SlideShare a Scribd company logo
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
ii 
 
Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
proposal skripsi ini.
3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan
bimbingan ini.
4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi
eksistensi pondok.
7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah
iii 
 
iv 
 
membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
Mohamad Romdoni
ABSTRAK
Sudah satu abad lebih pondok pesantren Nahdjussalam memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di
masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak
lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam
arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah
Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi
makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan.
Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan;
Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat
kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi
oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi,
dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti
militan, utopis, terbuka, dan tertutup?
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan
metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di
lapangan.
Industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
Masyarakat kampung Panyawungan tidak hanya turut pada ketentuan
normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai
subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses
transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya.
i
 
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai
ii
 
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
proposal skripsi ini.
3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan
bimbingan ini.
4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi
eksistensi pondok.
7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah
iii
 
membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
Mohamad Romdoni
iv
 
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ 
ABSTRAKSI ........................................................................................................... i 
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii 
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v 
DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5
A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12
Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15 
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6
D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12
A.2. Tipelogi
A.3. Sistem Nilai Pesantren  ................................................................ 17
B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18
B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18
B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 
B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23
C. Agama Dan Politik  ........................................................................................... 26
v
 
D. Pen
2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33
E. Ker
BAB III
GAMB
PANYAWUNGAN
A. Ga
2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ... 49
3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik
 ............................................................................................................ 52
Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ....... 53
B.
gertian Budaya Politik  ......................................................................... 28
D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31
1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31
3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 
angka Konseptual ................................................................................. 37
ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP.
mbaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43
1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan
Jaringan ............................................................................................. 46
4. Kh.
A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ................................................. 54
2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54
2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58
A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60
A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65
Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 68
vi
 
B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 68
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69
B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72
BAB IV
PERUBAH
PANYAW
A. Arti
B. Usa
dan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80
D. Aren
Kam
Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan
Pragmatis ............................................................................................... 90
PENUTUP
B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 
AN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG
UGAN
kulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76
ha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan
C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83
a Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat
pung Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan
Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik
BAB V
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 98
B. Rekomendasi .................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................  
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................  
 
vii
 
Daftar Digram
1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42Diagram
2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 
ni Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 
iagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ............................ 89
iagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ......................... 90
Diagram
Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Ba
Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 
Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 
Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59
D
 
D
viii
 
Daftar Tabel
a Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71
Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 
Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 
 
 
Tabel 1. Daftar Nam
ix
 
x
 
Daftar Gambar
Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45
Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 
Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68 
Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 77
Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 82 
Gambar 6. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93
Gambar 7. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ......................... 97
 
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ 
ABSTRAKSI ........................................................................................................... i 
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii 
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v 
DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5
A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12
Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15 
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6
D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12
A.2. Tipelogi
A.3. Sistem Nilai Pesantren  ................................................................ 17
B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18
B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18
B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 
B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23
v 
 
C. Agama Dan Politik  ........................................................................................... 26
D. Pengertian Budaya Politik  ......................................................................... 28
D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31
1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31
E. Kerangka Konseptual 37
BAB III
GAMB
PANYAW
A.
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren
 ...................................................................................................... 49
1.3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan
Politik ........................................................................................... 52
1.4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53
....... 54
2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54
B. K
2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33
3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 
 ................................................................................. 
ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP.
UNGAN
Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43
 .............................. 43
1.1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan
Jaringan ........................................................................................ 46
1.2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual
A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ..........................................
2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58
A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60
A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65
ondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 67
vi 
 
vii 
 
B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk
B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 
BAB IV
PENGA
A. Artikulasi P
B.
dan
C. Pesa
Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik
Pragmatis ............................................................................................... 90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 99
 
B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 67
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69
 ........................... 72
RUH INDUSTRIALISASI PADA KAMPUNG PANYAWUNGAN 
olitik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76
Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan
Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80
ntren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83
D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat
Kampung Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan
Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan
B. Rekomendasi .................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................  
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................  
Daftar Tabel
Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71
Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 
Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 
 
 
ix 
 
Daftar Gambar
Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45
Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 
Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68
Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ...................................................................  69
Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 78
Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 83 
Gambar 7. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93
Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ......................... 97
 
x 
 
Daftar Digram
Diagram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42
Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 
Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 
Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 
Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 
Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59
Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul..........................89
Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul .......................90
viii 
 
1 
 
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara
telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya
menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building.
Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan
peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik
Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan
bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat men-
sah-kan pentasbihan.1
Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan
dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu
sendiri.2
Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah
wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh
terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial,
keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti
merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren
mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan
                                                            
1
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33  
2
Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di
Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang
1992, h. 2
 
2 
 
berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab
pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri
dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.3
Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya
pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat.
Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya
kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu
domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan
latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang
mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil
‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau
donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang
adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail
fuqoro atau dukungan masyarakat umum.
Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan
pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi
pengaruh satu sama lain.
Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di
masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan,
tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren
Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan
                                                            
3
H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung :
Angkasa, 1985). 
3 
 
menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat
sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya
jejaring pesantren tersebut.
Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma,
budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa
pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung
Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai
serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat.
Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam
membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan
gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar
Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan,
seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan
pembangunan, dan lain-lain.
Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga
membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti
urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan
lain-lain.
Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap
sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan
karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat
cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam
4 
 
masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis
juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada
orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional,
heterogen, dan pemuasan kebutuhan.
Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan
masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya
adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau
“legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan
aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi.
Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-
individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai
penjaga-penjaga sebuah tradisi.4
Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena
memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah
pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh
industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural
broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai
alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa
yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi
mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko
Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan
karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan
                                                            
4
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994),
h. 213 
5 
 
justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan
melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan
yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.5
Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu
cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam
sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak
terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang
dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang
generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik
untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren.
Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi
penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung
Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya
tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut
membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi,
sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik
masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai
dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan6
.
                                                            
5
Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko
Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii 
6
Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, (Jakarta;
Bina Aksara, 1986). 
6 
 
Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam
kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk,
operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia
berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam
proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak
menopangnya, dan seterusnya.7
Sedangkan untuk perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik
masyarakat kampung Panyawungan ?
2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren
(tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau
materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya
politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
C.1. Tujuan
1. Untuk mengetahui perubahan pandangan politik yang ada di
masyarakat kampung Panyawungan.
2. Untuk mengetahui eksistensi pengaruh pondok pesantren dalam
perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.
                                                            
7
Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu
Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 
7 
 
3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta
menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan
kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak
industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren
sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang
memberikan kontribusi besar pada masyarakat.
C.2. Kegunaan
1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka menghimpun dan
memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren
yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan.
2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren
dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan
diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Menjadi kajian pustaka bagi penelitian lainnya mengenai etos
pesantren.
4. Mengembangkan penelitian bagi sarjana strata satu. Dan memberikan
sumbangsi pada kajian pranata sosial, budaya politik dan komunikasi
antar budaya.
8 
 
D. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian sosial keagamaan dengan
menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok
manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki
(M. Nazir, 1988 : 63).
Sedangkan teknik pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan cara;
pengamatan dan wawancara untuk mendapatkan data primer. Pertama, Observasi
(pengamatan). Pengamatan dilakukan untuk melihat fenomena dan gejala sosial
yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di lingkungan
pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar.
Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak
pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji
di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang
bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap untuk
menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga
pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer.
Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat
dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu
KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data signifikan juga
9 
 
banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin
selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa
Cileunyi Wetan.
Wawancara dengan pelaku industri dijadikan sebagai data sekunder
(pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap.
Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI)
kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat,
seperti desa dan kecamatan.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah
fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya.
Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan
fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit
mirip dengan fokus penulis.
Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan
Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan
Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan
pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala
desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum
mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga
berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan
seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi
total dari masyarakat.
10 
 
Dra. Umdatul Hasanah dalam penelitian yang berjudul “Eksistensi dan
Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri
Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih
yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang
diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius
masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan
yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap
pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya.
Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli,
Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi
salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat
Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa 1950-
an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa
disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang
tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya
terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia
menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid,
pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.8
                                                            
8
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta :
LP3ES),
1985, h. 5  
11 
 
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Demi mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam
skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB.
BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan
digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika
penulisan.
BAB II. Kajian teori yang menjabarkan pengertian pesantren, pengertian
industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya
politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman
dalam penulisan skripsi ini.
BAB III. Gambaran umum mengenai Pondok Pesantren Nahdjussalam dan
kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi.
BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya
politik masyarakat kampung Panyawungan.
BAB V. penutup yang mengemukakan hasil kesimpulan dari penelitian
dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun
tindakan.
12 
 
BAB II
KERANGKA TEORI
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN
A.1. Sejarah Pesantren
Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru
mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India
“shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku
agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa
lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra
Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain.1
Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai
acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang
menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri”
yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang
melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab.
Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua
menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya
seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya
tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola
hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata
guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,
                                                            
1
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve), 2003, Jilid 4 
13 
 
mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal
dengan kyai-santri.2
Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia
terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren
berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki
kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab
Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk
kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam
Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah
mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini
kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqah-
halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.
Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di
Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang
melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini
disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk
selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama
anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah
bimbingan kiyai.
Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus
untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di
samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan
                                                            
2
Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta :
Paramadina) 1997, hal 19 - 20  
14 
 
kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam.
Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan
pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga pesantren.3
Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan
pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke
Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada
masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu
dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid
kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal
yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang
menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak
ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara
lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat
Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.4
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal
pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di
Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah
sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat
dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam
                                                            
3
Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4 
4
Ensiklopedi Islam , jilid 4 
15 
 
yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap
penjuru negeri.5
A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren
Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang
dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok
pesantren sebagai berikut :
1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan
bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan
pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau
sorogan);
2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran
secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan
pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok
pesantren;
3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan
para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai
hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut;
4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok
pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.6
Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan
                                                            
5
Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma
Bhakti), 1979, hal. 19 - 21  
6
H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora), 2006, h. 43-44 
16 
 
dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan
pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya
yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara
sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok
pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada
umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau
madrasah).
Sedangkan dilihat dari unsurnya, Zamkhsari Dhofier dalam
pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling
tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu
pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.7
Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami
perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang
dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam
pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah
kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas
masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah
kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid,
rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana
olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut
“pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas
penunjang lainya.
                                                            
7
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta
: LP3ES), 1985, hal. 5  
17 
 
A.3. Sistem Nilai Pesantren
Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar
dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh
mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu
dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.8
Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri
mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu
ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh
Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya
Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat
Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri.
Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah-
satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i,
Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam
Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham
yang menganjurkan ijtihad.9
Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di
desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal
keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq.10
Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal
yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri
                                                            
8
Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina), 1997, hal. 31 
9
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33 
10
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33 
18 
 
menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian
lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan
kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah
mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan
makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun
setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari,
dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa
Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud
berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal.
Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab
yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai
kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidah-
qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji.
Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah
dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai
pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi
simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum
sarungan”. 11
B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI
B.1. Pengertian Industrialisasi
Menurut Henry Fratt sebagimana dikutip oleh Nurcholish Madjid,
industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh
                                                            
11
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), h. 37 
19 
 
penggunaan ilmu pengetahuan terapan. Ditandai dengan ekspansi besar-besaran
dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari
barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang
terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi
yang meningkat.12
Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah
industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan
susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke
sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan nilai-
nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak
industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh
masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang
mendasari masyarakat industrial.
1) Kesenangan yang tertunda;
2) Perencanaan kerja atau tindakan masa mendatang;
3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis;
4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan
sedikit terhadap pengarahan;
5) Rutin dan dapat diramalkan;
6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan
7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan.13
                                                            
12
Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987,
hal. 140  
13
Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, h. 128 
20 
 
Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang
diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan
mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan
manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah
penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu
ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan
tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang.
Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial,
yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat
pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu
senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada
aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan
nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara
sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut:
dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja)
kepuasan yang segera di dapat
kenikmatan
kesenangan
sikap reseptif
tidak ada tekanan
Kepuasan yang tertunda
Pengekangan kenikmatan
Garapan atau kerja
Sikap produktif
Ketertiban dan keamanan
B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat
Industri dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi,
ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang
diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik terhadap
21 
 
masyarakat. Berbicara industri adalah berbicara masalah proses mekanisasi yang
berdampak pada skala luas produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian
kerja dengan merambah berbagai bidang seperti pertanian, energi, komunikasi,
transportasi, dan lain-lain.
Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula perubahan yang
komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses
indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan
mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan
dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun
sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat
besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh
status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan
kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang.14
Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap
dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa
dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan
masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak
membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu.
Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur
industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi
tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli
berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri.15
Mereka
                                                            
14
Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140 
15
S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra (ttp : Bina
Aksara, 1985),) hal. 93 
22 
 
memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus
meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam
meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat
“masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun
hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh
di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung
tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu
menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja
sebagai alternatif.
Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam
masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa
dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung
Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung
yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi
telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan
kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun
buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di
wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi
kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka
tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda
menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan
dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu.
23 
 
B.3. Industri mempengaruhi Politik
Salah satu persoalan kekuasaan yang sangat relevan untuk masyarakat
modern adalah hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam
lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas.
Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap
Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu
pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu
pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan
kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia
kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal
itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah
sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat
di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara
intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia
kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir,
hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan
dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh abstraksi-
abttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan
sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik.16
                                                            
16
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123  
24 
 
Untuk menyatukan kedua kehidupan berbeda tersebut, menurut Habermas
dibutuhkan sebuah medium, yaitu penrapan teknisnya (teknologi). Ketika
pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan teknolgis, menurut Habermas, sifat
kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam
hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis
kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi
teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan
kita.
Dalam masyarakat industri dewasa ini pengetahuan teknis yang dihasilkan
lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang
disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini
adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam
masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan
seterusnya.
Pengetahuan teknis bukan lagi soal teknik-teknik pertukangan tradisional,
melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk
teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini, tradisi-
tradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa
begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern.17
Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi,
dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan
Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan,
                                                            
17
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 
25 
 
Kuntowijoyo melihat konstelasi antara industri dengan politik dengan
menggunakan analisa ekonomi politik. Dalam bukunya “Paradigma Islam:
interpretasi untuk aksi (2001)”, Kuntowijoyo menggambarkan tentang kuatnya
modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek
Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi
usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam
usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat
Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan
dominasi swasta asing.
Pasca 1965, pembangunan industri pada khususnya dan ekonomi pada
umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun
terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari
kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta
dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI
atau radikalisme Islam.18
Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk
melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal.
Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas
dari pengaruh industri.
Pandangan Habermas dan Kuntowijoyo di atas, sengaja penulis
kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan
yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari
terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi,
                                                            
18
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan), 1991,
hal. 176 
26 
 
dengan sendirinya akan membentuk kesadaran interaksi intersubjektif dalam
masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai,
industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur.19
Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
C. AGAMA DAN POLITIK
Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya
dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam
masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur
institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan
sistem sosial.
Agama yang menyangkut kepercayaan beserta ritual-ritualnya yang
menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan pengalaman
tersendiri
Penelaahaan terhadap agama merupakan hal yang mesti dilakukan, karena
pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut
Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan
landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama
                                                            
19
Ibid, h.2 
27 
 
merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang
diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan
berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama.20
untuk itu dapat dikatakan
bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai
alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral,
dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal.
Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku
tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau
perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan
seseorang tersebut.
Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan
yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok
yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan
adanya unsur kepercayaan.21
Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai
tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku
politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya
tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan.
Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuan-
tujuan adalah sebagai berikut:
                                                            
20
Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT.
Remaja Rosda Karya), h. 16 
21
Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai
Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta ,
2007), h. 30 
28 
 
1. Pengambilan keputusan;
2. Skala prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum; dan
3. Pengaturan dan pembagian sumber alokasi yang ada.
Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan
(power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk
melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara
yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan
paksaan.
Bagaimanapun agama selalu membayang-bayangi proses kehidupan
seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul
dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok
rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat.
D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
D.1 Pengertian Umum Budaya Politik
Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga
terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang
berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan
budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama
Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik
terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-
bagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun
beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut:
29 
 
1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set
of overtly political values, which defines the situation in which political
action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat
yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa).
2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of
empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the
situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang
menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan).
3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the
attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political
sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang
terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik).22
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan
cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai
politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang
memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan
dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara
luas.
                                                            
22
Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 
30 
 
Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi
psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada penalaran-
penalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilai-
nilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat
termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat.
Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik
sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut:
1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas
pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan
diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut
memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma
lain.
2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang
pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi,
dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan,
dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup.
3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu
pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka
dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam
pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong
inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo
31 
 
atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau
politik).23
Berdasarkan dari definisi tersebut, maka dapat ditarik beberapa batasan
konseptual tentang budaya politik. Pertama, konsep budaya politik lebih
mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap, nilai-
nilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka
tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam
sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-
komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik
merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen
budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu.
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik
1. Berdasarkan Pola Otoritas
Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai
masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau
otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada
penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada
dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah
dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan
loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah
                                                            
23
Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
 
32 
 
loyalitas yang asal-usulnya seringkali berasal dari sebuah kepercayaan akan
kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.
Kedua, Otoritas kharismatis. Jenis tatanan ini dilegitimasikan dengan
kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang
kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk
memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma
dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi
atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan
gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok.
Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada
sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa
mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu
menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga
memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan
individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah
dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal
yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan
aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi.
Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam
batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya
untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut
untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu
Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam
kasus otoritas kharismatis seorang pemimpin harus menunjukan
33 
 
adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di daerahnya terjadi
banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas legal pemimin
harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa.24
2. Berdasarkan Orientasi
Setelah melihat pola otoritas dari seorang pemimpin, maka untuk
menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan
pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan
politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik setidaknya dalam
pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi politik dapat
dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang pasif dan
hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan politik subyek.
Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari adanya
pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial. 25
Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik atau
model orientasi terhadap pemerintahan dan politik.
1) Masyarakat demokratis industrial.
Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang akan
menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi
suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat politik
yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan
                                                            
24
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman (Jakarta: Kanisius,
1994), hal. 213-214 
25
Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan
Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278 
34 
 
pemerintahan. Kelompok-kelompok yang selalu mengusulkan
kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.
2) Sistem otoriter.
Dalam model ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memiliki
sikap politik berbeda. Kelompok organisasi politik dan partisipan politik
berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan persuasif atau
protes yang agresif.
3) Sistem demokratis pra-industial.
Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali partisipan
yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari warga
Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas dalam
kehidupan politik.26
3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks,
menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada
kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau
sifat ”toleransi”.
a. Budaya Politik Militan
                                                           
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha
mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat
 
26
Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, hal.
278 
35 
 
dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing
hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan
masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar
emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide
yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang
mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau
kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat
militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik.
Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan
jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap
tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut
memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian
hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut
bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi,
36 
 
malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,
tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan
keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak
memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif bisaanya terbuka dan
sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia
menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai
suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu
tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap
sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan
hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.,
bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik.
Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi
satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik
(dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai
suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur
psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
37 
 
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu
orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif
mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe
orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai
berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta
input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-
obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar
nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.27
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah
modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi.
Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena
industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan
kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri (agraris) ke sistem sosial
                                                            
27
Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
 
38 
 
industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang
dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
industri dan moderen juga berarti perubahan dari :
a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini
bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan ,
juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial
yang bersifat contractual, impersonal dan calculating.
b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis
keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit
maupun keturunan.
c. Ascriptions to achievement, dengan kata lain perubahan karena
industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke
sistem penghargaan karena prestasi.
d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang
berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang
bersifat khusus28
.
Jadi Perubahan model pembangunan secara otomatis akan merubah
berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi,
sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga.
Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan
menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang
                                                            
28
Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam
Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142  
39 
 
penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori
struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh
Talcott persons (1937).
Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara
makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah
bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub
struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang
lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis
mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan
menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur
atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk mempertahankan
aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh
struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga
dan sebagainya29
.
Pesantren dikenal sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan
makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia
(indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang
dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain
pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan
komunitas lingkungannya.
Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian
pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi
                                                            
29
Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat ( Jakarta :
Rajawali) 1983  
40 
 
pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya.
Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas
lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan
pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan
ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan
kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural
brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya.30
Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan
warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri.
Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh
luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti
mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga
merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya
sendiri.
Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang
memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan
bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad
keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial kepada
masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi
dengan masyarakatnya.
Dalam pandangan teori “Interaksions medium” yang juga dikembangkan
oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium). Media,
                                                            
30
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka
jaya), 1981 
41 
 
menurut Parsons adalah kapasitas perubahan sebuah masyarakat (kelompok)
ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori
ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego,
namun kemudian juga digunakan untuk menganalisis pola interaksi lembaga,
kelompok dan masyarakat. Oleh karenanya teori ini penulis pandang relevan
untuk mengkaji pola hubungan antara pesantren tradisional dan sektor modern.
Dalam hal ini ada empat media; pertama, Komitmen atau penyerapan
nilai/gagasan dari luar yang benar dan relevan. Kedua, media Kekuasaan (power)
Ketiga, media pemanfaatan (utility) dan terakhir media pengaruh31
.
Keempat media yang dikemukakan Parsons di atas setidaknya telah
dimiliki pesantren dalam melakukan hubungan dan mengukuhkan pengaruhnya
baik di kalangan internal pesantren maupun bagi masyarakat sekitarnya. Pada
beberapa dasawarsa , kiyai yang umumnya pemilik dan pengelola pesantren
memiliki power (kekuasaan) yang kadang melebihi kekuasaan pemerintah lokal.
Bahkan dalam hal-hal tertentu pemerintah lokal seringkali meminta petunjuk dan
restu pihak pesantren atau kiyai dalam melaksanakan tugas dan kebijakannya.32
                                                            
31
Talcott Parsons, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan
Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan
Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta : P3M), 1987 
32
Dra. Umdatul Hasanah, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam
Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008), h. 15 
42 
 
Diagram 1
Kerangka Konseptual
 
kesederhanaan
Kebersamaan
Tradiisional
Religius
Homogen
Akhlak dan nilai-
nilai luhur
Materialis
Hub. Fungsional
Modern
Kompetitif
Rasional
Heterogen
Industrial
Budaya
politik
?
Pesantren
 
43 
 
BAB III
GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN
KAMPUNG PANYAWUNGAN
A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren
Sebelum berdirinya Pondok Pesantren, kampung Panyawungan
merupakan sebuah perkampungan yang menjadi pusat arena judi. Judi yang paling
dominan di kampung ini adalah judi sabung ayam. Masyarakat kampung
Panyawungan pada saat itu merupakan masyarakat Jahiliyyah dalam arti bodoh
atau buta terhadap agama.
Namun begitu, di kampung Panyawungan terdapat dua orang kaya raya
yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi yang mempunyai keprihatinan terhadap umat,
untuk itu mereka meminta kepada KH. Kholil dari kampung Bojong Malati ( +
1,5 km dari kampung Panyawungan ) untuk mengajar masyarakat dan mendirikan
pondok.
Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun
1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang
berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan
KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah
lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat
umum.1
Pada mulanya, KH. Kholil menempati rumah Hj. Syarifah yang
merupakan kerabat KH. Syarif. Untuk kelancaran Dakwah Islamiah, KH. Syarif
                                                            
1
Wawancara pribadi dengan ustadz Bibin, Bandung, 15 April 2010 
44 
 
mewaqafkan tanahnya seluas 8000 M. untuk lingkungan pesantren dan sawah
yang dikelola oleh KH. Kholil. Selain waqaf dari KH. Syarif, pesantren juga
menerima waqaf dari yang lainya seperti dari Hj. Omok. Pada kedatangan
awalnya, KH. Kholil telah membawa sekitar lima belas santri.2
Dengan dukungan empat elemen yang disebut di atas, perkembangan
Pondok Pesantren Nahdjussalam berkembang pesat, hingga pada tahun 1917
pesantren tersebut telah memiliki elemen dasar pesantren seperti masjid, asrama,
dan madrasah.
Empat elemen di atas juga menjadikan Pondok Pesantren Nahdjussalam
bersifat inklusif terhadap masyarakat. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren
Nahdjussalam selalu mempunyai delegasi di luar kyai sepuh dan kyai pondok
yang didedikasikan untuk membina masyarakat. Dari awal hingga saat ini,
pesantren tersebut telah empat kali berganti kyai.
                                                            
2
Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 
45 
 
Gambar. 1: Lokasi Komplek Pesantren
46 
 
1.1 KH. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan
KH. Kholil lahir sekitar 1894 di Kampung Bojong Malati. Beliau
merupakan anak pertama dari pasangan Eyang Husen dan Hj. St. Maemunah yang
juga merupakan penyiar agama di kampung tersebut. Jika di kejar lebih jauh asal
keluarganya, beliau merupakan keturunan ke enam dari Syeh Abdul Muhyi-
Tasikmalaya (seorang penyebar Islam di Jawa Barat). Beliau belajar Islam
semenjak dini dari orang tuanya yaitu Eyang Husen. Beranjak dewasa ia
mengembara keberbagai pesantren di antaranya: Pesantren Kresek Garut,
Pesantren Ciharashas, Pesantren Sukamiskin, dan Pesantren Banjar.
Keberhasilan pondok pesantren Nahdjussalam yang terus eksis hingga saat
ini tidak lepas dari peran sang pendiri. Setelah masa perintisan 1916 – 1917, KH.
Kholil mempunyai kesadaran penuh akan pentingnya pembangunan jejaring
pesantren di tingkat lokal. Untuk itu KH. Kholil membangun jejaring pesantren
dengan cara menikahkan adik-adik beliau dengan para santri terpilih atau tokoh-
tokoh setempat yang dianggap mempunyai pengaruh.
Diagram. 2
Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil
Kh. Husyen Nahrowi + Hj. Siti Maemunah
Kh. Kholil Eye
+
H. . Khosim
Siti
+
H. Kharis
H. Sya’diyah
+
H. Juhro
Ket: Dalam diagram tersebut tidak semua keluarga dimasukan
Hj. Khuraisin
+
H. Daman
47 
 
Tokoh-tokoh atau santri terpilih yang dinikahkan dengan adik-adik beliau,
menjadi pembantu beliau dalam membina masyarakat dan mereka menempati
posisi sebagai kyai langgar.
Kyai Pondok Kyai Langgar
1. KH. Kholil
2. KH. Ahmad Tb. Dzajuli
1.H.Daman(Kp. Panyawungan)
2. H. Kharis (Kp. Galumpit)
3. H. Juhro (Kp. Kara)
4. H. Khosim (Kp Bojong Malati)
5. H. Fatah (Kp Panyawungan)
Selain kesadaran akan pentingnya jaringan, KH. Kholil juga memakai cara
perkawinan dengan pihak donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi. Selain untuk
mengikat kekeluargaan hal itu juga dilakukan atas kesadaran pentingnya ekonomi
dalam keberlangsungan pondok. Untuk kepentingan ekonomi, KH. Kholil juga
terus memperluas tanah hingga tercatat lebih dari 2 hektar tanah yang ia miliki.
Selain dari hasil pembelian secara pribadi, pihak keluarga pesantren juga
banyak mendapatkan tanah dari imbalan mengatur pembagian waris. Seperti yang
diterima oleh KH. Dzajuli dan KH. Syambas ketika membagikan waris keluarga
KH. Afandi.
48 
 
Diagram. 3
Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil
Bani Affandi Bani Kholil
1
: Kyai Langgar
: Lurah (kecuali yang ditandai “1” Drs. Iin Z.A merupakan pejabat RW sekarang.)
 
Diagram. 4
Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil
Ket : Tidak seluruh anggota keluarga disertakan dan tidak berdasar senioritas
: Kyai Luar Dearah
: Mantan Anggota DPRD
: Kyai Langgar
Bani Syarif Bani Kholil
Setelah jejaring di lokal sudah dirasa cukup kuat, KH. Kholil mencoba
untuk membuka jejaring dengan luar daerah, baik dengan pesantren yang sudah
berdiri maupun santri terpilih yang berpotensi mampu mendirikan pesantren.
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk
Final paper mohamad romdoni fdk

More Related Content

What's hot

Proposal worshop stem 2017
Proposal worshop stem 2017Proposal worshop stem 2017
Proposal worshop stem 2017
Cucu Hidayat Kasep
 
Salsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantara
Salsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantaraSalsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantara
Salsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantara
SalsabilaPutriAnggra
 
Gaya kepemimpinan kepsek
Gaya kepemimpinan kepsekGaya kepemimpinan kepsek
Gaya kepemimpinan kepsek
Sofyan Nardi Saputra
 
Contoh rumusan
Contoh rumusanContoh rumusan
Contoh rumusan
Joan Ang
 
Kbk sma 03. bahasa & sastra indonesia
Kbk sma 03. bahasa & sastra indonesiaKbk sma 03. bahasa & sastra indonesia
Kbk sma 03. bahasa & sastra indonesia
Jasmin Jasin
 
Roadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam
Roadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi IslamRoadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam
Roadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam
MuhamadBisriMustofa2
 
Cover n pengantar
Cover n pengantarCover n pengantar
Cover n pengantar
mukhlisin mukhlisin
 
Codingan
CodinganCodingan
Codingan
mylikejie
 
Mengenal peninggalan
Mengenal peninggalanMengenal peninggalan
Mengenal peninggalan
Rohman Efendi
 
Model pembelajaran nht dan tgt
Model pembelajaran nht dan tgtModel pembelajaran nht dan tgt
Model pembelajaran nht dan tgt
Vivii Charmeiliaa
 
Pkp penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...
Pkp  penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...Pkp  penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...
Pkp penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...
Operator Warnet Vast Raha
 
11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka
11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka
11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka
edisaputra36
 
Kti novita sari
Kti novita sariKti novita sari
1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...
1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...
1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...
IsroqGagah
 
Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)
Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)
Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)
Laurensia Averina
 

What's hot (19)

Proposal worshop stem 2017
Proposal worshop stem 2017Proposal worshop stem 2017
Proposal worshop stem 2017
 
Salsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantara
Salsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantaraSalsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantara
Salsabila putri anggraini 3 b-2001045066-makalah sastra nusantara
 
Gaya kepemimpinan kepsek
Gaya kepemimpinan kepsekGaya kepemimpinan kepsek
Gaya kepemimpinan kepsek
 
Contoh rumusan
Contoh rumusanContoh rumusan
Contoh rumusan
 
Kbk sma 03. bahasa & sastra indonesia
Kbk sma 03. bahasa & sastra indonesiaKbk sma 03. bahasa & sastra indonesia
Kbk sma 03. bahasa & sastra indonesia
 
Roadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam
Roadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi IslamRoadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam
Roadmap Penelitian dan PkM Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam
 
Teks ucapan perasmi,Dekan FST
Teks ucapan perasmi,Dekan FSTTeks ucapan perasmi,Dekan FST
Teks ucapan perasmi,Dekan FST
 
Cover n pengantar
Cover n pengantarCover n pengantar
Cover n pengantar
 
Codingan
CodinganCodingan
Codingan
 
Mengenal peninggalan
Mengenal peninggalanMengenal peninggalan
Mengenal peninggalan
 
Model pembelajaran nht dan tgt
Model pembelajaran nht dan tgtModel pembelajaran nht dan tgt
Model pembelajaran nht dan tgt
 
Pkp penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...
Pkp  penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...Pkp  penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...
Pkp penggunaan pendekatan keterampilan proses untuk meningkatkan pemahaman s...
 
11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka
11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka
11220073 bab i-iv-atau-v_daftar-pustaka
 
Kti novita sari
Kti novita sariKti novita sari
Kti novita sari
 
Aku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guruAku bangga menjadi guru
Aku bangga menjadi guru
 
Pkp
PkpPkp
Pkp
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
 
1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...
1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...
1.1 halaman depan tesis m. isro' zainuddin = sistem pembelajaran tahfidzul qu...
 
Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)
Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)
Lckti smapsic (mitos khas minangkabau)
 

Similar to Final paper mohamad romdoni fdk

SP19030.pdf
SP19030.pdfSP19030.pdf
SP19030.pdf
sonyapanjaitan1
 
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
Cha Aisyah
 
MAKALAH TAKMIR MASJID.pdf
MAKALAH TAKMIR MASJID.pdfMAKALAH TAKMIR MASJID.pdf
MAKALAH TAKMIR MASJID.pdf
DMI
 
Strategi adaptif pesantren_mahasiswa
Strategi adaptif pesantren_mahasiswaStrategi adaptif pesantren_mahasiswa
Strategi adaptif pesantren_mahasiswa
Nur Rohman
 
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dkiPartisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
Lakpesdam NU Banten
 
Contoh Kata Pengantar
Contoh Kata PengantarContoh Kata Pengantar
Contoh Kata Pengantar
Man sujana
 
pembuatan yogurt
pembuatan yogurtpembuatan yogurt
pembuatan yogurt
awaluddin366
 
Pemuda hijrah converted
Pemuda hijrah convertedPemuda hijrah converted
Pemuda hijrah converted
kelvinnmy
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Operator Warnet Vast Raha
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Septian Muna Barakati
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Septian Muna Barakati
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Operator Warnet Vast Raha
 
IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...
IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...
IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...
Warnet Raha
 
Korelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdf
Korelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdfKorelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdf
Korelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdf
FisikawandiHosting
 
Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)
Operator Warnet Vast Raha
 
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...
Warnet Raha
 
Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)
Operator Warnet Vast Raha
 
Kti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawatiKti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawati
Operator Warnet Vast Raha
 
Kti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawatiKti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawati
Operator Warnet Vast Raha
 

Similar to Final paper mohamad romdoni fdk (20)

SP19030.pdf
SP19030.pdfSP19030.pdf
SP19030.pdf
 
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
Jtptiain gdl-agustaufiq-4153-1-3103150 -p-2
 
MAKALAH TAKMIR MASJID.pdf
MAKALAH TAKMIR MASJID.pdfMAKALAH TAKMIR MASJID.pdf
MAKALAH TAKMIR MASJID.pdf
 
Tesis lisan kantola di kabupaten muna
Tesis lisan kantola di kabupaten munaTesis lisan kantola di kabupaten muna
Tesis lisan kantola di kabupaten muna
 
Strategi adaptif pesantren_mahasiswa
Strategi adaptif pesantren_mahasiswaStrategi adaptif pesantren_mahasiswa
Strategi adaptif pesantren_mahasiswa
 
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dkiPartisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
Partisipasi Politik Masyarakat Betawi dalam pilkada dki
 
Contoh Kata Pengantar
Contoh Kata PengantarContoh Kata Pengantar
Contoh Kata Pengantar
 
pembuatan yogurt
pembuatan yogurtpembuatan yogurt
pembuatan yogurt
 
Pemuda hijrah converted
Pemuda hijrah convertedPemuda hijrah converted
Pemuda hijrah converted
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...
IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...
IDENTIFIKASI BALITA YANG MENDAPATKAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DI...
 
Korelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdf
Korelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdfKorelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdf
Korelasi Gaya Belajar dengan Multiple Intelegence.pdf
 
Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)
 
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI 0-11 BUL...
 
Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)Kti wa ode isnawati (2)
Kti wa ode isnawati (2)
 
Kti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawatiKti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawati
 
Kti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawatiKti wa ode isnawati
Kti wa ode isnawati
 

Recently uploaded

Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
pelestarikawasanwili
 
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptxMATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
DidiKomarudin1
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
pelestarikawasanwili
 
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
heri purwanto
 
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptxRapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
ApriyandiIyan1
 
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdfPPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
adminguntur
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
MuhaiminMuha
 
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfCERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
Zainul Ulum
 
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakkRencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
DwiSuprianto2
 
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptxPendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
AmandaJesica
 

Recently uploaded (10)

Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
 
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptxMATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
 
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
 
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptxRapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
 
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdfPPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
 
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfCERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
 
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakkRencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
 
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptxPendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
 

Final paper mohamad romdoni fdk

  • 1. KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada kebenaran hakiki. Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi. Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa lalu. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai ii   
  • 2. Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs. Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan. 2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis. Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi ini. 3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing, yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan ini. 4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu memberi masukan penulis mengenai penelitian ini. 5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi eksistensi pondok. 7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah iii   
  • 3. iv    membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian). 8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis. Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin. Ciputat, 23 Juni 2010 Mohamad Romdoni
  • 4. ABSTRAK Sudah satu abad lebih pondok pesantren Nahdjussalam memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan. Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan; Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi, dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti militan, utopis, terbuka, dan tertutup? Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di lapangan. Industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari interaksi intersubjektif dalam masyarakat. Masyarakat kampung Panyawungan tidak hanya turut pada ketentuan normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional. Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya. i  
  • 5. KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada kebenaran hakiki. Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi. Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa lalu. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai ii  
  • 6. Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs. Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan. 2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis. Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi ini. 3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing, yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan ini. 4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu memberi masukan penulis mengenai penelitian ini. 5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi eksistensi pondok. 7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah iii  
  • 7. membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian). 8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis. Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin. Ciputat, 23 Juni 2010 Mohamad Romdoni iv  
  • 8. DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................  ABSTRAKSI ........................................................................................................... i  KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii  DAFTAR ISI ........................................................................................................... v  DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5 A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12 Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15  C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6 D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8 E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10 BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12 A.2. Tipelogi A.3. Sistem Nilai Pesantren  ................................................................ 17 B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18 B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18 B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20  B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23 C. Agama Dan Politik  ........................................................................................... 26 v  
  • 9. D. Pen 2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33 E. Ker BAB III GAMB PANYAWUNGAN A. Ga 2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ... 49 3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik  ............................................................................................................ 52 Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ....... 53 B. gertian Budaya Politik  ......................................................................... 28 D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28 D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31 1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31 3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34 D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36  angka Konseptual ................................................................................. 37 ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. mbaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43 A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43 1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ............................................................................................. 46 4. Kh. A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ................................................. 54 2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54 2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58 A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60 A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62 A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65 Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 68 vi  
  • 10. B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 68 B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69 B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72 BAB IV PERUBAH PANYAW A. Arti B. Usa dan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80 D. Aren Kam Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis ............................................................................................... 90 PENUTUP B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74  AN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG UGAN kulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76 ha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83 a Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat pung Panyawungan ................................................................................... 86 D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86 D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik BAB V A. Kesimpulan ........................................................................................................ 98 B. Rekomendasi .................................................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................   LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................     vii  
  • 11. Daftar Digram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46  ni Afandi dan Bani Kholil ......................... 48  iagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ............................ 89 iagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ......................... 90 Diagram Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Ba Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48  Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49  Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59 D   D viii  
  • 12. Daftar Tabel a Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71 Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73  Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75      Tabel 1. Daftar Nam ix  
  • 13. x   Daftar Gambar Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45 Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63  Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68  Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 77 Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 82  Gambar 6. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93 Gambar 7. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ......................... 97  
  • 14. DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................  ABSTRAKSI ........................................................................................................... i  KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii  DAFTAR ISI ........................................................................................................... v  DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5 A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12 Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15  C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6 D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8 E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11 BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12 A.2. Tipelogi A.3. Sistem Nilai Pesantren  ................................................................ 17 B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18 B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18 B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20  B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23 v   
  • 15. C. Agama Dan Politik  ........................................................................................... 26 D. Pengertian Budaya Politik  ......................................................................... 28 D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28 D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31 1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31 E. Kerangka Konseptual 37 BAB III GAMB PANYAW A. A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren  ...................................................................................................... 49 1.3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik ........................................................................................... 52 1.4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53 ....... 54 2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54 B. K 2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33 3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34 D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36   .................................................................................  ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. UNGAN Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43  .............................. 43 1.1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ........................................................................................ 46 1.2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren .......................................... 2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58 A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60 A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62 A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65 ondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 67 vi   
  • 16. vii    B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74  BAB IV PENGA A. Artikulasi P B. dan C. Pesa Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86 D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik Pragmatis ............................................................................................... 90 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................................ 99   B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 67 B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69  ........................... 72 RUH INDUSTRIALISASI PADA KAMPUNG PANYAWUNGAN  olitik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76 Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80 ntren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83 D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat Kampung Panyawungan ................................................................................... 86 D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan B. Rekomendasi .................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................   LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................................  
  • 17. Daftar Tabel Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71 Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73  Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75      ix   
  • 18. Daftar Gambar Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45 Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63  Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68 Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ...................................................................  69 Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 78 Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 83  Gambar 7. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93 Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ......................... 97   x   
  • 19. Daftar Digram Diagram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42 Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46  Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48  Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48  Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49  Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59 Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul..........................89 Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul .......................90 viii   
  • 20. 1    BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building. Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat men- sah-kan pentasbihan.1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu sendiri.2 Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial, keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan                                                              1 Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33   2 Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang 1992, h. 2  
  • 21. 2    berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.3 Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat. Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat umum. Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi pengaruh satu sama lain. Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan                                                              3 H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung : Angkasa, 1985). 
  • 22. 3    menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya jejaring pesantren tersebut. Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma, budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan, seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan pembangunan, dan lain-lain. Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan lain-lain. Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam
  • 23. 4    masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional, heterogen, dan pemuasan kebutuhan. Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau “legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu- individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga sebuah tradisi.4 Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan                                                              4 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994), h. 213 
  • 24. 5    justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.5 Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren. Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani. B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi, sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan6 .                                                              5 Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii  6 Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, (Jakarta; Bina Aksara, 1986). 
  • 25. 6    Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopangnya, dan seterusnya.7 Sedangkan untuk perumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat kampung Panyawungan ? 2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren (tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ? C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN C.1. Tujuan 1. Untuk mengetahui perubahan pandangan politik yang ada di masyarakat kampung Panyawungan. 2. Untuk mengetahui eksistensi pengaruh pondok pesantren dalam perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.                                                              7 Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 
  • 26. 7    3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang memberikan kontribusi besar pada masyarakat. C.2. Kegunaan 1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka menghimpun dan memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan. 2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat. 3. Menjadi kajian pustaka bagi penelitian lainnya mengenai etos pesantren. 4. Mengembangkan penelitian bagi sarjana strata satu. Dan memberikan sumbangsi pada kajian pranata sosial, budaya politik dan komunikasi antar budaya.
  • 27. 8    D. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian sosial keagamaan dengan menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki (M. Nazir, 1988 : 63). Sedangkan teknik pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan cara; pengamatan dan wawancara untuk mendapatkan data primer. Pertama, Observasi (pengamatan). Pengamatan dilakukan untuk melihat fenomena dan gejala sosial yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di lingkungan pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar. Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap untuk menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer. Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data signifikan juga
  • 28. 9    banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa Cileunyi Wetan. Wawancara dengan pelaku industri dijadikan sebagai data sekunder (pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap. Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI) kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat, seperti desa dan kecamatan. E. TINJAUAN PUSTAKA Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya. Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit mirip dengan fokus penulis. Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi total dari masyarakat.
  • 29. 10    Dra. Umdatul Hasanah dalam penelitian yang berjudul “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya. Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli, Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa 1950- an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.8                                                              8 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES), 1985, h. 5  
  • 30. 11    F. SISTEMATIKA PENULISAN Demi mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB. BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika penulisan. BAB II. Kajian teori yang menjabarkan pengertian pesantren, pengertian industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman dalam penulisan skripsi ini. BAB III. Gambaran umum mengenai Pondok Pesantren Nahdjussalam dan kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi. BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya politik masyarakat kampung Panyawungan. BAB V. penutup yang mengemukakan hasil kesimpulan dari penelitian dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun tindakan.
  • 31. 12    BAB II KERANGKA TEORI A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN A.1. Sejarah Pesantren Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India “shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain.1 Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri” yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab. Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,                                                              1 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve), 2003, Jilid 4 
  • 32. 13    mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal dengan kyai-santri.2 Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqah- halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf. Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kiyai. Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan                                                              2 Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramadina) 1997, hal 19 - 20  
  • 33. 14    kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.3 Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.4 Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam                                                              3 Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4  4 Ensiklopedi Islam , jilid 4 
  • 34. 15    yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap penjuru negeri.5 A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut : 1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau sorogan); 2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren; 3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut; 4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.6 Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan                                                              5 Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma Bhakti), 1979, hal. 19 - 21   6 H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora), 2006, h. 43-44 
  • 35. 16    dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau madrasah). Sedangkan dilihat dari unsurnya, Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.7 Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut “pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas penunjang lainya.                                                              7 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES), 1985, hal. 5  
  • 36. 17    A.3. Sistem Nilai Pesantren Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.8 Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri. Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah- satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham yang menganjurkan ijtihad.9 Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq.10 Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri                                                              8 Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), 1997, hal. 31  9 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33  10 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33 
  • 37. 18    menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal. Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidah- qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji. Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum sarungan”. 11 B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI B.1. Pengertian Industrialisasi Menurut Henry Fratt sebagimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh                                                              11 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), h. 37 
  • 38. 19    penggunaan ilmu pengetahuan terapan. Ditandai dengan ekspansi besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi yang meningkat.12 Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan nilai- nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang mendasari masyarakat industrial. 1) Kesenangan yang tertunda; 2) Perencanaan kerja atau tindakan masa mendatang; 3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis; 4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan sedikit terhadap pengarahan; 5) Rutin dan dapat diramalkan; 6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan 7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan.13                                                              12 Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987, hal. 140   13 Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, h. 128 
  • 39. 20    Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang. Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial, yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut: dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja) kepuasan yang segera di dapat kenikmatan kesenangan sikap reseptif tidak ada tekanan Kepuasan yang tertunda Pengekangan kenikmatan Garapan atau kerja Sikap produktif Ketertiban dan keamanan B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat Industri dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik terhadap
  • 40. 21    masyarakat. Berbicara industri adalah berbicara masalah proses mekanisasi yang berdampak pada skala luas produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian kerja dengan merambah berbagai bidang seperti pertanian, energi, komunikasi, transportasi, dan lain-lain. Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula perubahan yang komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang.14 Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu. Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri.15 Mereka                                                              14 Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140  15 S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra (ttp : Bina Aksara, 1985),) hal. 93 
  • 41. 22    memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat “masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja sebagai alternatif. Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu.
  • 42. 23    B.3. Industri mempengaruhi Politik Salah satu persoalan kekuasaan yang sangat relevan untuk masyarakat modern adalah hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern, perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas. Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir, hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh abstraksi- abttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik.16                                                              16 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123  
  • 43. 24    Untuk menyatukan kedua kehidupan berbeda tersebut, menurut Habermas dibutuhkan sebuah medium, yaitu penrapan teknisnya (teknologi). Ketika pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan teknolgis, menurut Habermas, sifat kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan kita. Dalam masyarakat industri dewasa ini pengetahuan teknis yang dihasilkan lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan seterusnya. Pengetahuan teknis bukan lagi soal teknik-teknik pertukangan tradisional, melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini, tradisi- tradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern.17 Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi, dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan,                                                              17 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 
  • 44. 25    Kuntowijoyo melihat konstelasi antara industri dengan politik dengan menggunakan analisa ekonomi politik. Dalam bukunya “Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi (2001)”, Kuntowijoyo menggambarkan tentang kuatnya modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan dominasi swasta asing. Pasca 1965, pembangunan industri pada khususnya dan ekonomi pada umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI atau radikalisme Islam.18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal. Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas dari pengaruh industri. Pandangan Habermas dan Kuntowijoyo di atas, sengaja penulis kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi,                                                              18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan), 1991, hal. 176 
  • 45. 26    dengan sendirinya akan membentuk kesadaran interaksi intersubjektif dalam masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai, industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak dan nilai-nilai luhur.19 Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari interaksi intersubjektif dalam masyarakat. C. AGAMA DAN POLITIK Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Agama yang menyangkut kepercayaan beserta ritual-ritualnya yang menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan pengalaman tersendiri Penelaahaan terhadap agama merupakan hal yang mesti dilakukan, karena pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama                                                              19 Ibid, h.2 
  • 46. 27    merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama.20 untuk itu dapat dikatakan bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral, dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal. Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan seseorang tersebut. Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan adanya unsur kepercayaan.21 Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan. Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuan- tujuan adalah sebagai berikut:                                                              20 Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT. Remaja Rosda Karya), h. 16  21 Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta , 2007), h. 30 
  • 47. 28    1. Pengambilan keputusan; 2. Skala prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum; dan 3. Pengaturan dan pembagian sumber alokasi yang ada. Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan (power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan paksaan. Bagaimanapun agama selalu membayang-bayangi proses kehidupan seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat. D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK D.1 Pengertian Umum Budaya Politik Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian- bagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut:
  • 48. 29    1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set of overtly political values, which defines the situation in which political action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa). 2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan). 3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik).22 Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas.                                                              22 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 
  • 49. 30    Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada penalaran- penalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilai- nilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat. Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut: 1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma lain. 2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup. 3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. 4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo
  • 50. 31    atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).23 Berdasarkan dari definisi tersebut, maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik. Pertama, konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap, nilai- nilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen- komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu. D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik 1. Berdasarkan Pola Otoritas Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah                                                              23 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php  
  • 51. 32    loyalitas yang asal-usulnya seringkali berasal dari sebuah kepercayaan akan kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Kedua, Otoritas kharismatis. Jenis tatanan ini dilegitimasikan dengan kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok. Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi. Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam kasus otoritas kharismatis seorang pemimpin harus menunjukan
  • 52. 33    adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di daerahnya terjadi banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas legal pemimin harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa.24 2. Berdasarkan Orientasi Setelah melihat pola otoritas dari seorang pemimpin, maka untuk menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik setidaknya dalam pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi politik dapat dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang pasif dan hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan politik subyek. Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari adanya pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial. 25 Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik atau model orientasi terhadap pemerintahan dan politik. 1) Masyarakat demokratis industrial. Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang akan menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat politik yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan                                                              24 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman (Jakarta: Kanisius, 1994), hal. 213-214  25 Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278 
  • 53. 34    pemerintahan. Kelompok-kelompok yang selalu mengusulkan kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka. 2) Sistem otoriter. Dalam model ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memiliki sikap politik berbeda. Kelompok organisasi politik dan partisipan politik berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan persuasif atau protes yang agresif. 3) Sistem demokratis pra-industial. Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali partisipan yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari warga Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas dalam kehidupan politik.26 3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”toleransi”. a. Budaya Politik Militan                                                             Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat   26 Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, hal. 278 
  • 54. 35    dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi. b. Budaya Politik Toleransi Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang. Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas : a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi,
  • 55. 36    malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru. b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif Struktur mental yang bersifat akomodatif bisaanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini. Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna. D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
  • 56. 37    Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya. Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek- obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.27 E. KERANGKA KONSEPTUAL Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi. Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri (agraris) ke sistem sosial                                                              27 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php  
  • 57. 38    industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri dan moderen juga berarti perubahan dari : a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan , juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial yang bersifat contractual, impersonal dan calculating. b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit maupun keturunan. c. Ascriptions to achievement, dengan kata lain perubahan karena industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke sistem penghargaan karena prestasi. d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang bersifat khusus28 . Jadi Perubahan model pembangunan secara otomatis akan merubah berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga. Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang                                                              28 Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142  
  • 58. 39    penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh Talcott persons (1937). Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk mempertahankan aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga dan sebagainya29 . Pesantren dikenal sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi                                                              29 Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat ( Jakarta : Rajawali) 1983  
  • 59. 40    pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya. Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya.30 Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri. Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya sendiri. Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial kepada masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi dengan masyarakatnya. Dalam pandangan teori “Interaksions medium” yang juga dikembangkan oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium). Media,                                                              30 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka jaya), 1981 
  • 60. 41    menurut Parsons adalah kapasitas perubahan sebuah masyarakat (kelompok) ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego, namun kemudian juga digunakan untuk menganalisis pola interaksi lembaga, kelompok dan masyarakat. Oleh karenanya teori ini penulis pandang relevan untuk mengkaji pola hubungan antara pesantren tradisional dan sektor modern. Dalam hal ini ada empat media; pertama, Komitmen atau penyerapan nilai/gagasan dari luar yang benar dan relevan. Kedua, media Kekuasaan (power) Ketiga, media pemanfaatan (utility) dan terakhir media pengaruh31 . Keempat media yang dikemukakan Parsons di atas setidaknya telah dimiliki pesantren dalam melakukan hubungan dan mengukuhkan pengaruhnya baik di kalangan internal pesantren maupun bagi masyarakat sekitarnya. Pada beberapa dasawarsa , kiyai yang umumnya pemilik dan pengelola pesantren memiliki power (kekuasaan) yang kadang melebihi kekuasaan pemerintah lokal. Bahkan dalam hal-hal tertentu pemerintah lokal seringkali meminta petunjuk dan restu pihak pesantren atau kiyai dalam melaksanakan tugas dan kebijakannya.32                                                              31 Talcott Parsons, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta : P3M), 1987  32 Dra. Umdatul Hasanah, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008), h. 15 
  • 61. 42    Diagram 1 Kerangka Konseptual   kesederhanaan Kebersamaan Tradiisional Religius Homogen Akhlak dan nilai- nilai luhur Materialis Hub. Fungsional Modern Kompetitif Rasional Heterogen Industrial Budaya politik ? Pesantren  
  • 62. 43    BAB III GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KAMPUNG PANYAWUNGAN A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren Sebelum berdirinya Pondok Pesantren, kampung Panyawungan merupakan sebuah perkampungan yang menjadi pusat arena judi. Judi yang paling dominan di kampung ini adalah judi sabung ayam. Masyarakat kampung Panyawungan pada saat itu merupakan masyarakat Jahiliyyah dalam arti bodoh atau buta terhadap agama. Namun begitu, di kampung Panyawungan terdapat dua orang kaya raya yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi yang mempunyai keprihatinan terhadap umat, untuk itu mereka meminta kepada KH. Kholil dari kampung Bojong Malati ( + 1,5 km dari kampung Panyawungan ) untuk mengajar masyarakat dan mendirikan pondok. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat umum.1 Pada mulanya, KH. Kholil menempati rumah Hj. Syarifah yang merupakan kerabat KH. Syarif. Untuk kelancaran Dakwah Islamiah, KH. Syarif                                                              1 Wawancara pribadi dengan ustadz Bibin, Bandung, 15 April 2010 
  • 63. 44    mewaqafkan tanahnya seluas 8000 M. untuk lingkungan pesantren dan sawah yang dikelola oleh KH. Kholil. Selain waqaf dari KH. Syarif, pesantren juga menerima waqaf dari yang lainya seperti dari Hj. Omok. Pada kedatangan awalnya, KH. Kholil telah membawa sekitar lima belas santri.2 Dengan dukungan empat elemen yang disebut di atas, perkembangan Pondok Pesantren Nahdjussalam berkembang pesat, hingga pada tahun 1917 pesantren tersebut telah memiliki elemen dasar pesantren seperti masjid, asrama, dan madrasah. Empat elemen di atas juga menjadikan Pondok Pesantren Nahdjussalam bersifat inklusif terhadap masyarakat. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Nahdjussalam selalu mempunyai delegasi di luar kyai sepuh dan kyai pondok yang didedikasikan untuk membina masyarakat. Dari awal hingga saat ini, pesantren tersebut telah empat kali berganti kyai.                                                              2 Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 
  • 64. 45    Gambar. 1: Lokasi Komplek Pesantren
  • 65. 46    1.1 KH. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan KH. Kholil lahir sekitar 1894 di Kampung Bojong Malati. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Eyang Husen dan Hj. St. Maemunah yang juga merupakan penyiar agama di kampung tersebut. Jika di kejar lebih jauh asal keluarganya, beliau merupakan keturunan ke enam dari Syeh Abdul Muhyi- Tasikmalaya (seorang penyebar Islam di Jawa Barat). Beliau belajar Islam semenjak dini dari orang tuanya yaitu Eyang Husen. Beranjak dewasa ia mengembara keberbagai pesantren di antaranya: Pesantren Kresek Garut, Pesantren Ciharashas, Pesantren Sukamiskin, dan Pesantren Banjar. Keberhasilan pondok pesantren Nahdjussalam yang terus eksis hingga saat ini tidak lepas dari peran sang pendiri. Setelah masa perintisan 1916 – 1917, KH. Kholil mempunyai kesadaran penuh akan pentingnya pembangunan jejaring pesantren di tingkat lokal. Untuk itu KH. Kholil membangun jejaring pesantren dengan cara menikahkan adik-adik beliau dengan para santri terpilih atau tokoh- tokoh setempat yang dianggap mempunyai pengaruh. Diagram. 2 Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil Kh. Husyen Nahrowi + Hj. Siti Maemunah Kh. Kholil Eye + H. . Khosim Siti + H. Kharis H. Sya’diyah + H. Juhro Ket: Dalam diagram tersebut tidak semua keluarga dimasukan Hj. Khuraisin + H. Daman
  • 66. 47    Tokoh-tokoh atau santri terpilih yang dinikahkan dengan adik-adik beliau, menjadi pembantu beliau dalam membina masyarakat dan mereka menempati posisi sebagai kyai langgar. Kyai Pondok Kyai Langgar 1. KH. Kholil 2. KH. Ahmad Tb. Dzajuli 1.H.Daman(Kp. Panyawungan) 2. H. Kharis (Kp. Galumpit) 3. H. Juhro (Kp. Kara) 4. H. Khosim (Kp Bojong Malati) 5. H. Fatah (Kp Panyawungan) Selain kesadaran akan pentingnya jaringan, KH. Kholil juga memakai cara perkawinan dengan pihak donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi. Selain untuk mengikat kekeluargaan hal itu juga dilakukan atas kesadaran pentingnya ekonomi dalam keberlangsungan pondok. Untuk kepentingan ekonomi, KH. Kholil juga terus memperluas tanah hingga tercatat lebih dari 2 hektar tanah yang ia miliki. Selain dari hasil pembelian secara pribadi, pihak keluarga pesantren juga banyak mendapatkan tanah dari imbalan mengatur pembagian waris. Seperti yang diterima oleh KH. Dzajuli dan KH. Syambas ketika membagikan waris keluarga KH. Afandi.
  • 67. 48    Diagram. 3 Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil Bani Affandi Bani Kholil 1 : Kyai Langgar : Lurah (kecuali yang ditandai “1” Drs. Iin Z.A merupakan pejabat RW sekarang.)   Diagram. 4 Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil Ket : Tidak seluruh anggota keluarga disertakan dan tidak berdasar senioritas : Kyai Luar Dearah : Mantan Anggota DPRD : Kyai Langgar Bani Syarif Bani Kholil Setelah jejaring di lokal sudah dirasa cukup kuat, KH. Kholil mencoba untuk membuka jejaring dengan luar daerah, baik dengan pesantren yang sudah berdiri maupun santri terpilih yang berpotensi mampu mendirikan pesantren.