1. Intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan di Kota Bekasi, Jawa Barat semakin meningkat. Komunitas Ahmadiyah dan jemaat Kristen menjadi korban serangan dan penindasan oleh kelompok intoleran yang didukung pemerintah daerah.
2. Berbagai peraturan pemerintah digunakan untuk melarang dan membatasi kegiatan keagamaan minoritas, termasuk penyegelan rumah ibadah dan penetapan tersangka terhadap
Skripsi legalisasi perkumpulan freemason ditinjau dari perspektif iman kristen
Pernyataan pers setara institute & sobat kbb 18 maret 2013
1. PERNYATAAN PERS
SETARA Institute dan Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan (SOBAT KBB)
INTOLERANSI, DISKRIMINASI, DAN KEKERASAN DI BEKASI, JAWA BARAT
Jakarta, 18 Maret 2013
1. Sikap antikebaragaman dan menafikan tafsir keagamaan di luar keyakinan
mayoritas sebagai fakta dinamika sosial yang mendapatkan jaminan
konstiitusional cenderung mempunyai “posisi istimewa” di ruang publik Bekasi,
Jawa Barat. Para pemangku kebijakan mulai dari pemerintah daerah, aparat
kepolisian, DPRD Kota Bekasi, tokoh agama dan elemen lain serta masyarakat
secara bersama-sama memperagakan tindakan intoleran. SETARA Institute
merekam peristiwa-peristiwa intoleransi di Bekasi telah menularkan virus
antikeberagaman ke daerah-daerah lain. Berbagai peristiwa yang terjadi di
Bekasi juga menjadi penanda bahwa intoleransi berinkubasi di Kota Bekasi.
2. Kelompok minoritas keagamaan/keyakinan di Bekasi mendapatkan perlakuan
diskriminasi dan sering menjadi target aksi kekerasan atas nama agama.
Komunitas Ahmadiyah dan jemaat Kristiani menjadi kelompok rentan yang
paling sering menjadi korban sikap antikeberagaman dan ekspresi praktik
penunggalan tafsir keagamaan oleh mayoritas. Kelompok intoleran
mendapatkan dukungan penuh para pemangku kebijakan lokal di Kota Bekasi.
3. Kota Bekasi memiliki banyak faktor yang kemudian meradikalisasi publik
bekasi untuk bersikap dan bertindak intoleran: pertumbuhan pemukiman yang
menuntut juga kehadiran tempat ibadah, kesenjangan ekonomi, kontestasi
perebutan sumberdaya ekonomi-politik, dan dugaan berbagai tindakan yang
dianggap sebagai kristenisasi. Selain desain peraturan soal kehidupan
beragama/berkeyakinan yang diskriminatif, berbagai dinamika sosial baru di
Kota Bekasi telah semakin memantik percepatan radikalisasi publik.
4. Pada bulan November 2008 sekitar 10 Ormas Islam mengadakan pertemuan
dalam rangka merespon yang dinilai oleh mereka sebagai gerakan kristenisasi
di Bekasi. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan sebuah kesepakatan untuk
membentuk aliansi kekuatan pembentengan akidah. Atas usul Ustadz
Badruzzaman Busyairi, anggota FKUB Kota Bekasi, aliansi itu diberi nama Front
Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB). Terpilih sebagai ketua Ustadz Abu Al Izz,
aktivis Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) Bekasi. Sementara jabatan wakil
ketua dipegang Nazirul Gobi dari FPI. FAPB pada gilirannya bermetamorfosis
sebagai wadah berhimpun kelompok organisasi intoleran di Bekasi. Untuk
memperkokoh gerakanya, FAPB mengajak pelajar di Bekasi berpartisipasi
dalam aktivitas itu. Pada bulan Juni 2010 dideklarasikan Gerakan Pelajar Anti
Pemurtadan (GPAP).
5. Pada 5 Februari 2010 Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB) bersama kelompok
intoleran lainnya seperti FPI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), termasuk organisasi
2. yang selama ini dianggap moderat seperti Persis, Muhammadiyah bahkan FKUB
Kota Bekasi, melakukan penghentian paksa aktivitas ibadah di gereja
Perumahan Taman Galaxy, Jaka Setia, Bekasi. Aksi penghentian paksa tersebut
dilancarkan dengan dalih gereja berada di tengah-tengah kawasan komunitas
muslim sehingga kegiatan ibadah yang dilakukan jemaat dinilai meresahkan
warga.
6. Atas desakan kelompok intoleran pemerintah Kota/Kabupaten Bekasi
melakukan penyegelan terhadap beberapa rumah ibadah. Pada 1 Januari 2010,
gereja HKBP Cibitung, Duren Sawit disegel pemerintah Kabupaten Bekasi. Nasib
serupa juga menimpa gereja HKBP Filadelpia, Duren jaya, Desa Jejalen
Kecamatan Tambun, Bekasi disegel Pemkab Bekasi pada 14 Januari 2010.
Pemerintah kabupaten Bekasi juga menyegel gereja HKBP Pondok Timur Indah,
1 Maret 2010. Pemerintah Kota Bekasi juga melakukan penyegelan gereja HKBP
Kaliabang, Harapan Jaya pada 11 Febuari 2012. Dan terakhir pada 7 Maret 2013
gereja HKBP Setu, Perumnas II Bekasi menjadi sasaran kebijakan pemerintah
kabupaten Bekasi yang dikeluarkan akibat desakan kelompok intoleran.
7. Penetapan status tersangka Pdt. Palti Panjaitan oleh Polresta Bekasi pada 13
Maret 2013, tokoh yang selama ini memperjuangkan hak jemaat HKBP
merupakan modus baru yang sekarang digunakan oleh aparatur negara untuk
menekan perjuangan jemaat. Hal serupa terjadi di Rancaekek, Sumedang Jawa
Barat, menimpa Daden Sudjana (Ahmadiyah), Tajul Muluk (Syiah), dll.
Kriminalisasi adalah serangkaian upaya pelabelan (labeling) tindakan kriminal
atas perbuatan hukum yang pada prinsipnya tidak in heren dan bukan jenis
tindakan kriminal. Sama dengan di tempat lainnya, penetapan tersangka atas
Pdt. Palti Panjaitan merupakan buah keberhasilan desakan kelompok intoleran.
8. Kehadiran komunitas Ahmadiyah di Indonesia, terutama di Bekasi masih belum
diperlakukan sebagai saudara sebangsa yang memiliki hak setara untuk
menjalankan keagamaan yang diyakininya. Serangkaian perlakuan diskriminatif
dan aksi-aksi intoleran menjadi ujian yang tak kunjung usai. Apalagi gerakan
antikeberagaman di Bekasi mendapatkan restu formal dari pemerintah daerah.
Terbukti pada 14 Februari 2013 Masjid Al-Misbah di Jalan Pangrango Terusan
No. 44 RT 001/RW 004, Jatibening Baru, Pondok Gede, Kota Bekasi disegel.
Penyegelan tersebut dilakukan karena ada ancaman dari kelompok intoleran
yang berencana menutup secara paksa jika pemerintah kota tidak bertindak.
9. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No.
9/2006, No. 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/
Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Surat Keputusan Bersama 3
Menteri No. 3/2008, No. 199 dan Kep-033/A/JA/6/2008 tentang Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, Pergub Jawa Barat No.
12/2011 tentang Peringatan, Larangan Ajaran dan Aktivitas Anggota
Ahmadiyah, Peraturan Walikota Bekasi No. 40/2011 tentang larangan aktivitas
Ahmadiyah di Kota Bekasi dan fatwa MUI No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005
tentang Aliran Ahmadiyah secara konsisten dijadikan rujukan utama dan
landasan legal formal pemerintah daerah, aparat kepolisian, DPRD Kota Bekasi,
3. tokoh agama dan elemen lain serta masyarakat yang berafiliasi pada gerakan
intoleran dalam mengaburkan konsepsi jaminan konstitusional kebebasan
beragama/berkeyakinan bagi setiap warga negara termasuk masyarakat
Bekasi.
10. Pendirian rumah ibadah dan pelaksanaan praktik keagamaan berdasarkan
keyakinannya adalah hak yang melekat dalam hak beragama/ berkeyakinan.
Tetapi atas nama kerukunan, ketertiban, Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9/2006, No. 8/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama
dan Perwali Bekasi No. 40/2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di Kota
Bekasi, yang menjadi acuan pengaturan pendirian rumah ibadah dan
pembatasan praktik keagamaan justeru melembagakan diskriminasi terhadap
elemen-elemen warga negara untuk mendirikan rumah ibadah dan
membenarkan penghakiman ideologi yang diyakini komunitas Ahamdiyah.
11. Mempersoalkan pendirian dan pemanfaatan fasilitas bangunan umat kristiani
dan penyegelan masjid komunitas Ahmadiyah serta penetapan tersangka atas
Pdt. Palti Panjaitan di Bekasi sulit diterima nalar demokrasi konstitusional.
Pelarangan menjalankan ibadah menurut kepercayaan dan keyakinan yang
dilakukan pemerintah kota Bekasi mencerminkan lemahnya komitmen
berkonstitusi. Pelarangan menjalankan ibadat menurut kepercayaan dan
keyakinan warga negara merupakan tindakan perampasan hak-hak
konstitusional warga negara tanpa terkecuali yang semestinya mendapat
tempat perlindungan, pemenuhan dan pemajuan pemerintah.
12. Pemerintah daerah Kota/Kabupaten Bekasi telah mengabaikan fungsi dan
tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Pertama,
konstruksi desentralisasi menghendaki terciptanya pemerintah daerah yang
melindungi masyarakat, menjaga persatuan dan kerukunan, sebagaimana pasal
22 UU No. 32/2004 tentang Pemerintah daerah. Kedua, optimalisai otonomi
daerah disiapkan untuk meningkatkan kemudahan akses pelayanan warga
negara. Namun, proses perizinan pendirian gereja di Bekasi dipersulit,
akibatnya kekosongan IMB menjadi celah penyegelan gereja. Penyegelan masjid
Al-Misbah milik komunitas Ahmadiyah di Bekasi mendeskripsikan secara nyata
minimnya komitmen pemerintah daerah untuk mencapai cita-cita otonomi
daerah dan pembangkangan atas nilai-nilai konstitusi.
Kontak Person:
Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua SETARA Institute, 0811819174)
Abdul Khoir (Peneliti SETARA Institute, 0813 134 91943)
•
Palti panjaitan (Koordinator Nasional SOBAT KBB, 081318421070)
•
Pdt. Adven Leonard Nababan (HKBP Setu, 08128566942)
•
Deden Sudjana (Ahmadiyah Bekasi, 08558007234)
•
•
4. Lampiran
Pelanggaran Jaminan Konstitusi RI
Pengingkaran terhadap Konstitusi RI jelas tampak dalam rangkaian peristiwa
diskrimitatif dan intoleran di Bekasi;
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Pasal 27 ayat (1)UUD Negara RI 1945: “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28-D ayat (1)UUD Negara RI 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
Pasal 28-I ayat (1-2)UUD Negara RI 1945:
“(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
“(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Pasal 28-E ayat (1), (2) dan (3):
“(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal diwilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
“(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran,
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
“(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat”.
Pasal 28-I ayat (1) dan (2)UUD Negara RI 1945:
“(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
“(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Pasal 29 ayat (2)UUD Negara RI 1945:“(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu”.