SlideShare a Scribd company logo
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 94
I
asingsingan melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu.
Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang
berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui,
kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu.
Telinganya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa derap
kuda itu tidak akan lebih dari lima atau enam. Dengan demikian ia
dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu. Tetapi karena otak
Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang
mencemaskan hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua,
Radite, dan Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya
kepada salah seorang dari mereka. Apakah didalam rombongan itu
akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah kedua-
duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak
orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan
yang dapat diperoleh untuk memenangkan pertempuran ini. Sebab
ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak akan tinggal diam.
Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang lain
di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi
Pasingsingan. Apalagi kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu
adalah seekor burung rajawali yang perkasa, yang bahkan
melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang
mencemaskan hatinya itu.
Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan
terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor
serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci.
Maka ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya
mendekati perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram
keras sekali. Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati
Pasingsingan yang berwarna kuning kemilau.
Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu
berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan
P
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 94
dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur
seperti dihembus badai. Mahesa Jenar untuk beberapa saat
tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk
mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan
kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat
mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-
semak, berselimut kehitaman malam.
Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan
tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang
penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang
masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung
kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman perkemahan itu,
dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya,
sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki
belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka,
sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.
Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia
meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, “Ayah, sayang ayah
terlambat.”
Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo
Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit ragu
mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah pertanyaannya,
“Apa yang terlambat?”
Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung
ayahnya sambil menjawab, “Baru saja kami menonton pertunjukan
yang luar biasa.”
“Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar.
“Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir
berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.
Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik
nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, “Pasingsingan…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 94
Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah
menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di
perkemahan.
“Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara.
“Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri.
Sementara itu yang lain pun telah berdiri mengitarinya.
Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala.
“Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada
mereka.
“Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi
Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan.
Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan
pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis yang
hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itu
pun masih kelihatan pucat.
“Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula.
Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah
Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, “Setan itu bisa
menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa
ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak
melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama
sekali tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya
menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh
sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat
menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya.”
Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau
harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa
ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, “Kenapa ayah
tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 94
“Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu
sekali?” bantah ayahnya.
“Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan
ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika bibi mencoba menolong
Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting karena serangan
Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara panas
yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.
Sekali lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya.
Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang
menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera
gadis kecil itu. “Aku berkata benar, Ayah....”
Widuri meneruskan sambil merengut. “Paman Mahesa Jenar
itu pun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun
kembali.”
“Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.
“Sebab bibi Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak,
barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak berbaring,
menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh
Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri.
“Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya.
“Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu. “Aku berkata
sebenarnya.”
Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam
benaknya perkataan anaknya itu, “Paman Mahesa Jenar itu pun
dapat dijatuhkannya.”
Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, “Adakah Mahesa
Jenar selamat?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 94
“Bagi kami” jawab Mantingan, “agak sulit untuk dapat
mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu berada
jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia
masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang
dikejarnya,”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika
tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak.
Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang
berjalan perlahan-lahan ke arahnya.
“Mahesa Jenar....” sapa Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya,
Kakang.”
“Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.
Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, “Aku tak berhasil
menangkapnya.”
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, “Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan
bencana?”
“Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Baiklah....” kata Kebo Kanigara seterusnya, “Sekarang
cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin
pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah
pergi pula.”
Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu
diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk membangunkan
orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya dipengaruhi
sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 94
Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di kejauhan
sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit
telah diwarnai oleh cahaya perak pagi.
Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah
mereka menghilang dari wajah langit yang biru bersih. Angin pagi
yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun
pepohonan rimba.
“Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, “Bukankah
kaliah lelah?”
“Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, “Karena itu aku akan
tidur sehari penuh.”
“Aku tidak percaya,” jawab ayahnya.
“Kenapa?” tanya Widuri.
“Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun
dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya.
Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok yang
disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke tempat
masing-masing. Mantingan berjalan dengan langkah gontai,
sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya
dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah
tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan
suatu peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya.
Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul Endang
Widuri untuk beristirahat.
Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah
tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo. Meskipun masih ada
diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang
diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika
tubuh mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin
mereka. Beberapa orang malahan menjadi bingung, sedang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 94
beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para
petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika
mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan
untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk
pada siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar
Banyubiru itu pun telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba-
tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat
fajar hampir pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam
dada mereka sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab
sendiri, “Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang
belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah terjadi
didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi
tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-
saat penjagaan.”
Tetapi, mereka menjadi agak terhibur ketika mereka
mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa
meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu
bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh
sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk
melepaskan darinya.
Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan
petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk
mendapat pengawasan, mereka pun berpesan wanti-wanti kepada
para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada.
Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila
ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan.
Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu
duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya.
Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan
Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang
apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah
dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri
sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat
melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 94
melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar
belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar
seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang.
Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di
keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat
digetarkan.
Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya
Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia
sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya
Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa
Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok
itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu
dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan,
namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka.
Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan
seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu
Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu
Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat
sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk,
bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula,
Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun
ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia
masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo
Kanigara.
“Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil
mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Semula aku tidak tahu
bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan
berdasarkan ajinya Alas Kobar.”
“Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar
itu?” tanya Kanigara pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 94
“Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada
saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat
seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku
getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra
Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku
kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku
mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh
Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena
aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu,
sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-
getaran itu terganggu.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar,
meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada
penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu
Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan
pertahanan. Kemudian ia bertanya pula, “Tidakkah iblis itu kau
lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai
cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan
demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”
Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab, “Kakang,
semula aku pun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar
bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap
tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran
itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi
telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas
Kobar itu.”
Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa.
Katanya, “Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil
menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna,
tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan
yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal
sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai
kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 94
pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau
dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-
kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah
kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu.
Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau
benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila
pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti
mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya
mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.”
Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati
Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga.
Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa
yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak
akan kering di segala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat
mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.
Sebagai manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki
senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia
menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit
yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia
menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa? Meskipun ia tidak
menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip
dengan ilmu kekebalan.
Tetapi, sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-
saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari
kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh
kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup
untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya
yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada
saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan
bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam
relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri,
mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 94
ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan
pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa
cinta kasih.
Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan
seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat
dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-
macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat
yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam
sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi
sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas
tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang
akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo
Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir
karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang
dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan
mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak
menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia
mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk
menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa
Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya.
Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada
kebenaran dan keadilan.
Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, “Aku
bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada
Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-
kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah-
mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini
sebaik-baiknya.”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab,
tetapi hatinya berkata, “Berbahagialah kau Mahesa Jenar.
Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas
keluhuran hatimu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 94
Namun yang terucapkan adalah, “Meskipun demikian Mahesa
Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum
ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah
kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai
pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau
pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat
mempertanggung-jawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama
manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak
kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan
mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala
pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak
dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima
dari Yang Maha Tinggi.”
Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti
apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa
Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang
dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo
Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang
dilakukannya pun sesuai benar dengan kata-katanya itu.
Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk
keperluan yang tepat pula.
Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu
berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya
dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya
kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan
dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya
sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama
dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya,
dan orang-orang lain yang setingkat dengan mereka itu. Namun
disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara
kepada gurunya.
Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula
harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan
mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 94
demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya
sendiri bahwa ia pun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa
yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara. Karena angan-angannya
itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar
karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-
kesulitan yang masih harus di atasi.
Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit
dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan
membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih
tetap berangan-angan.
Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan
itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar
matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan
cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula
kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada
masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada
ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya,
namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya
menghadapi masa kemudian. Arya Salaka ingat benar betapa
ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang
pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah
seorang yang hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun
juga. Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya
dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin dewasa
tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan.
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba
memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan
masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa
mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk
mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia
berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu.
Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari
yang masih sangat condong menembus dinding-dinding
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 94
pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di
kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan.
Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian
terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati
indahnya pagi ini.
Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok
ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir
lemah.
Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-
mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit
timba serta debur air orang mandi.
Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja
mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula
dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal,
namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam
dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di
dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya
yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.
“Ah....” desah Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba
melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik
nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam
angan-angannya.
Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya.
Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas
tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan
Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu
dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun
membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-
anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar
berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang
menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka
melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 94
kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan
kesetiaannya kepada tumpah darah.
Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya
mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah
tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap.
Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia
berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan
diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula.
Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah
memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar
maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah
meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang
dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan
Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru
sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk
pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah
di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan
kekuasaan Demak.
Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula-
mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai
macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam
seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam
perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak
itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan
hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam
himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian
wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah
pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam penelahan
Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi
ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari
perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 94
sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka
yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja.
Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih
tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia
merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir
lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila
keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota
gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk
mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di
istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian
Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya. Tetapi
rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan
baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak
termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya
mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa
hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan
tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar
terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk
diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin
kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri.
Sehingga, dengan demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa
meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang
senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam
sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha
dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-
masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka
tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan,
namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka,
berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan,
perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-
hal yang akan terjadi.
Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika
kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 94
perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama
Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang
menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi
Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan
yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat
menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan
hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang-
orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar
Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu
Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.
Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang
tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi
adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.
Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru,
serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini,
memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar
cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal
terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia
tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak
langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia
membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap
hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang
buruan dan sayur-sayuran.
“Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan
pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan
lahapnya.
Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya
telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 94
Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri, “Itulah yang aku
cemaskan, Kakang.”
Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya
telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara.
Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang
berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, “Kita dihadapkan pada
kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”
Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip.
Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia
tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan
itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-
sungguh.
Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan
masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang
menyenangkan.
Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun
rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh
dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung.
Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang
tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting
bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja
keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan
bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Kakang, aku
kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai
tugas kita kepada Arya Salaka.”
Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya, “Berilah
ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan
terjadi.”
Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira.
Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 94
kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta
Kebo Kanigara.
“Arya....” kata Mahesa Jenar, “Aku akan menceritakan
perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan
mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang
benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada
di sana.”
Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan
penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa
yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata
diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia
sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang
menyenangkan itu.
Meskipun Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah terjadi,
namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan, apalagi
ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan
sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar,
betapa halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang
sejak belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang
ayah bundanya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut
mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak
bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri.
Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan
untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari
tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan
baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya.
Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda
itu adalah, “Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia
berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan
menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 94
yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-
kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan
berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Karena itulah maka ia
tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang
mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika
ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru
ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak
kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Arya, aku minta maaf
kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali
untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga
dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah
Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak
mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itu pun tidak mengalami
sesuatu.”
Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya.
Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya,
sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat
itu juga.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan
anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah
menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat
kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh
kasih sayang.
Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati
untuk menentramkan hati anak itu, “Arya, tenangkanlah hatimu.
Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan
pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung
tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan
terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu
menegakkan kebenaran dan keadilan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 94
Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata
gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba
untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.
Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun
ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan
rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya
ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya
kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada
tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka
kemudian ia mengangkat wajahnya. Dengan penuh tekad ia
berkata, “Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada
bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
bangga. Katanya, “Demikianlah putra Ki Ageng Gajah
Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di
depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah
anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama
dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.”
Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia
akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah
ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya
dengan darah.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka
meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-
mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan
mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.
“Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang
Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.
“Ya,” jawab Arya Salaka.
“Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau
ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 94
sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat. “Bukankah
begitu?”
“Ya,” jawab Arya Salaka singkat.
“Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening
yang berkilau…?” Widuri meluruskan.
“Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka
rumahku.” Arya Salaka membetulkan.
“Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu
mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.
“Hem....” Widuri meneruskan, “Kalau begitu kau adalah anak
seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana
Demak pun ada alun-alun.”
“Tidak selalu,” potong Arya, “Ayahku bukanlah orang yang
kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah
perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di
Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun.
Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di
Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”
“Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya
seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.
Arya Salaka menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya.
“Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang
pula.
“Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.”
Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.
Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah
perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama
ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian
menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 94
dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah,
“Kakang Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi
ia tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin
melihat kehidupan bukit
Telamaya dan kecerahan
wajah Rawa Pening di pagi
yang bening.”
Rara Wilis tersenyum.
Sebenarnya di dalam hatinya
sendiri pun tersimpan pula
harapan, agar segala sesua-
tunya menjadi lekas
terselesai-kan. Sebagai
seorang gadis ia lebih mudah
tersentuh oleh perasaan rindu
kepada keluar-ga. Kepada
hidup kekeluarga-an yang
lumrah. Meskipun di dalam
tubuhnya mengalir juga darah
pengembara dari kakeknya,
Pandan Alas, namun baginya
lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang
bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau
dengan tetangga.
Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut
duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap-
cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada
masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya,
bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya
dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam
pergolakan masa kini.
Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu
lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah
ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 94
gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri
pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran,
Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa
orang lagi.
Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala
sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri
Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke
Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka
bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa
apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itu pun memiliki
kekuatan yang tak dapat diabaikan.
Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan
keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar
Mahesa Jenar berkata, “Laskar Banyubiru yang setia, kalian harus
ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali ke
Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke
Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk
kepentingan kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan
perasaan keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi
kemanusiaan.”
Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-
kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap
orang yang mendengarkan. Kemudian terdengarlah ia
melanjutkan, “Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan.
Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik
kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk
setiap saat berangkat ke Banyubiru.”
Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan
Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah
Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau
menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena
itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 94
Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal
yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian
menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar
mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada
sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki
Ageng Sora Dipajana. Sebagai seorang yang patuh kepada
agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan
pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan
kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak
tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan,
cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan
menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah
darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan
Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada
kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan
pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin.
Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar
dalam pengamalan dan perbuatan.
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam
pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak
masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya
sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia
tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang
kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi
dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah
artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan
sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah
lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya
janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri
yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan
perbuatan…? Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan
lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah
dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-
mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 94
tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang
dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah.
Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya.
Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas
kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-
an.
Itulah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru
yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar pemerintahan itu.
Dengan demikian, ketika matahari mulai menjengukkan
wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru
mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka,
mempertajam pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata-
senjata itu bukan mutlak harus dipergunakan, namun terhadap
orang yang bernama Lembu Sora dan Sawung Sariti, hal yang
demikian itu tak dapat dikesampingkan.
Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sendiri memerlukan
menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan tanpa
mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung
memberikan nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan
beberapa orang yang cukup kuat, langsung mendapat latihan-
latihan khusus dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping
usaha-usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan,
Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri.
II
Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar menganggap bahwa
waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru itu. Dan
pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari
setiap pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak-
anakBanyubiru itu, menjalarlah sebuah iringan yang seperti ular
menelusuri jalan-jalan perbukitan. Di ujung barisan itu berjalanlah
Mahesa Jenar di samping Arya Salaka. Kemudian di belakangnya
berjalan seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 94
Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan yang
penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan lembah yang
berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara batu-batu padas yang
merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan
itu. Sinar matahari pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu
menari dengan lincahnya mempermainkan titik-titik embun yang
masih tersangkut di ujung-ujung daun.
Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil, tiba-
tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti. Mahesa
Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah yang bergolak di
dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar menariknya ke tepi dan
memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus. Ketika
Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia
menoleh kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya
sesuatu, sebab kemudian kembali ia tertarik pada dataran yang
berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang sudah cukup
tinggi.
“Ai....” teriak gadis kecil itu, “Apakah itu?”
Ayahnya tertawa, dijawabnya, “Seharusnya aku mengajak kau
merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat
matahari terbit.”
Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan kata-kata
ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali, “Rawa
Pening? Bukankah itu Rawa Pening?”
“Ada apa dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya.
“Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah
kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang Arya Salaka?” tanya
Widuri pula.
Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo Kanigara. Tetapi
sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang sedang menjelang
mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian terdengar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 94
jawabannya, “Widuri, Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan
berkelok-kelok seperti ular yang sedang berenang. Meskipun
demikian kau sudah dapat melihat arahnya dari tempat ini. Itulah
Bukit Telamaya.”
Endang Widuri tidak tahu pengaruh apakah yang menjalar di
hatinya, namun ketika ia mendengar nama itu, ia menjadi
berdebar-debar.
Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri, merupakan
daerah yang sejuk, tenteram dan damai. Tiba-tiba angan-
angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah
melihat daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi
sedemikian besar keinginan untuk pergi ke daerah itu, sebagai
daerah yang menyenangkan.
Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh ke arah Arya
Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di samping
Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit Telamaya
yang membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan
nyenyaknya. Di balik bukit itu membayanglah warna biru
kehijauan disaput oleh awan yang tipis, Gunung Merbabu.
Kemudian Endang Widuri meneruskan perjalanannya dengan
penuh angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang
pada keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di
hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan dinding-
dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh jalur-jalur
putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang
yang mencari kayu di hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu
hilang terputus ditelah oleh hutan-hutan yang berserakan di
lembah itu. Agak jauh di sebelah Rawa Pening, terbentanglah
sawah yang luas. Setingkat demi setingkat pematang-pematang
sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah itu
masih jauh.
Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar merasa
betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 94
Seperti seorang akan menjelang kekasih yang telah bertahun-
tahun tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman rumahnya
dengan pohon jambu yang lebat berbuah. Semuanya itu seperti
hilir mudik di depan matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit
Telamaya itulah tinggal seorang yang paling dicintai, serta
dirindukannya, yaitu ibunya.
Mahesa Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu
mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari
mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan dapat
menambah gelora perasaan rindu itu.
Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di samping
mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di pundak merekalah
terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah
bukit itu menggantungkan nasibnya.
Tiba-Tiba Arya Salaka menjadi semakin terharu ketika ia
melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di hadapannya
terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit Telamaya,
sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa
kemudian tergambar di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan
seekor naga raksasa yang sedang berjuang untuk merebut kembali
sebutir telur raksasanya yang teronggok di hadapannya. Arya
menarik nafas. Bukit Telamaya itu seolah-olah sebuah permata
yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan
ke segenap penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi.
Kemudian teringatlah anak muda itu akan sebuah kisah
terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada ayahnya.
Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu
sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa
panjang tubuhnya tidak memungkinkan, meskipun hanya kurang
sejengkal. Karena itu ular raksasa itu tidak menyenangkan
ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular raksasa itu segera
dipotongnya. Maka matilah ular itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian
berubah menjadi seorang kerdil yang menancapkan lidi di lembah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 94
bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat
menarik lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah
yang menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air
yang semakin lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah
di lembah itu sebuah Rawa. Rawa Pening.
Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas yang
seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit Telamaya.
Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus mampu melilit
bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang tubuh itu tidak
memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan
lidahnya. Tidak dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan
menyambung kekurangan itu dengan darahnya. Dengan
nyawanya.
Arya Salaka terkejut ketika terasa setetes air menyentuh
tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang mengaca.
Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun agak terpaku
juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang
demikianlah tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan
kebesaran alam, setiap kali ia menyebut nama Yang Maha Besar.
Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian agungnya, betapa Agung Yang
Menciptakannya.
Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya, Arya Salaka
mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh gelora
hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna
merah yang menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak
melihatnya dan malah ia bertanya kepada anak muda itu dengan
pertanyaan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan
Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya. “Arya, udara cerah.
Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita. Mudah-
mudahan kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.”
Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 94
“Kita perlu istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita
meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam sebelum
esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya itu.”
“Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya
Arya Salaka sekenanya.
“Tidak perlu,” jawab Mahesa Jenar, “Sebab menurut
pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua
tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila
terpaksa terjadi perselisihan, maka kita dapat mengetahui
siapakah yang berada di pihak kita, dan siapakah yang berbeda
pendapat dengan kita. Dengan demikian kita akan mendapat
gambaran yang tegas, apakah yang perlu kita lakukan.”
Arya Salaka yang telah dapat menguasai perasaanya, sekali
lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata pertimbangan
gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu tindakan yang
berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab,
“Agaknya demikianlah yang seharusnya, Paman.”
Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke Bukit
Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah, ngarai serta
jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia memandang cahaya
matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening.
Maka kemudian katanya, “Marilah Arya, ujung pasukanmu
telah berjalan agak jauh mendahului kita.”
Arya tersadar dari perasaan rindu, haru serta gambaran-
gambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya
laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan sempit itu telah
hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu dilihatnya
Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan
Penjawi.
Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah
sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan tersenyum.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 94
Kemudian setelah sampai di hadapan anak muda itu ia berkata,
“Adakah yang kurang dalam barisan ini?”
Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab, “Tidak,
Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita
menjadi semakin lengkap. Apabila kita besok mulai memasuki
Banyubiru, aku harap bahwa di samping Sang Saka Gula Kelapa,
berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti, sebagai lambang kebesaran
tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan
kesatuan Demak.”
Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya,
apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga terdengarlah Penjawi
menjawab, “Hebat. Kita pasang pula umbul-umbul dan tanda-
tanda kebesaran lainnya. Bukankah dengan demikian pasukan kita
akan bertambah megah?”
“Demikianlah hendaknya,” jawab Arya Salaka, “Asal hati kita
bertambah megah dan besar.”
Mahesa Jenar kagum akan kecepatan berpikir Arya. Dengan
demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya berjalan dahulu
untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah kesan keharuan dari
wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu pada
orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala
daerah perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya.
Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu berjalan dalam
keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata,
namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai
macam persoalan yang hilir-mudik, serta kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi silih berganti. Wajah-wajah
mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya matahari,
kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka
hadapi. Bahwa mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk
kembali kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa,
seolah-olah mereka adalah orang buruan yang dikejar-kejar dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 94
terasing karena mereka adalah perampok-perampok dan
penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan dengan
orang-orang yang tak tahu diri dan membuat kadang-kadang
diluar perikemanusiaan, hanya karena ia berkata, “Aku tetap setia
kepada Banyubiru.” Apakah salah mereka dengan kesetiaannya
itu? Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran, bahwa dalam
keadaan yang sedemikian ini, hanya pemerintahan yang
berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat
menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan
yang wajar antara Banyubiru dan Pamingit, diantara segala
sesuatu dapat dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya.
Sebab menurut keyakinan mereka, hanya dengan cara-cara yang
demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas perkenaan Yang
Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan batin. Akan bergemalah
kembali kesibukan serta keriuhan para penjual dan pembali di
pasar-pasar. Serta akan berkembanglah kembali usaha-usaha
pendidikan, sebagai taburan benih buat masa depan. Hanya dari
benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat
tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi
apabila pada bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk
yang baik, bahkan kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah
pohon-pohon yang akan menjadi tempat bernaung di masa depan,
serta akan muncul pulalah buah yang dihasilkan.
Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena tekad yang memang
sudah membaja, matahari telah berada di atas kepala. Sesaat
kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu yang tak
begitu lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan
rimba, terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa
pasukan itu harus berhenti beristirahat. Dalam kesempatan itu
Mahesa Jenar, Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta
beberapa orang penting lainnya mengadakan pembicaraan-
pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk mendahului
laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di pundak merekalah
diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar
mereka kepada rakyat Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 94
mereka ke dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka
diletakkan tanggungjawab untuk memberikan warna kepada
rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran laskar mereka.
Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan berarti
bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh
berita-berita yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan yang sama.
Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat
Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha untuk
memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru dan Pamingit,
antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri. Bahkan
kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah
laskar Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk
mengadakan pengacauan dan bahkan kadang-kadang
perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri. Namun kadang-kadang
mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang
Pamingit atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan
Lembu Sora untuk mengadakan penganiayaan atas orang
Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung halaman.
Dengan demikian mereka telah menggali lubang yang semakin
dalam antara dua keluarga sedarah itu.
Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh kedudukan
serta harta benda pun menjadi mata gelap. Mereka pun melakukan
perbuatan yang serupa, yang tidak mereka sengaja telah
membantu memperdalam jurang antara keluarga sendiri. Dari
mulut mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap
laskar Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan
penjahat yang sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-
penjahat yang lain.
Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Karena itu dipilihlah
diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang dianggap akan
dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan itu jatuh kepada
kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh
beberapa orang. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih agak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 94
kurang tenang dengan anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia
minta kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk
mengawasi pelaksanaan tugas itu.
Dengan senang hati mereka menerima kehormatan itu.
Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan sebaik-
baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.
“Sendang Papat dan Sendang Parapat....” pesan Mahesa Jenar,
“Kalian datang ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan,
bukan untuk menakut-nakuti dan bukan untuk mengancam. Kalian
datang ke Banyubiru untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang
sewajarnya. Karena itu jangan menuruti darah muda kalian. Kita
memilih kalian, karena kalian dalam wawasan kami dapat
mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman
Wanamerta ada di antara kalian. Jagalah keselamatannya.
Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada kami
dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan.”
Maka setelah beristirahat beberapa saat, rombongan kecil itu
pun berangkat mendahului. Mereka mengharap bahwa menjelang
malam, mereka sudah akan memasuki kota.
Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun
rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng Sora
Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas ini tak dapat
dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama
Kebo Kanigara.
Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan
laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar masih
saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan mereka tidak
akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar, bahwa mereka
masih harus menunggu dan menunggu. Perjalanan dari Candi
Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka
menjadi gelisah karena dengan rombongan-rombongan itu mereka
masih harus bersabar. Mereka harus menanti rombongan pertama
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 94
itu kembali, seterusnya mereka pun harus menunggu Mahesa
Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal itu
tidak akan banyak berarti?
Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia berkata
dengan sareh, “Para pemimpin laskar Banyubiru… aku masih
mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang
penting bagi kita bukanlah menghantam Banyubiru dengan
kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan kembali segala
sesuatunya pada tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki
Ageng Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan
mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan darah
yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana
dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa
setetes darah pun yang mengalir dari tubuh kita. Kita mengharap
bahwa apabila Arya Salaka telah benar-benar berada di hadapan
Lembu Sora, akan berubahlah pendirian pamannya itu. Sebab
bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.”
Tiba-tiba dari antara para pimpinan laskar Banyubiru itu
terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa kesal
hati mereka “Tuan, kalau begitu apakah artinya kita berarak-arak
kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora sampai ke anak
cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta segenap
pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut
dibuatnya.”
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti
sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah bersiap
untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur melawan
golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh,
“Kedatangan kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian
terhadap Banyubiru. Sebagai suatu kenyataan yang harus
diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu Sora dalam keputusannya.
Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang
terakhir kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini
gagal, maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 94
menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di barisan
yang paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya
Salaka-lah yang berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru,
mengemban kewajiban memegang pimpinan. Kecuali ia adalah
putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan yang tak dapat
disangkal, bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak Kyai
Bancak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.”
Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan
mereka, namun para pimpinan laskar Banyubiru itu mencoba
untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk beberapa
saat mereka akan melampaui masa-masa yang menjemukan.
Menunggu dan menunggu. Sedangkan menunggu bagi seorang
prajurit yang sudah bersiap untuk bertempur, adalah pekerjaan
yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka adalah laskar
yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan
dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk
menunggu itu pun akan mereka laksanakan pula.
Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar
Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap
untuk sampai ke perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap
untuk sampai perbatasan menjelang senja. Di sanalah mereka
akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka dengan
sebal dan gelisah.
Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar demikian
cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di langit sebelah
barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru itu telah
sampai ke tujuannya. Mereka segera menempatkan diri sebaik-
baiknya. Meskipun mereka tidak dalam gelar perang, namun
mereka harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora
mendahului menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itu pun
segera beristirahat, sebab besok mereka harus membangun
perkemahan untuk beberapa hari lamanya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 94
Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang
Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk menjaga
keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang sepi.
Satu-dua mereka bertemu juga dengan penduduk yang
memandang mereka dengan curiga. Namun karena malam telah
gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya.
Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat
mencapai pusat kota dengan selamat.
Di sepanjang jalan mereka sempat membicarakan apakah
yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak akan
mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orang-seorang,
memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu mereka
mencoba untuk bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam
jumlah yang besar sekaligus.
Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orang-orang
Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang menyedihkan.
Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan di ujung kota. Maka
ketika Wanamerta teringat pada ceritera Bantaran itu, ia berkata,
“Sendang berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang
itu?”
Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat,
“Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?”
Wanamerta tersenyum. Jawabnya, “Aku kira tidak, Sendang
Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang banyak
daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita
dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya
menjadi lebih besar. Nah, biarlah kita mencoba mengail ikan yang
besar sekaligus, meskipun umpannya pun harus besar.”
“Baiklah Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan
demikian mereka harus bersiap menghadapi bahaya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 94
Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak jauh di
belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil keputusan, maka
segera Sendang Parapat menemui mereka, dan memberi mereka
pesan-pesan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka ketika mereka mendengar suara gamelan
tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai dibunyikan,
berkatalah Wanamerta, “Nah, itulah, mereka segera akan mulai
dengan acara gila-gilaan itu.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka
hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Marilah kita mulai dengan permainan kita,” sambung
Wanamerta, “Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya
kedatangan kita tidak menarik perhatian.”
Maka Wanamerta pun kemudian berjalan sendiri, Sendang
Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang yang lainpun
kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah lapang
yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu.
Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat jalan-jalan berbeda
dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan gelap, segera
mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu. Mereka melihat
beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak-
gerak yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat
adalah penari yang baik pula. Tetapi mereka belum pernah
mempelajari bentuk-bentuk tarian seperti yang ditarikan oleh
tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal
siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka
sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang
Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa berjanji, di tempat
masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka. Gadis-
gadis itu ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis
yang baik, bahkan mereka adalah penari-penari yang baik pula.
Tetapi tiba-tiba mereka sekarang menari dengan gaya yang tak
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 94
pernah mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut penilaian
mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi mereka
benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu
jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gila-gilaan pula.
Diantara nada-nada yang berirama panas itu terdengar suara
pesinden yang tidak kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri.
Pesinden yang telah kehilangan patokan-patokan seni suara.
Maka di lapangan itu terdapatlah suatu perpaduan antara tari-
tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat membakar hangus
dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu sayang,
bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah yang
kini mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa
pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang itu,
bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah benar-
benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali telah
kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang hanya
memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi harus
dipanaskan dengan suasana yang benar-benar telah berubah
seperti panasnya api neraka, telah menelan seluruh tanah lapang
itu ke dalam suasana yang mengerikan.
Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya masih saja
berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka dalam waktu
yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua kali perkelahian
diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk
tuak, dibelai oleh suara tertawa beberapa orang perempuan
dengan gembira sekali menyaksikan perkelahian itu. Namun di
samping itu, Wanamerta dan kawan-kawannya, masih juga melhat
beberapa orang laki-laki yang hanya berjongkok-jongkok saja
menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah mereka,
Wanamerta menangkap beberapa kesan yang berbeda-beda. Ada
diantara mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada yang
kecewa karena mereka menyaksikan tingkah laku yang seolah-
olah kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 94
akhir ini mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk
kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu.
Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi bertambah ribut
dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orang-orang Banyubiru
itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah bayang-bayang yang
gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara orang-orang
yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya
bergolaklah berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya
berdebar-debar. Tiba-tiba Wanamerta merasa seperti seorang
bekel Bayangkari pada masa pemerintahan Baginda Jayanegara
yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan
Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti,
kemudian ia kembali ke Maja-
pahit mengabarkan kepada
rakyatnya bahwa Baginda telah
wafat. Ketika ia mengetahui
bahwa rakyat Majapahit dan
para pembesar berduka cita
atas berita itu, tahulah ia
bahwa rakyat masih cinta
kepada Baginda Jayanegara.
Demikianlah kali ini, ia harus
berhadapan dengan rakyat
Banyubiru, membawa kabar
tentang laskar mereka.
Mula-mula tak seorangpun
memperhatikan kehadirannya.
Tetapi beberapa saat kemudian
seorang demi seorang meman-
dangnya dengan penuh perhatian. Mula-mula mereka ragu,
apakah benar yang berdiri di antara mereka dengan sikap acuh tak
acuh itu Kiai Wanamerta.
Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak merasakan perhatian
orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin maju, melihat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 94
pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi semakin gila
dan panas.
Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para
penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan yang
berdiri di sebelahnya, “He Kakang, bukankah itu Kiai Wanamerta?”
Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab,
“Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta”
Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena keinginan mereka
untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka berjalan
perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang
itu sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai
Wanamerta. Dengan demikian para penonton di tanah lapang itu
pun berdesakan maju. Kali ini bukan karena tledeknya yang
semakin membuat tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka
ingin memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai
Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi.
Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi sedikit
ia telah dapat menarik perhatian. Tinggal kemudian apakah ia
dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia menarik nafas
untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar
jantungnya.
Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan
bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke samping
pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya.
Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan beriring-
iring di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin banyak.
Orang-orang yang semula tenggelam dalam lagu dan tarian yang
sudah semakin bubrah itu, kemudian satu demi satu meninggalkan
gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai
Wanamerta adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang
demikian itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 94
Para tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda dengan
hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini merasa seolah-
oleh tidak mendapat perhatian dari para pengunjungnya. Malahan
satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para
tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya.
Mula-mula mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak
yang semakin gairah. Tetapi ketika para penonton masih saja satu
demi satu melangkah pergi, tledek-tledek itu benar-benar
kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari semakin liar, dan
bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka adalah manusia
yang memiliki ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak lama
dilanggarnya, namun tidaklah sehebat kali ini, dimana mereka
menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa
tak menentu, meskipun hatinya menangis, sebab apabila para
penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada makan di
esok hari.
III
Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di tengah-tengah
lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap
kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua
yang sejuk itu memandang mereka yang berderet-deret di
hadapannya, maka tiba-tiba terasalah suatu tusukan yang tajam
ke dalam setiap dada orang-orang Banyubiru itu. Meskipun
Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun cahaya
matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam
dada penduduk Banyubiru itu pun ikut serta berkata-kata. Ikut
serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab,
“Kenapa hal-hal semacam ini bisa terjadi…?”
Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan berselang. Ketika
di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan perkelahian yang
sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu, mereka seolah-
oleh telah berjanji untuk tidak akan mengulangi kelakuan-
kelakuan mereka yang gila ini. Namun karena pengaruh keadaan,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 94
sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh dengan kemaksiatan
ini menariknya kembali. Dan sekarang yang berdiri di hadapannya
bukan sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi
kepercayaan Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama.
Tetua tanah perdikan Banyubiru, Kiai Wanamerta.
Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka
menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha bersembunyi
di punggung kawan-kawannya, supaya mukanya tidak terlihat oleh
Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu. Tetapi disamping
perasaan yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada
pula yang merasa betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh
kehadiran Wanamerta itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau
di tanah lapang itu, maka Wanamerta pun akan melakukan hal
yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang berpendirian
demikian segera menjadi gelap dan tegang. Mereka memandang
Wanamerta dengan perasaan benci.
Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran Wanamerta itu
berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan kata-
kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya
mengetahui pula, apa sebabnya para penontonnya meninggalkan
arena. Bahkan beberapa orang diantaranya segera meninggalkan
pekerjaan mereka, dan ikut pula berderet-deret melihat tetua
tanah perdikan mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara
mereka.
Karena itu, maka untuk beberapa lama tanah lapang itu
tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama
yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera
lenyap dalam keheningan yang tegang.
Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-
lahan, namun merata ke segenap telinga, “Kenapa kalian berhenti
bersuka ria?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 94
Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya.
Namun tak seorang pun dapat menjawab.
“Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur.
Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria,
bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering
kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian
menuai padi musim basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-
batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian
buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang
diperkenankan oleh agama kita.”
Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian
gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa
kerasnya.
Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta
meneruskan, “Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah,
teruskanlah.”
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka
yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta,
menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu.
Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru
itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, “Kenapa kalian
memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak
mengenal aku lagi?”
Masih belum terdengar suara dari antara mereka.
“He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung
Wanamerta.
Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 94
Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang
berat dan parau, “Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan
di sini?”
Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara
yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis
pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan
bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh
burung.
“Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.
“Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu. Matanya
memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran
Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah
pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk
mengamankan daerahnya.
“Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta,
“Kau sekarang nampak begitu gagah.”
Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya
mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena
itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan
mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta,
ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajaran. “Kiai,
aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu
jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.”
Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota
Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang
saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan
keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta
menjawab, “Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi
lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 94
“Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya, “Orang tua
yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di
rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”
Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab.
Maka terdengarlah kembali suara Sontani, “Nah Kiai… aku
ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”
Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, “Sudah aku
katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”
“Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya
kemudian, “Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-
tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang
mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak
rusak karenanya. Maka iapun menjawab, “Sontani, pertama,
memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang
demikian hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada
kampung halaman. Aku telah memutuskan untuk pulang dan hidup
diantara kalian seperti sediakala.”
“Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,”
bantah Sontani.
“Kenapa?” sahut Wanamerta.
“Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama.
Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya
kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu
Sora,” ancam Sontani.
“O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan
kepalanya. “Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku
rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali
pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 94
Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga
dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda
Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”
Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah gumam yang merata di
seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang
berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang
kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri,
kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya, “Apakah berita itu
benar…?”
Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-
katanya, “Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah
kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah
pengalaman?”
Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu,
tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari
berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam, “Mudah-
mudahan berita itu benar.”
Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di lapangan
itu, terdengarlah suara Sontani lantang, “Bohong…!”
Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul
dengan suara Sontani melanjutkan, “Apakah keuntungan kita
dengan kedatangan anak itu?”
“Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.
“Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan.
Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana.
Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa
pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya
bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah
tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih
menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 94
Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan
menjawab, Sontani sudah berteriak pula, “Ia masih merasa berhak
pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa
kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa
peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan
kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia
menyesal!”
Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang,
lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta
itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak,
“Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek.
Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.”
Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi
menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk
memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-
puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang,
maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri
tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itu pun
dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak
menghendaki kehadirannya. Maka terdengarlah bersautan, “He,
Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah
kelahiranmu ini.” Disusul oleh yang lain, “Kami tidak perlukan anak
itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”
Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita
tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula.
Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya
akan menambah keributan. Satu demi satu merekapun
terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan
akhirnya seorang berteriak, “Pergilah kau Wanamerta, keledai tua
yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….” Disaut oleh suara gemuruh,
“Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang
indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar
Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.” Terdengarlah kemudian
suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu.
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

More Related Content

What's hot

16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 

What's hot (7)

16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
16 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
08 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
 
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
15 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
10 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
09 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
05 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
07 Nagasasra dan sabuk inten sh mintardja
 

Viewers also liked

1.3b 3-1.2c discovery learning 1
1.3b 3-1.2c discovery learning  11.3b 3-1.2c discovery learning  1
1.3b 3-1.2c discovery learning 1Mardi Sam
 
RVO voorlichting MIT regeling
RVO voorlichting MIT regelingRVO voorlichting MIT regeling
RVO voorlichting MIT regeling
Media Perspectives
 
Unit 5 using microsoft office excel 2007 vie
Unit 5 using microsoft office excel 2007 vieUnit 5 using microsoft office excel 2007 vie
Unit 5 using microsoft office excel 2007 vie
HG Rồng Con
 
2015 sevenval device-trends-june
2015 sevenval device-trends-june2015 sevenval device-trends-june
2015 sevenval device-trends-june
Avenga Germany GmbH
 
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)Anthony Chew
 
Top 8 customer sales resume samples
Top 8 customer sales resume samplesTop 8 customer sales resume samples
Top 8 customer sales resume samplesDavidGuetta123
 
LabReport1DensityMeasurements
LabReport1DensityMeasurementsLabReport1DensityMeasurements
LabReport1DensityMeasurementsPatrick Deck
 
Aed mentorship
Aed mentorshipAed mentorship
Aed mentorship
Adri BC
 
by allah dad khan ٹنل فارمنگ
 by allah dad khan ٹنل فارمنگ by allah dad khan ٹنل فارمنگ
by allah dad khan ٹنل فارمنگ
Mr.Allah Dad Khan
 
How to Develop and Deliver an Effective Pitch
How to Develop and Deliver an Effective PitchHow to Develop and Deliver an Effective Pitch
How to Develop and Deliver an Effective Pitch
TechSoup Canada
 
(παρ) θερινο σχολειο
(παρ) θερινο σχολειο(παρ) θερινο σχολειο
(παρ) θερινο σχολειοHIOTELIS IOANNIS
 
Marketing vs. IT - Let the Battle Begin
Marketing vs. IT - Let the Battle BeginMarketing vs. IT - Let the Battle Begin
Marketing vs. IT - Let the Battle Begin
Connect2AMC
 

Viewers also liked (14)

1.3b 3-1.2c discovery learning 1
1.3b 3-1.2c discovery learning  11.3b 3-1.2c discovery learning  1
1.3b 3-1.2c discovery learning 1
 
Monica H
Monica HMonica H
Monica H
 
Marea alta
Marea altaMarea alta
Marea alta
 
RVO voorlichting MIT regeling
RVO voorlichting MIT regelingRVO voorlichting MIT regeling
RVO voorlichting MIT regeling
 
Unit 5 using microsoft office excel 2007 vie
Unit 5 using microsoft office excel 2007 vieUnit 5 using microsoft office excel 2007 vie
Unit 5 using microsoft office excel 2007 vie
 
2015 sevenval device-trends-june
2015 sevenval device-trends-june2015 sevenval device-trends-june
2015 sevenval device-trends-june
 
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)
Project brief 2 architecture studio 3 s1 2015 (3)
 
Top 8 customer sales resume samples
Top 8 customer sales resume samplesTop 8 customer sales resume samples
Top 8 customer sales resume samples
 
LabReport1DensityMeasurements
LabReport1DensityMeasurementsLabReport1DensityMeasurements
LabReport1DensityMeasurements
 
Aed mentorship
Aed mentorshipAed mentorship
Aed mentorship
 
by allah dad khan ٹنل فارمنگ
 by allah dad khan ٹنل فارمنگ by allah dad khan ٹنل فارمنگ
by allah dad khan ٹنل فارمنگ
 
How to Develop and Deliver an Effective Pitch
How to Develop and Deliver an Effective PitchHow to Develop and Deliver an Effective Pitch
How to Develop and Deliver an Effective Pitch
 
(παρ) θερινο σχολειο
(παρ) θερινο σχολειο(παρ) θερινο σχολειο
(παρ) θερινο σχολειο
 
Marketing vs. IT - Let the Battle Begin
Marketing vs. IT - Let the Battle BeginMarketing vs. IT - Let the Battle Begin
Marketing vs. IT - Let the Battle Begin
 

Similar to 18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardjaSariyanti Palembang
 
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
Sariyanti Palembang
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
Sariyanti Palembang
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
Sariyanti Palembang
 
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
Sariyanti Palembang
 

Similar to 18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja (12)

02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
02 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
21 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
20 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
04 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
12 naga sasra dan sabuk inten sh mintardja
 
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
19 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
23 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
25 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
22 Nagasasra dan Sabuk Inten_Singgih Hadi Mintardja
 
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping HooSi Tangan Sakti Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti Kho Ping Hoo
 
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
06 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja
 
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
17 Pusaka Pulau Es Kho Ping Hoo
 

Recently uploaded

Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99
 
pembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr ut
pembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr utpembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr ut
pembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr ut
sarahamalia26
 
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
MuhammadRafi159661
 
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
Tiaellyrosyita
 
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdfDAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
AGUSABDULROHIM
 
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.pptVIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
MuhammadAmin350497
 
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling GacorPapilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99
 
Modul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdf
Modul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdfModul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdf
Modul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdf
MiftaJohanDaehanJo
 
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking PresentasiGames Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
RayAhmed5
 
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang MaxwinMelodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99
 

Recently uploaded (10)

Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
Kodomo99 Daftar Situs Judi Slot Maxwin Server Thailand Hari Ini 2024
 
pembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr ut
pembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr utpembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr ut
pembelajaran kelas rangkap model pembelajaran 221 pkr ut
 
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
PPT Chapter 11_Kelompok 5.pptx 234567890
 
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
617147349-MODUL-9-DAN-10-PENDIDIKAN-SENI-DI-SD.pptx
 
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdfDAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
DAFTAR KEHADIRAN KELAS PENGELOLAAN KINERJA GURU DI PMM.pdf
 
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.pptVIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
VIII PENDAFTARAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH.ppt
 
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling GacorPapilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
Papilo99 Link Situs Judi Slot Online Server Thailand Terbaik Paling Gacor
 
Modul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdf
Modul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdfModul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdf
Modul 3.2. Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya - Final (1).pdf
 
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking PresentasiGames Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
Games Tebak Lagu Untuk Ice Breaking Presentasi
 
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang MaxwinMelodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
Melodi99 Link Daftar Situs Judi Slot Gacor Sensasional Gampang Maxwin
 

18 Nagasasra dan Sabuk Inten_SH Mintardja

  • 1. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 94
  • 2. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 94 I asingsingan melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu. Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui, kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu. Telinganya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa derap kuda itu tidak akan lebih dari lima atau enam. Dengan demikian ia dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu. Tetapi karena otak Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang mencemaskan hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua, Radite, dan Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya kepada salah seorang dari mereka. Apakah didalam rombongan itu akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah kedua- duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan yang dapat diperoleh untuk memenangkan pertempuran ini. Sebab ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang lain di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi Pasingsingan. Apalagi kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu adalah seekor burung rajawali yang perkasa, yang bahkan melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang mencemaskan hatinya itu. Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu. Sebagai seekor serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci. Maka ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya mendekati perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram keras sekali. Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati Pasingsingan yang berwarna kuning kemilau. Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan P
  • 3. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 94 dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur seperti dihembus badai. Mahesa Jenar untuk beberapa saat tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak- semak, berselimut kehitaman malam. Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman perkemahan itu, dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya, sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka, sedemikian para penunggangnya berloncatan turun. Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, “Ayah, sayang ayah terlambat.” Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit ragu mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah pertanyaannya, “Apa yang terlambat?” Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung ayahnya sambil menjawab, “Baru saja kami menonton pertunjukan yang luar biasa.” “Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar. “Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir berjubah abu-abu,” jawab gadis itu. Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, “Pasingsingan…?”
  • 4. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 94 Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di perkemahan. “Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara. “Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri. Sementara itu yang lain pun telah berdiri mengitarinya. Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala. “Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada mereka. “Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan. Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis yang hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itu pun masih kelihatan pucat. “Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula. Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, “Setan itu bisa menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama sekali tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya.” Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, “Kenapa ayah tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”
  • 5. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 94 “Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu sekali?” bantah ayahnya. “Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika bibi mencoba menolong Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting karena serangan Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara panas yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri. Sekali lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya. Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera gadis kecil itu. “Aku berkata benar, Ayah....” Widuri meneruskan sambil merengut. “Paman Mahesa Jenar itu pun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun kembali.” “Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara. “Sebab bibi Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak, barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak berbaring, menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri. “Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya. “Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu. “Aku berkata sebenarnya.” Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam benaknya perkataan anaknya itu, “Paman Mahesa Jenar itu pun dapat dijatuhkannya.” Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, “Adakah Mahesa Jenar selamat?”
  • 6. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 94 “Bagi kami” jawab Mantingan, “agak sulit untuk dapat mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu berada jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang dikejarnya,” Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak. Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang berjalan perlahan-lahan ke arahnya. “Mahesa Jenar....” sapa Kebo Kanigara. Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya, Kakang.” “Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara. Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, “Aku tak berhasil menangkapnya.” Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan bencana?” “Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Baiklah....” kata Kebo Kanigara seterusnya, “Sekarang cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah pergi pula.” Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya dipengaruhi sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo.
  • 7. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 94 Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di kejauhan sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit telah diwarnai oleh cahaya perak pagi. Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah mereka menghilang dari wajah langit yang biru bersih. Angin pagi yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun pepohonan rimba. “Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, “Bukankah kaliah lelah?” “Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, “Karena itu aku akan tidur sehari penuh.” “Aku tidak percaya,” jawab ayahnya. “Kenapa?” tanya Widuri. “Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya. Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok yang disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke tempat masing-masing. Mantingan berjalan dengan langkah gontai, sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan suatu peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya. Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul Endang Widuri untuk beristirahat. Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo. Meskipun masih ada diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika tubuh mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang malahan menjadi bingung, sedang
  • 8. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 94 beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk pada siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar Banyubiru itu pun telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba- tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat fajar hampir pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam dada mereka sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab sendiri, “Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah terjadi didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat- saat penjagaan.” Tetapi, mereka menjadi agak terhibur ketika mereka mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk melepaskan darinya. Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk mendapat pengawasan, mereka pun berpesan wanti-wanti kepada para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada. Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan. Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya. Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia
  • 9. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 94 melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang. Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat digetarkan. Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan, namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka. Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi. Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara. “Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara. “Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar. “Semula aku tidak tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan berdasarkan ajinya Alas Kobar.” “Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar itu?” tanya Kanigara pula.
  • 10. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 94 “Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu, sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran- getaran itu terganggu.” Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar, meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan pertahanan. Kemudian ia bertanya pula, “Tidakkah iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.” Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab, “Kakang, semula aku pun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas Kobar itu.” Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa. Katanya, “Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang
  • 11. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 94 pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan- kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu. Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.” Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak akan kering di segala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan. Sebagai manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa? Meskipun ia tidak menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip dengan ilmu kekebalan. Tetapi, sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat- saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya. Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam
  • 12. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 94 ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa cinta kasih. Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam- macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya. Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada kebenaran dan keadilan. Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, “Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan- kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah- mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini sebaik-baiknya.” Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, “Berbahagialah kau Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas keluhuran hatimu.”
  • 13. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 94 Namun yang terucapkan adalah, “Meskipun demikian Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat mempertanggung-jawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha Tinggi.” Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannya pun sesuai benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk keperluan yang tepat pula. Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya, dan orang-orang lain yang setingkat dengan mereka itu. Namun disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara kepada gurunya. Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun
  • 14. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 94 demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya sendiri bahwa ia pun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara. Karena angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan- kesulitan yang masih harus di atasi. Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih tetap berangan-angan. Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya, namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya menghadapi masa kemudian. Arya Salaka ingat benar betapa ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah seorang yang hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin dewasa tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan. Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu. Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari yang masih sangat condong menembus dinding-dinding
  • 15. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 94 pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan. Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati indahnya pagi ini. Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir lemah. Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir- mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit timba serta debur air orang mandi. Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal, namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran. “Ah....” desah Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam angan-angannya. Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak- anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan
  • 16. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 94 kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan kesetiaannya kepada tumpah darah. Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap. Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula. Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan kekuasaan Demak. Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula- mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam penelahan Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya
  • 17. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 94 sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja. Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya. Tetapi rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Sehingga, dengan demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing- masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan, namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka, berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan, perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal- hal yang akan terjadi. Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului
  • 18. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 94 perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang- orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus. Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya. Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru, serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini, memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu. Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang buruan dan sayur-sayuran. “Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar. Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan lahapnya. Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah
  • 19. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 94 Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri, “Itulah yang aku cemaskan, Kakang.” Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara. Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, “Kita dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.” Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip. Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh- sungguh. Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang menyenangkan. Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung. Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, “Kakang, aku kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai tugas kita kepada Arya Salaka.” Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya, “Berilah ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan terjadi.” Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira. Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-
  • 20. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 94 kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta Kebo Kanigara. “Arya....” kata Mahesa Jenar, “Aku akan menceritakan perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada di sana.” Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang menyenangkan itu. Meskipun Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah terjadi, namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan, apalagi ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar, betapa halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang sejak belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang ayah bundanya. Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri. Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya. Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda itu adalah, “Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti
  • 21. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 94 yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan- kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Karena itulah maka ia tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain. Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Arya, aku minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itu pun tidak mengalami sesuatu.” Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya, sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat itu juga. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih sayang. Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati untuk menentramkan hati anak itu, “Arya, tenangkanlah hatimu. Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu menegakkan kebenaran dan keadilan.”
  • 22. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 94 Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki. Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka kemudian ia mengangkat wajahnya. Dengan penuh tekad ia berkata, “Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangga. Katanya, “Demikianlah putra Ki Ageng Gajah Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.” Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya dengan darah. Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula- mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya. “Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula. “Ya,” jawab Arya Salaka. “Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,”
  • 23. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 94 sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat. “Bukankah begitu?” “Ya,” jawab Arya Salaka singkat. “Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening yang berkilau…?” Widuri meluruskan. “Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka rumahku.” Arya Salaka membetulkan. “Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri. “Hem....” Widuri meneruskan, “Kalau begitu kau adalah anak seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana Demak pun ada alun-alun.” “Tidak selalu,” potong Arya, “Ayahku bukanlah orang yang kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun. Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.” “Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok. Arya Salaka menggelengkan kepalanya. “Entahlah,” jawabnya. “Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang pula. “Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.” Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka. Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di
  • 24. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 94 dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah, “Kakang Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi ia tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin melihat kehidupan bukit Telamaya dan kecerahan wajah Rawa Pening di pagi yang bening.” Rara Wilis tersenyum. Sebenarnya di dalam hatinya sendiri pun tersimpan pula harapan, agar segala sesua- tunya menjadi lekas terselesai-kan. Sebagai seorang gadis ia lebih mudah tersentuh oleh perasaan rindu kepada keluar-ga. Kepada hidup kekeluarga-an yang lumrah. Meskipun di dalam tubuhnya mengalir juga darah pengembara dari kakeknya, Pandan Alas, namun baginya lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau dengan tetangga. Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap- cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam pergolakan masa kini. Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di
  • 25. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 94 gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa orang lagi. Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itu pun memiliki kekuatan yang tak dapat diabaikan. Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar Mahesa Jenar berkata, “Laskar Banyubiru yang setia, kalian harus ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali ke Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk kepentingan kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan perasaan keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan.” Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata- kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap orang yang mendengarkan. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, “Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan. Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk setiap saat berangkat ke Banyubiru.” Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke
  • 26. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 94 Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipajana. Sebagai seorang yang patuh kepada agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan, cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin. Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar dalam pengamalan dan perbuatan. Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan perbuatan…? Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk- mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang
  • 27. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 94 tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah. Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya. Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan- an. Itulah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar pemerintahan itu. Dengan demikian, ketika matahari mulai menjengukkan wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka, mempertajam pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata- senjata itu bukan mutlak harus dipergunakan, namun terhadap orang yang bernama Lembu Sora dan Sawung Sariti, hal yang demikian itu tak dapat dikesampingkan. Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sendiri memerlukan menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan tanpa mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung memberikan nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan beberapa orang yang cukup kuat, langsung mendapat latihan- latihan khusus dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping usaha-usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan, Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri. II Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar menganggap bahwa waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru itu. Dan pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari setiap pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak- anakBanyubiru itu, menjalarlah sebuah iringan yang seperti ular menelusuri jalan-jalan perbukitan. Di ujung barisan itu berjalanlah Mahesa Jenar di samping Arya Salaka. Kemudian di belakangnya berjalan seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya.
  • 28. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 94 Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan yang penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan lembah yang berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara batu-batu padas yang merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan itu. Sinar matahari pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu menari dengan lincahnya mempermainkan titik-titik embun yang masih tersangkut di ujung-ujung daun. Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil, tiba- tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti. Mahesa Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar menariknya ke tepi dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus. Ketika Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia menoleh kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sebab kemudian kembali ia tertarik pada dataran yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang sudah cukup tinggi. “Ai....” teriak gadis kecil itu, “Apakah itu?” Ayahnya tertawa, dijawabnya, “Seharusnya aku mengajak kau merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat matahari terbit.” Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan kata-kata ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali, “Rawa Pening? Bukankah itu Rawa Pening?” “Ada apa dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya. “Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang Arya Salaka?” tanya Widuri pula. Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo Kanigara. Tetapi sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang sedang menjelang mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian terdengar
  • 29. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 94 jawabannya, “Widuri, Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan berkelok-kelok seperti ular yang sedang berenang. Meskipun demikian kau sudah dapat melihat arahnya dari tempat ini. Itulah Bukit Telamaya.” Endang Widuri tidak tahu pengaruh apakah yang menjalar di hatinya, namun ketika ia mendengar nama itu, ia menjadi berdebar-debar. Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri, merupakan daerah yang sejuk, tenteram dan damai. Tiba-tiba angan- angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah melihat daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi sedemikian besar keinginan untuk pergi ke daerah itu, sebagai daerah yang menyenangkan. Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh ke arah Arya Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di samping Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit Telamaya yang membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan nyenyaknya. Di balik bukit itu membayanglah warna biru kehijauan disaput oleh awan yang tipis, Gunung Merbabu. Kemudian Endang Widuri meneruskan perjalanannya dengan penuh angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang pada keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan dinding- dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh jalur-jalur putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang yang mencari kayu di hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu hilang terputus ditelah oleh hutan-hutan yang berserakan di lembah itu. Agak jauh di sebelah Rawa Pening, terbentanglah sawah yang luas. Setingkat demi setingkat pematang-pematang sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah itu masih jauh. Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar merasa betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya itu.
  • 30. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 94 Seperti seorang akan menjelang kekasih yang telah bertahun- tahun tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman rumahnya dengan pohon jambu yang lebat berbuah. Semuanya itu seperti hilir mudik di depan matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit Telamaya itulah tinggal seorang yang paling dicintai, serta dirindukannya, yaitu ibunya. Mahesa Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan dapat menambah gelora perasaan rindu itu. Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di samping mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di pundak merekalah terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah bukit itu menggantungkan nasibnya. Tiba-Tiba Arya Salaka menjadi semakin terharu ketika ia melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di hadapannya terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit Telamaya, sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa kemudian tergambar di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan seekor naga raksasa yang sedang berjuang untuk merebut kembali sebutir telur raksasanya yang teronggok di hadapannya. Arya menarik nafas. Bukit Telamaya itu seolah-olah sebuah permata yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan ke segenap penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi. Kemudian teringatlah anak muda itu akan sebuah kisah terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada ayahnya. Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa panjang tubuhnya tidak memungkinkan, meskipun hanya kurang sejengkal. Karena itu ular raksasa itu tidak menyenangkan ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular raksasa itu segera dipotongnya. Maka matilah ular itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian berubah menjadi seorang kerdil yang menancapkan lidi di lembah
  • 31. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 94 bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat menarik lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah yang menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air yang semakin lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah di lembah itu sebuah Rawa. Rawa Pening. Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas yang seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit Telamaya. Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus mampu melilit bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang tubuh itu tidak memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan lidahnya. Tidak dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan menyambung kekurangan itu dengan darahnya. Dengan nyawanya. Arya Salaka terkejut ketika terasa setetes air menyentuh tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang mengaca. Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun agak terpaku juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang demikianlah tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan kebesaran alam, setiap kali ia menyebut nama Yang Maha Besar. Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian agungnya, betapa Agung Yang Menciptakannya. Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya, Arya Salaka mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh gelora hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna merah yang menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan malah ia bertanya kepada anak muda itu dengan pertanyaan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya. “Arya, udara cerah. Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita. Mudah- mudahan kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.” Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab, “Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”
  • 32. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 94 “Kita perlu istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam sebelum esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya itu.” “Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya Arya Salaka sekenanya. “Tidak perlu,” jawab Mahesa Jenar, “Sebab menurut pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila terpaksa terjadi perselisihan, maka kita dapat mengetahui siapakah yang berada di pihak kita, dan siapakah yang berbeda pendapat dengan kita. Dengan demikian kita akan mendapat gambaran yang tegas, apakah yang perlu kita lakukan.” Arya Salaka yang telah dapat menguasai perasaanya, sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata pertimbangan gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu tindakan yang berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab, “Agaknya demikianlah yang seharusnya, Paman.” Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke Bukit Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah, ngarai serta jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia memandang cahaya matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening. Maka kemudian katanya, “Marilah Arya, ujung pasukanmu telah berjalan agak jauh mendahului kita.” Arya tersadar dari perasaan rindu, haru serta gambaran- gambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan sempit itu telah hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu dilihatnya Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan Penjawi. Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan tersenyum.
  • 33. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 94 Kemudian setelah sampai di hadapan anak muda itu ia berkata, “Adakah yang kurang dalam barisan ini?” Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab, “Tidak, Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita menjadi semakin lengkap. Apabila kita besok mulai memasuki Banyubiru, aku harap bahwa di samping Sang Saka Gula Kelapa, berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti, sebagai lambang kebesaran tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan kesatuan Demak.” Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya, apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga terdengarlah Penjawi menjawab, “Hebat. Kita pasang pula umbul-umbul dan tanda- tanda kebesaran lainnya. Bukankah dengan demikian pasukan kita akan bertambah megah?” “Demikianlah hendaknya,” jawab Arya Salaka, “Asal hati kita bertambah megah dan besar.” Mahesa Jenar kagum akan kecepatan berpikir Arya. Dengan demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya berjalan dahulu untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah kesan keharuan dari wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu pada orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala daerah perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya. Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu berjalan dalam keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata, namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai macam persoalan yang hilir-mudik, serta kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi silih berganti. Wajah-wajah mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya matahari, kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka hadapi. Bahwa mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk kembali kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa, seolah-olah mereka adalah orang buruan yang dikejar-kejar dan
  • 34. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 94 terasing karena mereka adalah perampok-perampok dan penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang tak tahu diri dan membuat kadang-kadang diluar perikemanusiaan, hanya karena ia berkata, “Aku tetap setia kepada Banyubiru.” Apakah salah mereka dengan kesetiaannya itu? Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran, bahwa dalam keadaan yang sedemikian ini, hanya pemerintahan yang berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan yang wajar antara Banyubiru dan Pamingit, diantara segala sesuatu dapat dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya. Sebab menurut keyakinan mereka, hanya dengan cara-cara yang demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas perkenaan Yang Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan batin. Akan bergemalah kembali kesibukan serta keriuhan para penjual dan pembali di pasar-pasar. Serta akan berkembanglah kembali usaha-usaha pendidikan, sebagai taburan benih buat masa depan. Hanya dari benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi apabila pada bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk yang baik, bahkan kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah pohon-pohon yang akan menjadi tempat bernaung di masa depan, serta akan muncul pulalah buah yang dihasilkan. Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena tekad yang memang sudah membaja, matahari telah berada di atas kepala. Sesaat kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu yang tak begitu lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan rimba, terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa pasukan itu harus berhenti beristirahat. Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar, Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta beberapa orang penting lainnya mengadakan pembicaraan- pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk mendahului laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di pundak merekalah diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar mereka kepada rakyat Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan
  • 35. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 94 mereka ke dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka diletakkan tanggungjawab untuk memberikan warna kepada rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran laskar mereka. Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan berarti bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh berita-berita yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha untuk memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru dan Pamingit, antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri. Bahkan kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah laskar Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk mengadakan pengacauan dan bahkan kadang-kadang perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri. Namun kadang-kadang mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang Pamingit atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan Lembu Sora untuk mengadakan penganiayaan atas orang Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung halaman. Dengan demikian mereka telah menggali lubang yang semakin dalam antara dua keluarga sedarah itu. Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh kedudukan serta harta benda pun menjadi mata gelap. Mereka pun melakukan perbuatan yang serupa, yang tidak mereka sengaja telah membantu memperdalam jurang antara keluarga sendiri. Dari mulut mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap laskar Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan penjahat yang sama sekali tidak berbeda dengan penjahat- penjahat yang lain. Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Karena itu dipilihlah diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang dianggap akan dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan itu jatuh kepada kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh beberapa orang. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih agak
  • 36. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 94 kurang tenang dengan anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia minta kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk mengawasi pelaksanaan tugas itu. Dengan senang hati mereka menerima kehormatan itu. Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan sebaik- baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka. “Sendang Papat dan Sendang Parapat....” pesan Mahesa Jenar, “Kalian datang ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan, bukan untuk menakut-nakuti dan bukan untuk mengancam. Kalian datang ke Banyubiru untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang sewajarnya. Karena itu jangan menuruti darah muda kalian. Kita memilih kalian, karena kalian dalam wawasan kami dapat mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman Wanamerta ada di antara kalian. Jagalah keselamatannya. Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada kami dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan.” Maka setelah beristirahat beberapa saat, rombongan kecil itu pun berangkat mendahului. Mereka mengharap bahwa menjelang malam, mereka sudah akan memasuki kota. Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng Sora Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas ini tak dapat dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama Kebo Kanigara. Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar masih saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan mereka tidak akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar, bahwa mereka masih harus menunggu dan menunggu. Perjalanan dari Candi Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka menjadi gelisah karena dengan rombongan-rombongan itu mereka masih harus bersabar. Mereka harus menanti rombongan pertama
  • 37. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 94 itu kembali, seterusnya mereka pun harus menunggu Mahesa Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal itu tidak akan banyak berarti? Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia berkata dengan sareh, “Para pemimpin laskar Banyubiru… aku masih mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang penting bagi kita bukanlah menghantam Banyubiru dengan kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan kembali segala sesuatunya pada tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki Ageng Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan darah yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa setetes darah pun yang mengalir dari tubuh kita. Kita mengharap bahwa apabila Arya Salaka telah benar-benar berada di hadapan Lembu Sora, akan berubahlah pendirian pamannya itu. Sebab bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.” Tiba-tiba dari antara para pimpinan laskar Banyubiru itu terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa kesal hati mereka “Tuan, kalau begitu apakah artinya kita berarak-arak kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora sampai ke anak cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta segenap pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut dibuatnya.” Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah bersiap untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur melawan golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh, “Kedatangan kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian terhadap Banyubiru. Sebagai suatu kenyataan yang harus diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu Sora dalam keputusannya. Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang terakhir kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini gagal, maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk
  • 38. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 94 menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di barisan yang paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya Salaka-lah yang berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru, mengemban kewajiban memegang pimpinan. Kecuali ia adalah putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak Kyai Bancak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.” Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan mereka, namun para pimpinan laskar Banyubiru itu mencoba untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk beberapa saat mereka akan melampaui masa-masa yang menjemukan. Menunggu dan menunggu. Sedangkan menunggu bagi seorang prajurit yang sudah bersiap untuk bertempur, adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka adalah laskar yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk menunggu itu pun akan mereka laksanakan pula. Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai ke perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai perbatasan menjelang senja. Di sanalah mereka akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka dengan sebal dan gelisah. Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar demikian cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di langit sebelah barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru itu telah sampai ke tujuannya. Mereka segera menempatkan diri sebaik- baiknya. Meskipun mereka tidak dalam gelar perang, namun mereka harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora mendahului menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itu pun segera beristirahat, sebab besok mereka harus membangun perkemahan untuk beberapa hari lamanya.
  • 39. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 94 Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk menjaga keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang sepi. Satu-dua mereka bertemu juga dengan penduduk yang memandang mereka dengan curiga. Namun karena malam telah gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya. Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat mencapai pusat kota dengan selamat. Di sepanjang jalan mereka sempat membicarakan apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak akan mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orang-seorang, memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu mereka mencoba untuk bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam jumlah yang besar sekaligus. Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orang-orang Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang menyedihkan. Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan di ujung kota. Maka ketika Wanamerta teringat pada ceritera Bantaran itu, ia berkata, “Sendang berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang itu?” Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat, “Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?” Wanamerta tersenyum. Jawabnya, “Aku kira tidak, Sendang Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang banyak daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya menjadi lebih besar. Nah, biarlah kita mencoba mengail ikan yang besar sekaligus, meskipun umpannya pun harus besar.” “Baiklah Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan demikian mereka harus bersiap menghadapi bahaya.
  • 40. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 94 Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak jauh di belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil keputusan, maka segera Sendang Parapat menemui mereka, dan memberi mereka pesan-pesan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Demikianlah, maka ketika mereka mendengar suara gamelan tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai dibunyikan, berkatalah Wanamerta, “Nah, itulah, mereka segera akan mulai dengan acara gila-gilaan itu.” Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala. “Marilah kita mulai dengan permainan kita,” sambung Wanamerta, “Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya kedatangan kita tidak menarik perhatian.” Maka Wanamerta pun kemudian berjalan sendiri, Sendang Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang yang lainpun kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah lapang yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu. Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat jalan-jalan berbeda dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan gelap, segera mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu. Mereka melihat beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak- gerak yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah penari yang baik pula. Tetapi mereka belum pernah mempelajari bentuk-bentuk tarian seperti yang ditarikan oleh tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa berjanji, di tempat masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka. Gadis- gadis itu ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis yang baik, bahkan mereka adalah penari-penari yang baik pula. Tetapi tiba-tiba mereka sekarang menari dengan gaya yang tak
  • 41. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 94 pernah mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut penilaian mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi mereka benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gila-gilaan pula. Diantara nada-nada yang berirama panas itu terdengar suara pesinden yang tidak kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri. Pesinden yang telah kehilangan patokan-patokan seni suara. Maka di lapangan itu terdapatlah suatu perpaduan antara tari- tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat membakar hangus dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu sayang, bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah yang kini mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak. Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang itu, bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah benar- benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali telah kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang hanya memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi harus dipanaskan dengan suasana yang benar-benar telah berubah seperti panasnya api neraka, telah menelan seluruh tanah lapang itu ke dalam suasana yang mengerikan. Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya masih saja berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua kali perkelahian diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk tuak, dibelai oleh suara tertawa beberapa orang perempuan dengan gembira sekali menyaksikan perkelahian itu. Namun di samping itu, Wanamerta dan kawan-kawannya, masih juga melhat beberapa orang laki-laki yang hanya berjongkok-jongkok saja menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah mereka, Wanamerta menangkap beberapa kesan yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada yang kecewa karena mereka menyaksikan tingkah laku yang seolah- olah kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-
  • 42. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 94 akhir ini mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu. Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi bertambah ribut dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orang-orang Banyubiru itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah bayang-bayang yang gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara orang-orang yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya bergolaklah berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya berdebar-debar. Tiba-tiba Wanamerta merasa seperti seorang bekel Bayangkari pada masa pemerintahan Baginda Jayanegara yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti, kemudian ia kembali ke Maja- pahit mengabarkan kepada rakyatnya bahwa Baginda telah wafat. Ketika ia mengetahui bahwa rakyat Majapahit dan para pembesar berduka cita atas berita itu, tahulah ia bahwa rakyat masih cinta kepada Baginda Jayanegara. Demikianlah kali ini, ia harus berhadapan dengan rakyat Banyubiru, membawa kabar tentang laskar mereka. Mula-mula tak seorangpun memperhatikan kehadirannya. Tetapi beberapa saat kemudian seorang demi seorang meman- dangnya dengan penuh perhatian. Mula-mula mereka ragu, apakah benar yang berdiri di antara mereka dengan sikap acuh tak acuh itu Kiai Wanamerta. Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak merasakan perhatian orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin maju, melihat
  • 43. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 94 pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi semakin gila dan panas. Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan yang berdiri di sebelahnya, “He Kakang, bukankah itu Kiai Wanamerta?” Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab, “Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta” Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena keinginan mereka untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka berjalan perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang itu sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai Wanamerta. Dengan demikian para penonton di tanah lapang itu pun berdesakan maju. Kali ini bukan karena tledeknya yang semakin membuat tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka ingin memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi. Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi sedikit ia telah dapat menarik perhatian. Tinggal kemudian apakah ia dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia menarik nafas untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar jantungnya. Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke samping pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya. Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan beriring- iring di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin banyak. Orang-orang yang semula tenggelam dalam lagu dan tarian yang sudah semakin bubrah itu, kemudian satu demi satu meninggalkan gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai Wanamerta adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang demikian itu.
  • 44. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 94 Para tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda dengan hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini merasa seolah- oleh tidak mendapat perhatian dari para pengunjungnya. Malahan satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya. Mula-mula mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak yang semakin gairah. Tetapi ketika para penonton masih saja satu demi satu melangkah pergi, tledek-tledek itu benar-benar kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari semakin liar, dan bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka adalah manusia yang memiliki ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak lama dilanggarnya, namun tidaklah sehebat kali ini, dimana mereka menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa tak menentu, meskipun hatinya menangis, sebab apabila para penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada makan di esok hari. III Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di tengah-tengah lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua yang sejuk itu memandang mereka yang berderet-deret di hadapannya, maka tiba-tiba terasalah suatu tusukan yang tajam ke dalam setiap dada orang-orang Banyubiru itu. Meskipun Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun cahaya matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam dada penduduk Banyubiru itu pun ikut serta berkata-kata. Ikut serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, “Kenapa hal-hal semacam ini bisa terjadi…?” Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan berselang. Ketika di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan perkelahian yang sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu, mereka seolah- oleh telah berjanji untuk tidak akan mengulangi kelakuan- kelakuan mereka yang gila ini. Namun karena pengaruh keadaan,
  • 45. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 94 sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh dengan kemaksiatan ini menariknya kembali. Dan sekarang yang berdiri di hadapannya bukan sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi kepercayaan Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama. Tetua tanah perdikan Banyubiru, Kiai Wanamerta. Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha bersembunyi di punggung kawan-kawannya, supaya mukanya tidak terlihat oleh Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu. Tetapi disamping perasaan yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada pula yang merasa betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh kehadiran Wanamerta itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau di tanah lapang itu, maka Wanamerta pun akan melakukan hal yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang berpendirian demikian segera menjadi gelap dan tegang. Mereka memandang Wanamerta dengan perasaan benci. Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran Wanamerta itu berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan kata- kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya mengetahui pula, apa sebabnya para penontonnya meninggalkan arena. Bahkan beberapa orang diantaranya segera meninggalkan pekerjaan mereka, dan ikut pula berderet-deret melihat tetua tanah perdikan mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara mereka. Karena itu, maka untuk beberapa lama tanah lapang itu tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera lenyap dalam keheningan yang tegang. Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan- lahan, namun merata ke segenap telinga, “Kenapa kalian berhenti bersuka ria?”
  • 46. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 94 Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya. Namun tak seorang pun dapat menjawab. “Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur. Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria, bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian menuai padi musim basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas- batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang diperkenankan oleh agama kita.” Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa kerasnya. Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta meneruskan, “Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah, teruskanlah.” Tak seorang pun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu. Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, “Kenapa kalian memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak mengenal aku lagi?” Masih belum terdengar suara dari antara mereka. “He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung Wanamerta. Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
  • 47. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 94 Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang berat dan parau, “Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan di sini?” Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh burung. “Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta. “Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu. Matanya memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk mengamankan daerahnya. “Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta, “Kau sekarang nampak begitu gagah.” Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajaran. “Kiai, aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.” Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta menjawab, “Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”
  • 48. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 94 “Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya, “Orang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.” Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Maka terdengarlah kembali suara Sontani, “Nah Kiai… aku ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?” Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, “Sudah aku katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.” “Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya kemudian, “Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba- tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.” Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab, “Sontani, pertama, memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang demikian hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada kampung halaman. Aku telah memutuskan untuk pulang dan hidup diantara kalian seperti sediakala.” “Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,” bantah Sontani. “Kenapa?” sahut Wanamerta. “Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama. Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu Sora,” ancam Sontani. “O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti
  • 49. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 94 Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.” Oleh karena itu, tiba-tiba terdengarlah gumam yang merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri, kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya, “Apakah berita itu benar…?” Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata- katanya, “Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah pengalaman?” Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu, tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam, “Mudah- mudahan berita itu benar.” Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar di lapangan itu, terdengarlah suara Sontani lantang, “Bohong…!” Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul dengan suara Sontani melanjutkan, “Apakah keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?” “Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta. “Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”
  • 50. Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- --------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 94 Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan menjawab, Sontani sudah berteriak pula, “Ia masih merasa berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!” Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang, lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak, “Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek. Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.” Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas- puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang, maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itu pun dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak menghendaki kehadirannya. Maka terdengarlah bersautan, “He, Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah kelahiranmu ini.” Disusul oleh yang lain, “Kami tidak perlukan anak itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.” Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula. Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya akan menambah keributan. Satu demi satu merekapun terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan akhirnya seorang berteriak, “Pergilah kau Wanamerta, keledai tua yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….” Disaut oleh suara gemuruh, “Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.” Terdengarlah kemudian suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu.