SlideShare a Scribd company logo
1 of 25
Download to read offline
i
PENDALAMAN MATERI AKIDAH AKHLAK
MODUL
AKIDAH AKHLAK
PENDIDIKAN PROFESI GURU DALAM JABATAN
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
2022
AKIDAH AKHLAK
KEGIATAN BELAJAR 4:
AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN
PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)
DALAM JABATAN TAHUN 2023
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
KB 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN...............................1
CAPAIAN PEMBELAJARAN .....................................................................................1
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN.............................................................................1
POKOK-POKOK MATERI...........................................................................................1
URAIAN MATERI.........................................................................................................2
A.al-Haya' (Malu)..........................................................................................................2
B. al-Khauf (Takut) .........................................................................................................5
C. ar-Rahiim (Kasih Sayang) .........................................................................................7
D. Pemaaf ........................................................................................................................9
E. Ikhlas.........................................................................................................................12
F. Toleransi...................................................................................................................16
REFLEKSI .....................................................................................................................20
CONTOH SOAL..........................................................................................................21
TINDAK LANJUT BELAJAR ....................................................................................21
GLOSARIUM ...............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................23
DAFTAR ISI
1
KB 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN
ORANG LAIN
CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Menganalisis manfaat akhlak al-karimah kepada diri sendiri dan orang lain.
2. Menganalisis konsep ikhlas dan toleransi dalam Islam dan implementasinya
dalam kehidupan sosial.
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-haya' (malu) sebagai bentuk
akhlak al-karimah
2. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-khauf sebagai bentuk akhlak al-
karimah
3. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep ar-rahiim (kasih sayang) sebagai
akhlak al-karimah
4. Mahasiswa mampu menyimpulkan pemaaf sebagai akhlak al-karimah terhadap
orang lain
5. Mahasiswa mampu menyimpulkan ikhlas dalam beramal/beribadah
6. Mahasiswa mampu menyimpulkan tindakan toleransi yang benar dan yang
tidak benar
POKOK-POKOK MATERI
1. al-Haya' (malu)
2. al-Khauf
3. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
4. Pemaaf
5. Ikhlas
6. Toleransi
CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN
PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI
KEGIATAN BELAJAR 4:
AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI
DAN ORANG LAIN
2
URAIAN MATERI
A. al-Haya' (Malu)
1. Pengertian al-Haya'
Menurut bahasa malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina
atau segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada
pihak lain. Sedang menurut istilah adalah sifat yang mendorong seseorang
merasa tidak enak apabila meninggalkan kewajiban-kewajiaban sebagai hamba
Allah Swt. dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari
melakukan yang rendah atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan
pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat menyebankan akhlak seseorang
menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah
dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Perasaan malu muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah
tetapi sebenarnya perasaan malu tidak sama dengan perasaaan bersalah. Rasa
malu merupakan perasaan tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh
pihak lain, yakni Allah semata.
2. Dalil tentang al-Haya'
Salah satu landasan sifat malu ini adalah merasa melihat Allah atau merasa
dilihat Allah. Sebagaimana konsep ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah
sebagai berikut:
..
َ
‫اك‬ َ
‫ر‬َ‫ي‬
ُ
‫ه‬
‫ه‬
‫ن‬ ِ‫إ‬
َ
‫ف‬ ُ‫اه‬ َ
‫ر‬
َ
‫ت‬ ْ
‫ن‬
ُ
‫ك‬
َ
‫ت‬ ْ‫م‬
َ
‫ل‬
ْ
‫ن‬ ِ‫إ‬
َ
‫ف‬ ،ُ‫اه‬ َ
‫ر‬
َ
‫ت‬
َ
‫ك‬
‫ه‬
‫ن‬
َ
‫أ‬
َ
‫ك‬ َ ‫ه‬
‫اَّلل‬
َ
‫د‬ُ‫ب‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ت‬
ْ
‫ن‬
َ
‫أ‬...
)‫مسلم‬ ‫(رواه‬ .
Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah Swt. seakan-
akan melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin bahwa
kuatnya sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya. Sedikit sifat malu
disebabkan oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga semakin hidup hati itu
maka sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu
tergantung kepada pengenalan terhadap Rabbnya. Atau dengan kata lain,
malu adalah sifat yang melekat pada diri seseorang terkait dengan kualitas
imannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah saw. sebagai
berikut:
ُ
‫ان‬
َ
‫يم‬ِ‫إ‬
ْ
‫ال‬ َ‫و‬ ُ‫اء‬َ‫ي‬
َ
‫ح‬
ْ
‫«ال‬ :َ‫م‬
‫ه‬
‫ل‬ َ
‫س‬ َ‫و‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬
َ
‫ل‬
َ
‫ع‬ ُ‫اَّلل‬ ‫ى‬
‫ه‬
‫ل‬
َ
‫ص‬ ُّ‫ي‬
ِ
‫ب‬
‫ه‬
‫الن‬
َ
‫ال‬
َ
‫ق‬ :
َ
‫ال‬
َ
‫ق‬ ،‫ا‬
َ
‫م‬ ُ‫ه‬
ْ
‫ن‬
َ
‫ع‬ ُ ‫ه‬
‫اَّلل‬ َ
‫ي‬ ِ
‫ض‬ َ
‫ر‬ َ
‫ر‬ َ‫م‬
ُ
‫ع‬ ِ
‫ن‬ْ‫اب‬ ِ
‫ن‬
َ
‫ع‬
،‫ا‬
ً
‫يع‬ ِ
‫م‬
َ
‫ج‬ ‫ا‬
َ
‫ن‬ ِ
‫ر‬
ُ
‫ق‬
» ُ
‫ر‬
َ
‫آخ‬
ْ
‫ال‬ َ
‫ع‬ ِ‫ف‬ ُ
‫ر‬ ‫ا‬
َ
‫م‬
ُ
‫ه‬
ُ
‫د‬
َ
‫ح‬
َ
‫أ‬ َ
‫ع‬ ِ‫ف‬ ُ
‫ر‬ ‫ا‬
َ
‫ذ‬ ِ‫إ‬
َ
‫ف‬
)‫حاكم‬‫ل‬‫ا‬ ‫(رواه‬
3
Dari Ibn. Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda: Malu dan iman senantiasa
bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR.
Hakim)
Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti
memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman
dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah saw.
bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah
mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang
gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR
Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah
dari yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw. yang artinya:
Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila
hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.
Sesungguhnya apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak
menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci,
dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka
tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah
jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah
dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila
terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan
keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
3. Macam-macam al-Haya'
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu:
a. Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada
Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini
mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian
kepada Allah dan umat.
b. Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri
agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak
memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah.
Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah
karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
c. Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa
kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani
melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini
Allah selalu mengawasinya.
4
Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak
seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu
dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat meneguhkan iman
seseorang.
4. Hikmah Mempelajari al-Haya'
Ketika Saudara menganalisis materi al-Haya' ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa malu kepada Allah? Apakah Saudara membayangkan
apa jadinya jika Allah mencabut rasa malu dari diri kita? Di antara hikmah
mempelajari materi ini adalah agar menyadari bahwa memiliki rasa malu adalah
bagian dari keimanan. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai
modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting
ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan
makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain agar bisa merasa malu
dan merasa dilihat Allah. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara
dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
5
B. al-Khauf (Takut)
1. Pengertian al-Khauf
Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman,
dan khauf adalah rasa takut. Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan
keadaan yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah
diperbuat.
Raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai kenikmatan
lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang
muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada
satu keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan.
2. Alasan Memiliki Sifat al-Khauf
Kenapa kita harus mempunyai sifat khauf, ada beberapa alasan: Pertama,
supaya ada proteksi diri. Terutama dari perbuatan kemaksiatan atau dosa.
Karena, nafsu selalu menyuruh kita untuk melakukan perbuatan buruk dan
tidak ada kata berhenti dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita harus
membuat nafsu menjadi takut. Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu ketika
nafsu mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling- guling di atas
pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya, “Rasakanlah! Neraka
jahanam itu lebih panas dari pada yang anda rasakan ini.”
Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri dan sombong. Sekalipun kita
sedang dalam zona taat, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Perasaan
paling suci, paling bersih dan paling taat adalah di antara siasat halus nafsu.
Karena itulah nafsu harus tetap dipaksa dan dihinakan tentang apa yang ada
padanya, kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya.
3. Dalil tentang al-Khauf
Sebagai dasar sifat al-Khauf ini, Allah Swt. berfirman dalam surah an-Najm
[53] ayat 32 sebagai berikut:
‫ى‬
َ
‫ق‬
‫ه‬
‫ات‬ ِ
‫ن‬ َ‫م‬ِ‫ب‬ ُ‫م‬
َ
‫ل‬
ْ
‫ع‬
َ
‫أ‬ َ‫و‬
ُ
‫ه‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬ َ
‫س‬
ُ
‫ف‬
ْ
‫ن‬
َ
‫أ‬ ‫وا‬
ُّ
‫ك‬َ
‫ز‬
ُ
‫ت‬ ‫ا‬
َ
‫ل‬
َ
‫ف‬ ...
“… Jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling
bertakwa.” (Q.S. an-Najm [53]: 32).
Berikutnya, kenapa manusia perlu memiliki sifat raja’. Alasannya adalah
pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat
dan setan senantiasa akan mencegahnya dengan berbagai cara. Allah Swt.
berfirman:
‫ا‬
َ
‫ل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ
‫ه‬ِ‫ل‬ِ‫ائ‬
َ
‫م‬
َ
‫ش‬ ْ
‫ن‬
َ
‫ع‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ
‫ه‬ ِ
‫ان‬
َ
‫م‬ْ‫ي‬
َ
‫أ‬ ْ
‫ن‬
َ
‫ع‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ
‫ه‬ ِ‫ف‬
ْ
‫ل‬
َ
‫خ‬ ْ
‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ
‫يه‬ ِ
‫د‬ْ‫ي‬
َ
‫أ‬ ِ
‫ن‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ ْ
‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫م‬ ُ‫ه‬
‫ه‬
‫ن‬
َ
‫ي‬ِ‫آت‬
َ
‫ل‬ ‫ه‬
‫م‬
ُ
‫ث‬
َ
‫ين‬ ِ
‫ر‬ ِ‫اك‬
َ
‫ش‬ ْ‫م‬
ُ
‫ه‬ َ‫ر‬
َ
‫ث‬
ْ
‫ك‬
َ
‫أ‬
ُ
‫د‬ ِ
‫ج‬
َ
‫ت‬
Kemudian pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan
dari kiri mereka. Dan Engka tidak akan mendapatka mereka banyak bersyukur. (Q.S.
Al-‘Araf [7]: 17)
6
Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari
makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’ bisa
menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan
orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak
perlu”.
Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka akan berjibaku
apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya;
kecantikan bidadaribidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan
minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua yang
disediakan Allah di dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah
yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab
dengan pertanyaan balik. Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang
lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus
hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan
air perlu diasupkan bersama-sama.
4. Hikmah Mempelajari al-Khauf
Bagaimana kalau orang yang tidak memiliki rasa takut dan tidak punya
harapan? Tentu dia akan sembarangan dalam beramal atau tidak mau berbuat
apa-apa. Dan tentunya sulit dijelaskan bagaimana ia bisa menjadi orang yang
sukses.
Ketika Saudara menganalisis materi al-Khauf ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa takut jika tidak bisa memenuhi perintah Allah? Apakah
Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan rasa takut
akan kehilangan pertolongan Allah? Di antara hikmah mempelajari materi ini
adalah agar menyadari bahwa setiap manusia membutuhkan pertolongan Allah.
Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain selalu takut kepada Allah. Selain hikmah ini, hikmah
apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih
dalam!
7
C. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
1. Pengertian ar-Rahiim
Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh
semua orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian
dan rasa empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat
mendorong manusia untuk saling membantu untuk meringankan penderitaan
yang dialami oleh manusia lainnya. Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin
manusia akan menjadi sangat individualistis, egois dan tidak memikirkan
kepentingan orang lain.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang,
memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali
dengan akal, ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan
nafsu, maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah
Allah, manusia terkadang lebih mengutamakan akal atau nafsunya
dibandingkan perintah Allah.
Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan,
supaya berakibat baik bagi semua pihak. Konsep ibadah harus dipahami
sebagai prinsip dalam mengimplementasikan sifat kasih sayang di antara kita,
yakni dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah swt. Dengan
memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri beribadah
kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau
perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada
makhluk lain kecuali untuk memperoleh rida Allah Swt.
2. Dalil tentang ar-Rahiim
Hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya yang artinya sebagai
berikut: (1). “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum kalian mengasihi”, (2)” Kasih
sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada
sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia” (H.R.
Thabrani).
Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam,
juga mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar manusia,
melainkan juga pada hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya. Pernah
diceritakan Abu Bakar as-Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin
oleh Usamah bin Zaid, “Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak-
anak kecil. Jangan pula kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang
pepohonan yang berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya,
biarkanlah mereka, jangan kalian ganggu”. Nasehat ini, yang diberikan dalam
keadaan perang, sungguh mencerminkan makna kasih sayang yang diajarkan
8
oleh agama Islam. Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga
untuk lingkungan di sekitarnya.
3. Contoh ar-Rahiim dalam Kehidupan Sehari-hari
Perlu digaris bawahi bahwa sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan
prinsip penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar. Yang demikian itu
justru akan memberikan energi negatif untuk beramal yang salah, tidak diterima
oleh Allah, dan akan memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan
makhluk yang lain. Sebagai contoh adalah Saudara menyayangi peserta didik
Saudara sebagai anak didik yang membutuhkan perhatian dan bimbingan
terbaik, dengan harapan Allah meridai. Kasih sayang yang dimaksud bukan
kasih sayang terhadap lawan jenis dengan diselimuti hawa nafsu. Hal ini adalah
perbuatan keliru karena tidak didasari prinsip penghambaan diri kepada Allah.
Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan
materi ini.
4. Hikmah Mempelajari ar-Rahiim
Ketika Saudara menganalisis materi ar-Rahiim ini, apa yang Saudara
rasakan? Apakah Saudara merasa selalu ingin menyayangi orang-orang di
sekitar? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak
memberikan kasih sayangnya pada orang beriman? Di antara hikmah
mempelajari materi ini adalah dapat menguatkan hati selalu memberikan kasih
sayang yang didasari penghambaan pada Allah. Sebagai pendidik perlu
menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk
peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri,
Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang
lain agar selalu saling menyayangi dalam ketaatan. Selain hikmah ini, hikmah
apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih
dalam!
9
D. Pemaaf
1. Pengertian Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa
menyisakan rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata
pemaaf, adalah serapan dari Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf,
ampun, dan anugerah.
Maaf sejatinya mudah dipahami, tapi susah diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Hakikat maaf adalah rela, benar-benar merelakan kesalahan
yang sudah orang lain lakukan, sudah terjadi dan biarlah terjadi. Memaafkan
kesalahan orang lain berarti rida dengan kenyataan yang sudah terjadi dan tidak
ada rasa marah lagi kepada orang yang berbuat salah. Pemaaf berarti orang
yang dapat dengan mudah merelakan kejadian-kejadian buruk dan
menyakitkan dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari
dalam jiwanya yang taat kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan
siapapun.
Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat,
namun masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika
banyak di antara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan heran jika
dendam di antara masyarakat kita tidak mudah hilang. Dan jangan berharap
akan ada ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat.
Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih memiliki sifat pemaaf
itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada
sebagai cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar bersifat pemaaf, kita bisa
mengambil pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya.
2. Dalil tentang Pemaaf
Allah mengajarkan kepada kita agar menjadi pribadi yang pemaaf, melalui
kisah cerita, seperti kisah Abu Bakar as-Shidiq yang menjadi sebab-sebab
diturunkannya ayat berikut ini:
ُ
‫ق‬
ْ
‫ال‬ ‫ي‬ ِ‫ول‬
ُ
‫أ‬ ‫وا‬
ُ
‫ت‬
ْ
‫ؤ‬ُ‫ي‬
ْ
‫ن‬
َ
‫أ‬ ِ‫ة‬
َ
‫ع‬ ‫ه‬
‫الس‬ َ‫و‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
ْ
‫ن‬ ِ‫م‬ ِ
‫ل‬
ْ
‫ض‬
َ
‫ف‬
ْ
‫ال‬ ‫و‬
ُ
‫ول‬
ُ
‫أ‬ ِ
‫ل‬
َ
‫ت‬
ْ
‫أ‬َ‫ي‬ ‫ا‬
َ
‫ل‬ َ‫و‬
ِ
‫ه‬
‫اَّلل‬ ِ
‫يل‬ِ‫ب‬ َ
‫س‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ َ
‫ين‬ ِ
‫ر‬ ِ
‫اج‬ َ‫ه‬ ُ‫م‬
ْ
‫ال‬ َ‫و‬
َ
‫ين‬ ِ‫اك‬ َ
‫س‬ َ‫م‬
ْ
‫ال‬ َ‫و‬ ‫ى‬
َ
‫ب‬ ْ
‫ر‬
ٌ‫يم‬ ِ
‫ح‬ َ
‫ر‬ ٌ
‫ور‬
ُ
‫ف‬
َ
‫غ‬ ُ ‫ه‬
‫اَّلل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
َ
‫ل‬ ُ ‫ه‬
‫اَّلل‬ َ
‫ر‬ ِ‫ف‬
ْ
‫غ‬َ‫ي‬
ْ
‫ن‬
َ
‫أ‬
َ
‫ون‬ُّ‫ب‬ ِ‫ح‬
ُ
‫ت‬ ‫ا‬
َ
‫ل‬
َ
‫أ‬ ‫وا‬
ُ
‫ح‬
َ
‫ف‬
ْ
‫ص‬َ‫ي‬
ْ
‫ل‬ َ‫و‬ ‫وا‬
ُ
‫ف‬
ْ
‫ع‬َ‫ي‬
ْ
‫ل‬ َ‫و‬
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara
kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan member (bantuan) kepada
kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah,
dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” (Q.S. an-Nur [24]: 22)
10
Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah saw..
Banyak kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup,
termasuk salah satu sifat pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang
mencoba meracuni Rasulullah dengan menabur racun dimakanan beliau,
namun Rasulullah terselamatkan. Hingga wanita itu mengakui perbuatannya
kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa menghukumnya.
Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana
kita bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam
proses membangun keluarga di antara kita yang tentunya tidak luput dari
kesalahan-kesalahan. Allah Swt. berfirman:
َ
‫ين‬ ِ
‫ذ‬
‫ه‬
‫ال‬ ‫ا‬
َ
‫ه‬ُّ‫ي‬
َ
‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬
‫وا‬ ُ
‫ر‬ ِ‫ف‬
ْ
‫غ‬
َ
‫ت‬ َ‫و‬ ‫وا‬
ُ
‫ح‬
َ
‫ف‬
ْ
‫ص‬
َ
‫ت‬ َ‫و‬ ‫وا‬
ُ
‫ف‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ت‬
ْ
‫ن‬ِ‫إ‬ َ‫و‬ ْ‫م‬
ُ
‫وه‬ ُ
‫ر‬
َ
‫ذ‬
ْ
‫اح‬
َ
‫ف‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
َ
‫ل‬ ‫ا‬ ًّ‫و‬
ُ
‫د‬
َ
‫ع‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬ِ‫اد‬
َ
‫ل‬ ْ‫و‬
َ
‫أ‬ َ‫و‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬ ِ
‫اج‬ َ‫و‬
ْ
‫ز‬
َ
‫أ‬ ْ
‫ن‬ ِ‫م‬
‫ه‬
‫ن‬ِ‫إ‬ ‫وا‬
ُ
‫ن‬ َ‫م‬‫آ‬
ٌ‫يم‬ ِ
‫ح‬ َ
‫ر‬ ٌ
‫ور‬
ُ
‫ف‬
َ
‫غ‬ َ ‫ه‬
‫اَّلل‬
‫ه‬
‫ن‬ ِ‫إ‬
َ
‫ف‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka),
maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S. at-Taghabun
[64]:14)
Sebagai guru di zaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia
mulai tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf
sangat diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya.
Sehingga menjadi panutan mereka.
3. Contoh Pemaaf dalam Kehidupan Sehari-hari
Sebagai contoh pada kehidupan sehari-hari Saudara, bisa mengumpamakan
dengan hubungan guru dan peserta didik. Mungkin saudara pernah dimarahi
oleh guru Saudara di masa lalu, marahnya guru itu tidak akan terlupakan,
namun sudah saudara relakan sebagai kejadian yang sudah terjadi, dan saudara
tidak lagi marah atau dendam dengan guru Saudara. Begitu pula dengan
perlakuan orang tua Saudara di masa lalu, mungkin ada hal yang membuat
saudara marah kepada mereka, kejadiannya tidak terlupakan, namun Saudara
rela dengan kejadian itu dan tidak ada lagi kemarah apalagi dendam kepada
orang tua Saudara. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang
berkaitan dengan materi ini.
4. Hikmah Mempelajari Akhlak Pemaaf
Ketika Saudara menganalisis materi pemaaf ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa masih ada kesalahan yang belum Saudara maafkan?
Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memaafkan
kesalahan-kesalahan kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah
11
meyakinkan diri menjadi pribadi yang mudah memberi maaf kepada orang lain.
Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain mudah memaafkan. Selain hikmah ini, hikmah apa
lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
12
E. Ikhlas
1. Pengertian Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab,
kata ‫الص‬ْ‫إخ‬ (ikhlas) merupakan bentuk mashdar dari ََ
‫ص‬َ‫ل‬ْ‫أخ‬ (akhlasa) yang berasal
dari akar kata ‫خلص‬ (khalasa). Kata ini mengandung beberapa makna sesuai
dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima
(selamat), washala (sampai) dan I’tazala (memisahkan diri). Bisa juga diartikan
sebagai perbaikan dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-
Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sebagai
berikut:
a. Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk
Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui
kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan
khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk
mendapatkan keuntungan, serta tidak mengangkat selain dari-Nya
sebagai pelindung (Muhammad Rasyid Rida,1973, hlm. 475).
b. Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal
kebajikan semata-mata karena Allah Swt. (Muhammad al-Ghazali, 1993,
hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan
terasa nikmat dimakan, karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil.
Coba bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita makan juga
mengandung kerikil. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada
yang mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala
sesuatu yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik
penentu dalam menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak
dinamakan orang ikhlas sampai ia mengesakan Allah Swt. dari segala sesuatu
dan ia hanya menginginkan Allah Swt.
2. Dalil tentang Ikhlas
Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan
mengharapkan rida-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan
godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan,
kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini
sesuai dengan perintah Allah-Nya yang tercantum dalam Q.S. al-An’am [6] ayat
162-163:
13
ْ
‫ل‬
ُ
‫ق‬
‫ه‬
‫ن‬ ِ‫ا‬
ْ
‫ي‬ ِ
‫ات‬
َ
‫ل‬
َ
‫ص‬
ْ‫ي‬ ِ
‫ك‬ ُ
‫س‬
ُ
‫ن‬ َ‫و‬
َ
‫اي‬َ‫ي‬
ْ
‫ح‬
َ
‫م‬ َ‫و‬
ْ
‫ي‬ ِ
‫ات‬
َ َ
‫َم‬ َ‫و‬
ِ
ٰ
ِ
‫َّلل‬
ِ
‫ب‬ َ
‫ر‬
َ
‫ن‬ْ‫ي‬ ِ
‫م‬
َ
‫ل‬
ٰ
‫ع‬
ْ
‫ال‬
‫ا‬
َ
‫ل‬
َ
‫ك‬ْ‫ي‬ ِ
‫ر‬
َ
‫ش‬
‫ه‬
َ
‫ل‬
ۚ
َ
‫ك‬ِ‫ل‬
ٰ
‫ذ‬ِ‫ب‬ َ‫و‬
ُ
‫ت‬ ْ
‫ر‬ ِ‫م‬
ُ
‫ا‬
‫ا‬
َ
‫ن‬
َ
‫ا‬ َ‫و‬
ُ
‫ل‬ ‫ه‬
‫و‬
َ
‫ا‬
َ
‫ن‬ْ‫ي‬ ِ
‫م‬ِ‫ل‬ ْ
‫س‬ ُ‫م‬
ْ
‫ال‬
162. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam; 163. tidak ada sekutu bagi-Nya;
dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-
tama berserah diri (muslim).” (Q.S. al-An’am [6]: 162-163)
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam Q.S. al-Bayyinah [98]
ayat 5:
ٓ‫ا‬ َ‫م‬ َ‫و‬
‫ا‬ٓ
ْ‫و‬ ُ
‫ر‬ ِ‫م‬
ُ
‫ا‬
‫ا‬
‫ه‬
‫ل‬ ِ‫ا‬
‫وا‬
ُ
‫د‬ُ‫ب‬
ْ
‫ع‬َ‫ي‬ِ‫ل‬
َ ٰ
‫اَّلل‬
َ
‫ن‬ْ‫ي‬ ِ
‫ص‬ِ‫ل‬
ْ
‫خ‬
ُ
‫م‬
ُ
‫ه‬
َ
‫ل‬
َ
‫ن‬
ْ
‫ي‬ ِ
‫الد‬
‫ە‬
َ‫ۤء‬‫ا‬
َ
‫ف‬
َ
‫ن‬
ُ
‫ح‬
‫وا‬ ُ‫م‬ْ‫ي‬ ِ
‫ق‬ُ‫ي‬ َ‫و‬
َ
‫وة‬
ٰ
‫ل‬
‫ه‬
‫الص‬
‫وا‬
ُ
‫ت‬
ْ
‫ؤ‬ُ‫ي‬ َ‫و‬
َ
‫وة‬
ٰ
‫ك‬‫ه‬
‫الز‬
َ
‫ك‬ِ‫ل‬
ٰ
‫ذ‬ َ‫و‬
ُ
‫ن‬ْ‫ي‬ ِ‫د‬
ِ‫ة‬ َ‫م‬ِ‫ي‬
َ
‫ق‬
ْ
‫ال‬
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S. al-
Bayyinah [98]: 5)
Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada
Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt. Jadi apabila
penilaiannya disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan
dihargai dengan harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan
merusak keikhlasan kita, sebagaimana Q.S. al-Insan [76] ayat 9:
‫ا‬
َ
‫م‬
‫ه‬
‫ن‬ ِ‫ا‬
ْ‫م‬
ُ
‫ك‬ ُ‫م‬ ِ
‫ع‬
ْ
‫ط‬
ُ
‫ن‬
ِ‫ه‬
ْ
‫ج‬ َ‫و‬ِ‫ل‬
ِ
ٰ
‫اَّلل‬
‫ا‬
َ
‫ل‬
ُ
‫د‬ْ‫ي‬ ِ
‫ر‬
ُ
‫ن‬
ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
ْ
‫ن‬ ِ‫م‬
ً‫ۤء‬‫ا‬ َ
‫ز‬
َ
‫ج‬
‫ا‬
َ
‫ل‬ ‫ه‬
‫و‬
‫ا‬ ً
‫ر‬ ْ‫و‬
ُ
‫ك‬
ُ
‫ش‬
(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah
karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima
kasih dari kamu. (Q.S. al-Insan [76]: 9)
3. Sifat yang dapat Merusak Keikhlasan
Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu
nyata sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu
umat Islam harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak
keikhlasannya, di antaranya:
a. Riya’, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari rida Allah
SWT., akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian
atau kemashuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat,
sebagaimana tergambar di dalam firman Allah Swt. Q. S. al-Ma’un [107]:
4-7. Riya’ merupakan salah satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun
tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang
yang melakukannya. Adapun tanda-tanda orang yang riya’, adalah: 1)
Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji atau disanjung
oleh orang lain, akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan
meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan ejekan; 2)
Tekun dalam beribadah apabila di depan orang banyak, akan tetapi
14
malas apabila dikerjakan sendirian; 3) Mau memberi atau sedekah
apabila dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang
yang melihatnya; 4) Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata
karena Allah Swt., akan tetapi karena mengharap pamrih kepada
manusia.
b. Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang
lain supaya mendapat penilain dan dihargai, misalnya kedudukan di
hatinya. Pada dasarnya sama dengan riya’, tetapi sum’ah adalah
perbuatannya sudah dilaksanakan sehingga perlu diceriterakan.
c. Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan
mengikrarkan keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan
menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari dengan keimanan yang
benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah paham tentang ikhlas sebagai nilai
landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal saleh dan bernilai
ibadah? Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya
kepada Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah
Swt. sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia, maka
Allah Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di
hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:
ِ‫ة‬ َ‫ام‬َ‫ي‬ ِ
‫ق‬
ْ
‫ال‬ َ
‫م‬ ْ‫و‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ ُ‫ه‬
َ
‫ل‬ ُ‫يم‬ ِ
‫ق‬
ُ
‫ن‬ ‫ا‬
َ
‫ل‬
َ
‫ف‬ ْ‫م‬ ُ‫ه‬
ُ
‫ال‬
َ
‫م‬
ْ
‫ع‬
َ
‫أ‬
ْ
‫ت‬
َ
‫ط‬ِ‫ب‬
َ
‫ح‬
َ
‫ف‬ ِ‫ه‬ِ‫ائ‬
َ
‫ق‬ِ‫ل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ
‫ه‬ِ‫ب‬ َ
‫ر‬ ِ
‫ات‬َ‫آي‬ِ‫ب‬ ‫وا‬ ُ
‫ر‬
َ
‫ف‬
َ
‫ك‬
َ
‫ين‬ ِ
‫ذ‬
‫ه‬
‫ال‬
َ
‫ك‬ِ‫ئ‬
َ
‫ول‬
ُ
‫أ‬
‫ا‬
ً
‫ن‬
ْ
‫ز‬ َ‫و‬
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan
ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah
amal-amal mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari
kiamat kelak. (Q.S. al-Kahfi [18]: 105)
4. Contoh Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari
Sebagai gambaran ikhlas yang sederhana adalah dari kondisi Saudara
sebagai guru. Ketika Saudara menyampaikan suatu ilmu kepada peserta didik,
dan ada kepuasan hati, serta ada rasa tulus saat menyampaikannya, maka itu
adalah bagian dari ikhlas. Ketika Saudara menjalankan salat dengan penuh
ketulusan, tanpa paksaan, tanpa merasa takut ancaman, sehingga berupaya
khusyu dalam salat, maka itu adalah bagian dari ikhlas. Saudara bisa
mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan materi ini.
5. Hikmah Mempelajari Ikhlas
Ketika Saudara menganalisis materi ikhlas ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa sudah tulus dalam menjalankan setiap amal? Apakah
Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan rasa ikhlas di
15
hati kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah dapat menyadari
bahwa setiap amal yang dilakukan perlu dilakukan dengan ketulusan sepenuh
hati. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk
diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai
bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta
sebagai bahan mengajak orang lain agar bisa ikhlas dalam beramal saleh. Selain
hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini?
Silahkan analisis lebih dalam!
16
F. Toleransi
1. Pengertian Toleransi
Toleran merupakan predikat bagi orang yang memiliki sifat toleransi.
Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris “tolerance” yang berarti
membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran,
mendiamkan atau membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi disebut
dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada.
Tasamuh sendiri didefinisikan sebagai pendirian atau sikap yang
termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan
pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan dan
membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan
sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Misalnya, perbedaan agama, ideologi dan ras.
2. Dalil tentang Toleransi
Dalam Al-Qur’an, sikap toleransi ini banyak diulas baik secara eksplisit
maupun implisit. Di antara firman-Nya adalah sebagai berikut:
ْ‫م‬ ُ‫ه‬
ْ
‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫و‬
ْ
‫ن‬ ‫ه‬
‫م‬
ُ
‫ن‬ ِ‫م‬
ْ
‫ؤ‬ُّ‫ي‬
‫ه‬ِ‫ب‬
ْ‫م‬ ُ‫ه‬
ْ
‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫و‬
ْ
‫ن‬ ‫ه‬
‫م‬
‫ا‬
‫ه‬
‫ل‬
ُ
‫ن‬ ِ‫م‬
ْ
‫ؤ‬ُ‫ي‬
‫ه‬ِ‫ب‬
َ
‫ك‬ُّ‫ب‬ َ
‫ر‬ َ‫و‬
ُ‫م‬
َ
‫ل‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ا‬
َ
‫ن‬ْ‫ي‬ ِ
‫د‬ ِ
‫س‬
ْ
‫ف‬ ُ‫م‬
ْ
‫ال‬ِ‫ب‬
ࣖ
“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan
di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan
Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S.
Yunus [10]: 40)
Maksud dari ayat ini adalah pengajaran sikap dan mental dari Allah kepada
Nabi Muhammad bahwa di antara umatnya ada yang beriman dengan Al-
Qur’an ini. Mereka mengikutimu dan mengambil manfaat dengan Al-Qur’an. Di
saat yang bersamaan, di antara mereka ada juga yang tidak mepercayaimu dan
apa yang kau bawa. Mereka akan mati dalam keadaan seperti itu dan
dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula. Allah lebih mengetahui siapa yang
berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk; dan siapa yang
berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allah lah yang
Maha Adil yang tidak berbuat zalim. Allah memberi masing-masing sesuai
haknya.
Pada kelanjutan ayatnya, secara lebih konkret Allah mengajari Nabi untuk
bersikap toleransi. Nabi diminta untuk bersikap bebas jika orang-orang musyrik
itu mendustakannya, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka. Ayat
tersebut sebagai berikut:
17
ْ
‫ن‬ ِ‫ا‬ َ‫و‬
َ
‫ك‬ ْ‫و‬ُ‫ب‬
‫ه‬
‫ذ‬
َ
‫ك‬
ْ
‫ل‬
ُ
‫ق‬
َ
‫ف‬
ْ
‫ي‬ ِ‫ل‬
ْ‫ي‬ ِ‫ل‬ َ‫م‬
َ
‫ع‬
ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
َ
‫ل‬ َ‫و‬
ۚ
ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
ُ
‫ل‬ َ‫م‬
َ
‫ع‬
ْ‫م‬
ُ
‫ت‬
ْ
‫ن‬
َ
‫ا‬
َ
‫ن‬ ْ‫و‬ ُٔ‫ـ‬ْۤ‫ي‬ ِ
‫ر‬َ‫ب‬
ٓ‫ا‬
‫ه‬
ِ
‫َم‬
ُ
‫ل‬ َ‫م‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ا‬
‫ا‬
َ
‫ن‬
َ
‫ا‬ َ‫و‬
ٌ‫ء‬ ْ
ۤ‫ي‬ ِ
‫ر‬َ‫ب‬
‫ا‬
‫ه‬
ِ
‫َم‬
َ
‫ن‬ ْ‫و‬
ُ
‫ل‬ َ‫م‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ت‬
“Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku
pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Yunus [10]: 41)
Ayat berikutnya yang merupakan ayat paling populer berbicara tentang
toleransi bahkan utuh dalam satu surat adalah surat al-Kafirun. Berikut
bunyinya:
َ
‫ن‬ ْ‫و‬ ُ
‫ر‬ ِ‫ف‬
ٰ
‫ك‬
ْ
‫ال‬ ‫ا‬
َ
‫ه‬ُّ‫ي‬
َ
‫ا‬ٰٓ‫ي‬
ْ
‫ل‬
ُ
‫ق‬
(
١
)
َ
‫ن‬ ْ‫و‬
ُ
‫د‬ُ‫ب‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ت‬ ‫ا‬ َ‫م‬
ُ
‫د‬ُ‫ب‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ا‬ ۤ‫ا‬
َ
‫ل‬
(
٢
)
ُ
‫د‬ُ‫ب‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ‫م‬
َ
‫ن‬ ْ‫و‬
ُ
‫د‬ِ‫ب‬
ٰ
‫ع‬ ْ‫م‬
ُ
‫ت‬
ْ
‫ن‬
َ
‫ا‬ ۤ‫ا‬
َ
‫ل‬ َ‫و‬
(
٣
)
‫ا‬ َ‫م‬
ٌ
‫د‬ِ‫اب‬
َ
‫ع‬ ‫ا‬
َ
‫ن‬
َ
‫ا‬ ۤ‫ا‬
َ
‫ل‬ َ‫و‬
ْ‫م‬
ُ
‫ت‬
ْ
‫د‬َ‫ب‬
َ
‫ع‬
(
٤
)
ُ
‫د‬ُ‫ب‬
ْ
‫ع‬
َ
‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ‫م‬
َ
‫ن‬ ْ‫و‬
ُ
‫د‬ِ‫ب‬
ٰ
‫ع‬ ْ‫م‬
ُ
‫ت‬
ْ
‫ن‬
َ
‫ا‬ ۤ‫ا‬
َ
‫ل‬ َ‫و‬
(
٥
)
ِ
‫ن‬ْ‫ي‬ ِ‫د‬ َ
‫ي‬ ِ‫ل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
ُ
‫ن‬ْ‫ي‬ ِ‫د‬ ْ‫م‬
ُ
‫ك‬
َ
‫ل‬
(
٦
)
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian
sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang
aku sembah, bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 1-7)
3. Maksud Toleransi dalam Al-Qur’an
Dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan bahwa maksud dari agama kalian
adalah kesyirikan, sementara maksud dari agamaku adalah Islam. Adapun
menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat
tersebut ialah ”Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan bagiku agamaku yang
Allah perkenankan untukku.”
Menurut pendapat sebagian mufassir, ayat ini diturunkan sebelum Nabi saw.
diperintahkan untuk memerangi mereka. Tentang peperangan, bukan berarti
Nabi tidak lagi mengindahkan toleransi. Peperangan yang ada hanyalah bukti
ketaatan Nabi kepada perintah Allah, dan dengan alasan sebagai perlawanan
saat Nabi dan kaum muslimin diserang atau diperangi.
Memahami Al-Qur’an tidaklah sempurna jika tidak mempertimbangkan
asbab al-nuzul ayat. Adapun asbab al-nuzul dari surat al-Kafirun ini ialah adanya
kaum kafir Quraisy berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah
saw. agar mengikuti ajaran mereka. Kaum kafir Quraisy menawarkan harta
yang melimpah agar Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain
itu, Rasulullah juga dijanjikan hendak dinikahkan dengan wanita paling cantik,
baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam
upaya ini, kaum kafir Quraisy mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang kami
sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami dalam satu
tahun” Rasulullah pun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan
menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.” Karena terjadinya peristiwa ini,
maka Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Rasulullah berupa surat al-Kafirun.
18
Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan kepada Rasulullah untuk menolak
tawaran mereka. (HR. Thabrani dan Ibn Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengajukan tawaran kepada Rasulullah saw., “Wahai Muhammad, sekiranya kamu
tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami akan berbalik
mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan peristiwa ini, kemudian
Allah Swt. memerintahkan malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu kepada
Rasulullah saw., yaitu surah al-Kafirun sebagai petunjuk jawaban yang harus
diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah saw. menyampaikan jawaban
berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-terangan dengan kalimat:
“selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang
hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin dan Ibnu Mundzir dari Juraij).
Dari beberapa penjelasan ayat di atas jelaslah bahwa toleransi adalah sikap
yang mesti dimiliki umat Islam. Sikap inilah yang melahirkan perdamaian dan
kemajuan. Melalui piagam Madinah yang di dalamnya sarat dengan toleransi,
Nabi berhasil membangun peradaban Islam di tengah kemajemukan.
4. Contoh Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari
Gambaran toleransi yang ada di lingkungan kemasyarakatan, di antaranya
dengan sikap membiarkan masyarakat non muslim beribadah, walaupun di
tengah-tengah lingkungan masyarakat mayoritas muslim. Tentu sebaliknya juga
perlu dilakukan masyarakat non muslim, saat kelompok muslim minoritas
berada di lingkungan non muslim mayoritas, perlu mengizinkan masyarakat
muslim mengumandangkan azan. Saling menghormati dan memperbolehkan
aktivitas peribadatan ini adalah bentuk toleransi yang sudah terbangun di
Indonesia sejak lama. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh
yang berkaitan dengan materi ini.
5. Hikmah Mempelajari Toleransi
Ketika Saudara menganalisis materi toleransi ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa sudah bersikap toleran terhadap orang lain? Apakah
Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan batasan
toleran yang baik? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah mengetahui
batasan toleransi sesuai aturan yang tepat demi saling menjaga kemurnian
masing-masing keyakinan. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini
sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran
penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia
dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain saling menghargai
dan toleran. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari
materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
19
20
REFLEKSI
Setelah mempelajari materi Akhlak Terhadap Diri Sendiri dan Orang Lain
yang mencakup al-haya' (malu), al-khauf, ar-rahiim (kasih sayang), pemaaf, ikhlas,
toleransi apakah hikmah atau spirit yang dapat saudara mahasiswa ambil dan
terapkan dalam pembelajaran PAI?
Melalui materi pada kegiatan belajar ini kita bisa mendalami nilai moderasi
beragama. Pengamalan al-haya’ (malu) adalah pengamalan merasa tidak mau
melakukan perbuatan yang berlebihan, ini mencerminkan nilai tawassuth
(mengambil jalan tengah) dalam moderasi beragama. Pengamalan al-khauf (takut)
adalah pengamalan menjalankan sesuatu karena takut akan hari pembalasan, dan
menjalankan sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan, ini menggambarkan nilai
i’tidal (adil tegak lurus). Menjadi pemaaf adalah idaman setiap orang karena
memberikan ketenangan, memberi maaf pada orang yang melakukan kesalahan
akan menjalin kembali komunikasi dan terwujud juga nilai syura (musyawarah).
Mengamalkan nilai ar-rahiim (kasih sayang) akan mencerminkan nilai al-la ‘unf
(anti-kekerasan), karena saling menyayangi sesama manusia. Materi toleransi dalam
kegiatan belajar ini mengarahkan mahasiswa lebih peka terhadap kehidupan
bernegara yang selalu menghargai seluruh warganya, ini mewujudkan nilai
muwathanah (menghargai negara-bangsa dan warga negara) dan ramah terhadap
kebudayaan lokal, ini mencerminkan nilai i’tiraf al-‘urf (ramah terhadap kebudayaan
lokal), serta tentu saja nilai tasamuh yang utama.
Menurut saudara, nilai moderasi beragama apalagi yang dapat dikembangkan
dari materi ini?
21
CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah Saudara sudah menguasai capaian
pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan Saudara,
dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh
soal pada modul ini sebagai bahan latihan Saudara dalam menganalisis pertanyaan
dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat
oleh dosen pengampu.
1. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap tenggang rasa. Banyak
landasan normatif baik Al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk
bersikap demikian. Namun, dalam praktiknya, orang-orang masih bingung
antara batas wilayah toleransi dan batas wilayah fanatis. Kondisi ini di banyak
kasus menyebabkan sebagian mereka keliru dalam bersikap toleransi bahkan
memicu pertentangan.
Berikut adalah sikap toleransi yang tepat, kecuali ...
a. Membiarkan umat beragama lain merayakan hari besar keagamaannya
b. Memfasilitasi kegiatan beragama umat lain
c. Membantu kemanan dan kenyamanan ibadat umat agama lain
d. Mengucapkan selamat kepada umat agama lain atas hari besarnya
e. Mengikuti ibadahnya secara bersama-sama namun dengan tetap tidak
pindah keyakinan
Jawaban: E
TINDAK LANJUT BELAJAR
1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video pada LMS Program PPG. Baca
artikel kemudian lakukan analisis berdasarka isi artikel!
2. Kaitkan isi artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses pembelajarannya di
sekolah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan
pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program
PPG.
22
GLOSARIUM
al-Haya' : Sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan
yang rendah atau kurang sopan atau bertentangan dengan aturan dan
adat istiadat
al-Khauf : Perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan
karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat
ar-Rahiim : Kasih sayang
Pemaaf : Orang yang rela member maaf kepada orang lain
Ikhlas : Menyengajakan suatu perbuatan hanya karena Allah Swt., dengan
menyerahkan penilaiannya hanya kepada-Nya
Toleransi : pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan
untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang
beraneka ragam meskipun tidak sependapat
23
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mushthofa al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) Jilid 1.
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Bairut: Dar ash-Shadir, 1963
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub, 2011
Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds Fi Madariji Ma’rifat al-nafsi, Bairut: Libanon, Dar al-Kutub,
1988
Al-Ghazali, Mizan al-Amal, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964
Amin, Ahmad, Kitab al-Akhlak, Kairo: Muassasah Handawiy li at-Ta’lim wa ats-
Tsaqafah, 2012
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Multi Karya:
Grafika, Yogyakarta, 2007).
al-Bukhāri, al-Jāmi al-Sahīh al-Bukhāri, tahqiq al-Mustafā Dīb, (Beirūt; Dār Ibnu
Kathīr, 1987).
Dawam Raharjo Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramdina, 1996).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdiknas,
2003).
Djatmika, Rahmat, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996
Ibnu al-‘Arabi, Kitab Fushush al-Hikam, Abu al-Ali ‘Afifi (ed.), (Beirut: Dar al-Kitab al-
A‟Rabi, 1980).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟i 2004).
Ibn. Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi at-Tarbiyah, Bairut - Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1985
Imran Al-Idrusy, Mengenal Langkah-Langkah Setan, (Putra Pelajar, Surabaya, 2001).
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata (Jakarta: PT. Suara Agung Jakarta,
2014).
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Dar
al-Falah, 1999
M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, (Beirut,
Darul Fikr Al-Muashir, 2003 M/1424 H).
Said Aqil Husin Munawar. Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Press, 2002).
Said Hawwa. Jalan Ruhani. (Bandung: Mizan. 1995).
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung:
CV. Dipongoro, 1988
Zarruq, Syarhul Hikam, (Surabaya: As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H).

More Related Content

Similar to AKIDAH KB 4.pdf

Peranan Akidah-Usuluddin
Peranan Akidah-UsuluddinPeranan Akidah-Usuluddin
Peranan Akidah-UsuluddinQaseh Nur Husna
 
Akhlak pribadi islami
Akhlak pribadi islamiAkhlak pribadi islami
Akhlak pribadi islamiagungtri07
 
BAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan Pemaaf
BAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan PemaafBAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan Pemaaf
BAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan PemaafRizkyJuliana1
 
Bab 1 memahami akidah islam
Bab 1 memahami akidah islamBab 1 memahami akidah islam
Bab 1 memahami akidah islammarisaphega
 
Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)
Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)
Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)Nur Rachmaniar
 
PPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptx
PPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptxPPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptx
PPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptxAgungAri5
 
Sifat sifat tercela
Sifat sifat tercelaSifat sifat tercela
Sifat sifat terceladarma wati
 
Empat tanda keimanan
Empat tanda keimananEmpat tanda keimanan
Empat tanda keimananHelmon Chan
 
186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidah
186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidah186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidah
186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidahNurul Fatin
 
Makalah akidah islamiyah
Makalah akidah islamiyahMakalah akidah islamiyah
Makalah akidah islamiyahfarasyaa
 

Similar to AKIDAH KB 4.pdf (20)

Isi Makalah Akhlak Sarjana Muslim
Isi Makalah Akhlak Sarjana MuslimIsi Makalah Akhlak Sarjana Muslim
Isi Makalah Akhlak Sarjana Muslim
 
Peranan Akidah-Usuluddin
Peranan Akidah-UsuluddinPeranan Akidah-Usuluddin
Peranan Akidah-Usuluddin
 
Akhlak pribadi islami
Akhlak pribadi islamiAkhlak pribadi islami
Akhlak pribadi islami
 
BAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan Pemaaf
BAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan PemaafBAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan Pemaaf
BAB 13 Hidup Lebih Damai dengan Ikhlas, Sabar, dan Pemaaf
 
Bab 1 memahami akidah islam
Bab 1 memahami akidah islamBab 1 memahami akidah islam
Bab 1 memahami akidah islam
 
Konsep Akhlak.pdf
Konsep Akhlak.pdfKonsep Akhlak.pdf
Konsep Akhlak.pdf
 
Akhlak
AkhlakAkhlak
Akhlak
 
Takabur
TakaburTakabur
Takabur
 
Akhlaqul karimah
Akhlaqul karimahAkhlaqul karimah
Akhlaqul karimah
 
Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)
Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)
Mahmudah dan madzmumah (nur rachmaniar)
 
PPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptx
PPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptxPPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptx
PPT KEL. 5_AIK 2_AKHLAK-AIK 2-ADHI,ARI,RUBBI.pptx
 
Sifat sifat tercela
Sifat sifat tercelaSifat sifat tercela
Sifat sifat tercela
 
Modul pim 3112
Modul pim 3112Modul pim 3112
Modul pim 3112
 
Akhlak saibani
Akhlak   saibaniAkhlak   saibani
Akhlak saibani
 
Empat tanda keimanan
Empat tanda keimananEmpat tanda keimanan
Empat tanda keimanan
 
Pemimpin dalam Islam
Pemimpin dalam IslamPemimpin dalam Islam
Pemimpin dalam Islam
 
186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidah
186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidah186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidah
186677588 modul-pim-3112-pengajian-akidah
 
Iksan dalam al qur'an
Iksan  dalam al qur'anIksan  dalam al qur'an
Iksan dalam al qur'an
 
Induk akhlak islami
Induk akhlak islamiInduk akhlak islami
Induk akhlak islami
 
Makalah akidah islamiyah
Makalah akidah islamiyahMakalah akidah islamiyah
Makalah akidah islamiyah
 

AKIDAH KB 4.pdf

  • 1. i PENDALAMAN MATERI AKIDAH AKHLAK MODUL AKIDAH AKHLAK PENDIDIKAN PROFESI GURU DALAM JABATAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA 2022 AKIDAH AKHLAK KEGIATAN BELAJAR 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG) DALAM JABATAN TAHUN 2023
  • 2. ii DAFTAR ISI DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii KB 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN...............................1 CAPAIAN PEMBELAJARAN .....................................................................................1 SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN.............................................................................1 POKOK-POKOK MATERI...........................................................................................1 URAIAN MATERI.........................................................................................................2 A.al-Haya' (Malu)..........................................................................................................2 B. al-Khauf (Takut) .........................................................................................................5 C. ar-Rahiim (Kasih Sayang) .........................................................................................7 D. Pemaaf ........................................................................................................................9 E. Ikhlas.........................................................................................................................12 F. Toleransi...................................................................................................................16 REFLEKSI .....................................................................................................................20 CONTOH SOAL..........................................................................................................21 TINDAK LANJUT BELAJAR ....................................................................................21 GLOSARIUM ...............................................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................23 DAFTAR ISI
  • 3. 1 KB 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN CAPAIAN PEMBELAJARAN 1. Menganalisis manfaat akhlak al-karimah kepada diri sendiri dan orang lain. 2. Menganalisis konsep ikhlas dan toleransi dalam Islam dan implementasinya dalam kehidupan sosial. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN 1. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-haya' (malu) sebagai bentuk akhlak al-karimah 2. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-khauf sebagai bentuk akhlak al- karimah 3. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep ar-rahiim (kasih sayang) sebagai akhlak al-karimah 4. Mahasiswa mampu menyimpulkan pemaaf sebagai akhlak al-karimah terhadap orang lain 5. Mahasiswa mampu menyimpulkan ikhlas dalam beramal/beribadah 6. Mahasiswa mampu menyimpulkan tindakan toleransi yang benar dan yang tidak benar POKOK-POKOK MATERI 1. al-Haya' (malu) 2. al-Khauf 3. ar-Rahiim (Kasih Sayang) 4. Pemaaf 5. Ikhlas 6. Toleransi CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI KEGIATAN BELAJAR 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN
  • 4. 2 URAIAN MATERI A. al-Haya' (Malu) 1. Pengertian al-Haya' Menurut bahasa malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina atau segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain. Sedang menurut istilah adalah sifat yang mendorong seseorang merasa tidak enak apabila meninggalkan kewajiban-kewajiaban sebagai hamba Allah Swt. dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat menyebankan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. Perasaan malu muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah tetapi sebenarnya perasaan malu tidak sama dengan perasaaan bersalah. Rasa malu merupakan perasaan tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh pihak lain, yakni Allah semata. 2. Dalil tentang al-Haya' Salah satu landasan sifat malu ini adalah merasa melihat Allah atau merasa dilihat Allah. Sebagaimana konsep ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai berikut: .. َ ‫اك‬ َ ‫ر‬َ‫ي‬ ُ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ِ‫إ‬ َ ‫ف‬ ُ‫اه‬ َ ‫ر‬ َ ‫ت‬ ْ ‫ن‬ ُ ‫ك‬ َ ‫ت‬ ْ‫م‬ َ ‫ل‬ ْ ‫ن‬ ِ‫إ‬ َ ‫ف‬ ،ُ‫اه‬ َ ‫ر‬ َ ‫ت‬ َ ‫ك‬ ‫ه‬ ‫ن‬ َ ‫أ‬ َ ‫ك‬ َ ‫ه‬ ‫اَّلل‬ َ ‫د‬ُ‫ب‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ت‬ ْ ‫ن‬ َ ‫أ‬... )‫مسلم‬ ‫(رواه‬ . Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah Swt. seakan- akan melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim) Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin bahwa kuatnya sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya. Sedikit sifat malu disebabkan oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga semakin hidup hati itu maka sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu tergantung kepada pengenalan terhadap Rabbnya. Atau dengan kata lain, malu adalah sifat yang melekat pada diri seseorang terkait dengan kualitas imannya. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah saw. sebagai berikut: ُ ‫ان‬ َ ‫يم‬ِ‫إ‬ ْ ‫ال‬ َ‫و‬ ُ‫اء‬َ‫ي‬ َ ‫ح‬ ْ ‫«ال‬ :َ‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬ َ ‫س‬ َ‫و‬ ِ‫ه‬ْ‫ي‬ َ ‫ل‬ َ ‫ع‬ ُ‫اَّلل‬ ‫ى‬ ‫ه‬ ‫ل‬ َ ‫ص‬ ُّ‫ي‬ ِ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫الن‬ َ ‫ال‬ َ ‫ق‬ : َ ‫ال‬ َ ‫ق‬ ،‫ا‬ َ ‫م‬ ُ‫ه‬ ْ ‫ن‬ َ ‫ع‬ ُ ‫ه‬ ‫اَّلل‬ َ ‫ي‬ ِ ‫ض‬ َ ‫ر‬ َ ‫ر‬ َ‫م‬ ُ ‫ع‬ ِ ‫ن‬ْ‫اب‬ ِ ‫ن‬ َ ‫ع‬ ،‫ا‬ ً ‫يع‬ ِ ‫م‬ َ ‫ج‬ ‫ا‬ َ ‫ن‬ ِ ‫ر‬ ُ ‫ق‬ » ُ ‫ر‬ َ ‫آخ‬ ْ ‫ال‬ َ ‫ع‬ ِ‫ف‬ ُ ‫ر‬ ‫ا‬ َ ‫م‬ ُ ‫ه‬ ُ ‫د‬ َ ‫ح‬ َ ‫أ‬ َ ‫ع‬ ِ‫ف‬ ُ ‫ر‬ ‫ا‬ َ ‫ذ‬ ِ‫إ‬ َ ‫ف‬ )‫حاكم‬‫ل‬‫ا‬ ‫(رواه‬
  • 5. 3 Dari Ibn. Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda: Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR. Hakim) Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah saw. bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR Bukhari-Muslim). Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang artinya: Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu. Sesungguhnya apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (HR Ibn Majah). 3. Macam-macam al-Haya' Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu: a. Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan umat. b. Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa. c. Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
  • 6. 4 Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat meneguhkan iman seseorang. 4. Hikmah Mempelajari al-Haya' Ketika Saudara menganalisis materi al-Haya' ini, apa yang Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa malu kepada Allah? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah mencabut rasa malu dari diri kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah agar menyadari bahwa memiliki rasa malu adalah bagian dari keimanan. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain agar bisa merasa malu dan merasa dilihat Allah. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
  • 7. 5 B. al-Khauf (Takut) 1. Pengertian al-Khauf Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, dan khauf adalah rasa takut. Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat. Raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai kenikmatan lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada satu keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan. 2. Alasan Memiliki Sifat al-Khauf Kenapa kita harus mempunyai sifat khauf, ada beberapa alasan: Pertama, supaya ada proteksi diri. Terutama dari perbuatan kemaksiatan atau dosa. Karena, nafsu selalu menyuruh kita untuk melakukan perbuatan buruk dan tidak ada kata berhenti dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita harus membuat nafsu menjadi takut. Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu ketika nafsu mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling- guling di atas pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya, “Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari pada yang anda rasakan ini.” Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri dan sombong. Sekalipun kita sedang dalam zona taat, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Perasaan paling suci, paling bersih dan paling taat adalah di antara siasat halus nafsu. Karena itulah nafsu harus tetap dipaksa dan dihinakan tentang apa yang ada padanya, kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya. 3. Dalil tentang al-Khauf Sebagai dasar sifat al-Khauf ini, Allah Swt. berfirman dalam surah an-Najm [53] ayat 32 sebagai berikut: ‫ى‬ َ ‫ق‬ ‫ه‬ ‫ات‬ ِ ‫ن‬ َ‫م‬ِ‫ب‬ ُ‫م‬ َ ‫ل‬ ْ ‫ع‬ َ ‫أ‬ َ‫و‬ ُ ‫ه‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ َ ‫س‬ ُ ‫ف‬ ْ ‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫وا‬ ُّ ‫ك‬َ ‫ز‬ ُ ‫ت‬ ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ ... “… Jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling bertakwa.” (Q.S. an-Najm [53]: 32). Berikutnya, kenapa manusia perlu memiliki sifat raja’. Alasannya adalah pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat dan setan senantiasa akan mencegahnya dengan berbagai cara. Allah Swt. berfirman: ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ ‫ه‬ِ‫ل‬ِ‫ائ‬ َ ‫م‬ َ ‫ش‬ ْ ‫ن‬ َ ‫ع‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ ‫ه‬ ِ ‫ان‬ َ ‫م‬ْ‫ي‬ َ ‫أ‬ ْ ‫ن‬ َ ‫ع‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ ‫ه‬ ِ‫ف‬ ْ ‫ل‬ َ ‫خ‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ ‫يه‬ ِ ‫د‬ْ‫ي‬ َ ‫أ‬ ِ ‫ن‬ْ‫ي‬َ‫ب‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫م‬ ُ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ن‬ َ ‫ي‬ِ‫آت‬ َ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫م‬ ُ ‫ث‬ َ ‫ين‬ ِ ‫ر‬ ِ‫اك‬ َ ‫ش‬ ْ‫م‬ ُ ‫ه‬ َ‫ر‬ َ ‫ث‬ ْ ‫ك‬ َ ‫أ‬ ُ ‫د‬ ِ ‫ج‬ َ ‫ت‬ Kemudian pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engka tidak akan mendapatka mereka banyak bersyukur. (Q.S. Al-‘Araf [7]: 17)
  • 8. 6 Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’ bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu”. Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka akan berjibaku apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya; kecantikan bidadaribidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua yang disediakan Allah di dalamnya. Di waktu yang lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab dengan pertanyaan balik. Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan bersama-sama. 4. Hikmah Mempelajari al-Khauf Bagaimana kalau orang yang tidak memiliki rasa takut dan tidak punya harapan? Tentu dia akan sembarangan dalam beramal atau tidak mau berbuat apa-apa. Dan tentunya sulit dijelaskan bagaimana ia bisa menjadi orang yang sukses. Ketika Saudara menganalisis materi al-Khauf ini, apa yang Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa takut jika tidak bisa memenuhi perintah Allah? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan rasa takut akan kehilangan pertolongan Allah? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah agar menyadari bahwa setiap manusia membutuhkan pertolongan Allah. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain selalu takut kepada Allah. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
  • 9. 7 C. ar-Rahiim (Kasih Sayang) 1. Pengertian ar-Rahiim Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh semua orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian dan rasa empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat mendorong manusia untuk saling membantu untuk meringankan penderitaan yang dialami oleh manusia lainnya. Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin manusia akan menjadi sangat individualistis, egois dan tidak memikirkan kepentingan orang lain. Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang, memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali dengan akal, ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan nafsu, maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah Allah, manusia terkadang lebih mengutamakan akal atau nafsunya dibandingkan perintah Allah. Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan, supaya berakibat baik bagi semua pihak. Konsep ibadah harus dipahami sebagai prinsip dalam mengimplementasikan sifat kasih sayang di antara kita, yakni dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah swt. Dengan memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri beribadah kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk lain kecuali untuk memperoleh rida Allah Swt. 2. Dalil tentang ar-Rahiim Hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya yang artinya sebagai berikut: (1). “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum kalian mengasihi”, (2)” Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia” (H.R. Thabrani). Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, juga mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar manusia, melainkan juga pada hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya. Pernah diceritakan Abu Bakar as-Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, “Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak- anak kecil. Jangan pula kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah mereka, jangan kalian ganggu”. Nasehat ini, yang diberikan dalam keadaan perang, sungguh mencerminkan makna kasih sayang yang diajarkan
  • 10. 8 oleh agama Islam. Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga untuk lingkungan di sekitarnya. 3. Contoh ar-Rahiim dalam Kehidupan Sehari-hari Perlu digaris bawahi bahwa sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan prinsip penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar. Yang demikian itu justru akan memberikan energi negatif untuk beramal yang salah, tidak diterima oleh Allah, dan akan memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan makhluk yang lain. Sebagai contoh adalah Saudara menyayangi peserta didik Saudara sebagai anak didik yang membutuhkan perhatian dan bimbingan terbaik, dengan harapan Allah meridai. Kasih sayang yang dimaksud bukan kasih sayang terhadap lawan jenis dengan diselimuti hawa nafsu. Hal ini adalah perbuatan keliru karena tidak didasari prinsip penghambaan diri kepada Allah. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan materi ini. 4. Hikmah Mempelajari ar-Rahiim Ketika Saudara menganalisis materi ar-Rahiim ini, apa yang Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa selalu ingin menyayangi orang-orang di sekitar? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan kasih sayangnya pada orang beriman? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah dapat menguatkan hati selalu memberikan kasih sayang yang didasari penghambaan pada Allah. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain agar selalu saling menyayangi dalam ketaatan. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
  • 11. 9 D. Pemaaf 1. Pengertian Pemaaf Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap pemaaf dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa menyisakan rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata pemaaf, adalah serapan dari Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf, ampun, dan anugerah. Maaf sejatinya mudah dipahami, tapi susah diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Hakikat maaf adalah rela, benar-benar merelakan kesalahan yang sudah orang lain lakukan, sudah terjadi dan biarlah terjadi. Memaafkan kesalahan orang lain berarti rida dengan kenyataan yang sudah terjadi dan tidak ada rasa marah lagi kepada orang yang berbuat salah. Pemaaf berarti orang yang dapat dengan mudah merelakan kejadian-kejadian buruk dan menyakitkan dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari dalam jiwanya yang taat kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan siapapun. Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, namun masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika banyak di antara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan heran jika dendam di antara masyarakat kita tidak mudah hilang. Dan jangan berharap akan ada ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat. Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih memiliki sifat pemaaf itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada sebagai cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar bersifat pemaaf, kita bisa mengambil pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya. 2. Dalil tentang Pemaaf Allah mengajarkan kepada kita agar menjadi pribadi yang pemaaf, melalui kisah cerita, seperti kisah Abu Bakar as-Shidiq yang menjadi sebab-sebab diturunkannya ayat berikut ini: ُ ‫ق‬ ْ ‫ال‬ ‫ي‬ ِ‫ول‬ ُ ‫أ‬ ‫وا‬ ُ ‫ت‬ ْ ‫ؤ‬ُ‫ي‬ ْ ‫ن‬ َ ‫أ‬ ِ‫ة‬ َ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫الس‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ ِ ‫ل‬ ْ ‫ض‬ َ ‫ف‬ ْ ‫ال‬ ‫و‬ ُ ‫ول‬ ُ ‫أ‬ ِ ‫ل‬ َ ‫ت‬ ْ ‫أ‬َ‫ي‬ ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ‫و‬ ِ ‫ه‬ ‫اَّلل‬ ِ ‫يل‬ِ‫ب‬ َ ‫س‬ ‫ي‬ِ‫ف‬ َ ‫ين‬ ِ ‫ر‬ ِ ‫اج‬ َ‫ه‬ ُ‫م‬ ْ ‫ال‬ َ‫و‬ َ ‫ين‬ ِ‫اك‬ َ ‫س‬ َ‫م‬ ْ ‫ال‬ َ‫و‬ ‫ى‬ َ ‫ب‬ ْ ‫ر‬ ٌ‫يم‬ ِ ‫ح‬ َ ‫ر‬ ٌ ‫ور‬ ُ ‫ف‬ َ ‫غ‬ ُ ‫ه‬ ‫اَّلل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ه‬ ‫اَّلل‬ َ ‫ر‬ ِ‫ف‬ ْ ‫غ‬َ‫ي‬ ْ ‫ن‬ َ ‫أ‬ َ ‫ون‬ُّ‫ب‬ ِ‫ح‬ ُ ‫ت‬ ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ ‫أ‬ ‫وا‬ ُ ‫ح‬ َ ‫ف‬ ْ ‫ص‬َ‫ي‬ ْ ‫ل‬ َ‫و‬ ‫وا‬ ُ ‫ف‬ ْ ‫ع‬َ‫ي‬ ْ ‫ل‬ َ‫و‬ “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan member (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nur [24]: 22)
  • 12. 10 Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah saw.. Banyak kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, termasuk salah satu sifat pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba meracuni Rasulullah dengan menabur racun dimakanan beliau, namun Rasulullah terselamatkan. Hingga wanita itu mengakui perbuatannya kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa menghukumnya. Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana kita bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam proses membangun keluarga di antara kita yang tentunya tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Allah Swt. berfirman: َ ‫ين‬ ِ ‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ال‬ ‫ا‬ َ ‫ه‬ُّ‫ي‬ َ ‫أ‬ ‫ا‬َ‫ي‬ ‫وا‬ ُ ‫ر‬ ِ‫ف‬ ْ ‫غ‬ َ ‫ت‬ َ‫و‬ ‫وا‬ ُ ‫ح‬ َ ‫ف‬ ْ ‫ص‬ َ ‫ت‬ َ‫و‬ ‫وا‬ ُ ‫ف‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ت‬ ْ ‫ن‬ِ‫إ‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ُ ‫وه‬ ُ ‫ر‬ َ ‫ذ‬ ْ ‫اح‬ َ ‫ف‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫ا‬ ًّ‫و‬ ُ ‫د‬ َ ‫ع‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ِ‫اد‬ َ ‫ل‬ ْ‫و‬ َ ‫أ‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ ِ ‫اج‬ َ‫و‬ ْ ‫ز‬ َ ‫أ‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ ‫ه‬ ‫ن‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ ُ ‫ن‬ َ‫م‬‫آ‬ ٌ‫يم‬ ِ ‫ح‬ َ ‫ر‬ ٌ ‫ور‬ ُ ‫ف‬ َ ‫غ‬ َ ‫ه‬ ‫اَّلل‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ِ‫إ‬ َ ‫ف‬ “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S. at-Taghabun [64]:14) Sebagai guru di zaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia mulai tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf sangat diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya. Sehingga menjadi panutan mereka. 3. Contoh Pemaaf dalam Kehidupan Sehari-hari Sebagai contoh pada kehidupan sehari-hari Saudara, bisa mengumpamakan dengan hubungan guru dan peserta didik. Mungkin saudara pernah dimarahi oleh guru Saudara di masa lalu, marahnya guru itu tidak akan terlupakan, namun sudah saudara relakan sebagai kejadian yang sudah terjadi, dan saudara tidak lagi marah atau dendam dengan guru Saudara. Begitu pula dengan perlakuan orang tua Saudara di masa lalu, mungkin ada hal yang membuat saudara marah kepada mereka, kejadiannya tidak terlupakan, namun Saudara rela dengan kejadian itu dan tidak ada lagi kemarah apalagi dendam kepada orang tua Saudara. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan materi ini. 4. Hikmah Mempelajari Akhlak Pemaaf Ketika Saudara menganalisis materi pemaaf ini, apa yang Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa masih ada kesalahan yang belum Saudara maafkan? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memaafkan kesalahan-kesalahan kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah
  • 13. 11 meyakinkan diri menjadi pribadi yang mudah memberi maaf kepada orang lain. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain mudah memaafkan. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
  • 14. 12 E. Ikhlas 1. Pengertian Ikhlas Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata ‫الص‬ْ‫إخ‬ (ikhlas) merupakan bentuk mashdar dari ََ ‫ص‬َ‫ل‬ْ‫أخ‬ (akhlasa) yang berasal dari akar kata ‫خلص‬ (khalasa). Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai) dan I’tazala (memisahkan diri). Bisa juga diartikan sebagai perbaikan dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al- Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208) Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sebagai berikut: a. Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan, serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung (Muhammad Rasyid Rida,1973, hlm. 475). b. Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan semata-mata karena Allah Swt. (Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139) Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas dapat digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil (kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa nikmat dimakan, karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Coba bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita makan juga mengandung kerikil. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada yang mengganjal kenikmatan rasanya. Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas sampai ia mengesakan Allah Swt. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan Allah Swt. 2. Dalil tentang Ikhlas Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan mengharapkan rida-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah-Nya yang tercantum dalam Q.S. al-An’am [6] ayat 162-163:
  • 15. 13 ْ ‫ل‬ ُ ‫ق‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ِ‫ا‬ ْ ‫ي‬ ِ ‫ات‬ َ ‫ل‬ َ ‫ص‬ ْ‫ي‬ ِ ‫ك‬ ُ ‫س‬ ُ ‫ن‬ َ‫و‬ َ ‫اي‬َ‫ي‬ ْ ‫ح‬ َ ‫م‬ َ‫و‬ ْ ‫ي‬ ِ ‫ات‬ َ َ ‫َم‬ َ‫و‬ ِ ٰ ِ ‫َّلل‬ ِ ‫ب‬ َ ‫ر‬ َ ‫ن‬ْ‫ي‬ ِ ‫م‬ َ ‫ل‬ ٰ ‫ع‬ ْ ‫ال‬ ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ ‫ك‬ْ‫ي‬ ِ ‫ر‬ َ ‫ش‬ ‫ه‬ َ ‫ل‬ ۚ َ ‫ك‬ِ‫ل‬ ٰ ‫ذ‬ِ‫ب‬ َ‫و‬ ُ ‫ت‬ ْ ‫ر‬ ِ‫م‬ ُ ‫ا‬ ‫ا‬ َ ‫ن‬ َ ‫ا‬ َ‫و‬ ُ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫و‬ َ ‫ا‬ َ ‫ن‬ْ‫ي‬ ِ ‫م‬ِ‫ل‬ ْ ‫س‬ ُ‫م‬ ْ ‫ال‬ 162. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam; 163. tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama- tama berserah diri (muslim).” (Q.S. al-An’am [6]: 162-163) Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam Q.S. al-Bayyinah [98] ayat 5: ٓ‫ا‬ َ‫م‬ َ‫و‬ ‫ا‬ٓ ْ‫و‬ ُ ‫ر‬ ِ‫م‬ ُ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ِ‫ا‬ ‫وا‬ ُ ‫د‬ُ‫ب‬ ْ ‫ع‬َ‫ي‬ِ‫ل‬ َ ٰ ‫اَّلل‬ َ ‫ن‬ْ‫ي‬ ِ ‫ص‬ِ‫ل‬ ْ ‫خ‬ ُ ‫م‬ ُ ‫ه‬ َ ‫ل‬ َ ‫ن‬ ْ ‫ي‬ ِ ‫الد‬ ‫ە‬ َ‫ۤء‬‫ا‬ َ ‫ف‬ َ ‫ن‬ ُ ‫ح‬ ‫وا‬ ُ‫م‬ْ‫ي‬ ِ ‫ق‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ َ ‫وة‬ ٰ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫الص‬ ‫وا‬ ُ ‫ت‬ ْ ‫ؤ‬ُ‫ي‬ َ‫و‬ َ ‫وة‬ ٰ ‫ك‬‫ه‬ ‫الز‬ َ ‫ك‬ِ‫ل‬ ٰ ‫ذ‬ َ‫و‬ ُ ‫ن‬ْ‫ي‬ ِ‫د‬ ِ‫ة‬ َ‫م‬ِ‫ي‬ َ ‫ق‬ ْ ‫ال‬ Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S. al- Bayyinah [98]: 5) Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt. Jadi apabila penilaiannya disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai dengan harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak keikhlasan kita, sebagaimana Q.S. al-Insan [76] ayat 9: ‫ا‬ َ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ِ‫ا‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ ُ‫م‬ ِ ‫ع‬ ْ ‫ط‬ ُ ‫ن‬ ِ‫ه‬ ْ ‫ج‬ َ‫و‬ِ‫ل‬ ِ ٰ ‫اَّلل‬ ‫ا‬ َ ‫ل‬ ُ ‫د‬ْ‫ي‬ ِ ‫ر‬ ُ ‫ن‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ ً‫ۤء‬‫ا‬ َ ‫ز‬ َ ‫ج‬ ‫ا‬ َ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ا‬ ً ‫ر‬ ْ‫و‬ ُ ‫ك‬ ُ ‫ش‬ (sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. (Q.S. al-Insan [76]: 9) 3. Sifat yang dapat Merusak Keikhlasan Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu umat Islam harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di antaranya: a. Riya’, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari rida Allah SWT., akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian atau kemashuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat, sebagaimana tergambar di dalam firman Allah Swt. Q. S. al-Ma’un [107]: 4-7. Riya’ merupakan salah satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Adapun tanda-tanda orang yang riya’, adalah: 1) Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji atau disanjung oleh orang lain, akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan ejekan; 2) Tekun dalam beribadah apabila di depan orang banyak, akan tetapi
  • 16. 14 malas apabila dikerjakan sendirian; 3) Mau memberi atau sedekah apabila dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya; 4) Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah Swt., akan tetapi karena mengharap pamrih kepada manusia. b. Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain supaya mendapat penilain dan dihargai, misalnya kedudukan di hatinya. Pada dasarnya sama dengan riya’, tetapi sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan sehingga perlu diceriterakan. c. Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt. Bagaimana apa Saudara sudah paham tentang ikhlas sebagai nilai landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal saleh dan bernilai ibadah? Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal. Allah Swt. berfirman: ِ‫ة‬ َ‫ام‬َ‫ي‬ ِ ‫ق‬ ْ ‫ال‬ َ ‫م‬ ْ‫و‬َ‫ي‬ ْ‫م‬ ُ‫ه‬ َ ‫ل‬ ُ‫يم‬ ِ ‫ق‬ ُ ‫ن‬ ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ ْ‫م‬ ُ‫ه‬ ُ ‫ال‬ َ ‫م‬ ْ ‫ع‬ َ ‫أ‬ ْ ‫ت‬ َ ‫ط‬ِ‫ب‬ َ ‫ح‬ َ ‫ف‬ ِ‫ه‬ِ‫ائ‬ َ ‫ق‬ِ‫ل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ِ ‫ه‬ِ‫ب‬ َ ‫ر‬ ِ ‫ات‬َ‫آي‬ِ‫ب‬ ‫وا‬ ُ ‫ر‬ َ ‫ف‬ َ ‫ك‬ َ ‫ين‬ ِ ‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ال‬ َ ‫ك‬ِ‫ئ‬ َ ‫ول‬ ُ ‫أ‬ ‫ا‬ ً ‫ن‬ ْ ‫ز‬ َ‫و‬ Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak. (Q.S. al-Kahfi [18]: 105) 4. Contoh Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari Sebagai gambaran ikhlas yang sederhana adalah dari kondisi Saudara sebagai guru. Ketika Saudara menyampaikan suatu ilmu kepada peserta didik, dan ada kepuasan hati, serta ada rasa tulus saat menyampaikannya, maka itu adalah bagian dari ikhlas. Ketika Saudara menjalankan salat dengan penuh ketulusan, tanpa paksaan, tanpa merasa takut ancaman, sehingga berupaya khusyu dalam salat, maka itu adalah bagian dari ikhlas. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan materi ini. 5. Hikmah Mempelajari Ikhlas Ketika Saudara menganalisis materi ikhlas ini, apa yang Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa sudah tulus dalam menjalankan setiap amal? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan rasa ikhlas di
  • 17. 15 hati kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah dapat menyadari bahwa setiap amal yang dilakukan perlu dilakukan dengan ketulusan sepenuh hati. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain agar bisa ikhlas dalam beramal saleh. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
  • 18. 16 F. Toleransi 1. Pengertian Toleransi Toleran merupakan predikat bagi orang yang memiliki sifat toleransi. Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris “tolerance” yang berarti membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran, mendiamkan atau membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada. Tasamuh sendiri didefinisikan sebagai pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat. Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan dan membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya, perbedaan agama, ideologi dan ras. 2. Dalil tentang Toleransi Dalam Al-Qur’an, sikap toleransi ini banyak diulas baik secara eksplisit maupun implisit. Di antara firman-Nya adalah sebagai berikut: ْ‫م‬ ُ‫ه‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫و‬ ْ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫م‬ ُ ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ ‫ؤ‬ُّ‫ي‬ ‫ه‬ِ‫ب‬ ْ‫م‬ ُ‫ه‬ ْ ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫و‬ ْ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ُ ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ ‫ؤ‬ُ‫ي‬ ‫ه‬ِ‫ب‬ َ ‫ك‬ُّ‫ب‬ َ ‫ر‬ َ‫و‬ ُ‫م‬ َ ‫ل‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ا‬ َ ‫ن‬ْ‫ي‬ ِ ‫د‬ ِ ‫س‬ ْ ‫ف‬ ُ‫م‬ ْ ‫ال‬ِ‫ب‬ ࣖ “Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. Yunus [10]: 40) Maksud dari ayat ini adalah pengajaran sikap dan mental dari Allah kepada Nabi Muhammad bahwa di antara umatnya ada yang beriman dengan Al- Qur’an ini. Mereka mengikutimu dan mengambil manfaat dengan Al-Qur’an. Di saat yang bersamaan, di antara mereka ada juga yang tidak mepercayaimu dan apa yang kau bawa. Mereka akan mati dalam keadaan seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula. Allah lebih mengetahui siapa yang berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk; dan siapa yang berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allah lah yang Maha Adil yang tidak berbuat zalim. Allah memberi masing-masing sesuai haknya. Pada kelanjutan ayatnya, secara lebih konkret Allah mengajari Nabi untuk bersikap toleransi. Nabi diminta untuk bersikap bebas jika orang-orang musyrik itu mendustakannya, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka. Ayat tersebut sebagai berikut:
  • 19. 17 ْ ‫ن‬ ِ‫ا‬ َ‫و‬ َ ‫ك‬ ْ‫و‬ُ‫ب‬ ‫ه‬ ‫ذ‬ َ ‫ك‬ ْ ‫ل‬ ُ ‫ق‬ َ ‫ف‬ ْ ‫ي‬ ِ‫ل‬ ْ‫ي‬ ِ‫ل‬ َ‫م‬ َ ‫ع‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ َ ‫ل‬ َ‫و‬ ۚ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ ُ ‫ل‬ َ‫م‬ َ ‫ع‬ ْ‫م‬ ُ ‫ت‬ ْ ‫ن‬ َ ‫ا‬ َ ‫ن‬ ْ‫و‬ ُٔ‫ـ‬ْۤ‫ي‬ ِ ‫ر‬َ‫ب‬ ٓ‫ا‬ ‫ه‬ ِ ‫َم‬ ُ ‫ل‬ َ‫م‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ا‬ ‫ا‬ َ ‫ن‬ َ ‫ا‬ َ‫و‬ ٌ‫ء‬ ْ ۤ‫ي‬ ِ ‫ر‬َ‫ب‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ِ ‫َم‬ َ ‫ن‬ ْ‫و‬ ُ ‫ل‬ َ‫م‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ت‬ “Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Yunus [10]: 41) Ayat berikutnya yang merupakan ayat paling populer berbicara tentang toleransi bahkan utuh dalam satu surat adalah surat al-Kafirun. Berikut bunyinya: َ ‫ن‬ ْ‫و‬ ُ ‫ر‬ ِ‫ف‬ ٰ ‫ك‬ ْ ‫ال‬ ‫ا‬ َ ‫ه‬ُّ‫ي‬ َ ‫ا‬ٰٓ‫ي‬ ْ ‫ل‬ ُ ‫ق‬ ( ١ ) َ ‫ن‬ ْ‫و‬ ُ ‫د‬ُ‫ب‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ت‬ ‫ا‬ َ‫م‬ ُ ‫د‬ُ‫ب‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ ‫ل‬ ( ٢ ) ُ ‫د‬ُ‫ب‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ‫م‬ َ ‫ن‬ ْ‫و‬ ُ ‫د‬ِ‫ب‬ ٰ ‫ع‬ ْ‫م‬ ُ ‫ت‬ ْ ‫ن‬ َ ‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ‫و‬ ( ٣ ) ‫ا‬ َ‫م‬ ٌ ‫د‬ِ‫اب‬ َ ‫ع‬ ‫ا‬ َ ‫ن‬ َ ‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ُ ‫ت‬ ْ ‫د‬َ‫ب‬ َ ‫ع‬ ( ٤ ) ُ ‫د‬ُ‫ب‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ‫م‬ َ ‫ن‬ ْ‫و‬ ُ ‫د‬ِ‫ب‬ ٰ ‫ع‬ ْ‫م‬ ُ ‫ت‬ ْ ‫ن‬ َ ‫ا‬ ۤ‫ا‬ َ ‫ل‬ َ‫و‬ ( ٥ ) ِ ‫ن‬ْ‫ي‬ ِ‫د‬ َ ‫ي‬ ِ‫ل‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ ُ ‫ن‬ْ‫ي‬ ِ‫د‬ ْ‫م‬ ُ ‫ك‬ َ ‫ل‬ ( ٦ ) “Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah, bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 1-7) 3. Maksud Toleransi dalam Al-Qur’an Dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan bahwa maksud dari agama kalian adalah kesyirikan, sementara maksud dari agamaku adalah Islam. Adapun menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat tersebut ialah ”Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.” Menurut pendapat sebagian mufassir, ayat ini diturunkan sebelum Nabi saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Tentang peperangan, bukan berarti Nabi tidak lagi mengindahkan toleransi. Peperangan yang ada hanyalah bukti ketaatan Nabi kepada perintah Allah, dan dengan alasan sebagai perlawanan saat Nabi dan kaum muslimin diserang atau diperangi. Memahami Al-Qur’an tidaklah sempurna jika tidak mempertimbangkan asbab al-nuzul ayat. Adapun asbab al-nuzul dari surat al-Kafirun ini ialah adanya kaum kafir Quraisy berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. agar mengikuti ajaran mereka. Kaum kafir Quraisy menawarkan harta yang melimpah agar Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu, Rasulullah juga dijanjikan hendak dinikahkan dengan wanita paling cantik, baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam upaya ini, kaum kafir Quraisy mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami dalam satu tahun” Rasulullah pun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.” Karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Rasulullah berupa surat al-Kafirun.
  • 20. 18 Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan kepada Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani dan Ibn Abi Hatim dari Ibnu Abbas) Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengajukan tawaran kepada Rasulullah saw., “Wahai Muhammad, sekiranya kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan peristiwa ini, kemudian Allah Swt. memerintahkan malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw., yaitu surah al-Kafirun sebagai petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah saw. menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-terangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin dan Ibnu Mundzir dari Juraij). Dari beberapa penjelasan ayat di atas jelaslah bahwa toleransi adalah sikap yang mesti dimiliki umat Islam. Sikap inilah yang melahirkan perdamaian dan kemajuan. Melalui piagam Madinah yang di dalamnya sarat dengan toleransi, Nabi berhasil membangun peradaban Islam di tengah kemajemukan. 4. Contoh Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari Gambaran toleransi yang ada di lingkungan kemasyarakatan, di antaranya dengan sikap membiarkan masyarakat non muslim beribadah, walaupun di tengah-tengah lingkungan masyarakat mayoritas muslim. Tentu sebaliknya juga perlu dilakukan masyarakat non muslim, saat kelompok muslim minoritas berada di lingkungan non muslim mayoritas, perlu mengizinkan masyarakat muslim mengumandangkan azan. Saling menghormati dan memperbolehkan aktivitas peribadatan ini adalah bentuk toleransi yang sudah terbangun di Indonesia sejak lama. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan materi ini. 5. Hikmah Mempelajari Toleransi Ketika Saudara menganalisis materi toleransi ini, apa yang Saudara rasakan? Apakah Saudara merasa sudah bersikap toleran terhadap orang lain? Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan batasan toleran yang baik? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah mengetahui batasan toleransi sesuai aturan yang tepat demi saling menjaga kemurnian masing-masing keyakinan. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain saling menghargai dan toleran. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
  • 21. 19
  • 22. 20 REFLEKSI Setelah mempelajari materi Akhlak Terhadap Diri Sendiri dan Orang Lain yang mencakup al-haya' (malu), al-khauf, ar-rahiim (kasih sayang), pemaaf, ikhlas, toleransi apakah hikmah atau spirit yang dapat saudara mahasiswa ambil dan terapkan dalam pembelajaran PAI? Melalui materi pada kegiatan belajar ini kita bisa mendalami nilai moderasi beragama. Pengamalan al-haya’ (malu) adalah pengamalan merasa tidak mau melakukan perbuatan yang berlebihan, ini mencerminkan nilai tawassuth (mengambil jalan tengah) dalam moderasi beragama. Pengamalan al-khauf (takut) adalah pengamalan menjalankan sesuatu karena takut akan hari pembalasan, dan menjalankan sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan, ini menggambarkan nilai i’tidal (adil tegak lurus). Menjadi pemaaf adalah idaman setiap orang karena memberikan ketenangan, memberi maaf pada orang yang melakukan kesalahan akan menjalin kembali komunikasi dan terwujud juga nilai syura (musyawarah). Mengamalkan nilai ar-rahiim (kasih sayang) akan mencerminkan nilai al-la ‘unf (anti-kekerasan), karena saling menyayangi sesama manusia. Materi toleransi dalam kegiatan belajar ini mengarahkan mahasiswa lebih peka terhadap kehidupan bernegara yang selalu menghargai seluruh warganya, ini mewujudkan nilai muwathanah (menghargai negara-bangsa dan warga negara) dan ramah terhadap kebudayaan lokal, ini mencerminkan nilai i’tiraf al-‘urf (ramah terhadap kebudayaan lokal), serta tentu saja nilai tasamuh yang utama. Menurut saudara, nilai moderasi beragama apalagi yang dapat dikembangkan dari materi ini?
  • 23. 21 CONTOH SOAL Setelah menganalisis uraian materi, apakah Saudara sudah menguasai capaian pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan Saudara, dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan Saudara dalam menganalisis pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh dosen pengampu. 1. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap tenggang rasa. Banyak landasan normatif baik Al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk bersikap demikian. Namun, dalam praktiknya, orang-orang masih bingung antara batas wilayah toleransi dan batas wilayah fanatis. Kondisi ini di banyak kasus menyebabkan sebagian mereka keliru dalam bersikap toleransi bahkan memicu pertentangan. Berikut adalah sikap toleransi yang tepat, kecuali ... a. Membiarkan umat beragama lain merayakan hari besar keagamaannya b. Memfasilitasi kegiatan beragama umat lain c. Membantu kemanan dan kenyamanan ibadat umat agama lain d. Mengucapkan selamat kepada umat agama lain atas hari besarnya e. Mengikuti ibadahnya secara bersama-sama namun dengan tetap tidak pindah keyakinan Jawaban: E TINDAK LANJUT BELAJAR 1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video pada LMS Program PPG. Baca artikel kemudian lakukan analisis berdasarka isi artikel! 2. Kaitkan isi artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses pembelajarannya di sekolah! 3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program PPG.
  • 24. 22 GLOSARIUM al-Haya' : Sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan atau bertentangan dengan aturan dan adat istiadat al-Khauf : Perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat ar-Rahiim : Kasih sayang Pemaaf : Orang yang rela member maaf kepada orang lain Ikhlas : Menyengajakan suatu perbuatan hanya karena Allah Swt., dengan menyerahkan penilaiannya hanya kepada-Nya Toleransi : pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat
  • 25. 23 DAFTAR PUSTAKA Ahmad Mushthofa al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) Jilid 1. Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Bairut: Dar ash-Shadir, 1963 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub, 2011 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds Fi Madariji Ma’rifat al-nafsi, Bairut: Libanon, Dar al-Kutub, 1988 Al-Ghazali, Mizan al-Amal, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964 Amin, Ahmad, Kitab al-Akhlak, Kairo: Muassasah Handawiy li at-Ta’lim wa ats- Tsaqafah, 2012 Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Multi Karya: Grafika, Yogyakarta, 2007). al-Bukhāri, al-Jāmi al-Sahīh al-Bukhāri, tahqiq al-Mustafā Dīb, (Beirūt; Dār Ibnu Kathīr, 1987). Dawam Raharjo Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramdina, 1996). Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdiknas, 2003). Djatmika, Rahmat, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996 Ibnu al-‘Arabi, Kitab Fushush al-Hikam, Abu al-Ali ‘Afifi (ed.), (Beirut: Dar al-Kitab al- A‟Rabi, 1980). Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy- Syafi‟i 2004). Ibn. Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi at-Tarbiyah, Bairut - Libanon: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1985 Imran Al-Idrusy, Mengenal Langkah-Langkah Setan, (Putra Pelajar, Surabaya, 2001). Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata (Jakarta: PT. Suara Agung Jakarta, 2014). Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Dar al-Falah, 1999 M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, (Beirut, Darul Fikr Al-Muashir, 2003 M/1424 H). Said Aqil Husin Munawar. Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002). Said Hawwa. Jalan Ruhani. (Bandung: Mizan. 1995). Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung: CV. Dipongoro, 1988 Zarruq, Syarhul Hikam, (Surabaya: As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H).