Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Hadis merupakan masa perkembangan sejak masa Rasulullah SAW hingga sekarang, meliputi masa prakodifikasi dan kodifikasi. Pada masa Rasulullah SAW, hadis disampaikan secara langsung kepada sahabat melalui perkataan, perbuatan, dan penjelasan Rasulullah. Pada masa selanjutnya, hadis dikumpulkan dan dirangkum oleh para ulama.
Islam merupakan agama Allah yang diturunkan bersama dengan kitab suci dan
rasul-Nya yang terakhir, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya
yang terang-menderang menuju ke jalan Allah Maha Agung dan Maha Terpuji.
Hukum Islam merupakan kumpulan sejumlah kewajiban dan ajaran-ajaran yang
diserukan oleh Rasulullah saw dan disampaikan kepada umatnya sesuai dengan ajaran
yang disampaikan oleh Allah melalui kitab suci-Nya atau lidah Rasul-Nya. Hukum -
hukum Islam tidak terbatas pada sisi praktis atau penerapan hukum syari’at berupa ibadat
dan mu’amalat saja, tidak pula terbatas pada sisi teoritis atau aqidah saja, yang tertuang
dalam ilmu tauhid atau kalam atau tidak tidak juga terbatas pada bidang kerohanian yang
tercakup dalam ilmu tasawuf atau akhlak. Tetapi, Islam mencakup semua bidang-bidang
itu secara seimbang, sempurna, dan teratur.
Perkembangan hadis pada masa Rasulullah saw. ditandai dengan para sahabat menerima hadis secara langsung dari Rasulullah melalui majelis ilmu, ceramah terbuka, atau melalui sahabat tertentu. Rasulullah menyampaikan hadis baik secara langsung maupun melalui istri-istrinya. Walaupun demikian, terdapat larangan menulis hadis pada masa itu karena khawatir bercampur dengan al-Quran.
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan objek yang diperbolehkan dan dilarang dalam ijtihad. Ijtihad adalah upaya untuk menggali hukum Islam melalui interpretasi Al-Quran dan Hadis. Dasar hukumnya adalah ayat Al-Quran dan hadis tentang Mu'adz bin Jabal. Syarat menjadi mujtahid adalah menguasai bahasa Arab dan pengetahuan luas tentang Al-Q
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan objek yang diperbolehkan dan dilarang dalam ijtihad. Ijtihad adalah upaya untuk menggali hukum Islam melalui interpretasi Al-Quran dan Hadis. Dasar hukumnya adalah ayat Al-Quran dan hadis tentang Mu'adz bin Jabal. Syarat menjadi mujtahid adalah menguasai bahasa Arab dan pengetahuan luas tentang Al-Q
Masa nabi merupakan periode pertama dalam sejarah hadits, dimana hadits disampaikan secara lisan kepada para sahabat. Nabi mendirikan sekolah-sekolah dan mengirim guru ke berbagai wilayah untuk menyebarkan informasi tentang hadits. Nabi juga memberi motivasi kepada para pengajar dan penuntut ilmu dengan menyebutkan pahala bagi mereka.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Hadis merupakan masa perkembangan sejak masa Rasulullah SAW hingga sekarang, meliputi masa prakodifikasi dan kodifikasi. Pada masa Rasulullah SAW, hadis disampaikan secara langsung kepada sahabat melalui perkataan, perbuatan, dan penjelasan Rasulullah. Pada masa selanjutnya, hadis dikumpulkan dan dirangkum oleh para ulama.
Islam merupakan agama Allah yang diturunkan bersama dengan kitab suci dan
rasul-Nya yang terakhir, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya
yang terang-menderang menuju ke jalan Allah Maha Agung dan Maha Terpuji.
Hukum Islam merupakan kumpulan sejumlah kewajiban dan ajaran-ajaran yang
diserukan oleh Rasulullah saw dan disampaikan kepada umatnya sesuai dengan ajaran
yang disampaikan oleh Allah melalui kitab suci-Nya atau lidah Rasul-Nya. Hukum -
hukum Islam tidak terbatas pada sisi praktis atau penerapan hukum syari’at berupa ibadat
dan mu’amalat saja, tidak pula terbatas pada sisi teoritis atau aqidah saja, yang tertuang
dalam ilmu tauhid atau kalam atau tidak tidak juga terbatas pada bidang kerohanian yang
tercakup dalam ilmu tasawuf atau akhlak. Tetapi, Islam mencakup semua bidang-bidang
itu secara seimbang, sempurna, dan teratur.
Perkembangan hadis pada masa Rasulullah saw. ditandai dengan para sahabat menerima hadis secara langsung dari Rasulullah melalui majelis ilmu, ceramah terbuka, atau melalui sahabat tertentu. Rasulullah menyampaikan hadis baik secara langsung maupun melalui istri-istrinya. Walaupun demikian, terdapat larangan menulis hadis pada masa itu karena khawatir bercampur dengan al-Quran.
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan objek yang diperbolehkan dan dilarang dalam ijtihad. Ijtihad adalah upaya untuk menggali hukum Islam melalui interpretasi Al-Quran dan Hadis. Dasar hukumnya adalah ayat Al-Quran dan hadis tentang Mu'adz bin Jabal. Syarat menjadi mujtahid adalah menguasai bahasa Arab dan pengetahuan luas tentang Al-Q
Makalah ini membahas tentang ijtihad, termasuk pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, dan objek yang diperbolehkan dan dilarang dalam ijtihad. Ijtihad adalah upaya untuk menggali hukum Islam melalui interpretasi Al-Quran dan Hadis. Dasar hukumnya adalah ayat Al-Quran dan hadis tentang Mu'adz bin Jabal. Syarat menjadi mujtahid adalah menguasai bahasa Arab dan pengetahuan luas tentang Al-Q
Masa nabi merupakan periode pertama dalam sejarah hadits, dimana hadits disampaikan secara lisan kepada para sahabat. Nabi mendirikan sekolah-sekolah dan mengirim guru ke berbagai wilayah untuk menyebarkan informasi tentang hadits. Nabi juga memberi motivasi kepada para pengajar dan penuntut ilmu dengan menyebutkan pahala bagi mereka.
Makalah ini membahas tentang pengertian, sejarah perkembangan, dan cabang-cabang ilmu hadis. Secara garis besar, pengertian ilmu hadis adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan hadis Nabi Muhammad SAW. Sejarah perkembangannya meliputi zaman Rasul, khulafaur rasysidin, masa sahabat dan tabi'in, pembukuan hadis, hingga kodefikasi hadis dewasa ini. Cabang-cabang ilmu hadis antara
PENULISAN HADITS NABI PRAKODIFIKASI
(Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ulumul Hadits
DOSEN:
Prof. Dr. H. Utang Ranuwijaya, M.A
Oleh:
Liseu Taqillah
NIM: 182420106
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSTAS ISLAM NEGERI (UIN)
“SULTAN MAULANA HASANUDIN”
BANTEN
TAHUN 2019
Makalah ini membahas tentang ijtihad dan madzhab. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan segala daya upaya untuk menemukan hukum secara rinci dari sumber-sumber syariat. Sedangkan madzhab didefinisikan sebagai pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh mujtahid dalam memecahkan masalah hukum Islam. Makalah ini juga menjelaskan latar belakang dan tujuan dibuatnya makalah ini.
Hadis pada masa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat mengalami tiga perkembangan utama. Pertama, hadis disampaikan secara lisan langsung oleh Nabi kepada sahabat. Kedua, sahabat menerima hadis dari sumber utama atau sumber kedua dan menghafalnya. Ketiga, sebagian sahabat menulis hadis meski belum secara resmi karena ada larangan dari Nabi, kecuali untuk beberapa orang tertentu.
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian sahabat, cara mengetahui sahabat, dan pendapat ulama tentang keadilan sahabat. Sahabat didefinisikan sebagai orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Cara mengetahui seseorang sebagai sahabat melalui khabar mutawatir, masyhur, pernyataan sahabat lain, atau pengakuan sendiri. Ada dua pendapat tentang keadil
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan pengertian hadits, sejarah penulisan dan pengkodifikasiannya, serta pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad dan jumlah rawi. Dijelaskan pula cabang-cabang ilmu hadits dan syarat-syarat hadits shahih.
Buku ini membahas sumber-sumber ajaran Islam seperti Al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas. Al-Quran dijelaskan sebagai sumber utama yang menjelaskan berbagai aspek kehidupan manusia, meskipun tidak secara rinci. Hadis digunakan untuk menjelaskan Al-Quran. Ijma' dan qiyas digunakan oleh ulama untuk menetapkan hukum.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan struktur hadits, serta cabang-cabang ilmu hadits seperti riwayat, dirayah, dan musthalah hadits. Juga dibahas pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad dan kuantitas rawi, serta syarat-syarat hadits shahih.
Makalah ini membahas sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis mulai dari masa Rasul SAW hingga masa penyempurnaan dan pengembangan sistem penyusunan kitab hadis. Pembahasan dimulai dari cara Rasul menyampaikan hadis kepada sahabat, kemudian perkembangannya pada masa sahabat dan tabi'in beserta upaya melestarikan hadis, hingga masa penyusunan kitab hadis secara sistematis. [/ringkasan]
Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya. Khususnya para ulama ahli hadits terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Bahkan, menguatnya kajian hadis dalam dunia islam tidak lepas dari upaya umat islam yang melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Goldziger misalnya, ia meragukan sebagian besar keaslian (orisinalitas) hadits, oleh yang diriwayatkan oleh Bukhari sekalipun. Salah satu alasannya adalah semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh, menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut. Sebab studi tentang keberadaan hadis selalu makin menarik untuk di kaji seiring dengan perkembangan manusia yang semakin kritis. Oleh karena itu mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian sejarah hadits?
b. Hadits pada masa Nabi Muhammad SAW?
c. Sejarah hadits pada masa sahabat dan Tabi’in
d. Hadits pada abad ke-II, III, dan IV H
e. Sejarah pada abad ke-V sampai sekarang perkembangan hadits
Bab 2
PEMBAHASAN
a. Pengertian Sejarah Hadits
Sejarah hadits terdiri dua kata yaitu kata “sejarah” dan kata “hadits”. Kata sejarah sendiri yang digunakan pada masa sekarang ini bersumber dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang berarti pohon. Dari sisi lain, istilah history merupakan terjemahan dari bahasa Yunani yakni histories yang memberikan arti suatu pengkajian. Dalam sebuah tulisan yang berjudul definisi sejarah (2007) mengutip pandangan Bapak Sejarah Herodotus yang menurutnya sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu perputaran jatuh bangunnya seorang tokoh masyarakat dan peradaban.
Sedangkan menurut Aristoteles sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekam-rekam atau bukti-bukti yang kukuh.
Hadits secara Lughowi (Harfiyah) adalah ism masdar yang fi’il madhi dan mudhori’nya hadatsa-yahdutsu yang berarti baru. Hadits secara istilah ialah segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejarah hadits ialah suatu kajian peristiwa-peristiwa masa lalu dari segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad SAW.
b. Hadits Pada masa Nabi Muhammad SAW
Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW berarti membicarak
Makalah ini membahas tentang pengertian, sejarah perkembangan, dan cabang-cabang ilmu hadis. Secara garis besar, pengertian ilmu hadis adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan hadis Nabi Muhammad SAW. Sejarah perkembangannya meliputi zaman Rasul, khulafaur rasysidin, masa sahabat dan tabi'in, pembukuan hadis, hingga kodefikasi hadis dewasa ini. Cabang-cabang ilmu hadis antara
PENULISAN HADITS NABI PRAKODIFIKASI
(Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ulumul Hadits
DOSEN:
Prof. Dr. H. Utang Ranuwijaya, M.A
Oleh:
Liseu Taqillah
NIM: 182420106
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSTAS ISLAM NEGERI (UIN)
“SULTAN MAULANA HASANUDIN”
BANTEN
TAHUN 2019
Makalah ini membahas tentang ijtihad dan madzhab. Ijtihad didefinisikan sebagai pengerahan segala daya upaya untuk menemukan hukum secara rinci dari sumber-sumber syariat. Sedangkan madzhab didefinisikan sebagai pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh mujtahid dalam memecahkan masalah hukum Islam. Makalah ini juga menjelaskan latar belakang dan tujuan dibuatnya makalah ini.
Hadis pada masa Nabi Muhammad SAW dan Sahabat mengalami tiga perkembangan utama. Pertama, hadis disampaikan secara lisan langsung oleh Nabi kepada sahabat. Kedua, sahabat menerima hadis dari sumber utama atau sumber kedua dan menghafalnya. Ketiga, sebagian sahabat menulis hadis meski belum secara resmi karena ada larangan dari Nabi, kecuali untuk beberapa orang tertentu.
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian sahabat, cara mengetahui sahabat, dan pendapat ulama tentang keadilan sahabat. Sahabat didefinisikan sebagai orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Cara mengetahui seseorang sebagai sahabat melalui khabar mutawatir, masyhur, pernyataan sahabat lain, atau pengakuan sendiri. Ada dua pendapat tentang keadil
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan pengertian hadits, sejarah penulisan dan pengkodifikasiannya, serta pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad dan jumlah rawi. Dijelaskan pula cabang-cabang ilmu hadits dan syarat-syarat hadits shahih.
Buku ini membahas sumber-sumber ajaran Islam seperti Al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas. Al-Quran dijelaskan sebagai sumber utama yang menjelaskan berbagai aspek kehidupan manusia, meskipun tidak secara rinci. Hadis digunakan untuk menjelaskan Al-Quran. Ijma' dan qiyas digunakan oleh ulama untuk menetapkan hukum.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi dan struktur hadits, serta cabang-cabang ilmu hadits seperti riwayat, dirayah, dan musthalah hadits. Juga dibahas pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad dan kuantitas rawi, serta syarat-syarat hadits shahih.
Makalah ini membahas sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis mulai dari masa Rasul SAW hingga masa penyempurnaan dan pengembangan sistem penyusunan kitab hadis. Pembahasan dimulai dari cara Rasul menyampaikan hadis kepada sahabat, kemudian perkembangannya pada masa sahabat dan tabi'in beserta upaya melestarikan hadis, hingga masa penyusunan kitab hadis secara sistematis. [/ringkasan]
Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya. Khususnya para ulama ahli hadits terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Bahkan, menguatnya kajian hadis dalam dunia islam tidak lepas dari upaya umat islam yang melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Goldziger misalnya, ia meragukan sebagian besar keaslian (orisinalitas) hadits, oleh yang diriwayatkan oleh Bukhari sekalipun. Salah satu alasannya adalah semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh, menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut. Sebab studi tentang keberadaan hadis selalu makin menarik untuk di kaji seiring dengan perkembangan manusia yang semakin kritis. Oleh karena itu mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian sejarah hadits?
b. Hadits pada masa Nabi Muhammad SAW?
c. Sejarah hadits pada masa sahabat dan Tabi’in
d. Hadits pada abad ke-II, III, dan IV H
e. Sejarah pada abad ke-V sampai sekarang perkembangan hadits
Bab 2
PEMBAHASAN
a. Pengertian Sejarah Hadits
Sejarah hadits terdiri dua kata yaitu kata “sejarah” dan kata “hadits”. Kata sejarah sendiri yang digunakan pada masa sekarang ini bersumber dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang berarti pohon. Dari sisi lain, istilah history merupakan terjemahan dari bahasa Yunani yakni histories yang memberikan arti suatu pengkajian. Dalam sebuah tulisan yang berjudul definisi sejarah (2007) mengutip pandangan Bapak Sejarah Herodotus yang menurutnya sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu perputaran jatuh bangunnya seorang tokoh masyarakat dan peradaban.
Sedangkan menurut Aristoteles sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekam-rekam atau bukti-bukti yang kukuh.
Hadits secara Lughowi (Harfiyah) adalah ism masdar yang fi’il madhi dan mudhori’nya hadatsa-yahdutsu yang berarti baru. Hadits secara istilah ialah segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejarah hadits ialah suatu kajian peristiwa-peristiwa masa lalu dari segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad SAW.
b. Hadits Pada masa Nabi Muhammad SAW
Membicarakan hadis pada masa Rasul SAW berarti membicarak
Similar to makalah_hadits pada masa sahabat dan tabi'in (20)
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka - abdiera.com, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 Fase E Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka - abdiera.com, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka
PPT RENCANA AKSI 2 modul ajar matematika berdiferensiasi kelas 1Arumdwikinasih
Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang mengakomodasi dari semua perbedaan murid, terbuka untuk semua dan memberikan kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan oleh setiap individu.kelas 1 ........
AKSI NYATA PENDIDIKAN INKLUSIF (perubahan kecil dengan dampak besar)
makalah_hadits pada masa sahabat dan tabi'in
1. MAKALAH
HADIST PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist
Dosen : Ustadzah Ulfah Nurfadhila, M.Pd
DISUSUN OLEH :
Kelompok 3
Faizal Amin Al-Aziz (2311203008)
Nur Tazqiah (2311203010)
Putri Ida Ayu Laila Ningrum (2311203018)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURURAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD
IDRIS
SAMARINDA 2023
2. i
KATA PENGANTAR
والسالم الصالة و واالسالم االيمان بنعمة انعمنا الذي هلل الحمد
على تابعه و اصحبه و اله وعلى خيراالنام محمد سيدنا على
ان اشهد و له شريك ال وحده هللا اال اله ال ان اشهد الدوام
عبده محمدا
بعده نبي ال ورسوله
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan ridhonya kami dapat menyusun makalah dengan judul
“Hadist Pada Masa Sahabat dan Tabi’in” dengan tepat waktu. Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist. Selain itu
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Ilmu
Hadist bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ustadzah Ulfah
Nurfadhilla M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Ulumul Hadis
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Ucapan
terimakasih juga kami ucapkan pada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Samarinda, 04 September 2023
Kelompok 3
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... iii
A. Latar belakang .......................................................................... iii
B. Rumusan masalah..................................................................... iv
C. Tujuan....................................................................................... iv
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................3
A. Pemeliharaan Sahabat dan Tabi’in Terhadap Sunnah................ 3
B. Metode Sahabat dan Tabi’in dalam Menjaga Sunnah................ 9
BAB III PENUTUP ............................................................................18
A. Kesimpulan.............................................................................. 18
B. Saran ........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................19
4. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sumber pembentukan syari’at pada masa Rasul SAW
adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Setelah wahyu turun, rasul
kemudian menyampaikan, menjelaskan dan mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat itu, rasul menjadi referensi
utama dalam memecahkan berbagai problem umat, baik dalam
bidang akidah, hukum, fatwa, maupun sosial kemasyarakatan.
Bila pada masa rasul adalah masa ketika rasul masih hidup,
yang disebut masa wahyu dan pembentukan syari’at maka yang
dimaksud dengan masa sahabat adalah masa sesudah rasul wafat
hingga tampilnya generasi tabi’in sebagai murid sahabat juga.
Pada masa sahabat, daerah kekuasaan islam semakin meluas,
penyebarannya dilakukan baik dengan jalan dakwah maupun
dengan kekuatan militer. Sosialisasi hadis dimasa itu merupakan
bagian dari penyebaran islam.
Metode pendidikan Nabi SAW dan penyampaian hadist
beliau telah dilakukan sejak penyebaran dakwah islam secara
rahasia dengan menjadikan rumah seorang sahabat yang bernama
Al-Arqam sebagai pusat kajian dan dakwah islam. Pada proses
selanjutnya, ketika dakwah telah dilakukan secara terang-terangan
maka Nabi SAW mulai mendidik para sahabat secara terbuka di
masjid, terutama setelah shalat isya’ para sahabat duduk secara
melingkar, mengaji Al-Quran, dilanjutkan belajar hadist dan
ketentuan-ketentuan hukum islam lainnya.1
B. Rumusan Masalah
a. Pemeliharaan Sahabat dan Tabi’in Terhadap Sunnah
b. Metode Sahabat dan Tabi’in dalam Menjaga Sunnah
1 Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin,37-38
5. iv
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pemeliharaan hadist pada masa sahabat
dan tabi’in
2. Untuk mengetahui bagaimana cara atau metode para
sahabat dan tabi’in dalam menjaga hadist.
6. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemeliharaan Sahabat dan Tabi’in Terhadap Sunnah
Secara etimologis, kata “Sahabat” adalah kata bentukan
dari kata Ash-shubah ( الصحبة ) artinya persahabatan. Pengertian
sahabat menurut ulama ahli hadits ialah sebagai berikut :
1. Orang yang berjumpa dengan Nabi saw, beriman
kepadanya dan wafat dalam keadaan memeluk agama
islam (Anis dkk,1972,507)
2.Orang islam yan pernah menemani Nabi atau melihatnya
(Al-khatib, 1971:387)
3.Orang yang lama menemani Nabi berulang kali
berjumpa dengan beliau dalam rangka mengikuti dan
mengambil pelajarannya ( Mustafa amin, 1971:131).
Banyak pengertian “Sahabat yang dikemukakan oleh para
ulama hadist. Namun, definisi diatas kiranya dapat memberi
gambaran tentang siapa yang disebut sebagai sahabat. Dapat
dikatakan, sahabat ialah mereka yang pernah bertemu dengan Nabi
SAW,bergaul,iman kepadanya, dan beragama islam sampai akhir
hayatnya
Menurut Ajaj Al- khatib cara mengetahui sahabat dapat
diketahui dengan satu diantara indikasi berikut :
1. Khabar mutawatir, seperti Abu bakar, Usman, Ali, dan
sahabat-sahabat lain yang mendapat jaminan surga secara
tegas.
2.Khobar masyhur atau mustafid, yang berada dibawah
status mutawatir, seperti Akasyah bin Muhsan dan
Dhaman bin Tsalabah.
3. Salah seorang sahabat memberikan khabar bahwa
seseorang berstatus sahabat, misalnya Hamamah ibn Abu
Hkamamah Al-Dausy yang meninggal di Asbahan karena
7. 4
sakit perut, lalu Abu musa Al-Asy’ary bahwa ia mendengar
Nabi saw.
3. Sesorang mengabarkan diri sebagai sahabat setelah diakui
keadilan dan sejamannya dengan Nabi saw.
4. Seorang tabi’in mengabarkan bahwa seseorang berstatus
sebagai seorang sahabat.
Ajaj Al-Khatib mengkategorikan seseorang sebagai tabi’in
bila orang tersebut pernah bersama dengan seorang sahabat dan
kebersamaan tidak hanya cukup dengan pernah bertemu. Berbeda
halnya dengan seorang sahabat yang pernah bersama dengan Nabi
Saw, maka bertemu saja cukup karena kedudukan nabi yang tinggi
dan mulia. (Abu Zahu, TT:172)
Ibn Hibban mensyaratkan dalam kriteria seorang tabi’in
bahwa orang tersebut bertemu dengan sahabat ketika ia (Tabi’in)
berada ada pada usia mumayyizi. Jika sekiranya ia masih kecil dan
tidak dapat mengingat dengan jelas maka pertemuannya dengan
sahabat disini tidak berarti apa-apa.
Ulama hadist sepakat bahwa batas akhir periode tabi’in
adalah tahun 150 H, sedang periode tabi’ tabi’in sampai dengan
tahun 220 H menurut Al-Hakim Al-Nasaiburi, thabaqat terakhir
tabi’in adalah yang terakhir kali bertemu dengan sahabat yang
meninggal (Abu Tufail di Mekkah,100 H), maka Khalf bin
Khalifah(w. 181 H) sebagai tabi’in yang paling terakhir karena
pernah bertemu dengan Abu Thufail di Mekkah. Dari sini sebagian
ahli hadist berpendapat masa tabi’in berakhir pada tahun 181
H(Al-Shalih,1977:357).
Tujuan mengetahui kriteria seorang tabi’in adalah untuk
mengetahui muttasil atau mursalnya suatu hadist.
Perkembangan hadist pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah( masa
membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW
8. 5
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup,
yaitu Al-Quran dan Hadist (As-Sunnah) yang harus dipegangi
dalam seluruh aspek kehidupan umat.2
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan
hadist tersebar secara terbatas. Penulisan hadist pun masih terbatas
dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu umar
melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadist
dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an.3
Sedangkan, perkembangan hadist pada masa sahabat dan
tabi’in didalam periode disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-
Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits).
4
pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke negeri syam,
Iraq, mesir, Samarqand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai
ke spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat
ke daerah tersebut , terutama dalam rangka tugas memangku
jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadist.
Sumber pembentukan syari’at pada masa Nabi SAW
adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Wahyu turun lalu
Nabi SAW menyampaikannya kepada seluruh manusia,
menjelaskan maksudnya, kemudian menerapkan hukum-
hukumnya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga Rasul SAW
menjadi rujukan utama dalam mengatasi segala persoalan ummat,
baik dalam bidang hukum, fatwa, peraturan keuangan maupun
perpolitikan dan kemiliteran. Beliau menangani berbagai
persoalan itu atas kesaksian para sahabat. Tak berapa lama, beliau
kembali menghadap kepada sang pencipta. Dan terputuslah wahyu
2 Ibid. hlm. 41-46. Lihat juga ash- shiddieqiy. Op.cit. 59-69. Barmawie Umarie. Op.cit. hlm. 17-
18.
3 Ash-shiddieqy.op.cit.hlm 62
4 Ibid. Hlm. 47-54. Lihat juga Ash-shiddieqy. Op.cit. hlm. 69-78.
9. 6
sehingga umat hanya memiliki Al-Quran Al-Karim dan Assunnah.
Ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
تْك َرَت
َبَتِك : اَمِهِب ْمكَّسَمَت اَم ا ْوُّل ِ
ضَت ْنَل ِْني َرْمَْأ مْكيِف
ْيِتَّنس َو ِ ه
ّللا
Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan
sesat selama masih mau berpegang teguh kepada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnahku.5
Sahabat dan tabi’in berpegang teguh kepaada sunnah Nabi
saw sebagai wujud mematuhui perintah Allah dan wujud taat
kepada Rasulullah saw. Mematuhi rasulullah saw merupakan
kewajiban baik semasa beliau masih hidup maupun sesudah
beliau wafat.
Kaum muslimim generasi pertama benar-benar telah
mempraktekkan firman Allah Azza Wa Jalla:
ْدَقَل
زابْحَ ْ
(اال ٌَةنَسَح ٌة َْوسأ ِهللا ِل ْوسَر يِف ْمكَل َانَك
21
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri
tauladan yang baik bagimu(Al-Ahzab; 21)
Mereka mengerahkan segenap kemampuan untuk mengikuti
jejak Muhammad SAW, melaksanakan petunjuk beliau dan
mengambil serta memegang teguh sunnah beliau.
1. Kita menyaksikan Abu Bakar Ash-Shidiq menggulung panji
Usamah ibn Zaid, sesudah Rasul SAW wafat beliau enggan
memanfaatkan tentaranya, meski beliau sedang sangat
memerlukannya. Beliau berkata : tak layak bagimu membubarkan
panji yang dibentuk oleh Rasulullah SAW beliau membentuk panji
baru dibawah pimpiman khalid bin Al- walid untuk memerangi
kaum murtad. Beliau berkata : Sesungguhnya saya mendengar
sendiri Rasulullah SAW bersabda :
5 Ditakhrij oleh al-Hakim didalam al-Mustadrak.
10. 7
س ْنِم ًْفيَس َو ِدْيِلا َوْال ْنبا ٌدِلَاخ ِة َْريِشَعْال ْوخَا َو ِهللا ْدبع َمْعِن
ِف َانالم َِو ارَّفكْال ىَلَع َّلَج َو َّزَع هللا هَّلَس ِهللا ِف ْوي
َْنيِق
Sebaik-baik hamba Allah dan saudara kabilah (kita) adalah
Khalid Ibnu Al-Walid, serta pedang Allah Azza wa jalla yang
dihunuskan untuk memerangi kaum kafir dan munafik. 6
2. Diriwayatkan dari Al-Sa’ib ibn yazid ibn Ukhti Namir, bahwa
Huwaithib ibn Abdil Uzza memberitahukan kepadanya bahwa
Abdullah ibn Al-Sa’di memberitahukan kepadanya, bahwa ia
datang kepada Umar ibn Al-Khatab semasa kekhalifahannya.
Umar lalu berkata kepadanya : “Aku diberitahu bahwa engkau
membawahi berbagai pekerjaan masyarakat. Tetapi bila engkau
diberi karyawan, engkau enggan menerimanya , benarkah
demikian ?” ia bertanya : Saya menjawab : “Benar “. lalu Umar
bertanya : “Lantas apakah maksudmu?” ia berkata : Saya
menjawab :”sesungguhnya saya banyak memiliki kuda dan sahaya.
Dan saya sendiri dalam keadaan baik-baik saja. Saya ingin agar
karyawanku-karyawunku itu menjadi sedekah bagi kaum
muslimin.” Umar berkata :”Ya jangan begitu. Sebab saya sendiri
juga pernah menginginkan hal yang sama dengan yang kamu
inginkan itu. Tapi Rasulullah SAW. Memberikan bagian
kepadaku.” kemudian aku berkata : “hendaknya tuan
memberikannya ,kepada yang lebih membutuhkannya daripada
diriku. Sampai suatu saat, beliau memberikan harta kepadaku.”
akupun berkata: “ hendaknya tuan berkenan memberikannya
kepada yang lebih membutuhkan daripada diriku.” perawi berkata
kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya “
َتْنَا َو ِلاَمْال اَذَه ْنِم َكَءاَج اَمَف ِهِب َّْقدَصَت و هْل َّوَمَتَف ْذخ
ف ِرْشم ْريَغ
6 Lihat Musnad Imam Ahmad, hal. 173, juz 1, dengan sanad shahih
11. 8
َكَسْفَن عهِبْتَت ً
الَام َو هْذخَف لِئاَس َ
ال َو
Ambillah, lalu kembangkanlah dan bersedekahlah dengan
hasilnya. Adapun harta yang datang kepadamu ini,dan engkau
sendiri tidak mengehendaki dan tidak meminta, maka ambillah.
Dan harta yang tidak demikian, maka jangan engkau ikutkan
dirimu (menikmatinya).7
3. Rasulullah SAW. Pernah memerintah sahabat dan siapa saja
yang bersama beliau pada hari penaklukkan Makkah untuk
membuka bahu mereka dan bergegas dalam thowaf(sa’i), agar
kaum musyrikin bisa melihat kekuatan dari kulit mereka, sehingga
tetap kukuhlah kedaulatan islam dan sirnalah kaum musyrikin.
Umar RA jelas melihat bahwa alasan tindakan tersebut sudah tidak
ada lagi. Akan tetapi beliau berkata : mengapa 8
masih saja orang-
orang membuka bahu, padahal Allah SWT telah mengukuhkan
islam, dan kekafiran dan orang-orang kafir telah lenyap? Namun
demikian, kamu tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang kami
lakukan pada masa Rasulullah SAW. 9
4. Diriwayatkan dari Az-Zubair ibn Arobi, katanya : saya
mendengar seseorang bertanya kepada ibn Umar tentang hajar
aswad ia menjawab: Saya melihat Rasulullah SAW mengusap dan
menciumnya. Orang itu bertanya lagi : bagaimana pendapatmu
bila sedang berdesak-desakan? Dia menjawab : “aku
laksanakan(menurut pendapatku) dengan jarak jauh. Tetapi saya
melihat Rasullah SAW mengusap dan menciumnya. 10
Itulah sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang mempertahankan
sunnah beliau, mengarahkan manusia menempuh jalan yang lurus,
meminta para penguasa dan rakyat tetap menerapkan hukum-
7 Lihat Musnad Imam Ahmad, hal. 197, juz 1, dengan sanad shahih.
8 Dalam redaksi asalnya tertulis فيما bentuknya adalah istifham. Jelas meurut pendapat ulama’
nahwu, harus dibuang alifnya. Akan tetapi Abdullah, Ubaiy, Ikrimah dan Isa tetap membaca
ءلون يتسا عما (dengan memasang alif). Ini dikutip dari catatan margin Musnad Ahmad, hal. 293,
juz 1.
9 Lihat Musnad Imam Ahmad, hal 293, hadits 317 juz 1
10 Lihat Musnad Imam Ahmad, hal. 194, juz IX.
12. 9
hukum syari’at dan tidak mau merekayasa hukum-hukum Allah
SWT tanpa khawatir akan berbagai cacian.
B. Metode Sahabat dan Tabi’in dalam Menjaga Sunnah
Bagaimanakah metode para sahabat dan tabi’in dalam
menjaga as-sunnah? Didalam pembahsan sebelumnya antusis
sahabt dan tabi’in dalam memegnag teguh sunnah suci, kebaikan
peneladan mereka kepada Rasul saw, sikap mereka mengikuti
jejak-jejak beliau, kedisiplinan mereka menerapkan hukum-
hukum beliau serta keteguhan mereka. Para sahabat dan tabi’in
telah menempuh jalan lurus dalam menjaga hadits Nabawi. Hal
ini terlihat jelas dalam sikap hati-hati mereka ketika
meriwayatkan hadits dan Kecermatan mereka menerima berbagai
khabar :
1. Kehati- hatian para sahabat dan tabi’in dalam meriwayat
kan hadits.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan
hadits Rasul saw karena khawatir terjerumus pada
kesalahan dan karena takut ada kesalahan masuk
kedalam sunnah. Padahal sunnah merupakan sumber
hukum pertama sesudah Al-Quran Al-Karim. Dan
karena itu, merka selalu menempuh setiap jalur yang
bisa menjaga hadits tetap bercahaya. Kewira’ian dan
ketakwaan mereka mendorong merka bersifat moderat
dalam meriwayatkan hadits dari Rasul saw. Bahkan
diantara mereka ada yang membatasi diri dari
periwayatan hadits karena alasan menghormatinya,
bukan karena enggan terhadapnya. Dikalangan sahabat,
Umar ibn Al-Khattab dikenal sangat membenci orang
yang banyak meriwayatkan hadits. Sahabat lain juga ada
13. 10
yang menempuh jalur seperti itu. Mereka tidak akan
meriwayatkan hadits kecuali dalam kedaan mendesak.
Dan bila telah meriwayatkan hadits, mereka akan sangat
telilti menyampaikannya. Biasanya, seusai
meriwayatkan hadits, merka akan mengatakan : هذ نحو
(seperti ini),قال كما أو (atau seperti yang disabdakan
Rasulullah saw) atau kata-kata lain yang sejenis.11
Abdurrahman ibn Abi Laila berkata : saya pernah
bertemu dengan seratus dua puluh sahabat Anshor. Tak
seorangpun diantara mereka meriwayatkan satu hadits,
kecuali agar ingin saudaranya merasa cukup dengannya.
Dan tak seorangpun yang dimintai fatwa tentang
sesuatu, kecuali ia ingin agar saidaranya merasa cukup
dengannya. “Salah seorang ditanya tentang suatu
masalah tetapi ia mengembalikannya kepda yang lain,
dan yang lain mengembalikan lagi kepada yang lain,
sehingga kembali lagi kepada yang pertama.”12
Mereka tidak menempuh cara itu dikarenakan
minimnya hadits yang mereka kuasai, tetapi semata-
mata karena antusias mereka terhadap sunnah dan
penjagaan terhadapnya. Juga karena berhati-hati dalam
masalah agama dan juga menjaga kemashlahatan kaum
muslimin, bukan karena enggan atau hendak
meniadakan hadits. Ada riwayat shahih berkenaan
dengan seluruh sahabat dalam hal memegang teguh
sunnah, mengagungkan dan mengambilnya. Banyak
sekali khabar tentang bagaimana mereka memecahkan
masalah syar’iah, baik berkenaan dengan halal maupun
haram. Mereka akan bergegas mencarinya didalam al-
11 Lihat contoh-contohnya didalam Sunan Ibn Majah, hal 8, juz 1. Musnad Imam Ahmad, hal.
46, juz VI. Sunan Ad-Darimiy, hal 77 dan 84, juz 1. Sunan al-Baihaqy, hal. 11, juz 1 dan al-Jami’
Li Akhlq ar-Rawiy, hal 89/A.
12 Lihat Mukhtasar Kitab al-Mu’ammal Li ar-Radd Ila al-Amr al-Awwal, hal 13.
14. 11
Kitab al-Karim, bila mereka berhasil menemukan apa
yang mereka kehendaki, maka mereka akan
memeganginya secara teguh dan menangani kasus-
kasus baru berdasarkan konsekuensi hukum tersebut.
Tetapi apabila tidak menemukan apa yang mereka cari,
maka mereka akan beralih mencarinya didalam sunnah.
Bila ada khabar yang diriwayatkan kepada mereka,
maka mereka akan mengambilnya dan menerapkan
hukumya. Tetapi bila mereka masih juga belum
menemukan khabar berkenaan dengan kasus yang
mereka hadapi, maka mereka akan beralih kepda
ijtihad.13
Dalam hal ini, metode abu bakar dan umar dalam
menyelasaikan ketentuan hukum, maka beliau akan
mempehartikan kitabullah. Bila beliau menemukan
keputusannya, maka beliau akan menggunakan
keputusan itu. Tetapi bila beliau tidak menemukannya,
maka beliau akan bertanya kepada, masyarakat :
“apakah kalian pernah mengetahui Rasulullah saw
pernah memutuskan perkara seperti itu? Kadang-
kadang beberapa orang berdiri,lalu berkata : Rasulullah
saw memutuskannya begini begini. Bila beliau tidak
menemukan sunah Nabi saw, maka beliau
mengumpulkan pembesar untuk diajak bermusywarah.
14
Umar ra juga melakukan hal yang sama.
Para sahabat melihat metode Umar ra terhadap
penjagaan sunnah, penekanan pada masyarakat untuk
cermat terhadap apa saja yang mereka dengarkan dan
merasa cukup denga napa yang mereka sampaikan.
13 Lihat al-Milal Wa an-Nihal karya al-Syahrastuniy, hal. 446-447.
14 Lihat I’lam al-Muwaqqi’in, hal. 62, juz 1.
15. 12
Mereka memenuhinya secara moderat, tak lebih dan tak
kurang. Mereka tidak terlalu banyak meriwayatkan
hadits karena khawatir kehilangan penalaran dan
pemahaman mendalam terhadap kandungannya. Dalam
hal ini, Abdullah Ibn Mas’ud mengatakan :
الخشية العلم ولكن الحديث كثرة العلم ليس
Tolak ukur ilmu (sesorang) bukanlah banyaknya hadits
yang (dikuasainya), tetapi (tolak ukur) ilmu (nya)
adalah rasa takutnya.15
Disamping itu, terlalu banyak meriwayatkan hadits
memungkinkan terjerumus kepada kesalahan. Lebih-
lebih ada Riwayat tentang larangan meriwayatkan
semua yang didengar. Abu Hurairah ra. Meriwayatkan
dari Rasul bahwa ia bersabda :
سمع ما بكل يحدث أن كذبا لمرء با كفى
Cukuplah menunjukkan kedustaan seseorang, bila ia
meriwayatkan semua disengarnya.
16
Bila para sahabat mengkehendaki mengurangi
periwayatan, maka sebenarnya maksud mereka adalah
sikap hati-hati menjaga hadits dan memberikan rambu-
rambu dalam meriwayatkannya.17
Juga agar bisa
memahami yang diriwayatkan dan menjaga serta
mengingatnya secara akurat. Semua Riwayat tentang
sahabat dalam hal ini menunjukkan sikap penjagaan
mereka terhadap as-Sunnah, penyebarannya dan
15 Lihat Mukhtasar Kitab al-Mu’ammal Fi ar-Radd Ila al-Amr al-Awwal, hal,6.
16 Lihat Shahih Muslim, hal. 10. Juz 1.
17 Al-Khatib al-Baghdadiy, berkenaan dengan metode Umar, berkata : “ketatnya syarat yang
diterapkan Umar dalam periwayatan hadits juga mengandung upaya pemeliharaan terhadap
hadits Rasulullah saw. Serta mengintimidasi orang yang bukan sahabat memasukkan sesuatu
yang bukan sunnah kedalam sunnah. Karena nila adasahabat yang diterima ucapannya dan
populer kesahabatannya, diperketat dalam melakukan periwayatan, maka jelas baggi
selainnya lebih diperketat bila melakukan periwayatan.” Lihat Syaraf Ashbab al-Hadits, hal.
98/ A-B.
16. 13
penyampaiannya secara benar dan tidak terjebak pada
sikap longgar dalam meriwatkannya. Tak ada yang
lebih mengindikasikan hal ini, selain kenyataan bahwa
umar dan Sebagian sahabat yang laing mengetahui
kecerdasaan dan kekuatan hafalan Sebagian sahabat,
sehingga mereka tidak mengingkari memperbanyak
periwayatan.
Tabi’in dan juga generasi sesudah mereka juga
menempuh metode sahabat tersebut. Sehingga mereka
sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dan
mencaci sikap memperbanyak periwayatan hadits,
karena khawatir mengurangi bahkan menghilangkan
daya nalar dan pemahaman. Muhammad ibn al-
Munkadir mengatakan ;
ا
عباده وبين هللا بين يدخل إنما الناس يحدث لذي
يدخل بما فلينظر
Yang memberikan riwayat kepda orang lain tak
ubahnya seperti sedang memasuki wilayah antara
Allah dan hamba-hamba Nya. Karena itu
perhatikanlah denga apa yang ia masuk.
18
Sebagian ada yang tidak ingin meriwayat kan hadits
dalam satu majelis lebih dari tiga atau empat buah
hadits, agar para penuntut ilmu bisa memahami dan
dan menghapalnya dengan baik. Khabar tentang hal ini
tidak sedikit.19
2. Kecermatan Sahabat dan Tabi’in dalam menerima
riwayat.
18 Lihat al-Kifayah, hal. 168.
19 Lihat al-Muhaddits al-Fashil, paragraf (819-821), Jami’ Bayan al-‘Ilm Wa Fadhlih, hal. 130,
juz II, al- Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’. hal, 37 dan 45/A-B, dan As-Sunnah Qabla
at-Tadwin, hal. 110-111.
17. 14
Islam memerintahkan agar cermat dalam menerima
berita, melarang dusta dan memerintah mengatakan
yang benar. Wahyu ini dibawa oleh Al-Amin dan
disabdakan oleh Rasulullah saw, serta dipraktekkan
oleh seluruh sahabat, Ulama’, baik mutaqaddimin
maupun serta mutakhirin juga menempuh car aitu.
Dalam hal ini, Allah swt berfirman
أن فتبينوا بنبأ فاسق جاءكم إن آمنوا الذين يايها
مافعلتم على فتصبحوا بجهالة قوما تصيبوا
نادمين
:(الحجزات
6
)
Hai orang-orang yang beriman, jika dating kepada mu
orang fasik membawa sebuah berita, maka lihatlah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatan mu itu. (Al-Hujurat : 6)
Demikianlah, kaum muslimin diperintahkan untuk
jujur dalam segala hal, dapat dipercaya dan bersikap
adil serta meneliti kebenaran dan menghidari
kebathilan. Oleh karena itu, tokoh-tokoh hadits dan
para kritikus sangat berhati-hati dalam menerima
hadits. Mereka sangat teliti dan cermat terhadap hadits
yang diriwayatkan. Metode ini ditempuh oleh sahabat
dan tabi’in serta dianut pula oleh generasi sesudah
mereka. Mereka berusaha menempuh segala cara yang
memberikan jaminan bagi mereka akan keshahihan
yang diriwayatkan dan kapasitas pembawanya, dengan
cara mencari hadits dari perawi lain, memadukan jalur-
jalurnya dan kadang-kadang merujuk pula kepada
toko-tokoh yang kopeten dalam bidang ini.
18. 15
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pada abad
pertama hijriah, yakni masa Nabi, masa al-khulafa’ al-
rasyidin hingga berakhirnya abad pertama hijriah,
tradisi penulisan serta penyebaran hadis masih
bergantung pada hafalan para sahabat dan tulisan
tulisan pribadi mereka. Barulah ketika pemerintahan
sampai pada Umar ibn Abdul Aziz yang terkenal
dengan adil dan wara’, tergerak hatinya untuk
membukukan hadis. Umar ibn Abdul Aziz
memerintahkan secara resmi dan massal kepada para
gubernur untuk membukukan hadis. Dikatakan resmi
karena dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut
merupakan kebijakan dari kepala negara, dan dikatakan
massal karena perintah kepala negara tersebut
ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis
pada zamannya.
Pembukuan hadis terus berlanjut hingga akhir
pemerintahan Bani Umayyah, namun keadaan semakin
sempurna ketika Bani Abbas datang sekitar
pertengahan abad ke dua. Dengan munculnya kembali
Imam Malik dengan al-Muwatha’ nya, Imam Syafi’i
dengan Musnad nya, dan Asar Imam Muhammad ibn
Hasan al-Syabani dengan gerakan penyusunan hadis
secara lengkap, mulai dari hadis Nabi sampai dengan
perkataan sahabat dan fatwa tabi’in.
Setelah sepeninggalan para tabi’in, yaitu pada
permulaan abad ke III hijriah, para ulama mulai
berusaha menyusun kitab-kitab musnad yang memuat
hadis Nabi dan memisahkannya dari perkataan sahabat
dan fatwa tabi’in. Penyusun kitabnya adalah Abu Daud
al-Tayalisi (202 H). Kitab yang sejenis dan
19. 16
paling memadai adalah adalah Musnad Imam Ahmad
ibn Hanbal, meskipun Imam Ahmad hidup pada masa
sesudahnya. Walaupun sudah dipisahkan dari
perkataan sahabat dan fatwa tabi’in, hadis dalam kitab
musnad masih bercampur antara hadis yang shahih dan
yang tidak shahih. Oleh karena itu pada masa
pertengahan abad ke III H disusunlah kitab yang
didalamnya benar-benar termuat hadis yang shahih,
misalnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-
Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Madjah, dan
Sunan alNasa’i.Orang yang pertama menulis dan
mengumpulkan hadis dalam satu bab tertentu adalah
al-Jarir Amir al-Sya’bi, beliau menyusun kitab hadis
khusus tentang talak. Kemudian diteruskan oleh
Abdullah ibn Musa alAbasy al-Kufi, Musaddad al-
Basry, Asad ibn Musa dan Na’im ibn Hammad al-
Khaza’i.
Adapun kitab-kitab yang disusun dan dibukukan pada
abad ke III H, yang terkenal yaitu:
Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam al
Bukhari (256 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam
Muslim (261 H)
3. Al-Sunan, karya Ibn Majah (273 H)
4. Al-Sunan, karya Abu Daud (275 H)
5. Al-Sunan, karya al-Tirmidzi
6. Al-Sunan, karya al-Nasa’i (303 H)
7. Al-Musnad, karya Ahmad ibn Hanbal
8. Al-Musnad, karya al-Darimi
9. Al-Musnad, karya Abu Daud al-Tayalisi
20. 17
Dengan usaha para ulama besar abad ke tiga,
tersusunlah tiga macam kitab hadis, yaitu: kitab-kitab
Shahih, kitab-kitab Sunan , serta kitab-kitab Musnad.
Sedangkan abad IV-VI merupakan masa pemeliharaan,
penertiban, penambahan, dan penghimpunan (ashr al-
tahdzib wa altartib wa al-istidrak wa al-jam’u). Dengan
karakteristik penulisan hadis berbentuk Mu’jam
(Ensiklopedi), Shahih (himpunan Shahih saja),
mustadrak (susulan shahih), Sunan al-Jam’u (gabungan
antara dua atau beberapa kitab hadis), ikhtishar
(resume), istikhraj dan syarah (ulasan). Pada masa
berikutnya, yakni abad ke VII-VIII H dan berikutnya
disebut dengan masa penghimpunan dan pembukuan
hadis secara sistematik (al-Jam’u wa at-Tanzhim).56
Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa
Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan
pindah dari Baghdad ke Cairo, Mesir dan India. Pada
masa ini banyak kepala pemerintahan yang
berkecimpung dalam bidang ilmu hadis, seperti al-
Barquq. Di samping itu ada juga usaha dari ulama
India dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Di
antaranya Ulumul Hadis karangan al-Hakim. Demikian
perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadis
sampai abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai
sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang
berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali
hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan
syarah hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
21. 18
Sumber pembentukan syari’at pada masa Nabi
SAW adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.
Wahyu turun lalu Nabi SAW menyampaikannya
kepada seluruh manusia, menjelaskan maksudnya,
kemudian menerapkan hukum-hukumnya dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga Rasul SAW menjadi
rujukan utama dalam mengatasi segala persoalan
ummat, baik dalam bidang hukum, fatwa, peraturan
keuangan maupun perpolitikan dan kemiliteran.
Sahabat dan tabi’in berpegang teguh kepada sunnah
Nabi saw sebagai wujud mematuhui perintah Allah dan
wujud taat kepada Rasulullah saw. Mematuhi
rasulullah saw merupakan kewajiban baik semasa
beliau masih hidup maupun sesudah beliau wafat.
Berbagai macam cara yang dilakukan sahabat-sahabat
Rasulullah SAW untuk mempertahankan sunnah
beliau, mengarahkan manusia menempuh jalan yang
lurus, meminta para penguasa dan rakyat tetap
menerapkan hukum-hukum syari’at dan tidak mau
merekayasa hukum-hukum Allah SWT.
B. SARAN
Demikianlah makalah yang kami susun, mohon
maaf jika dalam makalah terdapat banyak kesalahan
dalam penyusunannya. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya. Semoga makalah
ini bermanfaat khususnya untuk kami, dan umumnya
bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
22. 19
Al-Khatib, Dr. Muhammad ‘Ajaj. Ushul Al-Hadits pokok-
pokok ilmu hadits. Gaya media pratama. Damaskus : 2009.
Al-Manar Muhammad Abduh. Pengantar studi hadits.
Referensi. Bogor : 2011.
Solahudin, Muhammad Agus dan Agus Suyadi. Ulumul
Hadits. Pustaka setia Bandung : 2008.
Leni Andariati / Diroyah : Jurnal Ilmu Hadits 4,2 (Maret
2020) : 153-166.
Umma Farida,
https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/mashdar/article/
view/3721.