SlideShare a Scribd company logo
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS BERITA KENAIKAN HARGA BBM OLEH METRO
TV DAN TV ONE
MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) PENGANTAR
KAJIAN MEDIA
ATIKAH ADRILIA G., 1306412691 (atikahgulton94@gmail.com)
DARA ADINDA K. N., 1306460154 (daraakesuma@gmail.com)
GABRIELA F. S., 1306385280 (gabriela.subagio@gmail.com)
NIDA VANIA, 1306385450 (awkward.only@gmail.com)
PERI ANDRIAN A., 1306414116, (periandrian_saus@gmail.com)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
DEPOK
2014
ii
ABSTRAK
Makalah ini membahas berita sebagai sebuah teks media yang merupakan rekonstruksi realitas
dan bagaimana berita dimanfaatkan sebagai corong politik bagi konglomerat yang terjun ke
dunia politik. Contoh kasus yang dianalisis dalam makalah ini adalah berita mengenai dampak
kenaikan harga BBM yang disiarkan oleh Metro TV dan TV One. Metode yang digunakan
dalam penulisan paper ini adalah metode studi pustaka menggunakan data dari beberapa
literatur konvensional maupun modern seperti official website. Teori yang dipakai untuk
menganalisis kasus adalah teori ekonomi media dan politik media. Selain itu, kasus tersebut
juga dianalisis menggunakan konsep ideologi media, institusi media, audience, naratif dan
bahasa media, representasi, dan wacana media. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan
adanya konstruksi pesan dalam penyiaran kedua berita tersebut yang ditujukan untuk
mendukung preferensi politik dari masing-masing pemilik TV One dan Metro TV.
Kata kunci: ideology, institutions, media, news, politic.
1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pada tahun 2013, Agus Sudibyo dan Nezar Patria melakukan penelitian mengenai peta
kepemilikan media di Indonesia. Penelitian berjudul The Television Industri in Post-
athoritarian Indonesia itu mengungkapkan adanya pemusatan kepemilikan perusahaan media
Indonesia di tangan pihak-pihak tertentu, seperti Kompas Group, Trans Corp, MNC Group,
dan Bakrie & Brothers Group. Namun, temuan yang paling menarik dari penelitian Sudibyo
dan Nezar (2013:272) itu adalah fenomena pemilik stasiun televisi yang menjadi pemimpin
atau berafiliasi dengan partai politik tertentu. Aburizal Bakrie, pemilik TV One dan AnTV
adalah Ketua Umum Partai Golkar. Sementara itu, Surya Paloh yang memiliki Metro TV dan
Media Indonesia Group adalah pendiri sekaligus Ketua Umum dari Partai Nasional Demokrasi
(Nasdem). Surya Paloh kemudian bersatu dengan pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibyo
dalam mengelola partainya.
Belakang ini, peta perpolitikan para media mogul itu sedikit berkembang berkat adanya
Pemilihan Presiden yang dilaksanakan pada 9 Juli 2014 silam. Dua calon bertarung dalam
Pilpres itu, yakni mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum
Partai Gerindra Prabowo Subianto. Surya Paloh dan Aburizal Bakrie kemudian memilih koalisi
yang berbeda sehingga berdampak pada siaran berita di stasiun televisi keduanya. Dukungan
Partai Nasdem kepada Jokowi membuat tayangan berita Metro TV berpihak pada Jokowi.
Sebaliknya, TV One cenderung menyiarkan berita yang berpihak pada Prabowo Subianto
karena Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal mendukung Prabowo. Puncaknya, Menteri
Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) memberi peringatan keras terhadap kedua stasiun
televisi itu setelah mendapat masukan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dianggap
tidak netral dalam Pilpres (Viaberita.com, 2014).
Permasalahan
Melihat fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengangkat persoalan stasiun televisi
yang dijadikan corong politik bagi pemiliknya, terutama pada siaran-siaran berita yang
dikeluarkan oleh kedua stasiun televisi itu. Menarik untuk membedah bagaimana sebuah berita
yang selama ini dianggap sebagai cerminan realitas sosial sebenarnya tak lebih dari produk
media yang merekonstruksi realitas. Realitas ini dikonstruksi sedemikian rupa demi
menyampaikan kepentingan-kepentingan politik si empunya perusahaan media.
2
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah persoalan pemberitaan
tentang dampak kenaikan harga BBM yang disiarkan oleh Metro TV dan TV One. Metro TV
menyiarkan berita mengenai kenaikan harga BBM yang mendapat sambutan positif dari pasar
saham Indonesia dalam program Metro Siang. Sementara itu, TV One menyiarkan berita yang
menyoroti dampak kenaikan harga BBM pada pendapatan supir angkot dalam program Ruang
Kita. Kedua berita itu disiarkan pada tanggal 18 November 2014, pada pukul 14.00 WIB.
Berikut ini adalah ringkasan isi kedua berita tersebut.
Metro Siang—Market Sentiment Bursa Efek Indonesia (BEI) Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) dibuka positif pasca pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi. Mulai
Selasa pagi IHSG berada di level positif atau pada sentiment yang baik. Gema Goeyardi, Chief
ISAI Analyst menyatakan bahwa dengan naiknya BBM, maka ada sebuah dampak positif di
makro ekonomi dimana rupiah akan terapresiasi karena merupakan APBN yang dapat
diefisiensi melalui kenaikan harga BBM. Dengan apresiasi rupiah, maka akan sangat banyak
dampak yang akan terlihat di market terutama di sektor-sektor yang selama 8 bulan terakhir
terpukul karena depresiasi rupiah mencapai 20%. Goeyardi juga menyebutkan bahwa sejauh
ini kenaikan harga BBM tidak berdampak secara signifikan pada sektor-sektor yang sensitif
terhadap rupiah.
Ruang Kita—Kenaikan harga BBM berdampak pada penghasilan sopir angkot. Leo
Hutabarat, seorang sopir angkot di Medan, Sumatera Utara, mengaku naiknya harga BBM
menurunkan penghasilannya secara drastis. Kenaikan harga BBM yang tidak diimbangi
dengan peraturan kenaikan tarif angkot oleh pemerintah ini semakin terasa menyulitkan akibat
sepinya penumpang pasca kenaikan harga BBM. Para sopir angkot masih menunggu peraturan
pemerintah daerah mengenai kenaikan tarif angkot.
Tujuan Penulisan
Makalah ini akan membahas bagaimana kedua berita itu dikonstruksi untuk mendukung
keberpihakan politik kedua pemiliknya melalui sudut pandang kajian media. Penulis akan
mendekonstruksi kedua teks berita itu menggunakan konsep-konsep kajian media. Analisis
yang terdapat dalam makalah ini diharapkan mampu memberikan gambaran kepada
masyarakat mengenai kondisi dunia jurnalisme televisi di Indonesia saat ini.
3
Kerangka Konsep
Institusi Media
“Media massa adalah suatu industri yang tumbuh dan berkembang yang menciptakan
lapangan kerja, memproduksi barang dan jasa, serta menghidupi industri lainnya yang terkait,
media massa juga merupakan suatu institusi yang memiliki aturan-aturan dan norma-norma
yang menghubungkan dirinya dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya, dan sebagai
institusi sosial media massa diatur oleh masyarakat.” (McQuail, 1989).
Kemajuan industri medium televisi di Indonesia paling sedikit ditandai oleh tiga hal.
Pertama, pengelolaan usaha di bidang medium televisi tidak lagi dilakukan dalam bentuk
yayasan serta mengutamakan aspek idealnya, tetapi berupa PT yang didukung oleh sistem
manajemen profesional dan penggunaan produk-produk canggih serta mengarah kepada
komersialisme. Kedua, konglomerat semakin banyak menanamkan modalnya pada industri
televisi. Ketiga, televisi yang ada semakin majemuk beragam jenisnya dan mengarah pada
spesialisasi serta profesionalisme. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa
pertumbuhan industry televisi dewasa ini sangat kompetitif dan profesional. Institusi media
dilihat dari beberapa segi yaitu: konglomerasi media, ekonomi dan media massa modern serta
kepemilikan.
Konglomerasi media sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan
bangsa. Salah satu bentuk konglomerasi media adalah terpusatnya kepemilikan media massa
oleh para penguasa modal. Contoh, di Indonesia adanya konglomerasi yaitu MNC Group milik
Hary Tanoesoedibyo, Trans Corp milik Chairil Tanjung, dan Media Indonesia Group milik
Surya Paloh.
Media massa sebagai institusi ekonomi, dalam hal ini erat kaitannya dengan kapitalisme
media dan liberalisme media. Media modern sekarang kurang memperhatikan kepentingan
sosial, budaya, bahkan politik, tapi kepentingan merauk keuntungan yang sebesar-besarnya
tanpa memperhatikan positif dan negatif pemberitaan dan informasi yang dicerna masyarakat.
Dari beberapa fenomena kapitalisme media massa di Indonesia telah terjadi integrasi horizontal
dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal, yaitu proses di mana sebuah perusahaan membeli
beberapa media yang berbeda, misalnya majalah, televisi, penerbitan buku, record labels, dan
sebagainya dengan tujuan saling mendukung operasi dari masing-masing media.
Sedangkan integrasi vertikal yaitu proses di mana sebuah perusahaan memiliki semua
aspek produksi dan distribusi dari setiap produk media, misalnya sebuah perusahaan film
secara vertikal mengintegrasikan aspek-aspek seperti agensi pencari bakat, studio produksi,
4
rantai teater. Fenomena kapitalisme media ini juga dapat ditandai dengan semakin hilangnya
ruang publik, kebangkitan infotainment, turunnya jurnalisme investigasi, dan tendensi adanya
homogenisasi (Deveraux, 2003:57).
Menurut McQuail (1987:40) salah satu ciri-ciri institusi media massa adalah institusi
media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungan pada imbalan kerja, teknologi,
dan kebutuhan pembiayaan. Dalam hal ini industri pasar dapat diartikan dengan kapitalisme.
Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada
keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan
sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk
informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi politik dan ekonomi.
Kepemilikan merupakan bagian dari ekonomi politik. Sistem kepemilikan merupakan
sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan ekonomi media. Masalah akan muncul bil
berkaitan dengan atmosfer ekonomi, yaitu masalah kepemilikan media massa yang justru
melemahkan peran dan fungsi sosial media massa, yaitu melemahkan proses diversitas
informasi yang diperlukan oleh masyarakat. Media massa berkembang di antara titik tolak
kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan
kekuasaan. Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media
massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan
saham atau modal untuk mengontrol isi media, mengendalikan pers dengan merekayasa.
Pada dasarnya media massa adalah institusi yang mementingkan masalah sosial dan
politik dalam bermasyarakat dan bernegara serta mencerdaskan khalayak dengan informasi-
informasi yang mendidik bahkan meluruskan berbagai problem kemasyarakatan hingga
pemerintahan pada media massa modern saat ini. Namun, lahir fenomena baru tentang kuatnya
karakter kapitalisme media dalam proses berkembangan media massa yang sudah merambah
ke arah kepemilikan modal tunggal yang hanya mementingkan keuntungan saja.
Wacana Media
McDougall dalam bukunya yang berjudul Media Studies: The Basics (2012),
mengemukakan bahwa kajian media dapat dianalisis melalui tiga wacana, yaitu wacana
kekuasaan media, wacana ekonomi, dan wacana literasi media. Wacana-wacana tersebut tidak
hanya dapat saling berkaitan, tetapi juga dapat saling bertentangan.
a. Wacana Kekuasaan Media
Dalam wacana ini, penulis fokus pada bagaimana media mampu mengkonstruksi
realita dengan kekuasaannya. Menurut Couldry (2000:5), media memiliki dampak
5
sosial pada skala yang besar bukan hanya karena mekanisme penyiaran terpusat pada
satu tempat, melainkan juga karena publik percaya pada otoritas wacana media dalam
konteks lokal yang tak terhitung jumlahnya, dan juga dikarenakan publik bertindak
atas dasar keyakinan tersebut. Pola-pola lokal terkait kepercayaan dan tindakan ini
telah menjadi rutinitas, sehingga efek kekuasaan media tidak disadari oleh publik.
a. Wacana Ekonomi
Pada wacana ini penulis fokus pada hubungan antara ekonomi dan media itu sendiri.
Potter (2001:141) menawarkan konsep news-framing dalam mengkaji bisnis media.
Menurutnya, news-framing seperti batasan yang dapat dilihat sebagai kekuatan yang
membentuk apa yang akan dipilih dan dibentuk sebagai berita. Namun, news-framing berbeda
dari batasan yang dimaksud karena merupakan konstruksi jurnalis untuk membantu mereka
dalam melakukan pekerjaan dan untuk memenuhi tujuan bisnis yang mempekerjakan mereka.
Altheide (dalam Potter, 2001) mengemukakan bahwa pengaruh terkuat pada konstruksi berita
adalah sifatnya yang komersial.
b. Wacana Literasi Media
Dalam wacana ini, para akademisi yang mempelajari kajian media akan lebih siap untuk
berkomunikasi di dunia modern jika mereka memiliki kemampuan analisis kritis dalam
menafsirkan teks-teks media. Khalayak dapat menolak pengaruh kekuasaan media apabila
telah terliterasi atau “melek” media. Oleh sebab itu, McDougall menawarkan konsep wacana
literasi media agar para akademisi tidak melihat segala sesuatu dari sisi hitamnya saja atau sisi
putihnya saja (non-binary opposition).
Ideologi Media dan Hegemoni
Ideologi sebagai salah satu konsep kunci dalam kajian media diungkapkan Hartley
(2004 :103) dalam bukunya Communication, Cultural and media studies and The Key Concepts
sebagai pengetahuan dan karakteristik ide dari ketertarikan bersama dalam satu kelompok.
Pengetahuan dan karakteristik ide menjadi sebuah sistem kepercayaan yang kemudian
dikatakan Rayner (2008: 78) dapat menentukan bagaimana hubungan kekuasaan diatur dalam
masyarakat. Kedua definisi tersebut selaras dengan pandangan Van Dijk (2003: 1) yang
mengemukakan bahwa ideologi merupakan sistem sosial yang digunakan bersama dalam
kelompok, dan menjadi representasi mental dalam kelompok tersebut.
6
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat ditarik benang merah bahwa
ideologi adalah sistem ide atau gagasan yang tersusun dari pengetahuan, keyakinan, nilai, yang
diperjuangkan oleh orang atau sekelompok orang dalam kehidupan sosialnya. Keberadaan
ideologi yang menjadi komponen fundamental dalam kehidupan sosial tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan media yang semakin memiliki peran yang kuat dan pengaruh nyata dalam
setiap aspek kehidupan sosial dan masyarakat. Salah satu produk media adalah berita. Hartley
dalam bukunya Understanding News (1982 : 48 )mengemukakan bahwa
“News is just one social agency among many – news organizations are themselves
determined by the relationships that develop between them and other agencies, the two most
important agencies likely to have say in the news are capital and the state – commerce and
government”
Hubungan berita dengan pemerintahan dan negara seperti yang diungkapkan Hartley
mempunyai kekuatan penting dalam pembentukan hegemoni yang dilakukan oleh para elitis
pemerintahan dan media. Hegemoni menurut Hartley (2002:99) adalah untuk memaksa orang-
orang yang berlawanan keinginan dengan para elit berkuasa atau menyerahkan kekuasaan tetap
pada yang telah berkuasa, tetapi dengan jalan memenangkan persetujuan dengan cara-cara dan
fakta yang masuk akal. Gramsci dalam Rayner (2008: 80) menyederhanakan bahwa hegemoni
adalah bagaimana orang-orang dipengaruhi untuk menerima dominasi dari elit kekuasaan yang
menentukan keinginan dan cara pandang terhadap dunia. Maka dari itu, dapat diperdebatkan
bahwa peran ideologis dari suatu media adalah untuk mempersuasi orang agar sukarela dalam
menerima dominasi dari para elitis kekuasaan.
Representasi, Realitas, dan Objektivitas.
Mediasi dan representasi adalah dua hal yang berkaitan terhadap realitas. Semua hal
yang disentuh oleh media dapat berubah, bukan berarti dengan menyampaikan suatu berita atau
informasi berarti menyampaikan keseluruhan kebenaran yang terjadi. Misalnya, peristiwa
mengenai demonstrasi kenaikan BBM, membaca berita atau artikel tidak sama dengan rasanya
kita sebagai saksi mata yang ikut hadir dalam demonstrasi BBM tersebut (Burton, 1997: 83).
Burton mengatakan bahwa jika kita bicara masalah media yang melakukan mediasi
maka kita harus terus menancapkan dalam pikiran kita mengenai representasi. Artinya, apapun
yang disampaikan oleh media bukanlah kejadian riil, ide asli, atau objek asli, melainkan
kejadian, ide, atau objek yang artificial. Kenyataan ini seharusnya membuat kita paham bahwa
7
terdapat gap besar antara realitas dan representasi oleh media. Sayangnya, ketika kita
berhadapan dengan ‘gambaran’ media, kita cenderung melupakan bahwa satu-satunya versi
untuk melihat realitas adalah dengan melihat ‘riil’-looking picture suatu kejadian, ide, atau
objek (Burton, 1997:84). Senada dengan hal itu, Rayner menyatakan (2008: 85) apa yang kita
lihat, apa yang kita dengar, dan apa yang kita baca dari media adalah representasi bukanlah
realitas yang sesungguhnya.
Selain representasi dan realitas, konsep menarik lainnya adalah objektivitas. Seorang
master sufi Timur Tengah Jalaludin Rumi pernah mengilustrasikan bahwa objektivitas itu
seperti menyuruh orang buta menyentuh gajah dan meminta orang buta itu menjelaskan ‘apa
itu gajah?’ Lima orang buta yang sudah masing masing memegang gajah tersebut menyentuh
gajah dengan bagian masing-masing. Orang buta pertama yang memegang belalai mengatakan
gajah itu bentuknya panjang, lentur, dan bergerak. Sedangkan orang buta kedua yang
memegang punggung gajah mengatakan gajah itu bentuknya lebar, sampai orang buta kelima
akan menggambarkan gajah sesuai dengan pengalaman mereka menyentuh gajah.
Audience
Pendefinisian audience telah melewati banyak diskursus di antara para ahli komunikasi.
Denis McQuail yang menulis buku berjudul Audience Analysis (1997) mengartikan audience
sebagai istilah kolektif yang ditujukan pada “receiver” dalam model komunikasi massa
sederhana yang berisi sumber, channel, pesan, penerima, dan efek yang diseebarkan oleh pionir
di bidang penelitian media. Dalam perkembangannya, audience tak lagi dipandang hanya
sebatas penerima pesan. Kitzinger (2004: 167) siapa yang merupakan audience, kapan, dimana,
dan dalam keadaan apa audience didefinisikan sangatlah bersifat elastis. Elastisitas
pendefinisian audience itu didukung oleh Graeme Burton. Dalam bukunya yang berjudul More
Than Meets The Eye (2002: 233), ia menyatakan bahwa audience bukanlah sesuatu yang
terpisah dari kita. Maka dari itu, orang-orang yang membuat materi media, pada saat yang
bersamaan juga menjadi audience untuk materi media yang mereka buat.
Dari pernyataan para ahli itu, maka dapat disimpulkan bahwa batas antara audience dan
produser sangatlah kabur di level tertentu. Maka dari itu, kekuasaan yang dimiliki pun
terkadang berpindah dari audience dan produser. Sebagaimana dikemukakan oleh Ruddock
(dalam McDougall 2012: 24), riset audience selalu melibatkan isu kekuasaan, apakah kita ingin
tahu apa yang dilakukan media kepada masyarakat, apa yang dilakukan masyarakat terhadap
media, atau barangkali, apa yang orang lakukan pada dirinya dan orang lain dengan media.
8
Sementara itu, dalam konteks analisis berita, Barker and Wall (2006: 181)
mengemukakan dua cara untuk melihat pembuktian hubungan antara berita dengan
pembacanya. Cara pertama adalah kesempatan untuk memberikan umpan balik atau partisipasi.
Kedua, segmentasi penonton dari sebuah edisi, misalnya halaman khusus wanita atau halaman
finansial. Pemetaan audience yang dituju oleh berita ini akan dilakukan dengan konsep mode
of address yang dikemukakan oleh Burton (2002: 242), yaitu cara teks media berbicara kepada
audience secara verbal atau visual.
Naratif dan Bahasa Media
Naratif dalam berita diartikan sebagai sebuah cara pengungkapan informasi dalam cara
tertentu untuk membuat audience tertarik sekaligus membantuu mereka memahami apa yang
sedang terjadi (Rayner and Wall, 2008: 269). Rayner dan Wall juga melihat berita sebagai
sebuah cerita yang dirangkai, sama dengan fiksi naratif lainnya dalam hal menyampaikan
informasi. Sebagaimana cerita, ada proses konstruksi realitas di dalamnya.
Maka dari itu, untuk melihat realitas sebenarnya dalam berita, perlu dilakukan
dekonstruksi teks. Objek yang didekonstruksi adalah bahasa media. Menurut McDougall
(2002: 35), bahasa media merujuk pada kombinasi komunikasi tertulis, verbal, non-verbal,
aural, dan estetika yang memiliki hubungan langsung dengan makna. Dekonstruksi teks media
dilakukan sesuai dengan jenis teks yang ditampilkan. Misalnya, untuk menganalisis sebuah
gambar atau foto, digunakan semiotika. Semiotika adalah alat yang digunakan untuk memaknai
teks media pada level tanda dalam sistem symbol dan mitos (McDougall, 2002:59). Jika ingin
menganalisis video atau moving image, semiotika saja tidak cukup. Hal ini disebabkan adanya
proses editing dalam moving image yang cukup penting dalam konstruksi makna media.
Analisis Berita Dampak Kenaikan Harga BBM oleh Metro TV dan TV One
Analisis Institusi Media
Di Indonesia, teori ekonomi media sudah terbukti benar karena melahirkan para
konglomerat media yang kaya karena bisnis medianya. Dan teori politik media juga sudah
terbukti; karena para pemilik media massa itu sudah banyak yang menjadi pejabat eksekutif.
Berbagai perusahaan media massa cetak dan elektronik yang ada di Indonesia hanya dikuasai
oleh 13 perusahaan raksasa saja. Perusahaan tersebut adalah MNC Group dimiliki oleh Hary
Tanoesoedibyo mempunyai 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak dan 1 media
9
online; Kompas Gramedia Group milik Jacob Oetomo memiliki 10 stasiun televisi, 12 stasiun
radio, 89 media cetak dan 2 media online; Elang Mahkota Teknologi milik Eddy Kusnadi
Sariaatmadja mempunyai 3 stasiun televisi dan 1 media online; sedangkan Mahaka Media
dipunyai oleh Abdul Gani dan Erick Tohir mempunyai 2 stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan
5 media cetak; CT Group dipunyai Chairul Tanjung memiliki jaringan 2 stasiun televisi, 1
media online.
Kepemilikan yang memunculkan konglomerasi merupakan faktor awal yang
menyebabkan adanya perbedaan sudut pandang dan perbedaan kepentingan politik dari TV
One dan Metro TV dalam membahas kasus kenaikan harga BBM. Kedua stasiun TV tersebut
baik TV One atau Metro TV; perusahaan media yang memiliki kekuasaan yang kuat tetapi
berbeda dalam hal kepentingan politik. Dalam hal ini media massa dijadikan alat atau menjadi
struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream
negara. Contoh lain dapat kita lihat pada masa Orde Baru. Media massa menjadi agen hegemoni
dan alat propaganda pemerintah.
Berdasarkan penelitian dalam beberapa tahun lalu menunujukkan bahwa mayoritas
publik Amerika berpaling pada televisi sebagai sumber berita mereka dan penonton
menempatkan televisi sebagai sumber berita yang paling terpercaya. Berita televisi mungkin
saja merupakan bagian pekerjaan jurnalistik, tetapi berita televisi juga merupakan pertunjukan
televisi sehingga tetap harus dapat menarik penonton. Pekerja berita televisi tetap harus
memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran dan menginformasikannya secara akurat kepada
publik, namun mereka juga punya kewajiban untuk menarik penonton dalam jumlah yang besar
sehingga stasiun TV atau jaringan tempat mereka bekerja dapat memperoleh keuntungan yang
besar.
Fenomena yang terjadi di Amerika adalah reporter menciptakan kembali suatu
kejadian. Beberapa penonton yang melek media mungkin akan dapat menerima argumen
bahwa “kejadian itu benar-benar terjadi”, namun tetap saja menciptakan masalah karena
penciptaan kembali suatu berita. Oleh karena itu, solusi untuk memahami suatu berita yang ada
di televisi adalah dengan menjadi individu yang melek media
Fenomena yang pernah terjadi di Amerika sekarang mulai terjadi di Indonesia tetapi
hal tersebut terjadi di Indonesia dengan fenomena kepentingan politik konglomerasi yang
akhirnya memengaruhi newsroom televisi dalam kasus ini newsroom TV One dan Metro TV
dalam membahas kenaikan BBM. Ketika jurnalistik menggunakan TV sebagai media maka
ada suatu kewajiban untuk membuat berita menjadi menarik dan ada keuntungan dan kerugian
yang diperhitungkan (kaitannya dengan ekonomi).
10
Analisis Wacana Kekuasaan Media
Jika ditanya perbedaan antara berita dan program hiburan, kebanyakan orang akan
menjawab bahwa program hiburan adalah fiksi yang dibuat oleh penulis, sedangkan berita
menyajikan peristiwa aktual yang terjadi di dunia nyata. Publik berpikir bahwa berita
merupakan refleksi dari peristiwa sehari-hari, tetapi jika kita lihat kedua permasalahan yang
telah disajikan pada bab sebelumnya terlihat bahwa TV One cenderung kontra terhadap
kenaikan harga BBM, sementara Metro TV justru sebaliknya. Permasalahan tersebut bukanlah
satu-satunya berita pro-kontra yang disajikan oleh kedua belah pihak, berita pro-kontra lainnya
tampak pada gambar berikut:
Gambar 1.1 Berita TV One
Gambar 2.2 Berita Metro TVnews
Media berpengaruh dan memiliki dampak terhadap audience dikarenakan media
powerful atau memiliki kekuasaan. TV One memberitakan sisi buruk kenaikan harga BBM
karena memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi audience agar sepaham dengan TV One,
dampaknya khalayak yang hanya menerima berita dari TV One saja kemungkinan juga tidak
setuju dengan kenaikan harga BBM dan menyalahkan Presiden Jokowi atas peristiwa ini. Sama
halnya dengan Metro TV yang memiliki kekuasaan agar khalayaknya sepaham, dampaknya
khalayak sadar bahwa kenaikan harga BBM memang perlu dan tidak berdampak signifikan
pada sektor perekonomian—menurut Bursa Efek Indonesia. Dapat diasumsikan bahwa berita
11
bukanlah sebuah refleksi dari kehidupan nyata melainkan suatu konstruksi yang didasarkan
pada perspektif masing-masing media.
Analisis Wacana Ekonomi
Sebagai industri, televisi menjanjikan keuntungan cukup besar bagi pemiliknya dengan
bersaing secara kompetitif. Data Nielsen Media Research pada tahun 2013 menunjukkan
bahwa televisi merupakan media yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat—sekitar
99%—disusul dengan mobile phones dengan penggunaan sebesar 78%, dan billboard sebesar
47%. Tingginya angka pengguna televisi tersebut tentu meningkatkan porsi belanja iklan.
Terbukti pada tahun 2013, porsi belanja iklan media sebesar 68%, surat kabar sebesar 30%,
dan tabloid/majalah sebesar 2% dengan total Advertising Expenditure 106,8 triliun (AGB
Nielsen, Januari-Desember 2013). Besarnya porsi belanja iklan inilah yang kemudian
memberikan keuntungan bagi pemilik media—khususnya televisi. Misalnya, kwartal ketiga
tahun 2006 Media Nusantara Citra (MNC) Group dapat meraup keuntungan Rp.4,8 triliun
(32% dari total belanja iklan TV). Kemudian Trans TV dan Trans 7 mampu mengumpulkan
keuntungan sebesar Rp.3,4 triliun (23,2%). ANTV dan Lativi memperoleh pendapatan sebesar
Rp.2,3 triliun (15%) dari total belanja iklan televisi (AGB Nielsen Research, 2006).
Hal tersebut mengakibatkan industri televisi komersial tidak lagi berorientasi untuk
memenuhi hak masyarakat agar terpenuhinya kebutuhan informasi, tetapi lebih dominan
berorientasi pada keuntungan ekonomi kapitalis. Dalam kasus ini, TV One dan Metro TV juga
membutuhkan iklan sebagai sumber penghasilan dan penyokong berjalannya program.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Howard Tyner bahwa bisnis jurnalisme adalah tentang
“eyeballs”, memperoleh sebanyak mungkin orang yang melihat produk media.
Analisis Wacana Literasi Media
Khalayak yang memperoleh berita dari Tv One cenderung melihat sisi buruk dari
kenaikan harga bbm saja, dan khalayak yang memperoleh berita dari Metro TV cenderung
melihat sisi positifnya saja tanpa melihat efek buruk yang menimpa masyarakat menengah ke
bawah. Oleh sebab itu, dengan adanya literasi media kita memiliki kemampuan analisa untuk
menginterpretasi teks media secara kritis—tidak hanya menerima apa yang diberikan media.
Dengan kata lain, dengan literasi media khalayak memahami dampak positif sekaligus dampak
negatif dari kenaikan harga BBM.
Analisis Ideologi Media TV One dan Metro TV
12
Polarisasi berita yang terjadi antara TV One dan Metro TV telah terlihat sejak wacana
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada pertengahan tahun 2014. Kedua stasiun televisi
yang mempunyai ideologi sebagai stasiun televisi berita semakin menunjukkan keberpihakan
terhadap masing-masing kubu calon Presiden dan Wakil Presiden yang berbeda. TV One
adalah salah satu media yang dikelola dibawah perusahaan konglomerasi Bakrie Group. Nama
Aburizal Bakrie sebagai salah satu pemilik Bakrie Group yang merangkap jabatan sebagai
Ketua Umum Partai Golkar harus digarisbawahi ketika berbicara tentang kepemilikan media
dan ideologi pada TV One.
Sejak Partai Golkar bergabung dalam tim Koalisi Merah Putih (KMP), tim pemenangan
calon Presiden nomor satu, TV One semakin menunjukkan keberpihakan dengan menyajikan
berita yang hanya memuat isu positif dari kubu calon presiden nomor satu dan cenderung
menyajikan berita dengan sudut pandang negatif pada kubu lawan. Hal serupa juga dilakukan
oleh Metro TV, stasiun televisi swasta dengan pemilik media seorang ketua umum partai
Nasdem yang merapat pada kubu calon Presiden nomor dua. Metro TV menyajikan berita yang
tidak berimbang pada kedua calon Presiden, melakukan framing terhadap pasangan calon
Presiden nomor dua dengan memberikan porsi lebih banyak untuk pemberitaan positif terhadap
mereka. Mengerucutnya pemberitaan positif pada kubu masing-masing menjadikan polarisasi
berita kedua stasiun televisi terus berjalan beriringan, termasuk pada wacana yang menjadi isu
nasional dari kelanjutan kebijakan Presiden terpilih, yaitu wacana kenaikan harga BBM.
Kepemilikan media yang berada di tangan elit politisi menjadikan media tersebut
memiliki kecenderungan ideologi yang koheren dengan gagasan politis dari pemilik media.
Tujuan dari pembentukan berita adalah membentuk hegemoni. Dalam hal ini Metro TV dan
TV One melakukan usaha membentuk hegemoni yang saling kontradiktif dengan mengarahkan
persepsi khalayak atas kebijakan kenaikan harga BBM sesuai dengan ideologi politis yang
mereka usung. TV One mengambil peran sebagai media oposisi yang mengkritisi kebijakan
pemerintah, termasuk dalam hal ini adalah menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan ini
dengan mengkonstruksi teks berita dari sudut pandang negatif. Teks berita yang dikonstruksi
TV one akan mengarahkan khalayak pada dampak buruk yang ditimbulkan dari kenaikan harga
BBM seperti kericuhan demo penolakan BBM, penurunan penghasilan sopir angkutan umum,
serta kenaikan inflasi.
Di sisi lain, setelah Presiden terpilih yang berada dalam kubu Metro TV dilantik,
stasiun TV tersebut semakin terlihat seperti corong pemerintahan yang selalu menunjukkan
13
keberpihakan pada kebijakan yang diambil pemerintah. Hegemoni bahwa kebijakan kenaikan
harga BBM adalah langkah tepat pemerintah, disampaikan oleh Metro TV melalui konstruksi
teks berita yang selalu menempatkan dampak kebijakan tersebut dalam citra yang positif.
Contoh dari konstruksi teks berita tersebut seperti kenaikan harga BBM membuka kenaikan
positif pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai rupiah akan diapresiasi, dan relokasi
dana APBN yang lebih tepat sasaran.
Tarik menarik kepentingan dari kedua stasiun televisi tersebut merujuk pada pendapat
Rayner (2008:79) yang menyatakan bahwa pesan media adalah sebuah konstruksi yang
melibatkan proses seleksi dan pembentukan yang merefleksikan sistem nilai dari pembuat
pesan untuk merepresentasikan dunia. Pemilik media beserta orang-orang yang berada di balik
media tersebut yang menjadi pembuat pesan, tentu dengan berdasarkan ideologi yang mereka
bawa. Media sebagai “tools of ideology” selaras dengan pendapat McDougall dalam bukunya
Media Studies : The Basic (2012 : 15) yang menyatakan bahwa
“…the media are used by the powerful to manufacture consent which works in two ways – by
representing news events in particular ways that justify the actions of the powerful and
marginalize the opposition to such actions from the powerless, and by distracting us from the
really important power struggles in our lives with tranquillizing tools such as television”.
Berangkat dari asumsi bahwa media sebagai alat ideologi tersebut, dapat ditarik benang
merah bahwa Metro TV dan TV One menjadi alat perpanjangan ideologi yang digunakan
pemilik media untuk menciptakan hegemoni sebagai sarana dalam mencapai kepentingan
politik.
Analisis Representasi, Realitas, dan Objektivitas Metro TV
Metro TV merupakan salah satu stasiun televisi swasta yang aktif memberitakan isu
kenaikan BBM. Mereka menyajikan banyak berita mengenai kenaikan BBM, menghadirkan
newsroom kenaikan BBM, dan menghadirkan berbagai pakar ahli perekonomian dalam
mengupas dampak-dampak kenaikan BBM. Pada video utama yang penulis analisis, Metro TV
menyajikan berita setelah paska kenaikan harga BBM berupa dampak positif kenaikan harga
BBM terhadap bursa saham Indonesia. Di newsroom itu reporternya mewawancarai seorang
ahli atau analist saham, jelas sekali bahwa yang coba disampaikan oleh Metro TV adalah
betapa kenaikan BBM itu berdampak positif bagi perekonomian Indonesia.
14
Berdasarkan video yang dianalisi serta didukung oleh produk-produk jurnalistik yang
disampaikan oleh Metro TV, penulis dapat menyimpulkan bahwa Metro TV adalah pihak pro
yang mendukung kebijakan BBM, yang berarti menghapus BBM bersubsidi yang ada. Hal ini
terlihat dari bagaimana Metro TV menempatkan angle berita mereka seakan-akan kenaikan
BBM sangatlah mendesak dan penting, dan bagaimana Metro TV berusaha mengeksplorasi
dampak positif dari dilaksanakannya kebijakan tersebut.
Jika kita berbicara masalah BBM dan representasi realitas yang dilakukan oleh Metro
TV, maka sangat jelas sesuai penjelasan Burton bahwa Metro TV memang mengkonstruksi
realitas dalam berita-beritanya, membuang dampak negatif kenaikan BBM, malah
mengembor-gemborkan betapa pentingnya dan positifnya kenaikan BBM. Padahal,
realitasnya, kenaikan BBM memiliki sisi positif dan negatif.
Hal diatas tentu tentu merupakan reprensentasi Metro TV yang pro terhadap BBM.
Bahkan dalam beberapa berita mereka mengangkat berita seperti 10 alasan mengapa kenaikan
BBM Penting, Prabowo setuju BBM dinaikan, atau program Mata Najwa yang malah tidak
mengkritisi bahkan mengundang Jokowi untuk menyuarakan mengapa BBM itu penting
dinaikan. Mengapa Metro TV tidak sedikitpun mempertanyakan atau mengkritisi, atau
setidaknya menyajikan dua sisi yang sama-sama seimbang?
Menurut penulis, kegagalan objektivitas pada Metro TV ada pada kegagalan mereka
untuk menjelaskan dua sisi pro dan kontra, dan men-tackle bahwa dampak negatif tersebut
akan bisa diatasi. Kegagalan kedua Metro TV terlihat pada independensi jurnalisnya dalam
menyuarakan hati nurani. Jurnalis Metro TV nampaknya setuju semua, tidak ada diversitas ide
dan pendapat. Membuat kita bertanya-tanya apakah jurnalis yang demikian masih
menyuarakan hati nurani dan kebenaran?
Metro TV bahkan dianggap sebagai the new TVRI, TV Pemerintah, karena selalu
corong pemerintah yang mendukung apa saja yang dilakukan oleh kabinet kerja, bahkan kerap
menyiarkan Jokowi-JK di siarannya. Hal tersebut tidak terlepas dari dependensi Metro TV
terhadap kepemilikan oleh Surya Paloh yang memang mendukung kenaikan BBM. Lagi pula
tidak lucu TV milik sendiri menjelekan diri sendiri. Tempo juga pernah membahas dalam
edisinya yang berjudul “Dalam Bayang-Bayang Paloh.” mengenai keterlibatan Surya Paloh
dalam kenaikan BBM, kaitan Surya Paloh terhadap penyaluran BBM di Indonesia, dan Surya
Paloh mendapatkan percikan bonus besar jika BBM naik.
15
Representasi, Realitas, dan Objektivitas TV One
Ibaratkan mata uang logam TV One adalah head dan Metro TV adalah tail-nya. Mereka
adalah dua sisi yang berbeda dalam isu kenaikan BBM ini. Penulis menganggap bahwa TV
One memang memiliki kecenderungan untuk kontra terhadap kenaikan BBM. Hal ini terlihat
dari penyajian berita yang disampaikan, pertama TV One lebih menyoroti bagaimana dampak
mikro bagi masyarakat-masyarakat kecil. Selain mengemukakan dampak negatif kenaikan
BBM, TV One juga sering mengangkat isu terpecahnya suara PDIP dalam menentukan
kenaikan BBM.
TV One mempertanyakan konsistensi PDIP yang sudah beberapa tahun mengatakan
“memperjuangkan” rakyat dengan menolak kenaikan BBM, bahkan sidang paripurna di DPR
masa Pemerintahan SBY dulu, PDIP walkout. Uniknya, perpecahan suara PDIP ini bagaikan
berita katastrofi bagi TV One untuk mendiskreditkan pemerintahan terpilih. Dengan efek suara
dendang bergemuruh beritanya, menunjukan bahwa PDIP tengah mengalami perpecahan.
Lucunya, Metro TV tak sedikitpun mengangkat berita mengenai terpecahnya suara PDIP saat
media lainnya ikut membicarakan hal tersebut.
Dalam video yang dianalisis, perlu dipertanyakan mengapa reporter melakukan
wawancara pada seorang sopir angkot yang sedang menghitung uang di depan kamera seakan-
akan sedang bingung dengan kondisi keuangannya. Lalu masalah waktu, reporter
mewawancarai sopir angkot pada pukul dua siang sehingga belum mendapatkan penghasilan
maksimal. Dibandingkan dengan jam operasi angkot yang mungkin bisa sampai pukul 9 atau
10 malam. Berarti ada dua kemungkinan antara reporternya tidak memiliki waktu lain atau
memang reporter sengaja meliput pukul dua untuk mendramatisasi bahwa sopir angkot belum
balik modal. Sopir angkot juga seperti sudah tahu ingin membahas apa, ketika ditanya
bagaimana dia malah seperti menderita, tidak tahu apa benar demikian. Realitas yang ingin
disampaikan oleh TV One melalui reprensentasi seperti sudah dikonstruksi dan direncakan dari
awal.
Objektivitas TV One sama dengan kondisi Metro TV, tidak adanya independensi
jurnalisnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh kepemilikan TV One oleh Bakrie, yang
merupakan Ketua Umum Golkar, partai opisisi, serta gabungan dari Koalisi Merah Putih. Tapi
penulis melihat bahwa TV One masih setidaknya berusaha untuk netral atau menghadirkan
beberapa fakta positif mengenai kenaikan BBM. Di sisi lain TV One malah menyerah di sudut
16
yang berbeda yaitu menyerang PDIP dan pemerintah, mungkin bisa saja bagus, tapi sayangnya
berita tidak seimbang dan berlebihan dalam menyudutkan PDIP.
Audience dalam Berita
Analisis berita-berita yang dikeluarkan Metro TV dan TV One akan dilakukan sesuai
dengan konsep yang dikemukakan oleh Barker and Wall (2006: 181). Pertama, dengan melihat
kesempatan untuk memberi umpan balik atau partisipasi. TV One menyiarkan dampak
kenaikan harga BBM terhadap supir angkot dalam program Ruang Kita. Sementara, Metro TV
menyiarkan kabar baik kenaikan harga BBM terhadap saham dalam Program Metro Siang.
Kedua program itu berformat komunikasi satu arah, tanpa menyediakan ruang bagi audience
untuk memberi feedback. Jika penonton hanya menyaksikan berita ini melalui kedua channel
tersebut, maka pemikiran McQuail (1997) yang meletakkan audience dalam posisi penerima
saja dapat diterima.
Walaupun demikian, bukan berarti audience lantas kehilangan kesempatan untuk
memberikan feedback dan berpartisipasi. Audience cukup berpindah medium ke YouTube
yang menyediakan tempat untuk saling berdiskursus tentang isi berita yang ditayangkan.
Berdasarkan pantauan penulis di channel YouTube, audience aktif memberi komentar tentang
isi berita Kenaikan Harga BBM Disambut Positif Pasar Saham. Pemilik akun Akhyar Soleh,
misalnya, memberikan komentar berbunyi “ni klu org pinter mah ngomong kyk gini lain klu
org oon selalu pesimis dan merasa tertindas” (Ini, kalau orang pintar ngomong kayak gini.
Lain kalau orang bodoh selalu pesimis dan merasa tertindas). Komentar itu kemudian
ditanggapi oleh pemilik akun H. Herdiana Devonne Lovato yang mengatakan “bener,, hahhaa
kan masarakat indo yg merasa tertindas mah sok tau tapi sebnernya oon haaha.” (Benar,
hahaha. Masyarakat Indonesia yang merasa tertindas hanya sok tahu, tetapi sebenarnya
bodoh). Selain kedua komentar itu, masih banyak komentar-komentar yang dilontarkan oleh
penonton channel YouTube bernama Jokowi JK itu.
Jika pengamatan pada berita dari Metro TV itu menjelaskan feedback yang diberikan
audience, maka partisipasi audience dengan ikut menjadi produser dapat dilihat pada channel
YouTube yang mengunggah berita dampak kenaikan BBM pada supir angkot. Berita itu
diunggah oleh pemilik akun bernama Hesty Hidayati. Hesty Hidayati awalnya adalah seorang
penonton yang kemudian mengunggah tontonannya ke YouTube. Bukan hanya sekedar
mengunggah, Hesty juga melakukan perubahan pada judul berita itu. TV One sebagai produser
asli dari berita itu hanya memberi judul Dampak Kenaikan Harga BBM, tetapi Hesty
17
mengubahnya menjadi Dampak Kenaikan Harga BBM Penghasilan Supir Angkot Menurun.
Di level ini, Hesty menjadi audience sekaligus mereproduksi ulang materi beritanya sehingga
ia dapat disebut sebagai produser.
Pergeseran kekuasaan juga terjadi di sini. Kekuasaan yang dimiliki TV One dalam
menyebarkan beritanya secara masal juga dimiliki oleh Hesty lewat 1.582 subscribers-nya.
Dari pengamatan penulis, Hesty yang telah mengunggah 376 video ini kebanyakan
mengunggah video penampilan dan berita artis dari berbagai stasiun televisi. Namun, di antara
video-video artis tersebut, ia juga mengunggah video berita tentang Jokowi, Prabowo, dan
Ahok. Hal unik yang penulis temukan adalah kecenderungan Hesty untuk mengunggah berita-
berita yang menyudutkan Jokowi.
Meskipun aslinya berita itu tak terlalu sensasional, Hesty memodifikasinya dengan
mengganti judul berita. Beberapa judul berita yang diunggahnya, antara lain “Lucu Abis Bikin
Ngakak!!! Jokowi Terjatuh Saat Menaiki Kereta Kudanya”, “KASUS BESAR! Mantan Sekda
Solo Sebut Jokowi MUNAFIK”, dan “Heboh!! Jokowi Ketakutan Telah Diancam Oleh Hasim
Adik Prabowo.” Dengan demikian, kekuasaan untuk menyudutkan Jokowi tidak hanya berada
pada media yang terinstitusi dan memiliki kepentingan politik khusus dengannya, tetapi juga
berada di tangan audience. Sebab, kekuasaan seperti matriks yang berubah secara terus
menerus dan tidak pernah stabil. Selain itu, media juga memiliki kekuatan tersendiri di
dalamnya (McDougall, 2012: 67). Maka dari itu, YouTube tidak perlu terinstitusi untuk
memiliki kekuatan.
Konsep kedua yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara berita dengan
pembacanya adalah segmentasi keterbacaan yang dilakukan oleh media. Segmentasi audience
ini dapat dilihat dari mode of address, yaitu cara teks media berbicara kepada audience secara
verbal atau visual (Burton, 2002: 242). Lebih lanjut Burton menjelaskan mode of address
adalah tentang menciptakan koneksi, terlihat menarik di hadapan audience, dan tentang
menentukan hubungan antara teks dengan audience.
Secara verbal, berita yang disiarkan oleh TV One tentang dampak kenaikan harga BBM
terhadap supir angkot menampilkan penggunaan kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari.
Misalnya, kalimat yang diucapkan oleh Israel Situmeang selaku perwakilan dari lembaga
Kesatuan Supir dan Pemilik Kendaraan (Kesper) Sumatera Utara. Ia mengatakan, “Pagi hari
narik dua trip, lalu dikasih ke supir serap.” Istilah “supir serap” berarti supir pengganti dan
istilah ini sudah akrab di kalangan supir angkot serta orang-orang yang menggunakan jasa
18
angkutan umum. Dari pemilihan diksi ini, terlihat bahwa audience yang dituju adalah audience
dari tingkat ekonomi menengah ke bawah. Ditambah lagi, secara keseluruhan berita ini
membicarakan kenaikan tarif angkot dan kesulitan yang dialami oleh supir angkot. Dalam
konteks Indonesia, bepergian dengan menggunakan angkot masih dipandang sebagai aktivitas
masyarakat kelas bawah, sementara masyarakat kelas atas bepergian dengan kendaraan pribadi.
Sementara itu, berita kedua yang berjudul berita Kenaikan Harga BBM Disambut
Positif Pasar Saham memiliki segmentasi penonton menengah ke atas. Hal ini terlihat dari
dialog yang dilakukan antara wartawan dengan Gema Goeyardi, analis saham di Bursa Efek
Jakarta (BEJ). Dialog tersebut penuh dengan istilah-istilah ekonomi yang jarang digunakan
dalam percakapan sehari-hari, seperti income of investment, trade deficit, time frame, study
planetary, dan time forecast. Untuk dapat memahami, atau setidaknya menebak apa yang
dimaksud oleh narasumber, audience harus mampu berbahasa Inggris. Dengan kata lain,
audience yang dituju adalah orang dengan pendidikan tinggi dan sudah biasa bersentuhan
dengan dunia saham. Dan dalam budaya Indonesia, orang yang berinvestasi di dunia saham
dipandang sebagai orang berada.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa meskipun Metro TV dan TV One tidak menyediakan
ruang bagi audience untuk memberi feedback, audience masih bisa menunjukkan
partisipasinya melalui medium lain, yaitu Youtube. Dengan adanya partisipasi tersebut,
audience juga ikut mengambil bagian dalam pergerakan kekuatan media yang terus mengalir.
Dan dengan adanya segmentasi penonton yang dilakukan oleh kedua stasiun televisi itu,
diharapkan pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan lebih menyerap di benak penonton.
Naratif dan Bahasa Media
Dalam tayangan berita yang mengangkat dampak kenaikan BBM terhadap penghasilan
supir angkot, banyak digunakan long shot, yaitu teknik pengambilan gambar yang
menimbulkan kesan seolah-olah mereka ada dalam peristiwa itu. Kamera menyorot angkot-
angkot kosong yang berbaris di parkiran sebuah terminal. Lalu, kamera juga menampilkan
gambar angkot-angkot yang sedang berjalan tetapi terisi oleh sedikit penumpang. Kamera juga
menyorot jalanan terminal yang bolong di sana-sini. Semua hal itu dilakukan untuk lebih
meyakinkan penonton bagaimana sulitnya mencari penumpang ketika harga BBM naik.
Sementara itu, berita yang ditayangkan oleh Metro TV juga lebih banyak menggunakan
long shot. Akan tetapi, long shot yang digunakan tidak menyorot keadaan sekeliling reporter,
melainkan berfokus pada narasumber yang menyampaikan dampak positif kenaikan harga
19
BBM. Dengan adanya fokus semacam ini, dapat diartikan bahwa narasumber dianggap sebagai
elemen penting dari berita. Solomon (2009:98) mengungkapkan bahwa siapa yang
mengomunikasikan pesan (sumber pesan) mempunyai dampak besar terhadap penerima pesan
itu. Maka dari itu, dengan terus-menerus menyorot narasumber yang terlihat kredibel, Metro
TV ingin masyarakat percaya bahwa kenaikan BBM tidak merugikan masyarakat.
Konsep kedua untuk membaca moving image adalah editing. Kedua berita ini disiarkan
secara langsung, real-time tanpa melalui proses editing. Tetapi, bukan berarti kedua berita itu
menangkap realitas yang sesungguhnya dan menyiarkannya pada penonton apa adanya. Rayner
and Wall (2008:269) melihat bahwa menyiarkan berita pada dasarnya merupakan proses
membangun cerita. Berita dari TV One berusaha membangun cerita kesulitan para supir angkot
pasca kenaikan harga BBM dengan mewawancarai langsung supir angkot yang sedang
menghitung uang pada pukul dua siang. Supir angkot yang didatangi sedang menghitung
penghasilan yang katanya belum memenuhi target. TV One menekankan hal ini disebabkan
oleh kenaikan harga BBM. Tetapi jika dilihat lebih kritis, wajarlah jika pada pukul dua siang
setoran belum terkumpul karena bukan merupakan jam pulang kantor atau sekolah sehingga
belum banyak orang yang menggunakan angkot. Cerita yang disajikan tentu akan berbeda
ketika wartawan mewawancarai supir angkot pada malam hari ketika sang supir sudah selesai
mencari nafkah.
Proses membangun jalan cerita ini terlihat pula pada berita Metro TV. Dengan
mengambil latar tempat Bursa Efek Jakarta yang ditunjukkan dengan deretan angka saham
yang bergerak di dinding, Metro TV mencoba meyakinkan penonton. Gema Goeyardi, sang
narasumber juga ditampilkan sebagai sosok yang kredibel dari pakaian yang dikenakannya.
Diksi-diksi yang dipilih oleh Gema juga bertujuan untuk meyakinkan penonton bahwa
informasi yang dikemukakannya memang valid.
Untuk menguatkan jalan cerita yang dibangun, suara merupakan elemen yang cukup
penting. Dalam kedua berita yang ditayangkan secara langsung ini, suara yang digunakan
merupakan suara diegetic, yaitu suara yang berasal langsung dalam naratif, tanpa ada
penambahan lain. Hal ini dilakukan karena berita televisi memang dibuat agar terlihat
seobjektif mungkin dan tidak bias. Padahal, tidak mungkin sebuah berita benar-benar objektif
dan tidak bias (Rayner and Wall, 2008: 273).
Dari dekonstruksi bahasa media tersebut, terlihat jelas bahwa berita pada dasarnya
merupakan sebuah cerita yang dirangkai oleh pembuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. TV
20
One dan Metro TV sama-sama menyusun elemen-elemen moving images sedemikian rupa agar
penonton percaya dengan maksud yang ingin mereka sampaikan, TV One dengan penolakan
kenaikan harga BBM dan Metro TV yang mendukungnya. Rayner and Wall (2008:269) bahkan
melihat berita sebagai naratif yang menjadi bagian dari naratif lain yang lebih besar. Maka
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembangunan jalan cerita berita ini adalah bagian dari
konstelasi politik yang terjadi di balik newsroom kedua stasiun TV ini.
Kesimpulan
Pemusatan kepemilikan media Indonesia di tangan para konglomerat media membuktikan
kebenaran teori ekonomi media. Di samping itu, para pemilik yang terjun ke dunia politik dan
menjadi pejabat eksekutif maupun legislatif membuktikan bahwa teori politik media benar
adanya di Indonesia. Implikasi jika kedua teori itu terjadi bersamaan adalah pemanfaatan
media, khususnya stasiun televisi, menjadi corong politik para pemilik konglomerat media ini.
Pemanfaatan ini dilakukan dengan mekonstruksi realitas yang ditayangkan dalam berita
sedemikian rupa demi kepentingan pemiliknya.
Setelah menganalisis pemberitaan dampak kenaikan harga BBM yang ditampilkan oleh
TV One dan Metro TV, terlihat bahwa adanya upaya pengkonstruksian realitas kenaikan harga
BBM ke dalam dua kutub. Metro TV berusaha menyakinkan penonton bahwa kenaikan BBM
berdampak positif, sementara TV One di kutub yang berlawanan. Konstruksi realitas terlihat
dari representasi berupa angle berita yang tidak berimbang dari kedua kubu tersebut. Upaya
konstruksi realitas ini juga ditunjukkan dengan “memainkan” elemen-elemen moving image
yang menjadi format berita yang disiarkan oleh kedua televisi tersebut sehingga membangun
sebuah jalan cerita tersendiri.
Jalan cerita itu dibangun untuk menyampaikan ideologi politik yang berbeda dari
masing-masing kubu. Ideologi yang disebarkan ini pada level tertentu mampu menghegemoni
penonton. Namun, layaknya matriks, kekuatan media tidak hanya terletak di tangan institusi
TV One dan Metro TV yang menghegemoni, tetapi juga pada audience yang memiliki
kekuatan lewat media-media yang tak terinstitusi. Audience ini pula yang dapat berbalik
memodifikasi konten berita untuk mendukung ataupun menolak hegemoni yang disebarkan
oleh kedua stasiun berita ini. Untuk dapat terhindar dari idelogi yang menghegemoni ini,
diperlukan media literasi bagi tiap-tiap audience yang menyaksikan berita karena antara
kebenaran yang dikonstruksi oleh media dan kebenaran yang objektif batasnya sangat tipis dan
berita sendiri berada dalam sebuah institusi media.
21
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin, Andi. (2014). Televisi dan Masyarakat Pluralistik. Jakarta: PT Fajar
Interpratama Mandiri
Baran, Stanley J. (2008). Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya.
Terjemahan S. Rouli Manalu. 2012. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama
Barker, Jo & Wall, Peter. (2006). AS Media Studies: The Essential Revision Guide for
AQA. London: Routledge.
Burton, Graeme. (2002). More Than Meets The Eyes. London: Arnold
Couldry, Nick. (2000). The Place of Media Power: Pilgrims and Witnesses of the
Media Age. London: Routledge
Dijk, Teun Van, Ema Khotimah (terj). (2000). Wacana, Pengetahuan dan Ideologi :
Reformulasi Persoalan Klasik. Bandung : MediaTor.
Hartley, John. 1982. Understanding News. New York dan London : Routledge.
___________. 2002. Communication, Cultural and Media Studies: The Key Concept.
New York dan London : Routledge.
Kitzinger, Jenny. (2004). Audience and Readership Research. In Downing, John D. H.,
McQuail, Denis., Schlesinger, Philip., & Wartella, Ellen (Ed). The SAGE Handbook of Media
Studies (pp. 167-181). London: SAGE Publications, Inc.
McDougall, Julian. (2012). Media Studies: The Basic. London: Routledge.
McQuail, Denis. (1997). Audience Analysis. London: SAGE Publications, Inc.
Nasution, Zulkarnaen. (2012). Kapitalisme Media.
http://komunikasi.um.ac.id/?p=2988. Diakses pada Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 13.05 WIB
Potter, W. James. (2011). Media Literacy 5th
Edition. USA: SAGE Publications
Rayner, Philip & Wall, Peter. (2008). AS Media Stuedies: The Essential Introduction
for AQA. London: Routledge.
Senjaya, Irvan. (2014). Peran dan Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia. Materi
disampaikan pada presentasi Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Jakarta.
22
Solomon, Michael., Cornell, Lisa Duke., & Nizan, Amit. (2009). Launch! Advertising
and Promotion in Real Time. Washington D.C.: Flat World Education, Inc.
Sudibyo, Agus & Patria, Nezar. (2013). The Television Industri in Post-authoritarian
Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 43:2, 257-275. Retrieved from
http:/dx.doi.org/10.1080/00472336.2012.75743
Supadiyanto. (2013). Peta Bisnis Media Massa di Indonesia Pra Pemilu 2014.
http://media.kompasiana.com/new-media/2013/07/14/peta-bisnis-media-massa-di-indonesia-
pra-pemilu-2014-573468.html. Diakses pada Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 14.15 WIB
ViaBerita.com. (2014). Anggap Tak Netral, Menkominfo Peringatkan TV One dan
Metro TV. Diakses dari http://www.viaberita.com/466/anggap-tak-netral-menkominfo-
peringatkan-TV One-dan-Metro TV/ pada Minggu, 21 Desember 2014.

More Related Content

What's hot

Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
ECPAT Indonesia
 
Stimulus Organism Response Theory
Stimulus Organism Response TheoryStimulus Organism Response Theory
Stimulus Organism Response Theory
mankoma2013
 
Seks education, pengenalan seks sejak dini pada anak
Seks education, pengenalan seks sejak dini pada anakSeks education, pengenalan seks sejak dini pada anak
Seks education, pengenalan seks sejak dini pada anak
Adriani Adriani
 
Tujuan, fungsi dan kegiatan pr
Tujuan, fungsi dan kegiatan prTujuan, fungsi dan kegiatan pr
Tujuan, fungsi dan kegiatan pr
Hadirul de Houtman
 
Promkes di tempat kerja
Promkes di tempat kerjaPromkes di tempat kerja
Promkes di tempat kerja
om_wiez
 

What's hot (20)

Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
 
Stimulus Organism Response Theory
Stimulus Organism Response TheoryStimulus Organism Response Theory
Stimulus Organism Response Theory
 
Seks education, pengenalan seks sejak dini pada anak
Seks education, pengenalan seks sejak dini pada anakSeks education, pengenalan seks sejak dini pada anak
Seks education, pengenalan seks sejak dini pada anak
 
Kata pengantar pkl
Kata pengantar pklKata pengantar pkl
Kata pengantar pkl
 
Contoh script talkshow dalam sebuah acara
Contoh script talkshow dalam sebuah acara Contoh script talkshow dalam sebuah acara
Contoh script talkshow dalam sebuah acara
 
Tujuan, fungsi dan kegiatan pr
Tujuan, fungsi dan kegiatan prTujuan, fungsi dan kegiatan pr
Tujuan, fungsi dan kegiatan pr
 
Penyusunan Strategi Advokasi Kesehatan
Penyusunan Strategi Advokasi KesehatanPenyusunan Strategi Advokasi Kesehatan
Penyusunan Strategi Advokasi Kesehatan
 
Ppt Penyebaran Berita Hoax Melalui Internet
Ppt Penyebaran Berita Hoax Melalui InternetPpt Penyebaran Berita Hoax Melalui Internet
Ppt Penyebaran Berita Hoax Melalui Internet
 
Metode dan teknik audit komunikasi ppt
Metode dan teknik audit komunikasi pptMetode dan teknik audit komunikasi ppt
Metode dan teknik audit komunikasi ppt
 
Kreativitas dalam iklan
Kreativitas dalam iklanKreativitas dalam iklan
Kreativitas dalam iklan
 
Atribut organisasi
Atribut organisasiAtribut organisasi
Atribut organisasi
 
Literasi Digital - Melawan Hoaks
Literasi Digital - Melawan HoaksLiterasi Digital - Melawan Hoaks
Literasi Digital - Melawan Hoaks
 
Promkes di tempat kerja
Promkes di tempat kerjaPromkes di tempat kerja
Promkes di tempat kerja
 
Kekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
Kekerasan Seksual Anak Terhadap AnakKekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
Kekerasan Seksual Anak Terhadap Anak
 
Presentasi proposal-tesis yeni
Presentasi proposal-tesis yeniPresentasi proposal-tesis yeni
Presentasi proposal-tesis yeni
 
Sejarah Ilmu Komunikasi
Sejarah Ilmu KomunikasiSejarah Ilmu Komunikasi
Sejarah Ilmu Komunikasi
 
MNC TV
MNC TV MNC TV
MNC TV
 
Metode promkes kelompok
Metode promkes kelompokMetode promkes kelompok
Metode promkes kelompok
 
Pernikahan dini pp
Pernikahan dini ppPernikahan dini pp
Pernikahan dini pp
 
Fikih Informasi: Memahami Media Sosial dengan SNA dan Tabayun Digital
Fikih Informasi: Memahami Media Sosial dengan SNA dan Tabayun DigitalFikih Informasi: Memahami Media Sosial dengan SNA dan Tabayun Digital
Fikih Informasi: Memahami Media Sosial dengan SNA dan Tabayun Digital
 

Similar to Kajian Media: Kekuasaan di Balik Berita

Indepth report telematika di bawah cengkraman neoliberal
Indepth report telematika di bawah cengkraman neoliberalIndepth report telematika di bawah cengkraman neoliberal
Indepth report telematika di bawah cengkraman neoliberal
SatuDunia Foundation
 

Similar to Kajian Media: Kekuasaan di Balik Berita (20)

Potret pers jakarta 2013 ok ref
Potret pers jakarta 2013 ok refPotret pers jakarta 2013 ok ref
Potret pers jakarta 2013 ok ref
 
Konvergensi media di indonesia dan kesejahteraan jurnalis
Konvergensi media di indonesia dan kesejahteraan jurnalisKonvergensi media di indonesia dan kesejahteraan jurnalis
Konvergensi media di indonesia dan kesejahteraan jurnalis
 
Iklan Sebagai Media Kritik Sosial
Iklan Sebagai Media Kritik SosialIklan Sebagai Media Kritik Sosial
Iklan Sebagai Media Kritik Sosial
 
Media dan ekonomi masalah (pp)
Media dan ekonomi masalah (pp)Media dan ekonomi masalah (pp)
Media dan ekonomi masalah (pp)
 
Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia
Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di IndonesiaMemetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia
Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia
 
JURNAL KOMODIFIKASI PEMBERITAAN ATAS FENOMENA SCBD CITAYEM FASHION WEEK.docx
JURNAL KOMODIFIKASI PEMBERITAAN ATAS FENOMENA SCBD CITAYEM FASHION WEEK.docxJURNAL KOMODIFIKASI PEMBERITAAN ATAS FENOMENA SCBD CITAYEM FASHION WEEK.docx
JURNAL KOMODIFIKASI PEMBERITAAN ATAS FENOMENA SCBD CITAYEM FASHION WEEK.docx
 
EKONOMI POLITIK MEDIA dalam INDUSTRI MEDIA
EKONOMI POLITIK MEDIA dalam INDUSTRI MEDIAEKONOMI POLITIK MEDIA dalam INDUSTRI MEDIA
EKONOMI POLITIK MEDIA dalam INDUSTRI MEDIA
 
Ekonomi dan penguasaan media (2)[1].pptx
Ekonomi dan penguasaan media (2)[1].pptxEkonomi dan penguasaan media (2)[1].pptx
Ekonomi dan penguasaan media (2)[1].pptx
 
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi SiregarClass Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
 
Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
 Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
 
Kritik Tanpa Kedalaman
Kritik Tanpa KedalamanKritik Tanpa Kedalaman
Kritik Tanpa Kedalaman
 
Analisis konvergensi media pada kompas gramedia group
Analisis konvergensi media pada kompas gramedia groupAnalisis konvergensi media pada kompas gramedia group
Analisis konvergensi media pada kompas gramedia group
 
Konglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan Informasi
Konglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan InformasiKonglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan Informasi
Konglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan Informasi
 
Potret pers jakarta 2013
Potret pers jakarta 2013Potret pers jakarta 2013
Potret pers jakarta 2013
 
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
 
Indepth report telematika di bawah cengkraman neoliberal
Indepth report telematika di bawah cengkraman neoliberalIndepth report telematika di bawah cengkraman neoliberal
Indepth report telematika di bawah cengkraman neoliberal
 
Manajemen media massa
Manajemen media massaManajemen media massa
Manajemen media massa
 
Pancasila kelompok 5
Pancasila kelompok 5Pancasila kelompok 5
Pancasila kelompok 5
 
Bahan ajar new media dalam komunikasi politik
Bahan ajar new media dalam komunikasi politikBahan ajar new media dalam komunikasi politik
Bahan ajar new media dalam komunikasi politik
 
Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJIRefleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
 

Kajian Media: Kekuasaan di Balik Berita

  • 1. UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS BERITA KENAIKAN HARGA BBM OLEH METRO TV DAN TV ONE MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) PENGANTAR KAJIAN MEDIA ATIKAH ADRILIA G., 1306412691 (atikahgulton94@gmail.com) DARA ADINDA K. N., 1306460154 (daraakesuma@gmail.com) GABRIELA F. S., 1306385280 (gabriela.subagio@gmail.com) NIDA VANIA, 1306385450 (awkward.only@gmail.com) PERI ANDRIAN A., 1306414116, (periandrian_saus@gmail.com) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI DEPOK 2014
  • 2. ii ABSTRAK Makalah ini membahas berita sebagai sebuah teks media yang merupakan rekonstruksi realitas dan bagaimana berita dimanfaatkan sebagai corong politik bagi konglomerat yang terjun ke dunia politik. Contoh kasus yang dianalisis dalam makalah ini adalah berita mengenai dampak kenaikan harga BBM yang disiarkan oleh Metro TV dan TV One. Metode yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode studi pustaka menggunakan data dari beberapa literatur konvensional maupun modern seperti official website. Teori yang dipakai untuk menganalisis kasus adalah teori ekonomi media dan politik media. Selain itu, kasus tersebut juga dianalisis menggunakan konsep ideologi media, institusi media, audience, naratif dan bahasa media, representasi, dan wacana media. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan adanya konstruksi pesan dalam penyiaran kedua berita tersebut yang ditujukan untuk mendukung preferensi politik dari masing-masing pemilik TV One dan Metro TV. Kata kunci: ideology, institutions, media, news, politic.
  • 3. 1 Pendahuluan Latar Belakang Pada tahun 2013, Agus Sudibyo dan Nezar Patria melakukan penelitian mengenai peta kepemilikan media di Indonesia. Penelitian berjudul The Television Industri in Post- athoritarian Indonesia itu mengungkapkan adanya pemusatan kepemilikan perusahaan media Indonesia di tangan pihak-pihak tertentu, seperti Kompas Group, Trans Corp, MNC Group, dan Bakrie & Brothers Group. Namun, temuan yang paling menarik dari penelitian Sudibyo dan Nezar (2013:272) itu adalah fenomena pemilik stasiun televisi yang menjadi pemimpin atau berafiliasi dengan partai politik tertentu. Aburizal Bakrie, pemilik TV One dan AnTV adalah Ketua Umum Partai Golkar. Sementara itu, Surya Paloh yang memiliki Metro TV dan Media Indonesia Group adalah pendiri sekaligus Ketua Umum dari Partai Nasional Demokrasi (Nasdem). Surya Paloh kemudian bersatu dengan pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibyo dalam mengelola partainya. Belakang ini, peta perpolitikan para media mogul itu sedikit berkembang berkat adanya Pemilihan Presiden yang dilaksanakan pada 9 Juli 2014 silam. Dua calon bertarung dalam Pilpres itu, yakni mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Surya Paloh dan Aburizal Bakrie kemudian memilih koalisi yang berbeda sehingga berdampak pada siaran berita di stasiun televisi keduanya. Dukungan Partai Nasdem kepada Jokowi membuat tayangan berita Metro TV berpihak pada Jokowi. Sebaliknya, TV One cenderung menyiarkan berita yang berpihak pada Prabowo Subianto karena Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal mendukung Prabowo. Puncaknya, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) memberi peringatan keras terhadap kedua stasiun televisi itu setelah mendapat masukan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dianggap tidak netral dalam Pilpres (Viaberita.com, 2014). Permasalahan Melihat fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengangkat persoalan stasiun televisi yang dijadikan corong politik bagi pemiliknya, terutama pada siaran-siaran berita yang dikeluarkan oleh kedua stasiun televisi itu. Menarik untuk membedah bagaimana sebuah berita yang selama ini dianggap sebagai cerminan realitas sosial sebenarnya tak lebih dari produk media yang merekonstruksi realitas. Realitas ini dikonstruksi sedemikian rupa demi menyampaikan kepentingan-kepentingan politik si empunya perusahaan media.
  • 4. 2 Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah persoalan pemberitaan tentang dampak kenaikan harga BBM yang disiarkan oleh Metro TV dan TV One. Metro TV menyiarkan berita mengenai kenaikan harga BBM yang mendapat sambutan positif dari pasar saham Indonesia dalam program Metro Siang. Sementara itu, TV One menyiarkan berita yang menyoroti dampak kenaikan harga BBM pada pendapatan supir angkot dalam program Ruang Kita. Kedua berita itu disiarkan pada tanggal 18 November 2014, pada pukul 14.00 WIB. Berikut ini adalah ringkasan isi kedua berita tersebut. Metro Siang—Market Sentiment Bursa Efek Indonesia (BEI) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka positif pasca pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi. Mulai Selasa pagi IHSG berada di level positif atau pada sentiment yang baik. Gema Goeyardi, Chief ISAI Analyst menyatakan bahwa dengan naiknya BBM, maka ada sebuah dampak positif di makro ekonomi dimana rupiah akan terapresiasi karena merupakan APBN yang dapat diefisiensi melalui kenaikan harga BBM. Dengan apresiasi rupiah, maka akan sangat banyak dampak yang akan terlihat di market terutama di sektor-sektor yang selama 8 bulan terakhir terpukul karena depresiasi rupiah mencapai 20%. Goeyardi juga menyebutkan bahwa sejauh ini kenaikan harga BBM tidak berdampak secara signifikan pada sektor-sektor yang sensitif terhadap rupiah. Ruang Kita—Kenaikan harga BBM berdampak pada penghasilan sopir angkot. Leo Hutabarat, seorang sopir angkot di Medan, Sumatera Utara, mengaku naiknya harga BBM menurunkan penghasilannya secara drastis. Kenaikan harga BBM yang tidak diimbangi dengan peraturan kenaikan tarif angkot oleh pemerintah ini semakin terasa menyulitkan akibat sepinya penumpang pasca kenaikan harga BBM. Para sopir angkot masih menunggu peraturan pemerintah daerah mengenai kenaikan tarif angkot. Tujuan Penulisan Makalah ini akan membahas bagaimana kedua berita itu dikonstruksi untuk mendukung keberpihakan politik kedua pemiliknya melalui sudut pandang kajian media. Penulis akan mendekonstruksi kedua teks berita itu menggunakan konsep-konsep kajian media. Analisis yang terdapat dalam makalah ini diharapkan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai kondisi dunia jurnalisme televisi di Indonesia saat ini.
  • 5. 3 Kerangka Konsep Institusi Media “Media massa adalah suatu industri yang tumbuh dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, memproduksi barang dan jasa, serta menghidupi industri lainnya yang terkait, media massa juga merupakan suatu institusi yang memiliki aturan-aturan dan norma-norma yang menghubungkan dirinya dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya, dan sebagai institusi sosial media massa diatur oleh masyarakat.” (McQuail, 1989). Kemajuan industri medium televisi di Indonesia paling sedikit ditandai oleh tiga hal. Pertama, pengelolaan usaha di bidang medium televisi tidak lagi dilakukan dalam bentuk yayasan serta mengutamakan aspek idealnya, tetapi berupa PT yang didukung oleh sistem manajemen profesional dan penggunaan produk-produk canggih serta mengarah kepada komersialisme. Kedua, konglomerat semakin banyak menanamkan modalnya pada industri televisi. Ketiga, televisi yang ada semakin majemuk beragam jenisnya dan mengarah pada spesialisasi serta profesionalisme. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa pertumbuhan industry televisi dewasa ini sangat kompetitif dan profesional. Institusi media dilihat dari beberapa segi yaitu: konglomerasi media, ekonomi dan media massa modern serta kepemilikan. Konglomerasi media sangat tidak sehat dalam iklim berdemokrasi dan perpolitikan bangsa. Salah satu bentuk konglomerasi media adalah terpusatnya kepemilikan media massa oleh para penguasa modal. Contoh, di Indonesia adanya konglomerasi yaitu MNC Group milik Hary Tanoesoedibyo, Trans Corp milik Chairil Tanjung, dan Media Indonesia Group milik Surya Paloh. Media massa sebagai institusi ekonomi, dalam hal ini erat kaitannya dengan kapitalisme media dan liberalisme media. Media modern sekarang kurang memperhatikan kepentingan sosial, budaya, bahkan politik, tapi kepentingan merauk keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan positif dan negatif pemberitaan dan informasi yang dicerna masyarakat. Dari beberapa fenomena kapitalisme media massa di Indonesia telah terjadi integrasi horizontal dan integrasi vertikal. Integrasi horizontal, yaitu proses di mana sebuah perusahaan membeli beberapa media yang berbeda, misalnya majalah, televisi, penerbitan buku, record labels, dan sebagainya dengan tujuan saling mendukung operasi dari masing-masing media. Sedangkan integrasi vertikal yaitu proses di mana sebuah perusahaan memiliki semua aspek produksi dan distribusi dari setiap produk media, misalnya sebuah perusahaan film secara vertikal mengintegrasikan aspek-aspek seperti agensi pencari bakat, studio produksi,
  • 6. 4 rantai teater. Fenomena kapitalisme media ini juga dapat ditandai dengan semakin hilangnya ruang publik, kebangkitan infotainment, turunnya jurnalisme investigasi, dan tendensi adanya homogenisasi (Deveraux, 2003:57). Menurut McQuail (1987:40) salah satu ciri-ciri institusi media massa adalah institusi media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungan pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Dalam hal ini industri pasar dapat diartikan dengan kapitalisme. Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi politik dan ekonomi. Kepemilikan merupakan bagian dari ekonomi politik. Sistem kepemilikan merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan ekonomi media. Masalah akan muncul bil berkaitan dengan atmosfer ekonomi, yaitu masalah kepemilikan media massa yang justru melemahkan peran dan fungsi sosial media massa, yaitu melemahkan proses diversitas informasi yang diperlukan oleh masyarakat. Media massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan. Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media, mengendalikan pers dengan merekayasa. Pada dasarnya media massa adalah institusi yang mementingkan masalah sosial dan politik dalam bermasyarakat dan bernegara serta mencerdaskan khalayak dengan informasi- informasi yang mendidik bahkan meluruskan berbagai problem kemasyarakatan hingga pemerintahan pada media massa modern saat ini. Namun, lahir fenomena baru tentang kuatnya karakter kapitalisme media dalam proses berkembangan media massa yang sudah merambah ke arah kepemilikan modal tunggal yang hanya mementingkan keuntungan saja. Wacana Media McDougall dalam bukunya yang berjudul Media Studies: The Basics (2012), mengemukakan bahwa kajian media dapat dianalisis melalui tiga wacana, yaitu wacana kekuasaan media, wacana ekonomi, dan wacana literasi media. Wacana-wacana tersebut tidak hanya dapat saling berkaitan, tetapi juga dapat saling bertentangan. a. Wacana Kekuasaan Media Dalam wacana ini, penulis fokus pada bagaimana media mampu mengkonstruksi realita dengan kekuasaannya. Menurut Couldry (2000:5), media memiliki dampak
  • 7. 5 sosial pada skala yang besar bukan hanya karena mekanisme penyiaran terpusat pada satu tempat, melainkan juga karena publik percaya pada otoritas wacana media dalam konteks lokal yang tak terhitung jumlahnya, dan juga dikarenakan publik bertindak atas dasar keyakinan tersebut. Pola-pola lokal terkait kepercayaan dan tindakan ini telah menjadi rutinitas, sehingga efek kekuasaan media tidak disadari oleh publik. a. Wacana Ekonomi Pada wacana ini penulis fokus pada hubungan antara ekonomi dan media itu sendiri. Potter (2001:141) menawarkan konsep news-framing dalam mengkaji bisnis media. Menurutnya, news-framing seperti batasan yang dapat dilihat sebagai kekuatan yang membentuk apa yang akan dipilih dan dibentuk sebagai berita. Namun, news-framing berbeda dari batasan yang dimaksud karena merupakan konstruksi jurnalis untuk membantu mereka dalam melakukan pekerjaan dan untuk memenuhi tujuan bisnis yang mempekerjakan mereka. Altheide (dalam Potter, 2001) mengemukakan bahwa pengaruh terkuat pada konstruksi berita adalah sifatnya yang komersial. b. Wacana Literasi Media Dalam wacana ini, para akademisi yang mempelajari kajian media akan lebih siap untuk berkomunikasi di dunia modern jika mereka memiliki kemampuan analisis kritis dalam menafsirkan teks-teks media. Khalayak dapat menolak pengaruh kekuasaan media apabila telah terliterasi atau “melek” media. Oleh sebab itu, McDougall menawarkan konsep wacana literasi media agar para akademisi tidak melihat segala sesuatu dari sisi hitamnya saja atau sisi putihnya saja (non-binary opposition). Ideologi Media dan Hegemoni Ideologi sebagai salah satu konsep kunci dalam kajian media diungkapkan Hartley (2004 :103) dalam bukunya Communication, Cultural and media studies and The Key Concepts sebagai pengetahuan dan karakteristik ide dari ketertarikan bersama dalam satu kelompok. Pengetahuan dan karakteristik ide menjadi sebuah sistem kepercayaan yang kemudian dikatakan Rayner (2008: 78) dapat menentukan bagaimana hubungan kekuasaan diatur dalam masyarakat. Kedua definisi tersebut selaras dengan pandangan Van Dijk (2003: 1) yang mengemukakan bahwa ideologi merupakan sistem sosial yang digunakan bersama dalam kelompok, dan menjadi representasi mental dalam kelompok tersebut.
  • 8. 6 Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat ditarik benang merah bahwa ideologi adalah sistem ide atau gagasan yang tersusun dari pengetahuan, keyakinan, nilai, yang diperjuangkan oleh orang atau sekelompok orang dalam kehidupan sosialnya. Keberadaan ideologi yang menjadi komponen fundamental dalam kehidupan sosial tidak dapat dipisahkan dari perkembangan media yang semakin memiliki peran yang kuat dan pengaruh nyata dalam setiap aspek kehidupan sosial dan masyarakat. Salah satu produk media adalah berita. Hartley dalam bukunya Understanding News (1982 : 48 )mengemukakan bahwa “News is just one social agency among many – news organizations are themselves determined by the relationships that develop between them and other agencies, the two most important agencies likely to have say in the news are capital and the state – commerce and government” Hubungan berita dengan pemerintahan dan negara seperti yang diungkapkan Hartley mempunyai kekuatan penting dalam pembentukan hegemoni yang dilakukan oleh para elitis pemerintahan dan media. Hegemoni menurut Hartley (2002:99) adalah untuk memaksa orang- orang yang berlawanan keinginan dengan para elit berkuasa atau menyerahkan kekuasaan tetap pada yang telah berkuasa, tetapi dengan jalan memenangkan persetujuan dengan cara-cara dan fakta yang masuk akal. Gramsci dalam Rayner (2008: 80) menyederhanakan bahwa hegemoni adalah bagaimana orang-orang dipengaruhi untuk menerima dominasi dari elit kekuasaan yang menentukan keinginan dan cara pandang terhadap dunia. Maka dari itu, dapat diperdebatkan bahwa peran ideologis dari suatu media adalah untuk mempersuasi orang agar sukarela dalam menerima dominasi dari para elitis kekuasaan. Representasi, Realitas, dan Objektivitas. Mediasi dan representasi adalah dua hal yang berkaitan terhadap realitas. Semua hal yang disentuh oleh media dapat berubah, bukan berarti dengan menyampaikan suatu berita atau informasi berarti menyampaikan keseluruhan kebenaran yang terjadi. Misalnya, peristiwa mengenai demonstrasi kenaikan BBM, membaca berita atau artikel tidak sama dengan rasanya kita sebagai saksi mata yang ikut hadir dalam demonstrasi BBM tersebut (Burton, 1997: 83). Burton mengatakan bahwa jika kita bicara masalah media yang melakukan mediasi maka kita harus terus menancapkan dalam pikiran kita mengenai representasi. Artinya, apapun yang disampaikan oleh media bukanlah kejadian riil, ide asli, atau objek asli, melainkan kejadian, ide, atau objek yang artificial. Kenyataan ini seharusnya membuat kita paham bahwa
  • 9. 7 terdapat gap besar antara realitas dan representasi oleh media. Sayangnya, ketika kita berhadapan dengan ‘gambaran’ media, kita cenderung melupakan bahwa satu-satunya versi untuk melihat realitas adalah dengan melihat ‘riil’-looking picture suatu kejadian, ide, atau objek (Burton, 1997:84). Senada dengan hal itu, Rayner menyatakan (2008: 85) apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, dan apa yang kita baca dari media adalah representasi bukanlah realitas yang sesungguhnya. Selain representasi dan realitas, konsep menarik lainnya adalah objektivitas. Seorang master sufi Timur Tengah Jalaludin Rumi pernah mengilustrasikan bahwa objektivitas itu seperti menyuruh orang buta menyentuh gajah dan meminta orang buta itu menjelaskan ‘apa itu gajah?’ Lima orang buta yang sudah masing masing memegang gajah tersebut menyentuh gajah dengan bagian masing-masing. Orang buta pertama yang memegang belalai mengatakan gajah itu bentuknya panjang, lentur, dan bergerak. Sedangkan orang buta kedua yang memegang punggung gajah mengatakan gajah itu bentuknya lebar, sampai orang buta kelima akan menggambarkan gajah sesuai dengan pengalaman mereka menyentuh gajah. Audience Pendefinisian audience telah melewati banyak diskursus di antara para ahli komunikasi. Denis McQuail yang menulis buku berjudul Audience Analysis (1997) mengartikan audience sebagai istilah kolektif yang ditujukan pada “receiver” dalam model komunikasi massa sederhana yang berisi sumber, channel, pesan, penerima, dan efek yang diseebarkan oleh pionir di bidang penelitian media. Dalam perkembangannya, audience tak lagi dipandang hanya sebatas penerima pesan. Kitzinger (2004: 167) siapa yang merupakan audience, kapan, dimana, dan dalam keadaan apa audience didefinisikan sangatlah bersifat elastis. Elastisitas pendefinisian audience itu didukung oleh Graeme Burton. Dalam bukunya yang berjudul More Than Meets The Eye (2002: 233), ia menyatakan bahwa audience bukanlah sesuatu yang terpisah dari kita. Maka dari itu, orang-orang yang membuat materi media, pada saat yang bersamaan juga menjadi audience untuk materi media yang mereka buat. Dari pernyataan para ahli itu, maka dapat disimpulkan bahwa batas antara audience dan produser sangatlah kabur di level tertentu. Maka dari itu, kekuasaan yang dimiliki pun terkadang berpindah dari audience dan produser. Sebagaimana dikemukakan oleh Ruddock (dalam McDougall 2012: 24), riset audience selalu melibatkan isu kekuasaan, apakah kita ingin tahu apa yang dilakukan media kepada masyarakat, apa yang dilakukan masyarakat terhadap media, atau barangkali, apa yang orang lakukan pada dirinya dan orang lain dengan media.
  • 10. 8 Sementara itu, dalam konteks analisis berita, Barker and Wall (2006: 181) mengemukakan dua cara untuk melihat pembuktian hubungan antara berita dengan pembacanya. Cara pertama adalah kesempatan untuk memberikan umpan balik atau partisipasi. Kedua, segmentasi penonton dari sebuah edisi, misalnya halaman khusus wanita atau halaman finansial. Pemetaan audience yang dituju oleh berita ini akan dilakukan dengan konsep mode of address yang dikemukakan oleh Burton (2002: 242), yaitu cara teks media berbicara kepada audience secara verbal atau visual. Naratif dan Bahasa Media Naratif dalam berita diartikan sebagai sebuah cara pengungkapan informasi dalam cara tertentu untuk membuat audience tertarik sekaligus membantuu mereka memahami apa yang sedang terjadi (Rayner and Wall, 2008: 269). Rayner dan Wall juga melihat berita sebagai sebuah cerita yang dirangkai, sama dengan fiksi naratif lainnya dalam hal menyampaikan informasi. Sebagaimana cerita, ada proses konstruksi realitas di dalamnya. Maka dari itu, untuk melihat realitas sebenarnya dalam berita, perlu dilakukan dekonstruksi teks. Objek yang didekonstruksi adalah bahasa media. Menurut McDougall (2002: 35), bahasa media merujuk pada kombinasi komunikasi tertulis, verbal, non-verbal, aural, dan estetika yang memiliki hubungan langsung dengan makna. Dekonstruksi teks media dilakukan sesuai dengan jenis teks yang ditampilkan. Misalnya, untuk menganalisis sebuah gambar atau foto, digunakan semiotika. Semiotika adalah alat yang digunakan untuk memaknai teks media pada level tanda dalam sistem symbol dan mitos (McDougall, 2002:59). Jika ingin menganalisis video atau moving image, semiotika saja tidak cukup. Hal ini disebabkan adanya proses editing dalam moving image yang cukup penting dalam konstruksi makna media. Analisis Berita Dampak Kenaikan Harga BBM oleh Metro TV dan TV One Analisis Institusi Media Di Indonesia, teori ekonomi media sudah terbukti benar karena melahirkan para konglomerat media yang kaya karena bisnis medianya. Dan teori politik media juga sudah terbukti; karena para pemilik media massa itu sudah banyak yang menjadi pejabat eksekutif. Berbagai perusahaan media massa cetak dan elektronik yang ada di Indonesia hanya dikuasai oleh 13 perusahaan raksasa saja. Perusahaan tersebut adalah MNC Group dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo mempunyai 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak dan 1 media
  • 11. 9 online; Kompas Gramedia Group milik Jacob Oetomo memiliki 10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 89 media cetak dan 2 media online; Elang Mahkota Teknologi milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja mempunyai 3 stasiun televisi dan 1 media online; sedangkan Mahaka Media dipunyai oleh Abdul Gani dan Erick Tohir mempunyai 2 stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan 5 media cetak; CT Group dipunyai Chairul Tanjung memiliki jaringan 2 stasiun televisi, 1 media online. Kepemilikan yang memunculkan konglomerasi merupakan faktor awal yang menyebabkan adanya perbedaan sudut pandang dan perbedaan kepentingan politik dari TV One dan Metro TV dalam membahas kasus kenaikan harga BBM. Kedua stasiun TV tersebut baik TV One atau Metro TV; perusahaan media yang memiliki kekuasaan yang kuat tetapi berbeda dalam hal kepentingan politik. Dalam hal ini media massa dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara. Contoh lain dapat kita lihat pada masa Orde Baru. Media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah. Berdasarkan penelitian dalam beberapa tahun lalu menunujukkan bahwa mayoritas publik Amerika berpaling pada televisi sebagai sumber berita mereka dan penonton menempatkan televisi sebagai sumber berita yang paling terpercaya. Berita televisi mungkin saja merupakan bagian pekerjaan jurnalistik, tetapi berita televisi juga merupakan pertunjukan televisi sehingga tetap harus dapat menarik penonton. Pekerja berita televisi tetap harus memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran dan menginformasikannya secara akurat kepada publik, namun mereka juga punya kewajiban untuk menarik penonton dalam jumlah yang besar sehingga stasiun TV atau jaringan tempat mereka bekerja dapat memperoleh keuntungan yang besar. Fenomena yang terjadi di Amerika adalah reporter menciptakan kembali suatu kejadian. Beberapa penonton yang melek media mungkin akan dapat menerima argumen bahwa “kejadian itu benar-benar terjadi”, namun tetap saja menciptakan masalah karena penciptaan kembali suatu berita. Oleh karena itu, solusi untuk memahami suatu berita yang ada di televisi adalah dengan menjadi individu yang melek media Fenomena yang pernah terjadi di Amerika sekarang mulai terjadi di Indonesia tetapi hal tersebut terjadi di Indonesia dengan fenomena kepentingan politik konglomerasi yang akhirnya memengaruhi newsroom televisi dalam kasus ini newsroom TV One dan Metro TV dalam membahas kenaikan BBM. Ketika jurnalistik menggunakan TV sebagai media maka ada suatu kewajiban untuk membuat berita menjadi menarik dan ada keuntungan dan kerugian yang diperhitungkan (kaitannya dengan ekonomi).
  • 12. 10 Analisis Wacana Kekuasaan Media Jika ditanya perbedaan antara berita dan program hiburan, kebanyakan orang akan menjawab bahwa program hiburan adalah fiksi yang dibuat oleh penulis, sedangkan berita menyajikan peristiwa aktual yang terjadi di dunia nyata. Publik berpikir bahwa berita merupakan refleksi dari peristiwa sehari-hari, tetapi jika kita lihat kedua permasalahan yang telah disajikan pada bab sebelumnya terlihat bahwa TV One cenderung kontra terhadap kenaikan harga BBM, sementara Metro TV justru sebaliknya. Permasalahan tersebut bukanlah satu-satunya berita pro-kontra yang disajikan oleh kedua belah pihak, berita pro-kontra lainnya tampak pada gambar berikut: Gambar 1.1 Berita TV One Gambar 2.2 Berita Metro TVnews Media berpengaruh dan memiliki dampak terhadap audience dikarenakan media powerful atau memiliki kekuasaan. TV One memberitakan sisi buruk kenaikan harga BBM karena memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi audience agar sepaham dengan TV One, dampaknya khalayak yang hanya menerima berita dari TV One saja kemungkinan juga tidak setuju dengan kenaikan harga BBM dan menyalahkan Presiden Jokowi atas peristiwa ini. Sama halnya dengan Metro TV yang memiliki kekuasaan agar khalayaknya sepaham, dampaknya khalayak sadar bahwa kenaikan harga BBM memang perlu dan tidak berdampak signifikan pada sektor perekonomian—menurut Bursa Efek Indonesia. Dapat diasumsikan bahwa berita
  • 13. 11 bukanlah sebuah refleksi dari kehidupan nyata melainkan suatu konstruksi yang didasarkan pada perspektif masing-masing media. Analisis Wacana Ekonomi Sebagai industri, televisi menjanjikan keuntungan cukup besar bagi pemiliknya dengan bersaing secara kompetitif. Data Nielsen Media Research pada tahun 2013 menunjukkan bahwa televisi merupakan media yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat—sekitar 99%—disusul dengan mobile phones dengan penggunaan sebesar 78%, dan billboard sebesar 47%. Tingginya angka pengguna televisi tersebut tentu meningkatkan porsi belanja iklan. Terbukti pada tahun 2013, porsi belanja iklan media sebesar 68%, surat kabar sebesar 30%, dan tabloid/majalah sebesar 2% dengan total Advertising Expenditure 106,8 triliun (AGB Nielsen, Januari-Desember 2013). Besarnya porsi belanja iklan inilah yang kemudian memberikan keuntungan bagi pemilik media—khususnya televisi. Misalnya, kwartal ketiga tahun 2006 Media Nusantara Citra (MNC) Group dapat meraup keuntungan Rp.4,8 triliun (32% dari total belanja iklan TV). Kemudian Trans TV dan Trans 7 mampu mengumpulkan keuntungan sebesar Rp.3,4 triliun (23,2%). ANTV dan Lativi memperoleh pendapatan sebesar Rp.2,3 triliun (15%) dari total belanja iklan televisi (AGB Nielsen Research, 2006). Hal tersebut mengakibatkan industri televisi komersial tidak lagi berorientasi untuk memenuhi hak masyarakat agar terpenuhinya kebutuhan informasi, tetapi lebih dominan berorientasi pada keuntungan ekonomi kapitalis. Dalam kasus ini, TV One dan Metro TV juga membutuhkan iklan sebagai sumber penghasilan dan penyokong berjalannya program. Sebagaimana yang dikatakan oleh Howard Tyner bahwa bisnis jurnalisme adalah tentang “eyeballs”, memperoleh sebanyak mungkin orang yang melihat produk media. Analisis Wacana Literasi Media Khalayak yang memperoleh berita dari Tv One cenderung melihat sisi buruk dari kenaikan harga bbm saja, dan khalayak yang memperoleh berita dari Metro TV cenderung melihat sisi positifnya saja tanpa melihat efek buruk yang menimpa masyarakat menengah ke bawah. Oleh sebab itu, dengan adanya literasi media kita memiliki kemampuan analisa untuk menginterpretasi teks media secara kritis—tidak hanya menerima apa yang diberikan media. Dengan kata lain, dengan literasi media khalayak memahami dampak positif sekaligus dampak negatif dari kenaikan harga BBM. Analisis Ideologi Media TV One dan Metro TV
  • 14. 12 Polarisasi berita yang terjadi antara TV One dan Metro TV telah terlihat sejak wacana Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada pertengahan tahun 2014. Kedua stasiun televisi yang mempunyai ideologi sebagai stasiun televisi berita semakin menunjukkan keberpihakan terhadap masing-masing kubu calon Presiden dan Wakil Presiden yang berbeda. TV One adalah salah satu media yang dikelola dibawah perusahaan konglomerasi Bakrie Group. Nama Aburizal Bakrie sebagai salah satu pemilik Bakrie Group yang merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai Golkar harus digarisbawahi ketika berbicara tentang kepemilikan media dan ideologi pada TV One. Sejak Partai Golkar bergabung dalam tim Koalisi Merah Putih (KMP), tim pemenangan calon Presiden nomor satu, TV One semakin menunjukkan keberpihakan dengan menyajikan berita yang hanya memuat isu positif dari kubu calon presiden nomor satu dan cenderung menyajikan berita dengan sudut pandang negatif pada kubu lawan. Hal serupa juga dilakukan oleh Metro TV, stasiun televisi swasta dengan pemilik media seorang ketua umum partai Nasdem yang merapat pada kubu calon Presiden nomor dua. Metro TV menyajikan berita yang tidak berimbang pada kedua calon Presiden, melakukan framing terhadap pasangan calon Presiden nomor dua dengan memberikan porsi lebih banyak untuk pemberitaan positif terhadap mereka. Mengerucutnya pemberitaan positif pada kubu masing-masing menjadikan polarisasi berita kedua stasiun televisi terus berjalan beriringan, termasuk pada wacana yang menjadi isu nasional dari kelanjutan kebijakan Presiden terpilih, yaitu wacana kenaikan harga BBM. Kepemilikan media yang berada di tangan elit politisi menjadikan media tersebut memiliki kecenderungan ideologi yang koheren dengan gagasan politis dari pemilik media. Tujuan dari pembentukan berita adalah membentuk hegemoni. Dalam hal ini Metro TV dan TV One melakukan usaha membentuk hegemoni yang saling kontradiktif dengan mengarahkan persepsi khalayak atas kebijakan kenaikan harga BBM sesuai dengan ideologi politis yang mereka usung. TV One mengambil peran sebagai media oposisi yang mengkritisi kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal ini adalah menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan ini dengan mengkonstruksi teks berita dari sudut pandang negatif. Teks berita yang dikonstruksi TV one akan mengarahkan khalayak pada dampak buruk yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM seperti kericuhan demo penolakan BBM, penurunan penghasilan sopir angkutan umum, serta kenaikan inflasi. Di sisi lain, setelah Presiden terpilih yang berada dalam kubu Metro TV dilantik, stasiun TV tersebut semakin terlihat seperti corong pemerintahan yang selalu menunjukkan
  • 15. 13 keberpihakan pada kebijakan yang diambil pemerintah. Hegemoni bahwa kebijakan kenaikan harga BBM adalah langkah tepat pemerintah, disampaikan oleh Metro TV melalui konstruksi teks berita yang selalu menempatkan dampak kebijakan tersebut dalam citra yang positif. Contoh dari konstruksi teks berita tersebut seperti kenaikan harga BBM membuka kenaikan positif pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai rupiah akan diapresiasi, dan relokasi dana APBN yang lebih tepat sasaran. Tarik menarik kepentingan dari kedua stasiun televisi tersebut merujuk pada pendapat Rayner (2008:79) yang menyatakan bahwa pesan media adalah sebuah konstruksi yang melibatkan proses seleksi dan pembentukan yang merefleksikan sistem nilai dari pembuat pesan untuk merepresentasikan dunia. Pemilik media beserta orang-orang yang berada di balik media tersebut yang menjadi pembuat pesan, tentu dengan berdasarkan ideologi yang mereka bawa. Media sebagai “tools of ideology” selaras dengan pendapat McDougall dalam bukunya Media Studies : The Basic (2012 : 15) yang menyatakan bahwa “…the media are used by the powerful to manufacture consent which works in two ways – by representing news events in particular ways that justify the actions of the powerful and marginalize the opposition to such actions from the powerless, and by distracting us from the really important power struggles in our lives with tranquillizing tools such as television”. Berangkat dari asumsi bahwa media sebagai alat ideologi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa Metro TV dan TV One menjadi alat perpanjangan ideologi yang digunakan pemilik media untuk menciptakan hegemoni sebagai sarana dalam mencapai kepentingan politik. Analisis Representasi, Realitas, dan Objektivitas Metro TV Metro TV merupakan salah satu stasiun televisi swasta yang aktif memberitakan isu kenaikan BBM. Mereka menyajikan banyak berita mengenai kenaikan BBM, menghadirkan newsroom kenaikan BBM, dan menghadirkan berbagai pakar ahli perekonomian dalam mengupas dampak-dampak kenaikan BBM. Pada video utama yang penulis analisis, Metro TV menyajikan berita setelah paska kenaikan harga BBM berupa dampak positif kenaikan harga BBM terhadap bursa saham Indonesia. Di newsroom itu reporternya mewawancarai seorang ahli atau analist saham, jelas sekali bahwa yang coba disampaikan oleh Metro TV adalah betapa kenaikan BBM itu berdampak positif bagi perekonomian Indonesia.
  • 16. 14 Berdasarkan video yang dianalisi serta didukung oleh produk-produk jurnalistik yang disampaikan oleh Metro TV, penulis dapat menyimpulkan bahwa Metro TV adalah pihak pro yang mendukung kebijakan BBM, yang berarti menghapus BBM bersubsidi yang ada. Hal ini terlihat dari bagaimana Metro TV menempatkan angle berita mereka seakan-akan kenaikan BBM sangatlah mendesak dan penting, dan bagaimana Metro TV berusaha mengeksplorasi dampak positif dari dilaksanakannya kebijakan tersebut. Jika kita berbicara masalah BBM dan representasi realitas yang dilakukan oleh Metro TV, maka sangat jelas sesuai penjelasan Burton bahwa Metro TV memang mengkonstruksi realitas dalam berita-beritanya, membuang dampak negatif kenaikan BBM, malah mengembor-gemborkan betapa pentingnya dan positifnya kenaikan BBM. Padahal, realitasnya, kenaikan BBM memiliki sisi positif dan negatif. Hal diatas tentu tentu merupakan reprensentasi Metro TV yang pro terhadap BBM. Bahkan dalam beberapa berita mereka mengangkat berita seperti 10 alasan mengapa kenaikan BBM Penting, Prabowo setuju BBM dinaikan, atau program Mata Najwa yang malah tidak mengkritisi bahkan mengundang Jokowi untuk menyuarakan mengapa BBM itu penting dinaikan. Mengapa Metro TV tidak sedikitpun mempertanyakan atau mengkritisi, atau setidaknya menyajikan dua sisi yang sama-sama seimbang? Menurut penulis, kegagalan objektivitas pada Metro TV ada pada kegagalan mereka untuk menjelaskan dua sisi pro dan kontra, dan men-tackle bahwa dampak negatif tersebut akan bisa diatasi. Kegagalan kedua Metro TV terlihat pada independensi jurnalisnya dalam menyuarakan hati nurani. Jurnalis Metro TV nampaknya setuju semua, tidak ada diversitas ide dan pendapat. Membuat kita bertanya-tanya apakah jurnalis yang demikian masih menyuarakan hati nurani dan kebenaran? Metro TV bahkan dianggap sebagai the new TVRI, TV Pemerintah, karena selalu corong pemerintah yang mendukung apa saja yang dilakukan oleh kabinet kerja, bahkan kerap menyiarkan Jokowi-JK di siarannya. Hal tersebut tidak terlepas dari dependensi Metro TV terhadap kepemilikan oleh Surya Paloh yang memang mendukung kenaikan BBM. Lagi pula tidak lucu TV milik sendiri menjelekan diri sendiri. Tempo juga pernah membahas dalam edisinya yang berjudul “Dalam Bayang-Bayang Paloh.” mengenai keterlibatan Surya Paloh dalam kenaikan BBM, kaitan Surya Paloh terhadap penyaluran BBM di Indonesia, dan Surya Paloh mendapatkan percikan bonus besar jika BBM naik.
  • 17. 15 Representasi, Realitas, dan Objektivitas TV One Ibaratkan mata uang logam TV One adalah head dan Metro TV adalah tail-nya. Mereka adalah dua sisi yang berbeda dalam isu kenaikan BBM ini. Penulis menganggap bahwa TV One memang memiliki kecenderungan untuk kontra terhadap kenaikan BBM. Hal ini terlihat dari penyajian berita yang disampaikan, pertama TV One lebih menyoroti bagaimana dampak mikro bagi masyarakat-masyarakat kecil. Selain mengemukakan dampak negatif kenaikan BBM, TV One juga sering mengangkat isu terpecahnya suara PDIP dalam menentukan kenaikan BBM. TV One mempertanyakan konsistensi PDIP yang sudah beberapa tahun mengatakan “memperjuangkan” rakyat dengan menolak kenaikan BBM, bahkan sidang paripurna di DPR masa Pemerintahan SBY dulu, PDIP walkout. Uniknya, perpecahan suara PDIP ini bagaikan berita katastrofi bagi TV One untuk mendiskreditkan pemerintahan terpilih. Dengan efek suara dendang bergemuruh beritanya, menunjukan bahwa PDIP tengah mengalami perpecahan. Lucunya, Metro TV tak sedikitpun mengangkat berita mengenai terpecahnya suara PDIP saat media lainnya ikut membicarakan hal tersebut. Dalam video yang dianalisis, perlu dipertanyakan mengapa reporter melakukan wawancara pada seorang sopir angkot yang sedang menghitung uang di depan kamera seakan- akan sedang bingung dengan kondisi keuangannya. Lalu masalah waktu, reporter mewawancarai sopir angkot pada pukul dua siang sehingga belum mendapatkan penghasilan maksimal. Dibandingkan dengan jam operasi angkot yang mungkin bisa sampai pukul 9 atau 10 malam. Berarti ada dua kemungkinan antara reporternya tidak memiliki waktu lain atau memang reporter sengaja meliput pukul dua untuk mendramatisasi bahwa sopir angkot belum balik modal. Sopir angkot juga seperti sudah tahu ingin membahas apa, ketika ditanya bagaimana dia malah seperti menderita, tidak tahu apa benar demikian. Realitas yang ingin disampaikan oleh TV One melalui reprensentasi seperti sudah dikonstruksi dan direncakan dari awal. Objektivitas TV One sama dengan kondisi Metro TV, tidak adanya independensi jurnalisnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh kepemilikan TV One oleh Bakrie, yang merupakan Ketua Umum Golkar, partai opisisi, serta gabungan dari Koalisi Merah Putih. Tapi penulis melihat bahwa TV One masih setidaknya berusaha untuk netral atau menghadirkan beberapa fakta positif mengenai kenaikan BBM. Di sisi lain TV One malah menyerah di sudut
  • 18. 16 yang berbeda yaitu menyerang PDIP dan pemerintah, mungkin bisa saja bagus, tapi sayangnya berita tidak seimbang dan berlebihan dalam menyudutkan PDIP. Audience dalam Berita Analisis berita-berita yang dikeluarkan Metro TV dan TV One akan dilakukan sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Barker and Wall (2006: 181). Pertama, dengan melihat kesempatan untuk memberi umpan balik atau partisipasi. TV One menyiarkan dampak kenaikan harga BBM terhadap supir angkot dalam program Ruang Kita. Sementara, Metro TV menyiarkan kabar baik kenaikan harga BBM terhadap saham dalam Program Metro Siang. Kedua program itu berformat komunikasi satu arah, tanpa menyediakan ruang bagi audience untuk memberi feedback. Jika penonton hanya menyaksikan berita ini melalui kedua channel tersebut, maka pemikiran McQuail (1997) yang meletakkan audience dalam posisi penerima saja dapat diterima. Walaupun demikian, bukan berarti audience lantas kehilangan kesempatan untuk memberikan feedback dan berpartisipasi. Audience cukup berpindah medium ke YouTube yang menyediakan tempat untuk saling berdiskursus tentang isi berita yang ditayangkan. Berdasarkan pantauan penulis di channel YouTube, audience aktif memberi komentar tentang isi berita Kenaikan Harga BBM Disambut Positif Pasar Saham. Pemilik akun Akhyar Soleh, misalnya, memberikan komentar berbunyi “ni klu org pinter mah ngomong kyk gini lain klu org oon selalu pesimis dan merasa tertindas” (Ini, kalau orang pintar ngomong kayak gini. Lain kalau orang bodoh selalu pesimis dan merasa tertindas). Komentar itu kemudian ditanggapi oleh pemilik akun H. Herdiana Devonne Lovato yang mengatakan “bener,, hahhaa kan masarakat indo yg merasa tertindas mah sok tau tapi sebnernya oon haaha.” (Benar, hahaha. Masyarakat Indonesia yang merasa tertindas hanya sok tahu, tetapi sebenarnya bodoh). Selain kedua komentar itu, masih banyak komentar-komentar yang dilontarkan oleh penonton channel YouTube bernama Jokowi JK itu. Jika pengamatan pada berita dari Metro TV itu menjelaskan feedback yang diberikan audience, maka partisipasi audience dengan ikut menjadi produser dapat dilihat pada channel YouTube yang mengunggah berita dampak kenaikan BBM pada supir angkot. Berita itu diunggah oleh pemilik akun bernama Hesty Hidayati. Hesty Hidayati awalnya adalah seorang penonton yang kemudian mengunggah tontonannya ke YouTube. Bukan hanya sekedar mengunggah, Hesty juga melakukan perubahan pada judul berita itu. TV One sebagai produser asli dari berita itu hanya memberi judul Dampak Kenaikan Harga BBM, tetapi Hesty
  • 19. 17 mengubahnya menjadi Dampak Kenaikan Harga BBM Penghasilan Supir Angkot Menurun. Di level ini, Hesty menjadi audience sekaligus mereproduksi ulang materi beritanya sehingga ia dapat disebut sebagai produser. Pergeseran kekuasaan juga terjadi di sini. Kekuasaan yang dimiliki TV One dalam menyebarkan beritanya secara masal juga dimiliki oleh Hesty lewat 1.582 subscribers-nya. Dari pengamatan penulis, Hesty yang telah mengunggah 376 video ini kebanyakan mengunggah video penampilan dan berita artis dari berbagai stasiun televisi. Namun, di antara video-video artis tersebut, ia juga mengunggah video berita tentang Jokowi, Prabowo, dan Ahok. Hal unik yang penulis temukan adalah kecenderungan Hesty untuk mengunggah berita- berita yang menyudutkan Jokowi. Meskipun aslinya berita itu tak terlalu sensasional, Hesty memodifikasinya dengan mengganti judul berita. Beberapa judul berita yang diunggahnya, antara lain “Lucu Abis Bikin Ngakak!!! Jokowi Terjatuh Saat Menaiki Kereta Kudanya”, “KASUS BESAR! Mantan Sekda Solo Sebut Jokowi MUNAFIK”, dan “Heboh!! Jokowi Ketakutan Telah Diancam Oleh Hasim Adik Prabowo.” Dengan demikian, kekuasaan untuk menyudutkan Jokowi tidak hanya berada pada media yang terinstitusi dan memiliki kepentingan politik khusus dengannya, tetapi juga berada di tangan audience. Sebab, kekuasaan seperti matriks yang berubah secara terus menerus dan tidak pernah stabil. Selain itu, media juga memiliki kekuatan tersendiri di dalamnya (McDougall, 2012: 67). Maka dari itu, YouTube tidak perlu terinstitusi untuk memiliki kekuatan. Konsep kedua yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara berita dengan pembacanya adalah segmentasi keterbacaan yang dilakukan oleh media. Segmentasi audience ini dapat dilihat dari mode of address, yaitu cara teks media berbicara kepada audience secara verbal atau visual (Burton, 2002: 242). Lebih lanjut Burton menjelaskan mode of address adalah tentang menciptakan koneksi, terlihat menarik di hadapan audience, dan tentang menentukan hubungan antara teks dengan audience. Secara verbal, berita yang disiarkan oleh TV One tentang dampak kenaikan harga BBM terhadap supir angkot menampilkan penggunaan kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Misalnya, kalimat yang diucapkan oleh Israel Situmeang selaku perwakilan dari lembaga Kesatuan Supir dan Pemilik Kendaraan (Kesper) Sumatera Utara. Ia mengatakan, “Pagi hari narik dua trip, lalu dikasih ke supir serap.” Istilah “supir serap” berarti supir pengganti dan istilah ini sudah akrab di kalangan supir angkot serta orang-orang yang menggunakan jasa
  • 20. 18 angkutan umum. Dari pemilihan diksi ini, terlihat bahwa audience yang dituju adalah audience dari tingkat ekonomi menengah ke bawah. Ditambah lagi, secara keseluruhan berita ini membicarakan kenaikan tarif angkot dan kesulitan yang dialami oleh supir angkot. Dalam konteks Indonesia, bepergian dengan menggunakan angkot masih dipandang sebagai aktivitas masyarakat kelas bawah, sementara masyarakat kelas atas bepergian dengan kendaraan pribadi. Sementara itu, berita kedua yang berjudul berita Kenaikan Harga BBM Disambut Positif Pasar Saham memiliki segmentasi penonton menengah ke atas. Hal ini terlihat dari dialog yang dilakukan antara wartawan dengan Gema Goeyardi, analis saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dialog tersebut penuh dengan istilah-istilah ekonomi yang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti income of investment, trade deficit, time frame, study planetary, dan time forecast. Untuk dapat memahami, atau setidaknya menebak apa yang dimaksud oleh narasumber, audience harus mampu berbahasa Inggris. Dengan kata lain, audience yang dituju adalah orang dengan pendidikan tinggi dan sudah biasa bersentuhan dengan dunia saham. Dan dalam budaya Indonesia, orang yang berinvestasi di dunia saham dipandang sebagai orang berada. Dari uraian di atas, terlihat bahwa meskipun Metro TV dan TV One tidak menyediakan ruang bagi audience untuk memberi feedback, audience masih bisa menunjukkan partisipasinya melalui medium lain, yaitu Youtube. Dengan adanya partisipasi tersebut, audience juga ikut mengambil bagian dalam pergerakan kekuatan media yang terus mengalir. Dan dengan adanya segmentasi penonton yang dilakukan oleh kedua stasiun televisi itu, diharapkan pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan lebih menyerap di benak penonton. Naratif dan Bahasa Media Dalam tayangan berita yang mengangkat dampak kenaikan BBM terhadap penghasilan supir angkot, banyak digunakan long shot, yaitu teknik pengambilan gambar yang menimbulkan kesan seolah-olah mereka ada dalam peristiwa itu. Kamera menyorot angkot- angkot kosong yang berbaris di parkiran sebuah terminal. Lalu, kamera juga menampilkan gambar angkot-angkot yang sedang berjalan tetapi terisi oleh sedikit penumpang. Kamera juga menyorot jalanan terminal yang bolong di sana-sini. Semua hal itu dilakukan untuk lebih meyakinkan penonton bagaimana sulitnya mencari penumpang ketika harga BBM naik. Sementara itu, berita yang ditayangkan oleh Metro TV juga lebih banyak menggunakan long shot. Akan tetapi, long shot yang digunakan tidak menyorot keadaan sekeliling reporter, melainkan berfokus pada narasumber yang menyampaikan dampak positif kenaikan harga
  • 21. 19 BBM. Dengan adanya fokus semacam ini, dapat diartikan bahwa narasumber dianggap sebagai elemen penting dari berita. Solomon (2009:98) mengungkapkan bahwa siapa yang mengomunikasikan pesan (sumber pesan) mempunyai dampak besar terhadap penerima pesan itu. Maka dari itu, dengan terus-menerus menyorot narasumber yang terlihat kredibel, Metro TV ingin masyarakat percaya bahwa kenaikan BBM tidak merugikan masyarakat. Konsep kedua untuk membaca moving image adalah editing. Kedua berita ini disiarkan secara langsung, real-time tanpa melalui proses editing. Tetapi, bukan berarti kedua berita itu menangkap realitas yang sesungguhnya dan menyiarkannya pada penonton apa adanya. Rayner and Wall (2008:269) melihat bahwa menyiarkan berita pada dasarnya merupakan proses membangun cerita. Berita dari TV One berusaha membangun cerita kesulitan para supir angkot pasca kenaikan harga BBM dengan mewawancarai langsung supir angkot yang sedang menghitung uang pada pukul dua siang. Supir angkot yang didatangi sedang menghitung penghasilan yang katanya belum memenuhi target. TV One menekankan hal ini disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Tetapi jika dilihat lebih kritis, wajarlah jika pada pukul dua siang setoran belum terkumpul karena bukan merupakan jam pulang kantor atau sekolah sehingga belum banyak orang yang menggunakan angkot. Cerita yang disajikan tentu akan berbeda ketika wartawan mewawancarai supir angkot pada malam hari ketika sang supir sudah selesai mencari nafkah. Proses membangun jalan cerita ini terlihat pula pada berita Metro TV. Dengan mengambil latar tempat Bursa Efek Jakarta yang ditunjukkan dengan deretan angka saham yang bergerak di dinding, Metro TV mencoba meyakinkan penonton. Gema Goeyardi, sang narasumber juga ditampilkan sebagai sosok yang kredibel dari pakaian yang dikenakannya. Diksi-diksi yang dipilih oleh Gema juga bertujuan untuk meyakinkan penonton bahwa informasi yang dikemukakannya memang valid. Untuk menguatkan jalan cerita yang dibangun, suara merupakan elemen yang cukup penting. Dalam kedua berita yang ditayangkan secara langsung ini, suara yang digunakan merupakan suara diegetic, yaitu suara yang berasal langsung dalam naratif, tanpa ada penambahan lain. Hal ini dilakukan karena berita televisi memang dibuat agar terlihat seobjektif mungkin dan tidak bias. Padahal, tidak mungkin sebuah berita benar-benar objektif dan tidak bias (Rayner and Wall, 2008: 273). Dari dekonstruksi bahasa media tersebut, terlihat jelas bahwa berita pada dasarnya merupakan sebuah cerita yang dirangkai oleh pembuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. TV
  • 22. 20 One dan Metro TV sama-sama menyusun elemen-elemen moving images sedemikian rupa agar penonton percaya dengan maksud yang ingin mereka sampaikan, TV One dengan penolakan kenaikan harga BBM dan Metro TV yang mendukungnya. Rayner and Wall (2008:269) bahkan melihat berita sebagai naratif yang menjadi bagian dari naratif lain yang lebih besar. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembangunan jalan cerita berita ini adalah bagian dari konstelasi politik yang terjadi di balik newsroom kedua stasiun TV ini. Kesimpulan Pemusatan kepemilikan media Indonesia di tangan para konglomerat media membuktikan kebenaran teori ekonomi media. Di samping itu, para pemilik yang terjun ke dunia politik dan menjadi pejabat eksekutif maupun legislatif membuktikan bahwa teori politik media benar adanya di Indonesia. Implikasi jika kedua teori itu terjadi bersamaan adalah pemanfaatan media, khususnya stasiun televisi, menjadi corong politik para pemilik konglomerat media ini. Pemanfaatan ini dilakukan dengan mekonstruksi realitas yang ditayangkan dalam berita sedemikian rupa demi kepentingan pemiliknya. Setelah menganalisis pemberitaan dampak kenaikan harga BBM yang ditampilkan oleh TV One dan Metro TV, terlihat bahwa adanya upaya pengkonstruksian realitas kenaikan harga BBM ke dalam dua kutub. Metro TV berusaha menyakinkan penonton bahwa kenaikan BBM berdampak positif, sementara TV One di kutub yang berlawanan. Konstruksi realitas terlihat dari representasi berupa angle berita yang tidak berimbang dari kedua kubu tersebut. Upaya konstruksi realitas ini juga ditunjukkan dengan “memainkan” elemen-elemen moving image yang menjadi format berita yang disiarkan oleh kedua televisi tersebut sehingga membangun sebuah jalan cerita tersendiri. Jalan cerita itu dibangun untuk menyampaikan ideologi politik yang berbeda dari masing-masing kubu. Ideologi yang disebarkan ini pada level tertentu mampu menghegemoni penonton. Namun, layaknya matriks, kekuatan media tidak hanya terletak di tangan institusi TV One dan Metro TV yang menghegemoni, tetapi juga pada audience yang memiliki kekuatan lewat media-media yang tak terinstitusi. Audience ini pula yang dapat berbalik memodifikasi konten berita untuk mendukung ataupun menolak hegemoni yang disebarkan oleh kedua stasiun berita ini. Untuk dapat terhindar dari idelogi yang menghegemoni ini, diperlukan media literasi bagi tiap-tiap audience yang menyaksikan berita karena antara kebenaran yang dikonstruksi oleh media dan kebenaran yang objektif batasnya sangat tipis dan berita sendiri berada dalam sebuah institusi media.
  • 23. 21 DAFTAR PUSTAKA Alimuddin, Andi. (2014). Televisi dan Masyarakat Pluralistik. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri Baran, Stanley J. (2008). Pengantar Komunikasi Massa Melek Media dan Budaya. Terjemahan S. Rouli Manalu. 2012. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama Barker, Jo & Wall, Peter. (2006). AS Media Studies: The Essential Revision Guide for AQA. London: Routledge. Burton, Graeme. (2002). More Than Meets The Eyes. London: Arnold Couldry, Nick. (2000). The Place of Media Power: Pilgrims and Witnesses of the Media Age. London: Routledge Dijk, Teun Van, Ema Khotimah (terj). (2000). Wacana, Pengetahuan dan Ideologi : Reformulasi Persoalan Klasik. Bandung : MediaTor. Hartley, John. 1982. Understanding News. New York dan London : Routledge. ___________. 2002. Communication, Cultural and Media Studies: The Key Concept. New York dan London : Routledge. Kitzinger, Jenny. (2004). Audience and Readership Research. In Downing, John D. H., McQuail, Denis., Schlesinger, Philip., & Wartella, Ellen (Ed). The SAGE Handbook of Media Studies (pp. 167-181). London: SAGE Publications, Inc. McDougall, Julian. (2012). Media Studies: The Basic. London: Routledge. McQuail, Denis. (1997). Audience Analysis. London: SAGE Publications, Inc. Nasution, Zulkarnaen. (2012). Kapitalisme Media. http://komunikasi.um.ac.id/?p=2988. Diakses pada Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 13.05 WIB Potter, W. James. (2011). Media Literacy 5th Edition. USA: SAGE Publications Rayner, Philip & Wall, Peter. (2008). AS Media Stuedies: The Essential Introduction for AQA. London: Routledge. Senjaya, Irvan. (2014). Peran dan Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia. Materi disampaikan pada presentasi Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Jakarta.
  • 24. 22 Solomon, Michael., Cornell, Lisa Duke., & Nizan, Amit. (2009). Launch! Advertising and Promotion in Real Time. Washington D.C.: Flat World Education, Inc. Sudibyo, Agus & Patria, Nezar. (2013). The Television Industri in Post-authoritarian Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 43:2, 257-275. Retrieved from http:/dx.doi.org/10.1080/00472336.2012.75743 Supadiyanto. (2013). Peta Bisnis Media Massa di Indonesia Pra Pemilu 2014. http://media.kompasiana.com/new-media/2013/07/14/peta-bisnis-media-massa-di-indonesia- pra-pemilu-2014-573468.html. Diakses pada Sabtu, 13 Desember 2014 pukul 14.15 WIB ViaBerita.com. (2014). Anggap Tak Netral, Menkominfo Peringatkan TV One dan Metro TV. Diakses dari http://www.viaberita.com/466/anggap-tak-netral-menkominfo- peringatkan-TV One-dan-Metro TV/ pada Minggu, 21 Desember 2014.