SlideShare a Scribd company logo
DEMOKRASI SEBAGAI ALAT HEGEMONI 
K. Mustarom
DEMOKRASI 
SEBAGAI ALAT HEGEMONI 
LAPORAN KHUSUS 
EDISI XI / APRIL 2014 
Penulis: 
K. Mustarom 
ABOUT US 
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS 
merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka 
membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini 
didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua 
elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah 
satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk 
bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong 
kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar 
sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan 
gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang 
lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini 
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. 
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: 
lk.syamina@gmail.com. 
Seluruh laporan kami bisa didownload di website: 
www.syamina.org
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
“Karena mereka tidak tahu yang lebih baik, mereka menyebutnya ‘peradaban’, padahal sejatinya 
adalah bagian dari perbudakan mereka.”1 
(Gaius Cornelius Tacitus) 
“Senjata yang paling kuat dalam peperangan melawan ekstrimisme bukanlah peluru atau bom— 
namun adalah daya tarik universal kebebasan... Amerika Serikat berkomitmen akan memajukan 
kebebasan dan demokrasi sebagai alternatif yang baik untuk represi dan radikalisme."1 
“Kita dibawa, baik oleh peristiwa maupun sense bersama, menuju satu kesimpulan: kelangsungan 
kebebasan di tanah kita sangat bergantung pada suksesnya kebebasan di tempat lain. Harapan terbaik 
bagi terciptanya perdamaian di dunia ini adalah ekspansi kebebasan di seluruh dunia… Maka, sudah 
menjadi kebijakan AS untuk mencari dan mendukung pertumbuhan gerakan dan lembaga demokratis di 
setiap negara dan setiap budaya, dengan tujuan akhir adalah berakhirnya tirani di dunia ini.”1 
(George W. Bush) 
1 
Akhir-akhir ini, promosi demokrasi menjadi 
mata uang resmi bagi kebijakan luar negeri AS. AS 
dan promosi demokrasi terus berjalan beriringan 
meski kini mereka tidak lagi menjadi sebuah 
sinonim. 1 Menurut Wittes, demokrasi kini 
bersinonim dengan kerusuhan politik dan 
ketidakadilan ekonomi.2 Meski demikian, ia terus 
menempati posisi kunci dalam setiap kebijakan luar 
negeri AS. 
Hampir semua peradaban besar--baik Babylonia, 
Yunani atau Romawi--berusaha untuk menyebarkan 
sistem politik dan ideologi diluar batas-batas 
geografis mereka. Mereka meyakini akan 
kebenaran universal dari pesan yang mereka bawa. 
AS pun demikian, mereka berusaha menyebarkan 
1 McFaul, Michael (2004). ‘Democracy Promotion as a World 
Value‘, the Washington Quarterly, winter 2004-05 
2 Wittes, Tamara Cofman (2008). Freedom’s unsteady 
march: America's role in building Arab democracy. The 
Brookings Institution 
pandangannya akan dunia, sebuah ideologi yang 
berasal dari kombinasi antara nilai-nilai politik 
demokrasi liberal dan prinsip-prinsip ekonomi pasar 
bebas. Usaha ini pertama kali dilakukan oleh AS 
atas Filipina pada akhir abad ke-19, ketika Presiden 
William McKinley menyeru kepada AS untuk 
'memajukan, membuat beradab (civilising), dan 
mengkristenkan' masyarakat Filipino.3 Pada abad 
ke-20, fitur-fitur dasar dalam ideologi AS terus 
diasah dan dikembangkan dalam rangka 
mempertahankan kepentingan AS di luar negeri. 
Salah satu contohnya adalah doa Presiden 
Woodrow Wilson agar dunia "harus dibuat aman 
bagi demokrasi",4 pada malam masuknya AS dalam 
3Dikutip dari Markakis, Dionysius, US Democracy Promotion in 
the Middle East: The Pursuit of Hegemony?, Department of 
International Relationsofthe London School of Economics for 
the degree of Doctor of Philosophy, 
London, Oktober2012, hal. 9 
4Wilson, W., U.S. Declaration of War with Germany, 2/4/1917, 
http://www.firstworldwar.com/source/usawardeclaration.htm
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
2 
Perang Dunia I tahun 1917. Promosi demokrasi 
kemudian menjadi pondasi ideologis bagi AS untuk 
melawan musuh-musuhnya. Bahkan dalam tingkat 
yang lebih jauh, ia kini telah ditetapkan dalam 
bentuk sistem internasional. Realitas ini 
direfleksikan dalam berbagai 'gelombang' 
demokrasi yang terjadi di seluruh dunia pada akhir-akhir 
ini. Azar Gat menyoroti kontribusi AS bagi 
demokrasi: 
“Jika ada faktor yang telah memberikan 
keuntungan bagi demokrasi liberal, itu adalah 
keberadaan AS dibanding semua keuntungan lain 
yang melekat padanya. Bahkan, jika bukan karena 
AS, demokrasi liberal mungkin telah kalah dalam 
pertempuran besar di abad kedua puluh. Ini adalah 
pemikiran sederhana yang sering diabaikan dalam 
studi tentang penyebaran demokrasi di abad kedua 
puluh.”5 
Kebijakan luar negeri AS pun berkembang, dari 
penekanan awal 'civilising’ kini telah berganti 
menjadi 'demokratisasi'. Menurut Markakis, 
berdasarkan alur pemikiran ini, jika negara 
berperadaban (civilising countries) diposisikan 
sebagai ‘tema utama orang kulit putih’, maka 
mendemokrasikan mereka mungkin merupakan 
'tema utama orang Barat’.6 
Promosi demokrasi telah menjadi fitur utama 
dalam kebijakan luar negeri AS sejak awal abad ke- 
20, seiring dengan munculnya mereka sebagai aktor 
utama di dunia internasional. Berakhirnya Perang 
5Gat, A., ‘The Return of Authoritarian Great Powers’, Foreign 
Affairs, Vol. 86, No. 4, 2007 
6 Markakis, hal. 10 
Dingin, yang membuat AS menjadi kekuatan 
superpower tunggal mempercepat proses 
‘demokratisasi’ dunia. 
Promosi demokrasi muncul sebagai strategi 
terorganisir AS pada awal tahun 1980. Ia menjadi 
ciri utama sikap AS di luar negeri. Demokrasi 
menjadi “alat yang paling layak untuk memastikan 
stabilitas dan kontrol sosial di Dunia Ketiga.”7 
Secara garis besar, terdapat dua tujuan utama 
dari strategi promosi demokrasi. Pertama, 
memelihara stabilitas di negara-negara yang 
bersangkutan, baik bagi negara itu sendiri maupun 
masyarakat luas. Stabilitas ini mempengaruhi 
berbagai kepentingan politik, ekonomi, militer dan 
lainnya yang diidentifikasi oleh Amerika Serikat di 
masing-masing negara tersebut. Pentingnya 
stabilitas bagi kepentingan AS dibuktikan dari 
penekanan yang diberikan oleh pemerintah Bush 
pada negara yang gagal (failed states), seperti 
Afghanistan, Somalia, dan Sudan. Bush menyatakan 
bahwa “Amerika kini tidak begitu terancam oleh 
negara yang sedang ditaklukkan dibanding 
(ancaman yang diberikan) oleh negara-negara yang 
gagal.”8 
Stabilitas adalah syarat yang dibutuhkan bagi 
keberhasilan ekonomi pasar bebas, yang telah 
menjadi perhatian utama AS. Sebagai bagian dari 
strategi ini, AS telah berupaya untuk secara 
7 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US 
Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 
1996, hal. 15. 
8 National Security Council (NSC), The National Security 
Strategy of the United States of America, 
September 2002, hal. 1
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
3 
bertahap menggantikan pemerintahan otoriter 
dengan demokrasi yang berbasis kelompok elit. 
Demokrasi berbasis kelompok elit merujuk pada 
“sebuah sistem dimana sebuah kelompok kecil 
secara aktual menguasai, dan partisipasi massa 
dalam pembuatan keputusan terbatas pada 
pemilihan kepemimpinan yang secara hati-hati 
dikelola oleh kelompok elit yang bersaing.”9 
Jika pemerintahan otoriter lebih bergantung 
pada pemaksaan untuk menjalankan pemerintahan, 
demokrasi berbasis kelompok elit cenderung 
menggabungkan sarana yang lebih konsensual 
dalam pemerintahan. Dengan pola semacam itu, 
demokrasi berbasis elit cenderung menimbulkan 
dukungan rakyat, dan akibatnya mampu 
memastikan bentuk stabilitas yang lebih lama. 
Strategi promosi demokrasi menandai 
perkembangan yang lebih halus dalam mengejar 
stabilitas di luar negeri. 
Kedua, tujuan promosi demokrasi adalah untuk 
mencapai hegemoni sebagaimana teori yang 
diungkapkan oleh Gramscian. Hegemoni akan 
terjadi ketika ideologi dipromosikan—dalam hal ini 
norma-norma demokrasi liberal sebagai bagian dari 
dorongan politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat 
diterima sebagai sebuah 'fitrah’ oleh masyarakat 
luas. Dengan mengintegrasikan promosi demokrasi 
dengan berbagai kebijakan ekonomi, sosial dan 
budaya, AS telah berusaha untuk secara strategis 
“menembus bukan hanya negara, tetapi juga 
9 Robinson, W., Globalization, the World System, and 
“Democracy Promotion” in U.S. Foreign Policy, Theory and 
Society, Vol. 25, No. 5, Oktober 1996, hal. 623-4. 
masyarakat sipil ... dan kemudian melakukan 
kontrol di dalamnya.” 10 William Robinson 
berpendapat bahwa “tujuan promosi demokrasi 
bukanlah untuk menekan tapi untuk melakukan 
penetrasi dan menaklukkan masyarakat sipil di 
negara yang diintervensi, yaitu organisasi-organisasi 
“privat” yang kompleks seperti partai politik, 
persatuan dagang, media, dan lain-lain, untuk 
kemudian mengintegrasikan kelompok-kelompok 
kelas bawah dan kelompok nasional dalam sebuah 
tatanan sosial yang menghegemoni.”11 
Masyarakat sipil terbukti telah menjadi fokus 
utama dari program promosi demokrasi AS di 
seluruh dunia. Hal ini mencerminkan pergeseran 
bertahap dalam penekanan strategis AS, dari 
sebelumnya berfokus pada pemerintahan sebuah 
negara—sebagai upaya untuk melakukan reformasi 
top down—kini AS juga berusaha menggalang 
aktor-aktor di masyarakat, untuk mendorong 
reformasi dari dalam, bukan hanya dari atas. 
Presiden Ronald Reagan adalah yang pertama 
kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai 
prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS, 
dengan keyakinan bahwa 'kebebasan' bisa 
mengalahkan 'kekaisaran jahat' Uni Soviet.12 
Pemerintahan Reagan kemudian merumuskan 
strategi promosi demokrasi, membangun banyak 
‘infrastruktur demokrasi', seperti the National 
10 Robinson, Globalization, the World System, and “Democracy 
Promotion” in U.S. Foreign Policy, hal.643. 
11 Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 29 
12 Reagan, R., ‘Address to Members of the British Parliament’, 
8/6/1982, at http://www.reagan.utexas. 
edu/archives/speeches/1982/60882a.htm,
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
4 
Endowment for Democracy (NED), dan 
melaksanakan inisiatif reformasi di berbagai negara 
seperti Filipina, Chili dan Poland.13 
Strategi ini didasarkan pada pengakuan bahwa 
pemeliharaan status quo, yaitu dukungan kepada 
pemerintah otoriter, tidak bisa berkelanjutan dalam 
jangka panjang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh 
Carl Gershman, presiden NED pada tahun 1986: "Di 
dunia dengan komunikasi yang semakin canggih 
dan pengetahuan yang meledak, tidak mungkin lagi 
hanya mengandalkan kekuatan untuk 
mempromosikan stabilitas dan mempertahankan 
keamanan nasional. Persuasi menjadi semakin 
penting, dan Amerika Serikat harus meningkatkan 
kapasitasnya untuk membujuk dengan 
mengembangkan teknik untuk menjangkau 
masyarakat di berbagai tingkatan.” 14 Gershman 
menganjurkan penggunaan promosi demokrasi 
untuk “meningkatkan kapasitas AS dalam 
melakukan persuasi.”15 
Strategi promosi demokrasi dilanjutkan oleh 
George H.W. Bush di Nicaragua dan Panama, tetapi 
mengingat bahwa masa kepresidenannya terjadi di 
masa transisi monumental di tengah-tengah 
runtuhnya Uni Soviet, ia mengadopsi sikap yang 
lebih pragmatis dibanding sikap ideologis yang 
dilakukan oleh Reagan. Namun, template sudah 
ditetapkan. Seperti yang disampaikan oleh William 
Robinson: 
13 idem 
14 Gershman, C., Fostering Democracy Abroad: The Role of the 
National Endowment for Democracy, American Political 
Science Foundation Convention, 29/8/1986, dikutip dalam 
Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 2. 
15 idem 
“Antara tahun 1984 dan 1992, NED dan cabang-cabang 
lain dari AS melakukan program "promosi 
demokrasi" di 109 negara di seluruh dunia, 
termasuk 30 negara di Afrika, 24 negara di Asia, 21 
negara di Eropa Tengah dan Timur (termasuk bekas 
Uni Soviet), 8 negara di Timur Tengah, dan 26 
negara di Amerika Latin dan Caribbean.16 
Ketika Presiden Bill Clinton berkuasa, ia 
mengartikulasikan visinya untuk sebuah sistem 
internasional satu kutub pasca-Perang Dingin 
dengan istilah 'pembesaran demokrasi'. 17 
Pemerintahan Clinton menciptakan istilah 'pasar 
demokrasi', yang menekankan adanya hubungan 
intrinsik antara pasar bebas dan pemerintahan yang 
demokratis. Clinton menilai bahwa “strategi terbaik 
untuk memastikan keamanan kita dan untuk 
membangun perdamaian abadi adalah dengan 
mendukung kemajuan demokrasi di tempat lain.”18 
Di bawah pemerintahan Bush, setelah serangan 
11 September 2001, promosi demokrasi menjadi 
salah satu fitur yang paling menonjol dari kebijakan 
luar negeri AS. Hal ini tercermin dalam besarnya 
dana yang dialokasikan untuk program promosi 
demokrasi di seluruh dunia, yang meningkat secara 
signifikan dari $500 juta/tahun pada tahun 2000 
menjadi $1 milyar/tahun pada tahun 2004. Pada 
16 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US 
Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 
1996. hal. 332. 
17 Brinkley, D., Democratic Enlargement: The Clinton Doctrine, 
Foreign Policy, No. 106, (Spring) 1997 
18http://www.washingtonpost.com/wp-srv/ 
politics/special/states/docs/sou94.htm
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
5 
tahun 2005 meningkat lagi menjadi $2 milyar, 
ternasuk biaya invasi ke Afghanistan dan Irak.19 
Pemerintahan George W. Bush membawa 
program promosi demokrasi ke arah yang belum 
pernah terjadi sebelumnya, meletakkannya di satu-satunya 
wilayah yang selama ini kebal terhadap 
‘gelombang' demokrasi, yaitu Timur Tengah. 
Demokrasi Sebagai Alat untuk Menjaga Hegemoni 
Menurut Gramsci, hegemoni adalah persetujuan 
"spontan" yang diberikan oleh populasi massa atas 
arahan umum yang diterapkan pada kehidupan 
sosial oleh kelompok dominan. 20 Dia 
menghubungkan persetujuan ini dengan 'prestise’ 
dan kepercayaan yang dinikmati oleh kelompok 
dominan karena posisi dan fungsi yang mereka 
miliki di dunia yang telah mereka hegemoni. Konsep 
hegemoni bertumpu pada asumsi bahwa 'dalam 
tatanan sosial yang stabil, harus ada menjadi 
perjanjian dasar yang begitu kuat sehingga dapat 
menangkal perpecahan dan kekuatan mengganggu 
yang timbul dari berbagai konflik kepentingan... 
yaitu, pada nilai-nilai, norma-norma, persepsi dan 
keyakinan yang mendukung dan menentukan 
struktur otoritas pusat.'21 Berbeda dengan konsepsi 
realis, yang melihat hegemoni sebagai 
kepemimpinan atau dominasi satu negara atas 
orang lain, teori Gramscian menawarkan 
19 Melia, T., The Democracy Bureaucracy:The Infrastructure of 
American Democracy Promotion, Princeton Project on 
National Security, (September) 2005,hal. 13-14 
20 Gramsci, A., Selections From The Prison Notebooks of 
Antonio Gramsci, Lawrence and Wishart, 1971, hal. 12. 
21 Femia,J., Gramsci’s Political Thought: Hegemony, 
Consciousness, and the Revolutionary Process, Clarendon 
Press, 1981, hal. 39 
interpretasi yang lebih kompleks dan bernuansa. 
Hal ini dicapai dengan membedakan antara 
mekanisme kontrol sosial yang bersifat koersif dan 
konsensual. Mekanisme kontrol koersif didasarkan 
pada pemaksaan dalam melakukan kontrol sosial, 
sedangkan konsensual didasarkan pada konsesus 
untuk menjalankan kontrol sosial masyarakat. 
Sistem demokrasi yang berusaha disebarkan oleh 
AS lebih didasarkan pada bentuk yang kedua, 
dimana ia memberikan sarana untuk mengelola 
atau mengatasi konflik, salah satu contohnya 
adalah dengan melakukan pemilihan umum secara 
periodik. Meski demikian, penting dicatat bahwa 
demokrasi juga menggunakan kekuatan paksaan 
sebagai kebijakan kedua jika praktik hegemoni 
gagal dilakukan. Gramsci menyebutnya sebagai 
'hegemoni yang dilindungi oleh baju besi 
pemaksaan.’22 
Hasil dari sebuah hegemoni sangat bergantung 
pada persetujuan aktif dari pihak yang diatur, dan 
kemampuan mereka untuk menginternasionalisasi 
ideologi yang dipromosikan sebagai sebuah konsep 
yang logis atau 'alami'. Sebagaimana yang 
dinyatakan oleh Robinson: 'hegemoni Gramscian 
melibatkan internalisasi pada pihak kelas bawahan 
tentang nilai-nilai moral dan budaya, kode etik 
praktis, dan cara pandang dunia dari kelas dominan. 
Atau secara garis besar berarti internalisasi logika 
sosial dari sistem dominasi itu sendiri.'23 Hegemoni 
ini terjadi ketika kelompok elit 'mengartikulasikan 
22 Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, hal. 263. 
23 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US 
Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 
1996, hal. 21
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
6 
visi sosialnya dengan klaim untuk melayani 
kepentingan semua pihak’, dengan menggunakan 
insentif untuk memobilisasi dukungan dari 
kelompok-kelompok bawahan, serta menghalangi 
setiap oposisi.24 Hal ini dicapai ketika ideologi yang 
dipromosikan secara sukarela diasimilasi oleh 
masyarakat itu sendiri.25 
Esensi dari sebuah hegemoni terletak pada 
ideologi yang dipromosikan. Dalam kasus AS, nilai-nilai 
politik demokrasi liberal dan prinsip-prinsip 
ekonomi pasar bebas, yang berasal dari warisan 
politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat yang lebih 
luas, merupakan unsur-unsur utama dari ideologi 
yang dipromosikan. Hal ini menjadi pemahaman 
umum mengenai istilah demokrasi di Barat. 
Christopher Hobson mengungkapkan bahwa: 
“Konotasi asli dari istilah Demokratia 
[demokrasi]... telah dikaburkan oleh 
kecenderungan untuk menerjemahkannya hanya 
sebagai rakyat (demos) yang menjalankan 
kekuasaan (kratos). Sementara demos sebenarnya 
dibaca sebagai komunitas politik secara 
keseluruhan, secara umum ia dipahami dalam arti 
yang lebih sempit sebagai satu kelas rakyat saja, 
yaitu kaum miskin yang banyak. Penafsiran ini 
ditemukan terutama dari penulis seperti Plato dan 
Aristoteles, dan juga digunakan untuk menyusun 
konsep demokrasi pada abad ke-19. Sementara itu, 
Kratos memiliki konotasi yang jauh lebih kuat dan 
24 Rupert, M., ‘Marxism and Critical Theory’, in Dunne, T., 
Kurki, M., Smith, S., (eds.), International Relations Theories: 
Discipline and Diversity, Oxford University Press, 2007, hal. 
157 
25 Femia, Gramsci’s Political Thought, hal. 47 
memaksa dibanding sekadar ‘untuk memerintah’ 
atau ‘untuk menjalankan kekuasaan’. Keane 
mencatat bahwa kratos mempunyai rasa militer di 
dalamnya. Ia bersifat menaklukkan dan memaksa.26 
Kratos memiliki dimensi yang penuh dengan 
paksaan dan cenderung pada kekerasan. Istilah 
kratos mengacu pada “tenaga, kekuatan, 
keagungan imperium, ketangguhan, kekuatan 
kejayaan, dan kemenangan atas pihak lain, 
khususnya melalui penerapan kekuatan”.27 
Hobson menyimpulkan bahwa: “Apa yang 
dianggap sebagai elemen yang menentukan dari 
pengalaman Athena—yaitu penggunaan kekuatan 
secara langsung dan penuh dengan pemaksaan oleh 
mayoritas yang buruk dalam sebuah pemerintahan 
kecil—telah melahirkan keluhan dan kekhawatiran 
yang mengutuk demokrasi agar tidak digunakan lagi 
dan dipandang tidak relevan selama beberapa 
abad.”28 Kekhawatiran atas tirani mayoritas inilah 
yang membuat para pendiri AS menolak demokrasi 
pada saat kemerdekaan tahun 1776. Mewakili 
pandangan dominan saat itu, Thomas Jefferson 
berpendapat bahwa: “Demokrasi tidak lain 
hanyalah aturan rimba, dimana lima puluh satu 
persen orang merampas hak empat puluh 
sembilan persen lainnya.”29 
26 John Keane, ‘Does Democracy Have a Violent Heart?’, The 
University of Sydney, Juli 2006, hal. 15. 
27 Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a 
“Radical Historicisation” of Democracy in 
IR’, Millennium Journal of International Studies, Vol. 37, 2009, 
hal. 647. 
28 Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a 
“Radical Historicisation” of Democracy, hal. 647. 
29 Jefferson, T., dikutip dari 
http://www.americanhistorycentral.com/entry.php?rec=453& 
view=quotes
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
7 
Dalam nada yang sama, James Madison 
menyatakan bahwa: 'Demokrasi adalah bentuk 
pemerintahan paling busuk. Demokrasi pernah 
menjadi pusat kekacauan dan pertengkaran; pernah 
ditemukan tidak sesuai dengan keamanan pribadi, 
atau hak-hak atas harta benda; dan secara umum, 
sesingkat kehidupan mereka, mereka juga penuh 
dengan kekerasan dalam kematian mereka.'30 
Hanya setelah seruan dari Presiden Wilson untuk 
dunia yang akan 'dibuat aman bagi demokrasi' pada 
tahun 1917 yang membuat demokrasi kembali 
muncul di Barat. Meskipun pemikiran ini pada 
awalnya tidak disambut oleh kekuatan Sekutu 
lainnya, ia mampu berfungsi sebagai pembingkai 
dan justifikasi bagi upaya perang yang dilancarkan 
pasukan Sekutu. Kemenangan mereka setelah itu 
merupakan salah satu katalis utama dari ekspansi 
normatif demokrasi di abad-abad selanjutnya.31 
Oleh karena itu pemahaman populer akan 
istilah 'demokrasi' saat ini secara radikal sangat 
berbeda dari konsepsi sejarah yang dominan, yang 
menganggapnya sebagai 'bentuk aturan yang 
berbahaya dan tidak stabil yang secara pasti akan 
menyebabkan anarki atau kesewenang-wenangan.' 
32 Fakta kelam demokrasi ini coba 
dikaburkan oleh narasi diskursif yang dilakukan oleh 
AS dan Barat, dimana sejarah demokrasi 
digambarkan sebagai sebuah kemajuan linear, 
dengan demokrasi liberal sebagai kesimpulan akhir 
teleologisnya. Menurut interpretasi mereka, 
30 Madison, J., dikutip dari http://madison.thefreelibrary.com/ 
31 Hobson, ‘Beyond the End of History’, hal. 650. 
32 Idem, hal. 632 
demokrasi ditemukan di Athena dan kemudian 
diteruskan ke Roma, sebagai tempat lahirnya 
peradaban Barat, sebelum dicetak menjadi bentuk 
kontemporer melalui revolusi Amerika dan Perancis 
pada abad kedelapan belas. Abstraksi sederhana 
dari konsep demokrasi, dikombinasikan dengan re-interpretasi 
secara universal, telah menjadi elemen 
kunci dari upaya AS untuk mempromosikan ideologi 
secara luas.33 
Aspek kunci dari strategi AS dalam usaha 
mendemokratisasi dunia adalah dengan berusaha 
memposisikan demokrasi sebagai satu-satunya 
bentuk pemerintahan yang sah. Francis Fukuyama 
dalam 'the End of History’ mencontohkan 
pendekatan monokultural AS dalam melakukan 
promosi demokrasi. Ia menyebut bahwa 
'universalisasi demokrasi liberal Barat merupakan 
bentuk final pemerintahan manusia.' Menurut 
Fukuyama, demokrasi adalah akhir dari sejarah 
umat manusia dan titik akhir dari evolusi ideologi 
umat manusia.34 
AS berusaha melakukan internalisasi terhadap 
komunitas lain atas interpretasi AS terhadap 
demokrasi, norma dan nilai-nilai, sebagai sebuah 
tatanan alami. Keberhasilan proses ini bisa dilihat 
dari fakta bahwa istilah demokrasi itu sendiri saat 
ini secara universal diidentifikasikan dengan Barat. 
Barat selama ini berusaha untuk menyebarkan 
slogan ‘kebebasan, persamaan, dan persaudaraan’ 
sebagai ekspresi demokrasi yang ideal. Namun 
33 Idem, hal. 633 
34 Fukuyama, F., ‘The End of History’, The National Interest, 
Issue 16, (Summer) 1989.
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
8 
dalam praktiknya, persamaan yang menjadi tema 
utama demokrasi, sulit terealisasikan. Mengutip 
pernyataan Gaetano Mosca: 
“Apa yang terjadi pada bentuk pemerintahan 
lain—dimana minoritas yang terorganisir 
memaksakan kehendaknya terhadap mayoritas 
yang tidak terorganisir—juga terjadi secara 
sempurna pada sistem representasi, meski 
penampakannya nampak tidak seperti itu. Ketika 
kita mengatakan bahwa pemilih memilih wakil 
mereka, kita telah menggunakan bahasa yang 
sangat tidak tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah 
sang wakil lah yang membuat dirinya dipilih oleh 
para pemilih.”35 
Pemilu merupakan sumber utama legitimasi 
dalam sistem demokrasi berdasarkan norma 
pemerintahan Barat saat ini. 36 Meski demikian, 
berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh 
Ralph Miliband, “Aksi voting adalah bagian dari 
proses politik yang jauh lebih besar, yang ditandai… 
oleh pengaruh yang tidak seimbang. Berkonsentrasi 
pada aksi voting saja justru membantu 
menyembunyikan terjadinya ketidakadilan. 37 
Ketidakadilan dalam politik demokrasi saat ini 
tercermin dalam peran uang dalam proses pemilu. 
Sebagai contoh, pada tahun 2000 para calon 
presiden AS menghabiskan total $ 500,9 juta, pada 
tahun 2004 angka ini meningkat menjadi $ 820,3 
juta, sedangkan pada pemilu 2008 total sebesar $ 
35 Mosca, G., The Ruling Class, McGraw-Hill, 1939, hal. 154 
36 Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 49. 
37 Miliband, R., The State in Capitalist Society, Basic Books, 
1969, hal. 194. 
1,7 miliar telah dihabiskan.38 Dalam setiap kasus, 
calon yang menang adalah yang memiliki dana yang 
lebih besar.39 Fenomena ini sangat relevan dalam 
konteks promosi demokrasi, mengingat penekanan 
yang dilakukan oleh AS atas peran pemilu di negara-negara 
di mana ia beroperasi. 
Jika ada yang meyakini bahwa dalam sistem 
demokrasi setiap warga negara memiliki hak dan 
kesempatan yang sama, maka pada dasarnya 
kesimpulan tersebut terbukti salah. 40 
Ketidakadilan—baik di bidang politik, ekonomi, atau 
sosial—adalah lazim dalam demokrasi liberal. 
Demokrasi menempatkan rakyat sebagai 
kedaulatan tertinggi. Bagi negara demokrasi 
slogan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah 
suara Tuhan) menggantikan istilah l’etat e’est 
moi (negara adalah saya) sebagi sistem bernegara 
yang berlangsung lama di Eropa. 
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah 
bagaimana rakyat bisa memerintah? Thomas R. Dye 
dan Harmon Zeigler dalam The Irony of Demcracy; 
An Uncommon Introduction to American 
Politics memberikan penjelasan bahwa democracy 
38 Salan, J., ‘Spending Doubled as Obama Led Billion-Dollar 
Campaign’, Bloomberg, 27 Des 2008, 
http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=20601087&sid= 
anLDS9WWPQW8 &refer=home 
39 Fenomena ini tidak selalu terjadi. Pada pemili 1992 Clinton 
mengeluarkan dana lebih sedikit dibanding George H.W. Bush 
dan tetap bisa menang, meskipun dengan margin 43% vs 38%. 
Fenomena yang jarang terjadi ini diduga disebabkan oleh 
kehadiran Ross Perot sebagai calon independen. Lihat ‘1992 
Presidential Election’, Roper 
Center, at 
http://www.ropercenter.uconn.edu/elections/presidential/pr 
esidential_election_ 1992.html. 
40 Anderson, P., ‘The Antinomies of Antonio Gramsci’, New 
Left Review, Vol. 100, 1976, hal. 30.
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
9 
is government “by the people,” but the survival of 
democracy rest on the shoulders of elits. Dalam 
keniscayaannya demokrasi menjadi ruang bagi 
sekumpulan orang dengan tujuan tertentu (the 
elits) untuk memimpin rakyat yang semestinya 
memiliki kedaulatan. Pemain sejati dalam 
demokrasi hanya ada di kalangan atas. Massa hanya 
diberi ruang untuk memilih, berteriak, bertepuk 
tangan, mencemooh, atau bahkan melempar batu, 
tapi mereka tidak pernah dijinkan untuk 
berpartisipasi dalam permainan. Para pemimpin 
yang terpilih hanya berkewajiban untuk 
meyakinkan masyarakat bahwa hanya merekalah 
yang bisa melindungi kepentingan rakyat. 
Dalam model institusional demokrasi, nilai-nilai 
politik demokrasi liberal dan prinsip ekonomi pasar 
bebas secara instrinsik sangat berhubungan. 
Pemerintah AS dalam setiap periodenya 
berpendapat bahwa pasar bebas merupakan 
prasyarat bagi demokrasi. Misalnya, pemerintahan 
George W. Bush menyatakan dalam Strategi 
Keamanan Nasional tahun 2002 bahwa: 
“Sebuah ekonomi dunia yang kuat akan 
meningkatkan keamanan kita dengan memajukan 
kemakmuran dan kebebasan di seluruh dunia. 
Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh 
perdagangan bebas dan pasar bebas akan 
menciptakan lapangan pekerjaan baru dan 
pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini 
memungkinkan bagi setiap orang untuk 
mengangkat kehidupan mereka keluar dari 
kemiskinan, memacu reformasi ekonomi dan 
hukum, serta perjuangan melawan korupsi, dan 
memperkuat kebiasaan kebebasan.41 
Namun Robinson mengemukakan tentang “sifat 
kontradiktif pemikiran demokrasi di bawah 
kapitalisme. Di mana di satu sisi menekankan 
kesucian hak milik pribadi, dan karenanya 
melegitimasi kesenjangan sosial dan ekonomi serta 
monopoli sumber daya masyarakat oleh minoritas, 
sementara di sisi lain mereka menekankan 
kedaulatan rakyat dan persamaan hak.42 
Demokrasi yang dipromosikan oleh AS 
dipresentasikan sebagai sebuah nilai universal yang 
netral dimana seluruh manusia di berbagai belahan 
dunia menginginkannya, serta bisa diterapkan 
dimanapun. Narasi ini diciptakan untuk menutupi 
paradoks yang terdapat dalam jantung promosi 
demokrasi: di satu sisi mereka berusaha untuk 
secara konseptual memisahkan antara sistem 
politik dengan tatanan sosio ekonomi, namun di sisi 
lain AS memuji prinsip pasar bebas sebagai bagian 
intergral dalam perkembangan demokrasi. Ini 
adalah kontradiksi yang inheren dalam demokrasi, 
dimana mereka berusaha mengklaim persamaan 
hak dalam politik namun melegitimasi ketidakadilan 
di bidang sosio ekonomi. 
Dalam teori demokrasi, kedaulatan tertinggi 
berada di tangan warganya. Dengan demikian, 
warga dapat berpartisipasi dalam menjalankan roda 
pemerintahan. Ironisnya dalam realitas politik, 
warga hanya dijadikan objek politik bagi 
41 NSC, The National Security Strategy of the United States of 
America, (September) 2002, hal. 17. 
42 Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 52
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
10 
pemerintah (penguasa) untuk mempertahankan 
hegomoni politiknya. Sebagaimana ungkapan 
Barchmi yang menyatakan bahwa: ‘Prinsip 
kedaulatan di tangan warga sebenarnya tidak 
pernah ada’, ide kedaulatan warga hanyalah 
sebatas fatamorgana. Pemahaman ini mengklaim 
bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat 
sumbernya. Dimana, setiap aspirasi yang muncul 
dari kehendak warganya dianggap telah memenuhi 
parameter kebenaran dan keadilan. Oleh karena 
itu, prinsip kedaulatan akan memberikan peluang 
para wakilnya melakukan kekuasaan absolut. Hal ini 
disebabkan wakilnya yang menjalankan roda 
pemerintahan memiliki kecendrungan 
mempertahankan power-nya dengan berbagai 
macam dalih guna “mendoktrin” warganya. 
Menurut Barchmi: “Prinsip kedaulatan di tangan 
rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa 
kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan 
kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim 
bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat 
sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang 
muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah 
memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. 
Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu 
diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini 
(memenuhi kebenaran dan keadilan-pen.), bukan 
karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia 
muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip 
kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum 
(mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena 
itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa 
rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan 
kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan 
(kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat 
dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul 
dari rakyat, maka dengan demikian dari segi 
legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat 
apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi 
mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa 
yang diinginkannya.”43 
Begitu juga dengan hasil hukum yang keluar 
darinya. Menurut Boogena Giyanah Stchijfska, 
“hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir 
dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah 
bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan 
atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya 
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban 
individu dan tanggung jawab pribadi. 
Semua itu didasarkan pada kepentingan dan 
kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah 
diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu 
selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi 
dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam 
sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, 
bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan 
dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. 
Demikian pula yang dibenci dapat 
berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat 
berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat 
berubah menjadi wajar.”44 
43 Ali Belhaj, Dikutip dari “Kritik Tajam Terhadap Demokrasi”, 
Februari 2011, 
http://www.globalmuslim.web.id/2011/02/syaikh-ali-belhaj-kritik- 
tajam-terhadap.html 
44 idem
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
11 
Tiga Cara menyebarkan dan memelihara hegemoni 
Barat: 
Liberalisme adalah alat yang dipromosikan oleh 
"Barat" untuk mempertahankan dan memperkuat 
statusnya sebagai hegemon global. Konsepsi 
Gramsci tentang "hegemoni" digunakan untuk 
menggambarkan pengaruh "Barat" dalam 
komunitas global. Gramsci menyatakan bahwa 
konsensus, bukan pemaksaan, harus berada di 
garda terdepan dari pengaruh hegemon tersebut. 
Jadi jika persetujuan hadir, maka hegemoni bisa 
dikatakan sah. Charlotte Langridge berpendapat 
bahwa "Barat" menggunakan liberalisme sebagai 
alat untuk mempertahankan statusnya sebagai 
hegemon global, karena liberalisme bergantung 
pada persetujuan dan karena itu ia mendapat self-legitimation. 
Barat menggunakan liberalisme sebagai alat 
untuk memelihara hegemoni mereka melalui 
lembaga-lembaga internasional, perdagangan 
internasional, dan demokrasi. Saat suatu negara 
terintegrasi ke dalam salah satu dari ketiga metode 
tersebut, mereka secara bertahap akan 
terintegrasikan ke dalam area lain dari tatanan 
dunia liberal. Selanjutnya, ketiga jalur tersebut akan 
menyerap setiap upaya kontra-hegemoni yang 
akhirnya akan memperkuat legitimasi dari 
hegemoni Barat itu sendiri. Namun, sifat agresif 
"Barat" untuk mengekspor liberalisme mereka 
justru akan mendelegitimasi hegemoni yang 
mereka miliki saat ini. 
Charlotte Langridge berpendapat bahwa 
legitimasi rezim liberal Barat bersifat sangat 
ekspansionis, tidak lagi bergantung pada 
persetujuan dari negara-negara yang dibidik untuk 
bergabung. Mereka kini tidak memiliki pilihan lain, 
jika mereka ingin mendapatkan kekuasaan politik 
atau ekonomi, mereka harus ikut dalam sebuah 
sistem hegemoni Barat tersebut. Langridge 
berpendapat bahwa kondisi ini adalah bentuk 
pemaksaan tersembunyi yang justru akan 
mendelegitimasi hegemoni Barat. 
"Barat" didefinisikan oleh Hurrell sebagai 
"perkumpulan dengan kekuatan besar".45 Puchala 
mendefinisikan "Barat", dalam hal ekonomi, 
sebagai kelompok negara-negara kapitalis, yang 
berkomitmen untuk membuka pasar; dalam hal 
politik, sebagai perkumpulan dari negara-negara 
demokrasi; secara ideologis, sumber dan pusat 
internasionalisme liberal; secara hegemoni, koalisi 
transnasional para elit untuk berbagi kepentingan, 
tujuan dan aspirasi yang berasal dari lembaga-lembaga 
sejenis dan ideologi umum.’46 Ide-ide dan 
cita-cita bersama menyatukan elit "Barat" menjadi 
apa yang oleh Gramsci disebut sebagai "Blocco 
Storico" atau blok bersejarah. Di era pasca-Perang 
Dingin, "Barat " belum tertandingi dan mungkin 
akan tetap demikian untuk beberapa waktu dekat. 
Hal ini karena tidak ada negara tunggal atau 
gabungan beberapa negara dalam waktu dekat 
yang mengungguli kekuatan kolektif dari 
45Hurrell, A. (2006) ‘Hegemony, Liberalism and Global Order: 
What Space for Would-be Great Powers?, International 
Affairs, 82(1): 1-19 
46Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United 
Nations’, International Studies Review, 7 (4): 571-584
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
12 
Organisation for Economic Cooperation and 
Development (OECD). Puchala menegaskan bahwa 
‘perayaan liberalisme telah mendefinisikan Barat; 
universalisasi liberalisme adalah proyek Barat; 
menggunakan kekuatan Barat untuk membangun 
dunia liberal adalah tujuan dari hegemoni Barat hari 
ini.’47 
Hegemoni Barat terdiri dari nilai-nilai dan budaya 
liberal yang dimiliki oleh kelas-kelas dominan. Ia 
dikomunikasikan dan diekspor ke seluruh dunia 
melalui tiga variabel institusionalisme liberal: 
lembaga-lembaga internasional, perdagangan 
internasional dan demokrasi. Oleh karena itu, 
"Barat" menggunakan liberalisme sebagai alat 
untuk mempertahankan hegemoni. Liberalisme 
menyerap kontra-hegemoni melalui lembaga-lembaga 
internasionalnya, saling ketergantungan 
dalam hal ekonomi, dan melalui demokrasi. Ekspor 
liberalisme telah memaksa negara lain untuk 
mendirikan lembaga-lembaga internasional, 
meliberalisasi ekonomi mereka dan memperkuat 
demokrasi mereka. Topeng legitimasi mereka 
dibangun di atas persetujuan yang sebenarnya 
adalah pemaksaan terselubung. 
1. Lembaga Internasional 
Lembaga-lembaga internasional Barat meliputi 
Bretton Woods Institutions, World Bank (WB) dan 
International Monetary Fund (IMF), World Trade 
Organisation (WTO) dan Perserikatan Bangsa- 
Bangsa (PBB), Uni Eropa (EU) dan North Atlantic 
Treaty Organisation (NATO). Cox menyatakan lima 
47Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United 
Nations’, International Studies Review, 7 (4): 580 
norma universal hegemoni yang diterapkan melalui 
lembaga-lembaga internasional, yang dalam kasus 
hegemoni Barat, berarti lembaga internasional 
liberal: 
(1) Mereka mewujudkan aturan yang memfasilitasi 
perluasan tatanan dunia hegemonik; 
(2) Mereka sendiri adalah produk dari tatanan 
dunia hegemonik; 
(3) Secara ideologis, mereka melegitimasi norma-norma 
tatanan dunia; 
(4) Mereka mengkooptasi para elit di negara-negara 
pinggiran 
(5) Mereka menyerap ide-ide kontra-hegemonik. 
Kelima unsur tersebut digunakan untuk 
mempertahankan legitimasi hegemonik "Barat". 
Fungsi pertama yang dimiliki oleh lembaga tersebut 
adalah pemeliharaan hegemoni. Tujuan ini dicapai 
melalui aturan-aturan yang mendorong ekspansi 
kekuatan ekonomi yang dominan; Poverty 
Reduction Strategy Papers (PRSP) milik IMF adalah 
bentuk ideologi liberal yang sudah dimanipulasi.48 
Fungsi kedua, yaitu bahwa lembaga internasional 
adalah produk dari tatanan dunia hegemonik, 
merupakan sifat sejati dari IMF dan WB yang diatur 
oleh AS. Partisipasi dalam lembaga tersebut 
seringkali cenderung lebih berpihak pada kekuatan 
dominan. Terdapat struktur politik informal dalam 
lembaga-lembaga tersebut yang mencerminkan 
kekuatan politik dan ekonomi riil dari masing- 
48Jones, T. and Hardstaff, P. (2005) Denying Democracy: How 
the IMF and the World Bank take Power from the People, 
World Development Movement, London
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
13 
Mereka juga memberikan 
kesempatan pada kelompok 
subordinat untuk membuat 
perubahan, dengan batasan 
bahwa dampak menyakitkan 
dari perubahan tersebut harus 
seminimal mungkin sebagai cara 
untuk melegitimasi tindakan 
kelompok hegemonik tersebut. 
masing negara yang berpartisipasi. Kekuatan 
dominan tersebut menjalankan peran ideologis, 
dan menegaskan kembali hirarki hegemonik 
mereka. Pada saat yang sama mereka juga 
memberikan kesempatan pada kelompok 
subordinat untuk membuat perubahan, dengan 
batasan bahwa dampak menyakitkan dari 
perubahan tersebut harus seminimal mungkin 
sebagai cara untuk melegitimasi tindakan kelompok 
hegemonik tersebut. Misalnya, institusi-institusi 
Bretton Woods, seperti memberikan perlindungan 
lebih pada masalah sosial seperti pengangguran 
dalam negeri daripada yang dilakukan oleh sistem 
Gold Standard. Namun, hal tersebut dilakukan 
dengan syarat bahwa kebijakan nasional harus 
konsisten dengan tujuan ekonomi dunia liberal, 
sehingga memperluas pengaruh Barat.49 Kondisi ini 
nampak semakin melegitimasi hegemoni "Barat" 
dan sesuai dengan fungsi keempat lembaga 
hegemon yang diutarakan oleh Cox di atas, yaitu 
mengkooptasi para elit di negara-negara pinggiran. 
Pengaruh hegemoni Barat juga dapat dilihat di 
PBB. PBB melembagakan dan mengatur tatanan 
dunia internasional liberal.50 Selama Perang Dingin, 
misalnya, PBB adalah alat yang sering digunakan 
untuk kebijakan luar negeri AS, terutama dalam 
melakukan kecaman atas Iran pada tahun 1979. AS 
melindungi kepentingannya melalui ancaman veto 
di Dewan Keamanan, pengaruh sangat besar pada 
saat pemilihan Sekretaris Jenderal PBB, dan 
49 Cox, R., ‘Gramsci, Hegemony and International Relations: An 
Essay in Method’, Millennium: Journal of International 
Studies, 1983, 12 (2): 162-175 
50Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, 
International Studies Review, 2005, 7 (4): 571-584 
overrepresentation di Sekretariat PBB. Hal ini 
ditunjukkan dalam penolakan keanggotaan China 
sampai Washington menyetujui. Kondisi ini 
bukannya tanpa kritik, terutama dari Kelompok 77 
yang memandang AS menggunakan PBB untuk 
mendukung penyebaran liberalisme ekonomi dan 
demokratisasi. "Peran utama PBB di bawah 
hegemoni Barat adalah untuk memvalidasi tatanan 
dunia liberal'.51 Hal ini sesuai dengan fungsi ketiga 
lembaga-lembaga internasional yang diungkapkan 
oleh Cox di atas, yaitu untuk mempertahankan 
hegemoni. Tidak mengejutkan jika Barat 
mencurahkan begitu banyak perhatian terhadap 
lembaga-lembaga ini. PBB, sebagai produk dari 
hegemoni liberal Barat, digunakan sebagai alat oleh 
AS untuk mempertahankan posisi di tataran global. 
Lembaga-lembaga ini sangat penting bagi Barat 
untuk mendapatkan legitimasi di arena 
internasional. 
51Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, hal. 
581
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
14 
Lembaga-lembaga internasional juga 
menjalankan proses untuk menghilangkan gerakan 
kontra- hegemonik, yang oleh Gramsci disebut 
sebagai "transformismo". Mereka menyerap ide-ide 
yang berpotensi menjadi kontra-hegemonik dan 
menyesuaikannya dengan doktrin hegemonik. 52 
Mereka membuat sebuah kondisi yang tidak 
memungkinkan bagi gerakan yang menantang 
hegemoni Barat untuk melakukan perlawanan. 
Kelompok lain yang ingin mendapatkan kontrol atas 
suprastruktur lembaga-lembaga internasional, tidak 
bisa melakukan apa-apa karena suprastruktur 
tersebut terhubung dengan golongan hegemonik 
nasional dari negara-negara inti. Sebagaimana kata 
Cox, 'hegemoni itu seperti bantal: menyerap 
pukulan dan cepat atau lambat calon penyerang 
akan merasa nyaman untuk beristirahat di 
atasnya'.53 Lembaga-lembaga internasional, seperti 
yang disebutkan di atas, memenuhi fungsi kelima 
yang disampaikan oleh Cox. Lembaga-lembaga 
internasional bertindak sebagai saluran dimana 
nilai-nilai liberal dan keterbukaan ekonomi 
ditransmisikan. Penjelasan di atas menunjukkan 
bagaimana "Barat" menggunakan liberalisme 
sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni 
melalui lembaga-lembaga internasional. Mereka 
lahir dari "Barat" setelah Perang Dunia Kedua. 
Mereka bersifat self-legitimating dan menyerap 
gerakan kontra-hegemonik. Mereka yang ingin 
melawan tatanan liberal berisiko dikategorikan 
sebagai rezim nakal, musuh kebebasan ekonomi 
dan politik. Legitimasi dan otoritas mereka sebagai 
52 Cox, 1983 
53 Idem, hal. 63 
negara berdaulat pun dipertanyakan. "Barat" kini 
menentukan apa yang dimaksud dengan legitimasi. 
2. Perdagangan Internasional 
Perdagangan internasional berfugsi sebagai 
media komunikasi.54 Kesalingtergantungan ekonomi 
Uni Eropa menyokong demokrasi dan membuat 
perang antara negara-negara anggota tidak rasional 
secara ekonomi. Prinsip-prinsip perdagangan 
internasional liberal dibangun di atas kapitalisme 
Barat, yaitu kompetisi dan perdagangan bebas. Ia 
lah yang pertama kali menyatukan "Barat" dan 
sekarang "Barat" berusaha untuk menyatukan 
dunia menggunakan alat bernama ekonomi liberal. 
Kita bisa melihat secara historis bagaimana 
organisasi yang bertujuan untuk melakukan 
liberalisasi ekonomi menyebar: misalnya, 
Organisation for European Economic Cooperation, 
yang dikenal secara global dengan nama 
Organisation for Economic Cooperation and 
Development, menyebarkan hegemoni liberal 
Barat.55 Secara luas diakui bahwa ekonomi kapitalis 
adalah fitur utama dari tatanan Barat. "Barat" 
berusaha membujuk negara-negara baru untuk 
masuk ke dalam sistem liberal melalui argumen 
keuntungan absolut dan relatif. Menurut Deudney 
dan Ikenberry, ada beberapa alasan politik kenapa 
negara-negara Barat berusaha menjaga 
keterbukaan ekonomi, yaitu 'untuk menyebarkan 
perdagangan bebas dan memperkuat demokrasi 
liberal.’ Ekspansi kapitalisme yang dirangsang oleh 
54Russet, B. (2010) ‘Liberalism’ in T. Dunne, M. Kurki, and S. 
Smith (eds), International Relations Theories: Discipline and 
Diversity, 2nd edn, Oxford: Oxford University Press, hal. 95-115 
55 idem
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
15 
perdagangan bebas cenderung mengubah 
preferensi dan karakter dari negara-negara lain ke 
arah liberal dan demokrasi, sehingga menghasilkan 
sistem yang lebih ramah secara strategis dan politis 
bagi "Barat" untuk mengimpor ideologi liberal.’56 
"Barat" berusaha mendorong negara lain untuk 
meliberalisasi ekonomi mereka, dengan sebuah 
keyakinan bahwa sistem tersebut bermanfaat bagi 
semua, terutama dunia liberal. Meski demikian, 
hanya sedikit negara yang liberalisasi ekonomi 
mereka benar-benar meningkatkan kekayaan 
masyarakat. Meksiko adalah salah satu contoh di 
mana keterlibatan World Bank dan IMF lebih 
merusak daripada menguntungkan.57 Kebanyakan 
orang Meksiko akan menjadi lebih baik pada tahun 
1998, jika pemerintah mereka tidak memaksakan 
liberalisasi ekonomi. Kebijakan liberalisasi dari IMF 
dan WB tidak hanya merusak negara berkembang, 
tapi sebagaimana kata Stiglitz, bahkan IMF sekali 
pun sepakat bahwa mereka telah mendorong 
liberalisasi terlalu jauh, yang mengakibatkan 
goyahnya hegemoni Barat dan terjadinya krisis 
keuangan secara global pada tahun 1990-an. 58 
Kondisi ini membuat dunia melihat bagaimana 
kebijakan liberal "Barat" telah gagal, dan 
menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi 
mereka. 
56 Deudney, D. and Ikenberry, J. (1999) ‘The Nature and 
Sources of Liberal International Order’, Review of 
International Studies, 25 (2), hal. 1992 
57 Pieper, U. and Taylor, L. (1996, revised Jan 1998), The 
Revival of the liberal Creed: the IMF, the World Bank, and 
Inequality in a Globalized Economy, CEPA Working Paper 
Series 1, No. 4 
58 Stiglitz, J. (2002) Globalization and its Discontents, London: 
Allen Lane 
3. Demokrasi 
Morozov menyatakan bahwa demokrasi berasal 
dari “Barat”.59 Promosi demokrasi di Eropa Timur, 
Amerika Latin, dan Asia Timur telah membentuk 
'kue lapis yang kompleks dari inisiatif integratif yang 
mengikat dunia industri demokratis secara 
bersama-sama'. 60 Tidak mengherankan bahwa 
"Barat" sangat tergila-gila untuk melestarikan dan 
memperluas kontrol atas lembaga, pasar, dan 
politik dunia, mengingat liberalisme telah 
memberikan penghargaan asimetris kepada 
mereka. Konsekwensinya, negara-negara non-Barat 
terus berada di bawah tekanan untuk melakukan 
liberalisasi secara politik dan ekonomi, dan 
mengimpor kebijakan dari Eropa Barat dan Amerika 
59 Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, 
and the Russian Challenge’, in C. Browning and M. Lehti (eds), 
The Struggle for the West: A Divided and Contested Legacy, 
London, New York: Routledge, 185-200 
60 Ikenberry, J. (2004) ‘Liberalism and Empire: Logics of Order 
in the American Unipolar Age’, Review of International 
Studies, 30 (4): 622
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
16 
“Hegemoni itu seperti 
bantal: menyerap pukulan 
dan cepat atau lambat 
calon penyerang akan 
merasa nyaman untuk 
beristirahat di atasnya.” 
Serikat. 61 Standar kebaikan sebuah bangsa pun 
diukur berdasarkan perbandingan dengan AS dan 
Uni Eropa. 
Hegemoni Barat menyerap ide-ide kontra-hegemonik 
dengan membuat jalur liberal nampak 
lebih akomodatif dan menarik. Meningkatnya 
gairah masyarakat dan negara untuk bergabung ke 
dalam sistem kapitalis internasional semakin 
memberikan kredibilitas kepada visi liberal ini.62 
Karena itulah "Barat" terus berusaha untuk 
mengintegrasikan Cina dan Rusia dan mendorong 
mereka untuk melakukan konversi ke arah 
demokrasi. Usaha ini antara lain dilakukan dengan 
"menyusun gerbang" dunia demokratis dan 
mengeluarkan negara non-demokratis. Pengeluaran 
Rusia dari G-8 adalah salah satu contohnya.63 Barat 
berusaha mempertahankan hegemoni mereka 
melalui peningkatan integrasi rezim-rezim otokratis 
dan usaha untuk mempengaruhi mereka agar mau 
bekerjasama, menenangkan mereka dari potensi 
sebagai ancaman, dan akhirnya mengkonversi 
mereka ke arah demokrasi.64 
Usaha penyebaran demokrasi oleh Barat 
bukannya tanpa kritik. Morozov menjelaskan 
bagaimana para pemimpin non-Barat mengkritik 
“Barat” dengan sebutan “tidak demokratis”. 
Mereka merebut kekuasaaan dan mempromosikan 
61 Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, 
and the Russian Challenge’ 
62 Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the 
Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, 
Foreign Affairs, 88 (1): 79 
63Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the 
Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, 
Foreign Affairs, 88 (1): 93 
64Charlotte Langridge 
kepentingan "peradaban" mereka atas nama 
demokrasi, padahal justru mereka sendirilah yang 
tidak demokratis. Demokrasi yang dipaksakan dari 
luar seringkali disajikan sebagai solusi terhadap 
berbagai masalah politik.' 65 Barat seringkali 
mengeskpor demokrasi melalui pemaksaan 
terselubung. Hal ini semakin dibenarkan oleh 
“perang salib demokrasi” yang dilancarkan oleh AS 
dan logika “with us or against us”nya. Uni Eropa 
juga membuat kebijakan kondisionalitas yang 
berusaha untuk mengubah bentuk negara tetangga, 
mulai dari Montenegro, Rusia, hingga Libya, sesuai 
dengan gambar dan kecenderungan yang mereka 
inginkan. Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh 
Richard Cheney, “kembalinya reformasi demokratis 
di Rusia” adalah sinonim dengan “penyelarasan 
Rusia dengan Barat”.66 
65 Chandler, D. (2006) ‘Back to the Future? The Limits of Neo- 
Wilsonian Ideas of Exporting Democracy’, Review of 
International Studies, 32 (3): 483 
66Cheney, R. (2006) Vice Presidents Remarks at the 2006 
Vilnius Conference, Reval Hotel Lietuva, Vilnius, Lithuania, 4 
Mei2006, 
www.whitehouse.gov/news/releases/2006/05/20060504- 
1.html
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
17 
Sisi Gelap Demokrasi 
“Banyak sistem pemerintahan yang telah dicoba, 
dan akan terus dicoba di dunia yang penuh dosa 
dan duka ini. Tidak seorang pun berpura-pura 
bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan 
yang sempurna atau pemenuh semua harapan. 
Bahkan, pantas dikatakan bahwa demokrasi adalah 
sistem pemerintahan terburuk selain bentuk 
pemerintahan lain yang telah dicoba dari waktu ke 
waktu.” (Winston Churchill, Hansard [transkrip 
parlemen], 11 November 1947) 
Sebenarnya, kegagalan demokrasi adalah 
sesuatu yang lumrah. Aristoteles beribu-ribu tahun 
lalu pernah menyatakan: “Baik aristokrasi maupun 
demokrasi memiliki potensi korupsi yang meningkat 
secara eksploitatif, bertepatan dengan 
penyalahgunaan kekuasaan dan kebebasan yang 
manipulatif. Korupsi akan membawa pada revolusi, 
ketika demokrasi menelanjangi dirinya sendiri dan 
menjadi bentuk otokrasi, salah satunya oligarki.” 
Bagaimanapun kedaulatan di tangan rakyat 
adalah sesuatu yang utopis. Tidak pernah ada suatu 
ahli politik mana pun yang sanggup merumuskan 
konsep demokrasi yang benar, mulai dari jaman 
Plato hingga Obama saat ini. Demokrasi hanya 
memindahkan kekuasan dari tangan para raja, 
bangsawan, ataupun gerejawan kepada otoritarian 
lainnya, yaitu tidak lain adalah para pemilik modal. 
Menjadi biasa saja, sebab demokrasi memerlukan 
biaya yang mahal dalam prosesnya. Hingga akhirnya 
politik menjadi komoditas laiknya dagang sapi di 
pasar-pasar, sehingga kebijakan dari rahim 
demokrasi adalah kebijakan yang sekali lagi jika 
dipikirkan hanya berupa omong kosong perjuangan 
atas nama rakyat. Karena telah jelas, bahwa semua 
ini dilakukan atas kepentingan para pemilik modal 
kapitalis penjajah asing. 
Namun hegemoni Barat dan kekalahan psikologis 
sebagian besar masyarakat dunia kini 
memposisikan demokrasi sebagai sebuah produk 
yang sakral tak tersentuh, tak peduli betapa 
opresifnya kultur mereka dan betapa lalim dan 
sadisnya aksi-aksi mereka. 
Demokrasi lahir dan ditemukan oleh bangsa 
Yunani. Kelahirannya sendiri cukup sulit dan 
kompleks. Demokrasi berarti seluruh rakyat berhak 
untuk mengatur dengan cara memilih langsung 
wakil yang dianggap terbaik untuk menjalankan 
pemerintahan. 
Sejak diperkenalkan, demokrasi telah 
menggambarkan diri sebagai solusi dari situasi 
chaos dan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh 
tirani. Namun, menurut Denni Ross, sejak awal 
berdirinya demokrasi pada hakikatnya adalah 
kekerasan. Dalam konteks perang melawan teror, 
demokrasi menjadi justifikasi digunakannya sarana-sarana 
kekerasan. Negara-negara yang menyatakan 
diri sebagai negara demokratis memberikan hak 
pada diri mereka sendiri untuk melakukan 
kekerasan atas nama perang melawan teror. 
Tema tentang perang dan demokrasi, dan 
simbiosis diantara mereka, baru-baru ini 
menghangat kembali oleh fakta bahwa hampir 
semua negara demokrasi hari ini terjebak dalam
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
18 
perang permanen melawan 'teror'. Atas nama 
'perlindungan demokrasi' dan 'promosi demokrasi ', 
para tentara telah dikumpulkan dan dikirim ke luar 
negeri; beberapa lembaga-lembaga demokrasi telah 
dimiliterisasi, seolah-olah perang permanen demi 
demokrasi mengharuskan pemangkasan 
mekanisme pembagian kekuasaan dan mekanisme 
perwakilan yang selama ini melekat pada 
demokrasi. Pengawasan dan pemeriksaan rutin 
'keamanan'; perluasan kekuasaan polisi; 
pembenaran atas penggunaan penyiksaan, semua 
dilakukan atas nama perlindungan atas demokrasi. 
Semua warga diperingatkan untuk selalu waspada, 
setiap saat, seolah-olah kehidupan sehari-hari 
mereka adalah medan perang permanen. Para 
pemilih bahkan telah mendengar panggilan keras 
yang dilakukan oleh para politisi dan intelektual 
untuk melindungi pemerintah, di rumah dan di luar 
negeri, dengan mengambil 'aksi militer pre-emptive 
terhadap ancaman besar bagi kelangsungan hidup 
mereka atau peradaban mereka'. 
Tren tersebut membuat para pengamat dan 
analis berkesimpulan bahwa sejatinya, demokrasi 
memiliki kecenderungan pada kekerasan. 
Demokrasi dikatakan memiliki 'sisi gelap' kekerasan 
politik. 67 Bahkan, demokrasi itu sendiri bersifat 
‘membunuh’.68 
Salah seorang ilmuwan asal Australia, Daniel 
Ross, telah menarik kesimpulan bahwa 'asal mula 
67 Paul Collier, Wars, Guns, and Votes (London and New York, 
2009); Michael Mann, The Dark Side of Democracy 
(Cambridge and New York, 2005) 
68 Humphrey Hawksley, Democracy Kills. What’s So Good 
About the Vote? (London 2009) 
dan jantung demokrasi pada dasarnya adalah 
kekerasan'.69 Ancaman serangan teroris tidak hanya 
mengekspos bentuk baru ‘kekerasan demokrasi’, 
namun juga membuka kedok karakter sejati dari 
demokrasi yang selama ini diagung-agungkan 
sebagai sistem terbaik di dunia ini. 
Barrington Moore mengingatkan bahwa 
“Demokrasi Barat mempunyai sejarah yang penuh 
dengan kekerasan di belakangnya.”70 Dengan kata 
lain, kekerasan sangat berkontribusi pada sejarah 
politik Barat. Namun, kini banyak ilmuwan Barat 
dan para pengikutnya yang mengesampingkan— 
bahkan terkadang menyangkal—sejarah kekerasan 
yang ada pada demokrasi. Kekerasan dan 
demokrasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai 
dua hal yang terpisah, bahkan berlawanan. Jika 
kekerasan disebutkan dalam konteks demokrasi, 
demokratisasi, atau dalam konteks yang lebih luas, 
perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan 
politik, ia seringkali dipandang lebih sebagai sebuah 
ancaman. 
Moore menegaskan bahwa “salah satu pendapat 
yang cukup kuat dipegang tentang hubungan antara 
kekerasan dan demokrasi menyatakan bahwa 
demokrasi Barat modern adalah pengganti yang 
baik bagi kekerasan dan sama sekali tidak cocok 
dengan segala bentuk kekerasan. Surat suara lebih 
baik daripada peluru... Dalam penilaian saya, 
69 Daniel Ross, Violent Democracy (Melbourne 2005), hal. i 
70 Barrington Moore Jr., “Thoughts on Violence and 
Democracy,” Proceedings of the Academy of Political 
Science (1968) Vol.29 (1), hal 3.
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
19 
kesimpulan tersebut adalah sebuah kepuasan yang 
keliru akan masa kini dan masa lalu".71 
Demokrasi tidak pernah dapat berkembang 
tanpa mengganggu atau menyingkirkan pihak lain. 
Jika ada yang masih percaya mitos Hegel bahwa 
sejarah Barat adalah kisah perkembangan tak 
pernah henti dari tirani politik (dimana satu orang 
memerintah), kemudian oligarki (dimana minoritas 
memerintah), dan akhirnya menuju demokrasi (di 
mana 'rakyat' yang memegang kedaulatan), Ross 
membantah bahwa dalam setiap pergeseran 
historis demokrasi selalu melibatkan kekerasan, 
sebagaimana dalam perjuangan politik di masa-masa 
sebelumnya. Sebagaimana yang disampaikan 
oleh Machiavelli, tidak ada demokrasi tanpa ada 
pemancungan Raja, atau tanpa ‘penjinakan’ 
perbatasan.72 
Di masa lalu, kekerasan demokrasi banyak 
dilakukan oleh mayoritas—yang dianggap sebagai 
pemegang kedaulatan—terhadap pihak minoritas 
yang menentang kehendak mereka. Mereka 
membantai penduduk pribumi, dan 
menghancurkan siapapun yang melawan pondasi 
baru kedaulatan rakyat. Kini kekerasan demokrasi 
telah berubah, menuju arah tertentu sepanjang 
abad 20 dan 21 ini. Dalam pandangan Ross, 
kampanye militer di Irak dan Afghanistan pasca 11 
September yang dipimpin oleh negara-negara 
pengusung demokrasi, kekerasan yang dilakukan 
oleh AS terhadap ‘kombatan musuh’ di Irak dan 
71 Barrington Moore, Jr., hal. 1. 
72 Daniel Ross, dikutip dalam Matthew Sharpe, Democracy's 
Violent Heart, Borderlands E-Journal, Volume IV No. 1, 2005. 
Guantanamo, serta penjara rahasia AS di beberapa 
negara membuktikan bahwa demokrasi mempunyai 
potensi untuk melakukan kekerasan. 
Istilah demokrasi selama ini dianggap bersinonim 
dengan legitimate (sah), baik dalam hal politik 
maupun moral. Banyak pengusung demokrasi 
melihat demokrasi sebagai kekuatan yang secara 
moral sah yang bisa diterapkan dalam keputusan 
apapun. Demokrasi menjadi semacam pembersih 
moral. Atas nama demokrasi, dan dengan klaim 
mewakili suara rakyat, tindakan apapun bisa 
dianggap sebagai tindakan bermoral. Demokrasi 
pun dipandang sebagai kebenaran moral yang 
absolut. Konsekuensinya, mereka menganggap 
bahwa tidak ada prinsip, moral, maupun kekuatan 
non-demokratis yang dianggap sah untuk 
melakukan perlawanan terhadap keputusan 
demokratis. Dalam etika demokrasi, satu-satunya 
obat bagi kerusakan dalam demokrasi adalah 
demokrasi itu sendiri. Tidak ada metode atau 
proses lain yang bisa diterima sebagai respon yang 
sah pada proses demokrasi, apalagi penggunaan 
kekuatan. Kata ‘tidak demokratis’ pun bersinonim 
dengan ‘kriminal’, ‘terorisme’, atau ‘permusuhan’. 
Ia digunakan untuk memberi cap kepada setiap 
serangan yang terjadi di masyarakat. Klaim 
legitimasi demokrasi mengindikasikan fungsi utama 
teori demokrasi, yaitu untuk melegitimasi tatanan 
yang ada saat ini, betatapun buruknya tatanan 
tersebut. 
Demokrasi tidak pernah mengijinkan adanya 
pemisahan diri dari kelompok yang tidak sepakat 
dengan hasil demokrasi. Misalnya, jika diadakan
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
20 
pemilihan umum secara terbuka bebas dan adil, 
dan setiap pihak yang tidak sepakat dengan hasil 
pemilu tersebut diperkenankan untuk membentuk 
negara yang terpisah, maka tidak ada satu pun 
pengusung demokrasi yang menganggap tindakan 
tersebut sebagai demokrasi. Bagi kalangan 
demokrat, harus ada kesatuan, dimana pemisahan 
diri tidak diperbolehkan. Kesatuan ini adalah 
‘demos’. Dalam konteks modern, demos yang 
dimaksud adalah democratic nation state, negara 
yang demokratis. Kesatuan demos ini sama 
pentingnya dengan legitimasi, karena legitimasi 
akan runtuh di hadapan pemisahan diri 
(secessionism). Kelompok yang berusaha 
memisahkan diri memandang pemerintah yang 
berkuasa saat ini sebagai ‘pihak asing’, dan mereka 
tidak lagi merasa berkewajiban untuk mematuhi 
hukum, lembaga, dan kebijakannya. Karena itu, 
sebuah pemerintah yang demokratis akhirnya 
bergantung pada kekuatan militer untuk 
mempertahankan kekuasaannya, dan untuk 
mencegah pemisahan diri tanpa batas dari kalangan 
minoritas. Aspek ini membawa demokrasi kepada 
sebuah persekutuan jangka panjang dengan 
nasionalisme. Karenanya, no guns, no democracy. 
Tidak ada senjata, tidak ada demokrasi.73 
Demokrasi juga gagal untuk mengeliminasi 
ketidakadilan sosial. Dan fenomena ini nampak 
sebagai kegagalan yang permanen dan struktural. 
Tidak disangkal lagi bahwa di seluruh masyarakat 
demokratis selalu terjadi ketidakadilan sosial— 
73 Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, 
http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html 
perbedaan substansial dalam pendapatan, 
kekayaan, dan status sosial. Dalam sebuah negara 
demokrasi yang stabil seperti di Barat, ketidakadilan 
nampak semakin meningkat. Pola yang terjadi 
adalah pendapatan terendah tidak meningkat dan 
seluruh keuntungan pertumbuhan ekonomi selalu 
menjadi milik kelompok dengan pendapatan yang 
lebih tinggi. Fakta bahwa demokrasi jarang disebut 
sebagai penyebab semua itu adalah sebuah pilihan 
politis. 
Di masa lalu, banyak kalangan aristokrat 
konservatif khawatir bahwa demokrasi akan 
memungkinkan masyarakat miskin untuk menyita 
kekayaan si kaya. Namun pada kenyataannya, 
kecenderungan sejarah justru nampak sebaliknya. 
Demokrasi bukanlah tentang ‘orang biasa’ melawan 
kelompok elit, tapi ia adalah tentang orang-orang 
biasa yang bergabung dengan kelompok elit untuk 
'menampar kalangan bawah'. Jaminan hak-hak asasi 
fundamental tidak mencegah minoritas kelas 
rendah menjadi sasaran, baik secara politik maupun 
sosial. Di beberapa negara Eropa partai politik 
bersaing satu sama lain untuk menunjukkan betapa 
kerasnya mereka terhadap minoritas yang tidak 
popular—pencari suaka dan umat Islam misalnya. 
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh kalangan 
minoritas, selama partai politik tidak melanggar 
hak-hak mereka. Sayangnya perkembangan ini 
mungkin masih dalam tahap awal: masih ada 
kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Dalam 
demokrasi, mereka yang berada dalam skala sosial 
terendah hanya bisa berharap akan kondisi 
kehidupan yang semakin memburuk.
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
21 
Dalam sejarahnya, demokrasi juga adalah sistem 
yang penuh dengan darah. Invasi ke Irak adalah 
salah satu contoh terkini betapa berdarahnya 
proses demokratisasi. Sejak berakhirnya Perang 
Dunia kedua, masyarakat Barat di Eropa dan AS 
merasa normal untuk memaksakan demokrasi 
dengan perang. Ketidakstabilan geopolitik 
sepanjang Perang Dingin serta kekhawatiran 
terjadinya serangan nuklir membuat sikap tersebut 
sempat mereda. Namun, penaklukan atas nama 
demokrasi kini kembali mengemuka. Sekali lagi, 
nilai-nilai demokrasi secara eksplisit diklaim sebagai 
justifikasi dilakukannya perang. Sebagian besar 
semua rezim demokratis di Eropa dan belahan 
dunia lainnya dipaksakan dari luar dengan invasi, 
penjajahan, atau sebagai syarat diberikannya 
bantuan ekonomi. Demokrasi sering datang dari 
laras senapan atau melalui kekuatan dollar, jarang 
yang berasal dari rakyat. 
Dalam pengamatan Treanor, sejak tahun 1939 
negara yang melakukan transisi dari non-demokrasi 
menuju demokrasi sebagian besar dilakukan 
melalui intervensi militer dari kekuatan demokratis. 
Ia juga menyimpulkan bahwa setiap intervensi 
militer yang dilakukan oleh kekuatan demokratis 
akan berujung pada penerapan demokrasi di negara 
yang diserang. Invasi Irak, dengan tujuan untuk 
melakukan ‘perubahan rezim’, adalah contoh 
teraktual keterlibatan ‘aktor eksternal’ dalam 
program demokratisasi. Beberapa tahun sebelum 
perang Irak, USAID telah menyiapkan taktik untuk 
melakukan pengembangan negara pro-demokrasi. 
Taktik tersebut mengindikasikan keterlibatan ‘aktor 
eksternal’ dalam proses demokratisasi. Program 
demokrasi USAID akan mendukung:74 
- Mekanisme konstitusional, meliputi bantuan 
teknis dan organisasional terhadap pembuat 
konstitusi. 
- Pembuat undang-undang yang terpilih secara 
demokratis, termasuk program untuk 
meningkatkan kemampuan material, teknis, dan 
pembuatan keputusan dari para pembuat 
undang-undang. 
- Sistem hukum, meliputi peradilan independen 
dan kepolisian yang dikontrol oleh sipil, serta 
mekanisme alternatif dan informal untuk 
menyelesaikan perselisihan. 
- Entitas pemerintah lokal, terutama yang 
mendapatkan otoritas dan tanggungjawab 
institusional tambahan. 
- Pemilu yang kredibel dan efektif, dimana para 
pemilih mempercayai proses tersebut. 
- Organisasi lokal, nasional, regional, dan 
internasional yang melindungi hak asasi 
manusia, termasuk hak pekerja, penduduk 
pribumi, minoritas, dan wanita. 
- Persatuan dagang, asosiasi professional, 
kelompok wanita, entitas pendidikan, dan LSM-LSM 
lokal, terutama mereka yang menjadi 
partner dalam program pengembangan. 
- Partai politik dan mekanisme ekspresi politik 
nasional lain, dimana dukungan tersebut 
dilakukan dalam cara non partisan, sesuai 
74http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/1868/ 
200sai.pdf
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 
22 
dengan batas-batas undang-undang, dalam cara 
yang tidak mempengaruhi hasil pemilu. 
- Media independen yang dibentuk untuk 
mempromosikan dan melindungi kebebasan 
berekspresi. 
- Peningkatan relasi sipil-militer, termasuk kontrol 
sipil yang efektif terhadap pengembangan 
militer. 
- Institusi dan organisasi yang bisa meningkatkan 
respon dan akuntabilitas pemerintah dalam skala 
nasional dan lokal. 
- Usaha pendidikan bagi anak-anak dan remaja 
yang merefleksikan partisipasi komunitas, 
mempromosikan pembentukan LSM lokal, dan 
mendorong toleransi dalam masyarakat. 
- Terakhir, sebagai pelengkap bagi usaha 
pembangunan demokrasi jangka panjang, USAID, 
berkonsultasi dengan badan pemerintah AS 
lainnya dan dengan perlindungan hak asasi 
manusia yang cukup, akan mendukung program 
transisi bagi pembentukan institusi politik 
demokratis dan program demobilisasi dan 
pelatihan tentara dan pemberontak. 
Dalam pandangan Treanor, taktik tersebut 
sangat berbeda dengan pemberontakan lokal. 
Berdasarkan definisi, tidak ada proses yang diinisiasi 
oleh USAID atau aktor eksternal lain yang bisa 
dikatakan murni ‘berasal dari rakyat’ di dalam 
teritorial negara yang ingin didemokrasikan. Di 
Bosnia dan Kosovo, kekuatan demokratis bisa 
menerapkan program demokratisasi karena 
penjajahan militer. Tujuan yang sama juga 
dilakukan di Irak dan Afghanistan. Secara umum, 
program tersebut memerlukan pendanaan 
terhadap partai, kelompok, dan media pro-demokrasi, 
dan dana tersebut akan mengalir ke 
kelompok elit tertentu.75 
Bagi siapa yang memandang demokrasi sebagai 
bentuk pemerintahan yang menarik, maka mereka 
harus memikirkan pihak yang tidak terwakili, 
namun terpengaruh oleh bentuk pemerintahan 
tersebut, yaitu korban demokrasi. Dalam kasus ini, 
lebih dari 500.000 rakyat sipil Irak terbunuh atas 
nama pembebasan dan perluasan nilai-nilai 
demokrasi. Dalam bahasa Aldous Huxley, “hanya 
kaum demokrat yang paling mistis—yang 
menganggap voting sebagai tindakan religius, dan 
yang merasa mendengar suara Tuhan di tubuh 
rakyat—yang dapat memiliki alasan untuk terus 
mengabadikan sebuah sistem dimana penipu, 
orang kaya, dan dukun dapat diberi kekuasaan 
oleh suara pemilih yang terdiri dari sebagian besar 
orang yang bermental Peter Pan, yang sifat 
kekanak-kanakannya membuat mereka sangat 
rentan terhadap bujukan dari penghasut dan 
sugesti tak kenal henti dari surat kabar orang-orang 
kaya."76 
RALAT: 
Pada Laporan Khusus Syamina Edisi X / Maret 2014 
halaman 39 paragraf terakhir terdapat kesalahan: 
Tertulis “500 juta rakyat sipil Irak tewas akibat invasi 
AS ke Irak dari tahun 2003-2011”, seharusnya “500 
ribu rakyat sipil Irak tewas akibat invasi AS ke Irak 
dari tahun 2003-2011.” 
75 Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, 
http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html 
76 Aldous Huxley, "PoliWcal Democracy", Aldous Huxley: 
Complete Essays, Volume II, 1926-1929, ed. Robert S. Baker 
and James Sexton, (Chicago: Ivan R. Dee, 2000), hal. 216, 228 )

More Related Content

Similar to Syamina lapsus xi_april-2014

Demokrasi alat imperialisme as
Demokrasi  alat imperialisme asDemokrasi  alat imperialisme as
Demokrasi alat imperialisme asRizky Faisal
 
Astina edisi 1
Astina edisi 1Astina edisi 1
Astina edisi 1
Barjow Anonim
 
2
22
PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO POLITIK DUNIA MENURUT PERS...
PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO   POLITIK DUNIA MENURUT PERS...PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO   POLITIK DUNIA MENURUT PERS...
PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO POLITIK DUNIA MENURUT PERS...
MdReyzul Mustafa
 
Agenda Sekularisasi Barat Di Dunia Islam
Agenda Sekularisasi Barat Di Dunia IslamAgenda Sekularisasi Barat Di Dunia Islam
Agenda Sekularisasi Barat Di Dunia Islam
Shobrie Hardhi, SE, CFA, CLA, CPHR, CPTr.
 
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public sheperepemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
penugasanupn
 
Agenda sekulerisasi di dunia islam
Agenda sekulerisasi di dunia islamAgenda sekulerisasi di dunia islam
Agenda sekulerisasi di dunia islamAlfian Akatsuki
 
Pengantar Komunikasi Politik
Pengantar Komunikasi PolitikPengantar Komunikasi Politik
Pengantar Komunikasi Politik
Baban Sarbana
 
Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...
Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...
Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...
Indira Jauzā
 
POSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGIN
POSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGINPOSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGIN
POSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGIN
Ahirul Habib Padilah
 
Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)
Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)
Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)
Bagus Aji
 
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irakKebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irakYan Hendayana
 
Ancaman nonmiliter di bidang politik
Ancaman nonmiliter di bidang politikAncaman nonmiliter di bidang politik
Ancaman nonmiliter di bidang politik
zulfikar4568
 
Dampak Globalisasi Terhadap Politik Indonesia
Dampak Globalisasi Terhadap Politik IndonesiaDampak Globalisasi Terhadap Politik Indonesia
Dampak Globalisasi Terhadap Politik Indonesia
nadsca
 
Sejarah pemikiran administrasi di zaman modern
Sejarah pemikiran administrasi di zaman modernSejarah pemikiran administrasi di zaman modern
Sejarah pemikiran administrasi di zaman moderndiah dianta
 
BAB 6.pptx
BAB 6.pptxBAB 6.pptx
BAB 6.pptx
aimanquraish
 
demokrasi di indonesia
demokrasi di indonesiademokrasi di indonesia
demokrasi di indonesia
Damar Firdaus
 

Similar to Syamina lapsus xi_april-2014 (20)

Demokrasi alat imperialisme as
Demokrasi  alat imperialisme asDemokrasi  alat imperialisme as
Demokrasi alat imperialisme as
 
Astina edisi 1
Astina edisi 1Astina edisi 1
Astina edisi 1
 
2
22
2
 
72523867 pembangunan-politik
72523867 pembangunan-politik72523867 pembangunan-politik
72523867 pembangunan-politik
 
72523867 pembangunan-politik
72523867 pembangunan-politik72523867 pembangunan-politik
72523867 pembangunan-politik
 
PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO POLITIK DUNIA MENURUT PERS...
PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO   POLITIK DUNIA MENURUT PERS...PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO   POLITIK DUNIA MENURUT PERS...
PERANAN AMERIKA SYARIKAT DALAM MENGUASAI SENARIO POLITIK DUNIA MENURUT PERS...
 
Agenda Sekularisasi Barat Di Dunia Islam
Agenda Sekularisasi Barat Di Dunia IslamAgenda Sekularisasi Barat Di Dunia Islam
Agenda Sekularisasi Barat Di Dunia Islam
 
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public sheperepemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
 
Agenda sekulerisasi di dunia islam
Agenda sekulerisasi di dunia islamAgenda sekulerisasi di dunia islam
Agenda sekulerisasi di dunia islam
 
Pengantar Komunikasi Politik
Pengantar Komunikasi PolitikPengantar Komunikasi Politik
Pengantar Komunikasi Politik
 
Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...
Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...
Essay - Gerakan Politik Syiah di Irak dan Dampaknya Terhadap Kawasan Timur Te...
 
POSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGIN
POSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGINPOSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGIN
POSISI CHINA DI ASIA PASIFIK PADA AKHIR DAN AWAL PASCA PERANG DINGIN
 
Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)
Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)
Pertemuan xiii, ekonomi politik neoliberal (1)
 
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irakKebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
 
Ancaman nonmiliter di bidang politik
Ancaman nonmiliter di bidang politikAncaman nonmiliter di bidang politik
Ancaman nonmiliter di bidang politik
 
Dampak Globalisasi Terhadap Politik Indonesia
Dampak Globalisasi Terhadap Politik IndonesiaDampak Globalisasi Terhadap Politik Indonesia
Dampak Globalisasi Terhadap Politik Indonesia
 
Sejarah pemikiran administrasi di zaman modern
Sejarah pemikiran administrasi di zaman modernSejarah pemikiran administrasi di zaman modern
Sejarah pemikiran administrasi di zaman modern
 
Demokrasi
DemokrasiDemokrasi
Demokrasi
 
BAB 6.pptx
BAB 6.pptxBAB 6.pptx
BAB 6.pptx
 
demokrasi di indonesia
demokrasi di indonesiademokrasi di indonesia
demokrasi di indonesia
 

Syamina lapsus xi_april-2014

  • 1. DEMOKRASI SEBAGAI ALAT HEGEMONI K. Mustarom
  • 2. DEMOKRASI SEBAGAI ALAT HEGEMONI LAPORAN KHUSUS EDISI XI / APRIL 2014 Penulis: K. Mustarom ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: lk.syamina@gmail.com. Seluruh laporan kami bisa didownload di website: www.syamina.org
  • 3. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 “Karena mereka tidak tahu yang lebih baik, mereka menyebutnya ‘peradaban’, padahal sejatinya adalah bagian dari perbudakan mereka.”1 (Gaius Cornelius Tacitus) “Senjata yang paling kuat dalam peperangan melawan ekstrimisme bukanlah peluru atau bom— namun adalah daya tarik universal kebebasan... Amerika Serikat berkomitmen akan memajukan kebebasan dan demokrasi sebagai alternatif yang baik untuk represi dan radikalisme."1 “Kita dibawa, baik oleh peristiwa maupun sense bersama, menuju satu kesimpulan: kelangsungan kebebasan di tanah kita sangat bergantung pada suksesnya kebebasan di tempat lain. Harapan terbaik bagi terciptanya perdamaian di dunia ini adalah ekspansi kebebasan di seluruh dunia… Maka, sudah menjadi kebijakan AS untuk mencari dan mendukung pertumbuhan gerakan dan lembaga demokratis di setiap negara dan setiap budaya, dengan tujuan akhir adalah berakhirnya tirani di dunia ini.”1 (George W. Bush) 1 Akhir-akhir ini, promosi demokrasi menjadi mata uang resmi bagi kebijakan luar negeri AS. AS dan promosi demokrasi terus berjalan beriringan meski kini mereka tidak lagi menjadi sebuah sinonim. 1 Menurut Wittes, demokrasi kini bersinonim dengan kerusuhan politik dan ketidakadilan ekonomi.2 Meski demikian, ia terus menempati posisi kunci dalam setiap kebijakan luar negeri AS. Hampir semua peradaban besar--baik Babylonia, Yunani atau Romawi--berusaha untuk menyebarkan sistem politik dan ideologi diluar batas-batas geografis mereka. Mereka meyakini akan kebenaran universal dari pesan yang mereka bawa. AS pun demikian, mereka berusaha menyebarkan 1 McFaul, Michael (2004). ‘Democracy Promotion as a World Value‘, the Washington Quarterly, winter 2004-05 2 Wittes, Tamara Cofman (2008). Freedom’s unsteady march: America's role in building Arab democracy. The Brookings Institution pandangannya akan dunia, sebuah ideologi yang berasal dari kombinasi antara nilai-nilai politik demokrasi liberal dan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas. Usaha ini pertama kali dilakukan oleh AS atas Filipina pada akhir abad ke-19, ketika Presiden William McKinley menyeru kepada AS untuk 'memajukan, membuat beradab (civilising), dan mengkristenkan' masyarakat Filipino.3 Pada abad ke-20, fitur-fitur dasar dalam ideologi AS terus diasah dan dikembangkan dalam rangka mempertahankan kepentingan AS di luar negeri. Salah satu contohnya adalah doa Presiden Woodrow Wilson agar dunia "harus dibuat aman bagi demokrasi",4 pada malam masuknya AS dalam 3Dikutip dari Markakis, Dionysius, US Democracy Promotion in the Middle East: The Pursuit of Hegemony?, Department of International Relationsofthe London School of Economics for the degree of Doctor of Philosophy, London, Oktober2012, hal. 9 4Wilson, W., U.S. Declaration of War with Germany, 2/4/1917, http://www.firstworldwar.com/source/usawardeclaration.htm
  • 4. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 2 Perang Dunia I tahun 1917. Promosi demokrasi kemudian menjadi pondasi ideologis bagi AS untuk melawan musuh-musuhnya. Bahkan dalam tingkat yang lebih jauh, ia kini telah ditetapkan dalam bentuk sistem internasional. Realitas ini direfleksikan dalam berbagai 'gelombang' demokrasi yang terjadi di seluruh dunia pada akhir-akhir ini. Azar Gat menyoroti kontribusi AS bagi demokrasi: “Jika ada faktor yang telah memberikan keuntungan bagi demokrasi liberal, itu adalah keberadaan AS dibanding semua keuntungan lain yang melekat padanya. Bahkan, jika bukan karena AS, demokrasi liberal mungkin telah kalah dalam pertempuran besar di abad kedua puluh. Ini adalah pemikiran sederhana yang sering diabaikan dalam studi tentang penyebaran demokrasi di abad kedua puluh.”5 Kebijakan luar negeri AS pun berkembang, dari penekanan awal 'civilising’ kini telah berganti menjadi 'demokratisasi'. Menurut Markakis, berdasarkan alur pemikiran ini, jika negara berperadaban (civilising countries) diposisikan sebagai ‘tema utama orang kulit putih’, maka mendemokrasikan mereka mungkin merupakan 'tema utama orang Barat’.6 Promosi demokrasi telah menjadi fitur utama dalam kebijakan luar negeri AS sejak awal abad ke- 20, seiring dengan munculnya mereka sebagai aktor utama di dunia internasional. Berakhirnya Perang 5Gat, A., ‘The Return of Authoritarian Great Powers’, Foreign Affairs, Vol. 86, No. 4, 2007 6 Markakis, hal. 10 Dingin, yang membuat AS menjadi kekuatan superpower tunggal mempercepat proses ‘demokratisasi’ dunia. Promosi demokrasi muncul sebagai strategi terorganisir AS pada awal tahun 1980. Ia menjadi ciri utama sikap AS di luar negeri. Demokrasi menjadi “alat yang paling layak untuk memastikan stabilitas dan kontrol sosial di Dunia Ketiga.”7 Secara garis besar, terdapat dua tujuan utama dari strategi promosi demokrasi. Pertama, memelihara stabilitas di negara-negara yang bersangkutan, baik bagi negara itu sendiri maupun masyarakat luas. Stabilitas ini mempengaruhi berbagai kepentingan politik, ekonomi, militer dan lainnya yang diidentifikasi oleh Amerika Serikat di masing-masing negara tersebut. Pentingnya stabilitas bagi kepentingan AS dibuktikan dari penekanan yang diberikan oleh pemerintah Bush pada negara yang gagal (failed states), seperti Afghanistan, Somalia, dan Sudan. Bush menyatakan bahwa “Amerika kini tidak begitu terancam oleh negara yang sedang ditaklukkan dibanding (ancaman yang diberikan) oleh negara-negara yang gagal.”8 Stabilitas adalah syarat yang dibutuhkan bagi keberhasilan ekonomi pasar bebas, yang telah menjadi perhatian utama AS. Sebagai bagian dari strategi ini, AS telah berupaya untuk secara 7 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996, hal. 15. 8 National Security Council (NSC), The National Security Strategy of the United States of America, September 2002, hal. 1
  • 5. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 3 bertahap menggantikan pemerintahan otoriter dengan demokrasi yang berbasis kelompok elit. Demokrasi berbasis kelompok elit merujuk pada “sebuah sistem dimana sebuah kelompok kecil secara aktual menguasai, dan partisipasi massa dalam pembuatan keputusan terbatas pada pemilihan kepemimpinan yang secara hati-hati dikelola oleh kelompok elit yang bersaing.”9 Jika pemerintahan otoriter lebih bergantung pada pemaksaan untuk menjalankan pemerintahan, demokrasi berbasis kelompok elit cenderung menggabungkan sarana yang lebih konsensual dalam pemerintahan. Dengan pola semacam itu, demokrasi berbasis elit cenderung menimbulkan dukungan rakyat, dan akibatnya mampu memastikan bentuk stabilitas yang lebih lama. Strategi promosi demokrasi menandai perkembangan yang lebih halus dalam mengejar stabilitas di luar negeri. Kedua, tujuan promosi demokrasi adalah untuk mencapai hegemoni sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Gramscian. Hegemoni akan terjadi ketika ideologi dipromosikan—dalam hal ini norma-norma demokrasi liberal sebagai bagian dari dorongan politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat diterima sebagai sebuah 'fitrah’ oleh masyarakat luas. Dengan mengintegrasikan promosi demokrasi dengan berbagai kebijakan ekonomi, sosial dan budaya, AS telah berusaha untuk secara strategis “menembus bukan hanya negara, tetapi juga 9 Robinson, W., Globalization, the World System, and “Democracy Promotion” in U.S. Foreign Policy, Theory and Society, Vol. 25, No. 5, Oktober 1996, hal. 623-4. masyarakat sipil ... dan kemudian melakukan kontrol di dalamnya.” 10 William Robinson berpendapat bahwa “tujuan promosi demokrasi bukanlah untuk menekan tapi untuk melakukan penetrasi dan menaklukkan masyarakat sipil di negara yang diintervensi, yaitu organisasi-organisasi “privat” yang kompleks seperti partai politik, persatuan dagang, media, dan lain-lain, untuk kemudian mengintegrasikan kelompok-kelompok kelas bawah dan kelompok nasional dalam sebuah tatanan sosial yang menghegemoni.”11 Masyarakat sipil terbukti telah menjadi fokus utama dari program promosi demokrasi AS di seluruh dunia. Hal ini mencerminkan pergeseran bertahap dalam penekanan strategis AS, dari sebelumnya berfokus pada pemerintahan sebuah negara—sebagai upaya untuk melakukan reformasi top down—kini AS juga berusaha menggalang aktor-aktor di masyarakat, untuk mendorong reformasi dari dalam, bukan hanya dari atas. Presiden Ronald Reagan adalah yang pertama kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS, dengan keyakinan bahwa 'kebebasan' bisa mengalahkan 'kekaisaran jahat' Uni Soviet.12 Pemerintahan Reagan kemudian merumuskan strategi promosi demokrasi, membangun banyak ‘infrastruktur demokrasi', seperti the National 10 Robinson, Globalization, the World System, and “Democracy Promotion” in U.S. Foreign Policy, hal.643. 11 Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 29 12 Reagan, R., ‘Address to Members of the British Parliament’, 8/6/1982, at http://www.reagan.utexas. edu/archives/speeches/1982/60882a.htm,
  • 6. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 4 Endowment for Democracy (NED), dan melaksanakan inisiatif reformasi di berbagai negara seperti Filipina, Chili dan Poland.13 Strategi ini didasarkan pada pengakuan bahwa pemeliharaan status quo, yaitu dukungan kepada pemerintah otoriter, tidak bisa berkelanjutan dalam jangka panjang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Carl Gershman, presiden NED pada tahun 1986: "Di dunia dengan komunikasi yang semakin canggih dan pengetahuan yang meledak, tidak mungkin lagi hanya mengandalkan kekuatan untuk mempromosikan stabilitas dan mempertahankan keamanan nasional. Persuasi menjadi semakin penting, dan Amerika Serikat harus meningkatkan kapasitasnya untuk membujuk dengan mengembangkan teknik untuk menjangkau masyarakat di berbagai tingkatan.” 14 Gershman menganjurkan penggunaan promosi demokrasi untuk “meningkatkan kapasitas AS dalam melakukan persuasi.”15 Strategi promosi demokrasi dilanjutkan oleh George H.W. Bush di Nicaragua dan Panama, tetapi mengingat bahwa masa kepresidenannya terjadi di masa transisi monumental di tengah-tengah runtuhnya Uni Soviet, ia mengadopsi sikap yang lebih pragmatis dibanding sikap ideologis yang dilakukan oleh Reagan. Namun, template sudah ditetapkan. Seperti yang disampaikan oleh William Robinson: 13 idem 14 Gershman, C., Fostering Democracy Abroad: The Role of the National Endowment for Democracy, American Political Science Foundation Convention, 29/8/1986, dikutip dalam Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 2. 15 idem “Antara tahun 1984 dan 1992, NED dan cabang-cabang lain dari AS melakukan program "promosi demokrasi" di 109 negara di seluruh dunia, termasuk 30 negara di Afrika, 24 negara di Asia, 21 negara di Eropa Tengah dan Timur (termasuk bekas Uni Soviet), 8 negara di Timur Tengah, dan 26 negara di Amerika Latin dan Caribbean.16 Ketika Presiden Bill Clinton berkuasa, ia mengartikulasikan visinya untuk sebuah sistem internasional satu kutub pasca-Perang Dingin dengan istilah 'pembesaran demokrasi'. 17 Pemerintahan Clinton menciptakan istilah 'pasar demokrasi', yang menekankan adanya hubungan intrinsik antara pasar bebas dan pemerintahan yang demokratis. Clinton menilai bahwa “strategi terbaik untuk memastikan keamanan kita dan untuk membangun perdamaian abadi adalah dengan mendukung kemajuan demokrasi di tempat lain.”18 Di bawah pemerintahan Bush, setelah serangan 11 September 2001, promosi demokrasi menjadi salah satu fitur yang paling menonjol dari kebijakan luar negeri AS. Hal ini tercermin dalam besarnya dana yang dialokasikan untuk program promosi demokrasi di seluruh dunia, yang meningkat secara signifikan dari $500 juta/tahun pada tahun 2000 menjadi $1 milyar/tahun pada tahun 2004. Pada 16 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996. hal. 332. 17 Brinkley, D., Democratic Enlargement: The Clinton Doctrine, Foreign Policy, No. 106, (Spring) 1997 18http://www.washingtonpost.com/wp-srv/ politics/special/states/docs/sou94.htm
  • 7. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 5 tahun 2005 meningkat lagi menjadi $2 milyar, ternasuk biaya invasi ke Afghanistan dan Irak.19 Pemerintahan George W. Bush membawa program promosi demokrasi ke arah yang belum pernah terjadi sebelumnya, meletakkannya di satu-satunya wilayah yang selama ini kebal terhadap ‘gelombang' demokrasi, yaitu Timur Tengah. Demokrasi Sebagai Alat untuk Menjaga Hegemoni Menurut Gramsci, hegemoni adalah persetujuan "spontan" yang diberikan oleh populasi massa atas arahan umum yang diterapkan pada kehidupan sosial oleh kelompok dominan. 20 Dia menghubungkan persetujuan ini dengan 'prestise’ dan kepercayaan yang dinikmati oleh kelompok dominan karena posisi dan fungsi yang mereka miliki di dunia yang telah mereka hegemoni. Konsep hegemoni bertumpu pada asumsi bahwa 'dalam tatanan sosial yang stabil, harus ada menjadi perjanjian dasar yang begitu kuat sehingga dapat menangkal perpecahan dan kekuatan mengganggu yang timbul dari berbagai konflik kepentingan... yaitu, pada nilai-nilai, norma-norma, persepsi dan keyakinan yang mendukung dan menentukan struktur otoritas pusat.'21 Berbeda dengan konsepsi realis, yang melihat hegemoni sebagai kepemimpinan atau dominasi satu negara atas orang lain, teori Gramscian menawarkan 19 Melia, T., The Democracy Bureaucracy:The Infrastructure of American Democracy Promotion, Princeton Project on National Security, (September) 2005,hal. 13-14 20 Gramsci, A., Selections From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Lawrence and Wishart, 1971, hal. 12. 21 Femia,J., Gramsci’s Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process, Clarendon Press, 1981, hal. 39 interpretasi yang lebih kompleks dan bernuansa. Hal ini dicapai dengan membedakan antara mekanisme kontrol sosial yang bersifat koersif dan konsensual. Mekanisme kontrol koersif didasarkan pada pemaksaan dalam melakukan kontrol sosial, sedangkan konsensual didasarkan pada konsesus untuk menjalankan kontrol sosial masyarakat. Sistem demokrasi yang berusaha disebarkan oleh AS lebih didasarkan pada bentuk yang kedua, dimana ia memberikan sarana untuk mengelola atau mengatasi konflik, salah satu contohnya adalah dengan melakukan pemilihan umum secara periodik. Meski demikian, penting dicatat bahwa demokrasi juga menggunakan kekuatan paksaan sebagai kebijakan kedua jika praktik hegemoni gagal dilakukan. Gramsci menyebutnya sebagai 'hegemoni yang dilindungi oleh baju besi pemaksaan.’22 Hasil dari sebuah hegemoni sangat bergantung pada persetujuan aktif dari pihak yang diatur, dan kemampuan mereka untuk menginternasionalisasi ideologi yang dipromosikan sebagai sebuah konsep yang logis atau 'alami'. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Robinson: 'hegemoni Gramscian melibatkan internalisasi pada pihak kelas bawahan tentang nilai-nilai moral dan budaya, kode etik praktis, dan cara pandang dunia dari kelas dominan. Atau secara garis besar berarti internalisasi logika sosial dari sistem dominasi itu sendiri.'23 Hegemoni ini terjadi ketika kelompok elit 'mengartikulasikan 22 Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, hal. 263. 23 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996, hal. 21
  • 8. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 6 visi sosialnya dengan klaim untuk melayani kepentingan semua pihak’, dengan menggunakan insentif untuk memobilisasi dukungan dari kelompok-kelompok bawahan, serta menghalangi setiap oposisi.24 Hal ini dicapai ketika ideologi yang dipromosikan secara sukarela diasimilasi oleh masyarakat itu sendiri.25 Esensi dari sebuah hegemoni terletak pada ideologi yang dipromosikan. Dalam kasus AS, nilai-nilai politik demokrasi liberal dan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas, yang berasal dari warisan politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat yang lebih luas, merupakan unsur-unsur utama dari ideologi yang dipromosikan. Hal ini menjadi pemahaman umum mengenai istilah demokrasi di Barat. Christopher Hobson mengungkapkan bahwa: “Konotasi asli dari istilah Demokratia [demokrasi]... telah dikaburkan oleh kecenderungan untuk menerjemahkannya hanya sebagai rakyat (demos) yang menjalankan kekuasaan (kratos). Sementara demos sebenarnya dibaca sebagai komunitas politik secara keseluruhan, secara umum ia dipahami dalam arti yang lebih sempit sebagai satu kelas rakyat saja, yaitu kaum miskin yang banyak. Penafsiran ini ditemukan terutama dari penulis seperti Plato dan Aristoteles, dan juga digunakan untuk menyusun konsep demokrasi pada abad ke-19. Sementara itu, Kratos memiliki konotasi yang jauh lebih kuat dan 24 Rupert, M., ‘Marxism and Critical Theory’, in Dunne, T., Kurki, M., Smith, S., (eds.), International Relations Theories: Discipline and Diversity, Oxford University Press, 2007, hal. 157 25 Femia, Gramsci’s Political Thought, hal. 47 memaksa dibanding sekadar ‘untuk memerintah’ atau ‘untuk menjalankan kekuasaan’. Keane mencatat bahwa kratos mempunyai rasa militer di dalamnya. Ia bersifat menaklukkan dan memaksa.26 Kratos memiliki dimensi yang penuh dengan paksaan dan cenderung pada kekerasan. Istilah kratos mengacu pada “tenaga, kekuatan, keagungan imperium, ketangguhan, kekuatan kejayaan, dan kemenangan atas pihak lain, khususnya melalui penerapan kekuatan”.27 Hobson menyimpulkan bahwa: “Apa yang dianggap sebagai elemen yang menentukan dari pengalaman Athena—yaitu penggunaan kekuatan secara langsung dan penuh dengan pemaksaan oleh mayoritas yang buruk dalam sebuah pemerintahan kecil—telah melahirkan keluhan dan kekhawatiran yang mengutuk demokrasi agar tidak digunakan lagi dan dipandang tidak relevan selama beberapa abad.”28 Kekhawatiran atas tirani mayoritas inilah yang membuat para pendiri AS menolak demokrasi pada saat kemerdekaan tahun 1776. Mewakili pandangan dominan saat itu, Thomas Jefferson berpendapat bahwa: “Demokrasi tidak lain hanyalah aturan rimba, dimana lima puluh satu persen orang merampas hak empat puluh sembilan persen lainnya.”29 26 John Keane, ‘Does Democracy Have a Violent Heart?’, The University of Sydney, Juli 2006, hal. 15. 27 Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a “Radical Historicisation” of Democracy in IR’, Millennium Journal of International Studies, Vol. 37, 2009, hal. 647. 28 Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a “Radical Historicisation” of Democracy, hal. 647. 29 Jefferson, T., dikutip dari http://www.americanhistorycentral.com/entry.php?rec=453& view=quotes
  • 9. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 7 Dalam nada yang sama, James Madison menyatakan bahwa: 'Demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling busuk. Demokrasi pernah menjadi pusat kekacauan dan pertengkaran; pernah ditemukan tidak sesuai dengan keamanan pribadi, atau hak-hak atas harta benda; dan secara umum, sesingkat kehidupan mereka, mereka juga penuh dengan kekerasan dalam kematian mereka.'30 Hanya setelah seruan dari Presiden Wilson untuk dunia yang akan 'dibuat aman bagi demokrasi' pada tahun 1917 yang membuat demokrasi kembali muncul di Barat. Meskipun pemikiran ini pada awalnya tidak disambut oleh kekuatan Sekutu lainnya, ia mampu berfungsi sebagai pembingkai dan justifikasi bagi upaya perang yang dilancarkan pasukan Sekutu. Kemenangan mereka setelah itu merupakan salah satu katalis utama dari ekspansi normatif demokrasi di abad-abad selanjutnya.31 Oleh karena itu pemahaman populer akan istilah 'demokrasi' saat ini secara radikal sangat berbeda dari konsepsi sejarah yang dominan, yang menganggapnya sebagai 'bentuk aturan yang berbahaya dan tidak stabil yang secara pasti akan menyebabkan anarki atau kesewenang-wenangan.' 32 Fakta kelam demokrasi ini coba dikaburkan oleh narasi diskursif yang dilakukan oleh AS dan Barat, dimana sejarah demokrasi digambarkan sebagai sebuah kemajuan linear, dengan demokrasi liberal sebagai kesimpulan akhir teleologisnya. Menurut interpretasi mereka, 30 Madison, J., dikutip dari http://madison.thefreelibrary.com/ 31 Hobson, ‘Beyond the End of History’, hal. 650. 32 Idem, hal. 632 demokrasi ditemukan di Athena dan kemudian diteruskan ke Roma, sebagai tempat lahirnya peradaban Barat, sebelum dicetak menjadi bentuk kontemporer melalui revolusi Amerika dan Perancis pada abad kedelapan belas. Abstraksi sederhana dari konsep demokrasi, dikombinasikan dengan re-interpretasi secara universal, telah menjadi elemen kunci dari upaya AS untuk mempromosikan ideologi secara luas.33 Aspek kunci dari strategi AS dalam usaha mendemokratisasi dunia adalah dengan berusaha memposisikan demokrasi sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah. Francis Fukuyama dalam 'the End of History’ mencontohkan pendekatan monokultural AS dalam melakukan promosi demokrasi. Ia menyebut bahwa 'universalisasi demokrasi liberal Barat merupakan bentuk final pemerintahan manusia.' Menurut Fukuyama, demokrasi adalah akhir dari sejarah umat manusia dan titik akhir dari evolusi ideologi umat manusia.34 AS berusaha melakukan internalisasi terhadap komunitas lain atas interpretasi AS terhadap demokrasi, norma dan nilai-nilai, sebagai sebuah tatanan alami. Keberhasilan proses ini bisa dilihat dari fakta bahwa istilah demokrasi itu sendiri saat ini secara universal diidentifikasikan dengan Barat. Barat selama ini berusaha untuk menyebarkan slogan ‘kebebasan, persamaan, dan persaudaraan’ sebagai ekspresi demokrasi yang ideal. Namun 33 Idem, hal. 633 34 Fukuyama, F., ‘The End of History’, The National Interest, Issue 16, (Summer) 1989.
  • 10. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 8 dalam praktiknya, persamaan yang menjadi tema utama demokrasi, sulit terealisasikan. Mengutip pernyataan Gaetano Mosca: “Apa yang terjadi pada bentuk pemerintahan lain—dimana minoritas yang terorganisir memaksakan kehendaknya terhadap mayoritas yang tidak terorganisir—juga terjadi secara sempurna pada sistem representasi, meski penampakannya nampak tidak seperti itu. Ketika kita mengatakan bahwa pemilih memilih wakil mereka, kita telah menggunakan bahasa yang sangat tidak tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah sang wakil lah yang membuat dirinya dipilih oleh para pemilih.”35 Pemilu merupakan sumber utama legitimasi dalam sistem demokrasi berdasarkan norma pemerintahan Barat saat ini. 36 Meski demikian, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Ralph Miliband, “Aksi voting adalah bagian dari proses politik yang jauh lebih besar, yang ditandai… oleh pengaruh yang tidak seimbang. Berkonsentrasi pada aksi voting saja justru membantu menyembunyikan terjadinya ketidakadilan. 37 Ketidakadilan dalam politik demokrasi saat ini tercermin dalam peran uang dalam proses pemilu. Sebagai contoh, pada tahun 2000 para calon presiden AS menghabiskan total $ 500,9 juta, pada tahun 2004 angka ini meningkat menjadi $ 820,3 juta, sedangkan pada pemilu 2008 total sebesar $ 35 Mosca, G., The Ruling Class, McGraw-Hill, 1939, hal. 154 36 Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 49. 37 Miliband, R., The State in Capitalist Society, Basic Books, 1969, hal. 194. 1,7 miliar telah dihabiskan.38 Dalam setiap kasus, calon yang menang adalah yang memiliki dana yang lebih besar.39 Fenomena ini sangat relevan dalam konteks promosi demokrasi, mengingat penekanan yang dilakukan oleh AS atas peran pemilu di negara-negara di mana ia beroperasi. Jika ada yang meyakini bahwa dalam sistem demokrasi setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama, maka pada dasarnya kesimpulan tersebut terbukti salah. 40 Ketidakadilan—baik di bidang politik, ekonomi, atau sosial—adalah lazim dalam demokrasi liberal. Demokrasi menempatkan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi. Bagi negara demokrasi slogan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) menggantikan istilah l’etat e’est moi (negara adalah saya) sebagi sistem bernegara yang berlangsung lama di Eropa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana rakyat bisa memerintah? Thomas R. Dye dan Harmon Zeigler dalam The Irony of Demcracy; An Uncommon Introduction to American Politics memberikan penjelasan bahwa democracy 38 Salan, J., ‘Spending Doubled as Obama Led Billion-Dollar Campaign’, Bloomberg, 27 Des 2008, http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=20601087&sid= anLDS9WWPQW8 &refer=home 39 Fenomena ini tidak selalu terjadi. Pada pemili 1992 Clinton mengeluarkan dana lebih sedikit dibanding George H.W. Bush dan tetap bisa menang, meskipun dengan margin 43% vs 38%. Fenomena yang jarang terjadi ini diduga disebabkan oleh kehadiran Ross Perot sebagai calon independen. Lihat ‘1992 Presidential Election’, Roper Center, at http://www.ropercenter.uconn.edu/elections/presidential/pr esidential_election_ 1992.html. 40 Anderson, P., ‘The Antinomies of Antonio Gramsci’, New Left Review, Vol. 100, 1976, hal. 30.
  • 11. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 9 is government “by the people,” but the survival of democracy rest on the shoulders of elits. Dalam keniscayaannya demokrasi menjadi ruang bagi sekumpulan orang dengan tujuan tertentu (the elits) untuk memimpin rakyat yang semestinya memiliki kedaulatan. Pemain sejati dalam demokrasi hanya ada di kalangan atas. Massa hanya diberi ruang untuk memilih, berteriak, bertepuk tangan, mencemooh, atau bahkan melempar batu, tapi mereka tidak pernah dijinkan untuk berpartisipasi dalam permainan. Para pemimpin yang terpilih hanya berkewajiban untuk meyakinkan masyarakat bahwa hanya merekalah yang bisa melindungi kepentingan rakyat. Dalam model institusional demokrasi, nilai-nilai politik demokrasi liberal dan prinsip ekonomi pasar bebas secara instrinsik sangat berhubungan. Pemerintah AS dalam setiap periodenya berpendapat bahwa pasar bebas merupakan prasyarat bagi demokrasi. Misalnya, pemerintahan George W. Bush menyatakan dalam Strategi Keamanan Nasional tahun 2002 bahwa: “Sebuah ekonomi dunia yang kuat akan meningkatkan keamanan kita dengan memajukan kemakmuran dan kebebasan di seluruh dunia. Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh perdagangan bebas dan pasar bebas akan menciptakan lapangan pekerjaan baru dan pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini memungkinkan bagi setiap orang untuk mengangkat kehidupan mereka keluar dari kemiskinan, memacu reformasi ekonomi dan hukum, serta perjuangan melawan korupsi, dan memperkuat kebiasaan kebebasan.41 Namun Robinson mengemukakan tentang “sifat kontradiktif pemikiran demokrasi di bawah kapitalisme. Di mana di satu sisi menekankan kesucian hak milik pribadi, dan karenanya melegitimasi kesenjangan sosial dan ekonomi serta monopoli sumber daya masyarakat oleh minoritas, sementara di sisi lain mereka menekankan kedaulatan rakyat dan persamaan hak.42 Demokrasi yang dipromosikan oleh AS dipresentasikan sebagai sebuah nilai universal yang netral dimana seluruh manusia di berbagai belahan dunia menginginkannya, serta bisa diterapkan dimanapun. Narasi ini diciptakan untuk menutupi paradoks yang terdapat dalam jantung promosi demokrasi: di satu sisi mereka berusaha untuk secara konseptual memisahkan antara sistem politik dengan tatanan sosio ekonomi, namun di sisi lain AS memuji prinsip pasar bebas sebagai bagian intergral dalam perkembangan demokrasi. Ini adalah kontradiksi yang inheren dalam demokrasi, dimana mereka berusaha mengklaim persamaan hak dalam politik namun melegitimasi ketidakadilan di bidang sosio ekonomi. Dalam teori demokrasi, kedaulatan tertinggi berada di tangan warganya. Dengan demikian, warga dapat berpartisipasi dalam menjalankan roda pemerintahan. Ironisnya dalam realitas politik, warga hanya dijadikan objek politik bagi 41 NSC, The National Security Strategy of the United States of America, (September) 2002, hal. 17. 42 Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 52
  • 12. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 10 pemerintah (penguasa) untuk mempertahankan hegomoni politiknya. Sebagaimana ungkapan Barchmi yang menyatakan bahwa: ‘Prinsip kedaulatan di tangan warga sebenarnya tidak pernah ada’, ide kedaulatan warga hanyalah sebatas fatamorgana. Pemahaman ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Dimana, setiap aspirasi yang muncul dari kehendak warganya dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan akan memberikan peluang para wakilnya melakukan kekuasaan absolut. Hal ini disebabkan wakilnya yang menjalankan roda pemerintahan memiliki kecendrungan mempertahankan power-nya dengan berbagai macam dalih guna “mendoktrin” warganya. Menurut Barchmi: “Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-pen.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”43 Begitu juga dengan hasil hukum yang keluar darinya. Menurut Boogena Giyanah Stchijfska, “hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”44 43 Ali Belhaj, Dikutip dari “Kritik Tajam Terhadap Demokrasi”, Februari 2011, http://www.globalmuslim.web.id/2011/02/syaikh-ali-belhaj-kritik- tajam-terhadap.html 44 idem
  • 13. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 11 Tiga Cara menyebarkan dan memelihara hegemoni Barat: Liberalisme adalah alat yang dipromosikan oleh "Barat" untuk mempertahankan dan memperkuat statusnya sebagai hegemon global. Konsepsi Gramsci tentang "hegemoni" digunakan untuk menggambarkan pengaruh "Barat" dalam komunitas global. Gramsci menyatakan bahwa konsensus, bukan pemaksaan, harus berada di garda terdepan dari pengaruh hegemon tersebut. Jadi jika persetujuan hadir, maka hegemoni bisa dikatakan sah. Charlotte Langridge berpendapat bahwa "Barat" menggunakan liberalisme sebagai alat untuk mempertahankan statusnya sebagai hegemon global, karena liberalisme bergantung pada persetujuan dan karena itu ia mendapat self-legitimation. Barat menggunakan liberalisme sebagai alat untuk memelihara hegemoni mereka melalui lembaga-lembaga internasional, perdagangan internasional, dan demokrasi. Saat suatu negara terintegrasi ke dalam salah satu dari ketiga metode tersebut, mereka secara bertahap akan terintegrasikan ke dalam area lain dari tatanan dunia liberal. Selanjutnya, ketiga jalur tersebut akan menyerap setiap upaya kontra-hegemoni yang akhirnya akan memperkuat legitimasi dari hegemoni Barat itu sendiri. Namun, sifat agresif "Barat" untuk mengekspor liberalisme mereka justru akan mendelegitimasi hegemoni yang mereka miliki saat ini. Charlotte Langridge berpendapat bahwa legitimasi rezim liberal Barat bersifat sangat ekspansionis, tidak lagi bergantung pada persetujuan dari negara-negara yang dibidik untuk bergabung. Mereka kini tidak memiliki pilihan lain, jika mereka ingin mendapatkan kekuasaan politik atau ekonomi, mereka harus ikut dalam sebuah sistem hegemoni Barat tersebut. Langridge berpendapat bahwa kondisi ini adalah bentuk pemaksaan tersembunyi yang justru akan mendelegitimasi hegemoni Barat. "Barat" didefinisikan oleh Hurrell sebagai "perkumpulan dengan kekuatan besar".45 Puchala mendefinisikan "Barat", dalam hal ekonomi, sebagai kelompok negara-negara kapitalis, yang berkomitmen untuk membuka pasar; dalam hal politik, sebagai perkumpulan dari negara-negara demokrasi; secara ideologis, sumber dan pusat internasionalisme liberal; secara hegemoni, koalisi transnasional para elit untuk berbagi kepentingan, tujuan dan aspirasi yang berasal dari lembaga-lembaga sejenis dan ideologi umum.’46 Ide-ide dan cita-cita bersama menyatukan elit "Barat" menjadi apa yang oleh Gramsci disebut sebagai "Blocco Storico" atau blok bersejarah. Di era pasca-Perang Dingin, "Barat " belum tertandingi dan mungkin akan tetap demikian untuk beberapa waktu dekat. Hal ini karena tidak ada negara tunggal atau gabungan beberapa negara dalam waktu dekat yang mengungguli kekuatan kolektif dari 45Hurrell, A. (2006) ‘Hegemony, Liberalism and Global Order: What Space for Would-be Great Powers?, International Affairs, 82(1): 1-19 46Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 7 (4): 571-584
  • 14. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 12 Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Puchala menegaskan bahwa ‘perayaan liberalisme telah mendefinisikan Barat; universalisasi liberalisme adalah proyek Barat; menggunakan kekuatan Barat untuk membangun dunia liberal adalah tujuan dari hegemoni Barat hari ini.’47 Hegemoni Barat terdiri dari nilai-nilai dan budaya liberal yang dimiliki oleh kelas-kelas dominan. Ia dikomunikasikan dan diekspor ke seluruh dunia melalui tiga variabel institusionalisme liberal: lembaga-lembaga internasional, perdagangan internasional dan demokrasi. Oleh karena itu, "Barat" menggunakan liberalisme sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni. Liberalisme menyerap kontra-hegemoni melalui lembaga-lembaga internasionalnya, saling ketergantungan dalam hal ekonomi, dan melalui demokrasi. Ekspor liberalisme telah memaksa negara lain untuk mendirikan lembaga-lembaga internasional, meliberalisasi ekonomi mereka dan memperkuat demokrasi mereka. Topeng legitimasi mereka dibangun di atas persetujuan yang sebenarnya adalah pemaksaan terselubung. 1. Lembaga Internasional Lembaga-lembaga internasional Barat meliputi Bretton Woods Institutions, World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF), World Trade Organisation (WTO) dan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), Uni Eropa (EU) dan North Atlantic Treaty Organisation (NATO). Cox menyatakan lima 47Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 7 (4): 580 norma universal hegemoni yang diterapkan melalui lembaga-lembaga internasional, yang dalam kasus hegemoni Barat, berarti lembaga internasional liberal: (1) Mereka mewujudkan aturan yang memfasilitasi perluasan tatanan dunia hegemonik; (2) Mereka sendiri adalah produk dari tatanan dunia hegemonik; (3) Secara ideologis, mereka melegitimasi norma-norma tatanan dunia; (4) Mereka mengkooptasi para elit di negara-negara pinggiran (5) Mereka menyerap ide-ide kontra-hegemonik. Kelima unsur tersebut digunakan untuk mempertahankan legitimasi hegemonik "Barat". Fungsi pertama yang dimiliki oleh lembaga tersebut adalah pemeliharaan hegemoni. Tujuan ini dicapai melalui aturan-aturan yang mendorong ekspansi kekuatan ekonomi yang dominan; Poverty Reduction Strategy Papers (PRSP) milik IMF adalah bentuk ideologi liberal yang sudah dimanipulasi.48 Fungsi kedua, yaitu bahwa lembaga internasional adalah produk dari tatanan dunia hegemonik, merupakan sifat sejati dari IMF dan WB yang diatur oleh AS. Partisipasi dalam lembaga tersebut seringkali cenderung lebih berpihak pada kekuatan dominan. Terdapat struktur politik informal dalam lembaga-lembaga tersebut yang mencerminkan kekuatan politik dan ekonomi riil dari masing- 48Jones, T. and Hardstaff, P. (2005) Denying Democracy: How the IMF and the World Bank take Power from the People, World Development Movement, London
  • 15. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 13 Mereka juga memberikan kesempatan pada kelompok subordinat untuk membuat perubahan, dengan batasan bahwa dampak menyakitkan dari perubahan tersebut harus seminimal mungkin sebagai cara untuk melegitimasi tindakan kelompok hegemonik tersebut. masing negara yang berpartisipasi. Kekuatan dominan tersebut menjalankan peran ideologis, dan menegaskan kembali hirarki hegemonik mereka. Pada saat yang sama mereka juga memberikan kesempatan pada kelompok subordinat untuk membuat perubahan, dengan batasan bahwa dampak menyakitkan dari perubahan tersebut harus seminimal mungkin sebagai cara untuk melegitimasi tindakan kelompok hegemonik tersebut. Misalnya, institusi-institusi Bretton Woods, seperti memberikan perlindungan lebih pada masalah sosial seperti pengangguran dalam negeri daripada yang dilakukan oleh sistem Gold Standard. Namun, hal tersebut dilakukan dengan syarat bahwa kebijakan nasional harus konsisten dengan tujuan ekonomi dunia liberal, sehingga memperluas pengaruh Barat.49 Kondisi ini nampak semakin melegitimasi hegemoni "Barat" dan sesuai dengan fungsi keempat lembaga hegemon yang diutarakan oleh Cox di atas, yaitu mengkooptasi para elit di negara-negara pinggiran. Pengaruh hegemoni Barat juga dapat dilihat di PBB. PBB melembagakan dan mengatur tatanan dunia internasional liberal.50 Selama Perang Dingin, misalnya, PBB adalah alat yang sering digunakan untuk kebijakan luar negeri AS, terutama dalam melakukan kecaman atas Iran pada tahun 1979. AS melindungi kepentingannya melalui ancaman veto di Dewan Keamanan, pengaruh sangat besar pada saat pemilihan Sekretaris Jenderal PBB, dan 49 Cox, R., ‘Gramsci, Hegemony and International Relations: An Essay in Method’, Millennium: Journal of International Studies, 1983, 12 (2): 162-175 50Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 2005, 7 (4): 571-584 overrepresentation di Sekretariat PBB. Hal ini ditunjukkan dalam penolakan keanggotaan China sampai Washington menyetujui. Kondisi ini bukannya tanpa kritik, terutama dari Kelompok 77 yang memandang AS menggunakan PBB untuk mendukung penyebaran liberalisme ekonomi dan demokratisasi. "Peran utama PBB di bawah hegemoni Barat adalah untuk memvalidasi tatanan dunia liberal'.51 Hal ini sesuai dengan fungsi ketiga lembaga-lembaga internasional yang diungkapkan oleh Cox di atas, yaitu untuk mempertahankan hegemoni. Tidak mengejutkan jika Barat mencurahkan begitu banyak perhatian terhadap lembaga-lembaga ini. PBB, sebagai produk dari hegemoni liberal Barat, digunakan sebagai alat oleh AS untuk mempertahankan posisi di tataran global. Lembaga-lembaga ini sangat penting bagi Barat untuk mendapatkan legitimasi di arena internasional. 51Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, hal. 581
  • 16. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 14 Lembaga-lembaga internasional juga menjalankan proses untuk menghilangkan gerakan kontra- hegemonik, yang oleh Gramsci disebut sebagai "transformismo". Mereka menyerap ide-ide yang berpotensi menjadi kontra-hegemonik dan menyesuaikannya dengan doktrin hegemonik. 52 Mereka membuat sebuah kondisi yang tidak memungkinkan bagi gerakan yang menantang hegemoni Barat untuk melakukan perlawanan. Kelompok lain yang ingin mendapatkan kontrol atas suprastruktur lembaga-lembaga internasional, tidak bisa melakukan apa-apa karena suprastruktur tersebut terhubung dengan golongan hegemonik nasional dari negara-negara inti. Sebagaimana kata Cox, 'hegemoni itu seperti bantal: menyerap pukulan dan cepat atau lambat calon penyerang akan merasa nyaman untuk beristirahat di atasnya'.53 Lembaga-lembaga internasional, seperti yang disebutkan di atas, memenuhi fungsi kelima yang disampaikan oleh Cox. Lembaga-lembaga internasional bertindak sebagai saluran dimana nilai-nilai liberal dan keterbukaan ekonomi ditransmisikan. Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana "Barat" menggunakan liberalisme sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni melalui lembaga-lembaga internasional. Mereka lahir dari "Barat" setelah Perang Dunia Kedua. Mereka bersifat self-legitimating dan menyerap gerakan kontra-hegemonik. Mereka yang ingin melawan tatanan liberal berisiko dikategorikan sebagai rezim nakal, musuh kebebasan ekonomi dan politik. Legitimasi dan otoritas mereka sebagai 52 Cox, 1983 53 Idem, hal. 63 negara berdaulat pun dipertanyakan. "Barat" kini menentukan apa yang dimaksud dengan legitimasi. 2. Perdagangan Internasional Perdagangan internasional berfugsi sebagai media komunikasi.54 Kesalingtergantungan ekonomi Uni Eropa menyokong demokrasi dan membuat perang antara negara-negara anggota tidak rasional secara ekonomi. Prinsip-prinsip perdagangan internasional liberal dibangun di atas kapitalisme Barat, yaitu kompetisi dan perdagangan bebas. Ia lah yang pertama kali menyatukan "Barat" dan sekarang "Barat" berusaha untuk menyatukan dunia menggunakan alat bernama ekonomi liberal. Kita bisa melihat secara historis bagaimana organisasi yang bertujuan untuk melakukan liberalisasi ekonomi menyebar: misalnya, Organisation for European Economic Cooperation, yang dikenal secara global dengan nama Organisation for Economic Cooperation and Development, menyebarkan hegemoni liberal Barat.55 Secara luas diakui bahwa ekonomi kapitalis adalah fitur utama dari tatanan Barat. "Barat" berusaha membujuk negara-negara baru untuk masuk ke dalam sistem liberal melalui argumen keuntungan absolut dan relatif. Menurut Deudney dan Ikenberry, ada beberapa alasan politik kenapa negara-negara Barat berusaha menjaga keterbukaan ekonomi, yaitu 'untuk menyebarkan perdagangan bebas dan memperkuat demokrasi liberal.’ Ekspansi kapitalisme yang dirangsang oleh 54Russet, B. (2010) ‘Liberalism’ in T. Dunne, M. Kurki, and S. Smith (eds), International Relations Theories: Discipline and Diversity, 2nd edn, Oxford: Oxford University Press, hal. 95-115 55 idem
  • 17. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 15 perdagangan bebas cenderung mengubah preferensi dan karakter dari negara-negara lain ke arah liberal dan demokrasi, sehingga menghasilkan sistem yang lebih ramah secara strategis dan politis bagi "Barat" untuk mengimpor ideologi liberal.’56 "Barat" berusaha mendorong negara lain untuk meliberalisasi ekonomi mereka, dengan sebuah keyakinan bahwa sistem tersebut bermanfaat bagi semua, terutama dunia liberal. Meski demikian, hanya sedikit negara yang liberalisasi ekonomi mereka benar-benar meningkatkan kekayaan masyarakat. Meksiko adalah salah satu contoh di mana keterlibatan World Bank dan IMF lebih merusak daripada menguntungkan.57 Kebanyakan orang Meksiko akan menjadi lebih baik pada tahun 1998, jika pemerintah mereka tidak memaksakan liberalisasi ekonomi. Kebijakan liberalisasi dari IMF dan WB tidak hanya merusak negara berkembang, tapi sebagaimana kata Stiglitz, bahkan IMF sekali pun sepakat bahwa mereka telah mendorong liberalisasi terlalu jauh, yang mengakibatkan goyahnya hegemoni Barat dan terjadinya krisis keuangan secara global pada tahun 1990-an. 58 Kondisi ini membuat dunia melihat bagaimana kebijakan liberal "Barat" telah gagal, dan menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi mereka. 56 Deudney, D. and Ikenberry, J. (1999) ‘The Nature and Sources of Liberal International Order’, Review of International Studies, 25 (2), hal. 1992 57 Pieper, U. and Taylor, L. (1996, revised Jan 1998), The Revival of the liberal Creed: the IMF, the World Bank, and Inequality in a Globalized Economy, CEPA Working Paper Series 1, No. 4 58 Stiglitz, J. (2002) Globalization and its Discontents, London: Allen Lane 3. Demokrasi Morozov menyatakan bahwa demokrasi berasal dari “Barat”.59 Promosi demokrasi di Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia Timur telah membentuk 'kue lapis yang kompleks dari inisiatif integratif yang mengikat dunia industri demokratis secara bersama-sama'. 60 Tidak mengherankan bahwa "Barat" sangat tergila-gila untuk melestarikan dan memperluas kontrol atas lembaga, pasar, dan politik dunia, mengingat liberalisme telah memberikan penghargaan asimetris kepada mereka. Konsekwensinya, negara-negara non-Barat terus berada di bawah tekanan untuk melakukan liberalisasi secara politik dan ekonomi, dan mengimpor kebijakan dari Eropa Barat dan Amerika 59 Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, and the Russian Challenge’, in C. Browning and M. Lehti (eds), The Struggle for the West: A Divided and Contested Legacy, London, New York: Routledge, 185-200 60 Ikenberry, J. (2004) ‘Liberalism and Empire: Logics of Order in the American Unipolar Age’, Review of International Studies, 30 (4): 622
  • 18. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 16 “Hegemoni itu seperti bantal: menyerap pukulan dan cepat atau lambat calon penyerang akan merasa nyaman untuk beristirahat di atasnya.” Serikat. 61 Standar kebaikan sebuah bangsa pun diukur berdasarkan perbandingan dengan AS dan Uni Eropa. Hegemoni Barat menyerap ide-ide kontra-hegemonik dengan membuat jalur liberal nampak lebih akomodatif dan menarik. Meningkatnya gairah masyarakat dan negara untuk bergabung ke dalam sistem kapitalis internasional semakin memberikan kredibilitas kepada visi liberal ini.62 Karena itulah "Barat" terus berusaha untuk mengintegrasikan Cina dan Rusia dan mendorong mereka untuk melakukan konversi ke arah demokrasi. Usaha ini antara lain dilakukan dengan "menyusun gerbang" dunia demokratis dan mengeluarkan negara non-demokratis. Pengeluaran Rusia dari G-8 adalah salah satu contohnya.63 Barat berusaha mempertahankan hegemoni mereka melalui peningkatan integrasi rezim-rezim otokratis dan usaha untuk mempengaruhi mereka agar mau bekerjasama, menenangkan mereka dari potensi sebagai ancaman, dan akhirnya mengkonversi mereka ke arah demokrasi.64 Usaha penyebaran demokrasi oleh Barat bukannya tanpa kritik. Morozov menjelaskan bagaimana para pemimpin non-Barat mengkritik “Barat” dengan sebutan “tidak demokratis”. Mereka merebut kekuasaaan dan mempromosikan 61 Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, and the Russian Challenge’ 62 Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, Foreign Affairs, 88 (1): 79 63Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, Foreign Affairs, 88 (1): 93 64Charlotte Langridge kepentingan "peradaban" mereka atas nama demokrasi, padahal justru mereka sendirilah yang tidak demokratis. Demokrasi yang dipaksakan dari luar seringkali disajikan sebagai solusi terhadap berbagai masalah politik.' 65 Barat seringkali mengeskpor demokrasi melalui pemaksaan terselubung. Hal ini semakin dibenarkan oleh “perang salib demokrasi” yang dilancarkan oleh AS dan logika “with us or against us”nya. Uni Eropa juga membuat kebijakan kondisionalitas yang berusaha untuk mengubah bentuk negara tetangga, mulai dari Montenegro, Rusia, hingga Libya, sesuai dengan gambar dan kecenderungan yang mereka inginkan. Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh Richard Cheney, “kembalinya reformasi demokratis di Rusia” adalah sinonim dengan “penyelarasan Rusia dengan Barat”.66 65 Chandler, D. (2006) ‘Back to the Future? The Limits of Neo- Wilsonian Ideas of Exporting Democracy’, Review of International Studies, 32 (3): 483 66Cheney, R. (2006) Vice Presidents Remarks at the 2006 Vilnius Conference, Reval Hotel Lietuva, Vilnius, Lithuania, 4 Mei2006, www.whitehouse.gov/news/releases/2006/05/20060504- 1.html
  • 19. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 17 Sisi Gelap Demokrasi “Banyak sistem pemerintahan yang telah dicoba, dan akan terus dicoba di dunia yang penuh dosa dan duka ini. Tidak seorang pun berpura-pura bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang sempurna atau pemenuh semua harapan. Bahkan, pantas dikatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terburuk selain bentuk pemerintahan lain yang telah dicoba dari waktu ke waktu.” (Winston Churchill, Hansard [transkrip parlemen], 11 November 1947) Sebenarnya, kegagalan demokrasi adalah sesuatu yang lumrah. Aristoteles beribu-ribu tahun lalu pernah menyatakan: “Baik aristokrasi maupun demokrasi memiliki potensi korupsi yang meningkat secara eksploitatif, bertepatan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kebebasan yang manipulatif. Korupsi akan membawa pada revolusi, ketika demokrasi menelanjangi dirinya sendiri dan menjadi bentuk otokrasi, salah satunya oligarki.” Bagaimanapun kedaulatan di tangan rakyat adalah sesuatu yang utopis. Tidak pernah ada suatu ahli politik mana pun yang sanggup merumuskan konsep demokrasi yang benar, mulai dari jaman Plato hingga Obama saat ini. Demokrasi hanya memindahkan kekuasan dari tangan para raja, bangsawan, ataupun gerejawan kepada otoritarian lainnya, yaitu tidak lain adalah para pemilik modal. Menjadi biasa saja, sebab demokrasi memerlukan biaya yang mahal dalam prosesnya. Hingga akhirnya politik menjadi komoditas laiknya dagang sapi di pasar-pasar, sehingga kebijakan dari rahim demokrasi adalah kebijakan yang sekali lagi jika dipikirkan hanya berupa omong kosong perjuangan atas nama rakyat. Karena telah jelas, bahwa semua ini dilakukan atas kepentingan para pemilik modal kapitalis penjajah asing. Namun hegemoni Barat dan kekalahan psikologis sebagian besar masyarakat dunia kini memposisikan demokrasi sebagai sebuah produk yang sakral tak tersentuh, tak peduli betapa opresifnya kultur mereka dan betapa lalim dan sadisnya aksi-aksi mereka. Demokrasi lahir dan ditemukan oleh bangsa Yunani. Kelahirannya sendiri cukup sulit dan kompleks. Demokrasi berarti seluruh rakyat berhak untuk mengatur dengan cara memilih langsung wakil yang dianggap terbaik untuk menjalankan pemerintahan. Sejak diperkenalkan, demokrasi telah menggambarkan diri sebagai solusi dari situasi chaos dan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh tirani. Namun, menurut Denni Ross, sejak awal berdirinya demokrasi pada hakikatnya adalah kekerasan. Dalam konteks perang melawan teror, demokrasi menjadi justifikasi digunakannya sarana-sarana kekerasan. Negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara demokratis memberikan hak pada diri mereka sendiri untuk melakukan kekerasan atas nama perang melawan teror. Tema tentang perang dan demokrasi, dan simbiosis diantara mereka, baru-baru ini menghangat kembali oleh fakta bahwa hampir semua negara demokrasi hari ini terjebak dalam
  • 20. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 18 perang permanen melawan 'teror'. Atas nama 'perlindungan demokrasi' dan 'promosi demokrasi ', para tentara telah dikumpulkan dan dikirim ke luar negeri; beberapa lembaga-lembaga demokrasi telah dimiliterisasi, seolah-olah perang permanen demi demokrasi mengharuskan pemangkasan mekanisme pembagian kekuasaan dan mekanisme perwakilan yang selama ini melekat pada demokrasi. Pengawasan dan pemeriksaan rutin 'keamanan'; perluasan kekuasaan polisi; pembenaran atas penggunaan penyiksaan, semua dilakukan atas nama perlindungan atas demokrasi. Semua warga diperingatkan untuk selalu waspada, setiap saat, seolah-olah kehidupan sehari-hari mereka adalah medan perang permanen. Para pemilih bahkan telah mendengar panggilan keras yang dilakukan oleh para politisi dan intelektual untuk melindungi pemerintah, di rumah dan di luar negeri, dengan mengambil 'aksi militer pre-emptive terhadap ancaman besar bagi kelangsungan hidup mereka atau peradaban mereka'. Tren tersebut membuat para pengamat dan analis berkesimpulan bahwa sejatinya, demokrasi memiliki kecenderungan pada kekerasan. Demokrasi dikatakan memiliki 'sisi gelap' kekerasan politik. 67 Bahkan, demokrasi itu sendiri bersifat ‘membunuh’.68 Salah seorang ilmuwan asal Australia, Daniel Ross, telah menarik kesimpulan bahwa 'asal mula 67 Paul Collier, Wars, Guns, and Votes (London and New York, 2009); Michael Mann, The Dark Side of Democracy (Cambridge and New York, 2005) 68 Humphrey Hawksley, Democracy Kills. What’s So Good About the Vote? (London 2009) dan jantung demokrasi pada dasarnya adalah kekerasan'.69 Ancaman serangan teroris tidak hanya mengekspos bentuk baru ‘kekerasan demokrasi’, namun juga membuka kedok karakter sejati dari demokrasi yang selama ini diagung-agungkan sebagai sistem terbaik di dunia ini. Barrington Moore mengingatkan bahwa “Demokrasi Barat mempunyai sejarah yang penuh dengan kekerasan di belakangnya.”70 Dengan kata lain, kekerasan sangat berkontribusi pada sejarah politik Barat. Namun, kini banyak ilmuwan Barat dan para pengikutnya yang mengesampingkan— bahkan terkadang menyangkal—sejarah kekerasan yang ada pada demokrasi. Kekerasan dan demokrasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai dua hal yang terpisah, bahkan berlawanan. Jika kekerasan disebutkan dalam konteks demokrasi, demokratisasi, atau dalam konteks yang lebih luas, perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan politik, ia seringkali dipandang lebih sebagai sebuah ancaman. Moore menegaskan bahwa “salah satu pendapat yang cukup kuat dipegang tentang hubungan antara kekerasan dan demokrasi menyatakan bahwa demokrasi Barat modern adalah pengganti yang baik bagi kekerasan dan sama sekali tidak cocok dengan segala bentuk kekerasan. Surat suara lebih baik daripada peluru... Dalam penilaian saya, 69 Daniel Ross, Violent Democracy (Melbourne 2005), hal. i 70 Barrington Moore Jr., “Thoughts on Violence and Democracy,” Proceedings of the Academy of Political Science (1968) Vol.29 (1), hal 3.
  • 21. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 19 kesimpulan tersebut adalah sebuah kepuasan yang keliru akan masa kini dan masa lalu".71 Demokrasi tidak pernah dapat berkembang tanpa mengganggu atau menyingkirkan pihak lain. Jika ada yang masih percaya mitos Hegel bahwa sejarah Barat adalah kisah perkembangan tak pernah henti dari tirani politik (dimana satu orang memerintah), kemudian oligarki (dimana minoritas memerintah), dan akhirnya menuju demokrasi (di mana 'rakyat' yang memegang kedaulatan), Ross membantah bahwa dalam setiap pergeseran historis demokrasi selalu melibatkan kekerasan, sebagaimana dalam perjuangan politik di masa-masa sebelumnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Machiavelli, tidak ada demokrasi tanpa ada pemancungan Raja, atau tanpa ‘penjinakan’ perbatasan.72 Di masa lalu, kekerasan demokrasi banyak dilakukan oleh mayoritas—yang dianggap sebagai pemegang kedaulatan—terhadap pihak minoritas yang menentang kehendak mereka. Mereka membantai penduduk pribumi, dan menghancurkan siapapun yang melawan pondasi baru kedaulatan rakyat. Kini kekerasan demokrasi telah berubah, menuju arah tertentu sepanjang abad 20 dan 21 ini. Dalam pandangan Ross, kampanye militer di Irak dan Afghanistan pasca 11 September yang dipimpin oleh negara-negara pengusung demokrasi, kekerasan yang dilakukan oleh AS terhadap ‘kombatan musuh’ di Irak dan 71 Barrington Moore, Jr., hal. 1. 72 Daniel Ross, dikutip dalam Matthew Sharpe, Democracy's Violent Heart, Borderlands E-Journal, Volume IV No. 1, 2005. Guantanamo, serta penjara rahasia AS di beberapa negara membuktikan bahwa demokrasi mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan. Istilah demokrasi selama ini dianggap bersinonim dengan legitimate (sah), baik dalam hal politik maupun moral. Banyak pengusung demokrasi melihat demokrasi sebagai kekuatan yang secara moral sah yang bisa diterapkan dalam keputusan apapun. Demokrasi menjadi semacam pembersih moral. Atas nama demokrasi, dan dengan klaim mewakili suara rakyat, tindakan apapun bisa dianggap sebagai tindakan bermoral. Demokrasi pun dipandang sebagai kebenaran moral yang absolut. Konsekuensinya, mereka menganggap bahwa tidak ada prinsip, moral, maupun kekuatan non-demokratis yang dianggap sah untuk melakukan perlawanan terhadap keputusan demokratis. Dalam etika demokrasi, satu-satunya obat bagi kerusakan dalam demokrasi adalah demokrasi itu sendiri. Tidak ada metode atau proses lain yang bisa diterima sebagai respon yang sah pada proses demokrasi, apalagi penggunaan kekuatan. Kata ‘tidak demokratis’ pun bersinonim dengan ‘kriminal’, ‘terorisme’, atau ‘permusuhan’. Ia digunakan untuk memberi cap kepada setiap serangan yang terjadi di masyarakat. Klaim legitimasi demokrasi mengindikasikan fungsi utama teori demokrasi, yaitu untuk melegitimasi tatanan yang ada saat ini, betatapun buruknya tatanan tersebut. Demokrasi tidak pernah mengijinkan adanya pemisahan diri dari kelompok yang tidak sepakat dengan hasil demokrasi. Misalnya, jika diadakan
  • 22. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 20 pemilihan umum secara terbuka bebas dan adil, dan setiap pihak yang tidak sepakat dengan hasil pemilu tersebut diperkenankan untuk membentuk negara yang terpisah, maka tidak ada satu pun pengusung demokrasi yang menganggap tindakan tersebut sebagai demokrasi. Bagi kalangan demokrat, harus ada kesatuan, dimana pemisahan diri tidak diperbolehkan. Kesatuan ini adalah ‘demos’. Dalam konteks modern, demos yang dimaksud adalah democratic nation state, negara yang demokratis. Kesatuan demos ini sama pentingnya dengan legitimasi, karena legitimasi akan runtuh di hadapan pemisahan diri (secessionism). Kelompok yang berusaha memisahkan diri memandang pemerintah yang berkuasa saat ini sebagai ‘pihak asing’, dan mereka tidak lagi merasa berkewajiban untuk mematuhi hukum, lembaga, dan kebijakannya. Karena itu, sebuah pemerintah yang demokratis akhirnya bergantung pada kekuatan militer untuk mempertahankan kekuasaannya, dan untuk mencegah pemisahan diri tanpa batas dari kalangan minoritas. Aspek ini membawa demokrasi kepada sebuah persekutuan jangka panjang dengan nasionalisme. Karenanya, no guns, no democracy. Tidak ada senjata, tidak ada demokrasi.73 Demokrasi juga gagal untuk mengeliminasi ketidakadilan sosial. Dan fenomena ini nampak sebagai kegagalan yang permanen dan struktural. Tidak disangkal lagi bahwa di seluruh masyarakat demokratis selalu terjadi ketidakadilan sosial— 73 Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html perbedaan substansial dalam pendapatan, kekayaan, dan status sosial. Dalam sebuah negara demokrasi yang stabil seperti di Barat, ketidakadilan nampak semakin meningkat. Pola yang terjadi adalah pendapatan terendah tidak meningkat dan seluruh keuntungan pertumbuhan ekonomi selalu menjadi milik kelompok dengan pendapatan yang lebih tinggi. Fakta bahwa demokrasi jarang disebut sebagai penyebab semua itu adalah sebuah pilihan politis. Di masa lalu, banyak kalangan aristokrat konservatif khawatir bahwa demokrasi akan memungkinkan masyarakat miskin untuk menyita kekayaan si kaya. Namun pada kenyataannya, kecenderungan sejarah justru nampak sebaliknya. Demokrasi bukanlah tentang ‘orang biasa’ melawan kelompok elit, tapi ia adalah tentang orang-orang biasa yang bergabung dengan kelompok elit untuk 'menampar kalangan bawah'. Jaminan hak-hak asasi fundamental tidak mencegah minoritas kelas rendah menjadi sasaran, baik secara politik maupun sosial. Di beberapa negara Eropa partai politik bersaing satu sama lain untuk menunjukkan betapa kerasnya mereka terhadap minoritas yang tidak popular—pencari suaka dan umat Islam misalnya. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh kalangan minoritas, selama partai politik tidak melanggar hak-hak mereka. Sayangnya perkembangan ini mungkin masih dalam tahap awal: masih ada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Dalam demokrasi, mereka yang berada dalam skala sosial terendah hanya bisa berharap akan kondisi kehidupan yang semakin memburuk.
  • 23. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 21 Dalam sejarahnya, demokrasi juga adalah sistem yang penuh dengan darah. Invasi ke Irak adalah salah satu contoh terkini betapa berdarahnya proses demokratisasi. Sejak berakhirnya Perang Dunia kedua, masyarakat Barat di Eropa dan AS merasa normal untuk memaksakan demokrasi dengan perang. Ketidakstabilan geopolitik sepanjang Perang Dingin serta kekhawatiran terjadinya serangan nuklir membuat sikap tersebut sempat mereda. Namun, penaklukan atas nama demokrasi kini kembali mengemuka. Sekali lagi, nilai-nilai demokrasi secara eksplisit diklaim sebagai justifikasi dilakukannya perang. Sebagian besar semua rezim demokratis di Eropa dan belahan dunia lainnya dipaksakan dari luar dengan invasi, penjajahan, atau sebagai syarat diberikannya bantuan ekonomi. Demokrasi sering datang dari laras senapan atau melalui kekuatan dollar, jarang yang berasal dari rakyat. Dalam pengamatan Treanor, sejak tahun 1939 negara yang melakukan transisi dari non-demokrasi menuju demokrasi sebagian besar dilakukan melalui intervensi militer dari kekuatan demokratis. Ia juga menyimpulkan bahwa setiap intervensi militer yang dilakukan oleh kekuatan demokratis akan berujung pada penerapan demokrasi di negara yang diserang. Invasi Irak, dengan tujuan untuk melakukan ‘perubahan rezim’, adalah contoh teraktual keterlibatan ‘aktor eksternal’ dalam program demokratisasi. Beberapa tahun sebelum perang Irak, USAID telah menyiapkan taktik untuk melakukan pengembangan negara pro-demokrasi. Taktik tersebut mengindikasikan keterlibatan ‘aktor eksternal’ dalam proses demokratisasi. Program demokrasi USAID akan mendukung:74 - Mekanisme konstitusional, meliputi bantuan teknis dan organisasional terhadap pembuat konstitusi. - Pembuat undang-undang yang terpilih secara demokratis, termasuk program untuk meningkatkan kemampuan material, teknis, dan pembuatan keputusan dari para pembuat undang-undang. - Sistem hukum, meliputi peradilan independen dan kepolisian yang dikontrol oleh sipil, serta mekanisme alternatif dan informal untuk menyelesaikan perselisihan. - Entitas pemerintah lokal, terutama yang mendapatkan otoritas dan tanggungjawab institusional tambahan. - Pemilu yang kredibel dan efektif, dimana para pemilih mempercayai proses tersebut. - Organisasi lokal, nasional, regional, dan internasional yang melindungi hak asasi manusia, termasuk hak pekerja, penduduk pribumi, minoritas, dan wanita. - Persatuan dagang, asosiasi professional, kelompok wanita, entitas pendidikan, dan LSM-LSM lokal, terutama mereka yang menjadi partner dalam program pengembangan. - Partai politik dan mekanisme ekspresi politik nasional lain, dimana dukungan tersebut dilakukan dalam cara non partisan, sesuai 74http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/1868/ 200sai.pdf
  • 24. Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014 22 dengan batas-batas undang-undang, dalam cara yang tidak mempengaruhi hasil pemilu. - Media independen yang dibentuk untuk mempromosikan dan melindungi kebebasan berekspresi. - Peningkatan relasi sipil-militer, termasuk kontrol sipil yang efektif terhadap pengembangan militer. - Institusi dan organisasi yang bisa meningkatkan respon dan akuntabilitas pemerintah dalam skala nasional dan lokal. - Usaha pendidikan bagi anak-anak dan remaja yang merefleksikan partisipasi komunitas, mempromosikan pembentukan LSM lokal, dan mendorong toleransi dalam masyarakat. - Terakhir, sebagai pelengkap bagi usaha pembangunan demokrasi jangka panjang, USAID, berkonsultasi dengan badan pemerintah AS lainnya dan dengan perlindungan hak asasi manusia yang cukup, akan mendukung program transisi bagi pembentukan institusi politik demokratis dan program demobilisasi dan pelatihan tentara dan pemberontak. Dalam pandangan Treanor, taktik tersebut sangat berbeda dengan pemberontakan lokal. Berdasarkan definisi, tidak ada proses yang diinisiasi oleh USAID atau aktor eksternal lain yang bisa dikatakan murni ‘berasal dari rakyat’ di dalam teritorial negara yang ingin didemokrasikan. Di Bosnia dan Kosovo, kekuatan demokratis bisa menerapkan program demokratisasi karena penjajahan militer. Tujuan yang sama juga dilakukan di Irak dan Afghanistan. Secara umum, program tersebut memerlukan pendanaan terhadap partai, kelompok, dan media pro-demokrasi, dan dana tersebut akan mengalir ke kelompok elit tertentu.75 Bagi siapa yang memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang menarik, maka mereka harus memikirkan pihak yang tidak terwakili, namun terpengaruh oleh bentuk pemerintahan tersebut, yaitu korban demokrasi. Dalam kasus ini, lebih dari 500.000 rakyat sipil Irak terbunuh atas nama pembebasan dan perluasan nilai-nilai demokrasi. Dalam bahasa Aldous Huxley, “hanya kaum demokrat yang paling mistis—yang menganggap voting sebagai tindakan religius, dan yang merasa mendengar suara Tuhan di tubuh rakyat—yang dapat memiliki alasan untuk terus mengabadikan sebuah sistem dimana penipu, orang kaya, dan dukun dapat diberi kekuasaan oleh suara pemilih yang terdiri dari sebagian besar orang yang bermental Peter Pan, yang sifat kekanak-kanakannya membuat mereka sangat rentan terhadap bujukan dari penghasut dan sugesti tak kenal henti dari surat kabar orang-orang kaya."76 RALAT: Pada Laporan Khusus Syamina Edisi X / Maret 2014 halaman 39 paragraf terakhir terdapat kesalahan: Tertulis “500 juta rakyat sipil Irak tewas akibat invasi AS ke Irak dari tahun 2003-2011”, seharusnya “500 ribu rakyat sipil Irak tewas akibat invasi AS ke Irak dari tahun 2003-2011.” 75 Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html 76 Aldous Huxley, "PoliWcal Democracy", Aldous Huxley: Complete Essays, Volume II, 1926-1929, ed. Robert S. Baker and James Sexton, (Chicago: Ivan R. Dee, 2000), hal. 216, 228 )