Drama monolog Inggit menceritakan kisah hidup Ratu Kusumaningrum (Inggit) mulai dari masa kecilnya yang disayangi hingga menikah dengan beberapa suami dan akhirnya memilih bercerai dari Soekarno."
3. Sinopsis Drama Monolog “Inggit” Karya Ahda Imran
INGGIT
ddiaiawwaalili Kisah Ratu
Kisah Ratu
Kusumaningrum
Kusumaningrum
Kehidupan Inggit
yang sejak kecil
disayang semua
Kehidupan Inggit
yang sejak kecil
disayang semua
orang
orang
Pernikahan Inggit
dengan Nataatmadja
Pernikahan Inggit
dengan Nataatmadja
kemudian
pernikahannya
dengan Sanusi
kemudian
pernikahannya
dengan Sanusi
Awal pertemuan
Inggit dengan
Awal pertemuan
Inggit dengan
Soekarno
Soekarno
Perceraian Inggit
dengan Sanusi
Perceraian Inggit
dengan Sanusi
Inggit menikah
dengan Soekarno
Inggit menikah
dengan Soekarno
Peran inggit sebagai
isteri Soekarno
Peran inggit sebagai
isteri Soekarno
Soekarno dipenjara di
Banceuy kemudian pindah
dipenjara di Sukamiskin
Soekarno dipenjara di
Banceuy kemudian pindah
dipenjara di Sukamiskin
Soekarno pada masa
Soekarno pada masa
pembuangan
pembuangan
Soekarno ingin
memiliki keturunan
dengan menikahi
Soekarno ingin
memiliki keturunan
dengan menikahi
Fatimah
Fatimah
Inggit memutuskan
untuk bercerai
Inggit memutuskan
untuk bercerai
4. Bentuk Karya
Drama Monolog
Karena dalam drama “Inggit” hanya terdapat percakapan
seorang pemain dengan dirinya sendiri. Apa yang diucapkan
itu tidak ditujukan kepada orang lain. Isinya tokoh
menceritakan kisah hidupnya.
Drama Monolog
Karena dalam drama “Inggit” hanya terdapat percakapan
seorang pemain dengan dirinya sendiri. Apa yang diucapkan
itu tidak ditujukan kepada orang lain. Isinya tokoh
menceritakan kisah hidupnya.
5. Alur dan Pengaluran
Analisis Alur Menurut A.J Greimas
Skema Aktan
Pengirim:
Pengirim:
Keputusan Inggit untuk
bercerai dan kembali ke
Keputusan Inggit untuk
bercerai dan kembali ke
Bandung.
Bandung.
Objek:
Objek:
Ingin memiliki keturunan
dengan menikahi Fatimah
Ingin memiliki keturunan
dengan menikahi Fatimah
Subjek :
Soekarno
Subjek :
Soekarno
Penerima:
Inggit
Penentang/
Penghambat:
Keadaan masa
pergerakan menuju
kemerdekaan
Penentang/
Penghambat:
Keadaan masa
pergerakan menuju
kemerdekaan
Penolong/ pembantu:
Penolong/ pembantu:
Inggit tidak bisa
Inggit tidak bisa
memberikan keturunan
kepada Soekarno
memberikan keturunan
kepada Soekarno
Penerima:
Inggit
6. Bentuk Karya Analisis Pengaluran Menurut A.J Greimas
Model Fungsional
Situasi Awal
Transformasi
Tahap Uji Situasi Akhir
Kecakapan Tahap Utama Tahap
Keberhasilan
Kisah kehidupan
Inggit yang selalu
disayangi semua
orang, kemudian
kisah perkawinan
antara Inggit
dengan Nata lalu
dengan Sanusi
akhirnya menikah
dengan Soekarno
Inggit menjadi
isteri yang
tangguh di
samping
Soekarno, segala
pengorbanan
dilakukan Inggit
demi membantu
Soekarno
melakukan
perjuangan
termasuk setia
mendampingi
Soekarno ketika
di penjara maupun
ketika masa
pembuangan.
Keinginan
Soekarno untuk
memiliki
keturunan dengan
menikahi Fatimah
yang sudah
dianggap sebagai
anak angkat
mereka
Inggit dapat
mempertahankan
harga dirinya
sebagai perempuan
dengan
mengatakan
“Tidak” pada
kemauan seorang
lelaki bernama
Kusno
Inggit meminta
bercerai kepada
Soekarno dan
kembali pulang
ke Bandung.
7. Tokoh dan
DPramean oMkoonohloag nInggit hanya
menampilkan satu tokoh riil yaitu
tokoh Inggit dan 14 tokoh
simbolik. Tokoh simbolik tersebut
terdiri atas tokoh individual dan
tokoh kolektif. Metode penyajian
watak tokoh dengan metode
dramatik, tokoh Inggit melalui
monolognya, jalan pikiran,
perasaan, sikap dan perbuatannya
menceritakan setiap tokoh yang
disebutkan dalam naskah.
8. Tokoh dan
Penokohan 1. Tokoh Inggit
1. Tokoh Inggit
Fisiologis : cantik (“Jika kecantikan memberi perempuan dua pilihan, antara anugerah dan
kutukan, maka aku bukanlah kutukan itu. Kecantikan telah mengantarkanku menemukan diriku
sebagai perempuan dengan kaki yang lebih kukuh. Kecantikan telah membuat para lelaki dan
semua orang menjadi tawanand an taklukkanku”)
Psikologis : tidak mudah percaya (“Seperti kalian, aku pun bisa saja tak percaya.”), tidak
percaya diri, selalu merendah (“Ah, tidak, mungkin aku berlebihan menilai diriku. Siapalah
aku,...”), tidak setia (Seorang ibu kost yang kesepian yang tidur dengan seorang pemuda,...),
(“Aku telah berbuat serong, bukan hanya perasaan dan hatiku, tapi juga aku telah berzinah.”),
pekerja keras (“Dan demi hal itulah aku bekerja mencukupi kehidupan kami”), (“Dan jika berada
dalam kesulitan seperti sekarang aku tak pernah menceritakan pada Kusno”), pemberani (“Aku
sama sekali tak gentar karena tahu siapa yang kudampingi dan apa yang diperjuangkannya. ”)
(“mengapa aku mesti tidak berani mengatakan hal yang sama ketika Kusno ingin menjadikan aku
perempuan sebagai sebuah koloni lelaki.”), rela berkorban (“aku tak pernah memberi tahu pada
suamiku tentang satu hal, yaitu, aku sering ke Sukamiskin hanya dengan berjalan kaki.”),
penyayang (“Aku pun lalu menganggap Fatimah sebagai saudara Omi yang baru. Karena itulah
aku tak membeda-bedakan mereka”), teguh pendirian (“Harga diriku tak bisa ditukar dengan
sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun.”)
Sosiologis : disayang (“Sejak kecil aku hidup dengan pertanyaan, mengapa semua orang
menyayangiku?”...)
Jenis Tokoh : individual, riil, berkembang, penamaannya simbolik
Fisiologis : cantik (“Jika kecantikan memberi perempuan dua pilihan, antara anugerah dan
kutukan, maka aku bukanlah kutukan itu. Kecantikan telah mengantarkanku menemukan diriku
sebagai perempuan dengan kaki yang lebih kukuh. Kecantikan telah membuat para lelaki dan
semua orang menjadi tawanand an taklukkanku”)
Psikologis : tidak mudah percaya (“Seperti kalian, aku pun bisa saja tak percaya.”), tidak
percaya diri, selalu merendah (“Ah, tidak, mungkin aku berlebihan menilai diriku. Siapalah
aku,...”), tidak setia (Seorang ibu kost yang kesepian yang tidur dengan seorang pemuda,...),
(“Aku telah berbuat serong, bukan hanya perasaan dan hatiku, tapi juga aku telah berzinah.”),
pekerja keras (“Dan demi hal itulah aku bekerja mencukupi kehidupan kami”), (“Dan jika berada
dalam kesulitan seperti sekarang aku tak pernah menceritakan pada Kusno”), pemberani (“Aku
sama sekali tak gentar karena tahu siapa yang kudampingi dan apa yang diperjuangkannya. ”)
(“mengapa aku mesti tidak berani mengatakan hal yang sama ketika Kusno ingin menjadikan aku
perempuan sebagai sebuah koloni lelaki.”), rela berkorban (“aku tak pernah memberi tahu pada
suamiku tentang satu hal, yaitu, aku sering ke Sukamiskin hanya dengan berjalan kaki.”),
penyayang (“Aku pun lalu menganggap Fatimah sebagai saudara Omi yang baru. Karena itulah
aku tak membeda-bedakan mereka”), teguh pendirian (“Harga diriku tak bisa ditukar dengan
sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun.”)
Sosiologis : disayang (“Sejak kecil aku hidup dengan pertanyaan, mengapa semua orang
menyayangiku?”...)
Jenis Tokoh : individual, riil, berkembang, penamaannya simbolik
9. Tokoh dan
2P. Toekonh oSokekaornho an
2. Tokoh Soekarno
Fisiologis : sorot matanya tajam (“Sorot matanya tajam penuh semangat yang bergelora, tapi
sangat menyejukkan. ”)
Psikologis : (“Anak muda yang pesolek.”), (“Kusno itu anak muda yang menyenangkan.
Dengan logat Jawa-nya dia pandai benar bergaul dan tidak ingin dilayani berlebihan.
Tambahan lagi, dia pemuda yang hangat dan periang. ”), (“Dan di tengah percakapan itu
kulihat Kusno sangat menonjol dan disegani.”), berani dan bertanggung jawab (“Ia
mencintaiku dan ingin mengawiniku. Ia akan memintaku pada Kang Uci.”), (“Anak muda
yang selalu padaku minta disayang dan dimanja. Di dengar cerita dan keluhannya.”), (“Ia
seorang lelaki yang lembut dan amat menghargaiku”), (...,Kusno tak hanya pandai berdebat,
tapi juga radikal dan penuh keberanian.), (“Tapi, tidak! Seperti singa yang terluka dan
mengamuk, semangat Kusno semakin menjadi-jadi.”), mudah putus asa(“...pertamakali
pintu yang berat itu tertutup rapat di hadapanku, aku rasanya hendak mati”), (“...dia lelaki
yang suka dengan kerapihan dan sangat pemilih. Menyukai pakaian yang bagus dan harus
selalu tampak rapih. Ia tidak suka segala yang tampak kotor. ”)
Sosiologis :(“...dia menantu Pak Tjokro, tapi juga murid kesayangannya”), (“Singa podium
yang menggetarkan semua orang”), student (“Ia hanya seorang student. Anak muda dengan
cita-cita besar memimpin rakyat membebaskan tanah air dari penjajahan”)
Jenis Tokoh : Individual, pembantu, riil
Fisiologis : sorot matanya tajam (“Sorot matanya tajam penuh semangat yang bergelora, tapi
sangat menyejukkan. ”)
Psikologis : (“Anak muda yang pesolek.”), (“Kusno itu anak muda yang menyenangkan.
Dengan logat Jawa-nya dia pandai benar bergaul dan tidak ingin dilayani berlebihan.
Tambahan lagi, dia pemuda yang hangat dan periang. ”), (“Dan di tengah percakapan itu
kulihat Kusno sangat menonjol dan disegani.”), berani dan bertanggung jawab (“Ia
mencintaiku dan ingin mengawiniku. Ia akan memintaku pada Kang Uci.”), (“Anak muda
yang selalu padaku minta disayang dan dimanja. Di dengar cerita dan keluhannya.”), (“Ia
seorang lelaki yang lembut dan amat menghargaiku”), (...,Kusno tak hanya pandai berdebat,
tapi juga radikal dan penuh keberanian.), (“Tapi, tidak! Seperti singa yang terluka dan
mengamuk, semangat Kusno semakin menjadi-jadi.”), mudah putus asa(“...pertamakali
pintu yang berat itu tertutup rapat di hadapanku, aku rasanya hendak mati”), (“...dia lelaki
yang suka dengan kerapihan dan sangat pemilih. Menyukai pakaian yang bagus dan harus
selalu tampak rapih. Ia tidak suka segala yang tampak kotor. ”)
Sosiologis :(“...dia menantu Pak Tjokro, tapi juga murid kesayangannya”), (“Singa podium
yang menggetarkan semua orang”), student (“Ia hanya seorang student. Anak muda dengan
cita-cita besar memimpin rakyat membebaskan tanah air dari penjajahan”)
Jenis Tokoh : Individual, pembantu, riil
10. Tokoh dan
3P. Teoknoho Skanoushi an
3. Tokoh Sanusi
Fisiologis : sudah tua (“Mungkin karena usianya yang sudah sepuh, Kang Uci lebih memilih
kesibukannya sendiri. ”)
Psikologis : *penyayang (“Jika aku sedang mandi, dari arah mudik Kang Uci sering
menghanyutkan tempurung buah maja yang diikat dengan benang. Tempurung itu hanyut dan
terapung-apung ke tempat aku mandi. Di dalam tempurung itu aku menemukan pecahan uang
logam...”)
*tidak memiliki pendirian (“Tapi, tiba-tiba Kang Uci dijodohkan. Aku tidak tahu apakah
Kang Uci menerima perjodohan itu karena memang terpaksa atau tidak, yang jelas aku
ditinggalkan dan merasa sakit hati. ”)
*pendiam (“Beda benar dengan Kang Uci yang pendiam. ”)
*senang ke luar malam (“Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke tempat bilyar.)
*ikhlas, tulus, dan rela berkorban (“Kang Uci dengan ikhlas mengalah. Menceraikan dan
menyerahkanku pada Kusno. Kang Uci melakukakannya sebagai sebuah pengorbanan demi
masa depan Kusno yang kelak akan menjadi pemimpin tanah air.)
Sosiologis : kaya, aktif berorganisasi (“Dia orang yang cukup kaya di Bandung. Dia
pengurus Sarekat Islam di Bandung. ”)
Jenis Tokoh : Individual, riil, pembantu
Fisiologis : sudah tua (“Mungkin karena usianya yang sudah sepuh, Kang Uci lebih memilih
kesibukannya sendiri. ”)
Psikologis : *penyayang (“Jika aku sedang mandi, dari arah mudik Kang Uci sering
menghanyutkan tempurung buah maja yang diikat dengan benang. Tempurung itu hanyut dan
terapung-apung ke tempat aku mandi. Di dalam tempurung itu aku menemukan pecahan uang
logam...”)
*tidak memiliki pendirian (“Tapi, tiba-tiba Kang Uci dijodohkan. Aku tidak tahu apakah
Kang Uci menerima perjodohan itu karena memang terpaksa atau tidak, yang jelas aku
ditinggalkan dan merasa sakit hati. ”)
*pendiam (“Beda benar dengan Kang Uci yang pendiam. ”)
*senang ke luar malam (“Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke tempat bilyar.)
*ikhlas, tulus, dan rela berkorban (“Kang Uci dengan ikhlas mengalah. Menceraikan dan
menyerahkanku pada Kusno. Kang Uci melakukakannya sebagai sebuah pengorbanan demi
masa depan Kusno yang kelak akan menjadi pemimpin tanah air.)
Sosiologis : kaya, aktif berorganisasi (“Dia orang yang cukup kaya di Bandung. Dia
pengurus Sarekat Islam di Bandung. ”)
Jenis Tokoh : Individual, riil, pembantu
11. Tokoh dan
4P. Teoknoho Nkatoaahtmaadnja
Fisiologis : -
Psikologis : -
Sosiologis : seorang Kopral Residen (“Bahkan aku masih terus menerima
pemberian mereka meski aku sudah menjadi istri seorang Kopral Residen, Kang
Nataatmadja..”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
4. Tokoh Nataatmadja
Fisiologis : -
Psikologis : -
Sosiologis : seorang Kopral Residen (“Bahkan aku masih terus menerima
pemberian mereka meski aku sudah menjadi istri seorang Kopral Residen, Kang
Nataatmadja..”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
5. Tokoh Tjokroaminoto
Fisiologis : -
Psikologis : perhatian (“Dalam surat itu Pak Tjokro minta tolong agar suamiku
mencarikan pemondokan untuk menantunya yang akan bersekolah di Bandung, di
THS.”)
Sosiologis : mertua Soekarno, ayahnya Utari isteri pertama Soekarno. Guru yang
dihormati (“Guru yang sudah menjadi orang tuanya sendiri.”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
5. Tokoh Tjokroaminoto
Fisiologis : -
Psikologis : perhatian (“Dalam surat itu Pak Tjokro minta tolong agar suamiku
mencarikan pemondokan untuk menantunya yang akan bersekolah di Bandung, di
THS.”)
Sosiologis : mertua Soekarno, ayahnya Utari isteri pertama Soekarno. Guru yang
dihormati (“Guru yang sudah menjadi orang tuanya sendiri.”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
12. Tokoh dan
6P. Teoknoho Uktaorihan
Fisiologis : berusia 16 tahun (“Usia Utari masih 16 tahun dan mereka kelihatan
seperti dua kakak beradik ketimbang sebagai suami istri.”)
Psikologis :-
Sosiologis : isteri Soekarno (“Suatu hari Kusno kembali ke Surabaya menjemput
Utari istrinya dan membawanya ke Bandung, tinggal bersama kami”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
6. Tokoh Utari
Fisiologis : berusia 16 tahun (“Usia Utari masih 16 tahun dan mereka kelihatan
seperti dua kakak beradik ketimbang sebagai suami istri.”)
Psikologis :-
Sosiologis : isteri Soekarno (“Suatu hari Kusno kembali ke Surabaya menjemput
Utari istrinya dan membawanya ke Bandung, tinggal bersama kami”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
7. Tokoh Dr.Tjipto, Douwes Dekker, Sastrokartono
Fisiologis :-
Psikologis :-
Sosiologis : teman-teman pergerakan Soekarno (“... untuk uang saku suamiku jika ia
berpergian menemui teman-teman pergerakan. Ke rumah Dr. Tjipto, Douwes
Dekker, atau ke rumah Sosrokartono”)
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
7. Tokoh Dr.Tjipto, Douwes Dekker, Sastrokartono
Fisiologis :-
Psikologis :-
Sosiologis : teman-teman pergerakan Soekarno (“... untuk uang saku suamiku jika ia
berpergian menemui teman-teman pergerakan. Ke rumah Dr. Tjipto, Douwes
Dekker, atau ke rumah Sosrokartono”)
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
13. Tokoh dan
8P. Teoknoho Skuwoarhsiah Dnjojopuspito dan Suwarni
Fisiologis : masih muda
Psikologis : -
Sosiologis : pelajar , orang pergerakan (“Aku memang bukan perempuan student
dan orang pergerakkan seperti Suwarsih Djojopuspito atau Suwarni, perempuan
yang pernah berdebat dengan Kusno dalam sebuah rapat pemuda. ”)
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
8. Tokoh Suwarsih Djojopuspito dan Suwarni
Fisiologis : masih muda
Psikologis : -
Sosiologis : pelajar , orang pergerakan (“Aku memang bukan perempuan student
dan orang pergerakkan seperti Suwarsih Djojopuspito atau Suwarni, perempuan
yang pernah berdebat dengan Kusno dalam sebuah rapat pemuda. ”)
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
9. Tokoh Syahrir, Dr.Tjipto, Sartono, Anwari, Sunario, Maskun dan Gatot
Mangkudipraja
Fisiologis : masih muda
Psikologis : pintar (“Syahrir, anak muda yang pintar dan sering datang ke rumah
kami,...”), bijak dan pandai (“...Dr. Tjipto yang bijak dan pandai,...”)
Sosiologis : teman seperjuangan Soekarno (“Bersama Sartono, Sunario, Anwari,
suamiku tetap dengan keinginannya.”), (“Bersama Kusno, ditangkap juga Maskun
dan Gatot Mangkudipraja. “)
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
9. Tokoh Syahrir, Dr.Tjipto, Sartono, Anwari, Sunario, Maskun dan Gatot
Mangkudipraja
Fisiologis : masih muda
Psikologis : pintar (“Syahrir, anak muda yang pintar dan sering datang ke rumah
kami,...”), bijak dan pandai (“...Dr. Tjipto yang bijak dan pandai,...”)
Sosiologis : teman seperjuangan Soekarno (“Bersama Sartono, Sunario, Anwari,
suamiku tetap dengan keinginannya.”), (“Bersama Kusno, ditangkap juga Maskun
dan Gatot Mangkudipraja. “)
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
14. Tokoh dan
Penokohan
10. Tokoh Husni Thamrin, Muh.Yamin, Amir Syarifudin, Ali Sastroamidjojo,
dan orang-orang pergerakan
Fisiologis :-
Psikologis : *kritis, penuh semangat (“Husni Thamrin dan orang-orang
pergerakkan memprotes penangkapan Kusno yang melanggar hak orang berserikat.
Husni Thamrin dan teman-temannya bahkan mengajukan mosi, mereka protes pada
perlakuan pemerintah.”),
*setia kawan (“Husni Thamrin. Mr Sartono, Muh. Yamin, Amir Syarifudin, Ali
Sastroamidjojo dan teman-teman seperjuangannya, bahkan berbagai organisasi
perjuangan sampai tukang bendi, menyambut kepulangannya.”)
Sosiologis : teman seperjuangan Soekarno
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
10. Tokoh Husni Thamrin, Muh.Yamin, Amir Syarifudin, Ali Sastroamidjojo,
dan orang-orang pergerakan
Fisiologis :-
Psikologis : *kritis, penuh semangat (“Husni Thamrin dan orang-orang
pergerakkan memprotes penangkapan Kusno yang melanggar hak orang berserikat.
Husni Thamrin dan teman-temannya bahkan mengajukan mosi, mereka protes pada
perlakuan pemerintah.”),
*setia kawan (“Husni Thamrin. Mr Sartono, Muh. Yamin, Amir Syarifudin, Ali
Sastroamidjojo dan teman-teman seperjuangannya, bahkan berbagai organisasi
perjuangan sampai tukang bendi, menyambut kepulangannya.”)
Sosiologis : teman seperjuangan Soekarno
Jenis Tokoh : kolektif, riil, pembantu
15. Tokoh dan
1P1. eA.nHaosskanohan
Fisiologis :-
Psikologis : senang berdiskusi perihal agama , baik hati (“Berdiskusi perihal
agama.”...”A. Hassan mengirimkan buku-buku agama untuk suamiku.”,
”...mengirim surat pada A.Hassan dan mendiskusikannya..”)
Sosiologis : teman Soekarno
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
11. A.Hassan
Fisiologis :-
Psikologis : senang berdiskusi perihal agama , baik hati (“Berdiskusi perihal
agama.”...”A. Hassan mengirimkan buku-buku agama untuk suamiku.”,
”...mengirim surat pada A.Hassan dan mendiskusikannya..”)
Sosiologis : teman Soekarno
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
12. Tokoh Hasan Din
Fisiologis :-
Psikologis : baik hati (“Bahkan suatu hari atas tawaran Hassan Din, suamiku
mengajar di sekolah Muhammadiyah.”)
Sosiologis : ayah Fatimah (“Tadi sore Hasan Din kepala sekolah Muhammadiyah
itu bertandang. Membawa istri dan anak gadisnya Fatimah. ”)
Jenis Tokoh : Individual, riil, pembantu
12. Tokoh Hasan Din
Fisiologis :-
Psikologis : baik hati (“Bahkan suatu hari atas tawaran Hassan Din, suamiku
mengajar di sekolah Muhammadiyah.”)
Sosiologis : ayah Fatimah (“Tadi sore Hasan Din kepala sekolah Muhammadiyah
itu bertandang. Membawa istri dan anak gadisnya Fatimah. ”)
Jenis Tokoh : Individual, riil, pembantu
16. Tokoh dan
1P3. eTonkooh kFaotimhaah n
Fisiologis : gadis
Psikologis : -
Sosiologis : anak gadis Hasan Din yang ingin meneruskan sekolahnya (“Fatimah
sudah tidak sekolah lagi, hanya giat di Nasyatul Aisyah di dekat perbatasan
Lubung Linggau dan Bengkulu. Hassan Din ingin menyekolahkan putrinya di
Bengkulu.”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
13. Tokoh Fatimah
Fisiologis : gadis
Psikologis : -
Sosiologis : anak gadis Hasan Din yang ingin meneruskan sekolahnya (“Fatimah
sudah tidak sekolah lagi, hanya giat di Nasyatul Aisyah di dekat perbatasan
Lubung Linggau dan Bengkulu. Hassan Din ingin menyekolahkan putrinya di
Bengkulu.”)
Jenis Tokoh : individual, riil, pembantu
14. 14. Tokoh Tokoh Omi, Omi, Amsi, Amsi, Muhasan. Muhasan. Dan Dan Karmini
Karmini
Fisiologis Fisiologis :-
:-
Psikologis Psikologis : : setia setia (“(“Pagi Pagi hari hari kami kami diberangkatkan diberangkatkan dari dari Bandung Bandung ke ke Surabaya
Surabaya
dengan dengan kereta kereta api. api. Aku, Aku, Omi Omi anak anak angkat angkat kami, kami, ibuku ibuku Amsi, Amsi, dan dan dua dua orang
orang
pembantu pembantu kami kami yang yang setia, setia, Muhasan Muhasan dan dan Karmini. Karmini. Kusno Kusno berada berada di di gerbong gerbong yang
yang
lain. lain. ”)
”)
Sosiologis Sosiologis :anak :anak angkat, angkat, orangtua, orangtua, pembantu
pembantu
Jenis Jenis Tokoh Tokoh : : kolektif, kolektif, riil, riil, pembantu
pembantu
17. Latar
a. Latar Ruang
1. Kamar
(“Inggit berada dalam kamar yang tampak berantakan”)
2. Banjaran, Desa Kamasan
(“Aku lahir di Banjaran, di Desa Kamasan.”)
3. Pasar, alun-alun
(“Di pasar dan di alun-alun, aku selalu menemukan orang-orang yang memberiku persembahan.”)
4. Bandung
(“Dia orang yang cukup kaya di Bandung. Dia pengurus Sarekat Islam di Bandung.”)
5. Sungai Cikapundung
(“Sungai Cikapundung adalah kenangan manisku dengan Kang Uci”)
6. Surabaya
(“Ada surat dari Surabaya, dari Pak Tjokroaminoto untuk suamiku Kang Uci.”)
7. Pemondokan
(“Ada juga pemondokan yang kosong, tapi sudah reyot dan tidak pantas rasanya untuk seorang
a. Latar Ruang
1. Kamar
(“Inggit berada dalam kamar yang tampak berantakan”)
2. Banjaran, Desa Kamasan
(“Aku lahir di Banjaran, di Desa Kamasan.”)
3. Pasar, alun-alun
(“Di pasar dan di alun-alun, aku selalu menemukan orang-orang yang memberiku persembahan.”)
4. Bandung
(“Dia orang yang cukup kaya di Bandung. Dia pengurus Sarekat Islam di Bandung.”)
5. Sungai Cikapundung
(“Sungai Cikapundung adalah kenangan manisku dengan Kang Uci”)
6. Surabaya
(“Ada surat dari Surabaya, dari Pak Tjokroaminoto untuk suamiku Kang Uci.”)
7. Pemondokan
(“Ada juga pemondokan yang kosong, tapi sudah reyot dan tidak pantas rasanya untuk seorang
student”)
student”)
8. Kamar depan
(“Tiba-tiba saja Kang Uci mengatakan tak ada salahnya jika menantu Pak Tjokro itu kami
8. Kamar depan
(“Tiba-tiba saja Kang Uci mengatakan tak ada salahnya jika menantu Pak Tjokro itu kami
tempatkan di kamar depan rumah kami saja.”)
tempatkan di kamar depan rumah kami saja.”)
9. Rumah
(“Kedatangan para student ke rumah kami tentu saja membuat aku selalu sibuk melayani
9. Rumah
(“Kedatangan para student ke rumah kami tentu saja membuat aku selalu sibuk melayani
mereka.”)
mereka.”)
18. Latar
10. Tempat bilyar
(“Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke tempat bilyar.”)
11. Jurang
(“Tiba-tiba sebuah jurang seperti mulai menganga di antara kami...”)
12. Ruang tamu
(“Inggit membenahi piring dan cangkir-cangkir kopi di atas meja bekas, sisa dari sebuah
10. Tempat bilyar
(“Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke tempat bilyar.”)
11. Jurang
(“Tiba-tiba sebuah jurang seperti mulai menganga di antara kami...”)
12. Ruang tamu
(“Inggit membenahi piring dan cangkir-cangkir kopi di atas meja bekas, sisa dari sebuah
pertemuan. Lalu duduk kembali sambil membersihkan peci atau membuat kopi tubruk.”)
pertemuan. Lalu duduk kembali sambil membersihkan peci atau membuat kopi tubruk.”)
13. Sekolah
(“kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke sekolah”)
14. Tengah rumah
(“Banyak malam kami habiskan bercakap-cakap berdua di tengah rumah”)
15. (“Kota Bandung di kelilinginya, juga Ujungberung, Lembang, Cimahi, Padalarang, Yogja,
13. Sekolah
(“kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke sekolah”)
14. Tengah rumah
(“Banyak malam kami habiskan bercakap-cakap berdua di tengah rumah”)
15. (“Kota Bandung di kelilinginya, juga Ujungberung, Lembang, Cimahi, Padalarang, Yogja,
Garut, Semarang, Surabaya, Jakarta, dan banyak tempat di berbagai daerah yang kami
datangi”)
Garut, Semarang, Surabaya, Jakarta, dan banyak tempat di berbagai daerah yang kami
datangi”)
16. Belanda
(“Kongres anti kolonialisme di Brussel yang dihadiri oleh perwakilan Indonesia, penangkapan
16. Belanda
(“Kongres anti kolonialisme di Brussel yang dihadiri oleh perwakilan Indonesia, penangkapan
Mohammad Hatta dan para mahasiswa Indonesia di Belanda, atau peristiwa Sumpah
Pemuda”)
Mohammad Hatta dan para mahasiswa Indonesia di Belanda, atau peristiwa Sumpah
Pemuda”)
17. (“Dalam sebuah pertemuan di rumah Dr. Tjipto, Kusno menyatakan keinginannya untuk
17. (“Dalam sebuah pertemuan di rumah Dr. Tjipto, Kusno menyatakan keinginannya untuk
mendirikan sebuah perkumpulan, sebuah partai yang radikal”)
mendirikan sebuah perkumpulan, sebuah partai yang radikal”)
18. (“Ia dituduh terlibat dalam pemberontakan itu. Ia dibuang ke Pulau Banda. Tempat praktiknya
18. (“Ia dituduh terlibat dalam pemberontakan itu. Ia dibuang ke Pulau Banda. Tempat praktiknya
di Tegallega ditutup.”)
di Tegallega ditutup.”)
19. Jalan
(“Akhirnya aku pulang ke Bandung seorang diri, berdoa sepanjang jalan untuk keselamatan
19. Jalan
(“Akhirnya aku pulang ke Bandung seorang diri, berdoa sepanjang jalan untuk keselamatan
suamiku.”)
suamiku.”)
19. Latar 20. penjara, gerbang penjara
(“Dia sudah dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke penjara Banceuy...”), (“...berdiri di gerbang
penjara,...”)
21. (“Di Volksraad, Husni Thamrin dan orang-orang pergerakkan memprotes penangkapan Kusno yang
melanggar hak orang berserikat.”), (“Dari Negeri Belanda, Perhimpunan Indonesia juga mengirim
telegram.”)
22. Pengadilan
(“Selama beberapa hari dalam pengadilan itu hakim mencecar suamiku dengan berbagai pertanyaan
yang menjebak”)
23.Sukamiskin
(“Dia dipindahkan ke Sukamiskin. Penjara yang letaknya 10 kilometer dari Bandung”)
24.(“Kota-kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah kami jelajahi”)
25. (“Di depan Volksraad pemerintah Hindia Belanda memutuskan pembuangan suamiku ke Ende di
Flores. ”)
26. (“Sungai Cikapundung tempatku kecil dulu bermain, juga Gedung Landraad. ”)
27. (“Setelah menginap semalam di Surabaya, kami dibawa ke pelabuhan Tanjung Perak. Tak disangka
orang penuh sesak , berjejal di pinggil jalan, mereka meneriakkan nama suamiku, ”)
28. (“Suara laut dan lengking kapal.”)
29. (“... suamiku mengajar di sekolah Muhammadiyah”)
30. (“Hari dan pekan kami lewati dengan tenang di Bengkulu. Sering kami seisi rumah berjalan-jalan ke
pantai”)
31. (“Ia sedang menulis sebuah karangan untuk menjawab bantahan A. Muchlis terhadap tulisan
suamiku di suratkabar Pandji Islam di Medan.”)
32. (“Kami dimasukkan ke dalam mobil itu.”)
33. (“Kami dilarikan ke Padang”)
20. penjara, gerbang penjara
(“Dia sudah dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke penjara Banceuy...”), (“...berdiri di gerbang
penjara,...”)
21. (“Di Volksraad, Husni Thamrin dan orang-orang pergerakkan memprotes penangkapan Kusno yang
melanggar hak orang berserikat.”), (“Dari Negeri Belanda, Perhimpunan Indonesia juga mengirim
telegram.”)
22. Pengadilan
(“Selama beberapa hari dalam pengadilan itu hakim mencecar suamiku dengan berbagai pertanyaan
yang menjebak”)
23.Sukamiskin
(“Dia dipindahkan ke Sukamiskin. Penjara yang letaknya 10 kilometer dari Bandung”)
24.(“Kota-kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah kami jelajahi”)
25. (“Di depan Volksraad pemerintah Hindia Belanda memutuskan pembuangan suamiku ke Ende di
Flores. ”)
26. (“Sungai Cikapundung tempatku kecil dulu bermain, juga Gedung Landraad. ”)
27. (“Setelah menginap semalam di Surabaya, kami dibawa ke pelabuhan Tanjung Perak. Tak disangka
orang penuh sesak , berjejal di pinggil jalan, mereka meneriakkan nama suamiku, ”)
28. (“Suara laut dan lengking kapal.”)
29. (“... suamiku mengajar di sekolah Muhammadiyah”)
30. (“Hari dan pekan kami lewati dengan tenang di Bengkulu. Sering kami seisi rumah berjalan-jalan ke
pantai”)
31. (“Ia sedang menulis sebuah karangan untuk menjawab bantahan A. Muchlis terhadap tulisan
suamiku di suratkabar Pandji Islam di Medan.”)
32. (“Kami dimasukkan ke dalam mobil itu.”)
33. (“Kami dilarikan ke Padang”)
20. Latar
34. (“Menyeberangi beberapa sungai besar dengan rakit. Margrib kami sampai di kota kecil
Muko-muko. Para pengawal polisi itu mempersilahkan kami beristirahat di sebuah
pesangrahan.”)
35. (“Kami menemukan dusun kecil dan menginap di sebuah gubuk yang tak terpakai”)
36. (“Tapi kapal yang akan membawa kami itu diserang oleh tentara Jepang dan karam di
dekat Teluk Bayur”)
37. (“Akhirnya kami meninggalkan Padang, menuju Palembang”)
Jelaskan masa kini, masa lampau, masa kini
34. (“Menyeberangi beberapa sungai besar dengan rakit. Margrib kami sampai di kota kecil
Muko-muko. Para pengawal polisi itu mempersilahkan kami beristirahat di sebuah
pesangrahan.”)
35. (“Kami menemukan dusun kecil dan menginap di sebuah gubuk yang tak terpakai”)
36. (“Tapi kapal yang akan membawa kami itu diserang oleh tentara Jepang dan karam di
dekat Teluk Bayur”)
37. (“Akhirnya kami meninggalkan Padang, menuju Palembang”)
Jelaskan masa kini, masa lampau, masa kini
Latar tempat pada naskah monolog
“Inggit” ini lebih banyak menunjukkan
latar geografis karena cerita yang
disampaikan berupa perjalanan hidup
seorang Inggit. Walaupun sebagian ada
yang menunjukkan latar simbolik.
21. Latar
b. Latar Waktu
1. (“Inggit masih muda. Belasan atau Duapuluh tahunan. Memakai pakaian
ronggeng atau yang mengingatkan orang pada penari ronggeng.”)
2. (“Berganti hari dan pekan Kusno makin menjadi bagian dari rumah kami”)
3. (“Tapi aku senang melakukannya, termasuk menyiapkan kopi tubruk
kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke sekolah. “)
4. (“Suatu malam di tengah rumah ketika kami hanya berdua saja, ...”)
5. (“Padahal ini adalah tahun yang berat. ”)
6. (“Hari, pekan, dan bulan kami lewati di pembuangan dengan perasaan yang
ringan.”)
b. Latar Waktu
1. (“Inggit masih muda. Belasan atau Duapuluh tahunan. Memakai pakaian
ronggeng atau yang mengingatkan orang pada penari ronggeng.”)
2. (“Berganti hari dan pekan Kusno makin menjadi bagian dari rumah kami”)
3. (“Tapi aku senang melakukannya, termasuk menyiapkan kopi tubruk
kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke sekolah. “)
4. (“Suatu malam di tengah rumah ketika kami hanya berdua saja, ...”)
5. (“Padahal ini adalah tahun yang berat. ”)
6. (“Hari, pekan, dan bulan kami lewati di pembuangan dengan perasaan yang
ringan.”)
22. Bahasa dan Fungsi Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam naskah drama Monolog
“Inggit” secara umum menggunakan bahasa Indonesia
walaupun terdapat sisipan diksi-diksi bahasa Sunda.
(“Tidak, kasep. Jangan berpikir begitu. Jangan berkecil
hati. Di rumah semuanya beres. Aku masih bisa bekerja
untuk mencari uang. Beres, kasep, beres.”), (“Inggit, geura
dangdos, urang jalan-jalan”)
23. Bahasa dan Fungsi Bahasa
Fungsi Bahasa menurut Halliday
1. Fungsi regulatoris : penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah
laku
(“Tegakkan dirimu, Bung karno! Tegakkan! Ingat semua cita-citamu untuk memimpin
rakyat! Jangan luntur hanya karena cobaan dan penjara! Aku istrimu akan berada di
sampingmu dan akan selalu di sampingmu!”)
2. Fungsi interaksional : untuk saling mencurahkan perasan pemikiran antara seseorang
dan orang lain
(“Kalau begitu. Aku minta pengertian Inggit. Perkawinan kita tak bisa lagi
dipertahankan .Begitu dia bilang. Aku memandangnya dengan tenang, dan kukatakan,
(Inggit melepas gelung rambutnya, membiarkan rambut kini terurai)
Baik. Dan Kus sudah tahu jawabanku sejak di Bengkulu. Kita akhiri ini semua ini
dengan baik-baik”)
3. Fungsi personal : untuk mencurahkan perasaan dan pikiran
(“Dan sebagai perempuan aku sudah menunaikan kewajibanku, mengatakan “Tidak”
pada kemauan seorang lelaki bernama Kusno. Dan demi kata itu, baik aku memilih
kembali ke Bandung. Membawa kembali peti tua ini dan semua harga diriku... ”)
25. a. Visual
Tata Panggung : berbentuk panggung pementasan yang diset properti
seperti di dalam rumah, ada dua kursi dan satu meja yang berfungsi
menunjukkan sebagai ruang tamu, kemudian ranjang yang menunjukkan
kamar. Kemudian bufet yang terdapat pajangan foto Soekarno.
Tata Rias : menggunakan tata rias korektif karena bentuk tata rias nya
bersifat menyempurnakan (koreksi) atau menyembunyikan kekurangan-kekurangan
yang ada pada wajah dan menonjolkan hal-hal yang menarik
dari wajah.
Tata Busana : tokoh Inggit menggunakan kebaya, sanggul dan suntingan
cempaka kuning yang menjadi ciri Inggit berasal dari tanah Pasundan.
Tata Cahaya : sudah baik, cahaya diatur sesuai dengan adegan yang akan
diperankan. Hal ini bertujuan untuk menghadirkan suasana yang dapat
mempengaruhi emosi penonton.
SATU: Panggung Redup
Takdir yang mengatur kata mana yang boleh dan tidak boleh dimiliki oleh
perempuan. (Lampu Redup)
DUA: Panggung terang. Inggit masih muda.....
26. b. Gerak
Gerak pemain sangat bagus sekali karena tokoh
Inggit diperankan oleh pemain yang telah profesional.
Sosok Inggit terwakili oleh Happy Salma yang mampu
menguasai emosional penonton.
27. c. Audio
Musik pembuka adalah musik di awal pementasan drama yang berfungsi untuk
merangsang imajinasi penonton dalam memberikan sedikit gambaran tentang pertunjukan
yang akan di sajikan, atau bisa juga untuk pengkondisian penonton. (“SATU: Panggung
Redup (Intro) Musik kecapi suling, sayup-sayup,.....lalu terdengar suara seseorang
seperti membacakan dongeng.”)
Musik pengiring : (“Inggit masih muda. Belasan atau Duapuluh tahunan. Memakai
pakaian ronggeng atau yang mengingatkan orang pada penari ronggeng. Musik
sayup.”)
Musik Suasana musik yang menghidupkan irama permainana serta suasana dalam
pertunjukan baik senang maupun gembira, sedih, tragis. (Suara Pidato Soekarno),
(Panggung gelap, lalu cahaya masuk, redup. Inggit berdiri, diperutnya terikat buku,
kue-kue nagasari yang isinya terbuka dan setengah terbuka.), (Lampu
redup bersamaan dengan suara Soekarno membacakan teks Indonesia Menggugat),
“Baik. Dan Kus sudah tahu jawabanku sejak di Bengkulu. Kita akhiri ini semua ini dengan
baik-baik”(Musik Sunda, kecapi suling yang liris menyayat)
Musik penutup: musik kecapi suling
c. Audio
Musik pembuka adalah musik di awal pementasan drama yang berfungsi untuk
merangsang imajinasi penonton dalam memberikan sedikit gambaran tentang pertunjukan
yang akan di sajikan, atau bisa juga untuk pengkondisian penonton. (“SATU: Panggung
Redup (Intro) Musik kecapi suling, sayup-sayup,.....lalu terdengar suara seseorang
seperti membacakan dongeng.”)
Musik pengiring : (“Inggit masih muda. Belasan atau Duapuluh tahunan. Memakai
pakaian ronggeng atau yang mengingatkan orang pada penari ronggeng. Musik
sayup.”)
Musik Suasana musik yang menghidupkan irama permainana serta suasana dalam
pertunjukan baik senang maupun gembira, sedih, tragis. (Suara Pidato Soekarno),
(Panggung gelap, lalu cahaya masuk, redup. Inggit berdiri, diperutnya terikat buku,
kue-kue nagasari yang isinya terbuka dan setengah terbuka.), (Lampu
redup bersamaan dengan suara Soekarno membacakan teks Indonesia Menggugat),
“Baik. Dan Kus sudah tahu jawabanku sejak di Bengkulu. Kita akhiri ini semua ini dengan
baik-baik”(Musik Sunda, kecapi suling yang liris menyayat)
Musik penutup: musik kecapi suling
28. Analisis Keteguhan Prinsip Perempuan dalam
Naskah Monolog “Inggit” Berdasarkan Teori
FeFmemiinniissmme elahir awal abad ke 20,dipelopori Virginia Woolf
dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own
(1929).
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman),
berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial.
Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender.
Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan
kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan
ekonomi maupun kehidupan sosial dan budaya pada
umumnya.
Feminisme lahir awal abad ke 20,dipelopori Virginia Woolf
dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own
(1929).
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman),
berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan
hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial.
Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender.
Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan
kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan
ekonomi maupun kehidupan sosial dan budaya pada
umumnya.
29. Analisis Keteguhan Prinsip Perempuan dalam
Naskah Monolog “Inggit” Berdasarkan Teori
FeSmejainraihs mselealu diidentikkan dengan para lelaki. History atau
sejarah, biasa diterjemahkan sebagai kisah para lelaki.
Kalaupun ada sejarah yang berbicara tentang perempuan,
selalu berbicara tentang perempuan yang berada di ruang
publik seperti Kartini, Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika.
Seolah-olah dalam ruang domestik tidak ada pahlawan.
Padahal terdapat sesosok pahlawan dari ruang domestik yang
membawa pengaruh besar kepada ruang publik. Dialah Inggit
Garnasih, mantan istri dari Bapak Proklamator Indonesia,
Soekarno.
Sejarah selalu diidentikkan dengan para lelaki. History atau
sejarah, biasa diterjemahkan sebagai kisah para lelaki.
Kalaupun ada sejarah yang berbicara tentang perempuan,
selalu berbicara tentang perempuan yang berada di ruang
publik seperti Kartini, Cut Nyak Dien, atau Dewi Sartika.
Seolah-olah dalam ruang domestik tidak ada pahlawan.
Padahal terdapat sesosok pahlawan dari ruang domestik yang
membawa pengaruh besar kepada ruang publik. Dialah Inggit
Garnasih, mantan istri dari Bapak Proklamator Indonesia,
Soekarno.
30. Analisis Keteguhan Prinsip Perempuan dalam
Naskah Monolog “Inggit” Berdasarkan Teori
FeKmesiunkissesmaaen Soekarno dalam dunia politik dan menjadi presiden
tak lepas dari jasa tangan dingin Inggit Garnasih, tangan lembut
Inggit selalu meneduhkan Soekarno saat ia kelelahan, pemberi
semangat ketika Soekarno merasa putus asa.
Prinsip hidup untuk memertahankan harga diri
(Tersenyum dingin). Banyak sekali sanjungan yang dibuat untuk
perempuan yang mau patuh dan diam pada kemauan lelaki.
Buatku sanjungan itu adalah muslihat. Biarlah aku tak pernah
menjadi wanita utama atau istri utama karena aku telah
mengambil hakku atas kata “Tidak”. Harga diriku tak bisa
ditukar dengan sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun.
Kesuksesaan Soekarno dalam dunia politik dan menjadi presiden
tak lepas dari jasa tangan dingin Inggit Garnasih, tangan lembut
Inggit selalu meneduhkan Soekarno saat ia kelelahan, pemberi
semangat ketika Soekarno merasa putus asa.
Prinsip hidup untuk memertahankan harga diri
(Tersenyum dingin). Banyak sekali sanjungan yang dibuat untuk
perempuan yang mau patuh dan diam pada kemauan lelaki.
Buatku sanjungan itu adalah muslihat. Biarlah aku tak pernah
menjadi wanita utama atau istri utama karena aku telah
mengambil hakku atas kata “Tidak”. Harga diriku tak bisa
ditukar dengan sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun.
31. Analisis Keteguhan Prinsip Perempuan dalam
Naskah Monolog “Inggit” Berdasarkan Teori
FeKmetienguishamn eInggit untuk memperjuangkan haknya
(“Duapuluh tahun aku menemaninya. Mengikutinya ke mana pun.
Tak pernah ada kata lain yang diucapkannya pada kolonialisme,
kecuali kata “Tidak”. Jika ia berani mengatakan “Tidak” pada
kolonialisme, mengapa aku mesti tidak berani mengatakan hal
yang sama ketika Kusno ingin menjadikan aku perempuan sebagai
sebuah koloni lelaki. Apapun alasan yang dipakainya.”)
(“Sebagai istri, tugasku sudah selesai. Dan sebagai perempuan aku
sudah menunaikan kewajibanku, mengatakan “Tidak” pada
kemauan seorang lelaki bernama Kusno.”)
Keteguhan Inggit untuk memperjuangkan haknya
(“Duapuluh tahun aku menemaninya. Mengikutinya ke mana pun.
Tak pernah ada kata lain yang diucapkannya pada kolonialisme,
kecuali kata “Tidak”. Jika ia berani mengatakan “Tidak” pada
kolonialisme, mengapa aku mesti tidak berani mengatakan hal
yang sama ketika Kusno ingin menjadikan aku perempuan sebagai
sebuah koloni lelaki. Apapun alasan yang dipakainya.”)
(“Sebagai istri, tugasku sudah selesai. Dan sebagai perempuan aku
sudah menunaikan kewajibanku, mengatakan “Tidak” pada
kemauan seorang lelaki bernama Kusno.”)