Here's a 24 slide deck of images and text I presented today to about 30 managers in a training session. I tried to cover a fair bit of ground in 45 minutes. I attempted to look at why and how social and environmental issues are increasingly linked in management. I tried to tell some stories of what companies are doing in response to the social - as well as environmental - pressures on them.
Here's a 24 slide deck of images and text I presented today to about 30 managers in a training session. I tried to cover a fair bit of ground in 45 minutes. I attempted to look at why and how social and environmental issues are increasingly linked in management. I tried to tell some stories of what companies are doing in response to the social - as well as environmental - pressures on them.
Pemikiran Asy-Syatibi dalam segi ekonomi menjelaskan tentang hubungan antara konsep maqasidussyariah dengan konsep kepemilikan harta, perpajakan, kebutuhan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dimana dalam konsep kepemilikan harta tidak diperboleh perputaran harta tersebut hanya beredar di kalangan orang kaya saja, tetapi juga harus merata sampai ke strata sosial terendah sekalipun. Hal tersebut bertujuan agar terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi antar umat, sehingga kesenjangan dan kemiskinan bisa diatasi. Selain itu, lewat konsep maqashid syari’ah Asy-Syatibi juga menjelaskan perihal perpajakan. Dimana seharusnya pajak yang dibebankan kepada rakyat kemudian digunakan untuk kesejahteraan dan kemaslahata umat. Seperti pembangunan jalan, gedung fasilitas umum dan beberapa sarana prasarana umum yang mampu memudahkan umat. Selanjutnya, Asy-Syatibi juga menjelaskan hubungan maqasid syari’ah dengan kebutuhan konsumsi, produksi, dan distribusi. Asy-Syatibi berpendapat bahwa dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing individu menjadi tanggungjawab dan kewajiban dari individu tersebut dan doktrin dari agama yang di anutnya, baik kebutuhan yang bersifat primer (dharuriyah), sekunder (hajiyah), dan tersier (tahsiniyah). Beberapa pemikiran Asy-Syatibi terkait dengan objek Syariah bisa dijabarkan dengan jelas dan mampu meletakkan dasar ilmu maqashid syari’ah sehingga wajar jika kemudian Asy-Syatibi disebut sebagai ”Bapak maqashid syari’ah”. Teori maqashid dipopulerkan oleh Asy-Syatibi melalui salah satu karyanya yang berjudul al-muwafaqat fi ushul asy-syari’ah, sebuah kitab yang ia tulis sebagai upaya untuk menjembatani beberapa titik perbedaan antara ulama-ulama Malikiyah dan ulamaulama Hanafiyah.
Pemikiran Asy-Syatibi dalam segi ekonomi menjelaskan tentang hubungan antara konsep maqasidussyariah dengan konsep kepemilikan harta, perpajakan, kebutuhan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dimana dalam konsep kepemilikan harta tidak diperboleh perputaran harta tersebut hanya beredar di kalangan orang kaya saja, tetapi juga harus merata sampai ke strata sosial terendah sekalipun. Hal tersebut bertujuan agar terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi antar umat, sehingga kesenjangan dan kemiskinan bisa diatasi. Selain itu, lewat konsep maqashid syari’ah Asy-Syatibi juga menjelaskan perihal perpajakan. Dimana seharusnya pajak yang dibebankan kepada rakyat kemudian digunakan untuk kesejahteraan dan kemaslahata umat. Seperti pembangunan jalan, gedung fasilitas umum dan beberapa sarana prasarana umum yang mampu memudahkan umat. Selanjutnya, Asy-Syatibi juga menjelaskan hubungan maqasid syari’ah dengan kebutuhan konsumsi, produksi, dan distribusi. Asy-Syatibi berpendapat bahwa dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing individu menjadi tanggungjawab dan kewajiban dari individu tersebut dan doktrin dari agama yang di anutnya, baik kebutuhan yang bersifat primer (dharuriyah), sekunder (hajiyah), dan tersier (tahsiniyah). Beberapa pemikiran Asy-Syatibi terkait dengan objek Syariah bisa dijabarkan dengan jelas dan mampu meletakkan dasar ilmu maqashid syari’ah sehingga wajar jika kemudian Asy-Syatibi disebut sebagai ”Bapak maqashid syari’ah”. Teori maqashid dipopulerkan oleh Asy-Syatibi melalui salah satu karyanya yang berjudul al-muwafaqat fi ushul asy-syari’ah, sebuah kitab yang ia tulis sebagai upaya untuk menjembatani beberapa titik perbedaan antara ulama-ulama Malikiyah dan ulamaulama Hanafiyah.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
3. PE BA UA HUKUME
M R N KONOM SY R HDAA PE E BA A
I A IA L M NG M NG N
PRODUKKE NG NKONT M E :
UA A E POR R
Ta ma F M maa daa Pengemba n E
r nsfor si ikih ua l t l m nga konomi Syai’a
r h
Oleh
K. H. Ma’ruf Amin
3
4. PENDA UA (1)
HUL N
Rasulullah bersabda:
إن ال يبعث لهذه المة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap
penghujung seratus tahun seorang yang memperbarui agama
umat ini (H.R. Abu Dawud).
Hadits ini merupakan dasar pentingnya pembaruan dalam Islam,
karena secara eksplisit dalam hadits ini disebutkan adanya
pembaruan dalam agama pada setiap pengujung seratus tahun
(seabad).
Jiwa hadits ini sepertinya juga terjadi dalam sejarah kebangkitan
nasional di Indonesia.
5. PENDA UA (2)
HUL N
Kebangkitan nasional pertama terjadi pada ujung abad ke-19,
yang diawali oleh fatwa ulama tentang wajibnya membela
tanah air dari penjajahan, yang kemudian mendorong
munculnya gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajah
Belanda yang dipelopori oleh para ulama, seperti perlawanan
Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Geger Cilegon di Banten,
dsb. Kebangkitan Islam pertama ini kemudian menginspirasi
lahirnya kebangkitan nasional dan lahirnya gerakan-gerakan
kemerdekaan, yang berujung pada kemerdekaan RI tahun
1945.
Di ujung abad ke-20, setelah seratus tahun dari kebangkitan
Islam pertama, terjadi kebangkitan Islam kedua, tepatnya
diawali pada tahun 1990 ketika MUI merekomendasikan
lahirnya lembaga perbankan berbasis non-bunga.
6. PENDA UA (3
HUL N )
Pada mulanya sistem ekonomi syariah dianggap sebagai tidak
realistis. Namun pelan-pelan perjuangan untuk pengakuan
sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif
mulai diterima.
Berbeda dengan kebangkitan Islam pertama yang merupakan
gerakan politik, kebangkitan Islam kedua merupakan gerakan
ekonomi. Semangat dari gerakan ini adalah membebaskan
Indonesia dari pengaruh sistem ekonomi kapitalis-ribawi yang
“menjajah” negeri ini. Gerakan ini diharapkan dapat
menginspirasi dan mendorong lahirnya kebangkitan nasional
kedua yang akan melahirkan ekonomi yang berkeadilan,
melahirkan Indonesia yang sejahtera, yang diridhai oleh Allah,
baldatun thayyibatun warabbun ghafur.
7. URGENSI PEM R N
BA UA
HUKUMISLA (1)
M
• Pembaruan hukum Islam selain didasarkan atas hadits di atas juga
didasarkan atas kaidah:
تغير الفتوى واختلفها بتغير الزمنة والمكنة والحوال والنيات والعوائد
Perubahan fatwa hukum karena perubahan zaman, tempat, kondisi,
niat dan adat kebiasaan.
• Kaidah ini menunjukkan salah satu karakteristik hukum Islam (fikih)
yang fleksibel dan kontekstual, sejalan dengan dinamika dan
perkembangan zaman.
• Kaidah ini juga menunjukkan, bahwa pembaruan hukum Islam (fikih)
merupakan suatu keniscayaan, karena teks al-Qur'an maupun al-
Hadith sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan
berkembang dengan berbagai permasalahannya.
8. URGENSI PEM R N
BA UA
HUKUMISLA (2)
M
Di antara faktor-faktor yang mendorong perlunya pembaruan
hukum Islam dewasa ini antara lain:
• Perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya, ekonomi
dan politik pada masa kini mengharuskan para ahli hukum
Islam (fuqaha) untuk melakukan telaah ulang terhadap
pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak sesuai lagi
dengan konteks sosial saat ini.
• Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat
berpengaruh terhadap upaya mencari pendapat yang lebih
kuat (rajih) di antara pendapat-pendapat yang berkembang
dalam fikih klasik di mana pada masa klasik ilmu pengetahuan
dan teknologi belum berkembang pesat.
9. URGENSI PEM R N
BA UA
HUKUMISLA (3
M )
• Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan para ahli
hukum Islam (fuqaha) kontemporer untuk melihat
kompleksitas masalah kontemporer dan memilih pandangan-
pandangan dan fatwa hukum yang lebih memudahkan (taisir)
dan menghindari kesulitan (al-haraj) dalam hukum-hukum
furu’, baik dalam masalah ibadah maupun muamalat.
• Munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan
mengharuskan adanya ijtihad baru karena masalah-masalah
tersebut belum pernah dijawab oleh para fuqaha klasik.
10. F T ASEBA A SA A PEM R N
AW G I R NA BA UA
HUKUMEKONOM SY R H(1)
I A IA
Fatwa muncul selain didasarkan atas nushush syar’iyyah juga
didasarkan atas refleksi dari kondisi sosial yang ada. Oleh karenanya,
dapat dikatakan bahwa relevansi sebuah fatwa sangat bergantung pada
kondisi sosial ini. Prinsip ini sangat relevan untuk dijadikan alat bantu
memahami lahirnya fatwa kontemporer yang mungkin berbeda dari
apa yang termaktub dalam buku-buku fikih.
Perbedaan antara fikih dan fatwa bisa dipahami dari definisi
keduanya. Fikih didefinisikan sebagai:
العلم بالحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Mengetahui hukum syari'ah amaliah yang digali dari dalil-dalil
yang bersifat rinci.
11. F T ASE G I SA A PE BA UA
AW BA A R NA M R N
HUKUMEKONOM SY R H(1)
I A IA
Sedangkan fatwa dapat didefinisikan sebagai:
تبيين الحكم الشرعى لمن سأل عنه
Menjelaskan hukum syar’i kepada orang yang
menanyakannya.
Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa fikih
merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’i dari
dalil-dalil rinci (tafshili), sedangkan fatwa merupakan hasil
dari proses penyimpulan hukum syar’i dari permasalahan
yang ditanyakan. Fikih bersandar pada proses penggalian
terhadap dalil-dalil tafshili, sedangkan fatwa bersandar pada
identifikasi permasalahan (tashawwur al-masalah) kemudian
dicarikan hukumnya dari dalil-dalil tafshili.
12. F T ASEBA A SA A PEM R N
AW G I R NA BA UA
HUKUMEKONOM SY R H(1)
I A IA
Permasalahan-permasalahan baru di bidang ekonomi saat ini
memang sangat besar, sehingga bidang ekonomi syariah
kontemporer merupakan lahan ijtihad baru yang masih luas. Dalam
konteks ini, fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI merupakan
jawaban atas permasalahan atau perkembangan aktivitas ekonomi
yang muncul. Fatwa-fatwa itu dalam tataran tertentu secara sadar
dimaksudkan untuk melakukan pembaruan tersebut.
Fatwa tentang ekonomi syariah yang ditetapkan oleh DSN-MUI
selain dibangun di atas manhaj tertentu juga tidak terlepas dari
prinsip umum hukum ekonomi syariah. Menurut hemat saya,
setidaknya ada tujuh prinsip (disingkat MaRGa KAMI) yang harus
dijadikan landasan dalam penetapan fatwa ekonomi syariah, yakni:
13. F T ASEBA A SA A PEM R N
AW G I R NA BA UA
HUKUMEKONOM SY R H(1)
I A IA
• Maslahah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan
atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u al-
mafasid).
• Ridha, artinya aktifitas perekonomian syariah harus dilakukan
atas dasar sukarela (taradhi), dengan tanpa mengandung
unsur paksaan (ikrah).
• Gharar, artinya praktik perekonomian syariah harus jauh dari
tipu daya (’adam al-gharar).
• Khidmah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus mampu
mewujudkan pelayanan sosial (tahqiq al-khidmah al-
ijtima’iyah).
14. F T ASEBA A SA A PEM R N
AW G I R NA BA UA
HUKUMEKONOM SY R H(1)
I A IA
• Adil, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada
terciptanya keadilan dan keseimbangan (al-’adlu wa at-
tawazun.
• Mubah, artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi
(mu'amalat) pada dasarnya boleh (mubah), kecuali jika
ditentukan lain oleh suatu dalil.
• Istirbah, artinya aktifitas ekonomi syariah juga harus
memperhatikan prinsip profitable (al-istirbah), karena setiap
kegiatan ekonomi tentunya mengharapkan adanya
keuntungan.
15. F T ASEBA A SA A PEM R N
AW G I R NA BA UA
HUKUMEKONOM SY R H(1)
I A IA
Dalam konteks pengembangan sisi kesyariahan ekonomi syariah di
Indonesia, setidaknya ada lima hal yang perlu untuk terus
dikembangkan, yakni:
1. Penguatan DSN-MUI sebagai Mufti Bidang Ekonomi Syariah
Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam operasionalnya selain
harus sejalan dengan prinsip-prinsip lembaga keuangan, juga harus
sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Saat ini lembaga yang
mempunyai otoritas mengatur LKS tidak dilengkapi dengan otoritas dalam
bidang kesyariahan. Bank Indonesia dan Kementeriaan Keuangan tidak
mempunyai kompetensi untuk menentukan apakah operasional ataupun
produk suatu LKS belum atau telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Oleh karenanya, dibutuhkan adanya lembaga yang mempunyai otoritas
untuk merumuskan fatwa. Dalam hal ini, DSN-MUI, merupakan lembaga
yang representatif untuk menjalankan tugas ini.
16. F T ASEBA A SA A PEM R N
AW G I R NA BA UA
HUKUMEKONOM SY R H(1)
I A IA
– Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah (Tajdid Al-Ahkam At-
Tathbiqiyah) Melalui Fatwa.
Secara umum penetapan fatwa harus memperhatikan kemaslahatan
umum (mashalih ‘ammah) dan tujuan-tujuan syariah (maqashid al-
syari’ah). Dalam proses penetapan fatwa ini, DSN-MUI mempergunakan
tiga pendekatan, yaitu pendekatan nash qath’i, pendekatan qauli dan
pendekatan manhaji.
Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang kepada nash-nash
al-Qur’an atau al-Hadits dalam menetapkan suatu masalah yang sudah
disebutkan dalam nash al-Qur’an ataupun al-Hadits secara jelas.
Pendekatan qauli dilakukan apabila permasalahan yang ada telah
ditemukan jawabannya melalui pendapat ahli fikih yang terdapat dalam
al-kutub al-mu’tabarah yang ‘illah hukumnya sesuai dengan yang terjadi
saat ini dan hanya terdapat satu pendapat (qaul).
17. PENGEM NG NHUKUM
BA A
EKONOM SY R H(3
I A IA )
Apabila jawaban terhadap masalah yang dimintakan fatwa tidak dapat
dipenuhi oleh nash qath’i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-
mu’tabarah, maka penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan
manhaji, yakni dengan menggunakan metode: al-jam’u wat taufiq, tarjihi,
ilhaqi dan istinbathi.
Di samping itu, ada kaidah-kaidah yang secara spesifik mendasari
banyak fatwa DSN-MUI, yakni :
1) tafriq al-halal min al-haram (pemisahan unsur halal dari yang haram),
yakni bila harta/uang yang halal tercampur dengan yang haram sedangkan
bagian yang haram dapat diidentifikasi dan dikeluarkan, maka harta/uang yang
tersisa adalah halal.
2) i’adatun nazhar (telaah ulang), dengan cara menguji kembali pendapat
yang kuat (mu’tamad) dan mempertimbangkan pendapat yang selama ini
dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur). Pendapat yang semula
marjuh ini kemudian dijadikan sebagai pendapat yang mu’tamad, karena
adanya ‘illah hukum yang baru atau pendapat ini lebih membawa
kemaslahatan.
18. PENGEM NG NHUKUM
BA A
EKONOM SY R H(4
I A IA )
– Akomodasi Fatwa dalam Peraturan Perundangan (Taqnin
Al-Fatwa).
Penerapan fatwa-fatwa yang telah dibuat oleh DSN-MUI tentu
saja tidak akan berlaku efektif dalam aktifitas Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) tanpa adanya regulasi yang dibuat oleh regulator
yang berwenang terhadap fatwa dimaksud. Oleh karenanya,
akomodasi fatwa dalam peraturan perundangan (taqnin) menjadi
penting.
Upaya-upaya untuk melakukan taqnin sebenarnya telah
dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim pada awal
tahun 1990. Lokakarya MUI pada tanggal 22-25 Maret 1990
mengamanatkan untuk membentuk kelompok kerja guna
mendirikan Bank Islam di Indonesia, dengan nama Tim
Perbankan MUI. Hal ini semakin kuat dengan adanya legislasi
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
19. PENGEM NG NHUKUM
BA A
EKONOM SY R H(5)
I A IA
– Pengawasan Pelaksanaan Fatwa (Muraqabah Tathbiq Al-Fatwa)
Sebagai konsekuensi akomodasi fatwa dalam peraturan
perundangan yang mengikat bagi setiap lembaga keuangan syariah,
diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Pengawasan
dimaksud dilakukan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang
merupakan perpanjangan tangan dari DSN-MUI untuk memastikan
dilaksanakannya fatwa oleh lembaga keuangan syariah.
Tugas DPS ini bukan hanya melakukan pengawasan aspek syar’i
secara periodik di LKS, tetapi juga mengajukan usul-usul
pengembangan LKS kepada pimpinan LKS dan DSN-MUI, serta
merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan di DSN-
MUI.
Perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia bahkan
telah membuat posisi DPS sangat dibutuhkan, dan oleh karenanya
harus diikuti dengan peningkatan kulifikasi dan kualitas DPS ini.
20. PENGEM NG NHUKUM
BA A
EKONOM SY R H(6)
I A IA
– Penyelesaian Sengketa (Tahkim)
Transaksi yang dilakukan di lembaga keuangan syariah, baik bank
atau non bank, diikat melalui sebuah kontrak perjanjian yang isinya
sesuai dengan fatwa DSN-MUI yang telah diregulasi oleh lembaga
regulator. Dalam pelaksanaannya, bisa jadi muncul perbedaan
pendapat, sehingga hal ini bisa menimbulkan sengketa di antara para
fihak. Sebagai antisipasi munculnya persengketaan tersebut, pada
tahun 1993 MUI telah mendirikan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) bekerjasama dengan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, yang kemudian pada tahun 2002 diubah namanya
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Selain jalur nonlitigasi, penyelesaian perselisihan bisnis syariah
melalui jalur litigasi juga telah diatur dalam dua undang-undang,
yakni: (1) Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Agama, dan (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syari’ah.
21. PENUTUP
Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa gerakan ekonomi syariah di
Indonesia telah menampakkan hasilnya dan telah melahirkan banyak
hal, antara lain:
1. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
sebagai mufti bidang ekonomi syariah.
2. Lembaga baru di pemerintahan misalnya Direktorat Perbankan
Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di
Kementeriaan Keuangan, dan berbagai Biro di Bapepam.
3. Peraturan perundangan, misalnya UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, UU No. 19 Tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
4. Berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah, baik bank
ataupun non bank.
5. Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam
(IAEI) dan komunitas lainnya sebagai perkumpulan masyarakat
madani di bidang ekonomi syariah.