Cerita ini menceritakan pengalaman seorang siswa yang pulang sekolah di tengah hujan deras. Ia terjebak di halte karena bus tidak mau berhenti. Dua anak kecil menawarkan berteduh di rumah mereka. Baru saja ia berteduh, pohon besar di depan tumbang karena sambaran petir. Cerita ini menggambarkan bagaimana malaikat melindungi orang yang mencari ilmu.
1. Sayap – SayapMalaikat
Oleh:
Fajar Nabil Muhammad
Ku berjalan dengan langkah gontai, penat dan capek sekali rasanya. Kutengok jam di
tangan, sudah pukul tiga lebih lima belas menit. “Ah…… Selesai juga kegiatanku di sekolah hari
ini ”, gumamku. Karena memang sudah dari jam setengah enam pagi aku mulai kegiatan
berangkat sekolah.
Aku berdiri di tepi jalan. Sepi tak terlihat lagi teman – temanku. Mereka sudah pulang,
naik sepeda atau motor karena memang rumah mereka dekat sini atau tinggal di asrama karena
rumahnya jauh. Namun beda denganku, aku tetap pulang walau rumah kujauh. Sekitar 25 menit
perjalanan, jika langsung dapat tumpangan bus, atau bias lebih lama lagi karena menunggu
antrian di terminal. Sebenarnya, biasanya ada beberapa teman seperjalanan denganku. Kami
sering berangkat dan pulang bersama. Namun mereka tidak ikut ekskul computer jadi mereka
sudah pulang dari tadi.
Tiba-tiba, awan hitam bergulung-gulung. Langit pun jadi gelap dan air hujan turun rintik–
rintik ke bumi. Aku pun segera menyeberangi jalan untuk mencegat bus. Dengan harapan ada
bus yang mau aku tumpangi, agar aku bisa sampai rumah dan istirahat. Karena memang tidak
semua bus yang mau ditumpangi anak sekolah, sebab bus disini jurusan jarak jauh Solo dan
Ponorogo. Apalagi sekarang sedang turun hujan, dan seragamku sudah setengah basah walau aku
berdiri di bawah pohon besar di tepian jalan. Berkali-kali aku cegat bus, namun berkali-kali pula
aku kecewa, karena taka da satupun bus yang mau berhenti. Ada beberapa colt lewat yang
mencari penumpang, namun aku tolak dengan gelengan kepala saja. Karena jika aku naik colt
harus oper dua kali dan butuh waktu yang lebih lama.
“Slapp …Jdieerrr ..”. Terlihat kilat dan suara petir beberapa kali menyambar dengan
ganasnya. Kulihat dua anak yang akan menyeberang sambil memakai paying dan membawa
sebuah payung lagi di tangannya. Seorang anak perempuan kira-kira berumur 12 tahun dan anak
laki-laki berumur 10 tahun,
“Kak mari berteduh dulu di rumahku diseberang jalan sana!”, kata mereka sambil
menghampiriku dengan menyodorkan payung yang mereka bawa.
“Nggak usah dik, terima kasih. Kakak segera pulang, pasti sebentar lagi ada bus lewat”,
jawabku.
“Hujannya tambah deras lho kak”, kata anak laki-laki yang memegang payung.
2. “Gak apa-apa dik”, kataku menolak. Namun mereka tetap berdiri di sampingku dan tidak
pulang kerumah. Iseng-iseng kutanya mereka
“Siapa nama kalian?”.
“Namaku Emi Kak, dan ini Budi”.
“Kelas berapa kalian?”.
“Aku kelas enam dan dia kelas empat”, kata anak yang namanya Emi sambil menunjuk
Budi yang sedang jongkok dan asyik mainan kerikil di tepi jalan
“Kalian adik kakak ya?”,tanyaku lagi
“Bukan Kak, kami bertetangga”. Kudengar jawaban Emi sambil tanganku melambailambai, karena dari kejauhan kulihat bus mendekat. Namun untuk kesekian kalinya aku harus
kecewa karena bus-bus itu tak mau berhenti.
“Wusshh…Wusshh…Wusshhh..”. Suara kendaraan-kendaraan yang lewat di atas aspal
basah sambil memercikkan air ketepian jalan. Kupandangi dua anak di sampingku yang sedang
asyik memandangi kendaraan yang lalu-lalang.
“Kasihan juga mereka. Sudah sekitar 10 menit mereka menemaniku di bawah gerimis”,
gumamku dalam hati. Akhirnya kuputuskan untuk menerima tawaran mereka.
“Baiklah kalau begitu. Kakak berteduh di rumah kalian duluya!”.
Mereka tampak senang dan segera memberiku payung. Kubuka payung, kugandeng
tangan mereka untuk segera menyeberang. Baru aku langkahkan satu kaki di teras rumah, tibatiba saja terdengar, “Kreeekkk..Kreeekk..Bruaakk….!”. Dan bumi seakan bergetar. Spontan aku
menoleh kebelakan. Aku terkejut dan Cuma bisa melongo melihat pohon sebesar rangkulan tiga
orang dewasa melintang di jalan dua jalur di depanku. Pohon yang sedari tadi aku berdiri di
bawahnya ambruk karena disambar ganasnya petir,
“Dug,dug,dug...” Jantungku berdegup kencang. Aku seperti lemas tak dapat bergerak.
Aku baru tersadar setelah setelah kedua anak tadi berlari masuk rumah kembali menghampiri
dan mempersilahkan aku masuk rumah. Segera saja kuhabiskan segelas air yang mereka
suguhkan padaku sambil kusandarkan tubuhku dikursi. Kuarahkan pandanganku keluar yang
mendadak ramai karena jalanan macet dan pedagang asongan yang manfaatkan keadaan dengan
menawarkan dagangannya di bus-bus yang berhenti serta diiringi riuhanya suara warga sekitar
yang berusaha menyingkirkan pohon dari tengah jalandengan memotong-motong pohon dengan
gergaji mesin dan bersama-sama mengangkat potongan kayu ketepian jalan.
Beberapa menit kemudian, kulihat kendaraan-kendaraan bisa kembali merayap. Beberapa
polisi datang mengatur lalu lintas agar kemacetan tidak makin parah karena orang-orag yang
3. mungkin dari tadi sudah jengkel menunggu. Akupun segera berpamitan, menyeberangi jalan
diantara himpitan kendaraan. Segera aku naik kesalah satu bus yang menunggu giliran untuk
jalan.
Aku duduk dan bersandar di kursi. Aku tertegup, masih terbayang di otakku bagaimana
pohon besarta ditumbang dan seandainya menimpa tubuhku. “Ahh….”, desahku dalam hati
sambil menepis perasaan takut, agar tubuh ini tak semakin merinding. Seperti sebuah keajaiban
saja bagiku. Seandainya saja aku terlambat melangkah satu detik saja, pasti tubuh ini masih
tertimpa ranting-ranting pohon. Karena tadi kulihat ada beberapa ranting yang menjulur masuk
kehalaman rumah dik Emi. Dan sebenarnya aku merasa ada kilat meyambar pohon tadi sekitar 5
menit sebelum aku menyeberangi. Namun pohon itu tak segera tumbang. Aku jadi ingat sebuah
hadits Nabi yang artinya mencari ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan.
Dan malaikat akan mengepakkan sayap-sayapnya (member perlindungan) bagi para pencari
ilmu. Mungkinkah tadi malaikat-malaikat melindungiku dengan menahan pohon besaritu agar
tidak tumbang dulu, ketika aku masih dibawahnya. Wallahua`lam.
Ku tengok arlojiku menunjukkan pukul 16:35. “Ah, pasti murid ngajiku saudah
menungguku dari tadi”, kataku dalam hati. Memang, setiap sore aku mengajar ngaji di musholla
samping rumahku. Itulah alasanku mengapa aku tetap nekat pulang walau sebenarnya aku sangat
capek dan terkadang aku ingin tinggal di asrama saja.
Kuarahkan pandanganku keluar kaca bus. Tampak dari kejauhan kereta api yang berjalan
dan bentangan sawah luas menguning. Terbayang wajah anak-anak lugu yang tertawa riang.
TAMAT