1. MangOleh.com – Kisah Inspirasi dan Motivasi
. Setengah jam menjelang adzan Dzuhur, dari kejauhan mata
saya menangkap sosok tua dengan pikulan yang membebani pundaknya. Dari bentuk yang
dipikulnya, saya hapal betul apa yang dijajakannya, penganan langka yang menjadi kegemaran
saya di masa kecil. Segera saya hampiri dan benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi,
terbuat dari sagu dan kelapa yang setelah dimasak dibumbui gula merah yang dikentalkan.
Nikmat, pasti.
Satu yang paling khas dari penganan ini selain bentuknya yang kecil-kecil dan murah,
kebanyakan penjualnya adalah mereka yang sudah berusia lanjut. “Tiga puluh tahun lebih
bapak jualan kue rangi,” akunya kepada saya yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraan
bisa menemukan jajanan masa kecil ini. Sebab, sudah sangat langka penjual kue rangi ini,
kalau pun ada sangat sedikit yang masih menggunakan pikulan dan pemanggang yang
menggunakan bara arang sebagai pemanasnya.
Tiga jam setengah berkeliling, akunya, baru saya lah yang menghentikannya untuk membeli
kuenya. “Kenapa bapak tidak mangkal saja agar tidak terlalu lelah berkeliling,” iba saya sambil
menaksir usianya yang sudah di atas angka enam puluh. “Saya nggak pernah tahu dimana
Allah menurunkan rejeki, jadi saya nggak bisa menunggu di satu tempat. Dan rejeki itu memang
bukan ditunggu, harus dijemput. Karena rejeki nggak ada yang nganterin,” jawabnya panjang.
Ini yang saya maksud dengan keuntungan dari obrolan-obrolan ringan yang bagi sebagian
orang tidak menganggap penting berbicara dengan penjual kue murah seperti Pak Murad ini.
Kadang dari mereka lah pelajaran-pelajaran penting bisa didapat. Beruntung saya bisa
berbincang dengannya dan karenanya ia mengeluarkan petuah yang saya tidak memintanya,
tapi itu sungguh penuh makna.
“Setiap langkah kita dalam mencari rejeki ada yang menghitungnya, dan jika kita ikhlas dengan
semua langkah yang kadang tak menghasilkan apa pun itu, cuma ada dua kemungkinan. Kalau
1/2
2. tidak Allah mempertemukan kita dengan rejeki di depan sana, biarkan ia menjadi tabungan
amal kita nanti,” lagi sebaris kalimat meluncur deras meski parau terdengar suaranya.
“Tapi kan bapak kan sudah tua untuk terus menerus
memikul dagangan ini?” pancing saya, agar keluar terus untaian hikmahnya. Benarlah, ia
memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras, “Pundak ini, juga tapak kaki yang
pecah-pecah ini akan menjadi saksi di akhirat kelak bahwa saya tak pernah menyerah
menjemput rejeki.”
Sudah semestinya isteri dan anak-anak yang dihidupinya dengan berjualan kue rangi
berbangga memiliki lelaki penjemput rejeki seperti Pak Murad. Tidak semua orang memiliki
bekas dari sebuah pengorbanan menjalani kerasnya tantangan dalam menjemput rejeki. Tidak
semua orang harus melalui jalan panjang, panas terik, deras hujan dan bahkan tajamnya kerikil
untuk membuka harapan esok pagi. Tidak semua orang harus teramat sering menggigit jari
menghitung hasil yang kadang tak sebanding dengan deras peluh yang berkali-kali dibasuhnya
sepanjang jalan. Dan Pak Murad termasuk bagian dari yang tidak semua orang itu, yang Allah
takkan salah menjumlah semua langkahnya, tak mungkin terlupa menampung setiap tetes
peluhnya dan kemudian mengumpulkannya sebagai tabungan amal kebaikan.
**
Sewaktu kecil saya sering membeli kue rangi, tidak hanya karena nikmat rasanya melainkan
juga harganya pun murah. Sekarang ditambah lagi, kue rangi tak sekadar nikmat dan murah,
tapi Pak Murad pedagangnya membuat kue rangi itu semakin lezat dengan kata-kata
hikmahnya. Lagi pula saya tak perlu membayar untuk setiap petuahnya itu.
Baca Kisah Inspirasi dan Motivasi dan Berita Unik: Menjemput Rejeki | Kisah Inspirasi dan
Motivasi
2/2
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)