meski dari sisi advokasi kebijakan kurang cukup berhasil, banyak
ditemukan bukti-bukti bahwa CSOs telah melakukan upaya penguatan kelompok-
kelompok/organisasi-organisasi lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Termasuk untuk bidang sumberdaya air. .Dimana dalam prosesnya, CSO ini juga
melakukan kerjasama secara intensif dengan pemerintah daerah. Upaya ini ternyata
banyak yang berjalan sukses terutama dalam mendorong akses dan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh; kerjasama
sejumlah CSO dengan Dinas Kehutanan Termasuk keberhasilan Yayasan Damar
dalam mendorong dukungan pemerintah daerah Kulonprogo untuk memberikan
akses dan hak kelola lahan hutan kepada masyarakat untuk konservasi sumberdaya
air. Kerjasama Yayasan Rekonservasi Bhumi dengan Badan Pengelola Lingkungan
Hidup Propinsi Banten dalam memfasilitasi mekanisme pembayaran aur oleh
perusahaan kepada masyarakat dalam bentuk kegiatan konservasi.
Selain itu, juga telah berkembang inisiatif dari kelompok dan forum masyarakat
sendiri di beberapa daerah dalam pelaksanaan program hutan kemasyarakatan dan
konservasi sumberdaya air. Sebagai contoh; WPL (Warga Peduli Lingkungan) di
Kabupaten Bandung yang melakukan kegiatan pengolahan limbah rumah tangga
dan sanitasi di wilayah sungai Citarum. Hal yang sama dilakukan oleh Komunitas
Kali Code Jogyakarta yang mengorganisir masyarakat di bantaran sungai code
untuk penanganan limbah. Meskipun demikian, praktek-praktek positif baik yang
berasal dari CSO maupun kelompok masyarakat belum memperoleh respon yang
optimal dari pemerintah daerah untuk diterapkan di lokasi lain maupun pemerintah
daerah sekitarnya. Keberhasilan Yayasan Damar hanya terhenti di Kabupaten
Kulonprogo dan demikian pula untuk WPL yang belum diterapkan untuk wilayah di
sekitar sungai Citarum. Keberhasilan inisiasi ternyata tidak cukup berkembang dan
terpelihara dengan baik sehingga terkadang menimbulkan rasa ketidakyakinan
kalangan CSO terhadap kesungguhan pemerintah dalam membangun partisipasi
masyarakat.
6. 6
Perkembangan Sekarang
Masa tiga tahun terakhir ini masih diwarnai oleh berlanjutnya proses pengambilan
keputusan yang tertutup dan didominasi oleh elit, dengan terbatasnya akses
masyarakat terhadap informasi menyangkut proses dan keputusan pemerintah,
lemahnya akuntabilitas, tidak efisiennya pelayanan publik, serta masih maraknya
praktek korupsi. Realita tersebut telah membentuk agenda gerakan masyarakat sipil
yang bertujuan mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas, serta mendesak
diterapkannya pendekatan kebijakan publik yang lebih melibatkan partisipasi aktif
warga, khususnya bagi perempuan, kelompok marjinal, dan penduduk di pedesaan.
Komitmen masyarakat sipil tersebut di atas sudah berlangsung beberapa waktu,
namun kembali memperoleh momentum untuk berkembang di berbagai daerah,
dengan perspektif yang lebih lebar yang memasukkan konsep ‘critical engagement’
dan ‘partnership’. Artinya, masyarakat madani belajar untuk memilih bentuk
keterlibatannya, menghindari sikap beroposisi ketika ada peluang untuk membangun
rasa saling percaya dan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, sambil tetap
berusaha memegang prinsip-prinsip independensi dalam relasinya dengan
pemerintah.
Sekalipun untuk isu sumberdaya air masih terbatas dibandingkan dengan untuk
konservasi (kehutanan), maka jika dikategorikan fokus dari keterlibatan berbagai
CSO dalam pengelolaan sumberdaya alam (air) terlihat lebih terspesialisasi sesuai
dengan kapasitas dan kompetensinya, sekalipun dari sisi arah tetap sama yaitu
mendorong pemerintah untuk lebih memperluas partisipasi masyarakat dalam
pembangunan baik dari sisi sector, proses dan iwlayahnya. Setidaknya ada 3
kategori peran dan bentuk keterlibatan CSO dalam konteks pengelolaan
sumberdaya alam (air) yaitu : Pertama, melakukan advokasi kebijakan melalui
kampanye, dialog dan asistensi pemerintah dan bahkan legislative untuk
mendorong perubahan aturan perundangan tentang sumberdaya alam (air) yang
lebih kondusif bagi masyarakat local. Kedua, memfasilitasi kegiatan
pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat untuk mengambil iisiatif yang
lebih kongrkit dan lebih aktif dalam pengelolaan sumberdaya alam (air). Sekaligus
7. 7
melakukan konsultatif dengan instasnai pemerintah terutama untuk mendapatkan
dukungan dalam bentuk aturan dan alokasi anggaran.
Diluar isu sumberdaya alam (air), kalangan CSO juga bergerak membentuk dan
memperkuat jaringan CSOs (termasuk Universitas) untuk menggali isu-isu
pembangunan lain bagi pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan penelitian dan
pemikiran sebagai input bagi para pengambil kebijakan di tingkat nasional. Upaya ini
dapat dilihat pada advokasi revisi Undang-Undang No. 32 tentang Pemerintahan
Daerah, perumusan Undang-Undang baru tentang Pemerintahan Desa, Undang-
Undang tentang Kebebasan Informasi (dengan melibatkan pemerintah daerah) dan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Jaringan CSO di tingkat provinsi juga
berkembang, seperti terlihat di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Kegiatan yang
dilakukan oleh jaringan di tingkat provinsi ini adalah antara lain untuk memperkuat
kapasitas CSO maupun warga serta menyediakan masukan bagi kebijakan di tingkat
provinsi.
Fakta-fakta keberhasilan di atas ternyata belum sepenuhnya berkembang meluas di
semua daerah dan diterapkan pada sector pembangunan lainnya. Mengingat harus
disadari bahwa dalam kenyataannya masih ada sebagian dari aktor-aktor di
pemerintahan yang enggan untuk bekerja bersama dengan organisasi masyarakat
sipil. Disamping itu, juga tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kelemahan internal
yang dilingkungan CSO sendiri. Menurut Dr Hetifah S, keberlanjutan peran dan
kerja CSO dalam mendorong proses perubahan pembangunan dengan partisipasi
masyarakat yang lebih meluas membutuhkan beberapa hal berikut:
Kejelasan mandat/peran dari berbagai aktor
Dukungan sumber daya yang lebih fleksibel dengan cara-cara pemberian
dukungan yang berkelanjutan
Internalisasi tentang hak dan pendekatan partisipasi, sehingga lepas dari
pendekatan proyek semata
Media massa yang lebih efektif, yang menuntut adanya jurnalis yang lebih
terinformasi dan mampu mengikuti isu-isu tata pemerintahan
Produksi dan disseminasi pengetahuan secara lebih sistematis
8. 8
Dalam menghadapi situasi yang cenderung lambat terhadap pengakuan partisipasi
masyarakat dan isu kerakyatan dalam proses pembangunan oleh birokrasi
pemerintah, sejumlah kalangan CSO telah melakukan langkah yang bersifat politik.
Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk strategi yang telah dilakukan oleh berbagai CSO
dalam upaya meningkatkan peran dan pengaruh politiknya dalam 5 tahun terakhir
ini, yaitu :
Melakukan tawar menawar langsung dengan para politisi; Hal ini terlihat dari
kasus-kasus pilkada dan juga pemilihan legilatif 2009, dimana antara calon
anggota DPR/DPRD dan Bupati/Walikota dengan kalangan CSO dan warga
masyarakat melakukan kontrak politik berkenaan dengan pemihakan atas
masalah pemberdayaan atau pemihakan kepada rakyat seperti ; masalah
pendidikan, kesehatan, usaha kecil dan lingkungan.
Melakukan pencalonan diri untuk menjadi calon anggota legislatif atau calon
kepala daerah. Langkah ini dimaksudkan agar pembangunan yang
berorientasi kepada rakyat dan mengakomodasi partisipasi masyarakat
dapat dengan mudah diwujudkan. Sekalipun setelah berada di kekuasaan
namun kenyataannya agenda dan proses pembangunan pro kerakyatan tidak
banyak perubahan.
Membangun partai politik sebagai alat perjuangan politik organisasi
masyarakat madani. Pilihan pada dasarnya jauh lebih sulit mengingat
diantara organisasi masyarakat sipil terdapat perdaan yang sangat tajam
terkait dengan misi,visi dan pilihan politik. Karenanya strategi pembentukan
partai politik oleh kalangan CSO sering menemui jalan buntu.
D. KERANGKA KEBIJAKAN PELIBATAN CSO
Tingkat dan Bentuk Pelibatan CSO
Mendasarkan pada sejarah dan perkembangan peran dan partisipasi CSO dalam
pembangunan, terutama di bidang SDA telah menunjukan spectrum yang luas dan
dinamis dari sisi tingkat dan bentuknya. Dalam peran dan keterlibatannya, CSO
tidak lagi hanya sebagai pelaksana dalam mengorganisir partisipasi masyarakat dari
9. 9
suatu program pemerintah melainkan juga ikut berperan dalam memfasilitasi proses
penyusunan kebijakan (peraturan-perundangan) dan advokasi perubahan kebijakan,
Aktivitas keterlibatan CSO tidak terbatas di tingkat lapangan (lokasi.desa,kabupaten)
namun juga bergerak ke tingkat pusat pemerintahan (Jakarta). Dinamika peran ini
kemudian berimplikasi terhadap relasi, sasaran dan jaringan kerjanya. Kalau
semula kerja CSO hanya bertumpu pada masyarakat di tingkat desa dan pemerintah
kabupaten, maka dewasa ini hubungan semakin luas dengan legislative, media
massa, universitas dan bahkan perusahaan di pusat dan daerah.
Pada sisi lain, peranan organisasi di tingkat komunitas (kelompok-kelompok
masyarakat) juga telah mengalami perubahan yang signifikan. Kelompok ini pada
sebagian kasus kelompok masyarakat (KSM) tidak hanya menjadi organisasi yang
bersifat paguyuban dengan kegiatan pertemuan semata, simpan pinjam maupun
aktivitas tehnis administrative melainkan berubah dan berkembang sebagai lembaga
formal yang mampu memfasilitasi proses pemberdayaan dan pengorganisir
masyarakat dalam skala luas. Kelompok ini terutama para pengelolanya juga telah
mengalami peningkatan kapasitas, dimana dalam kerjanya juga mampu mendorong
proses fasilitasi perumusan aturan di tingkat desa, seperti ; peraturan desa.
Kesadaran masyarakat dalam melihat problematika pengelolaan sumberdaya air
telah mendorong kelompok fungsional untuk melakukan penggabungan atau
jaringan kerja dengan kelompok lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat
peran dan posisi sekaligus berfungsi sebagai wahana komunikasi dan kerjasama
untuk effektivitas pengelolaan.
Dengan demikian, kebijakan pelibatan CSO dalam pengelolaan sumberdaya air
seharusnya bersifat komprehensif. Hal ini dikarenakan ragam peran CSO yang tidak
hanya di bidang tehnis namun juga pada dimensi perubahan kebijakan baik melalui
advokasi maupun perumusan aturan perundangan. Sebagai salah satu actor yang
memiliki kapasitas di bidang pendekatan kemasyarakatan, maka peran CSO sangat
penting dalam mendukung proses pembangunan yang effektif. Karenanya
perannya tidak mungkin didistorsi hanya pada bidang pengorganisasian masyarakat
semata, diserahkan ke satu lembaga tertentu dan terbatas pada sector. Kebijakan
pelibatan CSO dalam pengelolaan sumberdaya air dalam lingkup berikut :
10. 10
Bentuk dan Tingkat Peran CSO dalam Pengelolaan SDA
Bentuk Keterlibatan Tingkatan Peran
Wilayah Sungai Propinsi Nasional
Bentuk Partisipasi a. Perbaikan fisik
sungai dan
konservasi
b. Kebijakan alokasi air
c. Penyelesaian
sengketa
d. Penetapan aturan di
tingkat desa
a. Penentuan arah
pengelolaan
Sungai
b. Penentuan aturan
kebijakan daerah
c. Perumusan strategi
dan program
pengelolaan sungai
a. Perumusan arah
pengelolaan SDA
b. Perumusan aturan
perundangan
c. Penentuan strategi
dan program
nasional pengelolaa
sungai
Organisasi Pemeran a. Kelompok Tani
(P3A) dan
Gabungan
b. Forum2 Warga
c. Komunitas
Adat/Agama
a. LSM
Kabupaten/Propinsi
b. Media Massa
c. Organisasi adat
dan keagamaan
a. LSM Nasional
b. Lembaga Riset
c. Asosiasi Profesi
d. Media massa
Fungsi/Peran a. Mendorong
partisipasi warga
b. Memperkuat
kapasitas warga
c. Memonitor kondisi
persoalan sungai
d. Memberi input
kebijakan kepada
pemerintah dan
dewan
a. Memperkuat peran
dan kapasitas CSO
dalam pengelolaan
sungai
b. Melakukan kajian
social ekonomi
dalam pengelolaan
sungai
c. Memberi input
kebijakan kepada
pemerintah
propinsi/kabupaten
a. Menyusun
kebijakan nasional
tentang
sumberdaya air
b. Melakukan
monitoring dan
evaluasi atas
pelaksanaan
kebijakan
Mekanisme
kelembagaan
TKPSA Dewan SDA Propinsi Dewan Nasional
Mekanisme Pelibatan dalam Dewan
Kriteria Pemilihan Lembaga
Mengingat jumlah CSO cukup banyak baik dari sisi ragam kegiatan, bentuk
organisasi maupun sebarannya, maka dipandang penting untuk menetapkan
kriteria lembaga yang dapat dilibatkan. Secara umum, criteria yang dapat
digunakan dalam pelibatan dalam Dewan adalah sebagai berikut :
a. Kejelasan/kepastian legalitas organisasi
b. Pengalaman dan kompeten dalam pengelolaan sumberdaya air
c. Kejelasan tata kelola organisasi
d. Jaringan kerja organisasi
e. Kejelasan kapasitas sumberdaya organisasi
11. 11
Proses seleksi
Sebagai bagian dari asas transparansi dan akuntabilitas, pemilihan lembaga
tidak didasarkan pada proses dan mekanisme tertutup. Sehingga tidak
menimbulkan sengketa dan penetapan lembaga yang tidak relevant. Proses
pemilihan lembaga yang dapat dilibatkan dalam dewan dilakukan melalui
proses sebagai berikut :
a. Penetapan Tim Seleksi. Tim harus bersifat independen dan berasal dari
unsure yang relevant dan tidak memiliki konflik kepentingan.
b. Rekruitmen melalui penyebarluasan informasi ke public baik melalui iklan
media massa, email dan lainnya
c. Seleksi yang meliputi ; administrsi, pengetahuan dan kompetensi
d. Penetapan kandidat lembaga dan penyebarluasan ke public
e. Menghimpun masukan dan complain dari publik terkait calon/kandidat
f. Penetapan lembaga definitive.