Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa MembangunBudi Ragiel
Portal desa digunakan untuk memproduksi berita oleh warga desa. Ini merupakan bentuk jurnalisme warga yang memungkinkan warga berperan serta dalam produksi informasi. Studi ini akan menganalisis konten berita di portal desa untuk melihat bagaimana semangat kemandirian desa direpresentasikan.
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakatfebastream
Media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini masyarakat. Di satu sisi, media dapat
membentuk opini negatif melalui konten kekerasan dan komersial. Namun di sisi lain, media juga berperan positif
dalam menyebarluaskan informasi, pendidikan, dan nilai-nilai moral kepada masyarakat. Oleh karena itu, peran
media dalam masyarakat bergantung pada tujuan dan konten yang disampaikan.
Laporan riset UGM untuk Gerakan Desa MembangunBudi Ragiel
Portal desa digunakan untuk memproduksi berita oleh warga desa. Ini merupakan bentuk jurnalisme warga yang memungkinkan warga berperan serta dalam produksi informasi. Studi ini akan menganalisis konten berita di portal desa untuk melihat bagaimana semangat kemandirian desa direpresentasikan.
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakatfebastream
Media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini masyarakat. Di satu sisi, media dapat
membentuk opini negatif melalui konten kekerasan dan komersial. Namun di sisi lain, media juga berperan positif
dalam menyebarluaskan informasi, pendidikan, dan nilai-nilai moral kepada masyarakat. Oleh karena itu, peran
media dalam masyarakat bergantung pada tujuan dan konten yang disampaikan.
Elemen dan Model Media Massa - Koran SINDOAmalia Pranata
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1) Surat kabar Seputar Indonesia memiliki peran sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap pemerintahan serta menyajikan berita secara akurat dan tidak memihak.
2) Dokumen ini menjelaskan profil perusahaan dan tim redaksi Seputar Indonesia serta elemen-elemen komunikasi massa yang terkandung di dalamnya seperti komunikator, isi, audiens, umpan balik, dan gate
Prosiding lengkap seminar pemberdayaan masyarakat 2014STISIPWIDURI
Dr. Edy Siswoyo
11.00-12.30 SESI I:
- Dr. Prudensius Maring, MA.
- Dr. Edy Siswoyo, MA.
- Prof. Dr. Robert MZ Lawang.
Moderator: Dr. Retor AW Kaligis
12.30-14.00 Istirahat dan Sholat Zuhur
14.00-15.30 SESI II:
- Dra. MS Dwiyantari, M.Si.
- Flores Mayaut, S.Sos.
- Hastin Trustisari, M.Si.
Moderator: Dr
Ringkasan: Kang Hendra adalah tokoh masyarakat yang aktif dalam kegiatan sosial dan pelestarian budaya di Kabupaten Sumedang. Beliau memiliki banyak pengalaman organisasi dan pernah mendapat penghargaan sebagai aktivis sosial. Beliau berpandangan bahwa budaya dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, namun saat ini budaya sering dianggap sebagai bumbu semata. Oleh karena itu, diperlukan upaya pelest
Analisa Komunikasi Massa "Jika Aku Menjadi" Trans TVAmalia Pranata
Acara televisi "Jika Aku Menjadi..." yang ditayangkan di Trans TV memiliki berbagai fungsi komunikasi massa seperti informasi, hiburan, persuasi, kohesi sosial, dan pengawasan. Acara reality show ini menampilkan sukarelawan dari kalangan atas yang tinggal bersama keluarga miskin untuk memberikan pesan sosial kepada penonton. Analisis menggunakan teori uses and gratification menunjukkan bahwa penonton memilih acara ini untuk memenuhi
Dokumen tersebut membahas tentang pers Pancasila di Indonesia, termasuk definisi, fungsi, peranan, ciri-ciri, bentuk penyalahgunaan, dampak penyalahgunaan, dan perkembangannya. Secara ringkas, pers di Indonesia berkembang sejalan dengan filsafat politik yang diadopsi pada setiap zamannya, dan bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara proporsional dan berimbang.
Media Online dan Inspiring Journalism yang akan dipresentasikan di kegiatan Cipasung Journalism Camp yang akan diselenggarakan di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pada 6 sampai 8 Juli 2011.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Literasi informasi dan media membahas pentingnya keterampilan mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara bertanggung jawab dari berbagai sumber media.
Pengaruh Internet Terhadap Penduduk Pedesaanwhitecross
Internet memiliki pengaruh besar terhadap penduduk pedesaan di berbagai aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya. Internet dapat meningkatkan status sosial dan jaringan sosial penduduk pedesaan, memberikan informasi ekonomi untuk meningkatkan perekonomian, serta sarana belajar dan berinteraksi dengan pemerintah.
Teori Komunikasi Dua Langkah menjelaskan proses penyebaran pesan melalui dua tahap, yakni tahap komunikasi massa dan komunikasi antarpersonal. Jokowi dianggap sebagai opinion leader karena memiliki status sosial dan pendidikan tinggi, serta mampu mempengaruhi sikap pengikutnya. Teori ini memberikan penjelasan bagaimana proses penyebaran informasi melalui pemimpin pendapat di masyarakat.
Setiap langkah yang kita tempuh dan setiap keputusan yang kita ambil senantiasa diawali dengan pertanyaan:“Mengapa?”
Para filosof menjelaskan bahwa “mengapa” termasuk salah satu dari tiga pertanyaan mendasar tentang sesuatu. Ketiga pertanyaan tersebut adalah “mengapa”, “adakah” dan “apakah”.
Oleh sebab itu, untuk setiap pengetahuan yang akan kita geluti, kita mesti mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: Mengapa kita harus mempelajari pengetahuan tersebut? Kekurangan apakah yang akan saya dapatkan jika saya tidak mempelajarinya?
Segenap pertanyaan itu akan memberikan motivasi dalam menimba suatu pengetahuan, bukan sekedar mencari “ijazah”. Mereka yang mencari ilmu dengan penuh gairah dan kecintaan tidak akan pernah bosan dan tidak akan meninggalkannya, karena ia memasuki pengetahuan tersebut dengan penuh kesadaran. Berdasarkan hal ini, untuk memulai mempelajari filsafat kita juga harus mempertanyakan: Apakah filsafat itu? Mengapa kita harus mempelajarinya?Apa ruginya jika kita tidak mempelajarinya?
Teologi Ini tidak hanya membicarakan kewajiban-kewajiban ritual serta janji-janji eskatologis bagi pemeluknya, tetapi lebih dari itu, bagaimana teologi mampu membebaskan pemeluknya dari segala macam bentuk penindasan, seperti eksploitasi, hegemoni penguasa, ketidakadilan serta ketimpangan-ketimpangan social. Pada titik ini, tentu saja berbeda dengan domain teologi klasik tradisional yang masih sibuk memperbincangkan persoalan-persoalan klasik-dogmatik tanpa peduli dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Di sinilah makna “pembebasan” yang berarti “memanusiakan manusia” menemukan momentumnya. Dengan kata lain, kesejahteraan dan keadilan untuk manusia menjadi skala prioritas dari teologi pembebasan. Teologi pembebasan tidak hanya berhenti pada tataran teoretis atau sibuk dengan dialektika ide-ide pembebasan, tetapi sudah memasuki ranah praktis yang merupakan implementasi dari konsep-konsep pembebasan. Dalam konteks ini, sosok Asghar Ali Engineer (1939-2013) perlu mendapat perhatian serius bagi dunia akademik. Ia merupakan avand garde intelektual muslim yang berasal dari Bombay, India, yang serius mengampanyekan sekaligus membumikan Teologi Pembebasan.
More Related Content
Similar to KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
Elemen dan Model Media Massa - Koran SINDOAmalia Pranata
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1) Surat kabar Seputar Indonesia memiliki peran sebagai penyeimbang dan kontrol terhadap pemerintahan serta menyajikan berita secara akurat dan tidak memihak.
2) Dokumen ini menjelaskan profil perusahaan dan tim redaksi Seputar Indonesia serta elemen-elemen komunikasi massa yang terkandung di dalamnya seperti komunikator, isi, audiens, umpan balik, dan gate
Prosiding lengkap seminar pemberdayaan masyarakat 2014STISIPWIDURI
Dr. Edy Siswoyo
11.00-12.30 SESI I:
- Dr. Prudensius Maring, MA.
- Dr. Edy Siswoyo, MA.
- Prof. Dr. Robert MZ Lawang.
Moderator: Dr. Retor AW Kaligis
12.30-14.00 Istirahat dan Sholat Zuhur
14.00-15.30 SESI II:
- Dra. MS Dwiyantari, M.Si.
- Flores Mayaut, S.Sos.
- Hastin Trustisari, M.Si.
Moderator: Dr
Ringkasan: Kang Hendra adalah tokoh masyarakat yang aktif dalam kegiatan sosial dan pelestarian budaya di Kabupaten Sumedang. Beliau memiliki banyak pengalaman organisasi dan pernah mendapat penghargaan sebagai aktivis sosial. Beliau berpandangan bahwa budaya dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, namun saat ini budaya sering dianggap sebagai bumbu semata. Oleh karena itu, diperlukan upaya pelest
Analisa Komunikasi Massa "Jika Aku Menjadi" Trans TVAmalia Pranata
Acara televisi "Jika Aku Menjadi..." yang ditayangkan di Trans TV memiliki berbagai fungsi komunikasi massa seperti informasi, hiburan, persuasi, kohesi sosial, dan pengawasan. Acara reality show ini menampilkan sukarelawan dari kalangan atas yang tinggal bersama keluarga miskin untuk memberikan pesan sosial kepada penonton. Analisis menggunakan teori uses and gratification menunjukkan bahwa penonton memilih acara ini untuk memenuhi
Dokumen tersebut membahas tentang pers Pancasila di Indonesia, termasuk definisi, fungsi, peranan, ciri-ciri, bentuk penyalahgunaan, dampak penyalahgunaan, dan perkembangannya. Secara ringkas, pers di Indonesia berkembang sejalan dengan filsafat politik yang diadopsi pada setiap zamannya, dan bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat secara proporsional dan berimbang.
Media Online dan Inspiring Journalism yang akan dipresentasikan di kegiatan Cipasung Journalism Camp yang akan diselenggarakan di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pada 6 sampai 8 Juli 2011.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Literasi informasi dan media membahas pentingnya keterampilan mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara bertanggung jawab dari berbagai sumber media.
Pengaruh Internet Terhadap Penduduk Pedesaanwhitecross
Internet memiliki pengaruh besar terhadap penduduk pedesaan di berbagai aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya. Internet dapat meningkatkan status sosial dan jaringan sosial penduduk pedesaan, memberikan informasi ekonomi untuk meningkatkan perekonomian, serta sarana belajar dan berinteraksi dengan pemerintah.
Teori Komunikasi Dua Langkah menjelaskan proses penyebaran pesan melalui dua tahap, yakni tahap komunikasi massa dan komunikasi antarpersonal. Jokowi dianggap sebagai opinion leader karena memiliki status sosial dan pendidikan tinggi, serta mampu mempengaruhi sikap pengikutnya. Teori ini memberikan penjelasan bagaimana proses penyebaran informasi melalui pemimpin pendapat di masyarakat.
Setiap langkah yang kita tempuh dan setiap keputusan yang kita ambil senantiasa diawali dengan pertanyaan:“Mengapa?”
Para filosof menjelaskan bahwa “mengapa” termasuk salah satu dari tiga pertanyaan mendasar tentang sesuatu. Ketiga pertanyaan tersebut adalah “mengapa”, “adakah” dan “apakah”.
Oleh sebab itu, untuk setiap pengetahuan yang akan kita geluti, kita mesti mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: Mengapa kita harus mempelajari pengetahuan tersebut? Kekurangan apakah yang akan saya dapatkan jika saya tidak mempelajarinya?
Segenap pertanyaan itu akan memberikan motivasi dalam menimba suatu pengetahuan, bukan sekedar mencari “ijazah”. Mereka yang mencari ilmu dengan penuh gairah dan kecintaan tidak akan pernah bosan dan tidak akan meninggalkannya, karena ia memasuki pengetahuan tersebut dengan penuh kesadaran. Berdasarkan hal ini, untuk memulai mempelajari filsafat kita juga harus mempertanyakan: Apakah filsafat itu? Mengapa kita harus mempelajarinya?Apa ruginya jika kita tidak mempelajarinya?
Teologi Ini tidak hanya membicarakan kewajiban-kewajiban ritual serta janji-janji eskatologis bagi pemeluknya, tetapi lebih dari itu, bagaimana teologi mampu membebaskan pemeluknya dari segala macam bentuk penindasan, seperti eksploitasi, hegemoni penguasa, ketidakadilan serta ketimpangan-ketimpangan social. Pada titik ini, tentu saja berbeda dengan domain teologi klasik tradisional yang masih sibuk memperbincangkan persoalan-persoalan klasik-dogmatik tanpa peduli dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Di sinilah makna “pembebasan” yang berarti “memanusiakan manusia” menemukan momentumnya. Dengan kata lain, kesejahteraan dan keadilan untuk manusia menjadi skala prioritas dari teologi pembebasan. Teologi pembebasan tidak hanya berhenti pada tataran teoretis atau sibuk dengan dialektika ide-ide pembebasan, tetapi sudah memasuki ranah praktis yang merupakan implementasi dari konsep-konsep pembebasan. Dalam konteks ini, sosok Asghar Ali Engineer (1939-2013) perlu mendapat perhatian serius bagi dunia akademik. Ia merupakan avand garde intelektual muslim yang berasal dari Bombay, India, yang serius mengampanyekan sekaligus membumikan Teologi Pembebasan.
Tidak diragukan lagi, Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang paling mulia dalam Islam. Bahkan di dalam Al-Quran, Allah sendiri memuji beliau sebagai manusia paripurna dengan budi pekerti yang sangat agung: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak mulia.” [Q.S. 68:4]. Selain itu, ditegaskan juga dalam Al-Quran bahwa diutusnya Muhammad saw. sebagai Nabi tak lain adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil al-alamin) [Q.S. 21:107]. Dalam mengemban tugas berat ini dan dalam menyebarkan risalah Allah yang suci, beliau tidak meminta imbalan apa pun dari umatnya, selain kecintaan kepada keluarga beliau, Ahlul Bait Nabi saw. Allah SWT berfirman: “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak meminta imbalan apa pun atas seruanku ini selain kecintaan kepada keluargaku.” [Q.S. 42:23].
Kaum muslim wajib mencintai Rasulullah saw. dan Ahlul Baitnya, karena kecintaan ini akan mengantar mereka kepada Al-Quran, sebagaimana pesan Nabi saw., “Sesungguhnya aku tinggalkan dua hal yang sangat penting dan berharga (ats-tsaqalain) bagi kalian: Kitab Allah (Ql-Quran) dan keluarga (‘itrah)-ku, Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga kembali kepadaku di telaga surge (al-haudh).” [H.R. al-Hakim dalam al-Mustadrak]
Buku ini memaparkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan Nabi dan Ahlul Bait-nya di sisi Allah, serta menunjukkan bagaimana semestinya kaum Muslim memposisikan mereka dalam agama Islam. Karena jarangnya buku semacam ini dalam bahasa Indonesia, ia menjadi penting untuk dimiliki oleh siapa saja yang ingin memperdalam pengetahuan agama dan mempertebal kecintaan kepada Rasulullah dan Ahlul Bait-nya.
Apakah wajib hukumnya sujud di atas tanah? Seperti tanah itu sendiri, kerikil, batu, pasir, dan apa-apa yang tumbuh dari dalam bumi yang tidak dimakan ataupun dipakai? Ataukah boleh sujud selain di atas tanah? Seperti permadani (termasuk karpet, sajadah), baju yang terbuat dari nilon, wol, kapas dan lain-lain? Inilah inti pennasalahannya, dan buku ini berusaha untuk menjawabnya da1am pandangan Al-Qur'an dan sunnah RasuI saw.
Dokumen tersebut membahas tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak untuk membangun masa depan yang lebih baik. Pendidikan dapat membantu anak-anak mengembangkan potensi mereka dan menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat. Orang tua perlu mendukung pendidikan anak-anak agar mereka dapat meraih kesuksesan.
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...primagraphology consulting
Buku ini berisi esai-esai yang mendokumentasikan pengalaman para korban 1965 melalui wawancara sejarah lisan. Esai-esai ini mencakup pengalaman penangkapan, penahanan, dan pembunuhan yang dialami para korban setelah Gerakan 30 September 1965, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Buku ini bertujuan untuk merekam dan memahami pengalaman para korban rezim Orde Baru.
Buku ini merupakan kumpulan esai para pemenang dan finalis Sayembara Penulisan Esai Ahmad Wahib Award tahun 2010 dan 2008. Buku ini berisi esai-esai yang membahas pemikiran dan kiprah Ahmad Wahib dalam mendorong pembaharuan Islam di Indonesia.
Buku ini membahas strategi untuk meraih kesuksesan dalam karier dan bisnis. Faktor-faktor penting yang dijelaskan antara lain karakter positif dan pergaulan yang kondusif dengan orang-orang sukses. Namun, seringkali orang yang sudah berhasil cenderung hanya bergaul dengan yang sejenis, sehingga mempersulit mereka yang belum berhasil untuk meraih kesuksesan. Buku ini berisi contoh-contoh strategi kesukses
Dokumen tersebut membahas tentang legasi Soeharto yang tak berujung setelah kematiannya. Proses sentralisasi kekuasaan yang dilakukan Soeharto selama masa pemerintahannya yang panjang menyebabkan dirinya dianggap sebagai titik pusat kekuasaan negara. Hal ini menyebabkan pengaruh dan warisan politiknya masih terasa hingga saat ini, bahkan setelah kematiannya.
Pemerintah mengumumkan paket stimulus ekonomi baru untuk menyelamatkan bisnis dan pekerjaan. Stimulus ini meliputi insentif pajak, bantuan langsung untuk UMKM, serta subsidi upah bagi perusahaan yang menahan PHK. Langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kembali dan menekan angka pengangguran.
The document discusses the benefits of exercise for mental health. It states that regular exercise can help reduce anxiety and depression and improve mood and cognitive function. Exercise causes chemical changes in the brain that may help alleviate symptoms of mental illness.
The document discusses the benefits of exercise for mental health. Regular physical activity can help reduce anxiety and depression and improve mood and cognitive functioning. Exercise has also been shown to increase gray matter volume in the brain and reduce risks for conditions like Alzheimer's and dementia.
1. Dokumen tersebut merangkum singkat tentang kehidupan dan perjuangan Imam Husain as, cucu Nabi Muhammad saw.
2. Imam Husain as tumbuh dalam keluarga yang suci dan mendapat pendidikan langsung dari kakeknya Nabi Muhammad saw.
3. Beliau berjuang melawan kezaliman dan penyimpangan kepemimpinan Bani Umayyah hingga akhirnya syahid di Karbala dalam perjuangan merevolusi kepemimpinan
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 Fase F Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka - abdiera.com, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka, Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 11 SMA/MA Fase F Kurikulum Merdeka
2. Ketika Ibu Rumah Tangga
Membaca Televisi
Pengantar: Lukas S. Ispandriarno
Penulis:
Josep J. Darmawan, Lusi Margiyani, Mario Antonius Birowo,
Masduki, MC Ninik Sri Rejeki, Moch. Faried Cahyana,
Y. Bambang Wiratmojo, Muzayin Nazaruddin,
Yudi Perbawaningsih, Yossy Suparyo
P
D. Danarka Sasangka
Darmanto
3. 2 PENGANTAR
K I R T M T
P
Josep J. Darmawan, Mario Antonius Birowo, MC Ninik Sri Rejeki, Y. Bambang
Wiratmojo Yudi Perbawaningsih, Y. Bambang Wiratmojo, Lusi Margiyani,
Masduki, Moch Faried Cahyono, Muzayin Nazaruddin, Yossy Suparyo
P : D. Danarka Sasangka dan Darmanto
T L : Cahyo Purnomo Edi
D S : Jr. Wahyu
Cetakan I, Januari 2010
D
Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta
Jl. Kemakmuran No. 2 Jogjakarta 55222 atas dukungan Yayasan TIFA
Website MPM : www.pedulimedia.or.id
Email : mpm_jogja@yahoo.com
D
Ikreasi Publishing Jogjakarta, Joho RT 03 Jambi dan Banguntapan Bantul
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
D
atau sebagian isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Dicetak oleh Ikreasi
Isi di luar tanggung jawab Percertakan
ISBN 9799798388
4. DAFTAR ISI
P 5
L M S G K
S T B 9
BAGIAN I
KAjIAN TeoReTIK
nLiterasi Media: Idealisasi Penguatan Publik atas Media 17
nUrgensi Literasi Media pada Pertelevisian Indonesia 44
nLiterasi Media dan Tayangan Televisi dalam
Lingkup Kajian Makro-Mikro 59
BAGIAN II
PeNGALAMAN TeRBAIK BeST PRACTICeS
nK I L M M T
nPengalaman Ibu-ibu Babarsari Membaca Televisi 97
nIbu-ibu Rumah Tangga di Terban Membaca Televisi 113
nIbu-Ibu PKK Muja-Muju Membaca Televisi 131
nBebaskan Anak dari Jerat Sihir Kotak Ajaib:
P T I T
BAGIAN III
eVALUASI KeGIATAN LITeRASI MeDIA TeLeVISI
nE P P L M
Pada Kaum Ibu Di Perkotaan 157
nT F
nEpilog: Dari “Masyarakat” ke “Massa Rakyat” Peduli Media
(Catatan Untuk Kiprah MPM dan Literasi Media) 189
nBiodata Penulis 201
6. 5KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
P
Lukas S. Ispandriarno
APAKAHALASAN mengajakparaiburumahtanggamenjadipeserta
pelatihan melek media (media literacy)? Apakah karena mereka
merupakan kelompok yang paling mudah dibujuk-rayu televisi?
Apakah karena para ibu tumah tangga dinilai sebagai pecandu
(heavy viewer) sinetron? Ataukah, karena kedudukan mereka seba-
gai kaum perempuan yang kerap ditempatkan sebagai objek pen-
dulang keuntungan bisnis industri media?
Perempuan memang seringkali menjadi korban media, dalam
hal ini televisi. Dalam program sinetron, sosok perempuan senan-
tiasa diposisikan secara stereotype, misalnya, mereka sering digam-
barkan sebagai tokoh yang berkarakter galak, suka membentak,
dan suka memukul. Pada saat lain, mereka dilukiskan sebagai so-
sok yang mudah menangis. Marjinalisasi perempuan pun tampak
dalam iklan, seperti dilukiskan Kasiyan di bukunya yang berjudul
Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan (2008)
Ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Pendidikan Kesejah-
teraan Keluarga (PKK) dipilih dengan pertimbangan utama karena
7. 6 PENGANTAR
mereka memiliki apa yang disebut sebagai kepedulian. Mengikuti
pendapat Giligan (dalam Magnis-Suseno, 2005), kepedulian pada
orang lain adalah unsur-unsur moral khas perempuan. Kepedulian
ini secara konkret berdasarkan empati, kebaikan hati atau belas ka-
sihan. Pandangan Giligan merupakan kritik kepada Kohlberg, yang
memakai tolok ukur kemajuan moral sebagai pencapaian sikap
moral yang berorientasi pada prinsip abstrak keadilan dan menem-
patkan kepedulian sebagai tahap sementara yang perlu dilengkapi
dengan wawasan keadilan yang berprinsip. Berbeda dengan kepe-
dulian, konsepsi(etika)keadilan menggendongsejumlah kata kunci
seperti ”hak”, ”kewajiban”, ”kontrak”, fairness, ”ketimbalbalikan”,
dan”otonomi”.
Etika kepedulian (ethics of care) bersifat kontekstual dan situasi-
onal, serta berfokus pada orang konkret dan kebutuhannya. Orang
dilihat dalam rangka suatu hubungan personal dan sosial, dengan
hubungan-hubungan kesalingtergantungan dan keterlibatan emo-
sional (Magnis-Suseno, 2005: 238). Lebih lanjut dikatakan Magnis-
Suseno bahwa sikap-sikap yang ditegaskan adalah peduli pada
sesama, empati, hubungan konkret antar-orang daripada sistem-
sistem peraturan. Orang dilihat dalam ketertanaman dalam sebuah
konteks sosial tertentu dan bukan sebagai sebatang kara, people
standing alone.
Filoso i itulah yang mendasari Masyarakat Peduli Media MPM
untuk memilih para ibu di sejumlah kampung di Yogyakarta sebagai
sejawat dalam pelatihan melek media ini. Di tengah kesibukan me-
reka sebagai ibu rumah tangga dan anggota masyarakat, mereka
masih peduli terhadap kegiatan ini. Meski mereka seringkali dire-
potkan oleh anak-anak yang juga menjadi korban media. Para
ibu tentu peduli kepada sesama kaum perempuan. Merekalah ke-
lompok yang potensial dan strategis dalam menyiasati pengaruh
keperkasaan industri media. Dengan pelatihan ini diharapkan
pengetahuan mereka semakin bertambah sehingga dapat bersama
masyarakat sipil (civil society) lain menggerakkan habitus baru,
menonton televisi dengan kritis.
Guna memperluas cakupan gerakan habitus baru dalam menon-
ton televisi secara kritis tersebut, MPM berupaya menyajikan
8. 7KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
berbagai pelajaran berharga yang diperoleh dari kegiatan literasi
media pada paruh kedua tahun 2009 dalam bentuk buku agar mu-
dah diakses oleh banyak pihak. Untuk memperluas pengetahuan,
buku ini tidak hanya memuat hal-hal yang diperoleh di lapangan,
tetapi juga dari artikel yang sifatnya teoritis.
Penerbitan buku ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan
darirangkaianprogramkegiatanliterasimediatelevisibagiparaibu
rumah tangga yang diselenggarakan oleh Masyarakat Peduli Media
(MPM) dengan dukungan dana dari Yayasan Tifa. Oleh karena itu,
kami ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang
telah berpartisipasi dalam kegiatan ini berupa ucapan terima kasih.
Penghargaan tersebut kami sampaikan kepada:
ParaiburumahtanggadiDusunLodadi,Umbulmartani,Ngemplak
danDusunSalam,Wukirsari,Cangkringan,DusunGatakIITamantirto,
Kampung Tambakbayan, Babarsari, Muja-muju, Umbulharjo, dan
Terban, Yogyakarta. Terimakasih atas kesediaan dan kerelaan ibu-
ibu meluangkan waktu untuk terlibat belajar bersama MPM. Tanpa
kesediaan mereka, buku ini tidak akan terwujud.
Pihak Pemerintah Desa/Kelurahan, Dusun, RW, RT di wilayah
Lodadi, Umbulmartani, Ngemplak, wilayah Salam, Wukirsari,
Cangkringan,dan Tambakbayan,Babarsari;ketiganyadiKabupaten
Sleman; Pemerintahan Desa Tamantirto, Bantul; Kelurahan Terban
dan Muja Muju Kota Yogyakarta. Fasilitasi yang diberikan dalam
bentuk izin dan dukungan moral lainnya telah memungkinkan ke-
giatan literasi media dapat berjalan lancar.
Peserta Penyusunan Tools Literasi Media, antara lain Zein
Mufarrih Muktaf (UMY), Sahrul Aksa (STPMD ”APMD”), Herlita
Jayadianti (ECCD-RC), I Gusti Ngurah Putra (UGM dan KIPD DIY),
Cicilia Maharani (Yayasan Kampung Halaman), Yossy Suparyo
(CRI), Atinna Risqiana (Yayasan Kampung Halaman), Mario Anton
Birowo (UAJY), Muzayin Nazaruddin (UII), Istu Gutari (Ibu Rumah
Tangga, jurnalis RRI), C. Asri Budiningsih (KTP, FIP UNY), Wardiyah
(Majelis Dikdasmen PWA Aisiyah DIY), Arif Wibawa (UPN), Lusi
Margiyani (LSPPA), Anastasia Onik Kartikasari (Humas Wanita
Katolik RI DPD DIY), Moch. Faried Cahyono (Dewan Pendiri MPM),
dan Yossy Suparyo (CRI).
9. 8 PENGANTAR
Fasilitator dan narasumber Penyusunan Tools Literasi Media,
yaitu Dan Satriana (Bandung), Bobi Guntarto (Yayasan Pengembang-
an Media Anak, Jakarta), Bekti Nugroho (Dewan Pers), dan Satria
Arismunandar (Trans TV); serta fasilitator TOT Mukhotib MD.
Para fasilitator yang berasal dari lima Perguruan Tinggi mitra,
yaitu Asih Apriliani, Hamim Thohari, Ponang Limpad, Ceacilia Novi,
Unigani, Johan Nasruddin Firdaus, Ruben Panieon, Mariana Syari
Pertiwi, Andika Ananda, G. Agung Bayu Kurniawan, Jetrani Reza
Dias, Bertha Simin, Anastasia Catur Emma Febriatiningsih, Sinta
Dewi Mustikawati, Dominus Tomy Waskito, Willibordus Tatag
Hastungkoro, Erny Mardhani, Meiliana Mahera Maharani, Ahmad
Sa iaji dan Ricky Riadi Iskandar
Para penulis artikel, lay outer (Wahyu), pelaksana produksi
(Saiful Bakhtiar), dan distributor buku ini, yang dengan talenta
masing-masing telah memberikan sumbangan besar bagi terdoku-
mentasikannya kegiatan literasi media televisi bagi Ibu-ibu dalam
bentuk buku.
Tim kerja yang menjadi tulang punggung MPM, tetapi tidak
sempat terlibat langsung dalam penulisan buku ini, yaitu Budhi
Hermanto dan Widodo Iman Kurniadi. Ketekunan dan kegigihan
keduanya dalam mengejar-ngejar anggota Tim yang lain membuat
semua program kegiatan literasi media televisi yang diselenggara-
kan oleh MPM bisa selesai tepat pada waktunya.
Penghargaan yang tinggi juga kami sampaikan kepada Yayasan
Tifa yang telah memberikan kepercayaan kepada MPM dalam
bentuk dukungan dana. Dukungan itu memungkinkan MPM dapat
menyelenggarakan kegiatan literasi media telelvisi bagi ibu-ibu
rumah tangga berbasis PKK. Semoga kerjasama seperti ini dapat
terus berlangsung sehingga program yang telah dirintis dapat
berkelanjutan.
Kami menyadari bahwa penebitan buku ini masih memiliki
sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, kami senantiasa membuka
diri untuk menerima kritik dan saran demi perbaikan. Kami ber-
harap, pada saatnya nanti, buku ini dapat dicetak ulang untuk me-
menuhi kebutuhan masyarakat luas.
10. 9KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
SELAMA SATU dekade terakhir, literasi media tampaknya telah
menjadi gerakan kultural yang kian populer di negeri ini. Sebagai
sebuah gerakan kultural, keberadaan literasi media bisa juga dibaca
sebagai antitesis dari berbagai usaha reaktif berbasis pendekatan
struktural yang kerap dipakai dan diwacanakan setiap kali negeri ini
dihadapkan pada ceceran persoalan akibat disfungsi media.
Kalau kita lacak, dasar pendekatan struktural sendiri adalah
paradigma klasik dalam kajian komunikasi massa yang menem-
patkan media dan khalayak dalam oposisi biner dengan relasi
kuasa yang secara diametral memiliki perbedaan sangat tajam.
Media ditempatkan secara diametral sebagai pihak aktif yang be-
gitu berkuasa dan sebaliknya khalayak sebagai pihak yang lemah
dan pasif. Pengandaian tentang khalayak yang lemah dan harus
dilindungi inilah yang hampir selalu direproduksi sebagai argu-
mentasi untuk melegitimasi munculnya sejumlah regulasi represif
yang dianggap akan mampu menertibkan media massa. Dalam
L M S
G K
S T B )
D. Danarka Sasangka
11. 10 LITERASI MEDIA SEBAGAI SEBUAH GERAKAN KULTURAL
kenyataannya, pengandaian ini tidak cukup produktif menjawab
kompleksitas persoalan terkait dengan disfungsi media. Paranoia
yang terlalu besar terhadap kekuatan media justru lebih sering
berakhir pada bentuk-bentuk otoritarianisme yang berimplikasi
pada tertutupnya kemungkinan terwujudnya relasi ideal antara
media dan khalayak.
Sebaliknya pendekatan kultural sendiri membangun basis
argumentasinya dari pengandaian bahwa publik adalah khalayak
ludic yang secara dinamis dan kreatif akan selalu melibatkan kom-
petensi dan referensi kultural mereka ketika mencerna konstruksi
realitas yang ditawarkan media tersebut. Dengan demikian makna
di balik teks media dalam pendekatan kultural ini bukanlah makna
tunggal yang sudah selesai, tetapi akan selalu bersifat polisemik.
(Chris Barker, 1999:110).
Sejalan dengan gagasan tentang khalayak aktif ini, secara seder-
hanaStuartHall pernahmembuattigakategorikemungkinanresepsi
publik atas televisi yang merepresentasikan sifat ludic di atas (1981).
Pertama, resepsi yang bersifat dominant-hegemonic, yaitu ketika
publik cenderung mengikuti dan mengamini begitu saja konstruksi
yang ditawarkan media. Kedua, resepsi yang bersifat negosiated yang
terjadimanakalapublikbersifatskeptisterhadaptawarankonstruksi
media. Sedangkan yang ketiga adalah oppositional yang terjadi ketika
publik memberikan penolakan atau bahkan perlawanan terhadap
konstruksi atas realitas yang ditampilkan media.
Terkait dengan tiga kategori resepsi yang disodorkan Hall di
atas, dengan demikian dapat dikatakan bahwa potensi kultural
yang dimiliki oleh publik ketika dihadapkan pada realitas disfungsi
media pada dasarnya terletak pada kemungkinan untuk melakukan
negosiasi, penolakan atau bahkan perlawanan terhadap tampilan
konstruksi yang ditawarkan media.
Walaupun demikian, kreativitas dan kekhasan proses resepsi
publik atas tampilan konstruksi media sangatlah tergantung dan
dipengaruhi oleh kekhasan preferensi nilai yang dimiliki oleh tiap
orang Seperti yang digambarkan oleh Dieter Baacke de initif tidak
nyapotensipublikdalammelakukannegosiasimaupunperlawanan
atau sebaliknya mengamini konstruksi disfungsional media pada
12. 11KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
dasarnya akan ditentukan tinggi rendahnya media consciousness
(kesadaran bermedia) sebagai bagian dari preferensi kultural yang
mereka miliki. (1996:112-124)
Secara umum, kesadaran bermedia dalam gagasan Baacke di
atas mencakup dua wilayah besar. Masing-masing adalah kesadaran
di tingkat etis-analitis dan kesadaran di tingkat teknis-prosedural.
Kesadaran etis-analitis sendiri terkait erat dengan kemampuan
publik untuk mengevaluasi secara kritis kelayakan sebuah
konstruksi wacana yang ditawarkan media dengan mendasarkan
pada nilai-nilai normatif yang berlaku serta pertimbangan-pertim-
bangan social cost bene it atas implikasi sosial yang secara potensial
akan muncul sebagai akibat dari konstruksi tersebut. Sedangkan
kesadaran teknis-prosedural sendiri menyangkut pengetahuan
publik atas hak dan tanggung jawab mereka maupun media sendiri
dalam menciptakan atmosfer kehidupan bermedia yang sehat. Ter-
masuk di dalamnya adalah pengetahuan tentang prosedur teknis
yang secara legal dibenarkan dan dapat ditempuh ketika terjadi
kon lik kepentingan dengan media Dua wilayah kesadaran inilah
barangkali yang cukup relevan untuk diaktivasi dan diberdayakan
melalui gerakan literasi media dalam konteks realitas bermedia
kontemporer terutama untuk mengaktualkan sifat ludic khalayak.
Berangkat dari optimisme yang sama atas potensi kultural pub-
lik sebagai khalayak yang secara ludic mencerna kontruksi realitas
media serta orientasi untuk memberdayakan kesadaran bermedia,
gerakan literasi media yang difasilitasi oleh MPM (Masyarakat
Peduli Media) dan beberapa perguruan tinggi di DIY (UAJY, UII,
UMY, UPN, dan STPMD) ini diselenggarakan bagi para ibu rumah
tangga.
Optimisme tersebut secara khusus telah mendapatkan landas-
an empirisnya. Dari hasil-hassil evaluasi sederhana yang dilaku-
kan melalui rangkaian pre-tes sebelum pelatihan literasi media
dilaksanakan, potensi ludic seperti tersebut diatas terepresentasi-
kan dari tingkat pemahaman para ibu rumah tangga di daerah dam-
pingandalammengidenti ikasirealitasmediasebagairealitasrekaan
Usaha fasilitasi ini tentu saja diproyeksikan sebagai usaha untuk
mengajak para ibu rumah tangga agar terus menerus menempatkan
13. 12 LITERASI MEDIA SEBAGAI SEBUAH GERAKAN KULTURAL
konstruksi realitas media bukan sebagai sebuah konstruksi yang
telah selesai, tetapi merupakan sebuah konstruksi terbuka yang
harus senantiasa dikritisi dan diuji kebenarannya sehingga dapat
dipertanggungjawabkan. Ibu rumah tangga dalam hal ini menjadi
sasaran utama usaha fasilitasi tersebut dengan memertimbangkan
dua aspek utama. Pertama, pemilihan ibu rumah tangga sendiri
setidaknya dapat dibaca sebagai usaha untuk menggarisbawahi ke-
prihatinan terhadap kecenderungan media massa dewasa ini dalam
memantapkanbentuk-bentuk symbolicannihilisationterhadapkaum
perempuan melalui konstruksi yang sarat dengan nuansa seksisme.
Kedua, tanpa mengkerutkan peran para ibu rumah tangga semata-
mata sebagai peran domestic, pemilihan terhadap ibu rumah tangga
sebagai sasaran utama terkait dengan posisi strategis mereka dalam
“menularkan” kesadaran media kepada keluarganya terutama anak-
anak. Dalam hal ini, barangkali adagium “mendidik ibu-ibu sama
artinya mendidik dua generasi sekaligus” cukup tepat dipakai untuk
menggambarkan alasan kedua ini.
Terkait dengan penyelenggaraan usaha fasilitasi tersebut, buku
ini disusun sebagai eksposisi pengalaman yang mungkin bisa diba-
gikan untuk memerkaya gerakan literasi media sejenis di masa
yang akan datang. Secara umum terdapat tiga bagian besar dalam
buku ini.
Pada bagian pertama yang ditujukan sebagai perlintasan dan
pendasaran teoretik tentang idealisasi gerakan literasi media
terdapat tiga tulisan. Tulisan pertama bertajuk Literasi Media:
Idealisasi Penguatan Publik atas Media oleh Josep J. Darmawan
mencoba mengajak pembaca untuk menempatkan literasi media
sebagai gerakan yang menawarkan resolusi agar publik mampu
membebaskan diri dari kooptasi media yang beroperasi secara he-
gemonik. Melanjutkan gagasan yang dikemukakan dalam tulisan
sebelumnya, tulisan kedua bertajuk Urgensi Media Literacy pada
Pertelevisian Indonesia oleh Y. Bambang Wiratmojo mencoba
menyodorkan sejumlah fakta bagaimana televisi sebagai sebuah
industri kebudayaan yang menghamba pada rating menjalankan
proses produksinya melalui budaya “kejar tayang” atau budaya
instant yang mengabaikan estetika seni serta norma kehidupan
14. 13KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
bermasyarakat. Sekali lagi urgensi literasi media mendapatkan lan-
dasan empirisnya. Sementara itu, pada tulisan ketiga yang bertajuk
Literasi Media dan tayangan Televisi dalam Lingkup Kajian Makro-
Mikro, Ninik Sri Rejeki menekankan perlunya pengayaan perspektif
yangmencakuppendekatanmakro-mikrodalamkurikulumedukasi
media. Masing-masing adalah kajian budaya dan ekonomi politik
media.
Sedangkan pada bagian kedua buku ini, terdiri dari lima tulisan
yang masing-masing merupakan eksposisi best practises penyeleng-
garaan pendampingan literasi media bagi ibu-ibu rumah tangga di
lima lokasi. Kelima lokasi tersebut adalah Babarsari yang difasilitasi
oleh Tim Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Muja-Muju, Timoho yang
difasilitasi oleh Tim STPMD ”AMPD”, Terban yang difasilitasi oleh
Tim dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Lodadi dan
Wukirsari, Cangkringan yang difasilitasi oleh Tim Universitas Islam
Indonesia, dan Tamantirto yang difasilitasi oleh Tim dari Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam eksposisi yang mengemuka dalam kelima laporan best
practises ini, tergambar keragaman latar sosio kultural para ibu ru-
mah tangga yang akhirnya akan memengaruhi bagaimana mereka
mencerna konstruksi realitas yang ditawarkan oleh berbagai sta-
siun televisi. Meskipun demikian, jelas terbaca di dalam laporan ter-
sebut bahwa para ibu telah memiliki basis skeptisme yang menjadi
embrio dari sikap kritis terhadap konstruksi realitas media. Hal ini
sekaligus menegaskan keberadaan publik sebagai khalayak yang
ludic seperti yang digagaskan oleh kalangan kulturalis. Pada bagian
ini pula dikemukakan tantangan yang harus dihadapi oleh para
fasilitator pada setiap tahap penyelenggaraan pendampingan lite-
rasi media di lima lokasi di atas.
Terkait dengan penyelenggaraan pendampingan literasi media
tersebut, salah satu bagian yang juga dilakukan adalah melakukan
evaluasi atas efektivitas program ini. Evaluasi dilakukan melalui
survei kepada para ibu rumah tangga yang menjadi partisipan
pendampingan. Hasil survei inilah yang kemudian dianalisis dan
dirangkum oleh Yudi Perbawaningsih dalam tulisan berjudul
Efektivitas Program Pelatihan Media Literacy pada Kaum Ibu di
15. 14 LITERASI MEDIA SEBAGAI SEBUAH GERAKAN KULTURAL
Perkotaan. Temuan menarik dari survei tersebut adalah bahwa
program literasi media ini hanya efektif untuk membentuk atau
mengubah kognisi seseorang tetapi tidak pada sikap atau perilaku.
Dalam análisis sang penulis, hal ini dapat terjadi barangkali karena
target peserta adalah orang-orang dewasa yang cenderung sudah
memiliki pola pikir, sikap atau perilaku yang permanen.
Demikian tiga bagian besar dari buku ini yang disusun seba-
gai eksposisi atas pengalaman pendampingan literasi media di
kalangan ibu rumah tangga di daerah perkotaan. Tentu saja ekspo-
sisi pengalaman ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dan me-
merkaya khasanah tentang usaha mewujudkan media citizenry
yang lebih mencerdaskan.
18. 17KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
Josep J. Darmawan
L M I P
P M
Prolog
MeDIa MaSSa modern adalah fenomena yang penuh dengan hi-
ruk pikuk aktivitas produksi informasi secara masif yang sangat
ditentukan oleh penggunaan inovasi lanjut teknologi komunikasi
dan informasi. Kuantitas informasi yang dihasilkan sedemikian be-
sar sehingga memanjakan publik yang seolah-olah difasilitasi untuk
memperoleh pengetahuan tentang kondisi lingkungannya. Dari satu
sisi, media diakui telah mewujudkan fungsinya bagi kepentingan
publik. Namun dari sisi lain, limpahan produk media justru dinilai
potensial untuk menyesatkan publik. Penyesatan ini barangkali bu-
kan sebagai motif yang disengaja oleh media. Tetapi cara kerjanya
amat menggiring publik ke tubir tersebut, lebih lagi ketika terjadi ke-
kurangakuratan atau bahkan kekeliruan menafsirkan makna muatan
media yang kesemuanya berupa produk simbolik. Masalah men-
jadi muncul ketika media terlalu diyakini sebagai agen perubahan
dimana produk-produknya diterima, ditindaklanjuti dan dirujuk
19. 18 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
secara taken-for-granted. Kondisi inilah yang kerap menyulut perse-
lisihan antara pemahaman atas realitas sosial (yang langsung men-
jadi pengalaman dan dirasakan melalui keseharian) dengan realitas
media (yang fragmented, virtual, dan hanya ada di media). Keber-
langsungan kehidupan publik yang memiliki nilai-nilai orisinil-oten-
tik kemudian menjadi pertaruhan dengan semakin dominannya me-
dia dan menurunnya daya publik dalam menyikapinya.
Literasimediamunculsebagaigerakanuntukmengundangreso-
lusi atas keadaan tersebut. Publik diandaikan memiliki kesadaran
dan kemampuan dalam mengendalikan penggunaan media bagi
kehidupannya, untuk tak lagi bergantung dan hanya mengandalkan
perubahan melalui upaya media, atau pada segenap peraturan
yang dibuat untuk mengawal kerja media. Visi ini diandaikan dapat
memberdayakan publik dalam mengarahkan kehidupannya ke
arah yang lebih ‘sehat’ dan tidak semata-mata dikondisikan lewat
hegemoni media.
Gagasan literasi media (di Indonesia) boleh dikatakan baru me-
rebak dalam dekade 2000an, meski sebenarnya sudah menjadi wa-
cana global sejak dekade 80-an. Hal ini karena sejak dekade 2000-
an itu pula hiruk pikuk media telah mengisi kesibukan kehidupan
publik Indonesia sebagai ekses dari implementasi visi kebebasan
yang diperjuangkan melalui reformasi. Meski semangat literasi me-
dia merupakan concern yang diintrodusir secara global, ia perlu di-
pahami secara kontekstual. Ini sebagai upaya untuk mendaratkan
pengertiannya dan mendekatkan urgensinya secara aktual sesuai
kondisi dan karakter yang menandai perkembangan sosio-kultural
publik sebagai pihak yang diperjuangkan dalam gagasan itu.
Ekses Demokratisasi
Reformasi adalah periode yang patut ditempatkan sebagai ti-
tik berangkat untuk mengenali wajah media massa di Indonesia
pada masa kini. Sebagaimana telah banyak diketahui, reformasi
dinilai sebagai fase yang mengantarkan perubahan multiaspek
di Indonesia. Setelah mengalami tekanan hegemonik yang intens
dalam masa pemerintahan rezim Orde Baru, peristiwa perpindahan
kekuasaan dari Soeharto kepada Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie dapat
20. 19KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
disebut sebagai titik permulaan bagi proses pembaharuan (politik)
Indonesia. Peristiwa ini merupakan ekses yang muncul setelah
pada tahun 1997 Indonesia mengalami serangan krisis moneter
yang menjatuhkan kemampuan perekonomian sedemikian rupa
sehingga memunculkan gejolak-gejolak secara tajam.
Secara umum, pergolakan yang menandai terjadinya reformasi
dapat dikatakan merupakan akumulasi dari situasi ketidakpuasan,
ketidaknyamanan dan kejenuhan yang kompleks atas praktek eko-
nomi-politik pengelolaan negara, relasi antar kekuatan-kekuatan
sosial-politik, dan partisipasi publik dalam kehidupan bernegara.
Sistem yang cenderung sentralistik-otoritarian dituding sebagai se-
bab dari semua persoalan kerusakan, kebuntuan, kegagalan yang
muncul dan meningkat di semua aspek kehidupan. Ruang gerak
publik terbatas, dimana peluang dan kanal artikulasi tidak mem-
peroleh fasilitasi yang memadai.
Media massa sebagai satu institusi sosial mengalami keterba-
tasan dalam mewujudkan fungsi dan perannya secara ideal sebagai
medium informasi yang memadai, baik bagi publik maupun dari-
nya. Pemerintahan yang sangat dominan telah melakukan penga-
wasan dan pengendalian yang sangat ketat kepada media untuk
menjalankan fungsi dan perannya supaya asosiatif dengan kepen-
tingan penguasa. Beberapa praktek yang mengendalikan kinerja
media pada masa itu antara lain:
1. Semua media haruslah bersifat nasional dimana proses produksi
media dipusatkan di ibukota (bahkan peraturan pertelevisian,
yangpadaawalnyamembolehkanstasiunTVswastabersiarandari
daerah, kemudian diubah dan mengharuskannya bersiaran dari
Jakarta sebagai pusat, dan dengan demikian menjadi nasional);
2. Media hanya diperbolehkan melakukan pemberitaan yang po-
sitif mengenai pemerintah. Kritik tetap boleh dilakukan, namun
kritik haruslah disampaikan secara “konstruktif”;
3. Diterapkannya sensor yang ketat terhadap isi media, terutama
untuk produk produk ilm dan televisi
4. Adanya pembredelan yang diterapkan pada media-media
21. 20 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
yang mencoba melakukan fungsi kritik terhadap kebijakan
pemerintah;
5. “Budaya telepon” yang dialami redaksi media dari unsur
pemerintahan untuk menghalangi disebarkannya berita sensitif
mengenai kebijakan pemerintah;
6. Pemberian izin pengelolaan media-media besar, khususnya
televisi swasta, yang tampak sekali hanya diberikan kepada
kroni rezim;
7. topik-topik pemberitaan yang umumnya bersifat seremonial.
Pengendalian terhadap media semacam ini telah menempatkan
rezim pemerintah dalam posisi yang sangat kuat atas wacana publik.
Inimengakibatkaninformasiyangterkaitdengankepentinganpublik
tentang kondisi negara dan pemerintahan telah disaring sedemikian
rupa dari yang sesungguhnya nyata. Maka ketika terjadi efek domino
dari kegawatan ekonomi di Asia pada tahun 1997, misalnya, publik
secara tiba-tiba disadarkan betapa kekuatan ekonomi Indonesia
yang dibangun Orde Baru ternyata tidak tangguh untuk menghadapi
ancaman ekonomi global. Penginformasian yang sebelumnya selalu
disampaikan tentang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi segera
menjadi paradoks dan bahkan ironi yang mengundang reaksi dan
kesan sebagai suatu bentuk ketidakbenaran yang menyesatkan.
Meski fungsi dan perannya diakui telah mengalami pemandulan se-
cara sistematik, tetapi suka tak suka media turut dilihat sebagai pi-
hak yang bertanggungjawab atas terciptanya falsi ikasi tersebut
Demokrasi dan demokratisasi adalah spirit nilai yang hendak di-
menangkan melalui rangkaian peristiwa-peristiwa reformasi yang
terjadi.Konsep-konsepsepertikesetaraan,transparansi,kebebasan,
kedaulatan rakyat, good governance, menjadi terminologi impresif
yang di dalamnya terlekatkan harapan terciptanya perbaikan ke-
adaan Indonesia. Semua pengandaian dari adanya perubahan yang
sedang dimenangkan pada saat itu hanya mengarah pada hasil
bahwa keadaan di Indonesia akan menjadi lebih baik. Media yang
bebas, kebebasan media ataupun kebebasan bermedia merupakan
satu ekoran yang sentral dan penting dalam issue tersebut.
22. 21KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
Idealisme tentang media massa adalah pengandaian yang di-
normati kan pada fungsi dan perannya untuk mewujudkan negara
dan masyarakat yang kuat. Media diinginkan untuk menjadi watch
dog atas praktek pemerintah dan jalannya pemerintahan. Pada ke-
sempatan yang sama media mestilah mengungkap aspirasi publik
berkenaan dengan bene it loss yang dialami sebagai impak dari
berbagai kebijakan dalam pengelolaan negara. Media haruslah be-
kerja dengan prinsip-prinsip imparsialitas-obyektif, faktualitas
dan aktualitas sebagai etos utama dalam kinerjanya. Dan diatas se-
mua itu, media diangankan ada di posisi sentral dalam usaha me-
wujudkan perbaikan, pemberdayaan dan penguatan sosial, ekono-
mi, politik, hukum dan terutama kultural.
Namun, idealisasi terhadap fungsi dan peran media massa
semacam itu harus diakui sebagai sesuatu hal yang benar-benar
baru akan diwujudkan dengan reformasi sebagai kendaraannya.
Segera setelah perpindahan tampuk kekuasaan pada Mei 1998,
situasi Indonesia ditandai oleh meluasnya eforia; bak kuda lepas
darikekangnya.Keadaanyangberubahdrastismembuat kelompok-
kelompok dan kekuatan-kekuatan di masyarakat yang sebelumnya
teredamsepertiberebutmunculuntukmenjadipengaruh,pengarah
maupun penentu tentang bagaimana demokrasi dan demokratisasi
mestinya dipraktekkan. Kebebasan, mimpi yang diidamkan, cen-
derung benar-benar diwujudkan secara lugas, apa adanya dan se-
maunya. Sesuatu yang tak sesuai dengan kemauan rakyat, entah itu
rakyat dalam arti luas maupun sempit, cenderung langsung men-
dapatkan respon yang reaktif. Media banyak menjadi sasaran dari
maksud-maksud tersebut, entah menjadi alat yang dipaksa untuk
menyuarakan aspirasi rakyat dengan cara mendudukinya, ataupun
pengelolanya sendiri sibuk memuati medianya dengan berita-
berita yang padat issue, terutama soal politik.
Fase pasca peristiwa reformasi adalah masa kritikal dengan
adanya tarik menarik kepentingan di antara kekuatan-kekuatan
sosial-politik-kemasyarakatan di Indonesia. Manakala demokrasi
dan demokratisasi harus dikatakan sebagai pengalaman baru un-
tuk diwujudkan secara baik dan utuh friksi dan kon lik di antara
kekuatan tersebut mengisi fenomena yang tak terhindarkan se-
23. 22 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
bagai pengalaman harian masyarakat Indonesia baik secara lang-
sung maupun tak langsung. Kesemuanya itu mengisi muatan-
muatan informasi di media yang kemudian menjadi terbuka,
bebas dan mudah ditemukan. Di sisi lain, masyarakat umum se-
perti segera dibawa masuk ke dalam fenomena information lood
yang sesungguhnya dengan banyaknya tema-tema baru yang
dipublikasikan; tema-tema yang kritis, sensitif dan alternatif.
Fase kritikal tersebut menciptakan arena dimana kerja dan ki-
nerja media dalam mewujudkan fungsi dan perannya ternyata tak
hanya mengundang kontribusi dari para pelaku dan pemerhati
media. Masyarakat, melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam-
nya turut serta mengembangkan penafsiran dan penyikapan untuk
diakomodasi sebagai bagian dari praktek kebebasan media dan
kebebasan bermedia. Disinilah terjadi gesekan-gesekan ataupun
kompromi-kompromi yang secara tak langsung turut mewarnai
wajah media massa Indonesia hingga dewasa ini.
Urgensi Kebutuhan
Mediayangbebas,kebebasanmediadankebebasanbermediadi-
yakini sebagai atmos ir prasyarat yang tepat untuk memungkinkan
media menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Dalam per-
kembangan waktu jauh setelah reformasi, kebebasan yang diandai-
kan tersebut setidaknya telah mewujud dalam banyaknya bentuk
publisitas yang beredar di ruang publik melalui beragam format
media. Beragamnya materi dan muatan informasi itu tak hanya
sebagai produk dari sumber-sumber yang legal, namun juga banyak
yang datang dari sumber-sumber tak legal. Demikian juga entah
yang dihasilkan dari proses kerja otentik dan orisinil, maupun me-
rupakan reproduksi, translasi atau bahkan imitasi dari yang telah
dibuat sebelumnya. Kesemuanya itu merupakan hal yang sangat
dimungkinkan terjadi mengingat Indonesia dan reformasinya ber-
langsung di dalam suatu konstelasi global yang telah intens berada
dalam era pasca industri.
Sebenarnya fenomena information lood telah mulai dialami
Indonesia pada dekade 80-an ketika DBS (direct broadcasting
system) menjadi alat popular yang memungkinkan penggunanya
24. 23KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
memperoleh informasi-informasi alternatif secara cepat dan lang-
sung dari sumber-sumber di luar negeri. Namun inovasi-inovasi da-
lam teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi yang pesat
pada dekade an dapat dilihat sebagai pemicu yang signi ikan
dari digunakannya informasi global sebagai inspirasi, motivasi dan
desakan-desakan dilakukannya perbaikan di Indonesia. Setelah
reformasi, konstelasi global yang memfasilitasi terciptanya kapita-
lisasi dan memungkinkan lahirnya kekuatan-kekuatan kapital baru
yang terjun sebagai pemain/pelaku/pengisi baru sehingga mera-
maikan bisnis media, telah mendorong penggelontoran informasi
secara masif ke ruang publik. Industri (media) secara cepat dan
pasti telah menjadi alasan dari menguatnya fenomena tersebut.
Membanjirnya informasi di satu sisi memberi andil positif bagi
pengkayaan wacana publik atas berbagai persoalan sekitar. Dari
yang semula terbatas, publik kemudian memiliki banyak pilihan
dan alternatif untuk menggunakan ketersediaan informasi yang
ada sesuai dengan kebutuhannya. Demikian juga, dari yang dulunya
cenderung hanya mendapatkan informasi dengan perspektif yang
terbatas, publik kemudian dapat menggunakan sekaligus beberapa
sumber yang berbeda untuk memperoleh gambaran lebih jelas atas
sesuatu hal. Ketersediaan informasi yang variatif dan baru tentu
sangat diharapkan dapat menguatkan dinamika kehidupan publik
menjadi lebih berkembang, meningkat, dan dewasa.
Namun ketersediaan informasi yang masif patut dicermati dan
dikritisidenganseksama.Alih-alihmembangunyangbaik,informasi
yangbanyakdanberagamdapatberakibat sebaliknya. Kebingungan
barangkali merupakan respon psikologis yang paling sederhana
ketika harus menentukan pilihan manakah dari informasi tersebut
yang dapat diandalkan. Tetapi kebingungan dapat segera memasti
menjadi satu keputusan ketika secara intens media menyodorkan
rekomendasinya melalui repetisi dan persebaran info yang luas
dan sistematik. Kecuali seseorang memiliki prinsip sikap dan
pertimbangan yang tegas atau kritis, penggunaan rekomendasi
yang tanpa ilter itu sangat berpotensi untuk membawa ke arah
yang salah. Fenomena ini menjadi kecenderungan yang semakin
mengkhawatirkan ketika seolah-olah ‘yang lebih banyak adalah
25. 24 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
yang benar’ menjadi kiblat common sense publik; sehingga, sesuatu
yang banyak disampaikan di media, ramainya unsur publik yang
bereaksi, dan pendapat umum yang terbentuk karenanya, menjadi
kondisi yang menentukan ‘itulah yang terjadi’ atau ‘penyikapan
yang sepatutnya diwujudkan’.
Pencermatan terhadap media secara lebih intens diperlukan ka-
rena bekerjanya dua kepentingan secara simultan yang senantiasa
menjadi paradoks, yakni kepentingan idealistik tentang fungsi dan
peran media bagi publik serta kepentingan kapital yang menjadi
basis operasi media. Kedua hal tersebut boleh jadi dapat bekerja
sama secara harmonis, saling mengisi dan menguatkan. Tetapi ke-
pentingan pertama hanya bisa terwujud jika media bekerja secara
independen, non-partisan, imparsial-obyektif. Sedangkan kepen-
tingan kedua justru mengikat semua orientasi produk media untuk
berkiblat pada satu tujuan keuntungan inansial Semua informasi
di ruang publik memang telah disiapkan sedemikian rupa untuk
layak dikonsumsi. Kelayakan tersebut setidaknya mengandung
pengertian bahwa substansi informasinya baru, bermanfaat, dan
menarik bagi publik. Namun, orientasi kelayakan dimaksud telah
juga menjadi alasan untuk membuat semua hal yang diinformasikan
dikemas dengan baik (lihat Darmawan, 2007). Ini menimbulkan aki-
bat bahwa semua hal yang ada di media seolah-olah adalah baik dan
layak dikonsumsi publik. Sesuatu issue (terutama yang dilekatkan
dengan kepentingan publik) adalah peluang untuk menggiring
supaya sesuatu media dikonsumsi publik sehingga media tersebut
akan memperoleh untung. Semakin sensasional suatu issue, semakin
besar peluang media tersebut dikonsumsi. Silogisme sederhana ini
akan berlanjut dengan: semakin besar institusi media, semakin
permisif ia dengan tujuan keuntungan inansial Semakin banyak
pemain media, semakin kompetitif persaingannya, dan semakin
dependen mereka dengan tujuan tersebut semata-mata untuk
menjaga survivalitasnya.
Inilah yang menyebabkan asumsi tentang media yang bebas, ke-
bebasan media dan kebebasan bermedia sebagaimana yang diangan-
kan melalui reformasi tidak bisa dipahami bekerja dan terwujud
dalam ruang kosong, untuk diterima secara naïf seolah-olah secara
26. 25KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
alami ia menjalankan misi mulia yang pasti menimbulkan ekses
publik ke kehidupan yang lebih baik. Tidak dengan maksud untuk
tidak mempercayai media, namun harapan supaya media dapat
memberdayakan publik (empowerment) semestinya dikawal dalam
penerapannya sehingga tidak justru menciptakan ketakberdayaan
(disempowerment) (lihat Heskin, 1991:68). Hal ini karena sekalipun
kepentingan idealistik dapat lebih dimenangkan oleh suatu institusi
media dalam kinerjanya, maupun telah banyak instrumen hukum
pengaturmediayangmenjagaoperasinya,namunterdapatpersoalan
laten yang tetap menempatkan produk media sebagai permasalahan
krusial untuk senantiasa dicermati oleh publik.
Berita, barangkali telah luas diyakini merupakan fakta yang di-
sampaikan kepada publik sebagaimana yang terjadi. Sebagai pro-
duk utama, dan karena umumnya sebagai alasan suatu institusi
media didirikan, berita menempati posisi vital bagi eksistensi me-
dia yang bersangkutan di ruang publik. Terhadapnya pula publik
mengandaikan dapat memperoleh banyak hal: pengertian, penge-
nalan,pemahaman,pembelajarantentangkehidupansekitar.Berita,
telah sedemikian rupa diyakini dan diterima sebagai pembukti dari
apa yang terjadi. Tetapi pandangan bahwa berita adalah dan berisi
kenyataannya itu sendiri patut untuk mendapat pelurusan.
Terdapat sekian banyak hasil pengamatan yang mencoba mem-
perbaiki asumsi umum terhadap berita. Molotch dan Lester (dalam
Miller dan Williams, 1993:127), misalnya, mengatakan bahwa be-
rita bukanlah gambaran dari dunia yang sebenarnya, tetapi lebih
merupakan produk dari tindakan-tindakan mereka yang memiliki
kekuasaanuntukmenentukanpengalamanpihaklain.Sementarabe-
lasan tahun sebelumnya Golding dan Elliot (1979:21) telah mempe-
ringatkan bahwa media menyodorkan kenyataan semu melalui pe-
malsuan dari kenyataan obyektif dimana dengan cara kerja tertentu
pemalsuan tersebut menjadi natural karena image dan penafsiran
-atas yang diberitakan atau diinformasikan- diciptakan, dibentuk,
dan dibina oleh kelompok ekonomi politik yang sedang berkuasa.
Pandangan yang lebih gamblang dan lugas tentang mengapa publik
patut waspada terhadap berita, dan dengan demikian media, dapat
ditemukan dari pemikir komunikasi Universitas Glasgow Inggris
27. 26 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
(1980:3)yangmengatakanbahwaberitabukansekedarmerupakan
rangkaian fakta atau realitas di luar, tetapi merupakan hasil budaya
dimana pelaporan dan pemaparannya tentang dunia dihasilkan
mengikuti rangka interpretasi khusus.
Berita, dengan demikian, adalah produk yang tidak alami, bukan
yang sebenarnya terjadi. Berita dihasilkan dari suatu cara kerja yang
menggunakan tafsiran atas suatu peristiwa yang diwartakan. Media
(pewarta)adalahpihakyangmelakukaninterpretasiatasketerangan
yang diperoleh dari sumber berita (lihat Hall, 1981). Ketika sumber
berita itu sendiri sebenarnya telah melakukan penafsiran dari
rangkaia peristiwa yang terjadi, maka segala apa yang ditemukan
publik,melalui media sesungguhnya diterima sebagai hasil dari
penafsiran yang bertingkat-tingkat. Karenanya, berita adalah ‘potret’,
yang diabadikan menurut angle dan perspektif si ‘pemotret’. Semua
teks berita, baik visual maupun tulisan, tidak terhindar dari cara dan
hasil kerja tersebut, entah sekedar menyampaikan terjadinya suatu
peristiwa atau –bahkan- memuatinya dengan opini. Manakala berita
sebagaiprodukpalingsentraldarisemuaalasanidealistikkeberadaan
media ternyata beroperasi secara berlawanan dengan idealisasi
yang dilekatkan kepadanya, kita bisa berpikir bahwa produk media
lainnya (non berita) jauh lebih bermasalah untuk menjadi referensi
tentang kenyataan.
Perhatian yang lebih besar terhadap efek (buruk) yang di-
timbulkan dari kerja media bukan lah merupakan hal yang
diskriminatifdanmengabaikansumbanganbaiknya.Sebaliknya,hal
itu justru patut menjadi keharusan yang penting untuk senantiasa
dikembangkan dari waktu ke waktu secara individual maupun ko-
munal. Ini tak berlebihan mengingat media telah sedemikian rupa
mengisi ruang publik kita (Golding, Murdock dan Schlesinger,
1986:120), melalui penyediaan sumber referensi, sehingga semes-
tinya ia pun bertanggungjawab atas arah wawasan dan dinamika
kehidupan yang terbentuk. Berbagai resolusi yang selama ini telah
dimunculkan berkenaan dengan harapan supaya asumsi idealistik
bagi publik untuk memperoleh pengertian, pengenalan, pemaham-
an dan pembelajaran persoalan dapat dipenuhi media, telah banyak
dibebankan kepada media. Tetapi dengan melilhat cara kerja media
28. 27KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
seperti yang dipaparkan di atas, resolusi tersebut menjadi perlu
untuk kemudian diambilalih dan diupayakan oleh publik. Publik
lah yang patut melengkapi dan memberdayakan diri sendiri untuk
dapat secara bijak menyikapi media dan produknya secara lebih
proporsional (lebih jauh dapat dilihat di artikel 111, CML).
Basis Pengertian
Efek yang ditimbulkan dari media adalah permasalahan yang
menjadi basis gagasan perlunya publik memiliki keberdayaan atas
media (literasi). Efek media menjadi permasalahan karena muatan
media mampu menjadi stimuli atau pengaruh yang menggerakkan
penerimanyamelakukansesuatu baikyangmerupakanidenti ikasi
reproduksi, maupun imitasi dari yang disampaikan di media. Efek
mewujud dalam bentuk sikap, tindakan, perilaku setelah seseorang
berinteraksi dengan media, baik sebagai hasil dari proses
pertimbangan yang hati-hati maupun yang sifatnya emosional-
reaktif. Ketika wujud efek termanifestasikan dalam kehidupan
publik, hal itu akan segera mengundang respon karena efek yang
‘diintrodusir’ media umumya selalu akan vis-à-vis dengan tatanan
sosio-kultural yang sudah berlaku dalam kehidupan publik. Efek
yang baik kemudian merupakan suatu pengakuan bahwa wujudnya
harmonis dengan yang sudah berlaku. Sebaliknya, akan dikatakan
buruk jika bertentangan atau deviatif. Tetapi kecuali benar-benar
ekstrim dan secara faktual-empirik berakibat pada kerugian publik,
kategori baik atau buruk itu sendiri bernilai relatif dan subyektif.
Efek media memang merupakan permasalahan yang kompleks.
Sejauh ini berbagai studi yang secara khusus mengamati efek
media belum dapat dikatakan secara meyakinkan memberi bukti
adanya pengaruh langsung kepada publik penggunanya (lihat
Barker dan Petley, 2001). Beberapa temuan sejauh ini cenderung
hanya menyodorkan sinyalemen bahwa perilaku deviatif
seseorang dilakukan salah satunya dengan menggunakan apa yang
disampaikan di media sebagai inspirasi. Asumsi efek yang kuat dari
media melalui paradigma linier komunikasi massa, seperti yang
disampaikan dalam teori jarum suntik, tetap tak dapat mengklaim
adanya pengaruh langsung tersebut ketika secara empirik publik
29. 28 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
membangun kehidupannya dengan menggunakan sekian banyak
sumber referensi dan inspirasi. Ini berarti bahwa sesuatu sikap,
tindakan atau perilaku muncul sebagai manifestasi dari sebab yang
multi-faktor, baik yang sifatnya langsung maupun tak langsung.
Tetapiditengahkompleksitastersebut efekmediaperluspesi ik
untuk disadari karena dari antara sekian banyak kemungkinan
yang dapat menjadi sebab terciptanya sikap, tindakan dan perilaku,
‘realitas media’ adalah satu faktor yang paling bermasalah. Realitas
ini dibentuk dengan cara penyampaian informasi secara berulang,
luas dan masif melalui kerjasama antara penggunaan teknologi dan
kekuasaan media dalam menentukan apa yang penting dan perlu
untukdisebarluaskan.Teknologisasibukanhanyaberkenaandengan
perangkat keras. Sementara, sesuatu yang sedang ‘in’ di media akan
menyodorkan kecenderungan sebagai permasalahan yang seolah-
olahsungguhmenjadibagiandaripengalamanpubliksecarakonkrit
dan langsung. Mengenai teknologisasi, setidaknya Ong (1982:82)
pernah menyampaikan bahwa technologies are not mere exterior
aids but also interior transformations of consciousness, and never
more than when they a ect the word Contoh sederhana tentang
realitas media ini setidaknya dapat ditemukan melalui penggunaan
kata ‘yang’ sebagai awalan kalimat dalam bahasa Indonesia; ke-
biasaan yang salah menurut EYD tetapi mulai muncul dan banyak
dipakai setelah reformasi hingga saat ini. Realitas media menjadi
persoalan karena muatan media sesungguhnya merupakan materi
simbolik, yang senantiasa mensyaratkan diberlakukannya tafsir
supaya secara tepat dipahami setelah diperoleh maknanya yang
relevan untuk kemudian disikapi secara bijak dan proporsional
sesuai dengan pengalaman langsung dan riil dalam kehidupan
publik. Realitas media itu bermasalah karena publik sesungguhnya
tidak akan pernah bisa memperoleh kejelasan proses sosial secara
utuh, aspek yang sangat penting untuk memahami hakikat masalah
dari suatu peristiwa yang diwarta-informasikan (lebih jauh lihat
Darmawan, 2007).
Literasi media merupakan gerakan membangun kesadaran dan
kemampuan publik untuk mengendalikan penggunaan media da-
lam memenuhi kebutuhannya. Kesadaran dan kemampuan itu
30. 29KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
bukan berkenaan dengan keputusan memilih media, melainkan
dengan materi yang dimuat dalam media. Gerakan ini diintrodusir
oleh negara-negara maju seperti negara-negara Eropa, Amerika
Serikat, Kanada dan Australia yang telah mengalami kompleksitas
wujud efek dalam kehidupan masyarakatnya sebagai hasil dari
interaksi yang intens dengan media, informasi dan teknologi lanjut.
Berbagai peristiwa yang secara langsung merugikan kepentingan
publik telah menjadi salah satu alasan dikampanyekannya gerakan
ini secara intens. Bahkan, materiliterasi media telah menjadibagian
kurikulum pendidikan di Amerika (lihat Frau-Meigs dan Torrent,
2009). Meski persoalan efek itu sendiri senantiasa mengundang
polemik dan perdebatan panjang, terutama untuk tidak dilihat
sebagai hasil dari relasi kausal yang tunggal, gerakan literasi media
telah luas diterima sebagai resolusi penting untuk menjadi salah
satu cara mengawal kehidupan publik modern. Dalam kacamata
konsep masyarakat sipil, literasi media merupakan jawaban dan
kebutuhan yang tepat untuk menggerakan dinamika kehidupan
publik yang berbasiskan nilai-nilai kultural. Literasi media, oleh
karenanya, dipandang sebagai jalan keluar dalam membangun
ruang kebebasan kultural publik, cara untuk menyikapi dominasi/
hegemoni kultural yang diin iltrasikan oleh media
Pengupayaan untuk publik dapat berdaya di hadapan media
merupakan perspektif yang dapat dianggap sebangun dengan
konsep“audiensaktif”dalamkomunikasimassa.KatzdanLazarsfeld
perumus teori Uses and Grati ication adalah tokoh pertama yang
melalui penelitiannya menemukan simpul pengertian baru ten-
tang audiens sehingga menjadi inspirasi dimunculkannya istilah
audiens aktif tersebut. Audiens dilihat sebagai kumpulan individu
yang melakukan aktivitas memilih, memaknai dan menggunakan
informasi sesuai kebutuhannya; individu merupakan elemen kunci
dalam transformasi dan inkorporasi informasi ke dalam pola-pola
tindakan dan kepercayaan dalam kehidupannya sehari-hari (lebih
jauh lihat Silverstone,1994). Perpektif tersebut juga menjadi wa-
cana yang muncul dari temuan beberapa penelitian lain (liahat
misalnya Palmer, 1986; Morley, 1992).
Meskipun demikian publik yang berdaya tidak dapat dikerang-
31. 30 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
kakan sepenuhnya dalam perspektif audiens aktif tersebut. Bahwa
publik tak selamanya diam menerima, tetapi kreatif melakukan pe-
nafsiran dan pemaknaan atas informasi yang diterima dari media,
merupakan hakekat perspektif yang mengakui harkat kemanusia-
an yang dilahirkan dalam perbedaan. Akan tetapi konsep aktif yang
dilekatkan kepada audiens menganduk pengertian yang problema-
tik, terutama ketika preferensi kultural yang menjadi pilar inter-
pretasi dipenuhi dengan wujud-wujud reproduksi budaya dominan.
Penerapan asumsi audiens aktif masih harus mendapat kejelasan
dari sisi berlakunya proses dan mekanisme sosial yang secar
otentik membuka ruang keaktifan bagi seseorang dalam melahirkan
pemaknaan yang berbeda (Silverstone, 1994). Maka yang lebih
mendasar dalam kontek ini adalah adanya pengakuan bahwa publik
bukan lagi semata-mata objek dalam komunikasi (media) patut
menjadi semangat utama untuk mengembangkan literasi media,
di mana penerapan atas “audiens aktif” kemudian harus dilakukan
secara hati-hati dan konstekstual. Ini sekaligus menandakan bahwa
rentang perspektif tentang publik yang aktif dan pasif sampai
sekarang senantiasa masih aktual dan cukup absurb.
Literasi media, sebagai terminologi yang muncul di era penggu-
naan tekologi elektronik dalam aktivitas media, awalnya memiliki
pengertian yang beragam. Sebagai istilah yang cukup baru, ia juga
kadang dimengerti sebagai salah satu varian literasi menurut te-
ma persoalannya, seperti yang telah banyak dikenali dalam literasi
‘klasik’ membaca dan menulis, literasi komputer, dll. Usaha mem-
perjelas lingkup pengertian literasi media telah dimulai sejak awal
dekade 80-an melalui rumusan yang diintrodusir oleh UNESCO.
Namun melalui satu konferensi di Amerika Serikat pada tahun 1992
yang khusus mendiskusikan persoalan ini, dihasilkan satu rumusan
de inisi literasi media yang secara umum berlaku hingga saat ini
Pengertian literasi media dirumuskan sebagai kemampuan “untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan
pesan ke dalam beragam bentuk” (Livingstone, 2003).
Dibandingkan dengan literasi dalam tema-tema persoalan yang
telah dikenali sebelumnya, literasi media memiliki karakteristik yang
khusus. Pertama, literasi media muncul di tengah peradaban yang
32. 31KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
ditandai dengan penggunaan teknologi lanjutan secara masif dalam
komunikasi dan informasi; fase dimana publik telah familiar dengan
urusan yang berbasiskan digitalisasi, konvergensi, multimedia dan
semacamnya (lihat European Commission, 2007). Kedua, literasi
yang dimaksud dalam konteks ini, sekalipun basisnya adalah
pengembangan kemampuan, berfokus pada substansi dan muatan
(simbolik) informasi, bukan pada keterampilan teknis (Livingstone,
2003). Ketiga, literasi media bersifat multi-dimensional (lihat Potter,
2001). Melihat pada karakteristik tersebut, literasi media patut
dipahami sebagai kerucut kompleksitas persoalan yang muncul dari
masyarakat yang telah melampaui era industri, masyarakat yang
telah intens dengan aktivitas dan interaksi berbasiskan media dan
informasi –tak hanya dalam format cetak, audio, dan audiovisual,
tapi terutama yang telah terkonvergensi. Selain itu, literasi media
juga mensyaratkan pondasi berupa kemauan aktif untuk melakukan
bacaan atas media dengan senantiasa melibatkan bacaan atas kultur
serta pengenalan teks dan teknologi yang memediasi komunikasi,
dimana hal itu perlu senantiasa didasarkan pada kontingensi sejarah
dankulturaldarirelasimediadengankognisidanprosespengetahuan
sosial yang menginterpretasikannya (lihat lebih jauh di Livingstone).
Oleh sebab itu, mindset dan implementasi literasi media mestilah
ditempatkan dalam –dan telah lebih dulu difasilitasi dengan- basis
sosio-kultural yang kuat sebagaimana tipikal masyarakat pasca-
industri.
Media, informasi dan teknologi dengan demikian mestilah telah
menjadikebutuhanprimerbagipublikuntukmulaimengembangkan
literasi media. Intensitas terpaan media dan informasi yang tinggi
akan cukup menjadi alasan bahwa literasi media perlu menjadi isu
penting bagi publik. Ini karena tingginya intensitas publik yang
terpapar materi simbolik berpeluang mengalami distorsi realitas
akibat kekuatan media dalam merekayasa produknya. Produksi
simbol yang telah sangat dependen dengan teknologi, baik sebagai
alat maupun basis kreativitasnya, membuat makna simbol yang
polisemik sangat berpotensi menjadi semakin kompleks. Teks
dan konteks lantas menjadi kontingensi yang mutlak perlu untuk
mensinergikan interpretasi dan pemahaman hingga lebih utuh.
33. 32 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
Pada masyarakat modern, penafsiran bukan lagi dianggap sebagai
produk otonomi-otoritatif, tetapi cenderung lebih diterima sebagai
hasil discourse; mekanisme yang dianggap lebih demokratis dan
apresiatif. ‘Membaca’ media tidak lagi aktivitas yang sederhana.
Dibutuhkan pikiran kritis untuk men-decode informasi yang
disampaikannya (lihat Baran, 2008).
Membangun kesadaran dan pengendalian publik dalam
penggunaan media, karenanya, merupakan upaya mengajak publik
untuk memiliki kemampuan supaya secara kontinyu menyikapi
dampak informasi yang diterimanya dengan cara melakukan
penafsiran secara hati-hati, bertingkat dan komprehensif serta
menggunakannyasecarabijakterhadapisuyangrelevandengannya.
Namun literasi media haruslah dipahami bukan sebagai ajaran,
himbauan atau bahkan ajakan untuk menjadi antimedia, membuat
stigmatisasi terhadap media, ataupun menciptakan hegemoni
penafsiran atas muatan media, melainkan justru untuk lebih
apresiatif terhadap media dan menempatkannya di posisi yang
tepat dalam kehidupan publik (lihat artikel 380, CML). Oleh sebab
dengan apresiasi, publik justru akan lebih berpeluang terlibat
secara aktif dalam proses komunikasi bermedia -untuk tidak men-
jadi voiceless-, terutama untuk lebih berdaya dalam manifestasi hak
mengekspresikan diri dan partisipasi kulturalnya.
Idealisasi Penerapan
Literasi media perlu diwujudkan melalui perencanaan, mekanis-
me, struktur dan pemantauan yang jelas. Ketika orientasi gerakan
literasi media ini memiliki kesan yang kuat untuk memperbaiki
kualitas kultural kehidupan publik, penerapan literasi media diya-
kini hanya baik dan tepat jika diikatkan dalam suatu proses per-
manen, reguler dan sinambung. Demikian juga ketika orientasi ha-
silnya dimaksudkan untuk menjadi kekuatan sosial-kultural yang
ekstensif, sasaran sosialisasi literasi media perlu diarahkan mulai
pada kelompok komunitas berusia dini. Pendidikan dan sekolah
dilihat sebagai entitas dan habitat yang sesuai dengan orientasi
tersebut. Tetapi untuk mendukung visi penerapan literasi media
34. 33KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
tersebut, sistem yang dibangun untuk memfasilitasi tujuan dan
pelaksanaan pendidikan itu sendiri menjadi kunci penting guna
menciptakan simbiosis yang saling menguatkan.
Pendidikan dan sekolah merupakan arena yang mendukung ka-
rena disana terjadi aktivitas yang terstruktur di dalam proses pem-
belajarannya. Pengandaiannya, aktivitas tersebut ditandai dengan
discourse dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih utuh
tentang sesuatu hal, tingkat yang diharapkan lebih dari sekedar
pengenalan (tahu). Pemahaman dinilai utama karena dari situ
seseorangdipercayadalammembuatkeputusantindakanatasdasar
pengetahuannya. Kontingensi menjadi dasar dari terbentuknya
pemahaman tersebut. Berbeda dengan pengenalan, atau tahu,
yang umumnya diintrodusir melalui cara imitasi, reproduksi atau
kepatuhan. Disourse memfasilitasi pengungkapan dan pertukaran
pengalaman, persepsi dan derajat penerimaan subyek-subyek
atas realias multi-dimensional yang menjadi bagian langsung dari
kehidupannya. Maka sistem yang memfasilitasi pendidikan dan
proses pembelajaran di sekolah mestilah merupakan sistem yang
mampu memfasilitasi terciptanya pencapaian-pencapaian tersebut
(lihat Kubey, 1998). Sistem yang tertutup, yang hanya menekankan
tolok ukurnya pada pengajar/fasilitator, bukanlah sistem yang
tepat untuk kebutuhan tersebut.
Namun proses pembelajaran yang diwujudkan di sekolah tidak
bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaan publik di wilayah
domestiknya. Hal ini karena literasi media sendiri tidak cukup tepat
dikatakan sebagai materi yang diajarkan. Ketika konsep pengajaran
cenderung lebih dimengerti sebagai aktivitas linier, dari pengajar ke
yang diajar, keberhasilan dari proses tersebut justru akan banyak
melibatkan –dan barangkali mensyaratkan- diberlakukannya
instrumen-instrumen penekan lain. Padahal pembelajaran media
literasi akan bersifat sangat elastis setidaknya karena dua hal,
pertama, literasi media akan banyak berkenaan dengan penafsiran
dan pengertian. Kedua, target literasi media adalah terbentuknya
kesadaran dan kemampuan diri. Oleh karenanya, pembelajaran lite-
rasi media justru akan sangat problematik jika ditempuh melalui
‘instruksi penafsiran’ dan pengawalan secara ketat. Diperlukan pe-
35. 34 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
ran serta keluarga secara aktif sebagai supervisi untuk mendukung
munculnya literasi ini karena ia merupakan arena paling dekat
dalam implementasi praksisnya. Diperlukan peran serta keluarga
secara aktif sebagai supervisi untuk mendukung munculnya literasi
ini karena ini merupakan arena paling dekat implementasi prak-
sisnya. Keluarga, sebagai wilayah domestik, merupakan tempat
dimana rutinitas yang berisi cara, kebiasaan maupun reason dalam
penggunaan media telah terintegrasi dalam pola kultural yang
embedded dan terorganisir (lihat Fiske, 1987).
Proses pembelajaran perlu diawali dengan mengungkap lebih
dulu pengalaman-pengalaman yang dimiliki subyek berkenaan
dengan media. Observasi menjadi langkah awal yang penting teru-
tama untuk mengidenti ikasi bagaimana persepsi dan sikap subyek
terhadap muatan media dikenali, diterima, atau dikenai, baik yang
sifatnya langsung maupun tak langsung. Dari sharing ini fasilitator
baru dapat memiliki bahan guna menyusun program membang-
kitkan kesadaran subyek serta pengertiannya atas muatan media.
Karena tolok ukur proses pembelajaran ini tidak dapat diterapkan
secara general untuk semua kluster publik, program tersebut
mestilah disesuaikan dengan tingkatan kemampuan dan pen-
capaian subyek yang menjadi sasaran. Hal ini karena discourse
yang dibangun untuk mencapai resolusi berupa pengertian secara
konstruktif dan sikap apresiatif terhadap media akan senantiasa
melibatkan lingkup referensi dan kompleksitas interpretasi yang
bertingkat,sesuaidenganstratausia,pendidikan,keluasaninteraksi
sosial, ataupun kemampuan individunya.
Discoursemenempatifaseprosesyangsangatmenentukandalam
pembelajaran literasi media. Secara ideal, discourse mensyaratkan
kesetaraan antara fasilitator dengan subyek belajar. Namun secara
empirik,pembelajaranliterasimediasangatmembutuhkanseorang
fasilitator yang telah memiliki pencerahan lebih dulu berkenaan
dengan pengetahuan media dan persoalannya. Discourse yang
hendak dijalankan bagaimanapun perlu memiliki kejelasan arah
dan koridor sehingga muara tujuannya tercapai, meski tidak ber-
arti menemukan akhir. Ini karena discourse literasi media akan
melibatkan pendiskusian pokok masalah secara terstruktur dalam
36. 35KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
aspek-aspek berita, hiburan, fenomena industri media, institusi
media, organisasi produksi dari kehidupan media itu sendiri serta
pendiskusian issue yang diakibatkan oleh cara kerja media seperti
kekerasan pornogra i fantasi dan sebagainya yang membutuhkan
kompetensifasilitatordalampewacanaannya(lihatmisalnyaPotter,
2007; Baran, 2008).
Walaupun begitu, literasi media tidak mengenal asumsi bahwa
seseorang yang lebih paham persoalan media adalah juga seorang
yang telah memiliki literasi media. Selaras dengan itu, literasi media
juga bukan pengukur untuk menilai benar salahnya penafsiran atas
muatan media. Sebagaimana telah disampaikan, literasi media
adalah upaya untuk membawa pada kesadaran dan kemampuan
pengendalian publik dalam menggunakan media. Pengetahuan saja
dapat dikatakan tidak cukup untuk membuat seseorang memiliki
literasi. Pengetahuan mempunyai nilai penting tetapi bukan yang
terutama dalam konteks ini. Membangun pengertian atas simbol-
simbol yang dimuat media serta menyadarinya sebagai konstruksi
dan realitas media, yang tidak sama dengan realitas sosial, meru-
pakan pokok yang menjadi fokus dari segenap pengupayaan lite-
rasi media. Hal itu menjadi fase krusial karena merupakan basis
dari ekspresi dan partisipasi publik. Discourse, dengan demikian,
adalah mekanisme untuk menemukan/mempertemukan hakikat
pemahaman dari muatan media untuk menjadi basis sikap, tin-
dakan dan perilaku dalam keterlibatannya di kehidupan publik.
Mekanisme ini adalah lokus untuk mengungkap interprestasi dan
pemaknaan alternatif sebagai hasil negotiated-meaning publik
yang dapat berfungsi sebagai kontestasi atas bekerjanya ideologi
dominan yang diletakan melalui produk-produk simbolik media
(lihat Silverstone, 1994).
Pengertian yang diupayakan melalui proses tersebut dibingkai
dalam satu pertanyaan besar yakni bagaimana mempertanyakan
teks media. Semua yang ditemukan sebagai produk media, yang
dimuat dalam media, adalah teks, baik itu dalam bentuk tulisan
maupun visual. Sebagai produk simbolik, pemahaman atas teks
tidak dapat dilakukan secara eksklusif, melainkan harus dibangun
melalui pemahaman interteks. Hal ini karena interteks mem-
37. 36 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
fasilitasi kontingensi sehingga pengertian atas muatan media
tersebut dapat menjadi komprehensif-holistik-inklusif. Mengingat
pengertian dari produk-produk simbolik secara aksiologis datang
dari konvensi, konsensus menjadi satu mekanisme untuk menye-
padankan tafsir. Maka ketika konsensus hanya terbentuk melalui
interaksi, interelasi, pertukaran sosio-kultural dalam kehidupan
publik, keberadaan komunitas menjadi proyeksi utama referensi
dan sekaligus manifestasi literasi media. Atas dasar ini bisa dika-
takan bahwa keseluruhan bangunan pengertian yang perlu dimiliki
publikitumerupakanhasildiscourseyangbersifatcommunitybased
consensus (lihat Hobbs, 1998). Literasi media dengan demikian
patut senantiasa dibasiskan pada komunitas dan konsensus secara
aktif dan timbal balik. Ini sekaligus menjadi reason mengapa
didalam pembelajaran literasi media justru tidak boleh tercipta
penafsiran secara instruktif atau rekomendatif dari fasilitator,
bangunan pengertian yang disosialisasikan, karena nota bene itu
hanya mengulang apa yang sudah dilakukan oleh media.
Suatu persoalan cukup krusial dari yang hendak dibangunkan
dalam diri publik melalui literasi media adalah kesadaran akan
adanya dan berlakunya konstruksi-konstruksi kultural dan so-
sial yang selama ini menetap dalam cara kerja inteprestasi dan
pemaknaan atas berbagai produk simbolik. Negotiated-meaning
seperti yang disampaikan Stuart Hall barangkali menghasilkan
maknaberbedadariyangdiintrodusirmelaluimedia.Namunmakna
baru tersebut bisa saja berupa pengulangan jika sudut pandang
melihat akar masalah tidak berubah secara mendasar. Pengulangan
cara penafsiran, meski menghasilkan bahasa berbeda atau bahkan
kontradiktif, sejatinya dapat disebut sebagai wujud pelestarian
dari asumsi-asumsi yang menjadi ‘syarat-otot’ konstruksi kultural
dan socsal kehidupan publik. Hal ini merupakan persoalan yang
sungguh laten terutama ketika area praksis literasi media berada
di wilayah domistik (keluarga) dimana disitu terjadi kontestasi
paling intens dalam praktek pengaturan fungsi dan peran seksual
yang telah sedemikian rupa menormalkan asumsi-asumsi stereotip
dalam penggunaan media (kontrol, style, pilihan) dan bentuk-
bentuk simbolik yang dimuat dalam media (lihat Silverstone,
38. 37KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
1994). Media telah menjadi alat representasi paling intens pem-
bentukan citra, posisi, karakteristik perempuan, terutama, dalam
realitas sosial secara tersubordinasi dari laki-laki. Walaupun
jender bukan faktor penentu dasar, namun issue tersebut selalu
muncul dalam persoalan tentang media dan lebih problematik
karena representasi yang direproduksinya, dibandingkan dengan
issue ras atau kelas. Ini karena representasi yang direproduksi tak
lebih sebagai konstruksi kultural dan bukan re leksi atas dunia
sebenarnya. Oleh karenanya, discourse yang ekstensif tidak selalu
berarti menjanjikan munculnya kesadaran baru atas makna simbol
danpengertianyanglebihkorektifketikasistemyangbekerjadalam
pengintepretasian tidak digugah untuk mengenali bias realitas,
yang diarahkan oleh stereotip-stereotip untuk menaturalisasi,
mengedepankan serta menegaskan perbedaan atau ketaksetaraan
jender melalui kekuatan-kekuatan sosial dalam kehidupan publik
sebagai politik representasi untuk menciptakan marginalisasi
(lihat Barker, 1999).
Melihat kompleksitas dalam idealisasi pembelajaran literasi
media, manifestasi yang diharapkan darinya dengan demikian
hanya akan terwujud melalui suatu proses dengan rentang waktu
yang panjang. Publik perlu terkondisi dalam suatu situasi yang cu-
kup intens guna terbangunnya pewacanaan dan internalisasi yang
didiskusikan. Namun publik berusia dini dipandang sebagai entitas
yang lebih potensial menjadi katalisator terwujudnya kesadaran
dan penyikapan yang bijak atas media dan muatannya di masa
depan, dimana pengertian-pengertian yang nantinya diharapkan
mengendap adalah pengertian yang sifatnya mendalam dan orga-
nik dengan prinsip-prinsip yang permanen, bukan pengertian
yang instan dan sesaat. Ini karena manifestasi dari pembelajaran
literasi media diproyeksikan menjadi kekuatan modal sosial yang
vital bagi keberlangsungan kehidupan publik sebagai masyarakat
sipil yang berdaya, oleh sebab publik memiliki nilai-nilai sosio-kul-
tural-hitorisnya sendiri yang memancang sebagai eksistensi ori-
sinalitasnya yang otentik. Meski senantiasa dinamis karena per-
kembangan jaman, tetapi penyikapan yang konstruktif dengan
kondisi publik adalah sesuatu yang secara bijak perlu dimanifes-
39. 38 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
tasikan. Maka literasi yang dimiliki kemudian dapat secara arif dan
proporsional difungsikan sebagai salah satu kontrol atas praktek
mediakarenasatualasan:mediasecaraintensifmenggunakanruang
publik. Meskipun tidak diproyeksikan untuk menjadi kekuatan
politik, namun advokasi dapat menjadi pilihan ketika resolusi un-
tuk merealisasikan hak ekspresi diri dan hak partisipasi kultural
perlu diperjuangkan. Melalui peluang hukum seperti melakukan
class action atau keberadaan lembaga pengontrol seperti Komisi
Penyiaran upaya tersebut dapat disalurkan.
Epilog
Dapatlah dikatakan bahwa visi kebebasan yang meletik sejak
reformasi adalah sekaligus resiko yang harus dihadapi publik
Indonesia dalam bentuk potensi kerusakan melalui melimpahnya
informasi yang dihasilkan media. Hal ini semakin kritikal ketika
asumsikebebasanyangdipercayakankepadamediaditerimasecara
patuhdantakenforgrantedsertatidakdikawaldengankemampuan
publik dalam mewaspadai anasir dan peluang media yang dengan
sangat mudah melakukan perekayasaan realitas. Publik yang tidak
waspada tentang hal ini dapat segera terjebak untuk memunculkan
reaksi secara langsung karena menganggap bahwa kenyataan dari
persoalan itu adalah seperti yang disampaikan oleh media; sesuatu
yang dikehendaki oleh media dengan segenap kekuatan yang ada di
belakangnya. Pada gilirannya, ketidakwaspadaan kolektif semacam
itu justru akan menjadi penghalang dan mencederai harapan-
harapan mulia reformasi yang dengan susah payah diperjuangkan.
Sebaliknya, visi kebebasan dalam demokrasi juga tidak pernah
mengakuibahwaindividuataupunpubliksungguh-sungguhmemiliki
kebebasan penuh dalam mengekspresikan diri dan partisipasi
kulturalnya semau apa yang dipikirkan atau ditiru. Tatanan yang
ada akan senantiasa menjadi ilter untuk mempersepsikan ekspresi
kebebasan itu, terutama ketika manifestasinya melibatkan ruang
publik dan mempengaruhi suasana umum kehidupan publik. Dalam
konteks ini, dinamika sosial-kultural bukanlah realitas yang hendak
dina ikan Namun ketika aspek aspek tersebut telah memiliki akar
historis yang kuat, sesuatu yang kemudian dimunculkan sebagai
40. 39KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
perspektif pembaharuan mestilah dikon irmasi melalui proses
discourse untuk mengundang konsensus, dan bukan semata-mata
di adopsi begitu saja untuk dinyatakan sebagai modern atau maju.
Kiranya literasi media merupakan katarsis untuk mewujudkan
penguatan dan kekuatan masyarakat sipil sebagaimana yang
diangankan. Tetapi pembelajaran dan proses yang diperlukan un-
tuk membangun literasi media mustilah diwujudkan melalui suatu
kerangka kerja secara terstruktur, sistematis, sistemik dan kontinyu
yang bersifat jangka panjang atau bahkan ever lasting. Ini karena
kemampuan yang diandaikan dalam literasi media bukan bersifat
praktis, melainkan kemampuan yang datang dari keterlibatannya
dalamdiscourseyangintens,kompleksdanbertingkat.Sehinggadari
prosestersebutpengertianyangdimiliki,kesadaranyangdiperoleh,
dan juga sikap, tindakan serta perilaku yang diekspresikan dalam
partisipasinya konstruktif bagi keberlangsungan kehidupan publik.
Jika demikian, maka gagasan ideal tentang masyarakat sipil yang
berdaya akan terbentuk.
41. 40 LITERASI MEDIA: IDEALISME PENGUATAN PUBLIK ATAS MEDIA
Daftar Pustaka
Baran, Stanley J. 2008. Introduction to mass communication: Media literacy, and
culture. Fifth Edition. New York: McGraw-Hill.
Barker, Martin dan Julian Petley. 2001. Ill effects: The media/violence debate.
Second Edition. London: Routledge.
Darmawan, Josep Joedhie. 2007. “Mengkaji ulang keniscayaan terhadap berita
(televisi)”, dalam Pappilon H. Manurung (ed), Komunikasi dan kekuasaan.
Yogykarta: FSK Fisip Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (hal 257-282)
European Commission. 2007. Study on the current trends and approaches to
media literacy in Europe inal report. Diunduh dari http://ec.europa.eu/
avpolicy/media_literacy/docs/studies/study.pdf [22-10-2009]
Frau-Meigs, Divina and Jordi Torrent (Eds). .2009. Mapping media education
policies in the world: Visions, programmes and challenges. New
York: The United Nations-Alliance of Civilizations in co-operation
with Grupo Comunicar. Diunduh dari http://unesdoc.unesco.org/
images/0018/001819/181917e.pdf [23-10-2009]
Glasgow University Media Group. 1980. More bad news. London: Routledge &
Kegan Paul.
Golding, Peter and P. Elliott. 1979. Making the news. London: Longman.
Golding, Peter, Graham Murdock and Philip Schlesinger. 1986. Communicating
politics: Mass communications and the political process. New York: Holmes
& Meier.
Hall, Stuart. 1981. “The determination of news photographs”, dalam S. Cohen &
J. Young (eds), The manufacture of news: Social problems, deviance and the
mass media. Revised edition. London: Constable. (hal 226-343)
Hoobs, Renee. 1998. “Seven great debates in the media litreracy movement”,
dalam Journal of Communication. Vol 48, No 1, hal 16-32.
Heskin, Allan David. 1991. The struggle for community. Colorado: West View
Press.
Kubey, Robert. 1998. “Obstacles in the development of media education in the
United States”, dalam Journal of Communication. Vol 48, No 1, hal 58-69.
Livingstone, Sonia. 2003. The changing nature and uses of media literacy.
London: Media@lse, London School of Economics and Political Science
(LSE). Diunduh dari http://www.lse.ac.uk/collections/media@lse/pdf/
Media@lseEWP4_july03.pdf. [6-12-2009]
Miller, D. and Williams K. 1993. “Negotiating HIV/AIDS information: Agendas,
mediastrategiesandthenews”,dalamJ.Eldridge(ed),Gettingthemessage:
News, truth and power. London: Routledge. (hal 126-142)
42. 41KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
Ong, Walter J. 1982. Orality and literacy: The technologizing of the word.
London: Methuen.
Potter, W. James. 2001. Media literacy. Second Edition. California: Sage
Publications.
Center for Media Literacy (CML), http://www.medialit.org (Diakses pada
tanggal 24 Juli 2009)
44. 43KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
MEDIATELEVISImerupakanmedia yang jamakdijumpaipadaseti-
ap rumah tangga di Indonesia. Sampai dengan tahun 2007, tercatat
populasi pesawat televisi tidak kurang dari 40 juta unit, dengan pe-
mirsa lebih dari 200 juta orang (Dharmanto, 2007). Hal tersebut
diperkuat dengan data BPS tahun 2006 yang menyebutkan bahwa
85,86% penduduk Indonesia mempunyai kemampuan mengakses
media televisi. Angka tersebut relativ tinggi, dibandingkan dengan
aksesibilitas penduduk Indonesia pada media radio yang hanya
sebesar 40,26% dan pada media cetak (koran/majalah) sebesar
23,46%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penduduk Indonesia
masih menjadikan media televisi sebagai media utama dalam men-
dapatkan informasi maupun hiburan sehari-hari. Televisi mem-
punyai daya tarik yang luar biasa, karena perangkat ini mampu me-
munculkan efek audio-visual secara prima yang tidak didapatkan
pada media komunikasi yang lain. Tentu saja keunggulan tersebut
sangat memanjakan pemirsanya, karena segala informasi yang
Y. Bambang Wiratmojo
U L M
P I
45. 44 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA
tertayang pada layar televisi dapat dengan mudah ditangkap dan
dicerna oleh pemirsa tanpa terlalu mengernyitkan dahinya.
Era pertelevisian Indonesia dimulai pada tahun 1961, saat
pemerintah Indonesia memutuskan pembangunan proyek media
massa televisi kedalam proyek pembangunan Asian Games ke-4 kala
itu. Dalam tempo sepuluh bulan mega proyek tersebut dipersiapkan.
Tepat 17 Agustus 1962 TVRI menyelenggarakan siaran percobaan
dengan acara HUT Proklamasi Indonesia ke-17 dari halaman Istana
MerdekaJakartadenganpemancarberkekuatan100Watt;kemudian
dilanjutkansiaranterbatassecaralangsungdenganacarapembukaan
Asian Games ke-4 dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Dua puluh
Oktober 1963 berdasarkan Keppres No. 215/1963 resmi berdiri
Yayasan TVRI; hal ini sekaligus mengesahkan TVRI sebagai lembaga
berbadan hukum dan berhak untuk menayangkan iklan (www.tvri.
co.id). Semenjak itulah lambat tapi pasti siaran televisi menyedot
perhatian masyarakat Indonesia yang masih „miskin“ hiburan saat
itu.
Setelah lebih dari 25 tahun “memonopoli“ pertelevisian di
Indonesia, TVRI mendapatkan pesaing dengan bermunculannya
stasiun-stasiun televisi swasta diakhir tahun 80an dan awal tahun
90an. Masuknya Indonesia di era stasiun televisi swasta tidak lepas
dari sepak terjang bisnis keluarga Cendana dan kroninya pada saat
itu. RCTI mengudara secara terestrial di Jakarta tahun 1989; disusul
dengan SCTV pada tahun 1990 yang ber-home base di Surabaya
pada saat itu; dan TPI pada tahun 1991. Stasiun televisi swasta
yang muncul selanjutnya adalah ANTV tahun 1993 ber-home base
di Lampung, selanjutnya INDOSIAR di tahun 1995 (Sudibyo, 2004).
Sepanjang tahun 2000-2001 lahir dan beroperasi lima stasiun tele-
visi baru, yaitu Metro TV, TV7 (menjadi Trans7 tahun 2006), Lativi
(menjadi TVOne tahun 2008), dan GlobalTV. Dari 10 stasiun swasta
nasional Metro TV dan TVOne berfokus pada content berita (news),
sedangkan yang lain berfokus entertainment dengan positioning
“televisi keluarga“.
AGBNielsen Indonesia dalam releasenya pada medio Desember
2009 mengatakan bahwa khalayak pemirsa Indonesia masih menja-
dikan media televisi sebagai media utama untuk mendapatkan
46. 45KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
hiburan. Pemirsa televisi Indonesia mengahabiskan 25% waktunya
menyaksikan acara hiburan. Alokasi waktu yang digunakan untuk
menyaksikan berita hanya 11%, sedangkan acara olah raga hanya
4%. Maka tidaklah mengherankan jika audience share televisi di
Indonesia masih “dikuasai” oleh stasiun-stasiun televisi hiburan,
seperti RCTI, SCTV, Indosiar, dan TPI; sedangkan news station, seperti
TVOne dan Metro TV hanya mendapatkan share pemirsa 3,66% dan
1,92% saja.
Tabel 1: Audience Share*
No Station Audience Share (%)
1 RCTI 17.78
2 SCTV 14.78
3 Trans 10.42
4 IVM 13.24
5 TPI 12.86
6 Trans7 8.12
7 GlobalTV 9.5
8 ANTV 4.8
9 TVOne 3.66
10 MetroTV 1.92
11 TVRI 0.58
*AGBNielsen Desember 2009
Rating adalah Segalanya
Banyaknya stasiun televisi yang menggarap content hiburan
keluarga memunculkan program-program acara yang nyaris sama
antara satu stasiun televisi dengan yang lain. Jika satu model prog-
ram pada satu stasiun televisi dianggap sukses meraih jumlah pe-
mirsa (baca ber-rating tinggi), maka model program tersebut akan
diproduksi dan ditayangkan oleh stasiun televisi lainnya. Alih-alih
ingin mendapatkan tayangan variatif dan menghibur, pemirsa lebih
banyak menjumpai tayangan-tayangan monoton dan membosankan.
Misalkan tayangan yang disebut reality show; program ini layaknya
sebuah laporan “investigasi“ dimana umumnya pada acara tersebut
dikisahkan seorang “client“ mempunyai masalah pribadi dengan
47. 46 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA
seseorang dan berharap lewat program ini mendapatkan solusi dari
permasalahan tersebut. Umumnya masalah yang diangkat berkaitan
dengan percintaan, perselingkuhan, pertikaian keluarga, kehilangan
anggota keluarga, hilang kontak dengan kekasih. Sebut saja program,
Realigi,Jail,OrangKetigaTheSeries,danTermehek-mehekyangdiklaim
sukses oleh Trans TV; Cinta Patut Diuji, Pacar Usil Selebritis, Hari yang
Aneh, Mati Gaya, dan Piss Man di ANTV; Scary Job, Tamu Tak Terduga,
dan Ups Salah di Trans7; Mata-mata, Minta Tolong, Masihkah Kau
Mencintaiku? di RCTI; Playboy Kabel, Pacar Pertama, Back Street, Cinta
Lokasi (Cinlok), Mak Comblang, Cinta Monyet, Pemberian Misterius,
Main Hati, dan Cari Ibu Tiri – Cari Ayah Tiri (Cit Cat) di SCTV; Curhat
Dengan Ajasmara di TPI. Bahkan Global TV menciptakan „Trilogi“
reality show, yang diberi judul Seriality atau Serial Reality yang terdiri
dariHappynyaBulanMadu,SelibritydanKasus,BarangBekasSelebritis;
yang ditayangkan setiap hari Senin sampai Jumat jam 11 siang, selain
realityshowBukanSinetron,Impianku, danMTVUsil.Setidaknyasetiap
stasiun televisi mempunyai dua hingga tiga program reality show.
Jenisprogramkeduayangumumnyahampirselaludipunyaioleh
setiap stasiun televisi adalah program live music. Dalam program ini
umumnya ditampilkan beberapa group band yang sedang populer,
panggungnya di-setting indoor maupun outdoor, panggung didisain
interaktiv dan sangat dekat dengan penontonnya, siaran dilakukan
secara live sehingga dapat melibatkan interaksi dengan pemirsa di
rumah atau dimanapun mereka berada dengan menggunakan me-
dia telepon dan internet yang memanfaatkan fasilitas chatting me-
lalui instan messager ataupun Facebook, atau video tele-converence.
Sebut saja ada Dahsyat di RCTI, DeRings di Trans TV, Inbox dan
Meriah Total (Metal) di SCTV, Mantab di ANTV, Fansbook dan Musik
Asik di TPI; I Love You Full Indonesia di Indosiar.
Jenis program ketiga yang selalu bisa ditemukan di layar televisi
Indonesia adalah Infotainment atau Gossip Show. Setidaknya setiap
stasiun televisi mempunyai dua hingga tiga judul acara infotainment
setiap harinya. Sebut saja Insert (Informasi Selebriti), Insert Pagi,
Insert Sore, dan Insert Investigasi di Trans TV; Obsesi (Obrolan
Sekitar Selebriti), Obsesi Weekend dan Genie di Global TV; I-Gosip
Pagi, I-Gosip Siang, dan I-Gosip News di Trans7; Plus Minus dan Go
48. 47KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
Show di TPI; Go Spot, Kabar-Kabari, Cek & Ricek, dan Silet di RCTI;
Was-Was, Halo Selebiti, Status Selebriti, Hot Shot di SCTV; Espresso
dan Espresso Weekend di ANTV; KISS (Kisah Seputar Selebriti)
Pagi dan KISS Sore di Indosiar. Bahkan Metro TV dan TVOne yang
merupakan news station-pun mempunyai Just Alvin dan Expose
yang dikategorikan sebagai acara gosip selebriti.
Program Berita
Berdasarkan analisis isi yang dilakukan pada Program Acara
Televisi pada sepuluh website stasiun televisi Indonesia dalam
kurun waktu satu minggu pada bulan Oktober 2009, diketahui
bahwa terdapat 743 tayangan berita dalam satu minggu. Kategori
tayangan berita adalah program yang paling banyak muncul dalam
jenisprogramyanglain;kategoritersebutmeliputiberitahardnews,
soft news, feutures, maupun dokumenter, namun talk show tidak
termasuk dalam kategori ini. Metro TV dan TVOne berkontribusi
paling banyak dalam menyajikan tayangan berita, karena dua
stasiun tersebut masuk pada kategori news station, masing-masing
sebanyak 329 dan 80 tayangan. Umumnya pada setiap stasiun tele-
visi menayangkan dua jenis program berita, yaitu berita umum dan
berita kriminal.
Berdasarkan analisis KPI (2009) program-program berita kri-
minal cenderung lebih banyak mengandung unsur-unsur pelang-
garan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) – Standar Program Siaran
(SPS), misalkan dalam kategori kaidah jurnalitik, masih banyak
pencampuran fakta dan opini sehingga justru mengaburkan
fakta berita yang ada. Unsur dramatisasi berita lewat narasi yang
berlebihan padahal kasusnya hanya peristiwa sepele, penco-
petan misalnya. Sedangkan pada aspek visual tidak jarang kame-
ra wartawan sengaja diarahkan secara frontal pada wajah para
tersangka pelaku kejahatan, atau visualisasi pada para korban
kecelakaan, pembunuhan, yang berdarah-darah, sehingga menim-
bulkan kesan menakutkan, jijik, seram pada pemirsanya.
Program dan Film Anak
Tayangan terbanyak kedua adalah Film dan Program Anak
49. 48 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA
yaitu tayangan kategori tersebut meliputi ilm iksi ilm kar
tun ilm dokumenter yang khusus disasarkan pada anak anak
Trans7 (52), Global TV (51) dan ANTV (50) berkontribusi paling
banyak menyajikan tayangan-tayangan tersebut. Trans7 mampu
menampilkan program anak yang „sangat Indonesia“ karena secara
keseluruhan merupakan produksi anak negeri dan topiknya pun
berkisar kebiasaan anak Indonesia sehari-hari yang ditampilkan
dalam dokudrama. Sedangkan pada Global TV dan ANTV, program
anak didominasi oleh ilm iksi impor dari amerika Jepang dan
Korea. Hanya program Sketsa BOLU (Bocah Lucu) (Global TV),
Anak Pemberani dan Star Kid Ya Iyalaah! (ANTV) yang merupakan
produksi dalam negeri.
Program tayangan anak berjenis ilm kartun atau animasi impor
merupakan program yang dominan disuguhkan oleh stasiun-stasi-
un televisi Indonesia. Sekalipun berkisah tentang kehidupan anak-
anak, namun bila disimak secara seksama banyak sekali unsur
kekerasan disuguhkan pada ilm ilm tersebut Umunya latar be
lakang cerita ilm ilm tersebut bernuansa persaingan tidak sehat
kejahilan, balas dendam, perkelahian dengan penggunaan senjata
tajam atau senjata api (KPI, 2009)
Sinetron
Tayangan terbanyak ketiga adalah Sinema Elektronik atau
Sinetron, yang meliputi sinetron serial dalam negeri dan impor. Se-
luruhnya ada 147 tayangan sinetron; sinetron anak tidak termasuk
dalam kategori ini. SCTV adalah stasiun televisi yang paling banyak
menampilkan sinetron Indonesia, yaitu 45 tayangan. Sedangkan
Indosiar berkontribusi 44 tayangan dalam seminggu baik sinetron
Indonesia, Korea maupun Cina.
Sepanjang tahun 2009 KPI melayangkan 22 surat teguran (lihat
Tabel 3) untuk kasus tayangan sinetron. Kecenderungan teguran
yang disampaikan mempermasalahkan unsur kekerasan isik dan
verbal: seperti menampar, mencekik, memukul dengan benda ke-
ras, menendang, menusuk, mengumpat, dialog yang merendahkan
martabat perempuan atau orang cacat. Yang memprihatinkan
justru visualisasi kekerasan tersebut banyak muncul pada sine-
50. 49KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
tron-sinetron yang bernuansa religi, seperti Di Balik Jilbab Zaskia,
Sakina, Mualaf, Inayah, Muslimah (Indosiar).
Film
Tayangan terbanyak keempat adalah Film yang meliputi ilm
iksi Indonesia maupun impor dan ilm televisi atau FTV Secara ke
seluruhan terdapat tayangan ilm ilm anak dan FTV anak tidak
termasuk dalam kategori ini TPI menayangkan ilm dalam se
minggu yang didominasi oleh tayangan ilm televisi produksi dalam
negeri Sedangkan SCTV menayangkan ilm dalam seminggu yang
juga didominasi oleh tayangan ilm televisi Indonesia
Infotainment
Tayangan terbanyak kelima adalah Infotainment. Walau banyak
dikecam bahkan diharamkan secara Islam oleh Majelis Ulama
Indonesia, tayangan infotainment masih cukup mendominasi layar
televisi Indonesia. Secara keseluruhan terdapat 120 tayangan da-
lam seminggu. SCTV paling banyak menampilkan tayangan ini, yaitu
21 tayangan dalam seminggu. SCTV setidaknya mempunyai empat
judul infotainment yang masih aktif, dimana dalam satu hari ter-
dapat tiga judul infotainment yang ditayangkan secara bergantian.
Sedangkan Trans TV mempunyai satu judul infotainment tetapi di-
tayangkan dalam tiga segmen waktu: pagi, siang, dan sore.
Di penghujung tahun 2009 kasus perseteruan selebriti Luna Maya
dan wartawan infotainment cukup menyita perhatian masyarakat
Indonesia.TakkurangwartawanseniorIndonesia,BambangHarimurti
pun harus berdebat dengan Ilham Bintang, yang merepresentasikan
wartawan infotainment, di televisi berkaitan dengan esensi jurnalisme
dalam liputan infotainment. Metode peliputan infotainment seringkali
dikeluhkan narasumber, wartawan infotainment sering melanggar
privacy , tidak mengindahkan hak untuk tidak menjawab, menyiarkan
materisiarantanpaadakon irmasiataupersetujuan dan memelintir
statement dari narasumber.
Variety Show
Variety Show merupakan tayangan yang lazim ditemui pada
51. 50 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA
stasiun televisi hiburan. Rentang kategori tayangan ini cukup
beragam diantaranya kuis atau permainan, talk show dengan materi
ringan (misal: Bukan 4 Mata, Dorce Show, Makin Malam Makin
Murah), sketsa komedi, dan kuliner. Dalam seminggu terdapat total
97 tayangan variety show; Trans TV menampilkan 21 tayangan
menempati urutan pertama terbanyak, disusul kemudian Trans7
menampilkan 20 tayangan. Dua stasiun yang tergabung dalam
Para Group ini memang banyak menampilkan tayangan variety
show sebagai acara unggulan. Kuis Missing Lyric, Ceriwis Pagi Manis,
Kuliner: Ala Chef, Extravaganza, merupakan tayangan-tayangan
uggulan di Trans TV; sedangkan Trans7 mempunyai variety show
unggulan Bukan 4 Mata, Dorce Show dan Opera Van Java.
Program acara variety show mendapatkan „hujan“ surat teguran
pada tahun 2009 (lihat Tabel 3), setidaknya 32 surat teguran dila-
yangkanpadaparapenyelenggarastasiuntelevisi.Episode“Sumanto,
mantan pemakan mayat“ membuat tayangan Empat Mata terhempas
dari layar kaca Tran TV karena dianggap menampilan peristiwa
sadisme, yang menampilkan seseorang yang memakan kodok hi-
dup-hidup (pada episode tersebut). Walaupun tidak berselang lama
Trans TV kembali menampilkan variety show yang sama yang ber-
tajuk Bukan 4 Mata, yang sebetulnya hanyalah imitasi dari acara
Empat Mata yang dibalut dengan kata „bukan“. Variety show Curhat
Bareng Anjasmara (TPI) juga dihentikan oleh KPI karena banyak
menyuguhkan kekerasan verbal; setali tiga uang dengan Makin
Malam Makin Mantap (ANTV) yang dihentikan penyiarannya karena
dianggap banyak menyajikan dialog yang vulgar dan mengarah pada
unsur porno.
Reality Show
Reality Show merupakan tayangan terbanyak ketujuh di layar
televisi Indonesia, yaitu 90 tayangan dalam seminggu. Tayangan ini
merupakangenrebarudiIndonesia,dancukupbanyakmendapatkan
perhatian pemirsa televisi. Trans TV menampilkan 20 tayangan
reality show dalam seminggu. AGBNielsen menobatkan Termehek-
mehek sebagai salah satu tayangan ber-rating tinggi sepanjang
tahun 2009. Sedangkan Global TV menampilkan 19 tayangan dalam
52. 51KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
seminggu. Reality show menjadi salah satu acara unggulan bagi sta-
siun yang tergabung dalam MNC Group ini, dengan program khusus
Seriality atau Serial Reality.
Reality show adalah acara yang banyak dipertanyakan
“realitasnya“ (Reality show yang Bukan Real pada (www.kpi.go.id).
Pada penampilannya acara ini pun banyak menyajikan kekerasan
verbal maupun isik dan ekploitasi kemiskinan Maka tidak meng
herankan jika program acara ini “memanen” 1113 pengaduan pe-
mirsa televisi di tahun 2009.
Program Olah Raga
Tayangan olah raga merupakan tayangan terbanyak kedelapan
di layar televisi Indonesia, yaitu sebanyak 88 tayangan. Trans7
menyajikan 24 tayangan dalam seminggu. Sepak bola (Liga Inggris,
Liga Champion) dan olah raga otomotif (Motor GP, Formula 1) me-
rupakan program olah raga unggulan stasiun televisi ini di setiap
akhir pekan. Sementara Metro TV menempati posisi kedua ter-
banyak dalam menampilan tayangan olah raga; bedanya Metro TV
umumnya hanya menyajikan berita-berita olah raga bukan dalam
bentuk siaran langsung sebuah even olah raga layaknya Trans7.
Tayangan sepak bola masih menjadi tontonan yang disukai oleh
pemirsa Indonesia di tahun 2009, terutama jika even tersebut meli-
batkan partisipasi kesebelasan tanah air (AGBNielsen, 2009).
Musik
Tayangan terbanyak kesembilan di layar kaca Indonesia adalah
Musik, sebanyak 71 tayangan dalam seminggu. Seperti dikemuka-
kan pada bagian awal, pentas musik live yang melibatkan parti-
sipasi penonton di pentas maupun pemirsa di rumah melalu
teknologi komunikasi yang sedang in di kalangan anak muda, se-
perti telepon seluler dan internet yang memanfaatkan fasilitas
chatting, Facebook, video tele-conference menjadi tren tayangan
stasiun-stasiun televisi Indonesia. SCTV menampilkan 16 tayangan
musik dalam seminggu dengan Inbox yang ditayangkan pagi hari,
dan Metal yang ditayangkan sore hari. Trans7 dan ANTV masing-
masing menampilkan 12 tayangan musik dalam seminggu. Trans7
53. 52URGENSILITERASIMEDIADALAMPERTELEVISIANINDONESIA
Tabel 2: Jenis Tayangan Stasiun Televisi Selama Satu Minggu*
*Bulan Oktober 2009 – pengolahan data program acara pada website stasiun televisi
Stasiun
TV
Program
News Sport Infotainmet Musik Film
Reality
Show
Sinetron
Film/Prog.
Anak
Variety Show
RCTI 33 7 19 11 13 15 27 3 5
TransTV 39 0 20 7 22 20 16 0 21
SCTV 73 0 21 16 31 9 45 0 0
INDOSIAR 30 2 14 0 22 0 44 12 15
TPI 38 0 8 4 48 5 0 35 8
Trans7 49 24 18 12 3 7 0 52 20
ANTV 49 19 5 12 0 0 0 50 9
TVOne 80 16 5 1 0 13 0 0 6
MetroTV 329 20 1 3 1 2 0 0 2
GlobalTV 23 0 9 5 2 19 15 51 11
TOTAL 743 88 120 71 142 90 147 203 97
54. 53KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
lebih banyak menampilkan tangga lagu favorit dan pemutaran
klip musik, sedangkan ANTV mengkombinasikan pertunjukan live
musik dan penampilan tangga lagu unggulan.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai institusi monitoring
media penyiaran menerima 3085 pengaduan pemirsa mengenai
ketidaklayakan materi siar televisi pada tahun 2008. Jumlah
tersebut meningkat tajam hingga 8098 pengaduan pada tahun
2009. Jumlah tersebut merupakan pengaduan masyarakat secara
individu maupun kelompok kepada KPI lewat e-mail, website, tele-
pon, sms, surat, dan tatap muka langsung. Jumlah tersebut belum
termasukpengaduan-pengaduanyangmasuklewatKPID-KPIDdi27
propinsi di Indonesia. Berdasarkan kategori yang ada, diantaranya
pengaduan terhadap program reality show terdapat 1113 kasus,
program show sebanyak 342 kasus, program infotainment terdapat
163 kasus. Selebihnya, pengaduan ditujukan pada program-prog-
ram acara lain seperti sinetron, proses perizinan penyiaran, dan
sejumlah persoalan kelembagaan.
Sepanjang tahun 2009 setidaknya KPI pusat telah melayangkan
128 surat teguran dan himbauan kepada lembaga penyelenggara
siaran televisi yang isi acaranya telah melanggar UU No. 3 tahun
2002 Penyiaran serta P3 dan SPS KPI. Sebanyak 99 surat teguran
ditujukan pada masing-masing stasiun televisi nasional. Dua puluh
delapan surat himbauan disampaikan pada seluruh penyelenggara
siaran televisi (secara kolektif), dan satu surat himbauan kepada
Departemen Komunikasi dan Informasi. Program acara variety
show merupakan program terbanyak yang mendapatkan teguran
dan himbauan, yaitu 32 surat teguran/himbauan; disusul dengan
sinetron 22 surat teguran/himbauan (www.kpi.go.id).
Tayangan Iklan
Membahas content televisi, tentu tidak akan lengkap jika tidak
membahas iklan yang berseliweran di dalamnya. Belanja iklan
Indonesia tahun 2009 menembus angka Rp 48,5 trilyun, meningkat
16 persen dibandingkan tahun 2008, dan peningkat belanja
tersebut terlihat pada semua media. Televisi mendapatkan alokasi
belanja iklan paling tinggi, yaitu Rp 29 trilyun, sekitar Rp 16 trilyun
56. 55KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
pada koran, dan lebih dari Rp 1 trilyun pada majalah dan tabloid.
Alokasi waktu tayang iklan di televisi pun naik 5 persen dari tahun
2008. Total durasi iklan yang tertayang di tahun 2009 adalah lebih
dari 21.000 jam atau setara dengan 57 jam perhari. Sedangkan
total durasi program adalah 202.901 jam selama tahun 2009, rata-
rata terdapat sekitar 555 jam program per harinya. Sehingga dalam
setiap satuan waktu tayang program acara televisi sepuluh persen-
nya adalah tayangan iklan (Kompas, 19 Januari 2010).
Sementara sepanjang 2005 – 2008 terdapat 346 kasus pelang-
garan iklan yang ditangani oleh Badan Pengawas Periklanan (BPP),
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Jika diambil
rata-rata terdapat 58 kasus pelanggaran iklan setiap enam bulan.
Sedangkan sepanjang bulan Januari – Mei 2009 jumlah pelanggaran
meningkat 50 persen, yaitu 43 kasus resmi ditetapkan melanggar
Etika Periklanan Indonesia (EPI), 45 kasus masih dalam proses
pengkajian. Dari total 88 kasus tersebut, bentuk pelanggaran ter-
banyak adalah pada penggunaan kata-kata superlatif, dengan total
31 kasus (PPPI, 2009).
Pentingnya Media Literacy
Masyarakatmasihmenganggapmediatelevisiadalahmediayang
mampumemuaskankebutuhanmerekaakanhiburandaninformasi.
Sadar atau tidak, tayangan-tayangan televisi sudah mewarnai kehi-
dupan mereka sehari-hari. Masyarakat menggunakan isi media se-
bagai salah satu bahan bersosialisasi dengan lingkungannya, dari
diskusi kaum terpelajar di kampus yang mendiskusikan panasnya
isu politik negara, hingga pergunjingan gossip artis oleh ibu-ibu
di perkampungan. Televisi sebagai hiburan merupakan ”nilai” dan
bagiandariindustrikebudayaankapitalis.Seturutdenganpenyajian
tayangan-tayangan yang mampu menimbulkan ”kesenangan dan
rasa nyaman” bagi pemirsanya, industri kebudayaan ini berusaha
mengkamu lasekan kekerasan kekerasan yang mereka sajikan
Hal tersebut muncul pada beberapa tingkatan: pada tingkatan
produk (hiburan) yang mampu mempengaruhi pemirsanya
untuk konsumtif; dan pada tingkatan struktural dimana industri
kebudayaan ini mampu mengontrol fungsi peraturan dan per-
57. 56 URGENSI LITERASI MEDIA DALAM PERTELEVISIAN INDONESIA
undangan, dan berusaha mengharmonisasikannya dengan kepen-
tingansistemkapitalis(AdornodalamTaylorandHarriss,71:2008).
Contoh kasus pada diundurnya pemberlakuan ketentutan ”televisi
berjaringan” yang seharusnya dimulai pada 28 Desember 2009
lalu, dimana setiap stasiun televisi swasta nasional yang sekarang
ini ada, harus bersinergi dengan stasiun-stasiun televisi daerah
untuk mengelola isi siarannya. Stasiun televisi nasional harus
bekerja sama dengan televisi daerah jika menginginkan siarannya
bisa ditangkap di daerah setempat. Semangat dasar dari televisi
berjaringan adalah terpenuhinya aspek keragaman kepemilikan
dan materi acara, serta menumbukan kearifan lokal. Pengunduran
pemberlakuan aturan televisi berjaringan ini, merupakan merupa-
kan bentuk ketidakberdayaan pemerintah pada kekuatan konglo-
marasi media di Indonesia (Tempo Interaktif, 19 November 2009).
Alih-alih kekurangan modal untuk membangun infrastruktur te-
levisi berjaringan di daerah dan repotnya memohon persetujuan
dengan para pemagang sahamnya, sebetulnya ini merupakan
bentuk keangganan stasiun televisi nasional berbagi kue iklan dan
kebijakan isi medianya dengan stasiun-stasiun televisi di daerah
(Kompas.com, 26 Januari 2010).
Memang tidak semua tayangan di layar kaca televisi Indonesia
buruk dan harus dibuang, masih ada Laptop Si Unyil (Trans7) yang
menggambarkan keceriaan dan kretivitas anak Indonesia, Asal
Usul (Trans7) yang mampu memberikan wawasan pada anak-anak
tentang dunia lora dan fauna di tanah air program talk show Kick
Andi (Metro TV)yang sangat menghibur dan menyajikan kejadian-
kejadian di balik hard news yang menginspirasi kita semua, dan
tentu masih ada yang lain. ”Bijak dalam bermedia” adalah kata kunci
kemenanganpemirsadalammenghadapigempurankekerasanyang
disajikan dalam acara televisi. Kemampuan media literacy sangat
dibutuhkan dalam era komunikasi saat ini. Media literacy atau
media kemampuan menangkap dan menginterpretasikan pesan
yang ditransmisikan oleh media, dan kemampuan menyimpulkan,
menganalisa, dan memproduksi pesan bermedia (Namle, 2009).
Setidaknya ada delapan hal yang harus kita sadari saat kita
bercengkrama dengan media (Pungente, 1989):
58. 57KETIKA IBU RUMAH TANGGA MEMBACA TELEVISI
1. Semua media adalah konstruksi. Apa yang ditayangkan
media bukanlah representasi dunia yang sesungguhnya. Media
memproduksipesandenganperencanaanyangseksamadengan
mempertimbangan berbagai faktor yang menguntungkan
baginya. Media literacy berusaha mendekonstruksi dan melihat
realitas di balik itu semua.
2. Media mengkonstruksi realitas. Media bertanggung jawab
padaapayangpemirsapahamitentanglingkungannya.Sebagian
besar pemahaman pemirsa tentang realitas lingkungannya
didasarkan pada apa yang mereka lihat dan dengar dari pesan-
pesan media, yang sebetulnya sudah dirancang sedemikan rupa
oleh industri kebudayaan tersebut.
3. Pemirsa menegosiasikan pemahamannya dengan media.
Media menyuguhkan hal-hal yang selama ini pemirsa pahami
sebagai sebuah realitas, dan kita “menegosiasikan” pemahaman
kita seturut dengan kebutuhan kita. Ketika kita sedang gelisah
kita mencari hiburan dalam media, kita cenderung mencari
informasi-informasi yang meneguhkan pemahaman kita akan
sesuatu, yang sebetulnya sudah kita amini. Kita akan cenderung
menolak informasi-informasi yang selama ini tidak kita setujui
atau tidak sesuai dengan apa yang kita anut.
4. Media mempunyai implikasi komersial. Media literacy
berusaha memberikan penyadaran bahwa apa yang disajikan
media dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan komersial,
bagaimana media meramu isi, teknik produksi, dan distribusi isi-
nya.Sebagianbesarprodukmediaadalahuntukkepentinganbisnis
yang didasarkan atas pertimbangan untuk meraih keuntungan
ekonomi.
5. Isi media mengandung pesan-pesan yang berideologi
tertentu. Apa yang diproduksi media pada hakekatnya adalah
iklan-iklan yang membujuk kita untuk lebih konsumtif, dan
membuat kita tidak kritis.
6. Media mempunyai implikasi sosial dan politik. Media
mempunyai pengaruh besar pada kekuasaan politik dan
perubahan sosial. Mungkin kita masih ingat bagaimana pende-
ritaan seorang Prita Mulyasari mampu menggerakkan kata hati