1. PENGUJIAN IMPAK DAN FENOMENA PERPATAHAN
1. Sejarah Pengujian Impak
Sejarah pengujian impak terjadi pada masa Perang Dunia ke 2, karena
ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas yang terjadi pada daerah
lasan kapal-kapal perang dan tanker-tanker. Diantara fenomena patahan
tersebut ada yang patah sebagian dan ada yang benar-benar patah terbeah
menjadi 2 bagian, fenomena patahan ini terjadi terutama pada saat musim
dingin-ketika diaut bebas ataupun ketika kapal sedang berabuh. Dan
contoh yang sangat terkenal tentang fenomena patahan getas adalah
tragedi Kapal TITANIC yang melintasi samudera Atlantik.
Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari
pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan
menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi.
2. Jenis-jenis metode uji impak
Secara umum metode pengujian impak terdiri dari 2 jenis yaitu:
Metode Charpy
Metode Izod
Metode Charpy: Pengujian tumbuk dengan meletakkan posisi spesimen
uji pada tumpuan dengan posisi horizontal/ mendatar, dan arah
pembebanan berlawanan dengan arah takikan.
Gbr1. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan
Izod
2. Metode Izod: Pengujian tumbuk dengan meletakkan posisi spesimen uji
pada tumpuan dengan posisi , dan arah pembebanan serah dengan arah
takikan.
Gbr 2. Ilustrasi skematis pengujian impak.
3. Perpatahan Impak
Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik
maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme
pergeseran bidangbidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet
(ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang
berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme
pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang
rapuh (brittle). Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang
mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat).
3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan
kombinasi dua jenis perpatahan di atas.
Gbr 3. Ilustrasi permukaan patahan (fractografi) benda uji impak Charpy
Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah
temperatur transisi bahan. Temperatur transisi adalah temperatur yang
menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji
pada temperatur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur
3. yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada temperatur tinggi
material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur rendah
material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan
dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana
pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan
dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan
(ingatlahbahwa energi panas merupakan suatu driving force terhadap
pergerakan partikel atom bahan). Vibrasi atom inilah yang berperan
sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap pergerakandislokasi pada
saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin tinggi vibrasi
itumaka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga dibutuhkan
energi yang lebih besaruntuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada
temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit
sehingga pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih
mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang
relatif lebih rendah.
Gbr 4. Efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa material.
4. Patah Getas dan Patah Ulet
Secara umum perpatahan dapat digolongkan menjadi 2 golongan umum
yaitu :
Patah Ulet/ liat
Patah yang ditandai oleh deformasi plastis yang cukup besar, sebelum dan
selama proses penjalaran retak.
4. Patah Getas
Patah yang ditandai oleh adanya kecepatan penjalaran retak yang tinggi,
tanpa terjadi deformasi kasar, dan sedikit sekali terjadi deformasi mikro.
Terdapat 3 faktor dasar yang mendukung terjadinya patah dari benda ulet
menjadi patah getas :
1. Keadaan tegangan 3 sumbu/ takikan.
2. Suhu yang rendah.
3. Laju regangan yang tinggi/ laju pembebanan yang cepat.
Jenis-jenis takikan/ notch yang terdapat pada pengujian impak
Uji Impak
08.04 Mukhamad Aziz 1 comment
Uji impak adalah pengujian dengan menggunakan pembebanan yang cepat (rapid loading). Klo ceritanya titanic itu, si
kapal kan berada pada suhu rendah, sehingga menyebabkan materialnya menjadi getas dan mudah patah. Kemudian
di laut itu kan banyak beban (tekanan) dari arah manapun. Ditambah lagi nabrak gunung es, langsung deh tegangan
yang udah terkonsentrasi karena pembebanan sebelumnya menyebabkan kapalnya terbelah dua..
Pada uji impak terjadi proses penyerapan energi yang besar ketika beban menumbuk spesimen. Energi yang diserap
material ini dapat dihitung dengan menggunakan prinsip perbedaan energi potensial. Tapi klo di mesin ujinya udah
nunjukin energi yang dapat diserap material, ya udah.. ga perlu ngitung manual.
Proses penyerapan energi ini akan diubah menjadi berbagai respon material, yaitu
Deformasi plastis
Efek Hysteresis
Efek Inersia
5. Standar ASTM Uji Impak
Ada dua macam pengujian impak, yaitu
1. Charpy
2. Izod
Perbedaan charpy dengan izod adalah peletakan spesimen. Pengujian dengan menggunkan charpy lebih akurat karena
pada izod, pemegang spesimen juga turut menyerap energi, sehingga energi yang terukur bukanlah energi yang
mampu di serap material seutuhnya.
Faktor yang mempengaruhi kegagalan material pada pengujian impak adalah
Notch
Notch pada material akan menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan pada daerah yang lancip sehingga material
lebih mudah patah. Selain itu notch juga akan menimbulkan triaxial stress. Triaxial stress ini sangat berbahaya karena
tidak akan terjadi deformasi plastis dna menyebabkan material menjadi getas. Sehingga tidak ada tanda-tanda bahwa
material akan mengalami kegagalan.
6. Temperatur
Pada temperatur tinggi material akan getas karena pengaruh vibrasi elektronnya yang semakin rendah, begitupun
sebaliknya.
Strainrate
Jika pembebanan diberikan pada strain rate yang biasa-biasa saja, maka material akan sempat mengalami deformasi
plastis, karena pergerakan atomnya (dislokasi). Dislokasi akan bergerak menuju ke batas butir lalu kemudian patah.
Namun pada uji impak, strain rate yang diberikan sangat tinggi sehingga dislokasi tidak sempat bergerak, apalagi terjadi
deformasi plastis, sehingga material akan mengalami patah transgranular, patahnya ditengah-tengah atom, bulan di
batas butir. Karena dislokasi ga sempat gerak ke batas butir.
Kemudian, dari hasil percobaan akan didapatkan energi dan temperatur. Dari data tersebut, kita akan buat diagram
harga impak terhadap temperatur. Energi akan berbanding lurus dengan harga impak. Kemudian kita akan
mendapakan temperatur transisi. Temperatur transisi adalah range temperature dimana sifat material dapat berubah
dari getas ke ulet jika material dipanaskan.
Temperatur transisi ini bergantung pada berbagai hal, salah satunya aspek metalurgi material, yaitu kadar karbon.
Material dengan kadar karbon yang tinggi akan semakin getas, dan harga impaknya kecil, sehingga temperatur
transisinya lebih besar. Temperatur transisi akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Jika
temperatur transisinya kecil maka material tersebut tidak tahan terhadap perubahan suhu.
Pada percobaan ini, ada 10 sampel, 5 baja dan 5 aluminium. 2 baja dipanaskan dan 2 lagi didinginkan. begitu pula
dengan aluminium.
Dipanaskan. Baja dan aluminium ini dipanaskan dengan menggunakan kompor listrik sampai pada temperatur 200an
derajat celcius. Kemudian sampel ini di beri beban impak dan… hasilnya keempat sampel ini tidak patah seluruhnya,
hanya sebagian. Terjadi pembengkokan pada sampel. Mengapa sampel tidak patah? Hal ini ada pengaruhnya dengan
suhu. Suhu yang semakin tinggi menyebabkan vibrasi elektron semakin tinggi sehingga pergerakan elektron menjadi
semakin bebas. Dan energi untuk melakukan deformasi elastis semakin rendah. Hal inilah yang menyebabkan
spesimen tidak patah, melainkan hanya mengalami deformasi plastis.
Pada temperatur kamar. Spesimen nya gas diberi perlakuan apapun. Langsung diberi beban impak dan spesimen nya
7. patah ulet. Temperatur spesimen lebih rendah dari yang semula, sehingga vibrasi elektronnya lebih rendah dan
menyebabkan material menjadi agak lebih getas jika dibandingkan dengan spesimen awal. Namun spesimen ini belum
getas karena elektronnya masih dapat bergerak hingga deformasi plastis.
Didinginkan. Pada pengujian ini, spesimen didinginkan dengan menggunakan nitrogen cair, hingga mencapai suhu
minus puluhan derajat. Kemudian spesimen diberi beban impak dan terjadi patah getas. Hal ini terjadi karena vibrasi
elektron yang melemah sehingga energi yang dibutuhkan untuk elektron bergeran dan berdeformasi plastis lebih tinggi,
sehingga terjadilah patah getas pada material.
Analisis.
Pada baja dan aluminium terdapat perbedaan harga impak. Harga impak baja lebih tinggi daripada
aluminium menunjukkan bahwa ketangguhan baja lebih tinggi jika dibandingkan
dengan
aluminium. Ketangguhan adalah kemampuan material untuk menyerap energy dan
berdeformasi plastis hingga patah.
Selain suhu, hal lain yang mempengaruhi harga impak suatu material adalah kadar
karbonnya. Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi akan lebih getas. Hal ini akan
mempengaruhi harga impaknya dan temperature transisi. Material yang memiliki kadar
karbon tinggi akan memiliki temperature transisi yang lebih panjang jika dibandingkan
dengan material yang memiliki kadar karbon rendah. Temperatur transisi yang berbeda-
beda ini akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Material yang
memiliki temperature transisi rendah maka material tersebut tidak akan tehan terhadap
perubahan suhu.
Pada pembebanan impak ini, terjadi proses penyerapan energy yang besar.
Penyerapan energy ini akan diubah menjadi berbagai respon material seperti deformasi
plastis, efek hysteresis, dan inersia.
Sebuah system dengan hysteresis menunjukkan „rate-independent memory‟, yaitu
kemampuan suatu material untuk “mengingat” bentuk atau sifat sebelum material tersebut
berubah karena pengaruh gaya dari luar material. Banyak system fisik yang menunjukkan
hysteresis yang alami. Misalnya sebuah besi yang diletakkan pada medan magnet akan
memiliki sifat magnet, bahkan setelah medan magnetnya dipindahkan. Ketika sekali di
magnetisasi, besi tersebut akan tetap memiliki sifat magnet. Untuk menghilangkan sifat
magnetnya, dapat dilakukan dengan menempatkannya pada medan magnet yang arahnya
berlawanan. Efek hysteresis ini biasanya terjadi jika material diberikan beban yang sangat
cepat dan beban tersebut pun dihilangkan dengan cepat.
Efek inersia adalah kemampuan suatu material untuk mempertahankan bentuknya
ketika diberikan gaya. Ketika diberikan pembebanan dengan strain rate yang tinggi material
tersebut tidak sempat untuk mempertahankan bentuknya dan akhirnya patah .
8. KULIAH PENGETAHUAN BAHAN
PENDAHULUAN
MATERIAL : Adalah segala sesuatu yang kita gunakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Contoh : Untuk Pembuatan Produk.
Pembagian Material :
METAL
Contoh : Baja, Al, Kuningan, Cu, dll.
MATERIAL POLIMER
Contoh : Plastik
KERAMIK
Adalah senyawa-senyawa anorganik yang diperoleh dengan perlakuan panas.
Keramik material-material yang tahan pada temperatur tinggi
Contoh : Tembikar
Keterangan : Polimer dan Keramik disebut pula bahan-bahan Non Metal.
Campuran antara metal, polimer dan keramik disebut dengan KOMPOSIT (Material Susun).
Komposit disebut juga dengan Materal Maju, karena dapat disesuaikan dengan keinginan.
Komposit merupakan gabungan dari beberapa material yang dapat didisain sesuai keinginan.
Contoh : MMC (Metal Matrix Composite)
FRP (Fiber Reinffored Plastic)
Arall
Kelompok Metal banyak digunakan dalam bidang Konstruksi.
Kelompok Komposit banyak digunakan dalam bidang industry Pesawat Terbang.
Catatan : Dalam penggunaanya, yang dimanfaatkan dari material adalah SIFAT-SIFATNYA (Properties).
9. SIFAT-SIFAT MATERIAL
Sifat-sifat material :
SIFAT FISIK (Physical Properties)
Adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh material tersebut ,“inherent”, atau merupakan ciri khas material tersebut.
Contoh : - Titik Cair - Panas Jenis
Masa Jenis - Konduktivitas Panas
Tahanan Listrik - Ketahanan Korosi
Ketahanan pada temperatur tinggi, dll.
Catatan : Jika kita ingin merubah ketahanan korosi suatu material, maka kita harus merubah sifat fisik material
tersebut.
SIFAT MEKANIK (Mechanical Properties)
Adalah sifat-sifat dari bahan yang berkaitan dengan kelakuan (behavior) terhadap pembebanan mekanik.
Contoh : - Kekuatan (strength) - Kekerasan (hardness)
Ketangguhan (toughness) - Keuletan (Ductile)
Medulus Elastisitas - Ketahanan Lelah
Ketahanan Aus, dll.
SIFAT TEKNOLOGI (Engineering Properties)
Adalah sifat-sifat dari bahan yang berkaitan dengan kemudahan bahan untuk diproses atau mampu (ability) untuk
diproses.
Contoh : - Mampu Cor (cast ability) - Mampu Las (weld ability)
Mampu Mesin (machine ability) - Mampu Bentuk (form ability)
Dilapangan tidak semua material memiliki sifat-sifat yang baik sesuai keinginan, sehingga untuk memperoleh material
yang baik dapat dilakukan dengan cara memadukan material yang satu dengan yang lain, melalui proses perlakukan
panas.
Catatan : Sifat-sifat material akan berubah jika temperatur berubah.
Sifat-sifat material dipengaruhi oleh :
Temperatur Kerja
Komposisi Kimia
10. Struktur Mikro, menyatakan konfigurasi/fasa. Jika fasa berubah sifat material berubah (bahasan selanjutnya).
Untuk mengetahui sifat-sifat bahan, maka harus dilakukan pengujian terhadap bahan. Dalam hal ini adalah pengujian
material logam.
Secara umum pengujian logam dibagi menjadi 2 cara :
Pengujian yang tidak merusak, Non Distructive Test (NDT)
Pengujian yang merusak, Distructive Test (DT)
Evaluasi sifat-sifat logam difokuskan pada pengujian merusak pada Sifat Mekanik.
PENGUJIAN LOGAM
Untuk mengetahui sifat-sifat Mekanik, perlu dilakukan pengujian berdasarkan pembebanan mekanik.
Dari definisi diperoleh bahwa “beban mekanik” terdiri dari :
Beban Statik, beban yang tidak dipengaruhi oleh waktu, artinya beban yang bekerja tetap tidak berubah.
Beban Dinamik, beban yang berfluktuasi, berubah-ubah, terhadap waktu.
Sifat-sifat mekanik dievaluasi berdasarkan ke dua beban tersebut, dan atas dasar jenis beban tersebut maka dapat
dikelompokkan beberapa jenis pengujian, yaitu :
PENGUJIAN BEBAN STATIK :
Uji Tarik (Tensile Test)
Uji Tekan (Compressive Test)
Uji Puntir (Torsion Test)
Uji Lentur (Bending Test)
Uji Keras (Hardness Test)
Uji Impact (Impact Test)
Uji Mulur, : - Pada temperatur kamar, Creep Test.
- Pada temperatur tinggi, Stress Rupture Test.
PENGUJIAN BEBAN DINAMIK :
Uji Lelah (Fatique Test)
Dalam praktek pengujian didasarkan pada 2 kriteria :
Memilih jenis pengujian mana yang memberikan lebih banyak informasi tentang sifat material
Berdasarkan tuntutan disain.
11. UJI TARIK (TENSILE TEST)
Tujuan : Untuk melihat respon bahan terhadap beban tarik. Artinya kita harus dapat mengamati apa yang terjadi
pada Bahan (specimen) apabila material tersebut dibebani dengan beban tarik.
Pelaksanaan : Dilakukan pada suhu kamar, karena pada temperatur kamar mudah untuk dilakukan.
Alat Uji : Mesin Uji Tarik (Tensile Testing Machine)
Fungsi Mesin Uji Tarik :
Harus mampu memberikan beban tarik
Harus mampu mencatat pertambahan panjang yang terjadi akibat adanya beban tarik.
Bentuk-Bentuk Benda Uji / Specimen :
Bentuk benda uji secara umum dibagi menjadi 2 jenis :
Pelat
Profil : - Rod,
Profil I,
Profil C, dikategorikan ke dalam Plat.
Profil L,
Bentuk benda Uji Rod Bentuk Benda Uji Plat
12. Jika specimen dari plat, maka specimen tersebut harus sejajar dengan arah pengerolan plat, karena pengerolan akan
menghasilkan harga yang maximum.
Rasio perbandingan Lo terhadap do, disebut Rasio Kerampingan (Slenderness Ratio)
Lo/do=5 ……………………………………….. Slenderness Ratio
Prinsip Pengujian :
Pengujian dilakukan sampai benda kerja putus
Jika specimen putus, harus berada pada daerah Panjang Uji (Lt)
Selama Pengujian Tarik berlangsung, volume = konstan, dan dianggap luas penampang benda uji konstan (A=c)
Mekanisme Pengujian :
Setiap ada beban senantiasa ada penambahan panjang sebesar L.
Jika gaya (F) semakin besar maka L semakin besar pula. Dari kenyataan ini maka mesin Uji Tarik akan mencatat
hubungan antara gaya dan pertambahan panjang (F dan L) dalam bentuk diagram.
Catatan : Pemberian beban harus sedemikan rupa sehingga pemberian beban serendah mungkin, dengan maksud
criteria static dapat dipenuhi.
Dari Diagram F - ∆L yang dihasilkan, terdapat dua jenis segmen garis :
13. Segmen garis Linear
Segmen garis tidak Linear (curvature)
Dalam praktek, diagram tarik ini hasilnya berbeda-beda untuk setiap logam, sehingga kita dapat membedakan mana
logam yang ulet (ductile) mana logam yang getas (brittle).
Interprestasi : Sepanjang hubungan linear maka setiap pembebanan akan menghasilkan perubahan temporer /
sementara atau mengalamai “Deformasi Elastis”.
Artinya, benda uji bertambah panjang selama beban diterapkan, jika beban dihilangkan benda uji kembali ke bentuk
semula.
Makin besar F, maka ∆L makin besar.
Batas maksimum dimana hubungan F dan ∆L linear dikenal dengan titik P (proporsional).
∆L yang bersifat sementara disebut dengan “∆L elastis”.
Jika pembebanan terjadi diatas titik P, maka pada saat beban F dihilangkan, ∆L bersifat tetap.
Panjang specimen setelah ditarik sampai dengan titik x, dan setelah beban dihilangkan menjadi :
Dari diagram F - L, belum terbaca sifat logam yang diuji.
Agar sifat logam yang di uji dapat dibaca, diagram F - L harus diubah menjadi diagram - e (Tegangan – Regangan).
Dimana :
σ= F/Ao σ = Tegangan Tarik (Kg/mm2)
Ao = Luas penampang awal
e= ∆L/Lo e = regangan
Lo = Panjang
Kesimpulan :
14. Diagram -e mirip dengan diagram F- L
Alasan diubah ke dalam bentuk diagram -e karena erat hubungan dengan harga L/do = 5.
Pembacaan Sifat Material
Didaerah Elastic (hubungan -e linear)
= E.e, dimana : E = tg. = Modulus Elastisitas
= E.e,--------------- Hukum HOOKE
(Hukum Hooke hanya bekerja di daerah Elastis)
e
Hubungan Modulus Elastisitas (E) dengan sifat material :
E dipakai sebagai ukuran KEKAKUAN (RIGIDITY)
Artinya : Makin besar berarti material yang di uji makin kaku ( >> E)
Makin kecil berarti material yang di uji tidak kaku (E<<)
Pada kenyataannya titik P bukan batas elastis. Pada beberapa diagram dapat dilihat pada umumnya batas elastis sulit
ditentukan dan tertletak diatas titik P.
Untuk mengatasinya adalah dengan beberapa kriteria :
Jika batas elastis tidak dapat ditentukan, maka dibuat suatu batas dengan metode yang disebut METODA OFF-SET.
Pengganti batas elastis adalah suatu beban dimana jika beban tersebut dihilangkan maka benda kerja akan
mengalami perpanjangan tetap sebesar 0,2% dari panjang semula (0,2% x Lo)
Misal : Lo = 10 cm = 100 mm
∆L = 0,2 % . Lo
= 0,2 % . 100
= 0,2 mm
15. Semua bahan-bahan / produk yang dihasilkan, pembuatannya harus berada dibawah batas elastis (dalam daerah
elastis).
Titik U menunjukkan beban maksimum yang masih dapat ditahan oleh benda kerja, juga menyatakan Kekuatan Tarik
logam yang bersangkutan.
Dalam praktek harga yang ada adalah : u, y, E.
Hubungan regangan (e) dengan Sifat Material :
Jika e semakin besar, maka material tersebut adalah material Ulet (ductile).
Jika e semakin kecil maka material tersebut adalah semakin getas (brittle).
Arti luas di bawah kurva :
Besar kecilnya luas dibawah kurva menunjukkan ukuran ketangguhan (TOUGHNESS), yaitu besarnya energy yang
diperlukan untuk mematahkan specimen. Makin besar kurva, maka energy yang diperlukan untuk mematahkan
specimen semakin besar yang berarti material ulet.
JIka harga e diatas 200% maka material tersebut disebut material Super Plastik.
Jika pembebanan diberikan disebelah kiri u (sebelum titik u), maka pada benda kerja terjadi perubahan Homogen
(Uniform), kemudian pada saat mencapai titik U (ultimate), pada saat itu terjadi perubahan yang tidak homogen
(Terjadi perubahan setempat).
Jika Af sangat kecil, maka matrial Ulet
Jika Af sangat besar, maka material getas
Sehingga, pengecilan penampang, , (Reductioan of Area) :
16. φ= (Ao-Af)/Ao x 100%
Kecil, berarti material Ulet
Besar, berarti material getas.
Sifat material dapat dilihat dari harga e, ketangguhan dan
Dalam penggunaan praktek pembebanan yang diberikan terhadap komponen mesin harus senantiasa berada dibawah
batas luluh. Dengan demikian pembebanan yang berada didaerah elastis, yang didefinisikan sebagai Tegangan Boleh
( b), allowable stress.
= σu/n < y ---------------------------------- n = Faktor keamanan statik
Kurva - e teknis, dengan assumsi A = konstan selama proses penarikkan.
Tetapi, jika diperhitungkan terhadap A sebenarnya maka akan diperoleh kurva - e sebenarnya.
tr = (1 + e)
= ln (1+e)
Jika dikaitkan dengan persamaan matematika, maka diagram tr- memenuhi persamaan alir :
= K. n n = koefisien kerasregan
(Strain hardening coef.)
Pada daerah elastis, n = 1
Pada titik Ultimate, n =
Pada hk Hooke berlaku hanya pada daerah elastis.
Pada daerah plastis harga n berkisar 0 ~ 1.
Fenomena-fenomena pada saat Uji Tarik berlangsung.
Jika specimen berbentuk Pelat di uji tarik, selama proses penarikkan terutama setelah melewati y, maka akan
terlihat garis slip.
Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu material dibebani diatas y maka akan terjadi deformasi plastis (perubahan
yang tetap) dengan mekanisme Geser (Shear).
Jika melakukan uji tarik, ditarik sampai y kemudian F dilepaskan, maka akan diperoleh perpanjangan yang sifatnya
plastis.
Jika dari kondisi ini specimen tersebut ditarik kembai maka y akan naik.
Besar kecilnya y sangat tergantung pada besar kecilnya deformasi plastis yang dialami oleh benda kerja. Kenaikkan
y akan diikuti pula oleh kenaikkan kekerasan bahan tersebut.
Fenomena ini disebut STRAIN HARDENING
17. Jika suatu specimen diuji tarik sampai beban diatas y, kemudian beban dilepas lalu tekan kemudian ditarik kembali
sampai membentuk LOOP, hal ini di sebut HYSTERESIS.
Jika suatu bahan kurva Hysteresis besar/luas, berarti material tersebut memiliki daya redam yang baik.
Dari permukaan patah (fracture area) specimen uji akan dapat terlihat bentuk patahan ulet (ductile fracture) dan
patahan getas (brittle fracture).
18. UJI KERAS (HARDNESS TEST)
Tujuan : Untuk mengevaluasi kekerasan suatu logam / material
Dilakukan dengan 3 cara :
Cara Perbandingan / Goresan
Cara Dinamik
Cara Penekanan / Penusukan
Cara Perbandingan / Goresan
Uji keras dengan cara ini dilakukan dengan jalan menggoreskan logam satu dengan yang lain, dan benda kerja yang
tergores disebut benda kerja yang lebih lunak.
Kemudian cara ini ditabelkan oleh MOHS dengan harga 1 ~ 10.
Skala Mohs 1 = Material sangat lunak (Talk)
Skala Mohs 4 ~ 8 = untuk kekerasan logam
Skala Mohs 10 = Material sangat keras (Intan)
Skala Mohs ini banyak dipakai dalam bidang Geologi, Geodesi dll.
Skala Mohs tidak pernah dipakai dalam bidang teknik mesin karena variasi kekerasan yang sangat sempit.
Cara Dinamik
Cara ini menggunakan prinsip tumbukkan (Collision).
Prinsip : Bola baja dijatuhkan dari ketinggian tertentu sehingga menumbuk permukaan specimen, akibat tumbukan
bola baja akan terpantul kembali.
Tinggi rendahnya pantulan menunjukkan kekerasan suatu logam.
Jika pantulan tinggi berarti material keras atau sebaliknya.
Alat uji ini disebut SHORE SCLEROSCOPE
Pengujian dengan cara ini dilakukan berulang-ulang ditempat yang berbeda pada specimen.
Ketelitian pengukuran sangat bergantung pada :
Banyak sedikitnya pengujian
Kebersihan permukaan
Kekasaran permukaan
Kerataan permukaan
(Sumbu bola jatuh harus tegak lurus pada permukaan specimen)
19. Cara ini banyak dipakai dalam praktek untuk mengukur logam yang sedang berfungsi. Juga dapat dipakai dalam
perawatan (masuk toleransi) karena alat sangat sederhana.
Cara Penekanan / Penusukkan
Metoda BRINELL
Prinsip : Dengan menerapkan penetrator / penekan berupa bola baja dengan diameter, D, terhadap benda kerja yang
akan di uji kemudian ditekan.
Uji Brinell memilih besarnya beban penekan, P, sedemikian sehingga pada permukaan benda kerja diperoleh bekas
penekanan.
Besarnya P harus melebihi y dari benda kerja.
Dengan kenyataan ini tujuan uji keras menjadi suatu cara untuk mengetahui ketahanan material terhadap deformasi
Plastis.
Hal-hal yang distandarkan dalam uji keras Brinell :
Kekerasan Bola Baja
Harga beban P. (kg) Untuk bahan baja P = 30.D2
Untuk bahan non baja P = 5.D2
Dengan diameter D= 10mm, 7mm, 1,19mm
Harga kekerasan Brinell, HBN :
HBN = P/A (kg/mm2), P = beban (kg)
A = Luas Penampang (mm2)
20. HBN = P/(πD/2 [D-√((D^2-d^2 ) )] ) ,
D = Diamater Bola Baja (mm)
d = Diamater bekas penekanan
Dari persamaan HBN, terlihat harga kekerasan Brinell memiliki satuan yang sama dengan kekuatan Tarik. Antara
kekerasan dan kekuatan tarik erat hubungannya, yaitu jika material kuat berarti kekerasan tinggi.
Untuk baja berlaku hubungan : u = 0,3 HBN
Kelemahan Uji Brinell :
Uji Brinell tidak bisa dipakai untuk mengukur material-material yang sangat keras (diatas 400 HBN) karena bola baja
akan mengalami FLATTENING.
Uji Brinell tidak dapat mengukur material yang sangat lunak, karena akan menimbulkan aliran material disekitar
benda kerja disekeliling penetrator.
Metoda VICKERS
Prinsip : Sama dengan prinsip pengukuran cara Brinell, hanya penetrator yang digunakan berupa Piramid Intan dengan
sudut puncak 136o.
d = (d1+d2)/2
Harga kekerasan Vickers, HVN :
HVN = P/A (kg/mm2), A = Luas Penampang, mm2
A = d^2/(2 sin〖〖68〗^o 〗 ) = d^2/(2 .0,92)
21. P = Gaya penekanan, kg
d = Diameter rata-rata bekas penekanan, mm
Maka : HVN = 1,8 P/d^2
Dengan bentuk penetrator ini maka beban yang diuji dapat divariasikan dengan skala mikro sampai makro.
Beban P, yang termasuk skala mikro : 25 gr, 50 gr, 100 gr
Beban P, yang termasuk skala makro : beban diatas 100 gr, max 100 kg.
Cara pengukuran yang mirip dengan cara Vickers adalah KNOOP.
Perbedaannya adalah pada penetratornya. Penetrator Knoop mempunyai bidang alas Belah Ketupat.
HKN = 1,5 P/d^2 kg/mm2
Baik Vickers maupun Knoop pengukuran kekerasan hanya dilakukan di laboratorium, dan permukaan yang akan diuji
harus bersih, halus betul-betul rata.
Metoda ROCKWELL
Pada uji keras Rockwell digunakan 2 jenis pembebanan :
Beban Minor (10 kg)
Beban Mayor ( 60 kg, 100 kg, 150 kg), tergantung pada skala Rockwell dan penetrator yang dipakai.
Pada prinsipnya kekerasan Rockwell adalah merupakan perbedaan kedalaman akibat pembebanan Mayor dan Minor.
Pada uji keras Rockwell skala yang dipakai adalah skala:
Skala A (HRA), Skala B (HRB), Skala C (HRC) ……………..Skala N (HRN)
Dalam ilmu logam uji keras Rockwell banyak menggunakan skala A, B dan C.
Skala A (HRNA)
Beban Minor : 10 kg
Beban Mayor : 60 kg
Penetrator : Kerucut Intan, sudut puncak 120o
Penggunaan : Logam-logam yang keras
Skala B (HRNB)
Beban Minor : 10 kg
Beban Mayor : 100 kg
Penetrator : Bola Baja, diameter D = 1/16”
Penggunaan : Logam-logam yang lunak
Skala C (HRNC)
22. Beban Minor : 10 kg
Beban Mayor : 150 kg
Penetrator : Kerucut Intan
Penggunaan : Logam-logam yang keras hasil hasil perakukan panas
UJI IMPACT (IMPACT TEST)
Tujuan : Untuk mengevaluasi bahan jika mendapat pembebanan tiba-tiba. Suatu material akan mengalami patah
getas / patah ulet akibat pembebanan yang tiba-tiba. Pembebanan yang tiba-tiba dapat diartikan sebagai suatu
pembebanan dengan kecepatan regang yang tinggi.
Prinsip : Menggunakan prinsip bandul (pendulum)
Bandul dengan berat mg dibenturkan terhadap benda kerja sampai patah.
Ukuran / Bentuk Benda Kerja :
Bentuk Notch
yang umum :
Bentuk Notch
yang lain :
a, b, c = standard
55, 10, 10,7
Posisi benda kerja terhadap datangnya bandul menentukan jenis metoda Uji Impact. Terdapat 2 jenis metoda Uji
23. Impact, yaitu :
Metoda IZOD (dari Inggris) 2. Metoda CHARPY (dari Amerika)
Posisi specimen berdiri posisi specimen horizontal
Besarnya usaha yang digunakan untuk mematahkan specimen adalah :
U = mg (h-h‟)
Jika sangat besar maka bandul setelah mematahkan specimen akan terus bergerak sehingga diperoleh ketinggian
h‟.
Jadi Harga Impact (HI) pada suatu bahan adalah :
HI= U/A dimana : U = Usaha
A = Luas Penampang dibawah takikan (b x c)
Jika HI besar maka bahan tersebut dikelompokkan sebagai bahan Ulet, sedangkan jika HI kecil maka bahan
dikelompokkan bahan Getas.
Keuletan atau kegetasan suatu bahan dapat dilihat dari hasil Uji Tarik dengan melihat harga Elongation (pengecilan
penampang). Dismping itu HI erat kaitannya dengan Usaha yang dipakai untuk mematahan specimen. HI dapat pula
diperkirakan denga harga ketangguhan suatu bahan (toughness) yang diperoleh dari hasil Uji Tarik.
Uji Impact dapat dilakukan pada rentang Temperatur, T, yang berbeda-beda.
Semakin besar temp., maka HI semakin besar Material Ulet.
Semakin kecil temp., maka HI kecil
Material Getas.
Semakin material akan berubah dari ulet menjadi getas, jika temperatur berubah-ubah dari tinggi kerendah.
Suatu rentang temperature, dimana HI-nya berubah drastic disebut TEMPERATUR TRANSISI. Dalam praktek
24. penggunaan suatu bahan pada suatu temperatur harus senantiasa diatas Temperatur Transisi agar material tidak
berubah-ubah menjadi getas
Ada beberapa jenis material yang tidak mempunyai Temperatur Transisi, mislnya Baja Carbon tahan karat Austenitik
dan alumunium.
Material yang tidak mempunyai Temp. Transisi dapat digunakan pada temperature yang sangat rendah.
Material yang dapat dipakai pada temperature rendah disebut CRYOGENIC, sehingga keuletannya tetap.
Pengujian HI pada beberapa literature di sebut dengan Uji Tarik (Notch). Notch digunakan agar pada Takikan
tersebut terjadi konsentrasi tegangan yang tinggi sehingga jika material patah akan terjadi pada bagian
berkonsentrasi tinggi.
UJI MULUR
Uji mulur jika dilakukan pada temperature kamar disebut CREEP TEST, jika dilakukan pada temperature tinggi
disebut STRESS RUPTURE TEST.
Prinsip : Benda kerja dibebani oleh suatu beban yang konstan sehingga benda kerja tersebut akan bertambah
panjang. Pengujian dilakukan sampai benda kerja putus.
Keterangan :
Bagian I : Perpanjangan sesaa (instantaneous elongation)
Pepanjangan ini diperoleh setelah Benda Kerja dibeban oleh Beban F
Bagian II : Daerah kecepatan regang (kecepatan perpanjangan) yang dilakukan.
Artinya dengan adanya beban tadi akibat bertambah panjang, dan luas penampang mengecil, maka tegangan yang
25. terjadi pada benda kerja membesar akibatnya perpanjangan bertambah panjang
Bagian III : Daerah Stedy state
Dimana kecepatan perpanjangan sebanding dengan naiknya kekerasan. Pada akhir steady state ( C ), penampng
benda kerja sudah kecil sehingga masuk ke bagian IV. Kecepatan perpanangan menjadi lebih tinggi karena sudah
tidak dapat diatasi oleh kenaikkan kekerasan dan akhirya putus di titik F.
Uji Creep memakan waktu, t, yang lama tergantung besar-kecilnya gaya F.
Catatan : Diagram atas ( , , , ), dapat dialami oleh satu material dengan 1 beban tetapi Temperatur, T, pengujian
diubah-ubah.
Kesimpulan: Untuk komponen-komponen yang mengalami pembebanan yang tetap diusahakan agar pembebanan
terjadi pada daerah Steady State. Material-material supaya tahan Creep harus memiliki “BUTIR” yang besar.
Pengujian-pengujian seperti diatas adalah pengujian yang lazim dipergunakan, tetapi ada pula pengujian yang
dilakukan secara khusus.
UJI LELAH
Uji Lelah menghubungkan antara beban ( ) dengan jumlah siklus (N). (Jumlah dimana specimen putus)
26. Semua Pembebanan dibawah garis /Batas Lelah, maka material tidak akan patah. Dalam praktek semua pembebanan
dinamis harus berada dibawah Batas Lelah ( e), sehingga :
σ_b= σ_U/n< σ_e Dimana : n = Faktor kemanan dinamik
b = Allowable Strees / Tegangan Boleh
Beberapa cara penempatan Beban Dinamik :
Cara Vertikal : Cara Rotary Bending :
Berdasarkan cara pembebaban dinamik, maka jenis mesin uji lelah terbagi 2 :
Mesin Uji Lelah Vertikal
Mesin Uji Lelah Rotary Bending
Catatan :
Sifat-sifat logam terbagi 3 :
Sifat Fisik
Sifat Mekanik
Sifat Teknologi
Yang mendasari sfat-sifat logam adalah „ATOM‟.
TEORI ATOM
Atom terdiri dari electron (e) yang bergerak mengelilingi inti pada lintasan tertentu. Dari teori ini maka dalam
praktek ada jenis logam yang di magnet dan tidak dapat di magnet.
Inti suatu atom terdiri dari PROTON yang bermuatan Positif dan NEUTRON yang bermuatan Netral sedangkan
ELEKTRON bermuatan Negatif , sehingga dari perbedaan muatan ini timbul gaya tarik elektrostatik.
Pada hakekatnya suatu atom adalah netral, artinya bahwa jumlah proton = jumlah electron. Atas dasar ini
didefinisikan nomor atom. Nomor atom dikaitkan dengan jumlah electron yang mengelilingi inti.
Massa suatu atom identik dengan massa inti, artinya massa electron dibanding dengan massa inti dapat diabaikan.
Makin banyak electron makin banyak lintasan. Maka atas dasar ini diturukan suatu teori KUANTUM yang menyatakan
bahwa tiap-tiap lintasan memiliki energy tertentu, arah putaran tertentu (spin) dengan jumlah e tetentu dalam tiap-
27. tiap lintasan.
Sifat-sifat atom diuraikan sebagai berikut :
Lintasan-lintasan yang paling bawah harus diisi terlebih dahulu sebelum lintasan lain diisi kecuali pada unsur-unsur
transisi.
Jumlah e pada lintasan yang terluar menentukan sifat atom tersebut.
Atas dasar ini maka dikenal teori MENDEYEV. Oleh Mendeleyev sifat atom yang terluar ditabelkan yang dikenal
dengan Daftar Periodik.
Unsur-unsur pada 1 golongan/kolom memiliki jumlah e dikulit terluar yang sama sehingga memiliki sifat-sifat yang
sama pula.
Dari teori Oktet diketahui bahwa jumlah e dikulit terluar = 8. Unsur dengan jumlah e tersebut merupakan unsur stabil
(gas Mulia).
Kesimpulan : Pada unsur-unsur yang reakif akan cenderung mengupayakan agar jumlah e dikulit terluar = 8, maka
dengan demikian terjadi ikatan atom (atomic boundary). Yang membatasi upaya untuk memperoleh 8e antara ion
adalah factor geometri (diameter atom).
Berdasarkan upaya untuk menjadi 8e dikulit terluar maka ikatan atom terdiri dari 2 jenis :
Ikatan Primer (Ikatan Kuat)
Ikatan Ion
Ikatan Kovalen
Ikatan Logam
Ikatan Sekunder (Ikatan Lemah)
Ikatan Van der Waals
IKATAN ION (IKATAN ELEKTROVALEN)
Adalah ikatan yang diakibatkan karena adanya gaya elektrostatis antar atom-atom yang bergerak.
Contoh : Na dengan Cl NaCl
11Na 1s2 2s22p6 3s1 Na+ 1s2 2s22p6 (8, stabil)
17Cl 1s2 2s22p6 3s23p5 Cl- 1s2 2s22p6 3s23p6 (8, stabil)
Na • + Cl Na+ + Cl -
28. 11Na+ 17Cl- NaCl
Untuk stabil Na akan menyumbangkan 1e ke Cl, sehingga Cl bermuatan , sedangan Na akan bermuatan . Akibatnya
antar muatan yang berinteraksi akan timbul gaya elektrostatik.
Material-material yang terbentuk karena ikatan ion akan merupakan bahan yang berbentuk Isolator (konduktivias
listrik rendah), karena tidak ada electron bebas, seperti: Oksida dan Sulfida.
Sifat-sifat produk hasil ikatan Ion: bersifat Isolator
Titik Cair tinggi (Tc, Al=660oC; Al2O3=1600oC)
IKATAN KOVALEN (IKATAN HOMO POLAR)
Adalah suatu ikatan yang terjadi akibat penggunaan e secara bersama-sama. Elektron yang dipakai dalam ikatan
dapat melibatkan semua e yang ada alam ikatan disebut Ikatan Kovalen Penuh. Sedangkan jika salah satu e yang
dipakai dalam ikatan disebut Ikatan Kovalen Tidak Penuh.
Contoh Ikatan Kovalen Penuh :
Intan : Hasil dari kumpulan (cluster) atom-atom yang berikatan satu dengan yang lain sehingga konfigurasi e kulit
terluar = 8
Atom H : Untuk menjadi stabil harus memiliki konfigurasi e seperti atom He (meiliki 2e pada kulit terluar)
1H 1s1 + 1H 1s1 H2 (g)
Dalam beberapa literature ikatan seperti terjadi pada Hidrogen disebui Ikatan homogen. Pada ikatan Kovalen Penuh
semua e digunakan dalam ikatan, maka hasil ikatan Kovalen Penuh juga berupa Isolator. Sifat ikatan sangat kuat,
dalam pegertian fisik produknya selain memiliki Tc (titik cair) yang tinggi juga kekarasnnya tinggi (skala Mohs,
Kekerasan Intan = 9).
Contoh Ikatan Kovalen Tidak Penuh :
Grafit, tersusun dari atom-atom C yang membentuk ikatan Kovalen tidak penuh, akibatnya :
Grafit akan menjadi konduktor pada arah dimana e tidak dipakai dalam ikatan.
Grafit kekuatanya turun pada arah dimana e tidak dipakai dalam ikatan.
29. IKATAN LOGAM
Umumya pada unsure-unsur Transisi, dimana e-nya dapat mengisi kulit terluar, meskipun jumlah e pada bagian dalam
belum terisi Penuh.
Dengan demikian Ikatan Logam = Ikatan Kovalen, dimana melibatkan penggunaan e secara bersama-sama, tetapi
karena adanya sifat Transisi maka sebagian e masih bebas bergerak.
Produk yang disusun dari ikatan Logam akan bersifat Konduktor, akan tetapi kekuatannya relative lebih kecil dari
ikatan Ion dan Kovalen.
IKATAN VAN DER WAALS
Terjadi karena efek polarisasi, sehingga kekuatannya sangat lemah.
Timbulnya ikatan atom tidak lain agar konfigurasi e dikulit terluar memenuhi unsur-unsur gas Mulia. Dengan demikian
setiap atom-atom disebelah kiri gas Mulia mengupayakan agar memperoleh konfigurasi seperti gas Mulia.
Dalam praktek atom-atom tersebut dapat mengikat atom-atom sejenis (H–H, Fe-Fe,...) atau dengan atom-atom yang
tidak sejenis (C-O, C-H, …….). Dalam kaitan dengan karakter logam maka ikatan atom yang sejenis (Fe-Fe, ….) yang
dipakai.
Jumlah atom yang diikat dibatasi oleh factor geometri. Jumlah bilangan yang mengelilingi atom yang bersangkutan
disebut Bilangan Kordinasi (Ligarcy)
Khusus untuk Logam Bilangan Kordinasinya adalah 8 atau 12.
Lintasan e dikulit terluar yang bersinggungan (Diameter Atom).
Susunan Atom Logam
Dengan adanya ikatan atom dan aspek-aspek bilangan kordinasi, maka atom-atom logam dalam keadaan padat akan
tersusun teratur.
30. Sifat Logam : Bilangan Kordinasi, 8 atau 12
Susunan atom tertatur.
Panjang rusuk dan sudut antar rusuk merupakan parameter Latis. Jika atom-atomnya sejenis maka panjang rusuknya
sama, maka sama dengan diameter atom.
Jika kotak 1, 2, 3 dan 4 sama, maka penggambaranya berupa KUBUS. Kubus ini di sebut SEL SATUAN (Satuan atom-
atom yang terkecil dalam ruang).
Jenis-jenis Sel Satuan ada 7 :
Kubus 4. Ortokubic 7. Orthorombik
Hexagonal 5. Monoklic
Tetragonal 6. Triklinik
Karena bilangan kordinasi logam adalah 8 dan 12, maka tidak semua sel satuan diatas dimiliki oleh logam.
Bentuk sel satuan logam: KUBUS, HEXAGONAL dan TETRAGONAL
KUBUS (CUBIC)
Kubus Sederhana (Simple Cubic)
Sel satuan = 6 (Kisi tidak dimiliki oleh logam)
Panjang rusuk = a = D = Ø diameter atom (dalam Å, 1Å=10-8 cm)
Tidak memiliki Bidang Geser.
Jumlah Atom = 1 buah
31. Jumlah atom / V sel satuan = ⅛ x 8 = 1 buah
Memiliki 1 rongga
Kubus Pusat Dalam (Body Centre Cubic, BCC)
Perpotongan diagonal badan merupakan tempat kedudukan atom BCC ( ) yang memiliki 8 bilangan kordinasi.
Sifat BCC :
Bilangan Kordinasi = 8
Jumlah atom /VSS = 1+ ⅛ = 2 buah
Panjang rusuk (a) = 2/3 D√3
Memiliki 2 jenis rongga
Bidang geser = 6 buah
Sel satuan merupakan alat untuk mengidentifikasikan logam.
Unsur-unsur yang memiliki sel satuan BCC adalah Fe <910oC
Kubus Pusat Muka (Face Centre Cubic, FCC)
32. Sifat FCC :
Bilangan kordinasi 12
Jumlah atom/VSS = (⅛ x 8)+(½ x 6) = 4
Panjang rusuk (a) = 2 R√2 = D√2
Rongga : Oktahedral dan Tetrahedral
Bidang geser FCC = 12 buah
Sel satuan FCC memiliki bidang geser lebih banyak dari BCC. Sehingga logam-logam yang memiliki Sel Satuan FCC
akan lebih mudah dibentuk (memiliki form ability yang lebih baik dari pada BCC).
Contoh : Fe 910o < T < 1350 oC
Al, Ni.
Unsur yang memiliki sel satuan lebih dari satu disebut POLITROPI.
HEKSAGONAL
Sel satuan Heksagonal pada hakekatnya mirip FCC.
Bilangan kordinasi = 12
Jumlah atom / VSS = 4
Yang membedakan FCC dengan Hexagonal adalah urutan susunan (stacking segmen) atom.
33. Sel satuan Heksagonal disebut sel satuan Heksagonal Susunan Rapat, HSR (Close Pocked Hexagonal, CHP)
Dari analisa terhadap sel satuan diperoleh :
Ukuran sel satuan (parameter latis), yaitu :
Panjang rusuk (a)
Jarak antar bidang (d)
Jari-jari atom (R), dalam Å
Ukuran dan jenis rongga
Adanya bidang geser
Untuk system logam murni suatu sel satuan disebut sempurna jika pada semua tempat kedudukan atom pada sel
satuan terisi oleh atom yang bersangkutan.
Jika susunan atom seperti itu maka kekuatan logam tersebut adalah :
τ= G/2π
CARA –CARA MEMBERI INDEK PADA SEL SATUAN :
Sistem Kubus :
Cara memberi index ABEF :
Langkah yang dilakukan X Y Z
1 Tentukan titik potong bidang ABEF dengan garis sumbu 1 ~ ~
2 Tentukan harga kebalikannya 1/1 1/~ 1/~
34. Index di Bidang ABEF adalah 1 0 0
Sehingga pada sel satuan Kubus terdiri dari :
ABEF ( 100 ), tetapi CDGH ( 100 )
BCGF ( 010 ), tetapi ADHE ( 010 )
EFGH ( 001 ), tetapi ABCD ( 001 )
Index diatas dapat ditulis {100}. Index ini disebut INDEX MILLER.
Atas dasar penulisan index Miller, maka bidang geser Sel Satuan adalah :
Sel satuan BCC { 110 } Sel Satuan FCC { 111 }
Secara umum index Miller untuk system kubus dapat ditulis : { h, k, ℓ }
Besarnya harga D=a/√(h^2+k^2+l^2 )
Harga D dalam prakek dapat diukur melalui analisa DIFRAKSI SINAR X yang memenuhi hukum Bragg.
n = 2d sin , Dimana : n = Orde, (1,2,3 ------) dalam praktek dipiih 1
= Panjang gelombang x, dalam Å
= Sudut dating sinar X terhadap bidang sel satuan
35. KETIDAK SEMPURNAAN SUSUNAN ATOM
Ketidaksempurnaan Kristal (Crystal Defect).
Dalam praktek atom-atom tersebut kalanya tidak menempati tempat yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan :
Atom-atom dalam kedudukan tidak diam statis tapi dinamis, getarannya makin besar jika temperature meningkat.
Akibat getaran yang makin besar ada kemungkinan atom-atom keluar dari tempat kedudukannya.
Pada proses penyusunan atom-atom (dari tidak teratur menjadi tertatur) misalnya dalam proses pembekuan atom
(solidifikasi), laju pendinginan yang dialami oleh atom-atom lebih cepat dari yang diperkirakan, Sehingga tidak semua
tempat kedudukan atom dapat diisi.
Dalam praktek jarang sekali atom-atom tersebut terdiri dari atom-atom sejenis, ada kalanya ada atom-atom asing
yang terperangkap dalam susunan atom tersebut, sehingga diantaranya akan timbul interaksi, dan terjadi
ketidakseimbangan gaya disekitar atom asing. Interaksi ini menyebabkan atom-atom berpindah posisi.
Dengan adanya cacat yang diakibatkan ke 3 hal tersebut, maka kekuatan logam turun drastis dari kekuatan
teoritiknya. Karena disekitar bagian yang cacat tidak ada atom ditempat itu maka atom yang lain disekitarnya
melakukan keseimbangan gaya, dan ini menghasilkan “Medan Tegangan” (Stress Field).
JENIS-JENIS CACAT KRISTAL
Cacat Titik (Point Defect)
Cacat Lowongan (vacancy)
Cacat Substitusi
Cacat Interstisi
36. Cacat Garis
Disebut dengan Dislokasi, yaitu hilangnya 1 bagian/deretan atom pada sususan atom.
Disokasi garis ada 2 jenis :
Dislokasi Sisi (Edge dislocation)
Dislokasi Ulir (Screw dislocation)
Cacat Volume
Antara lain : Mikroporositas.
37. DIAGRAM FASA
Tinjau unsur A dan B.
Larutan padat (sifat lunak)
A+B
Senyawa (Sifat Keras)
Berupa : AB, AxB, ABx, AxBy
Jenis senyawa yang paling keras adalah seyawa unsur logam dengan Carbon. Senyawa ini disebut KARBIDA. Contoh :
Senyawa Fe dengan C (Fe3C), disebut Karbida Besi.
Untuk melihat sifat logam dan paduannya dapat dianalisa dengan suatu diagram yang disebut DIAGRAM
KESEIMBANGAN FASA / DIAGRAM FASA
Sesuai dengan jenis paduannya, Diagram Fasa terdiri dari :
Diagram Fasa Biner
Diagram Fasa Terner
Diagram Fasa Quarterner
Diagram ini menghubungkan temperatur, komposisi dan fasa-fasa dengan setimbang pada temperatur dan komposisi
tertentu.
DIAGRAM FASA BINER
A ke B adalah garis komposisi.
Komposisi diyatakan dalam % berat atau % jumlah atom.
38. Jenis-jenis diagram Fasa Biner :
Diagram fasa yang menunjukkan kelarutan yang sempurna dalam keadaan Cair dan Padat.
Diagram fasa yang menunjukkan adanya kelarutan sempurna dalam keadan cair, dan larut Terbatas / sebagian dalam
keadaan padat
Diagram fasa jenis ini terbagi 3, yaitu :
Memiliki reaksi fasa eutektik
Memiliki reaksi fasa peritektik
Memiliki senyawa.
Diagram fasa yang menunjukkan adanya kelarutan yang sempurna dalam keadaan Cair dan Tidak Larut sempurna
dalam keadaan padat.
Catatan :
Yang dimaksud dengan Larut Sempurna
A+B C ; Berarti A dan B larut satu sama lain
Sifat C yang dihasilkan tidak sama dengan sifat A maupun B, dan C berupa larutan Padat.
Yang dimaksud Larut Terbatas
A+B A‟ (ditulis α) ; B larut di A sebagian / terbatas
Sifat A‟ sama dengan sifat A, tapi tidak sama dengan
sifat B.
A+B B‟ (ditulis β) ; A larut di B sebagian / terbatas
Sifat B‟ sama dengan sifat B, tapi tidak sama dengan
sifat A.
A+B A‟/B‟, ada batas kelarutan
A larut di B atau sebaliknya dapat menghasilkan laruan padat Subtitusi atau larutan padat Interstisi.
Syarat timbulnya kelarutan dalam keadaan padat adalah sbb :
Ditinjau dari aspek geometri, diameter atom (D) dan bentuk sel satuan.
Bila perbedaan diameter ( D)
D > 15% Larutan padat interstisi
D < 15% Larutan padat substitusi
39. Bila atom lebih kecil dari atom-atom pelarutnya, maka akan terbentuk larutan padat interstisi.
Bila sel satuan sejenis antara pelarut sejenis maka kecenderungan terjadinya larutan yang sempurna makin besar.
Jika sel satuan tidak sama maka ada 2 kemungkinan yaitu :
Larutan Terbatas
Tidak larut satu sama lain
Aspek valensi (berkaitan dengan jumlah electron kulit terluar)
Aspek Elektronegatifitas atau Positifitas.
Makin elektronegatifitas unsur yang dilarutkan, makin elektropositif unsur pelarut. Terdapat 2 kecenderungan :
Jika membentuk larutan padat, maka larutan tersebut tidak akan stabil
Jika tidak membentuk larutan padat, maka akan mebentuk senyawa.
Makin elektronegatif, berarti makin ke kanan dari Tabel Periodik, contoh : Fe dengan C, dan Fe dengan Si.
Si lebih elektronegatif dari Fe dibandingkan dengan C, sehingga Si mudah larut dalam Fe.
Makin FCC, makin larut sempurna
DIAGRAM FASA JENIS I
40. Paduan akan mempunyai Temperatur : TcB < T Paduan < TcA
Pada diagram jenis I : Larutan sempurna dalam keadaan padat dan Larutan sempurna dalam keadaan cair. Maka fasa
padat yang terbentuk akan berupa larutan Padat (Solid Solution)
Cara menggunakan Diagram Fasa Jenis I
Diagram fasa digunakan untuk memperkirakan “Struktur Mikro” yang diperoleh dari hasil proses pembekuan
(Solidifikasi).
Struktur Mikro : Struktur logam/paduan yang dilihat melalui Teknik Mikrosofik yang berupa distribusi fasa-fasa, baik
distribusi larutan padat, senyawa atau distribusi larutan padat dan senyawa.
Karena larutan padat bersifat lunak, senyawa bersifat keras maka jika diketahui distribusinya maka akan diketahui
sifat mekaniknya.
Dengan mengetahui struktur mikro, berarti dapat diketahui sifat Mekanik.
Teknik mikroskofik untuk mengetahui struktur mikro disebut METALOGRAFI.
Untuk menggunakan diagram fasa pada proses solidifikasi diambil anggapan sbb :
Laju pendinginan dianggap sangat lambat
Proses transformasi yang terjadi dari fasa cair ke fasa padat berlangsung sempurna dengan mekanisme difusi.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses solidifikasi :
Waktu
Temperatur
Contoh :
Diketahui :
Paduan A dan B
41. Diagram Solidifikasi adalah sebagai berikut :
Titik : 100 cair, dengan X% B
Titik : Garis komposisi memotong garis liquidus.
Jadi pada titik potong terjadi proses pengintian (nukleasi) fasa padat.
Artinya : Diaram komposisi yang < X%, berarti fasa padat yang terjadi memiliki unsur-unsur yang lebih dominan
karena TcA lebih tinggi.
Catatan : - Ditinjau dari struktur atom yang disebut inti adalah mulai terbentuknya susunan atom yang terkecil dalam
ruang.
Titik : Inti membesar.
Jadi pada titik potong terjadi proses pengintian (nukleasi) fasa padat.
Artinya : Proses solidifikasi berlangsung dari a ke b.
Berarti ada a yang keluar dan ada b yang masuk, sehingga inti membesar.
Untuk menghitung prosentase fasa-fasa yang terbentuk ditetapkan kaidah lengan (lever arm rule).
42. % Fasa Padat (FP) = (b-x)/(b-a) x 100%
% Fasa Cair (FC) = (x-a)/(b-a) x 100%
Titik : Semua fasa Cair sudah bertransformasi ke fasa Padat
Jadi pada titik potong terjadi proses pengintian (nukleasi) fasa padat.
Batas butir terjadi akiba orientasi yang berbeda.
Jika orientasi sama diseluruh bagian disebut Kristas Tunggal (Single Crysal)
Dengan memperhatikan ukuran butir maka sifat mekanis paduan dapat diketahui dengan persamaan :
y = i + kd-1/2, dimana : i dan K = konstanta
d = diameter butir
# Makin halus butir berarti logam makin kuat
Struktur yang diperoleh dari diagram fasa ini disebut Diagram Fasa Tuggal, karena terdiri dari fasa-fasa yang sama.
Cara menghaluskan butir :
Memperbanyak laju pengintian dan memperkecil laju pertumbuhan
Melakukan proses perlakukan panas terhadap logam hasil pengerolan (pengerjaan dingin).
Dalam praktek, laju pendinginan pada saat proses solidifikasi, berangsung relative cepat, sehingga perubahan
komposisi yang terjadi dari terbentuknya Inti sampai menjadi Padat berlangsung tidak sempurna. Hasilnya akan
memiliki komposisi yang kurang Homogen, teorema ini disebut “SEGREGASI.
Segregasi dapat dihindari dengan proses perlakukan panas yang disebut “HOMOGENISASI”.
Secara teoritik pada saat inti fasa pada harus tumbuh, inti tersebut tumbuh sama besar ke semua arah sehingga
dapat menghasilkan butir-butir yang homogeny. Butir seperti ini disebut “EQUIAKSIAL”.
43.
44. Pada Diagram fasa Fe-C, unsure Fe mengalami perubahan Sel-Satuan (SS) sebelum mencair.
T < 912 oC Sel Satuan Fe = BCC
912 oC ~ 1350oC Sel Satuan Fe = FCC
1350oC ~ 1535oC Sel Satuan Fe = BCC
Unsur seperti ini (memiliki lebih dari 1 SS), disebut POLITROPI.
Jika perubahannya Reversible (bolak-balik) disebut ALOTROPI.
Akibat adanya perubahan sel-satuan ini maka jika Fe dipadukan dengan Carbon akan menghasilkan tingkat kelarutan
yang berbeda-beda.
Pada saat Fe berada dibawah 912oC, kelarutan max C di Fe adalah 0,025% pada 723oC. Sedangkan pada saat Fe
bersel-satuan FCC kelarutan C di Fe 0,8% pada 723oC dan 1,7% pada 1140oC.
C larut di Fe membentuk larutan padat Intertisi. Pada saat C larut di Fe pada temperatur dibawah 912oC, maka akan
terbentuk fasa (Ferrit). Pada saat Fe memiliki sel-satuan FCC dilaruti C maka terbentuk fasa (Austenit).
Jika kadar C mencapai 6,67% maka akan terbentuk senyawa Fe dengan C (Fe3C) yang disebut Carbida Besi
(Sementit).
Sifat Sementit dibandingkan dengan , dan sangat keras dengan sel-satuan Orthorombic.
Dari diagram Fasa diperoleh 3 Jenis Reaksi Fasa :
Peritektik : +L
Eutektik : L + Fe3C
+Fe3C, fasa padat Ledeburit
Eutektoid : + Fe3C
+Fe3C, fasa padat Perlit
L = Liquid (cair)
= Fasa Delta, adalah larutan padat, dimana C larut di Fe max 0,1% pada temperatur 1400oC dan membentuk reaksi
fasa Peritektik
= Fasa Gama (Austenit), adalah larutan fasa padat, dimana C larut di Fe max 1,7% pada temperatur 1140oC dan
membentuk reaksi fasa Eutekik.
= Fasa Alfa (Ferit), adalah larutan padat, dimana C larut di Fe max 0,025% pada temperatur 723oC dan membentuk
reaksi fasa Eutektoid.
Fe3C= Carbida Besi (Sementit), adalah senyawa Fe dan C, dimana C larut di Fe mencapai 6,67%.
45. Memiliki senyawa yang sifatnya keras yaitu Fe3C sel-satuan adalah Orthorombik. % Fe3C meningkat dengan naiknya
kadar C.
Dari diagram fasa diperoleh 2 jenis material teknik, yaitu:
Baja Karbon (Carbon Steel), kadar C max 1,7%
Besi Cor (Cast Iron), kadar C > 1,7 %
Dari diagram fasa, Baja Carbon dikelompokan menjadi :
Baja Carbon Hypo-Eutektoid (%C < 0,8%)
Baja Carbon Hyper-Eutektoid (0,8% < %C < 1,7%)
Atau dapat juga dikelompokan menjadi :
Baja Carbon Rendah (Low Carbon Steel) %C < 0,2%
Baja Carbon Sedang (Medium Carbon Steel) 0,2% < %C < 0,5%
Baja Carbon Tinggi (High Carbon Steel) 0,5% < %C < 1,7%
PEMBACAAN DIAGRAM FASA Fe-C.
(contoh 1) Baja Carbon dengan C sangat rendah
Proses Solidifikasi
Tahap-
100% cair
Tahap-
Terjadi pengintian fasa
47. Tahap-
100%
Catatan : Baja seperti ini disebut Baja Feritik, Karena strukturnya
100%
(contoh 2) Baja Carbon dengan C sangat rendah
Jika dibanding contoh 1, contoh 2 memiliki garis SOLVUS
Proses Solidifikasi
Tahap-
100% cair
49. Tahap-
Terjadi pengintian fasa padat pada batas butir
Tahap-
100%
Tahap-
Terjadi pengintian Fe3C pada batas butir
Tahap-
Fe3C Tumbuh pada batas butir
50. Besarnya % Fe3C dapat dihitung dengan menggunakan “Kaidah Lengan”
Catatan : Baja Contoh-2 akan lebih keras dibandingkan dengan baja contoh-1, karena pada contoh-2 strukturnya
mengandung Fe3C yang keras.
c. (contoh 3) Baja Carbon dengan 0,3% C
Proses Solidifikasi
Tahap-
100% cair
Tahap-
Terjadi pengintian fasa
Tahap-
Garis transformasi memotong garis Peritektik, sehingga terjadi 2 tahap transformasi fasa :
Tahap-1
51. Komposisi dan L :
% = (0,5-0,3)/(0,5-0,1) x 100%
% = 50%
% L = 50%
Tahap-
100%
Tahap-
Garis transformasi memotong garis Eutektoid, sehingga terjadi 2 tahap transformasi fasa :
Tahap-1
Tumbuh :
% 1 = (0,8-0,3)/(0,8-0,025) x 100%
% 1 = 62,5%
% = 37,5%
52. Tahap-2
Fasa Cair berubah menjadi fasa padat, mengikui reaksi fasa Feritektik.
L+
dan L :
% = (0,5-0,3)/(0,5-0,2) x 100%
% = 66,67%
%L = 33,33%
Tahap-
Terjadi pengintian fasa padat pada batas butir
Tahap-2
Fasa berubah mengikuti Reaksi fasa Eutektoid :
+ Fe3C
53. % 2 = (6,67-0,8)/(6,67-0,025) x 37,5 %
% 2 = 32%
Fe3C = 5,5 %
Hasil Reaksi Eutektoid adalah menjadi Marik, akhir tahap-2, strukturnya adalah :
1 = 62,5 %
2 = 32 %
Fe3C = 5,5 %
Catatan : Baja Contoh-2 akan lebih keras dibandingkan dengan baja contoh-1, karena pada contoh-2 strukturnya
megandung Fe3C yang keras.
d. (contoh 4) Besi Cor dengan 3% C
Proses Solidifikasi
Tahap-
100% cair
54. Tahap-
Garis transformasi memotong garis Eutektik, sehingga terjadi 2 tahap transformasi fasa :
Tahap-1
tumbuh :
% = (4,2-3,0)/(4,2-1,7) x 100%
% 1 = 48%
% L = 52%
Tahap-
Garis transformasi memotong garis Eutektoid, sehingga terjadi
2 tahap transformasi fasa :
Tahap-1
55. tumbuh :
% = (6,67-3,0)/(6,67-0,8) x 100%
% = 62,5%
% Fe3C =37,5%
Tahap-
Terjadi pengintian fasa
Tahap-2
Fasa Cair berubah menjadi fasa padat, mengikui reaksi fasa Eutektik.
L + Fe3C
% 2 = (6,67-4,2)/(6,67-1,7) x 52%
% 2 = 25,8%
%Fe3C = 26,2%
56. Tahap-2
Fasa berubah mengikui reaksi fasa Eutektoidk.
+ Fe3C
% = (6,67-0,8)/(6,67-0,05) x 62,5%
% = 55,25%
%Fe3C = 7,29%
Kesimpulan :
Makin Tinggi Kadar Carbon pada baja akan makin Keras.
BESI COR (CAST IRON)
Paduan utama Bes Cor adalah Besin dan Carbon, dimana C min 1,7% dan max 6,67 %.
Karakteristik
DItinjau dari permukaan patah (surface fracture), besi cor ada 2 jenis :
Besi Cor Putih
57. Putih disebabkan karena semua C yang ada disamping larut ke Fe, juga membentuk Karbida Fe3C (sementit),
sehingga pada besi cor putih tidak ada C bebas (grafit). Sifat besi cor putih sangat keras dan getas.
Besi Cor Kelabu
Kelabu karena terdapat karbon C bebas. Karbon bebas terjadi akibat C tidak larut ke Fe (tidak bersenyawa dengan
Fe), hal ini karena adanya unsure Si (min1,2%).
Banyak sedikitnya Si sangat berpengaruh :
Jumlah Karbon C bebas (grafit)
Struktr Matrik
Fe3C Fe + C
Catatan : Besi Cor Putih dapat dibuat menjadi besi cor kelabu, yaitu dengan di temper, disebut dengan besi cor
Maleable
Ditinjau dari Grafit (C bebas), besi cor terdiri dari :
Besi Cor Kelabu bergrafit Serpih
Besi Cor ini sangat baik dalam menahan getaran, kerena itu banyak digunakan sebagai bahan body mesin dan industry
perkakas.
Besi Cor Kelabu bergrafit Bulat (Nodular)
Besi Cor ini diperoleh dengan proses Austemper. Banyak digunakan dalam proses industry otomotif, seperti poros
engkol, batang hubung dll.
58. MENGUBAH SIFAT MEKANIK BAJA KARBON
Sifat mekanik Baja Karbon dapat dirubah, jika struktur mikronya dapat diubah. Untuk mengubah Struktur Mikro dapat
dilakukan dengan cara PERLAKUKAN PANAS (HEAT TREATMENT).
Proses Perlakuan Panas adalah suatu proses untuk mengubah Struktur Mikro, dimana komposisi bahan tetap.
Proses Perlakukan Panas dilaksanakan dengan cara memberi pemanasan dan pendinginan, sehingga struktur mikro
bahan berubah.
CARA MENGUBAH STRUKTUR MIKRO
Baja Carbon didefinisikan sebagai paduan Besi dan Carbon dengan kandungan C max 1,7%. (Diagram fasa Fe-C)
Tinjau Diagram Fasa Fe-C
Untuk maksud Perlakukan Panas beberapa garis Solvus ditandai dengan A1, A3, A13 dan Acm .
Ditinjau dari kadar Carbon, Baja Karbon terdiri dari :
Baja Karbon Hypo Eutektoid (C < 0,8%)
Baja Karbon Hyper Eutektoid (C > 0,8%)
Untuk proses Heat Treatment, maka proses pemanasannya sangat tergantung pada jenis baja.
Baja HYPO EUTEKTOID
Tp = garis A3 + 100oC
Baja HYPER EUTKTOID
Tp = garis A13 + 100oC atau
Tp = garis Acm + 100oC
Pemilihan Tp, tergantung pada tujuan akhir.
Dikeraskan : Tp = garis A13 + 100 oC
Dilunakkan : Tp = garis Acm + 100 oC
Jika diperhatikan Tp (temperatur pemanasan) masuk ke daerah Austenit, sehingga Tp disebut T (temperatur
59. Austenit).
Pada proses pemanasan, temperatur harus homogen diseluruh benda kerja, sehingga diperlukan waktu pemanasan
(Holding Time / Exposure Time).
Lamanya pemanasan sangat tergantung pada :
Dimensi benda Kerja
Panas jenis bahan.
Note : Perlakukan Panas tidak pernah sampai Cair.
Dari diagram fasa, pada T berada pada daerah fasa padat Austenit ( ), sehingga jika didinginkan perlahan-lahan
(solidifikasi) diperoleh :
+ Fe3C
Mekanisme transformasi dari +Fe3C adalah DIFUSI.
+ Fe3C
0,8 0,025 6,67
Ingat : , , = larutan padat
Fe3C = Senyawa.
Sementit (Fe3C) terbentuk terlebih dahulu.
Difusi adalah perpindahan atom dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dalam hal ini yang mengalami difusi ini
adalah C (carbon).
menjadi + Fe3C melalui suatu kecepatan pendingian perlahan-lahan (kecepatan pendinginan yang lambat).
Dalam praktek kecepatan pendinginan yang lambat dapat dicapai melalui : 1. Pendinginan dalam tungku (Anneal)
Pendinginan udara. (Normalizing)
Baja yang di Anneal atau Normalizing hasilnya adalah Lunak.
Sehingga proses Anneal dan Normalizing disebut dengan Proses Pelunakan (Softening Proceses).
Proses Anneal waktu pendinginannya lebih lambat dibanding proses Normalizing, sehingga Struktur Mikro hasil Anneal
60. akan lebih kasar dan lebih lunak dari pada hasil Normalizing.
Jika Austenit ( ) didinginkan dengan cepat, maka akan diperoleh fasa baru MARTENSIT :
M
Sifat Martensit : KERAS.
Pendinginan yang cepat disebut QUENCH (sepuh).
Pelaksanaan pendinginan yang cepat adalah dengan mencelupkan baja panas (Temperatur Austenit), ke dalam media
pendingin (Air, Brine, atau Oli).
Ukuran kecepatan pendinginan dari suatu medium pendingin dinyatakan dengan harga Severity of Quench.
Pada proses difusi, faktor yang berpengaruh adalah T dan C.
Dengan demikian mekanisme menjadi M ( M), adalah bukan difusi. Mekanisme M adalah GESER, melalui Bidang
Geser.
DIPOSKAN OLEH MOTIVATOR DI 05.12
Uji hardenability
08.15 Mukhamad Aziz 1 comment
Tujuan Praktikum
Mengetahui sifat mampu keras (hardenability) material
Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap sifat mampu keras material
Mengetahui prosedur percobaan Jominy dan menganalisis sifat mampu keras material
Memahami penggunaan dan cara pembuatan diagram CCT (Continuous Cooling Transformation)
Teori Dasar
Hardenability adalah ukuran kemampuan suatu material untuk membentuk fasa martensite. Hardenability dapat
diukur dengan beberapa metode. Diantaranya metode jominy dan metode grossman. Dari metode tersebut kita akan
mendapatkan kurva antara harga kekerasan dengan jarak quenching dari pusat quench.
Asumsi :
Ø Laju pendinginan sangat lambat
Ø Laju Pemanasan lambat
61. Ø Terjadi mekanisme difusi (perpindahan atom secara individual dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah)
Pembentukan martensit terjadi karena baja yang telah dipanaskan sampai suhu austenitnya didinginkan secara
cepat/ diquench, sehingga atom karbon tidak sempat berdifusi dan hanya sempat bergeser mengisi rongga-rongga
tetrahedral dan oktahedral pada struktur FCC austenit. Karena terisinya rongga-rongga tersebut sehingga
mengakibatkan tidak teraturnya bentuk struktur FCC (laticce site lebih panjang) sehingga terjadi distorsi latis
menjadi BCT. Efek ini disebut dengan “Efek Tetragonalitas”.
Proses Heat Treatment :
Full annealing adalah proses menaikan temperatur secara perlahan sekitar 50 ºC (90 ºF) diatas Austenitic
temperature line A3 atau ACM pada baja Hypoeutectoid (steels with < 0.77% Carbon) dan 50 ºC (90 ºF) pada baja
Hypereutectoid (steels with > 0.77% Carbon).
Spesimen ditahan sampai semua fasa berubah menjadi austenite. Kemudian secara perlahan didinginkan degan laju
pendinginan sekitar 20 ºC/hr (36 ºF/hr).
Butir hasil full annealing akan memiliki struktur coarse pearlite yang mengandung ferrite atau cementite tergantung
baja hypo atau baja hyper.baja hasil full annealing bersifat lunak dan ulet
Normalizing adalah proses pemanasan melebihi temperatur 60 º C (108 ºF),diatas garis A 3 atau ACM sampai daerah
Austenite. Agar pada temperatur ini seluruh fasa berubah menjadi austenite. Kemudian dikeluarkan dari tungku dan
didiamkan pada temperatur kamar. Struktur butir yang didapat adalah fine pearlite dengan kelebihan ferrite atau
cementite. Material hasil normalizing lunak. Proses normalizing lebih murah daripada full annealing karena tidak ada
biaya untuk pengaturan pendinginan tungku.
Spheroidization adalah proses annealing dengan kadar karbon yang tinggi (Carbon > 0.6%) yang kemudian akan di
cold working atau di machining. Panaskan spesimen sampai temperatur dibawah garis A 1 atau 727 ºC (1340 ºF) tahan
temperatur dalam waktu yang lama lau dinginkan perlahan. Metode ini akan menghasilkan struktur dimana semua
cementite berada dalam bentuk bulatan kecil (spheroids) yang terdispersi dalammatriks ferrite. Spheroidization
meningkatkan ketahanan terhadap abrasi.
ANALISIS DATA
Pada percobaan ini, benda kerja dipanaskan dulu pada temperatur austenisasinya untuk mendapatkan austenit yang
homogen, diatas 727oC, yaitu pada 875oC selama 30 menit, agar panas merata ke seluruh bagian spesimen. Benda
kerja dipanaskan sampai fasanya menjadi austenit (g). Kemudian diquenching, didinginkan dengan cepat, melalui
metode water jet pada bagian bawah spesimen. Pendinginan cepat ini bertujuan untuk membentuk martensit yang
bersifat keras. Dari data hasil praktikum terlihat distribusi kekerasan yang tidak merata. Semakin jauh dari pusat
quench, kekerasan semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh laju pendinginan yang tidak merata. Daerah yang dekat
dengan pusat quench akan memiliki kekerasan yang tinggi karena laju pendinginan yang cepat sehingga banyak
martensit yang terbentuk. Namun semakin jauh dari pusat quench laju pendinginan melambat, sehingga martensit
yang terbentuk tidak sebanyak sebelumnya sehingga harga kekerasan menurun. Pada percobaan ini martensit yang
terbentuk tidak sempurna pada keseluruhan bagian spesimen.
Berbeda dengan metode quench celup, harga kekerasan akan merata, namun akan terjadi vapour blanket di sekitar
spesimen karena medium quench atau spesimennya statis. Vapour blanket adalah uap air di sekitar spesimen yang
terbentuk karena air menguap, fenomena ini dapat dihilangkan dengan mengaduk medium quench atau
menggoyangkan spesimen.
Martensit terbentuk dari fasa austenit. Pada awalnya baja memiliki fasa ferrite (BCC) kemudian dipanaskan hingga
fasanya menjadi austenite (FCC), jika didinginkan secara lambat akan menghasilkan pearlite (BCC), namun dalam
percobaan ini baja didinginkan dengan cepat sehingga terbentuk martensite (BCT). Pada pembentukan martensite,
yang terjadi bukanlah difusi, melainkan mekanisme geser. Pada FCC, atom-atom C menempati rongga oktahedral.
Jika pendinginan dilakukan dengan lambat maka atom C tetap pada posisi oktahedral, namun ketika didinginkan
dengan cepat atom C menempati rongga tetragonal dengan mekanisme geser, dan strukturnya menjadi BCT (Body
Centered Tetragonal).
62. Pengaruh laju pendinginan terhadap pembentukan martensit dapat dilihat pada diagram CCT. Spesimen pada
percobaan ini adalah AISI 4142, baja dengan 0.4-0.45% C, 0.75-1.00% Mn 0.8-1.10% Cr, sehingga diagram CCT yang
digunakan adalah diagram CCT hypoeutectoid.
AISI 4142 memiliki kadar karbon medium, implikasi pada diagram CCT nya adalah, hidungnya tidak terlalu dekat
dengan sumbu vertikal dan garis martensite start yang tidak terlalu rendah, memungkinkan terjadinya martensite
100% walaupun pendinginan tidak terlalu cepat.
Hardenability band yang didapatkan dari literatur ditunjukkan pada gambar disamping. Jika dibandingkan dengan
data yang didapat pada hasil praktikum, pada jarak quenching awal kurva hardenability terletak dibawah
hardenability band, dibawah batas minimum hardenability band. Artinya spesimen ini memiliki sifat hardenability
yang kurang baik. Seharusnya secara teoritis, baja karbon medium memiliki hardenability yang baik, dan kurva
hardenability nya berada pada hardenability band.
Kurva hardenability yang didapatkan lebih landai dibanding hardenability band nya. Hal ini menunjukkan sifat
hardenability spesimen yang kurang baik.
Penyimpangan ini terjadi mungkin karena kadar karbon yang tidak sesuai standar sehingga menimbulkan perbedaan
harga kekerasan dengan yang seharusnya. Namun, hanya sebagian kurva yang berada dibawah hardenability band,
sehingga kemungkinan faktor penyebabnya bukan kadar karbon. Jika penyebabnya adalah kadar karbon, maka
keseluruhan kurva hardenability akan berada dibawah hardenability band.
Kemungkinan yang lain adalah ketidakhomogenan panas pada spesimen ketika di dalam tungku, menyebabkan proses
hardening tidak maksimal. Hal lain yang dapat mempengaruhi adalah ketika akan melakukan proses quenching,
spesimen terlalu lama berada di temperatur ruangan sehingga sempat mengalami pendinginan lambat. Pendinginan
lambat ini dapat menyebabkan harga kekerasan menurun.
Jika dilihat hasil struktur mikro spesimen, pada titik 1 terlihat sangat banyak martensit yang terbentuk. Fasa
martensit adalah yang berwarna hitam. Pada titik 10 keberadaan martensit mulai berkurang. Semakin jauh dari titik
pusat quenching keberadaan martensite semakin berkurang. Hal ini menunjukkan nilai kekerasan spesimen yang
semakin berkurang.