SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
Download to read offline
Tata Kelola Yang Tak Kunjung Membaik:
Penilaian Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah
Dalam Pengelolaan Hutan Dan Lahan Di 16 Kabupaten
Kondisi tutupan hutan di Kalimantan Barat, diambil dari udara pada tanggal 31 Mei 2014
A. Pengantar
Dengan kawasan hutan di seluruh Indonesia sebanyak ± 120 juta Ha atau setara dengan 60% seluruh daratan di Indonesia, tata
kelola kehutanan dan lahan serta tambang menjadi aspek yang perlu untuk diperhatikan. Studi Indeks Kelola Hutan dan Lahan
(IKHL) ini dimaksudkan sebagai alat untuk mengukur tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten. Studi ini akan melihat
kekurangan yang paling penting untuk ditangani dalam tiap sektor, serta membandingkannya antara daerah. Indeks ini juga
mengukur perkembangan tata kelola hutan dan lahan di masing-masing kabupaten dalam kurun waktu 2012 - 2014. Penelitian
ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana praktek tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten berjalan berdasarkan empat
komponen tata kelola pemerintahan yang baik, yakni transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi.
Tata kelola hutan dan lahan di Indonesia terkait dengan beberapa keberadaan hukum yang memberikan jaminan legal sebagai
landasan bagi pemerintah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Salah satu indikator dalam tata kelola hutan,
lahan dan tambang yang baik dapat dilihat dari partisipasi publik yang baik dan signifikan, baik dari proses perencanaan,
pelaksanaan hingga pengawasan. Keterbukaan informasi merupakan sarana dalam prinsip transparansi dan partisipasi publik
dalam proses tata kelola baik. Studi ini merupakan bagian penting dari keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola,
khususnya di tingkat daerah.
Akan tetapi, partisipasi publik tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik dan peranan aktif pemerintah.
Bagaimanakah pemerintah daerah merespon terhadap keterbukaan informasi ini? Ketika transparansi dimaknai sebagai upaya
pemerintah dalam menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan pengelolaan sektor hutan dan lahan, apakah
pemerintah telah bersikap proaktif, responsif atau malah mempersulit proses keterbukaan informasi ini? Apakah keterbukaan
sudah diterapkan secara kelembagaan atau hanya sekedar menjadi pemenuhan prosedur? Studi ini juga akan memotret lebih
jauh mengenai kondisi keterbukaan informasi baik di sisi pemerintah dan kelembagaannya, partisipasi serta permintaan
masyarakat, jenis informasi hingga target penerima informasi.
Kredit Foto: Armin Hari
Penyusunan skoring di atas dilakukan dengan menggunakan metode expert judgement. Expert judgement dalam pengertian
praktisnya adalah pertimbangan/ pendapat ahli/ orang yang berpengalaman. Expert judgement digunakan untuk menguji
validitas dan reliabilitas sebuah instrumen penelitian Dalam hal ini, Expert judgement-nya adalah orang yang ahli dan
berpengalaman di bidang tata kelola hutan dan lahan. Secara spesifik, tim peneliti menjawab setiap pertanyaan dalam
instrumen untuk menentukan jawaban yang diharapkan untuk diraih oleh setiap daerah dalam setiap kategori. Sebagai contoh,
pertanyaan untuk menguji aksesibilitas dokumen/informasi, pada daerah yang dokumen/informasinya dapat diperoleh dalam
jangka waktu <10 hari kerja maka daerah ini bisa dikategorikan “sangat baik”; jika jangka waktu perolehan data/informasinya
diantara 11-17 hari kerja maka dikategorikan “baik”, jika dalam jangka waktu > 17 hari kerja maka dikategorikan “sedang”,
dan jika permintaan tidak direspon maka dikategorikan buruk. Pembagian hari kerja tersebut dilakukan mendasarkan
pada peraturan terkait dengan standar minimum layanan informasi. Metode ini dipandang lebih baik daripada melakukan
ketegorisasi dengan menetapkan nilai secara acak (arbitrary). Dengan metode ini, peneliti dapat menerapkan pengetahuannya
akan kondisi lapangan dan mengkombinasikannya dengan pemahaman akan ketentuan regulasi. Kelemahan metode ini adalah
sulitnya menemukan pakar atau orang yang tepat untuk menguji instrumen penelitian yang sesuai dengan kompetensi yang
diharapkan pembuat instrumen.
Prinsip Good Governance Indeks 2012 Indeks 2014
Transparansi 15,4 20,9
Partisipasi 19,7 21,5
Koordinasi 28,0 27,6
Akuntabilitas 21,2 26,3
Indeks Agregat IKHL 2012 - 2014
Indeks Prinsip IKHL 2012 – 2014
22.7
18.7
20.7
33.4
16.1
23.4
21.4
5
10
14.5
38.3
24.4
22.5
50.8
8.2
38.1
24.1
21.1
8.8
8.4
39.9
32.0
23.9
20.5
16.1
30.00
40.00
0.00
10.00
50.00
20.00
60.00
Kubu
Raya
Paser
Malinau
Sintang
Kutai
Banyuasin
Kapuas
Hulu
Muisi
Banyuasin
Kayong
Utara
Bulungan
Muara
Enim
Muisi
Rawas
Ketapang
Berau
OKI
Melawi
rerata 2012 rerata 20142012 2014
C. Overview Agregat Indeks IKHL 2012- 2014
Kinerja pengelolaan hutan dan lahan di daerah studi masih buruk, hal ini terlihat dari perbandingan rata-rata indeks IKHL
tahun 2012 dimana skornya hanya 18,7 (kategori buruk) dan skor indeks IKHL 2014 hanya 22,7 (kategori buruk). Pada
pengukuran indeks tahun 2012, hanya satu kabupaten yang masuk kategori baik dan satu Kabupaten masuk kategori sedang,
sedangkan pada pengukuran indeks tahun 2014, tidak satupun daerah studi yang masuk kedalam kategori baik. Hal ini
menunjukkan lemahnya pelaksanaan prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi dalam pengelolaan hutan
dan lahan daerah.
Jika dilihat lebih dalam lagi, Indeks transparansi mengalami kenaikan, begitu juga dengan indeks partisipasi dan akuntabilitas.
Walaupun mengalami kenaikan, namun masih masuk dalam kategori buruk. Tergambar dalam tabel berikut
13.1
15.5
18.7
12.1
19
18.2
12.2
18.6
12.6
4
D. Sektor Hutan Dan Lahan Tak Kunjung Transparan
Skor transparansi sektor hutan dan lahan meningkat, tetapi masih “buruk”. Hasil pengukuran indeks transparansi di
16 kabupaten menunjukan peningkatan 5.5 poin, dari skor 15.4 pada 2012 menjadi 20.9 pada 2014 dari skor maksimum 100
poin. Tetapi peningkatan skor tersebut tidak mengubah kategorisasi dari indeks tersebut, masih berada pada kategori “buruk”.
Pada tahun 2014 ada 12 daerah mengalami peningkatan, dan 4 daerah lainnya mengalami penurunan. Pada 12 daerah yang
mengalami peningkatan, hanya 4 daerah yang upgrade kategori dari “buruk” menjadi “sedang”, seperti Kubu Raya, Malinau,
Ketapang dan Muara Enim. Untuk meningkatkan transparansi pemerintah daerah harus membuka dokumen kunci sektor hutan
dan lahan kepada publik, seperti dokumen perizinan, laporan ketaatan internal perusahaan, amdal, dan lain sebagainya.
Akses dokumen publik melalui permintaan informasi sangat buruk, bahkan ada lima daerah yang tidak memberikan
sama sekali. Indikator aksesibilitas menjadi salah satu indikator utama dalam mengukur indeks transparansi. Dari 559
dokumen yang diuji hanya 17 persen atau 95 dokumen yang diperoleh. Hanya 35 atau 37 persen dokumen yang diperoleh dari
95 dokumen diminta setelah diajukan surat keberatan oleh pemohon informasi. Meskipun sedikit, tetapi masih ada 10 dokumen
yang tanpa diminta sudah dipublikasikan.
Sekalipun indeks IKHL mengalami peningkatan, namun tidak satupun wilayah studi yang masuk kategori baik, hal ini dikarenakan:
1.Pengelolaan hutan dan lahan masih belum transparan, partisipatif, dan akuntabel. Dalam hal transpransi terlihat dari
minimnya ketersediaan data. Kalaupun adanya ketersediaan data, namun tidak disertai dengan aksesibilitas dan kelembagaan
yang memadai. Dalam hal partisipasi, penyelenggaraan pengelolaan hutan dan lahan di daerah juga masih jauh dari
jangkauan masyarakat terdampak dan potensial terkena dampak. Dalam hal akuntabilitas, Pemkab belum menyediakan
mekanisme dan prosedur bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan terkait pemberian izin di sektor hutan, kebun, dan
tambang. Pemerintah Kabupaten cenderung untuk sekedar memenuhi kewajiban prosedural dibanding meningkatkan kualitas
pertanggungjawabannya kepada publik.
2.Pemkab tidak memiliki Political will untuk meningkatkan perbaikan tatakelola, misalnya Kab Malinau dan Kabupaten Musi
Rawas yang sampai saat ini belum menunjuk Pejabat Pengelolala Informasi dan Dokumentasi (PPID) meskipun sudah 5
(lima) tahun yang lalu dimandatkan oleh UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
3.Kapasitas kinerja birokrasi di Pemerintah Kabupaten masih belum memadai dalam melakukan perbaikan tata kelola hutan
dan lahan, baik dari segi ketersediaan staf, kualitas staf, minimnya inovasi, dan pendanaan. Pemerintah Kabupaten belum
memiliki agenda prioritas dalam melakukan pembenahan tata kelola, kegiatan pengelolaan hutan dan lahan hanya sebatas
business as usual. Di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, pasca ditetapkan sebagai kabupaten konservasi, sampai saat ini
belum ada kebijakan atau intervensi konkrit untuk menindaklanjuti komitmen tersebut.
4.Belum terkonsolidasinya gerakan Masyarakat Sipil sebagai effective pressure group dalam mendorong perbaikan tata kelola
hutan dan lahan daerah.
30.00
40.00
0.00
10.00
50.00
Baik: 46.7 - [VALUE]
Sedang: 23.4 - [VALUE]
Buruk: 0 - [VALUE]
20.00
60.00
Kutai
Kertanegara
55
39
27
27
23
17
18
8
8
16
15
15
28
36
29
14
12
11
10
8
12
12
12
13
13
7
5
2
11
37
Kubu
Raya
Paser
Malinau
Sintang
Banyuasin
Kapuas
Hulu
Muisi
Banyuasin
Kayong
Utara
Bulungan
Muara
Enim
Muisi
Rawas
Ketapang
Berau
OKI
Melawi
19
18
2012 2014
Indeks Transparansi IKHL 2012 - 2014
5
E. Partisipasi Semu
Kinerja partisipasi publik pada sektor hutan dan lahan (kehutanan, perkebunan, dan pertambangan) meningkat
meskipun masih dalam kategori buruk. Pada penilaian tahun 2012, rerata indeks partisipasi publik pada 16 Kabupaten
adalah 19,7 dari 100,0 dan pada saat penilaian tahun 2014 meningkat menjadi 21,5 meskipun masih dalam kategori
buruk. Selain itu, 8 kabupaten mengalami peningkatan indeks dimana peningkatan tertinggi terjadi pada Kabupaten
Malinau dan Kayong Utara. Buruknya kondisi partisipasi publik disebabkan oleh: (i) minimnya wahana partisipai
bagi publik, (ii) partisipasi publik belum diselenggarakan pada setiap tahapan pengambilan keputusan, (iii) rendahnya
keragaman partisipan dalam penyelenggaran partisipasi publik terutama masyarakat yang terkena dampak, dan (iv)
minimnya kebijakan atau regulasi yang menjamin penyelenggaran partisipasi secara terstandar dan ajeg.
Keterlibatan masyarakat terkena dampak tidak diprioritaskan dalam pengambilan kebijakan. Pada banyak proses
partisipasi, masyarakat terdampak mendapatkan porsi yang minim (14%) dibandingkan dengan perwakilan masyarakat
(36%), pelaku usaha (21%), dan LSM (16%). Pelibatan masyarakat terdampak seharusnya mendapatkan prioritas dan
porsi yang lebih besar dibandingkan yang lainnya.
Partisipasi publik diselenggarakan secara setengah hati. Dari tiga level partisipasi publik, umumnya pemerintah
kabupaten masih banyak menyelenggarakan sosialisasi (48%) daripada konsultasi publik (43%), terlebih lagi
permintaan persetujuan (37%). Hal ini berpengaruh pada minimnya masukan masyarakat yang diakomodir dalam
pengambilan keputusan.
Skor indikator aksesibilitas terhadap dokumen kunci 1/8 kali lebih rendah dari skor indeks transparansi. Dari 35
dokumen kunci dalam studi IKHL ini, terdapat 2 dokumen yang tidak diperoleh yaitu: Laporan pemantauan ketaatan internal
perusahaan tahun 2012, baik sektor hutan maupun tambang. Bahkan, 5 dari 16 daerah studi tidak memperoleh dokumen dalam
proses permintaan 35 dokumen tersebut. Lima daerah tersebut adalah Berau, Kubu Raya, Musi Rawas, Melawi, dan Malinau.
Pemerintah daerah seharusnya membuka akses informasi sektor hutan dan lahan kepada masyarakat, bukan sebaliknya
menutup informasi yang seharusnya dibuka. Karena informasi tersebut adalah hak bagi masyarakat, dan dengan dibukanya
akses semakin meningkatkan partisipasi dan pengawasan publik sebagai wujud tata kelola pemerintahan yang baik.
Kelembagaan PPID dan SOP Informasi belum efektif. Keberadaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
dan Standar Operasional Prosedur (SOP) informasi belum efektif. Walaupun sebagian besar daerah sudah memiliki (13) PPID
dan (10) SOP informasi, tetapi implementasi permohonan informasi pada daerah tersebut masih sangat rendah.
Tabel di atas menunjukkan masih ada daerah yang memiliki alat kelengkapan dan kelembagaan transparansi tetapi belum terbuka
dalam implementasi keterbukaan informasi. Sebaliknya, ada juga yang tidak menjalankan amanat dari UU 14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Seharusnya, kelembagaan dan SOP informasi menjadi alat pendukung dalam mengelola dan
melayani permohonan informasi, baik untuk masyarakat ataupun untuk analisa pengambil kebijakan.
Tidak Diperoleh/
Tidak Direspon
Bisa Diakses
Dengan Permintaan
Status Dokumen
Dipublish Via
Website
Daerah PPID SOP
Banyuasin Ada Ada 0 7 28
Musi Banyuasin Ada Ada 0 5 30
Musi Rawas Tidak Ada Tidak Ada 0 0 35
OKI Ada Ada 0 11 24
Muara Enim Ada Ada 0 15 20
Kayong Utara Ada Ada 0 19 16
Kubu Raya Ada Ada 0 0 35
Sintang Ada Ada 1 0 34
Ketapang Ada Tidak Ada 0 16 19
Melawi Ada Tidak Ada 0 0 35
Kapuas Hulu Tidak Ada Tidak Ada 1 6 28
Berau Ada Tidak Ada 0 0 35
Bulungan Ada Ada 1 0 34
Paser Ada Ada 0 6 29
Kutai Kartanegara Ada Ada 7 0 28
Malinau Tidak Ada Tidak Ada 0 0 34
Jumlah 13/16 10/16 10 85 464
Perbandingan Efektivitas Kelembagaan dan SOP Informasi
6
Penyelenggaraan partisipasi belum memiliki dasar hukum yang memadahi dan dapat dijadikan sebagai pedoman
bagi pemerintah daerah dalam mengelola partisipasi. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada umumnya hanya
berpedoman pada kebijakan nasional yang bersifat umum dalam menyelenggarakan partisipasi. Hal ini mengakibatkan
lemahnya standar (NSPK) pelaksanaan partisipasi sehingga tidak dapat diterapkan secara seragam dari waktu ke waktu.
Tujuh dari 16 Kabupaten justru mendapatkan penurunan skor pada pengukuran tahun 2012. Pada studi lainya dalam LBI
menemukan bahwa meskipun terdapat perda partisipasi, namun tidak menjamin partisipasi di daerah tersebut meningkat.
Hal ini dikarenakan kualitas perda partisipasi masih bersifat umum dan belum mengarah kepada standar yang dapat
dijadikan pedoman dalam pengelolaan partisipasi secara baik.
Partisipasi masyarakat dalam pemberian izin masih lemah. Kondisi ini berbeda dengan proses partisipasi dalam
pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang bersifat umum, misalnya perencanaan tata ruang wilayah serta rencana
rehabilitasi hutan dan lahan. Pada proses pengambilan keputusan pemberian izin, pelaksanaan partisipasi banyak
diinisiasi kerena dorongan atau tuntutan masyarakat, umumnya karena mereka tidak setuju atau menolak rencana
pemberian izin yang dikhawatirkan dapat merugikan kepentingannya.
30.00
40.00
0.00
10.00
50.00
20.00
60.00
35.7
30.0
48.0
20.5
11.8
16.4
21.8
14.3
13.9
21.3
23.9
19.5
20.1
34.6
30.1
14.1
8.2
6.0
6.6
5.1
34.0
26.0
9.2
29.6
11.1
6.7
55.3
34.9
12.6
28.8
5.0
3.7
Kutai
Kubu
Raya
Paser
Malinau
Sintang
Banyuasin
Kapuas
Hulu
Muisi
Banyuasin
Kayong
Utara
OKI
Bulungan
Muara
Enim
Muisi
Rawas
Ketapang
Berau
Melawi
2012 2014
Indeks Partisipasi IKHL 2012 - 2014
Ragam Partisipan
Pelaku Usaha
21%
Masyarakat
Terdampak
21%
Perwakilan
Masyarakat
36%
LSM 16%
Akademisi 13%
7
F. Terjebak Dalam Akuntabilitas Prosedural
Rerata indeks akuntabilitas tahun 2012 dan 2015 kenaikannya belum cukup signifikan, yaitu dari 21,2 (kategori
buruk) menjadi 26,3 (kategori sedang). Perbaikan akuntabilitas dalam pengelolaan sektor hutan dan lahan terjadi di
Kabupaten Ogan Komering Ilir, dari buruk menjadi baik, kemudian diikuti oleh Kabupaten Kayong Utara yang semula
indeks akuntabilitasnya masuk kategori buruk naik menjadi sedang. Kabupaten Kubu Raya masih stagnan, sebaliknya
Kabupaten Sintang yang semula indeks akuntabilitasnya masuk kategori Sedang pada fase 2012, saat ini masuk kategori
buruk, begitu juga dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, terjadi penurunan dari Baik menjadi Sedang.
Indeks akuntabilitas dihasilkan dari penjumlahan skoring akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas
internal mengukur sejauh mana Pemerintah Kabupaten dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan hutan dan lahan
kepada institusi pemerintah lainnya, baik secara vertical maupun horizontal. Akuntabilitas eksternal mengukur sejauh
mana Pemerintah Kabupaten dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan hutan dan lahan kepada publik.
2012 2014
Eksternal Internal
30.00
40.00
0.00
10.00
50.00
20.00
60.00
70.00
Indeks Akuntabilitas IKHL 2012 - 2014
Indeks Pembangun Prinsip Akuntabilitas
OKI
19.2
58.2
Malinau
21.1
35.7
Muisi
Banyuasin
12.1
14.7
Kutai
60.8
48.1
Paser
20.1
31.9
Ketapang
14.7
14.4
Kubu
Raya
31.2
45.6
Banyuasin
11.6
20.2
Bulungan
15.4
11.2
Kayong
Utara
5.8
43.5
Sintang
39.4
18.2
Melawi
16.4
8.9
Kapuas
Hulu
37.5
43.3
Muisi
Rawas
13.5
15.7
Muara
Enim
6.7
5.8
Berau
14.3
5.5
Kutai
Kertanegara
Kubu
Raya
Paser
Malinau
Sintang
Banyuasin
Kapuas
Hulu
Muisi
Banyuasin
Kayong
Utara
Bulungan
Muara
Enim
Muisi
Rawas
Ketapang
Berau
OKI
Melawi
30.00
40.00
0.00
10.00
50.00
20.00
60.00
13.4
13.5
12.2
11.3
10.8
10.7
10.5
10.2
10.1
9.5
6.9
6.9
5.6
5.1
2.5
1.9
5.3
35
23.3
40.9
30.4
7.4
2.6
2.6
31.7
4.6
28.2
2.0
52.6
0.7
8.7
3.3
8
G. Koordinasi Sebatas Mandatori
Tidak berbeda dari IKHL 2012, kinerja koordinasi pemerintah kabupaten di bidang pengelolaan hutan dan lahan
(TKHL) masuk kategori sedang. Nilai rata-rata koordinasi TKHL menurun dari skor 28, 0 menjadi 27,6 di IKHL 2015.
Angka indeks tertinggi didapatkan oleh Kabupaten Kubu Raya sedangkan yang terendah dimiliki oleh Kabupaten Berau.
Ada sekitar lima kabupaten seperti Kabupaten Bulungan1
, Kayong Utara, Musi Rawas, Musi Banyuasin, dan Kubu Raya
yang menganggarkan APBDnya untuk membetuk lembaga koordinasi lintas sektor, namun kebanyakan hanya terbatas
di sektor perkebunan2
. Di lain sisi, sebelas kabupaten lainnya belum memiliki lembaga koordinasi lintas sektoral terkait
perizinan hutan hutan dan lahan.
Pemerintah daerah cenderung untuk sekedar memenuhi kewajiban procedural dibanding meningkatkan
kualitas pertanggungjawabannya kepada publik. Hal ini terlihat dari skor akuntabilitas internal yang jauh lebih
tinggi dari skor akuntabilitas eksternal. Dalam hal tata ruang misalnya, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
memandatkan setiap Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota untuk melakukan revisi Perda RTRW, studi IKHL tahun
2015 menemukan bahwa terdapat 9 (sembilan) Kabupaten yang sudah melakukan revisi Perda RTRW, selebihnya masih
tahap pembahasan di DPRD, menunggu persetujuan dari pusat, dan belum melakukan revisi sama sekali dikarenakan
menunggu Pemerintah Provinsi yang belum melakukan revisi Perda RTRW.
Mekanisme insentif dan disinsentif yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, memicu Pemerintah Daerah
untuk menjadi lebih bertanggungjawab. Hal ini terlihat dari beberapa pemerintah kabupaten yang sudah melakukan
revisi RTRW kabupaten, walaupun di tingkat provinsi belum dilakukan. Pemkab, Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai
salah santu contoh Pemkab yang sudah melakukan revisi RTRW, meskipun Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur belum
merampungkan Perda RTRW nya.
Pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap publik mulai meningkat, meskipun masih ditemukan beberapa
kebijakan yang kurang akuntabel. Hal ini terlihat dari mayoritas daerah studi yang masih belum memiliki lembaga
yang bertanggungjawab mengelola pengaduan dan penyelesaian sengketa dari masyarakat, misalnya dalam hal pemberian
izin usaha pertambangan, pemberian rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan, pemberian
izin usaha perkebunan, pemberian Pertek untuk IUPHHK, dan pemberian IPK di APL. Dari 16 (enambelas) Kabupaten
wilayah studi, hanya Kabupaten OKI, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Bulungan saja yang pemerintah dearah
membentuk lembaga khusus yang menangani penganduan masyarakat terkait kebijakan TKHL. Pemerintah Daerah
Kabupaten Ogan Komering Ilir misalnya, telah mengeluarkan SK Bupati No 29/KEP/III/2014 tentang Pembentukan Tim
Terpadu Penyelesaian Sengketa Lahan, kemudian Pemerintah Kabupaten Bulungan dengan SK Bupati Bulungan No 98/
II/540/2015 tentang Pembentukan Tim Pembina Pembangunan Perkebunan. Namun, perlu dilakukan monitoring dan
evaluasi mengenai kinerja lembaga ini, apakah pengaduan masyarakat tersebut ditindaklanjuti atau keberadaaan lembaga
hanya sekedar formalitas saja.
2012 2014
40.00
0.00
20.00
60.00
80.00
100.00
Kutai
Kertanegara
Kubu
Raya
Paser
Malinau
Sintang
Banyuasin
Kapuas
Hulu
Muisi
Kayong
Utara
Bulungan
Muara
Enim
Muisi
Rawas
Ketapang
Berau
OKI
Melawi
12.5
4.2
7.1
12.5
29.2
62.5
12.5
70.8
70.8
19.2
18.6
14.2
38.9
34.9
20.8
12.5
14.4
13.8
29.1
40.7
88.5
30.8
20.8
19.4
18.3
16.4
19
19.7
21.4
54.2
20.8
20.8
Indeks Koordinasi IKHL 2012 - 2014
9
IKHL 2012 dan 2015 menampilkan skor indeks yang berbeda. Beberapa kabupaten mengalami kenaikan dan
beberapa daerah mengalami penurunan. Kenaikan signifikan dialami Kabupaten Kubu Raya dan Malinau. Pada
aspek koordinasi, Kabupaten Kubu Raya menempati posisi teratas dengan prolehan skor 88,5 atau sangat baik yang
mana sebelumnya kabupaten tersebut hanya memperoleh skor sedang dengan angka 29,2. Posisi kedua ditempati
oleh Malinau dengan perolehan skor 54,2 dengan kategori skor baik yang sebelumnya memperoleh skor dengan
kategori sedang. Pada IKHL 2015 di bagian koordinasi, faktor utama yang membuat skor Kabupaten Kubu Raya
menjadi tinggi yaitu ditandai dengan adanya SK Bupati tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
No. 310 Tahun 2014 yang mempunyai tupoksi untuk mengkoordinasikan hal-hal yang terkait tata kelola hutan dan
lahan (TKHL) seperti pemberian izin usaha perkebunan dan pertambangan, koordinasi data spasial dalam pembuatan
rencana tata ruang dan wilayah, serta IPK, IPHHK, dan IUPHHK. Kegiatan TKHL yang tidak dikoordinasikan
badan ini hanya Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTnRHL) dan proses reklamasi hutan dan
lahan. Sedangkan di Malinau, lembaga formal yang dibentuk hanya di bidang perencanaan tata ruang berdasarkan
kewenangan atributif dari pasal 13 ayat (2) Permendagri No. 50 Tahun 2009 dan lembaga koordinasi terkait perizinan
hutan dan lahan yang sifatnya adhoc yang dibentuk oleh bupati namun tidak mendapat dukungan APBD. Kabupaten
yang perolehan skor terendah yaitu Kabupaten Berau dengan skor 13,8 dengan kategori skor buruk, sama seperti
perolehan IKHL 2012 di angka 4,2 karena tidak memiliki lembaga koordinasi lintas sektoral di berbagai sektor,
termasuk tata ruang. Banyuasin menjadi kabupaten yang menempati posisi kedua terbawah dengan perolehan skor
14,4 dengan kategori buruk dan diikuti oleh Ketapang dengan perolehan 19,2.
Kesimpulannya, skor rerata dengan kategori sedang yang diperoleh pada prinsip koordinasi hanya didapatkan
dari koordinasi perencanaan karena adanya mandat peraturan tingkat nasional untuk membentuk BKPRD tingkat
kabupaten/kota. Berbeda dengan tahap perencanaan, pada tahap kebijakan terkait izin, koordinasi antar SKPD
tidak dilakukan, termasuk di dalamya proses reklamasi hutan. Rendahnya koordinasi menunjukan pemda belum
berkomitmen penuh dalam melakukan pengelolaan hutan dan lahan karena koordinasi yang dilakukan sifatnya
masih mandatori dari peraturan pusat dan bukan dari inisiatif pemda untuk membuat peraturan.
1
Tim koordinasi di sektor perkebunan di Kabupten Bulungan dihadirkan melalui Keputusan Bupati Bulungan Nomor 98/K-II/540/2015.
2
Empat kabupaten yang membuat lembaga koordinasi sektor perkebunan yaitu Bulungan, Musi Rawas, Musi Banyuasin, dan Kayong Utara
sedangkan Kubu Raya ada di beberapa sektor.
H. Rekomendasi
1. Rekomendasi Bagi Pemerintah Daerah
a. Membuka akses informasi sektor hutan dan lahan kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat terkena dampak.
b. Membentuk alat kelengkapan (PPID dan SOP informasi) bagi daerah yang belum menjalankan mandat dari
UU 14/2008 tentang KIP.
c. Mengevaluasi kinerja alat kelengkapan (PPID dan SOP informasi) dalam menjalan mandat dari UU 14/2008
tentang KIP.
d. Adanya publikasi proaktif terkait data/informasi pengelolaan hutan dan lahan.
e. Membangun sistem informasi lingkungan hidup dan kehutanan yang terintegrasi guna mendorong
ketersediaan dan pertukaran data/informasi antar instansi.
f. Memprioritaskan keterlibatan kelompok terdampak (masyarakat lokal, masyarakat adat) dalam pengambilan
keputusan di sektor hutan dan lahan.
g. Menyediakan wahana partisipasi yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan sampai dengan
pengambilan keputusan.
h. Mengembangkan sistem pengawasan internal dan penjatuhan sanksi administrasi bagi pelanggaran yang
dilakukan oleh petugas.
i. Mengkaji ulang kebijakan dan prosedur penerbitan izin guna meminimalisir pelanggaran dalam penerbitan
izin dan memperkuat pengawasan masyarakat.
j. Mengembangkan lembaga dan mekanisme pengaduan serta penyelesaian sengketa yang murah, cepat, dan
sederhana bagi masyarakat.
k. Mengembangkan kelembagaan dan mekanisme koordinasi yang tercermin dalam prosedur operasional
dengan dukungan struktur, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan pendanaan yang memadai terkait
perizinan di sektor tata kelola hutan dan lahan.
10
2. Rekomendasi Bagi Pemerintah Pusat
a. Mengasistensi, memonitor, dan mengevaluasi kinerja pemerintah Daerah dalam pelaksanaan UU KIP
b. Membangun sistem informasi lingkungan hidup dan kehutanan yang terintegrasi secara nasional maupun
daerah guna mendorong ketersediaan dan pertukaran data/informasi antar instansi.
c. Menjadikan indikator pengelolaan hutan dan lahan sebagai mekanisme pemberian insentif dan disinsentif
bagi Pemerintah Daerah.
3. Rekomendasi bagi Masyarakat Sipil
a. Menggunakan UU KIP sebagai instrumen untuk memperoleh data/informasi terkait pengelolaan hutan dan
lahan, seperti informasi tata ruang, perizinan sektor hutan, kebun, dan tambang, dan lain-lain.
b. Melakukan asistensi kepada Pemerintah Kabupaten dalam melaksanakan mandat UU KIP, antara lain penunjukan
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), SOP PPID, dan Daftar Informasi Publik (DIP).
c. Mengembangkan best practice atau success story melalui pendampingan masyarakat terdampak dan
potensial terdampak dalam melakukan partisipasi publik.
d. Melakukan pengawaan terhadap kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan dan lahan,
misalnya melakukan review perizinan terkait hutan dan lahan.
e. Membentuk posko pengaduan masyarakat yang diinisiasi oleh masyarakat sipil.
f. Melakukan advokasi atas pelanggaran dan kejahatan terkait hutan dan lahan, baik litigasi dan non litigasi.
g. Melakukan konsolidasi gerakan Masyarakat Sipil sebagai effective pressure group dalam mendorong
perbaikan tata kelola hutan dan lahan daerah.
11
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Jl. Dempo II No 21, Kebayoran Baru
Jakarta, 12120. Indonesia.
Phone : (62-21) 7262740, 7233390
Fax : (62-21) 7269331
www.icel.or.id
Seknas Fitra
MampangPrapatan IV.
Jl. K No. 37
Jakarta 12710. Indonesia
Tel: +62 (21) 7947608
Fax: +62 (21) 7947608
Didukung oleh:

More Related Content

Similar to Indeks tata-kelola-hutan-lahan-2015

Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...Excruciate Limited
 
telaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdf
telaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdftelaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdf
telaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdfBangKoko
 
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...fathur111079
 
Perubahan Paradigma Kepemerintahan
Perubahan Paradigma KepemerintahanPerubahan Paradigma Kepemerintahan
Perubahan Paradigma KepemerintahanDadang Solihin
 
111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptx
111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptx111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptx
111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptxBudiYudaPrawira
 
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...Ahmad Irfansyah
 
slide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptx
slide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptxslide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptx
slide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptxWahyuFitriansyah4
 
2. Akuntabilitas.pdf
2. Akuntabilitas.pdf2. Akuntabilitas.pdf
2. Akuntabilitas.pdfRoroFitriani
 
Umi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitas
Umi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitasUmi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitas
Umi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitasYunioLatief1
 
PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...
PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...
PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...Riyan Hidayatullah
 
Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...
Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...
Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...Asep Muhamad Ferdiana
 
Police governance index KEMITRAAN
Police governance index KEMITRAANPolice governance index KEMITRAAN
Police governance index KEMITRAANReformasi Polri
 
Jurnal
JurnalJurnal
Jurnalfathad
 
Booklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaBooklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaAksi SETAPAK
 
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganSETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganAksi SETAPAK
 

Similar to Indeks tata-kelola-hutan-lahan-2015 (20)

Presentasi Pyb
Presentasi PybPresentasi Pyb
Presentasi Pyb
 
MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi II
MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi II MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi II
MEDIUM (Media Inovasi Perubahan Masyarakat) Edisi II
 
177-300-1-PB.pdf
177-300-1-PB.pdf177-300-1-PB.pdf
177-300-1-PB.pdf
 
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
Proposal Pendahuluan PENGARUH KEPUASAN PEGAWAI MASYARAKAT TERHADAP KINERJA PE...
 
telaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdf
telaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdftelaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdf
telaah jurnal kep keluarga riyani (2).pdf
 
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
ANALISIS PROSES TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN PADA PROG...
 
Perubahan Paradigma Kepemerintahan
Perubahan Paradigma KepemerintahanPerubahan Paradigma Kepemerintahan
Perubahan Paradigma Kepemerintahan
 
111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptx
111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptx111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptx
111223 - Berbagi Insight Tata Kelola Satu Data-Fin3.pptx
 
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
ANALISIS KINERJA APARATUR PEMERINTAH PADA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN MUSI B...
 
slide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptx
slide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptxslide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptx
slide sidang skripsi universitas mitra indonesia mas kurnia.pptx
 
2. Akuntabilitas.pdf
2. Akuntabilitas.pdf2. Akuntabilitas.pdf
2. Akuntabilitas.pdf
 
Umi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitas
Umi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitasUmi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitas
Umi arifah, zamly tugas transparansi&amp;akuntabilitas
 
PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...
PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...
PEMANFAATAN RAPOR PENDIDIKAN DALAM PERENCANAAN BERBASIS DATA UNTUK SATUAN PEN...
 
Akuntabilitas
AkuntabilitasAkuntabilitas
Akuntabilitas
 
Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...
Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...
Be & gg, Asep Muhamad Perdiana, Hapzi Ali, Board of Director,Board Committes,...
 
Police governance index KEMITRAAN
Police governance index KEMITRAANPolice governance index KEMITRAAN
Police governance index KEMITRAAN
 
623 9044-1-pb
623 9044-1-pb623 9044-1-pb
623 9044-1-pb
 
Jurnal
JurnalJurnal
Jurnal
 
Booklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaBooklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesia
 
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganSETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
 

More from Aksi SETAPAK

Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-womenWacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-womenAksi SETAPAK
 
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digitalWacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digitalAksi SETAPAK
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesianUncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesianAksi SETAPAK
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-englishUncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-englishAksi SETAPAK
 
Taf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesiaTaf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesiaAksi SETAPAK
 
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Aksi SETAPAK
 
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahanStudi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahanAksi SETAPAK
 
State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013Aksi SETAPAK
 
Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1Aksi SETAPAK
 
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasiRuang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasiAksi SETAPAK
 
Rakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambangRakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambangAksi SETAPAK
 
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013Aksi SETAPAK
 
Policy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesianPolicy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesianAksi SETAPAK
 
Policy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-englishPolicy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-englishAksi SETAPAK
 
Policy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-landPolicy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-landAksi SETAPAK
 
Policy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesianPolicy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesianAksi SETAPAK
 
Policy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-englishPolicy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-englishAksi SETAPAK
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesianPolicy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesianAksi SETAPAK
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-englishPolicy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-englishAksi SETAPAK
 
Policy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesianPolicy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesianAksi SETAPAK
 

More from Aksi SETAPAK (20)

Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-womenWacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
 
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digitalWacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesianUncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-englishUncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
 
Taf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesiaTaf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesia
 
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
 
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahanStudi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan
 
State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013
 
Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1
 
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasiRuang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasi
 
Rakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambangRakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambang
 
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
 
Policy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesianPolicy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesian
 
Policy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-englishPolicy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-english
 
Policy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-landPolicy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-land
 
Policy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesianPolicy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesian
 
Policy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-englishPolicy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-english
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesianPolicy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-englishPolicy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-english
 
Policy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesianPolicy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesian
 

Recently uploaded

modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjmodul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjAdeIrawan190202
 
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)Izzana Fatima
 
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptxPPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptxmagangfim17
 
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptxGEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptxAisyhaDewiII
 
JSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisisJSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisisbarryYOno
 
Sukses Budidaya Jagung Manis hibrida .ppt
Sukses Budidaya Jagung Manis hibrida .pptSukses Budidaya Jagung Manis hibrida .ppt
Sukses Budidaya Jagung Manis hibrida .pptngishomudin
 

Recently uploaded (6)

modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjmodul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
 
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
 
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptxPPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
 
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptxGEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
 
JSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisisJSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisis
 
Sukses Budidaya Jagung Manis hibrida .ppt
Sukses Budidaya Jagung Manis hibrida .pptSukses Budidaya Jagung Manis hibrida .ppt
Sukses Budidaya Jagung Manis hibrida .ppt
 

Indeks tata-kelola-hutan-lahan-2015

  • 1. Tata Kelola Yang Tak Kunjung Membaik: Penilaian Masyarakat Sipil Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Hutan Dan Lahan Di 16 Kabupaten Kondisi tutupan hutan di Kalimantan Barat, diambil dari udara pada tanggal 31 Mei 2014
  • 2.
  • 3. A. Pengantar Dengan kawasan hutan di seluruh Indonesia sebanyak ± 120 juta Ha atau setara dengan 60% seluruh daratan di Indonesia, tata kelola kehutanan dan lahan serta tambang menjadi aspek yang perlu untuk diperhatikan. Studi Indeks Kelola Hutan dan Lahan (IKHL) ini dimaksudkan sebagai alat untuk mengukur tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten. Studi ini akan melihat kekurangan yang paling penting untuk ditangani dalam tiap sektor, serta membandingkannya antara daerah. Indeks ini juga mengukur perkembangan tata kelola hutan dan lahan di masing-masing kabupaten dalam kurun waktu 2012 - 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana praktek tata kelola hutan dan lahan di tingkat kabupaten berjalan berdasarkan empat komponen tata kelola pemerintahan yang baik, yakni transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi. Tata kelola hutan dan lahan di Indonesia terkait dengan beberapa keberadaan hukum yang memberikan jaminan legal sebagai landasan bagi pemerintah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Salah satu indikator dalam tata kelola hutan, lahan dan tambang yang baik dapat dilihat dari partisipasi publik yang baik dan signifikan, baik dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Keterbukaan informasi merupakan sarana dalam prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam proses tata kelola baik. Studi ini merupakan bagian penting dari keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola, khususnya di tingkat daerah. Akan tetapi, partisipasi publik tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik dan peranan aktif pemerintah. Bagaimanakah pemerintah daerah merespon terhadap keterbukaan informasi ini? Ketika transparansi dimaknai sebagai upaya pemerintah dalam menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan pengelolaan sektor hutan dan lahan, apakah pemerintah telah bersikap proaktif, responsif atau malah mempersulit proses keterbukaan informasi ini? Apakah keterbukaan sudah diterapkan secara kelembagaan atau hanya sekedar menjadi pemenuhan prosedur? Studi ini juga akan memotret lebih jauh mengenai kondisi keterbukaan informasi baik di sisi pemerintah dan kelembagaannya, partisipasi serta permintaan masyarakat, jenis informasi hingga target penerima informasi. Kredit Foto: Armin Hari
  • 4. Penyusunan skoring di atas dilakukan dengan menggunakan metode expert judgement. Expert judgement dalam pengertian praktisnya adalah pertimbangan/ pendapat ahli/ orang yang berpengalaman. Expert judgement digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas sebuah instrumen penelitian Dalam hal ini, Expert judgement-nya adalah orang yang ahli dan berpengalaman di bidang tata kelola hutan dan lahan. Secara spesifik, tim peneliti menjawab setiap pertanyaan dalam instrumen untuk menentukan jawaban yang diharapkan untuk diraih oleh setiap daerah dalam setiap kategori. Sebagai contoh, pertanyaan untuk menguji aksesibilitas dokumen/informasi, pada daerah yang dokumen/informasinya dapat diperoleh dalam jangka waktu <10 hari kerja maka daerah ini bisa dikategorikan “sangat baik”; jika jangka waktu perolehan data/informasinya diantara 11-17 hari kerja maka dikategorikan “baik”, jika dalam jangka waktu > 17 hari kerja maka dikategorikan “sedang”, dan jika permintaan tidak direspon maka dikategorikan buruk. Pembagian hari kerja tersebut dilakukan mendasarkan pada peraturan terkait dengan standar minimum layanan informasi. Metode ini dipandang lebih baik daripada melakukan ketegorisasi dengan menetapkan nilai secara acak (arbitrary). Dengan metode ini, peneliti dapat menerapkan pengetahuannya akan kondisi lapangan dan mengkombinasikannya dengan pemahaman akan ketentuan regulasi. Kelemahan metode ini adalah sulitnya menemukan pakar atau orang yang tepat untuk menguji instrumen penelitian yang sesuai dengan kompetensi yang diharapkan pembuat instrumen. Prinsip Good Governance Indeks 2012 Indeks 2014 Transparansi 15,4 20,9 Partisipasi 19,7 21,5 Koordinasi 28,0 27,6 Akuntabilitas 21,2 26,3 Indeks Agregat IKHL 2012 - 2014 Indeks Prinsip IKHL 2012 – 2014 22.7 18.7 20.7 33.4 16.1 23.4 21.4 5 10 14.5 38.3 24.4 22.5 50.8 8.2 38.1 24.1 21.1 8.8 8.4 39.9 32.0 23.9 20.5 16.1 30.00 40.00 0.00 10.00 50.00 20.00 60.00 Kubu Raya Paser Malinau Sintang Kutai Banyuasin Kapuas Hulu Muisi Banyuasin Kayong Utara Bulungan Muara Enim Muisi Rawas Ketapang Berau OKI Melawi rerata 2012 rerata 20142012 2014 C. Overview Agregat Indeks IKHL 2012- 2014 Kinerja pengelolaan hutan dan lahan di daerah studi masih buruk, hal ini terlihat dari perbandingan rata-rata indeks IKHL tahun 2012 dimana skornya hanya 18,7 (kategori buruk) dan skor indeks IKHL 2014 hanya 22,7 (kategori buruk). Pada pengukuran indeks tahun 2012, hanya satu kabupaten yang masuk kategori baik dan satu Kabupaten masuk kategori sedang, sedangkan pada pengukuran indeks tahun 2014, tidak satupun daerah studi yang masuk kedalam kategori baik. Hal ini menunjukkan lemahnya pelaksanaan prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan koordinasi dalam pengelolaan hutan dan lahan daerah. Jika dilihat lebih dalam lagi, Indeks transparansi mengalami kenaikan, begitu juga dengan indeks partisipasi dan akuntabilitas. Walaupun mengalami kenaikan, namun masih masuk dalam kategori buruk. Tergambar dalam tabel berikut 13.1 15.5 18.7 12.1 19 18.2 12.2 18.6 12.6 4
  • 5. D. Sektor Hutan Dan Lahan Tak Kunjung Transparan Skor transparansi sektor hutan dan lahan meningkat, tetapi masih “buruk”. Hasil pengukuran indeks transparansi di 16 kabupaten menunjukan peningkatan 5.5 poin, dari skor 15.4 pada 2012 menjadi 20.9 pada 2014 dari skor maksimum 100 poin. Tetapi peningkatan skor tersebut tidak mengubah kategorisasi dari indeks tersebut, masih berada pada kategori “buruk”. Pada tahun 2014 ada 12 daerah mengalami peningkatan, dan 4 daerah lainnya mengalami penurunan. Pada 12 daerah yang mengalami peningkatan, hanya 4 daerah yang upgrade kategori dari “buruk” menjadi “sedang”, seperti Kubu Raya, Malinau, Ketapang dan Muara Enim. Untuk meningkatkan transparansi pemerintah daerah harus membuka dokumen kunci sektor hutan dan lahan kepada publik, seperti dokumen perizinan, laporan ketaatan internal perusahaan, amdal, dan lain sebagainya. Akses dokumen publik melalui permintaan informasi sangat buruk, bahkan ada lima daerah yang tidak memberikan sama sekali. Indikator aksesibilitas menjadi salah satu indikator utama dalam mengukur indeks transparansi. Dari 559 dokumen yang diuji hanya 17 persen atau 95 dokumen yang diperoleh. Hanya 35 atau 37 persen dokumen yang diperoleh dari 95 dokumen diminta setelah diajukan surat keberatan oleh pemohon informasi. Meskipun sedikit, tetapi masih ada 10 dokumen yang tanpa diminta sudah dipublikasikan. Sekalipun indeks IKHL mengalami peningkatan, namun tidak satupun wilayah studi yang masuk kategori baik, hal ini dikarenakan: 1.Pengelolaan hutan dan lahan masih belum transparan, partisipatif, dan akuntabel. Dalam hal transpransi terlihat dari minimnya ketersediaan data. Kalaupun adanya ketersediaan data, namun tidak disertai dengan aksesibilitas dan kelembagaan yang memadai. Dalam hal partisipasi, penyelenggaraan pengelolaan hutan dan lahan di daerah juga masih jauh dari jangkauan masyarakat terdampak dan potensial terkena dampak. Dalam hal akuntabilitas, Pemkab belum menyediakan mekanisme dan prosedur bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan terkait pemberian izin di sektor hutan, kebun, dan tambang. Pemerintah Kabupaten cenderung untuk sekedar memenuhi kewajiban prosedural dibanding meningkatkan kualitas pertanggungjawabannya kepada publik. 2.Pemkab tidak memiliki Political will untuk meningkatkan perbaikan tatakelola, misalnya Kab Malinau dan Kabupaten Musi Rawas yang sampai saat ini belum menunjuk Pejabat Pengelolala Informasi dan Dokumentasi (PPID) meskipun sudah 5 (lima) tahun yang lalu dimandatkan oleh UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 3.Kapasitas kinerja birokrasi di Pemerintah Kabupaten masih belum memadai dalam melakukan perbaikan tata kelola hutan dan lahan, baik dari segi ketersediaan staf, kualitas staf, minimnya inovasi, dan pendanaan. Pemerintah Kabupaten belum memiliki agenda prioritas dalam melakukan pembenahan tata kelola, kegiatan pengelolaan hutan dan lahan hanya sebatas business as usual. Di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, pasca ditetapkan sebagai kabupaten konservasi, sampai saat ini belum ada kebijakan atau intervensi konkrit untuk menindaklanjuti komitmen tersebut. 4.Belum terkonsolidasinya gerakan Masyarakat Sipil sebagai effective pressure group dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan daerah. 30.00 40.00 0.00 10.00 50.00 Baik: 46.7 - [VALUE] Sedang: 23.4 - [VALUE] Buruk: 0 - [VALUE] 20.00 60.00 Kutai Kertanegara 55 39 27 27 23 17 18 8 8 16 15 15 28 36 29 14 12 11 10 8 12 12 12 13 13 7 5 2 11 37 Kubu Raya Paser Malinau Sintang Banyuasin Kapuas Hulu Muisi Banyuasin Kayong Utara Bulungan Muara Enim Muisi Rawas Ketapang Berau OKI Melawi 19 18 2012 2014 Indeks Transparansi IKHL 2012 - 2014 5
  • 6. E. Partisipasi Semu Kinerja partisipasi publik pada sektor hutan dan lahan (kehutanan, perkebunan, dan pertambangan) meningkat meskipun masih dalam kategori buruk. Pada penilaian tahun 2012, rerata indeks partisipasi publik pada 16 Kabupaten adalah 19,7 dari 100,0 dan pada saat penilaian tahun 2014 meningkat menjadi 21,5 meskipun masih dalam kategori buruk. Selain itu, 8 kabupaten mengalami peningkatan indeks dimana peningkatan tertinggi terjadi pada Kabupaten Malinau dan Kayong Utara. Buruknya kondisi partisipasi publik disebabkan oleh: (i) minimnya wahana partisipai bagi publik, (ii) partisipasi publik belum diselenggarakan pada setiap tahapan pengambilan keputusan, (iii) rendahnya keragaman partisipan dalam penyelenggaran partisipasi publik terutama masyarakat yang terkena dampak, dan (iv) minimnya kebijakan atau regulasi yang menjamin penyelenggaran partisipasi secara terstandar dan ajeg. Keterlibatan masyarakat terkena dampak tidak diprioritaskan dalam pengambilan kebijakan. Pada banyak proses partisipasi, masyarakat terdampak mendapatkan porsi yang minim (14%) dibandingkan dengan perwakilan masyarakat (36%), pelaku usaha (21%), dan LSM (16%). Pelibatan masyarakat terdampak seharusnya mendapatkan prioritas dan porsi yang lebih besar dibandingkan yang lainnya. Partisipasi publik diselenggarakan secara setengah hati. Dari tiga level partisipasi publik, umumnya pemerintah kabupaten masih banyak menyelenggarakan sosialisasi (48%) daripada konsultasi publik (43%), terlebih lagi permintaan persetujuan (37%). Hal ini berpengaruh pada minimnya masukan masyarakat yang diakomodir dalam pengambilan keputusan. Skor indikator aksesibilitas terhadap dokumen kunci 1/8 kali lebih rendah dari skor indeks transparansi. Dari 35 dokumen kunci dalam studi IKHL ini, terdapat 2 dokumen yang tidak diperoleh yaitu: Laporan pemantauan ketaatan internal perusahaan tahun 2012, baik sektor hutan maupun tambang. Bahkan, 5 dari 16 daerah studi tidak memperoleh dokumen dalam proses permintaan 35 dokumen tersebut. Lima daerah tersebut adalah Berau, Kubu Raya, Musi Rawas, Melawi, dan Malinau. Pemerintah daerah seharusnya membuka akses informasi sektor hutan dan lahan kepada masyarakat, bukan sebaliknya menutup informasi yang seharusnya dibuka. Karena informasi tersebut adalah hak bagi masyarakat, dan dengan dibukanya akses semakin meningkatkan partisipasi dan pengawasan publik sebagai wujud tata kelola pemerintahan yang baik. Kelembagaan PPID dan SOP Informasi belum efektif. Keberadaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) informasi belum efektif. Walaupun sebagian besar daerah sudah memiliki (13) PPID dan (10) SOP informasi, tetapi implementasi permohonan informasi pada daerah tersebut masih sangat rendah. Tabel di atas menunjukkan masih ada daerah yang memiliki alat kelengkapan dan kelembagaan transparansi tetapi belum terbuka dalam implementasi keterbukaan informasi. Sebaliknya, ada juga yang tidak menjalankan amanat dari UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Seharusnya, kelembagaan dan SOP informasi menjadi alat pendukung dalam mengelola dan melayani permohonan informasi, baik untuk masyarakat ataupun untuk analisa pengambil kebijakan. Tidak Diperoleh/ Tidak Direspon Bisa Diakses Dengan Permintaan Status Dokumen Dipublish Via Website Daerah PPID SOP Banyuasin Ada Ada 0 7 28 Musi Banyuasin Ada Ada 0 5 30 Musi Rawas Tidak Ada Tidak Ada 0 0 35 OKI Ada Ada 0 11 24 Muara Enim Ada Ada 0 15 20 Kayong Utara Ada Ada 0 19 16 Kubu Raya Ada Ada 0 0 35 Sintang Ada Ada 1 0 34 Ketapang Ada Tidak Ada 0 16 19 Melawi Ada Tidak Ada 0 0 35 Kapuas Hulu Tidak Ada Tidak Ada 1 6 28 Berau Ada Tidak Ada 0 0 35 Bulungan Ada Ada 1 0 34 Paser Ada Ada 0 6 29 Kutai Kartanegara Ada Ada 7 0 28 Malinau Tidak Ada Tidak Ada 0 0 34 Jumlah 13/16 10/16 10 85 464 Perbandingan Efektivitas Kelembagaan dan SOP Informasi 6
  • 7. Penyelenggaraan partisipasi belum memiliki dasar hukum yang memadahi dan dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola partisipasi. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada umumnya hanya berpedoman pada kebijakan nasional yang bersifat umum dalam menyelenggarakan partisipasi. Hal ini mengakibatkan lemahnya standar (NSPK) pelaksanaan partisipasi sehingga tidak dapat diterapkan secara seragam dari waktu ke waktu. Tujuh dari 16 Kabupaten justru mendapatkan penurunan skor pada pengukuran tahun 2012. Pada studi lainya dalam LBI menemukan bahwa meskipun terdapat perda partisipasi, namun tidak menjamin partisipasi di daerah tersebut meningkat. Hal ini dikarenakan kualitas perda partisipasi masih bersifat umum dan belum mengarah kepada standar yang dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaan partisipasi secara baik. Partisipasi masyarakat dalam pemberian izin masih lemah. Kondisi ini berbeda dengan proses partisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang bersifat umum, misalnya perencanaan tata ruang wilayah serta rencana rehabilitasi hutan dan lahan. Pada proses pengambilan keputusan pemberian izin, pelaksanaan partisipasi banyak diinisiasi kerena dorongan atau tuntutan masyarakat, umumnya karena mereka tidak setuju atau menolak rencana pemberian izin yang dikhawatirkan dapat merugikan kepentingannya. 30.00 40.00 0.00 10.00 50.00 20.00 60.00 35.7 30.0 48.0 20.5 11.8 16.4 21.8 14.3 13.9 21.3 23.9 19.5 20.1 34.6 30.1 14.1 8.2 6.0 6.6 5.1 34.0 26.0 9.2 29.6 11.1 6.7 55.3 34.9 12.6 28.8 5.0 3.7 Kutai Kubu Raya Paser Malinau Sintang Banyuasin Kapuas Hulu Muisi Banyuasin Kayong Utara OKI Bulungan Muara Enim Muisi Rawas Ketapang Berau Melawi 2012 2014 Indeks Partisipasi IKHL 2012 - 2014 Ragam Partisipan Pelaku Usaha 21% Masyarakat Terdampak 21% Perwakilan Masyarakat 36% LSM 16% Akademisi 13% 7
  • 8. F. Terjebak Dalam Akuntabilitas Prosedural Rerata indeks akuntabilitas tahun 2012 dan 2015 kenaikannya belum cukup signifikan, yaitu dari 21,2 (kategori buruk) menjadi 26,3 (kategori sedang). Perbaikan akuntabilitas dalam pengelolaan sektor hutan dan lahan terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, dari buruk menjadi baik, kemudian diikuti oleh Kabupaten Kayong Utara yang semula indeks akuntabilitasnya masuk kategori buruk naik menjadi sedang. Kabupaten Kubu Raya masih stagnan, sebaliknya Kabupaten Sintang yang semula indeks akuntabilitasnya masuk kategori Sedang pada fase 2012, saat ini masuk kategori buruk, begitu juga dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, terjadi penurunan dari Baik menjadi Sedang. Indeks akuntabilitas dihasilkan dari penjumlahan skoring akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas internal mengukur sejauh mana Pemerintah Kabupaten dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan hutan dan lahan kepada institusi pemerintah lainnya, baik secara vertical maupun horizontal. Akuntabilitas eksternal mengukur sejauh mana Pemerintah Kabupaten dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan hutan dan lahan kepada publik. 2012 2014 Eksternal Internal 30.00 40.00 0.00 10.00 50.00 20.00 60.00 70.00 Indeks Akuntabilitas IKHL 2012 - 2014 Indeks Pembangun Prinsip Akuntabilitas OKI 19.2 58.2 Malinau 21.1 35.7 Muisi Banyuasin 12.1 14.7 Kutai 60.8 48.1 Paser 20.1 31.9 Ketapang 14.7 14.4 Kubu Raya 31.2 45.6 Banyuasin 11.6 20.2 Bulungan 15.4 11.2 Kayong Utara 5.8 43.5 Sintang 39.4 18.2 Melawi 16.4 8.9 Kapuas Hulu 37.5 43.3 Muisi Rawas 13.5 15.7 Muara Enim 6.7 5.8 Berau 14.3 5.5 Kutai Kertanegara Kubu Raya Paser Malinau Sintang Banyuasin Kapuas Hulu Muisi Banyuasin Kayong Utara Bulungan Muara Enim Muisi Rawas Ketapang Berau OKI Melawi 30.00 40.00 0.00 10.00 50.00 20.00 60.00 13.4 13.5 12.2 11.3 10.8 10.7 10.5 10.2 10.1 9.5 6.9 6.9 5.6 5.1 2.5 1.9 5.3 35 23.3 40.9 30.4 7.4 2.6 2.6 31.7 4.6 28.2 2.0 52.6 0.7 8.7 3.3 8
  • 9. G. Koordinasi Sebatas Mandatori Tidak berbeda dari IKHL 2012, kinerja koordinasi pemerintah kabupaten di bidang pengelolaan hutan dan lahan (TKHL) masuk kategori sedang. Nilai rata-rata koordinasi TKHL menurun dari skor 28, 0 menjadi 27,6 di IKHL 2015. Angka indeks tertinggi didapatkan oleh Kabupaten Kubu Raya sedangkan yang terendah dimiliki oleh Kabupaten Berau. Ada sekitar lima kabupaten seperti Kabupaten Bulungan1 , Kayong Utara, Musi Rawas, Musi Banyuasin, dan Kubu Raya yang menganggarkan APBDnya untuk membetuk lembaga koordinasi lintas sektor, namun kebanyakan hanya terbatas di sektor perkebunan2 . Di lain sisi, sebelas kabupaten lainnya belum memiliki lembaga koordinasi lintas sektoral terkait perizinan hutan hutan dan lahan. Pemerintah daerah cenderung untuk sekedar memenuhi kewajiban procedural dibanding meningkatkan kualitas pertanggungjawabannya kepada publik. Hal ini terlihat dari skor akuntabilitas internal yang jauh lebih tinggi dari skor akuntabilitas eksternal. Dalam hal tata ruang misalnya, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memandatkan setiap Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab/Kota untuk melakukan revisi Perda RTRW, studi IKHL tahun 2015 menemukan bahwa terdapat 9 (sembilan) Kabupaten yang sudah melakukan revisi Perda RTRW, selebihnya masih tahap pembahasan di DPRD, menunggu persetujuan dari pusat, dan belum melakukan revisi sama sekali dikarenakan menunggu Pemerintah Provinsi yang belum melakukan revisi Perda RTRW. Mekanisme insentif dan disinsentif yang dikembangkan oleh pemerintah pusat, memicu Pemerintah Daerah untuk menjadi lebih bertanggungjawab. Hal ini terlihat dari beberapa pemerintah kabupaten yang sudah melakukan revisi RTRW kabupaten, walaupun di tingkat provinsi belum dilakukan. Pemkab, Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai salah santu contoh Pemkab yang sudah melakukan revisi RTRW, meskipun Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur belum merampungkan Perda RTRW nya. Pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap publik mulai meningkat, meskipun masih ditemukan beberapa kebijakan yang kurang akuntabel. Hal ini terlihat dari mayoritas daerah studi yang masih belum memiliki lembaga yang bertanggungjawab mengelola pengaduan dan penyelesaian sengketa dari masyarakat, misalnya dalam hal pemberian izin usaha pertambangan, pemberian rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan, pemberian izin usaha perkebunan, pemberian Pertek untuk IUPHHK, dan pemberian IPK di APL. Dari 16 (enambelas) Kabupaten wilayah studi, hanya Kabupaten OKI, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Bulungan saja yang pemerintah dearah membentuk lembaga khusus yang menangani penganduan masyarakat terkait kebijakan TKHL. Pemerintah Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir misalnya, telah mengeluarkan SK Bupati No 29/KEP/III/2014 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Sengketa Lahan, kemudian Pemerintah Kabupaten Bulungan dengan SK Bupati Bulungan No 98/ II/540/2015 tentang Pembentukan Tim Pembina Pembangunan Perkebunan. Namun, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi mengenai kinerja lembaga ini, apakah pengaduan masyarakat tersebut ditindaklanjuti atau keberadaaan lembaga hanya sekedar formalitas saja. 2012 2014 40.00 0.00 20.00 60.00 80.00 100.00 Kutai Kertanegara Kubu Raya Paser Malinau Sintang Banyuasin Kapuas Hulu Muisi Kayong Utara Bulungan Muara Enim Muisi Rawas Ketapang Berau OKI Melawi 12.5 4.2 7.1 12.5 29.2 62.5 12.5 70.8 70.8 19.2 18.6 14.2 38.9 34.9 20.8 12.5 14.4 13.8 29.1 40.7 88.5 30.8 20.8 19.4 18.3 16.4 19 19.7 21.4 54.2 20.8 20.8 Indeks Koordinasi IKHL 2012 - 2014 9
  • 10. IKHL 2012 dan 2015 menampilkan skor indeks yang berbeda. Beberapa kabupaten mengalami kenaikan dan beberapa daerah mengalami penurunan. Kenaikan signifikan dialami Kabupaten Kubu Raya dan Malinau. Pada aspek koordinasi, Kabupaten Kubu Raya menempati posisi teratas dengan prolehan skor 88,5 atau sangat baik yang mana sebelumnya kabupaten tersebut hanya memperoleh skor sedang dengan angka 29,2. Posisi kedua ditempati oleh Malinau dengan perolehan skor 54,2 dengan kategori skor baik yang sebelumnya memperoleh skor dengan kategori sedang. Pada IKHL 2015 di bagian koordinasi, faktor utama yang membuat skor Kabupaten Kubu Raya menjadi tinggi yaitu ditandai dengan adanya SK Bupati tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) No. 310 Tahun 2014 yang mempunyai tupoksi untuk mengkoordinasikan hal-hal yang terkait tata kelola hutan dan lahan (TKHL) seperti pemberian izin usaha perkebunan dan pertambangan, koordinasi data spasial dalam pembuatan rencana tata ruang dan wilayah, serta IPK, IPHHK, dan IUPHHK. Kegiatan TKHL yang tidak dikoordinasikan badan ini hanya Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTnRHL) dan proses reklamasi hutan dan lahan. Sedangkan di Malinau, lembaga formal yang dibentuk hanya di bidang perencanaan tata ruang berdasarkan kewenangan atributif dari pasal 13 ayat (2) Permendagri No. 50 Tahun 2009 dan lembaga koordinasi terkait perizinan hutan dan lahan yang sifatnya adhoc yang dibentuk oleh bupati namun tidak mendapat dukungan APBD. Kabupaten yang perolehan skor terendah yaitu Kabupaten Berau dengan skor 13,8 dengan kategori skor buruk, sama seperti perolehan IKHL 2012 di angka 4,2 karena tidak memiliki lembaga koordinasi lintas sektoral di berbagai sektor, termasuk tata ruang. Banyuasin menjadi kabupaten yang menempati posisi kedua terbawah dengan perolehan skor 14,4 dengan kategori buruk dan diikuti oleh Ketapang dengan perolehan 19,2. Kesimpulannya, skor rerata dengan kategori sedang yang diperoleh pada prinsip koordinasi hanya didapatkan dari koordinasi perencanaan karena adanya mandat peraturan tingkat nasional untuk membentuk BKPRD tingkat kabupaten/kota. Berbeda dengan tahap perencanaan, pada tahap kebijakan terkait izin, koordinasi antar SKPD tidak dilakukan, termasuk di dalamya proses reklamasi hutan. Rendahnya koordinasi menunjukan pemda belum berkomitmen penuh dalam melakukan pengelolaan hutan dan lahan karena koordinasi yang dilakukan sifatnya masih mandatori dari peraturan pusat dan bukan dari inisiatif pemda untuk membuat peraturan. 1 Tim koordinasi di sektor perkebunan di Kabupten Bulungan dihadirkan melalui Keputusan Bupati Bulungan Nomor 98/K-II/540/2015. 2 Empat kabupaten yang membuat lembaga koordinasi sektor perkebunan yaitu Bulungan, Musi Rawas, Musi Banyuasin, dan Kayong Utara sedangkan Kubu Raya ada di beberapa sektor. H. Rekomendasi 1. Rekomendasi Bagi Pemerintah Daerah a. Membuka akses informasi sektor hutan dan lahan kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat terkena dampak. b. Membentuk alat kelengkapan (PPID dan SOP informasi) bagi daerah yang belum menjalankan mandat dari UU 14/2008 tentang KIP. c. Mengevaluasi kinerja alat kelengkapan (PPID dan SOP informasi) dalam menjalan mandat dari UU 14/2008 tentang KIP. d. Adanya publikasi proaktif terkait data/informasi pengelolaan hutan dan lahan. e. Membangun sistem informasi lingkungan hidup dan kehutanan yang terintegrasi guna mendorong ketersediaan dan pertukaran data/informasi antar instansi. f. Memprioritaskan keterlibatan kelompok terdampak (masyarakat lokal, masyarakat adat) dalam pengambilan keputusan di sektor hutan dan lahan. g. Menyediakan wahana partisipasi yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan sampai dengan pengambilan keputusan. h. Mengembangkan sistem pengawasan internal dan penjatuhan sanksi administrasi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh petugas. i. Mengkaji ulang kebijakan dan prosedur penerbitan izin guna meminimalisir pelanggaran dalam penerbitan izin dan memperkuat pengawasan masyarakat. j. Mengembangkan lembaga dan mekanisme pengaduan serta penyelesaian sengketa yang murah, cepat, dan sederhana bagi masyarakat. k. Mengembangkan kelembagaan dan mekanisme koordinasi yang tercermin dalam prosedur operasional dengan dukungan struktur, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan pendanaan yang memadai terkait perizinan di sektor tata kelola hutan dan lahan. 10
  • 11. 2. Rekomendasi Bagi Pemerintah Pusat a. Mengasistensi, memonitor, dan mengevaluasi kinerja pemerintah Daerah dalam pelaksanaan UU KIP b. Membangun sistem informasi lingkungan hidup dan kehutanan yang terintegrasi secara nasional maupun daerah guna mendorong ketersediaan dan pertukaran data/informasi antar instansi. c. Menjadikan indikator pengelolaan hutan dan lahan sebagai mekanisme pemberian insentif dan disinsentif bagi Pemerintah Daerah. 3. Rekomendasi bagi Masyarakat Sipil a. Menggunakan UU KIP sebagai instrumen untuk memperoleh data/informasi terkait pengelolaan hutan dan lahan, seperti informasi tata ruang, perizinan sektor hutan, kebun, dan tambang, dan lain-lain. b. Melakukan asistensi kepada Pemerintah Kabupaten dalam melaksanakan mandat UU KIP, antara lain penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), SOP PPID, dan Daftar Informasi Publik (DIP). c. Mengembangkan best practice atau success story melalui pendampingan masyarakat terdampak dan potensial terdampak dalam melakukan partisipasi publik. d. Melakukan pengawaan terhadap kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan dan lahan, misalnya melakukan review perizinan terkait hutan dan lahan. e. Membentuk posko pengaduan masyarakat yang diinisiasi oleh masyarakat sipil. f. Melakukan advokasi atas pelanggaran dan kejahatan terkait hutan dan lahan, baik litigasi dan non litigasi. g. Melakukan konsolidasi gerakan Masyarakat Sipil sebagai effective pressure group dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan daerah. 11
  • 12. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Jl. Dempo II No 21, Kebayoran Baru Jakarta, 12120. Indonesia. Phone : (62-21) 7262740, 7233390 Fax : (62-21) 7269331 www.icel.or.id Seknas Fitra MampangPrapatan IV. Jl. K No. 37 Jakarta 12710. Indonesia Tel: +62 (21) 7947608 Fax: +62 (21) 7947608 Didukung oleh: