1. MUNGKINKAH KASUS ANTASARI PRODUK
PERADILAN SESAT ?
Mengikuti proses hukum kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali
Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang hampir berjalan dua tahun dengan tersangka
utama Antasari Ashar ( mantan Ketua KPK ), maka waktu demi waktu kita disodori
sebuah tontonan tentang bagaimana carut marutnya sebuah produk hukum di
Indonesia.
Berawal dari sangkaan cinta segitiga antara korban Nasrudin Zulkarnaen
dengan saksi seorang caddy dan Antasari Azhar dan keterangan saksi tersangka
yang antara lain adalah seorang pengusaha pers, Sigid Haryo Wibisono hingga
Komisaris Besar Polisi Wiliardi Wizard, maka terjeratlah Antasari Azhar dengan
Pasal 340 KUHP.
Alhasil, dalam sidang yang penuh air mata manakala Komisaris Besar Polisi
Wiliardi Wizard mencabut berita acara pemeriksaan ( BAP ) di depan Majelis Hakim
dengan alasan ditekan oleh penyidik Polri dan mengaku keterlibatan Antasari Azhar
dalam kasus ini adalah sebuah rekayasa, Majelis Hakim tetap menjatuhkan vonis 18
tahun penjara potong masa tahanan buat Antasari Azhar.
Menjadi sedih melihat proses hukum Antasari Azhar manakala saksi ahli
forensik balistik, DR Muin dari RS Cipto Mangunkusumo menjelaskan bahwa barang
bukti yang dijadikan acuan Majelis Hakim untuk menjatuhkan vonis terhadap
Antasari Azhar sangat berbeda dengan kenyataan yang ada dalam tubuh korban.
Dari jenis senjata hingga ukuran peluru antara yang diajukan Jaksa Cirus
Sinaga sebagai barang bukti dengan keterangan saksi ahli DR Muin, sangatlah
bertentangan. Hasil visum yang dibuat oleh DR Muin dan yang dijadikan alat bukti di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sangatlah berlawanan.
Belum lagi pernyataan para ahli hukum seperti Profesor Jimli Assidiqi yang
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga berpendapat ada keganjilan dalam
kasus Antasari Ashar. Atau dalam bahasa vulgarnya, ada rekayasa hukum yang
dipaksakan terhadap mantan Ketua KPK tersebut.
Yang menjadi pertanyaan adalah :
1. Mengapa pencabutan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Kombespol Wiliardi
Wizard di persidangan tidak dijadikan rujukan hukum oleh Majelis Hakim ?
2. Mengapa alat bukti berupa visum yang diajukan oleh jaksa penuntut umum
berbeda dengan yang disodorkan oleh saksi ahli DR.Muin yang secara
langsung menangani korban Nasrudin Zulkarnaen juga tidak dijadikan
pertimbangan hukum oleh majelis hakim?
3. Mengapa alat bukti berupa senjata berbeda dengan peluru yang bersarang
dikepala Nasrudin Zulkarnaen juga tidak dijadikan pertimbangan hukum oleh
majelis hakim?
4. Mengapa keterangan sejumlah saksi ahli seperti Prof.Jimli Assidiqi yang
mantan ketua Mahkamah Konstitusi tidak didengar pendapat – pendapatnya
oleh majelis hakim?
Mencermati kalimat diatas yang bersumber dari surat kabar dan tayangan
televisi secara live di proses persidangan maupun majalah, ijinkan saya beropini
bahwa penegakan hukum belum bisa setegak mottonya,”tegakkan hukum walau
langit runtuh”. Saya berpendapat juga bahwa kampanye penegakan hukum seadil –
adilnya belum sepenuhnya ditegakkan.
Rizky Pradnya.C.