2. 1. Pengertian
Psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis
kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan
menginterprestasikan karya sastra, pengarang
karya sastra dan pembacanya dengan
menggunakan berbagai konsep dan kerangka
teori yang ada dalam psikologi.
3. Menurut Wiyatmi (2011:13), untuk menguji karakter tokoh-tokoh
yang terdapat dalam sebuah novel atau drama, seorang peneliti
atau kritikus perlu menguasai berbagai konsep psikologi,
utamanya yang berhubungan dengan watak dan kondisi kejiwaan
tokoh
Kajian sastra yang menggunakan pendekatan
psikologi sastra menghubungan antara sastra dan
psikologi.
Peneliti atau kritikus sastra membaca
dan mengkaji karya sastra, pengarang
yang menciptakan karya sastra, dan
pembaca yang mengalami proses
kejiwaan ketika membaca dan
menanggapi karya yang dibacanya.
4. Analisis Psikologi
terhadap Karya Sastra
Sastra dan psikologi pada hakikatnya sama-sama
membicarakan hidup dan kehidupan manusia.
Hal yang membedakan adalah sastra
membicarakan manusia yang diciptakan pengarang
(manusia imajiner), sedangkan psikologi
membicarakan manusia yang nyata sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
5. Tokoh dalam Analisis Psikologi Sastra
Sifat-sifat manusia dalam karya sastra
berisfat imajiner, tetapi di dalam
menggambarkan karakter dan jiwa tokoh,
pengarang menjadikan manusia yang nyata
(hidup) sebagai model kreativitas. Dalam
perspektif proses kreatif, ada tuntutan
bahwa karakter tokoh dalam karya sastra
harus memiliki dimensi psikologis,
sosiologis, dan fisiologis sebagaimana
layaknya manusia nyata.
Kegiatan analisis tokoh dalam
karya sastra dan perwatakan
tokoh, seorang peneliti perlu
mendasarkan pada teori dan
hukum-hukum psikologi
untuk menjelaskan perilaku
dan karakter manusia
(Wiyatmi, 2011:14).
6. Menurut Wellek dan Warren (1988)
berkenaan dengan penerapan pendekatan
psikologi dalam analsisis karya sastra, yang
perlu diperhatikan adalah bahwa
seandainya pun seorang pengarang
berhasil membuat tokoh-tokohnya berlaku
sesuai dengan “kebenaran psikologis”,
perlu dipertanyakan apakah kebenaran itu
bernilai artistik.
Hal itu dikarenakan ada kemungkinan sejumlah karya
sastra yang besar justru menyimpang dari standar
psikologi sezamannya.
7. Karya sastra disebut sebagai salah satu
gejala (penyakit) kejiwaan. Menurut
Ratna (20014:62), intensitas terhadap
gejala-gejala individual di satu pihak dan
dominasi aspek psikis di pihak lain,
menyebabkan pendekatan psikologis lebih
banyak membicarakan aspek penokohan
dan kecenderungan munculnya aliran
aliran (romantisme, ekspresionisme, dan
absurditas)
Proses kreatif merupakan salah
satu model yang banyak
dibicarakan dalam rangka
pendekatan atau teori psikologi
sastra.
Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas
penulis, yang sering dikaitkan dengan gejala
kejiwaan, seperti: obsesi, kontemplasi,
kompensasi, sublimasi, bahkan
neurosis.
Proses Kreatif Karya Sastra
8. Proses Kreatif Karya Sastra
Pengarang menghadirkan
situasi-situasi yang tidak
masuk akal dan motif-
motif yang fantastis.
Bahkan, upaya untuk
mendramatisir sebuah
peristiwa dalam buku-
buku nonsastra lebih
dominan.
Pemikiran psikologi dapat
menambah keartistikan
karya sastra karena
menunjang koherensi dan
kompleksitas.
Kebenaran psikologi yang
terdapat dalam karya
sastra akan bernilai artistik
jika menambah koherensi
dan kompleksitas karya
sastra.
9. Pemahaman terhadap proses kreatif karya
tertentu dari seorang pengarang dapat juga
dilakukan melalui keadaan jiwa pengarang.
Pengarang (sastrawan) adalah manusia biasa
yang bicara pada manusia lain.
Manusia yang benar-benar memiliki rasa
tanggap yang lebih peka, kegairahan, dan
kelembutan jiwa yang lebih mendalam tentang
kodrat manusia dan memiliki jiwa yang lebih
tajam dari pada manusia manusia lain. Keadaan
jiwa yang khusus tersebut akan melahirkan
bahasa puisi yang khusus pula.
10. 2. Cakupan Psikologi Sastra
(Wellek dan Warren, 2000:81)
Psikologi sastra yang berfokus
pada studi tipe-tipe dan hukum-
hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra.
Pertama
Psikologi
sastra yang berfokus pada
pengarang sebagai tipe atau
sebagai pribadi.
Kedua
Psikologi sastra
yang berfokus pada proses
kreatif penciptaan karya
sastra.
Ketiga Keempat
Psikologi sastra yang berfokus
pada kajian dampak sastra
bagi pembaca (psikologi
pembaca)
12. a. Psikologi Pengarang
Pengertian
Salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe
maupun sebagai seorang pribadi (Wellek & Warren, 1990:90). Dalam kajian ini yang menjadi fokus
adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.
Wordsworth menjelaskan bahwa “keadaan jiwa” dengan psikologi khususnya, akan
melahirkan pengungkapan bahasa puisi yang khusus pula. Pendirian Wordsworth
mengenai proses penciptaan puisi yang dikatakannya sebagai pengungkapan alamiah
dari perasaan-perasaan yang meluap-luap, dari getaran hati yang berkembang dalam
kesyahduan, juga menunjukan adanya hubungan antara aspek psikologi dalam
proses penciptaan puisi (Hardjana 1984:62).
Salah satu wilayah kajian psikologi pengarang adalah aspek kejiwaan
pengarang. Aspek kejiwaan berhubungan dengan proses penciptaan
karya sastra, pengalaman individual, lingkungan sosial dan alam, serta
tujuan khusus yang mendorong penciptaan karya sastra.
13. b. Psikologi Karya
Sastra
Psikologi karya sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum
psikologi dengan dua cara.
Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi,
kemudian diadakan analisis terhadap karya sastra.
Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditemukan
teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk
melakukan analisis karya sastra (Ratna, 2004:334).
14. Psikologi Karya Sastra
Cara Pertama
Karya sastra cenderung ditempatkan
sebgai gejala sekunder, karena karya
sastra dianggap sebagai gejala yang
pasif atau semata-mata sebagai
objek untuk mengaplikasikan teori
Cara Kedua
Menempatkan karya sastra
sebagai gejala yang
dinamis. Karya sastralah
yang menentukan teori,
bukan sebaliknya.
15. c. Psikologi Pembaca
● Psikologi pembaca merupakan salah satu jenis kajian
psikologi sastra yang memfokuskan pada pembaca,
yang ketika membaca dan menginterpretasikan karya
sastra mengalami berbagai situasi kejiwaan.
● Objek kajian dalam psikologi pembaca adalah pembaca
yang secara nyata membaca, menghayati, dan
menginterpretasikan karya sastra.
16. Iser (1979) mengatakan bahwa suatu karya
sastra akan menimbulkan kesan tertentu pada
pembaca. Kesan ini didapat melalui “hakikat”
yang ada pada karya itu yang dibaca oleh
pembacanya. Dalam proses pembacaan ini kala
ada interaksi antara hakikat karya itu dengan
“teks luar” yang mungkin memberikan kaidah
yang berbeda. Bahkan dapat dikatakan bahwa
kaidah dan nilai “teks luar” akan sangat
menentukan kesan yang akan muncul pada
seseorang sewaktu membaca sebuah teks,
karena fenomena ini akan menentukan
imajinasi pembaca dalam
membaca teks itu.
Sebagai manusia yang
memiliki aspek kejiwaan, maka
ketika membaca, menghayati,
dan mengintpresikan karya
sastra yang dibacanya, pembaca
akan mengadakan interaksi
dan dialog dengan karya sastra
yang dibacanya.
Psikologi Pembaca
17. Psikologi Pembaca
● Psikologi pembaca memiliki keterkaitan dengan teori
resepsi pembaca.
● Resepsi sastra juga membahas siapa pembaca, apa yang
dialami ketika dia membaca, faktor-faktor apa yang
mempengaruhi bagaimana dia memilih karya sastra
yang dibaca, dan bagaimana ia menanggapi karya
sastra. Bahasan itu juga dilakukan dalam kajian
psikologi pembaca.
● Hal itulah menjadi dasar pernyataan bahwa psikologi
pembaca berkaitan dengan kajian resepsi sastra.
18. 3. Psikoanalisa dalam Kajian Sastra
● Perkembangan bidang ilmu psikologi mada abad ke-20 didominasi oleh tiga teori,
(1) psikologi analisa dengan tokohnya Freud, Jung, dan Lacan; (2) psikologi
behaviorisme dengan tokoh-tokoh antara lain BF Skinner dan JB Watson; (3)
psikologi humanistik dengan tokohnya Abraham Maslow dan Carl Rogers.
● Secara singkat dapat disebutkan karaktistik tiga teori tersebut. Psikologi analisa
(psikoanalisa) dipergunakan untuk menjelaskan dan mengungkapkan manusia
dalam keadaan tidak normal. Psikologi behaviorisme digunakan untuk menjelaskan
bahwa manusia selamanya dikondisikan oleh lingkungan. Psikologi humanistik
digunakan untuk menjelaskan orang-orang normal yang ingin mendapat
pencapaian maksimal atau aktualisasi diri (Darma, 2004:134).
19. Pertama, psikologi analisa. Titik awal psikologi analisa
adalah pertanyaan tentang: “Siapa aku sebenarnya”. Manusia
selalu diliputi oleh keraguan karena, tanpa disadari, ada yang
tidak beres dalam dirinya. Karena itu, sadar atau tidak sadar,
selalu mempertanyakan siapa dirinya dan pertanyaan itu
memuncak dalam ungkapan to be or not to be atau that is the
question.
20. Kedua, psikologi behaviorisme. Titik awal psikologi
behaviorisme oleh pertanyaan: “Mengapa saya menjadi
demikian?” Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah, dia
menjadi demikian, karena lingkungannya. Misalnya,
orang-orang di daerah tertentu cenderung kasar,
sementara di daerah lain halus, karena lingkungan telah
membentuk perilaku mereka.
21. Ketiga, psikologi humanistik. Titik awal psikologi
humanistik adalah pertanyaan bagi orang-orang
normal berkenaan dengan pencapaian dirinya.
Misalnya, “Saya tentara, dapatkah saya kelak
menjadi jenderal?” atau “Saya pemain bola,
dapatkan saya menjadi pemain tingkat dunia?”.
22. Darma (2004:135) menegaskan bahwa pertanyaan
“mengapa saya menjadi demikian” (behaviorisme) dan
pertanyaan “dapatkah saya kelak menjadi jenderal”
(humanistik) pada hakikatnya bertolak dari pertanyaan
yang sama dalam psikoanalisa, yakni “siapakah aku
sebenarnya”. Pertanyaan tersebut pada intinya
menyangkut masalah jati diri atau identitas diri.
23. Salah satu tokoh penting dalam teori psikoanalisa adalah Sigmund
Freud. Freud berhasil mempelajari riwayat hidup para seniman
besar dan sastrawan besar, dan berusaha mencari hubungan yang
signifikan atara riwayat hidup mereka dengan karya-karya yang
dihasilkannya. Pengarang besar yang diteliti oleh Freud adalah
Shakespeare dengan karya dramanya Hamlet; dan pengarang Rusia
abad ke-19, Fyodor Dostoevsky, khusus karya yang berjudul Note
from Underground (Catatan dari Bawah Tani – terjemahan Asrul
Sani) (Darma, 2004:133).
24. Perspektif Psikoanalisa (tripartit)
Dorongan alamiah jiwa
manusia untuk berpikir
dan bertindak sesuai
kehendaknya sendiri tanpa
kendali dan tidak ada
pembatasan diri. Sumber
utama id terletak dalam
pikiran kanak-kanak (the
infantile mind).
Perwujudan wewenang
“ayah” dan masyarakat,
yakni wewenang untuk
mengendalikan dan
membatasi dengan keras
keinginankeinginan tanpa
kendali dan tanpa
pembatasan dari id.
Superego adalah
pengendali
komponen id.
Penyeimbang antara
tuntutan-tuntutan
pengendalian
diri dan pembatasan diri milik
superego, dan dorongan
tanpa kendali dan tanpa
batas milik id.
Ego adalah kepanjangan
kesadaran pikiran (the
conscious tinking mind).
Kesadaran inilah yang mengedalikan
kata-kata, tindakan-tindakan, dan
pikiran-pikiran seseorang dalam
menghadapi masyarakat sebagai
sebuah dunia di luar dunia
dirinya sendiri
id
superego
ego
25. Kegunaan interpretasi adalah melihat motivasi di
balik ketiga komponen yang dari luar tampak
satu, namun sebenarnya bukan satu. Oleh karena
itu, khususnya dalam sastra, metode interpretasi
digunakan untuk menemukan motivasi yang
tersembunyi dalam jiwa tokoh dalam karya
sastra/sastrawan yang muncul melalui perilaku
tokoh-tokoh. Peneliti harus mencari dan
menemukan kunci-kunci perilaku (kata-kata,
pikiran, dan tindakan) dalam karya sastra untuk
melihat motuvasi apa sebenarnya yang berada di
balik kunci-kunci tersebut (Darma, 2004:153).