Letusan Gunung Merapi memaksa lebih dari 50.000 warga di Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk mengungsi ke 66 titik pengungsian. Salah satu korban evakuasi adalah Sumarni, seorang ibu muda yang terpisah dari bayinya saat melarikan diri dari hujan abu. Meskipun mengalami kesulitan, akhirnya Sumarni dan suaminya berhasil menemukan bayi mereka di salah satu lokasi pengungsian. Setelah situ
1. Mount Merapi, one the most active
volcanoes in the world erupted 26
October, taking the life of 38 people,
forcing more than 50.000 in Yogyakarta
and Central Java area to flee from home
and be evacuated to safe area in 66
evacuation points.
The Spirit of a Young Woman
by: Renee Picasso Manoppo
Sumarni, a young mother of 19 years old is one of the 3.417
inhabitants of Sumber village located at the slope of the
volcano that had to be evacuated to Garonan, Banyubiru,
approx. 14 km away from her simple yet warm and
beautiful home where just a month ago she gave birth to a
beautiful baby girl.
“I was in the house that late afternoon starting to
prepare evening meals for the family when suddenly my
husband rushed in and asked to gather several items
saying that we had to get away from the village as Mt.
Merapi had just exploded, spewing hot clouds and ash
rain. My baby was with my sister outside the house”,
she recalled.
Several trucks and cars fully loaded with people passed by.
She ran around the neighborhood but she could not find her
sister and the baby!!!
No more truck or car was available as everyone had left the
area. Her husband, Suyono aged 25 years old started the
motorbike and both of them were fighting their way under
the very heavy ash-rain, tears in her eyes not because of the
ash but crying for her baby. They managed to get to the
office of the Sub-district 8 km away from Sumber village
where all evacuees stopped over before being sent to the
government prepared evacuation points. It took both of
them one hour before they found her sister and the baby safe
and sound. “A truck passed by and a man just grabbed me
and the baby and shoved us on the truck”, she recalled her
sister was saying.
Due to the ill-prepared evacuation plan and camps, they had
to spend the night on the cold floor without any mat. To
keep the beloved baby warm and comfortable, they had to
use their clothes to wrap around her.
“We thank you very much for the food, mat, blankets and
especially the baby package you gave us,” said Suyono. “We
will surely be more comfortable tonight compared to last
night, we are very grateful”, Sumarni added.
Answering questions on what would they do when the
situation gets back to normal, Suyono said that being a
farmer who was born in that village and have so far been
blessed by the rich soils of Merapi, they would go back
and repair whatever damages to the farm and started re-cultivating,
it is hoped that within four months they
would win their first harvest. Meanwhile, Suyono would
work part time as laborer on construction works earning
Rp. 20.000 – 30.000 per day. Sumarni added: “My sister
would take care of the baby and I would work as sand
collecting labor down the river for Rp. 10.000 per day”.
The baby stirred a bit on her lap, she smiled and showed
a very happy face, played with the baby’s nose then
breast-fed her. “I did not answer your question on the
name of my baby because we had not named her yet, we
were waiting for her grandfathers and grandmothers for
the celebration and the ritual of giving a name to my
baby”.
Upon the last question of what do you want right now,
she said firmly: “I just want to go home and be with my
husband and our beloved baby girl in our little house
in the village”.
Letusan Gunung Merapi yang berlokasi
di Jawa Tengah telah menewaskan 38
orang dan memaksa penduduk yang
bermukim dilereng Gn. Merapi untuk
mengungsi ke daerah yang aman,
hampir 14.326 jiwa di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan 38.722 jiwa di
Propinsi Jawa Tengah harus mengungsi
dari daerah tersebut dan tersebar di 66
titik pengungsian
Ketegaran Hati Seorang Sumarni
Desa Sumber yang berada di lereng Gunung
Merapi tidak luput dari bencana ini, sebanyak 3,417
jiwa harus mengungsi ke desa Garonan-Banyu Biru
yang berjarak lebih kurang 14 km. Sumarni,
seorang ibu harus membawa bayi perempuannya
yang baru berumur 1 bulan untuk pergi mengungsi
ditempat yang aman.
“Sore itu saya sedang berada didalam rumah, dan
tiba-tiba suami saya bergegas menyuruh saya
untuk menyiapkan perlengkapan untuk mengungsi
karena Gunung Merapi telah meletus dan
memuntahkan awan panas serta hujan abu, bayi
saya sedang bersama bibinya diluar rumah”,
kenangnya.
Namun sangat malang, karena mereka tidak
terangkut oleh mobil yang disiapkan untuk
evakuasi serta semua kendaraan telah
meninggalkan desa mereka dan yang lebih
menyedihkan adalah mereka terpisah dengan bayi
mereka yang dibawa bibinya untuk pergi
mengungsi.
Dengan menggunakan sepeda motor, Sumarni dan
suaminya berusaha untuk menembus hujan abu
yang hebat ke kantor kecamatan yang berjarak
sekitar 8 Km untuk mencari bayi mereka serta
untuk menyelamatkan diri. Setibanya di kantor
Kecamatan, ia dan suaminnya harus mencari bayi
mereka diantara ribuan pengungsi yang akan
dipindahkan ke daerah-daerah pengungsian dan
setelah hampir 1 jam mereka akhirnya dapat
menemukan bayi tersebut.
Akibat tidak siapnya pemerintah daerah dalam
penanganan pengungsi, malam itu mereka harus
tidur dilantai tanpa menggunakan alas dan tidak
mendapatkan makanan dan air minum. Mereka
baru makan dan minum keesokan harinya setelah
pengungsian mereka dan memberikan alas tidur,
selimut serta kebutuhan dasar lainnya.
Setelah keadaan aman Sumarni dan suaminya ingin
memperbaiki lahan pertanian mereka yang rusak
akibat abu vulkanis. Paling cepat 4 bulan mereka
baru dapat memanen sayuran yang mereka tanam.
Untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari
Sumarni harus menitipkan bayinya dan bekerja
sebagai kuli angkut pasir atau buruh tani dengan
upah Rp. 7,000 - 12,500 per hari, sedangkan
suaminya akan bekerja sebagai buruh bangunan
dengan upah Rp. 20,000 – 30,000 per hari.
Apakah keinginannya saat ini? Ia dengan lugas
menjawab, “Saya ingin segera pulang dan berada
dirumah bersama anak dan suami!”.
Letusan Gunung Merapi yang berlokasi
di Jawa Tengah telah menewaskan 38
orang dan memaksa penduduk yang
bermukim dilereng Gn. Merapi untuk
mengungsi ke daerah yang aman,
hampir 14.326 jiwa di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan 38.722 jiwa di
Propinsi Jawa Tengah harus mengungsi
dari daerah tersebut dan tersebar di 66
titik pengungsian
Ketegaran Hati Seorang Sumarni
Desa Sumber yang berada di lereng Gunung
Merapi tidak luput dari bencana ini, sebanyak 3,417
jiwa harus mengungsi ke desa Garonan-Banyu Biru
yang berjarak lebih kurang 14 km. Sumarni,
seorang ibu harus membawa bayi perempuannya
yang baru berumur 1 bulan untuk pergi mengungsi
ditempat yang aman.
“Sore itu saya sedang berada didalam rumah, dan
tiba-tiba suami saya bergegas menyuruh saya
untuk menyiapkan perlengkapan untuk mengungsi
karena Gunung Merapi telah meletus dan
memuntahkan awan panas serta hujan abu, bayi
saya sedang bersama bibinya diluar rumah”,
kenangnya.
Namun sangat malang, karena mereka tidak
terangkut oleh mobil yang disiapkan untuk
evakuasi serta semua kendaraan telah
meninggalkan desa mereka dan yang lebih
menyedihkan adalah mereka terpisah dengan bayi
mereka yang dibawa bibinya untuk pergi
mengungsi.
Dengan menggunakan sepeda motor, Sumarni dan
suaminya berusaha untuk menembus hujan abu
yang hebat ke kantor kecamatan yang berjarak
sekitar 8 Km untuk mencari bayi mereka serta
untuk menyelamatkan diri. Setibanya di kantor
Kecamatan, ia dan suaminnya harus mencari bayi
mereka diantara ribuan pengungsi yang akan
dipindahkan ke daerah-daerah pengungsian dan
setelah hampir 1 jam mereka akhirnya dapat
menemukan bayi tersebut.
Akibat tidak siapnya pemerintah daerah dalam
penanganan pengungsi, malam itu mereka harus
tidur dilantai tanpa menggunakan alas dan tidak
mendapatkan makanan dan air minum. Mereka
baru makan dan minum keesokan harinya setelah
tim gabungan Pemuda Ansor menemukan lokasi
pengungsian mereka dan memberikan alas tidur,
selimut serta kebutuhan dasar lainnya.
Setelah keadaan aman Sumarni dan suaminya ingin
memperbaiki lahan pertanian mereka yang rusak
akibat abu vulkanis. Paling cepat 4 bulan mereka
baru dapat memanen sayuran yang mereka tanam.
Untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari
Sumarni harus menitipkan bayinya dan bekerja
sebagai kuli angkut pasir atau buruh tani dengan
upah Rp. 7,000 - 12,500 per hari, sedangkan
suaminya akan bekerja sebagai buruh bangunan
dengan upah Rp. 20,000 – 30,000 per hari.
Apakah keinginannya saat ini? Ia dengan lugas
menjawab, “Saya ingin segera pulang dan berada
dirumah bersama anak dan suami!”.