SlideShare a Scribd company logo
“Keluar dari Lingkaran Kegelapan”
Malam itu sunyi senyap. Sesekali dipecahkan kikrikan jangkrik yang tak tau dimana
dia bersembunyi. Mendung hitam menutupi taburan bintang dan rembulan yang sedang
purnama. Kilat tanpa guntur terkadang cukup mengagetkan anak buah-anak buah raja yang
sedang berjaga di seluruh penjuru Kerajaan.
Suasana mencekam menyelimuti Kerajaan Bambo, setelah tadi siang seorang pemuda
imigran dari pulau seberang dibunuh secara kejam. Pemuda itu dibacok dan dimasukkan ke
dalam karung oleh lima orang anak buah Raja Bambo. Tak tau kemana mayat itu akan di
buang.
Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya saat Raja Bambo ke empat digantikan oleh Raja
Bambo ke lima orang asing tak boleh lagi menginjakkan kaki sejengkal pun di tanah
kekuasaan raja. Mereka sangat pandai mengenali orang asing. Entah bagaimana caranya?
Tak seperti biasanya, malam itu tak ada satupun penduduk yang berani keluar.
Mungkin mereka takut dengan anak buah raja yang masih marah. Tapi tidak untuk Galang.
Pemuda berusia delapan belas tahun itu memang suka tantangan dan tak pernah takut dengan
siapapun.
Hampir setiap malam ia berkeliling Kerajaan Bambo ditemani sepeda pemberian
almarhumah ibunya. Setiap pukul 19.00, Galang mulai mengayuh sepedanya ke arah selatan
yang dipenuhi sawah-sawah dan hutan belantara. Semakin ke selatan, hutan semakin lebat
tapi sebaliknya tak ada penjagaan di hutan itu. Mungkin anak buah raja terlalu lemah untuk
menghadapai ketakutan akan isu-isu yang condong ke arah mistis.
Jika ia telah sampai di jalan kecil perbatasan Kerajaan, ia akan membelok kearah barat
laut. Melewati pasar dimana tadi siang terjadi pembunuhan di tempat itu, kemudian melewati
perumahan penduduk yang sangat sepi. Semakin kearah utara pemukiman semakin padat,
penjagaan pun semakin ketat saja.
Di sepanjang jalan menuju kerajaan, banyak ditemui gerombolan anak buah raja.
Mereka berperawakan tinggi besar, kekar dan tatapan mereka yang sangat tajam membuat
orang-orang takut untuk berhadapan apalagi melawan mereka. Pernah beberapa orang
mencoba melawan mereka, tapi tak lama kemudian orang-orang tersebut tewas secara
misterius.
Tapi tak sedikit pun rasa takut itu ada dalam diri Galang. Berkali-kali ia melawan
mereka dan tak jarang Galang dipukuli sampai babak belur. Ada anak buah raja yang
berencana membunuh Galang, Tapi Raja Bambo tidak membolehkanya. Kata Raja, Galang
tak boleh dibunuh karena ia masih dibawah umur 20 tahun.
Anak buahnya betanya-tanya, sejak kapan penduduk dibawah 20 tahun yang berani
melawan tidak boleh dibunuh. Galang pun juga bingung mengapa Raja Bambo berkata seperti
itu. Ia lebih baik dibunuh daripada setiap hari ia harus melihat kenyataan yang tak
berperikemanusiaan. Ada saja berita orang dirampas seluruh harta yang dimilikinya,
dipekerjakan paksa, dipenjara, dibunuh, sampai dihukum gantung.
Galang sudah sampai di jalan depan kerajaan yang menandakan ia telah menempuh
setengah dari perjalanannya. Gerbang kerajaan dijaga sangat ketat saat itu. Galang hanya
lewat saja dan tak menghiraukan ejekan-ejekan mereka.
Sampai di tanjakan tak jauh dari kerajaan Galang merasa ada yang aneh dengan
sepedanya. Ia berhenti untuk memeriksa sepedanya, memang benar ban belakang bocor dan ia
menemukan paku pines yang masih mengkilap menancap. Saat itu ada dua orang anak buah
raja yang sedang lewat, mereka mencoba mengejek Galang.
“Hei.. anak ingusan!! Berani-beraninya kamu keluyuran malam-malam begini,” kata
Pamo sambil menenggak minumanya.
“Hahaha… kan mau jadi pemberani bang,”sahut Reki.
“Aku memang anak ingusan bagi kalian. Tapi kau Pamo, kau lebih dari ingusan
bagiku,” sentak Galang sambil menunjukkan jarinya kearah Pamo.
“Apa katamu? Kau pantas di beri pelajaran!!” bentak Pamo tak terima.
Pyarrrrr…. Suara botol minuman yang ada di genggaman Pamo. Botol itu ia
lemparkan dan menghantam sepeda Galang bagian belakang.
“Sudahlah bang, nanti kalau ketahuan raja repot urusanya. Lagian anak ingusan saja
kau ladeni,” kata Reki sambil memegang tangan Pamo yang akan memukul Galang.
“Jika aku tidak dilarang oleh raja, kau pasti sudah menjadi orang pertama yang harus
aku musnahkan,”kata Pamo sambil menatap tajam mata Galang.
“Oh ya? Kalau aku jadi kalian, Raja Bambo lah yang menjadi orang pertama yang
harus aku musnahkan,” bentak Galang sambil menuntun sepedanya.
“Hati-hati kalau berbicara!” teriak Pamo sambil menahan amarahnya.
Galang tak menghiraukan peringatan itu. Hari sudah terlalu malam untuk
menghiraukan omong kosong itu.
Kekhawatiran Pak Gandi dan Gendis muncul. Jam kecil yang terpasang di dinding
ruang tamu telah menunjukkan pukul 22.07. Galang tak pernah berada di luar rumah selarut
itu. Ia pasti sudah memarkirkan sepedanya tak lebih dari pukul 21.00 dan setelah itu ia tak
keluar lagi.
“Gendis, apa Galang belum pulang?”tanya Pak Gandi kepada anak perempuanya.
“Belum yah, aku khawatir Galang kenapa-napa,”jawab Gendis.
“Ya sudah, ayah akan mencari Galang keluar.”
“Jangan yah, di luar terlalu berbahaya. Tunggu saja sebentar, mungkin Galang masih
di perjalanan.”
“Ya ada benarnya, ayah akan menunggu 15 menit.”
Tok...tok…tok. Pintu rumah Pak Gandi diketuk.
“Itu dia!”kata gendis sambil bergegas menuju pintu.
“Tunggu dulu. Jangan sembarangan kau membukakan pintu malam-malam seperti ini.
Sudah, kamu ke belakang saja siapkan makanan untuk adikmu. Dia pasti kelaparan.”
“Maaf yah.”
“Siapa di luar?” tanya Pak Gandi sambil mengintip dari jendela.
“Sudahlah Gandi! Buka pintunya,”suara berat itu terdengar.
Krett… Pak Gandi membuka pintu untuk tamunya. Sejenak semilir angin malam yang
dingin dan basah menerpa tubuh Pak Gandi saat pintu rumahnya terbuka.
“Hormat kami Raja Bambo, mari masuk!”Pak Gandi mempersilahkan tamunya sambil
menunjuk kea rah sofa.
“Bagus bagus.. Apakah kau sudah tau maksud kedatanganku kemari?”tanya raja.
“Jujur, saya tidak tahu raja.”
“Hahahaha.. Apa kau belum di beri tahu oleh Pamo?”
“Maaf raja, apa masalah pernikahan Gendis?”
“Cerdas… mana anak mu yang cantik itu?”sambil menghembuskan asap rokoknya ke
udara.
“Ada raja, dia di dapur menunggu adiknya.”
“Adiknya? Apa Gendis masih menganggap bocah itu sebagai adiknya?”
“Bagaimanapun juga Galang adik Gendis raja.”
“Terserahlah, ayo kita bicarakan.”
Pak Gandi dan Raja Bambo berbincang-bincang di ruang depan. Gendis yang
mendengar perbincangan mereka. Tak kuat rasanya menahan air matanya, setelah ia
mendengar bahwa seminggu lagi ia akan dipinang raja menjadi istri ke-5.
Dalam hati ia tak mau, tapi mau bagaimana lagi? Ia harus menuruti kata-kata raja. Jika
ia menolak, kemungkinan besar keluarganya akan terancam bahaya. Entah itu dipenjara atau
dibunuh.
Tangan Gendis gemetar saat menungkan teh ke dalam cangkir-cangkir kecil yang akan
dihidangkanya kepada ayah dan calon suaminya. Gendis mengangkat nampan putih dengan
gambar bunga mawar itu ke ruang depan. Ia enggan melangkah. Ia enggan menatap wajah
calon suaminya yang seram itu.
Krett… Pintu depan terbuka. Galang yang membuka pintu itu.
“Beri hormat kepada raja nak,”perintah Pak Gandi kepada anak laki-lakinya itu.
Galang tak menghiraukan perintah ayahnya. Dia berlalu dan menuju kamarnya.
“Galang kau tak makan dulu? Dari siang tadi kakak belum lihat kamu makan,” tanya
Gendis kepada Galang.
“Tidak kak, aku memang lapar tapi tak nafsu makan lagi!” sindir Galang dengan suara
yang lantang.
“Ya sudah, kakak tidak memaksa.”
“Mungkin tamu yang ada di depan sedang lapar kak, kau tawarkan saja padanya!”
Raja mendengar perkataan Galang dan menggebrak meja kayu yang ada di depanya.
Braakk..
“Anak sialan!! Gandi tolong beri pelajaran kepada bocah itu!”seru raja dan bergegas
keluar dari rumah itu.
Mentari mulai keluar dari persembunyianya. Cahayanya yang hangat masuk melalui
celah-celah jendela kamar Galang yang semalam lupa tak di tutup. Suara bebek, kambing dan
burung perkutut milik ayahnya bersahut-sahutan mengadakan konser kecil di pagi hari.
Gendis masih sibuk di kerajaan dapurnya. Semua jenis masakan ia mampu
menguasainya bagaikan kompeni yang menguasai seluruh tanah jajahanya. Semilir angin
membawa aroma sedap ke seluruh penjuru ruangan. Aroma itu membuat Galang terbangun
dari tidurnya.
“Hmm… Kakak masak apa? Harum sekali.”
“Nasi goreng Lang. Kamu baru bangun? Makanya pulang jangan malem-malem.”
“Galaaaang!! Ayah minta bantuan sebentar,”teriak Pak Gandi.
“Iya yah,”jawab galang sambil berlari kecil menghampiri sang ayah.
“Bantu ayah mengikat kayu-kayu ini!”perintah Pak Gandi.
“Siap yah.”
Dengan cekatan Galang mengikat seluruh kayu-kayu kering dan membawanya ke
dapur. Kemudian ia membantu ayahnya menjemur kayu-kayu basah yang didapat dari hutan
kemarin sore. Sarapan pun sudah siap. Pak Gandi dan Galang sudah tak sabar menikmati nasi
goreng dan teh manis buatan Gendis.
“Ayah dan raja tadi malam membicarakan apa?”tanya Galang pada ayahnya.
“Sebelumnya ayah minta maaf nak, ayah tidak meminta persetujuanmu. Dua minggu
lagi kakakmu akan menikah dengan raja,”jawab Pak Gandi.
Galang berlari keluar rumah. Sarapan saja belum sempat ia sentuh. Galang duduk di
serambi depan. Galang sedih mendengar kakaknya akan di nikahi Raja Bambo. Akhirnya apa
yang ia takutkan sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Galang sudah lama berkeinginan keluar dari Kerajaan itu. Bebas dari aturan-aturan
bodoh raja. Tak boleh dikunjungi orang asing, tak boleh keluar dari Kerajaan, tak boleh
berkomunikasi dengan orang luar, menentang berarti penjara atau mati, Raja boleh menikahi
wanita mana saja yang ia inginkan baik istri orang atau wanita yang belum bersuami.
Galang merasa peraturan-peraturan itu tidaklah adil. Peraturan yang diabuat raja
semata-mata hanya menguntungkan raja. Rakyatnya selalu ketakutan, ditindas dan tak pernah
diperhatikan haknya.
Galang bingung harus berbuat apa agar raja tak jadi menikah dengan kakaknya. Tak
bisa dibayangkan kakak iparnya adalah orang yang paling dibencinya. Pak Gandi duduk di
sebelah Galang dan berusaha menghiburnya.
“Aku tak boleh tinggal diam, aku harus berbuat sesuatu,”kata Galang dalam hati.
Galang mengambil sepeda yang diparkirnya di samping rumah, tanpa pamit ia segera
mengayuh sepedanya menuju arah kerajaan.
“Galaaang… kamu mau kemana?”teriak Pak Gandi.
Galang tak menjawab dan terus melangkahkan kakinya sekuat tenaga agar ia cepat
sampai di kerajaan dimana Raja Bambo itu berada. Galang tak lagi menganggap tempat itu
sebagai sebuah kerajaan melainkan markas besar penjahat.
Dari kejauhan tampak beberapa orang penjaga gerbang yang asik bermain kartu dan
menenggak minuman keras. Penjaga-penjaga markas besar yang benar-benar payah pikir
Galang. Orang yang tak berpendidikan semakin rusak dengan minuman-minuman yang tak
berguna itu. Jika saja rajanya cerdas, tidak mungkin orang-orang seperti mereka akan
dipekerjakan. Tanpa pikir panjang Galang masuk ke halaman bangunan yang disebut
penduduk dengan kerajaan itu.
“Hei Raja…. Aku ingin berbicara denganmu!!”teriak Galang.
“Heh kamu!! Berani-beraninya nyelonong,”bentak seorang anak buah.
“Aku tak berurusan denganmu! Lagian gerbang depan tidak ada yang jaga,”bentak
Galang pula.
Tak berapa lama Raja Bambo menampakkan tubuhnya yang tinggi besar.
“Hahahaha… Ada apa calon adik iparku?”tanya raja.
“Aku tak akan sudi menjadi adik iparmu. Pernikahan ini tak akan pernah terjadi
selama aku masih bernafas. Aku yakin apa yang kau beritakan kepada rakyatmu soal nasib
wanita-wanita yang kau nikahi itu tidak benar dan aku tak akan pernah membiarkan kakak ku
menjadi salah satu dari mereka.”
“Tahu apa kau bocah! Istri-istriku saat ini ada di dalam kerajaan. Mereka hidup enak
di kerajaan dan kau tak usah khawatir dengan nasib kakakmu nanti.”
“Di dalam kerajaan, di bagian kerajaan yang mana kau menempatkan mereka? Di
penjara bawah tanahmu bukan?”
“Omong kosong. Pergilah dari sini, sebelum kau membuat keributan.”
“Raja macam apa kau ini? Ngomong saja kalau kau takut,”kata Galang yang tubuhnya
tiba-tiba diseret keluar kerajaan.
Galang sangat sedih dan menyesal jika kakaknya benar-benar menjadi istri dari Raja
Bambo. Karena Galang yakin, istri-istri raja mengalami penderitaan. Tak ada satupun
penduduk yang pernah melihat istri-istri raja keluar kerajaan. Keluarga mereka hanya
menerima kabar lewat surat yang sesekali diantar oleh anak buah raja. Entah surat itu
membawa kabar yang benar atau hanya kebohongan raja saja. Hal ini terasa aneh, jika saja
mereka hidup enak mereka pasti menyempatkan diri pergi keluar kerajaan untuk sekedar
mencari angin segar. Seakan-akan mereka dikurung di dalam kerajaan dan Galang yakin ada
yang ditutup-tutupi.
Kaki-kaki Galang yang kuat, kini terasa lemas. Hembusan angin yang menyentuh kulit
Galang terasa seperti terpaan badai. Ingin sekali meneteskan air mata untuk mengobati sesak
di dada, tapi air mata hanya membuat Galang semakin lemah.
Ayah Galang telah menunggu kedatanganya di serambi rumah. Lelaki paruh baya
yang duduk di kursi kayu beranyamkan rotan itu menyambut kedatangan putranya dengan
kebungkaman. Tak ada satupun kata yang terucap. Hanya pandangan mata penuh harapan
yang ada. Harapan bahwa Galang akan membawa kabar baik akan tetapi detik demi detik
berlalu kabar itu tak juga terucap dari mulut Galang.
“Ayah tahu persaan mu nak. Sesungguhnya ayah juga tidak rela kakakmu menikah
dengan raja. Tapi kita tak punya daya untuk melawan raja. Sudah ikhlaskan saja kakakmu
untuk menjadi istri raja.”
“Tidak yah, aku tidak bisa mengikhlaskan kakak untuk si raja itu. Toh kalau aku bisa
ikhlas, apa kakak bisa mengikhlaskan dirinya untuk raja itu?”
“Tidak, sejujurnya aku tidak ikhlas,”Gendis menyahut pembicaraan Galang dan
ayahnya.
“Ayah sudah mendengarnya kan? Kita tidak boleh tinggal diam, secepatnya kita akan
meninggalkan Kerajaan ini.”
“Bagaimana caranya? Kau bisa melawan seluruh anak buah raja itu? Jangan terlalu
berambisi kamu, nak!”
“Mereka hanya orang-orang berotot yang tak berotak yah, walaupun kita kalah kuat
kita tidak kalah pintar. Nanti akan kucoba untuk memikirkanya.”
Galang meninggalkan ayah dan kakaknya yang masih duduk di serambi rumah. Nasi
goreng di atas meja makan tak lagi terlihat asapnya, tanda nasi goreng itu telah dingin. Tapi
bukan masalah bagi Galang. Apa pun yang dihidangkan tetap ia santap demi perutnya yang
hampa karena semalam tak ada makanan yang masuk. Jujur saja gengsinya terhadap raja tadi
malam membuat ia menahan lapar semalaman dan untung saja ia masih bisa tidur.
Teringat ban sepedanya yang bocor tadi malam akibat menginjak paku yang mungkin
saja paku-paku itu disebar oleh anak buah-anak buah raja yang berniat mencelakai Galang. Ia
segera mengambil peralatan tambal di gudang dan menambal ban sepedanya. Ternyata tak
hanya satu satu paku yang menancap. Benar-benar sengaja katanya dalam hati. Terpaksa ia
harus mengganti ban dalamnya.
“Ayah, aku mau beli ban dalam dulu,”Galang berpamitan.
“Ban dalam? Ayah rasa ban dalam mu belum lama diganti. Cepat sekali rusaknya.”
“Mungkin kualitasnya rendah yah. Galang keluar dulu yah.”
“Ya hati-hati!”
Galang tak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Pasti ayahnnya akan marah jika
ayahnya tahu bahwa ia sering di ganggu oleh anak buah raja. Tentunya ia tak diizinkan lagi
untuk berkeliling desa malam-malam.
Di tengah perjalanan, Galang bertemu dengan temanya yang bernama Adi. Adi adalah
seorang anak dari salah satu anak buah raja. Adi tak pernah berusaha untuk menjauhi Galang
yang selalu dianggap anak berbahaya.
“Galang tunggu!”
“Ada apa Di?”
“Kudengar kakakmu akan menikah dengan raja, apa benar Lang?”
“Ya rencananya. Tapi kenyataanya tak akan pernah terjadi. Aku tak akan pernah
membiarkan kakak ku menikah dengan raja. Aku akan membawa kakak dan ayahku pergi
dari tempat ini, sesulit apa pun itu pasti aku bisa melakukanya. Apa kau akan terima jika
kakak iparmu adalah musuhmu sendiri?”
“Jelas tidak Lang, aku mendukung mu. Tapi bagaimana caranya kau bisa membawa
keluargamu pergi? Bukanya di perbatasan penjagaan sangat ketat?”
“Tak semua perbatasan dijaga ketat Di. Kau tahu perbatasan di selatan selalu lupt dari
penjagaan. Menurutku anak buah raja yang bertugas di sana telah berkhianat dengan rajanya.
Mereka akan berbondong-bondong menuju selatan dan tak pernah sampai di perbatasan.
Mereka takut masuk hutan dan berjaga di jalan-jalan menuju hutan saja. Setelah itu mereka
akan lapor ke rajanya bahwa perbatasan selatan telah dijaga ketat. Kemudian raja akan
memuji anak buahnya yang ia anggap pemberani. Jika saja raja itu cerdas, ia akan pergi ke
selatan dan memastikanya.”
“Baru tahu aku. Tapi menurutku raja itu penakut Lang. Jadi ia tak pernah menuju
selatan dan memastikan keadaan di perbatasan selatan. Ngomong-ngomong kamu dapat
informasi darimana Lang?”
“Ya ya kamu benar Di, mungkin raja itu penakut. Kalau informasi itu hasil dari aku
selalu keluyuran malam-malam Di,”jawab Galang sambil menahan tawanya setelah
mendengar kata-kata Adi.
“Ya sudah Lang, aku pulang dulu. Nanti kalau ayah melihat aku berbincang-bincang
denganmu, bisa-bisa aku di pecat sebagai anaknya.”
“Sampai jumpa Di.”
Sampai di toko Galang merasa aneh dengan tatapan para pengunjung toko tersebut.
Mereka menatap Galang dengan remeh. Tapi Galang tak terlalu memperhatikanya.
“Ada dua kemungkinan mereka menatap dirinya seperti itu. Bisa saja mereka telah
mendengar kabar bahwa ia akan menjadi ipar dari raja atau bisa juga mereka adalah
penggemar,” kata Galang dalam hati.
“Bang, kok orang-orang pada aneh ya?”tanya Galang kepada penjaga toko.
“Maaf ya Lang, kayaknya mereka udah pada denger isu kalau kakakmu mau nikah
sama raja. Emang bener?”
“Rencananya seperti itu, tapi aku tidak setuju bang.”
“Bener kamu Lang. Kalau aku jadi kamu, aku gak setuju. Tapi kita tidak bisa menolak
permintaan raja Lang. Setuju gak setuju ujung-ujungnya harus tetap setuju.”
“Iya bang, tapi aku akan berusaha agar pernikahan itu tidak menjadi kenyataan. Ya
sudah bang, ini uangnya.”
“Berani sekali kamu, tapi hati-hati Lang. Orang-orang sepertimu hanya sedikit di desa
ini. Sebaliknya orang-orang yang membela raja sangatlah banyak.”
“Terimakasih bang, aku pulang dulu.”
“Sama-sama. Hati-hati dijalan.”
Ternyata ada orang-orang penduduk desa ini yang tidak setuju dengan raja. Sayangnya
hanya sedikit dari mereka yang memiliki keberanian besar. Memang minoritas di desa ini tak
terlalu diperhatikan. Pendapat yang membela mayoritas pasti sangat diperhatikan oleh raja.
Pendapat yang membela minoritas tak akan bertahan lama. Siapa berani menentang raja
berarti memperpendek umur. Jadi mereka yang merupakan kelompok minoritas hanya bisa
menggerutu, menahan sesak di dada dan menganggukan kepala di depan kelompok mayoritas
walaupun di belakang, mereka menggelengkan kepala sambil menunduk menyesal.
Sampai di rumah, Galang meneruskan pekerjaanya memperbaiki ban sepedanya.
Supaya nanti malam ia bisa berkeliling desa seperti biasanya. Mengamati keadaan desa dari
ujung selatan sampai ujung utara dan mendapatkan informasi penting untuk mencari celah
untuk pergi dari desa itu.
Rumah Galang sangat sepi, mungkin saja ayah sedang pergi ke sawah dan kakaknya
sedang bekerja di belakang rumah. Galang membuka pintu depan dan ternyata pintu itu
terkunci.
“Tak seperti biasanya, jika ada orang di rumah tak mungkin pintu dikunci,”katanya.
Galang berlari ke belakang rumah dan hanya ada kayu-kayu yang tadi pagi ia jemur
bersama ayahnya. Kemana ayah dan kakak Galang pergi? Galang mencoba mencari mereka
di sawah, tapi mereka tak di sana. Galang bertanya kepada tetangga-tetangganya, mereka juga
tak tahu ayah dan kakaknya pergi. Sampai Galang bertemu dengan Pamo dan Reki yang
selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi.
“Galang, apa kau sedang mencari ayah dan kakakmu?”tanya Pamo.
“Iya,”jawab Galang singkat.
“Aku tau dimana ayah dan kakakmu sekarang.”kata Pamo sambil menyulut rokoknya.
“Dimana? Dimana mereka, jangan coba-coba menyakiti mereka,”bentak Galang
sambil menatap Pamo dan Reki.
“Santai saja kamu ini. Mereka sedang menjadi tamu raja.”
Galang berlari menyusul ayah dan kakaknya ke kerajaan. Ia khawatir hal-hal yang
tidak diinginkan akan menimpa ayah dan kakaknya. Gerbang kerajaan tak di jaga dan ia
segera masuk ke ruang tamu yang begitu besar dan megah itu.
Dilihatnya raja yang duduk di singgasana dihadapanya ada 6 orang wanita yang dulu
ia kenal sebagai penduduk dan sekarang telah menjadi istri raja. Mereka memakai gaun-gaun
yang terlihat seperti gaun sirkus kun. Tubuh mereka yang sangat kecil dan kurus seperti tidak
pernah makan. Sebenarnya apa yang dilakukan raja terhadap mereka. Kakak dan ayahnya
yang duduk di kursi terkejut melihat Galang masuk ke ruangan itu.
“Selamat datang calon adik iparku di istana megah ini,”sambut raja.
“Ayo kita pergi dari sini,”ajak Galang sambil menggandeng tangan ayah dan
kakaknya dan sama sekali tak menghiraukan sambutan raja.
“Hei anak muda, jangan terburu-buru pergi. Minumlah dulu dan nikmati makanan
yang telah aku hidangkan.”
“Tak usah sok perhatian, aku tak butuh minuman-minuman seperti itu dan makanan-
makanan yang di dapat dari cara yang tidak diperbolehkan oleh agama. Aku mau bertanya,
apa mereka adalah wanita-wanita yang dulu kamu nikahi?”
“Ya benar, apa kau tidak bahagia jika kau melihat kakakmu itu memakai pakaian-
pakaian cantik yang aku berikan dan tinggal di istana yang megah ini? Sudahlah biarkan
kakakmu itu menikah denganku, diluar sana tidak ada laki-laki yang bisa memberikan lebih
dari apa yang akan aku berikan kepada kakakmu.”
“Tidak, aku tidak akan pernah bahagia dan tidak akan pernah setuju dengan omong
kosongmu itu. Bahkan sekarang aku sedih melihat enam istrimu itu. Katamu mereka hidup
enak dan kau berikan gaun-gaun yang indah. Sekarang cermati saja, mereka seperti pemain
sirkus yang menggenakan pakaian berwarna warni dan kurus kering seperti tak pernah makan
saja. Orang buta seni saja tahu kalau pakaian itu bukanlah pakaian yang cantik, melainkan
pakaian sirkus yang sangatlah kuno. Apa yang ku katakan ini benar? Sebenarnya aku tak
perlu bertanya seperti itu, karena aku tahu kau sangat pandai menutupi kebohonganmu. ”
“Sudah Lang, kalau raja marah bagaimana?”kata Gendis.
“Pergi dari istanaku!”bentak raja geram.
Galang, Pak Gandi dan Gendis pulang dengan perasaan lega bisa keluar dari istana itu.
Tiba-tiba Gendis jatuh pingsan, Pak Gandi dan Galang pun membopong Gendis menuju
sebuah gardu yang tak jauh dari kerajaan. Pak Gandi bercerita bahwa tadi Gendis
memaksakan diri untuk meminum air yang telah dihidangkan raja. Gendis tak mau kalau ia
dan ayahnya dianggap tidak menghargai raja.
Dahulu minuman-minuman yang dihidangkan di kerajaan adalah minuman yang halal
dan sehat. Tapi semua sudah berubah, budaya minuman keras yang tak pantas dibawa oleh
raja dan akhirnya merambah ke penduduk yang berada di kerajaan itu. Perdagangan minuman
keras dibebaskan dan produksinya pun sangat didukung oleh raja.
Tapi Galang tahu bahwa minuman itu dilarang dan tidak baik untuk kesehatanya.
Maka dari itu ia tak pernah mencoba untuk menyentuh atau mencicipi minuman tersebut.
Pernah ia mencoba untuk menghimbau teman-temanya tapi himbauan itu tak pernah
dihiraukan. Minuman itu tak hanya meracuni tubuh mereka tapi pikiran mereka pun kini
dibawah kendali minuman itu.
Gendis bangun dan Galang menggendong kakaknya karena ia tak tega membiarkan
kakaknya berjalan sampai rumah dengan keadaan seperti itu. Galang sangat sayang terhadap
keluarganya dan selalu berusaha untuk melindungi mereka. Ia tak akan membiarkan mereka
hidup dalam kesengsaraan.
Galang mengantarkan Gendis ke kamarnya yang sesekali masih berjalan
sempoyongan. Pak Gandi membuat teh hangat untuk mereka bertiga.
“Galang biaran kakakmu beristirahat. Ayo kita ke ruang depan, ayah ingin berbicara
denganmu.”
Galang mengikuti langkah ayahnya menuju ruang tamu. Pak Gandi menasihati Galang
untuk tidak terlalau ambisius untuk melawan raja. Hal itu terlalu berbahaya dan Galang perlu
menyusun strategi untuk keluar dari tempat itu.
“Yah, bagaimana kalau kita pergi nanti malam. Kegelapan kan mempermudah kita
untuk bergerak dan mereka tidak akan melihat kita jika kita berusaha untuk hati-hati. Kita
akan berjalan ke selatan melalui sawah dan masuk ke hutan yah. Kujamin perbatasan selatan
tak ada yang menjaga. Selanjutnya kita akan menumpang kendaraan yang lewat di jalan
pinggir kota. Kita lanjutkan perjalanan menuju pusat kota dan beristirahat untuk sementara,
mereka akan kesulitan mengenali jejak kita yah. Tolong ayah siapkan perlengkapan yang kita
butuhkan selama perjalanan. Bangunkan kak Gendis dan aku akan pergi ke hutan sekarang
juga untuk memastikan keadaan disana aman.”
“Ya, ayah setuju saja denganmu.”
Galang mengayuh sepedanya menuju hutan dan ia berharap tak ada anak buah raja
yang melihatnya. Hutan itu sangat gelap, sepi dan menyeramkan, penjagaan pun tidak ada.
Sampai di perbatasan ada jalan besar beraspal menuju pusat kota Sesekali truk angkutan
barang lewat di jalan itu.
Galang pulang karena hari sudah petang, ayah dan kakaknya sudah menunggunya
dirumah. Sialnya anak buah raja sudah mulai berjaga di depan hutan. Ia tak mungkin
melewati jalan itu, mereka pasti akan curiga dengan kedatangan Galang dari selatan. Galang
kembali ke dalam hutan dan menyembunyikan sepedanya di balik semak-semak. Galang
pulang jalan kaki melewati sawah dan terus berjalan ke utara.
“Mana sepedamu Lang?”tanya Pak Gandi.
“Aku sembunyikan di hutan. Mereka sudah mulai berjaga di jalan-jalan menuju hutan.
Ayo kita makan dulu saja, agar nanti malam kta tidak kelaparan. Apa kakak sudah bangun
yah?”
“Sudah, dia baru mempersiapkan bekal.”
Malam itu juga mereka akan pergi, bekal yang telah dipersiapkan di bungkus dalam
kain persegi berwarna hitam. Tak lupa Galang membawa sebuah pistol dan Pak Gandi
membawa sebuah pisau lipat. Pukul 22.00 mereka memulai pelarian, pertama mereka masuk
ke sawah. Semakin ke selatan penjagaan semakin ketat.
“Cepat! Cepat!”bisik Galang.
Terkadang mereka bertiga merangkak agar tak dikenali oleh anak buah raja. Suara
langkah kaki mereka selalu diperhatikan oleh Galang. Jika terdengar sangat dekat mereka
akan berhenti. Galang berada di depan dan ayahnya berada di paling belakang. Galang akan
mengintip dan memastikan keadaan. Barulah ayah dan Gendis menyusul dibelakangnya.
“Sebentar, mereka masih memperhatikan tempat ini.”
Seorang anak buah raja melangkah di pematang sawah. Ia curiga dengan sebuah
rimbunan padi yang bergerak-gerak tanpa ada angin yang berhembus kencang. Ia namak
seperti singa yang sedang melirik mengsanya.
“Hei siapa disana?”teriaknya sambil turun ke sawah itu.
Dada Galang terasa sangat sesak dan detak jantungnya berdegup sangat kencang.
Keringat dingin pun bercucuran, ia memberanikan diri untuk menggenggam pistol yang
dibawanya. Gendis menggenggam erat tangan ayahnya yang sangat dingin.
“Galang jangan memakai pistol, suaranya terlalu keras. Pakai saja ini.”bisik Pak
Gandi sambil mengeluarkan sebuah pisau lipat.
Galang mengangguk dan tiba-tiba ia melompat ke arah anak buah raja itu dan
membungkam mulutnya dengan tanga. Terjadi peperangan kecil saat itu. Anak buah raja telah
mengganggam sebuah pisau yang mengkilap, ia mencoba mengayunka pisaunya kea rah
Galang.
“Dasar anak sialan!”kata anak buah raja.
Sraaat… Darah mengucur dari lengan Galang yang tergores pisau anak buah raja itu.
Benar-benar perih rasanya tapi luka dihatinya lebih perih daripada luka di lenganya itu.
Semangat untuk keluar dari tempat itu yang membuat Galang tetap melawan.
“Haha rasakan itu.”
Jrut.. Kali ini Galang berhasil, ia menusuk perut anak buah itu. Sebenarnya ada
penyesalan dalam hatinya. Ia telah mengotori tanganya dengan sebuah pembunuhan. Galang
memanggil ayah dan kakaknya karena mereka tak punya banyak waktu. Dalam hitungan
menit anakbuah raja yang lain akan tahu yang sebenarnya terjadi.
“Ayo yah cepat. Mereka sudah mendekat.”
Sesosok tubuh tinggi besar terlihat di balik bambu-bambu di pinggir jalan.
Kehadiranya sangat terasa, sorot cahaya lampu terhalang oleh langkah-langkah kakinya.
Galang tetap melanjutkan pelarianya. Nafas mereka tersenggal-senggal, kaki-kaki yang penuh
lumpur membuat mereka sangat berhati-hati. Galang dua orang anak buah raja yang berjaga
di pinggir jalan. Mereka menggunakan senter untuk menerangi area sekitar sawah. Galang
menyeret ayah dan kakaknya untuk bersembunyi di balik pohon.
“Apa yang terjadi di sana? B ke satu.”tanya seorang anak buah raja kepada temanya.
“Aku belum tahu. M ke tiga.”jawab temanya.
Galang memperhatikan percakapan mereka. Ada kata-kata yang aneh yang masuk ke
telinganya. Seperti kata-kata bermakna yang mereka gunakan. Galang baru tahu, kata-kata itu
adalah sandi yang mereka gunakan jika mereka tak melihat secara jelas siapa yang mereka
ajak bicara. Malam-malam yang sangat gelap pastinya sulit untuk mengenali siapa yang ada
di dekatnya. Pantas saja anak buah raja yang dibunuh olah Galang curiga. Jika Galang
menyerukan sandi-sandi tersebut, pasti anak buah raja tidak akan berusaha mendekat dan
mencari tahu siapa yang bersembunyi.
Keadaan sudah aman, mereka bertiga kembali melangkah menuju hutan. Semakin ke
selatan penjagaan semakin sepi. Tapi mereka tak boleh buang-buang waktu. Jika anak buah
itu tahu mereka lari dari tempat itu, mereka pasti akan dikejar ke selatan.
Benar saja, segerombolah anak buah raja telah dikirim ke selatan untuk mengejar
Galang dan keluarganya. Sesampinya di hutan, perjalanan semakin sulit saja. Daun-daun yang
berserakan ditanah akan mempersulit mereka untuk bergerak. Saat itu sekitar pukul 01.00.
Kehadiran embun pagi mulai terasa.
Mereka hampir mencapai perbatasan. Deru kendaraan bermotor mulai terdengar. Tak
disangka ada dua orang anak buah raja yang sedang berjaga. Mereka tak boleh bersuara, jika
mereka tak mau orang-orang itu mengetahui eberadaan mereka.
Krak… Gendis menginjak dahan pohon yang kering. Galang melihat, seorang anak
raja menatap kearah sumber suara.
“B ke satu.”Galang memberanikan diri unutk mengucap kata-kata itu.
“M ke tiga.”jawab orang itu.
Galang mulai menggunakan fungsi sandi-sandi itu. Dilihatnya orang yang telah
menjawab sandinya pergi menjauh dari tempat itu. Jalan raya mungkin 200 meter lagi.
Mereka harus bergerak cepat karena hari semakin terang, truk-truk pun mulai terlihat lalu-
lalang di jalan raya. Sampai di sana, Pak Gandi, Galang dan Gendis menumpang sebuah truk
yang mengangkut beras.
“Hei pak, berhantilah. Bolahkah kami menumpang.”
“Boleh nak. Masuk ke belakang.”
Mereka bertiga bergegas naik ke atas truk yang cukup tinggi itu. Gendis pun terlihat
kesulitan menaikinya. Sesak di dada mereka kini terasa lega. Mereka kini bisa tersenyum
bahagia karena bisa keluar dari tempat yang penuh dengan kebodohan itu.
Perjalanan menuju pusat kota masih sangat panjang. Mereka tertidur lelap di atas
tumpukan karung-karung beras. Mungkin mereka kecapekan setelah semalaman berlari,
terjatuh dan berada dalam suasana yang sangat menegangkan yang belum pernah mereka
alami. Tak terasa mereka telah menumpang truk tersebut selama empat jam. Mereka
terbangun dengan suara-suara ramai khas perkotaan. Galang bangun dan menghapus air
matanya. Ia sangat senang apa yang ia impikan saat itu terwujud. Truk yang mereka tumpangi
telah sampai di tujuanya, yaitu pasar kota.
“Maaf, saya hanya sampai sini. Apa kalian ini penduduk baru di kota ini?”tanya sopir
truk itu.
“Iya, kami baru saja pindah.”jawab Galang.
“Oh begitu, kalau kalian mau mencari tempat tinggal. Kalian bisa mencari kendaraan
umum. Di daerah Sande banyak tempat tinggal yang mungkin cocok untuk pendatang seperti
kalian.”
“Terimakasih, saya berhutang budi dengan Anda.”
“Ya, sama-sama.”
Pak Gandi, Galang dan Gendis menuju Sande dengan sebuah bus. Memang benar
disana banyak rumah kecil yang disewakan. Galang suka dengan daerah itu, penduduknya
ramah walaupun mereka terlihat sangatlah sibuk. Ada yang bekerja, sekolah, bermain dengan
teman, olahraga dan masih banyak lagi aktivitas-aktivitas yang Galang lihat.
Mereka menyewa sebuah rumah kecil berwarna coklat di tengah-tengah komplek.
Sepertinya rumah itu belum lama ditinggal oleh penyewanya. Perabot rumah masih terlihat
bersih dan tertata rapi. Galang tak canggung untuk keluar rumah dan menghampiri tetangga
barunya.
“Hai… Aku Galang. Senang bisa bertemu dengn kalian.”
“Hai Galang, Aku Ardi, darimana kamu pindah?”
“Eeee.. dari kota sebelah.”Galang agak ragu menjawabnya.
“Oh begitu. Mengapa kamu pindah kesini?”
“Aku dan keluargaku tak betah berada di rumahku yang lama. Jadi kami memutuskan
untuk pindah ke daerah ini.”
“Ya, aku dan keluargaku dulu juga begitu. Galang aku pamit dulu, ada latihan basket
sore ini.”
“Basket? Bolehkan aku ikut denganmu?”
“Boleh saja. Mari ikut aku.”
Akhirnya Galang bisa bermain-main dengan teman sebayanya. Sebelumnya ia tak
punya teman mungkin hanya Adi satu-satunya teman Galang yang sangat setia denganya.
Tapi ia masih asing dengan olahraga basket. Maklum di tempat ia tinggal dulu tak ada yang
namanya olahraga basket. Bahkan olahraga sudah dilupakan penduduk mereka lebih suka
berkumpul, bermain kartu, judi dan minum minuman keras.
Hari sudah petang, saatnya latihan itu diakhiri dan kembali ke rumah masing-masing.
Galang berjalan menuju rumahnya bersama Ardi, mereka sangat akrab seperti sahabat lama
padahal mereka baru kenal beberapa jam saja.
Tok tok tok… Galang mengetuk pintu rumah barunya. Gendis membukakan pintu
dengan rasa lega karena adiknya pulang dengan selamat.
“Darimana saja kamu Lang, aku dan ayah sudah khawatir. Dari tadi sore tidak pulang-
pulang.”
“Tak usah khawatir kak, aku hanya bermain dengan Ardi tetangga kita dan melihat
latihan basket.”
“Galang ingat, kita harus berhati-hati jangan terlalu lama berada di tempat umum.
Kalau suruhan raja mengejar kita sampai kota ini bagaimana?”kata Pak Gandi.
“Iya yah, Galang terlalu senang dengan kehadiran teman-teman baruku.”
Esok harinya, Pak Gandi dan Gendis pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan
dan peralatan-peralatan lainya. Suasana pasar sangat ramai saat itu, Pak Gandi pergi ke toko
peralatan dan Gendis mencari bahan-bahan makanan. Mereka tak boleh lama-lama di pasar,
bisa saja anak buah raja menari keberadaan mereka sampain kota itu.
Gendis sangat senang bisa pergi ke pasar walaupun ia tak bisa berlama-lama disana.
Biasanya ia tak berani keluar apalagi sampai di tempat umum seperti ini. Pedagang di pasar
yang sangat ramah membuat Gendis betah dan begitu menikmati suasana pasar.
Tiba-tiba kesibukan pasar di kejutkan dengan keributan di dekat toko pecah belah, ada
seorang lelaki yang tergeletak tak bernyawa bersimbah darah. Gendis menahan tangisnya,
jangan sampai laki-laki itu adalah ayahnya.
“Bu, siapa laki-laki itu bu?”tanya Gendis kepada seorang ibu paruh baya yang baru
saja keluar dari kerumunan.
“Saya tidak tahu nak, sepertinya dia orang baru disini. Baru sekali ini ibu melihatnya.”
“Siapa bu yang membunuhnya?”
“Ibu juga tidak tahu siapa pembunuhnya, ia berlari begitu cepat nak. Mengapa kau
begitu pucat seperti itu? Apa kau kenal dengan lelaki itu?”
“Tidak bu. Saya hanya takut dengan darah. Jadi muka saya pucat seperti ini.”
“Ya sudah, jangan mencoba mendekat kalu kamu takut.”
Gendis segera berlari menuju jalan dan bergegas untuk pulang dan menceritakan
semua yang telah terjadi. Gendis ketakutan, jangan sampai langkahnya di ikuti oleh anak buah
raja. Adiknya pasti sangat sedih dan terpukul jika mendengar ceritanya.
Tok tok tok…
“Galang, cepat bukakan pintu.”
“Mana ayah kak?”
“Semoga ini tak benar, aku tadi berpisah dengan ayah. Aku membeli sayur-sayuran
dan ayah membeli peralatan. Saat aku membeli sayur, banyak orang berkerumun di depan
toko pecah belah. Mereka menemukan seorang laki-laki yang sudah tak bernyawa lagi. Aku
berfikir itu ayah, tapi aku sangat berharap itu bukan ayah. Aku ketakutan dan aku
memutusakn untuk pergi dari pasar. Aku sangat berhati-hati saat pulang tadi, aku takut ada
yang mengikuti di belakangku.”
“Aku akan mencari informasi, kakak dirumah saja. Kunci pintu!”
Hati Gendis mulai tenang, sekarang ia merasa lebih aman berada di dalam rumah.
Tapi ia masih penasaran dengan orang yang dibunuh di pasar tadi. Gendis belum rela jika
orang itu adalah ayahnya. Jika memang benar orang itu ayahnya, ia juga tak bisa berbuat apa-
apa.
Brak… Pintu depan di dobrak oleh seorang laki-laki. Gendis mengenali laki-laki itu,
dia Pamo si anak buah andalan raja. Tangannya yang gemuk masih berlumur darah segar
yang telah kering. Gendis mencoba untuk lari lewat pintu belakang. Orang itu mengejar
Gendis dan Gendis pun tertangkap.
“Tak usah lari kau!”
“Lepaskan. Jangan bunuh aku.”
“Tidak, tenang saja aku tak akan membunuhmu. Tapi nanti, jika sudah sampai
kerajaan, kuhabisi nyawamu. Katakana dimana adikmu?”
“Aku tak tau, entah dia pergi kemana.”
“Ya sudah, dia tak terlalu penting bagiku. Kau jangan mencoba melawanku!”kata
Pamo sambil membungkam mulut Gendis.
Parr… Pamo menampar Gendis samapi ia pingsan. Pamo mengeluarkan sebuah
karung dari dalam jaket hitamnya. Nampaknya karung itu telah dipersiapkan sebelum ia pergi
ke tempat itu. Ia masukkan Gendis ke dalam karung tersebut dan membawanya pergi. Tak
lupa ia melemparkan selembar kertas ke ruang tamu sebagai tanda pamit kepada penghuni
rumah yang masih tersisa.
Galang terkejut saat ia melihat pintu rumahnya terbuka dan tak ada orang yang berada
di rumahnya. Kakaknya tak ada di rumah itu hanya ada selembar kertas yang ada di ruang
tamu. Galang mengambil kertas tersebut dan membacanya.
GENDIS MASIH ADA.
TAPI TAK TAHU BERAPA JAM LAGI.
AKU YANG MEMBACOK AYAHMU.
HATI-HATI NAK!
Satu masalah belum selesai satu masalah lagi datang. Galang berlari ke luar dan
mencoba mengejar kakaknya ke stasiun. Pasti ia pergi menggunakan kereta api. Tak mungkin
ia akan berjalan sejauh 100 kilometer. Benar saja, ia melihat seorang laki-laki membawa
karung besar menaiki sebuah kereta kelas ekonomi yang melaju sangat cepat. Percuma saja,
secepat apapun Galang berlari tak akan melampaui kecepatan kereta listrik itu.
Galang hanya bisa menangis tertunduk lesu melihat kenyataan yang begitu
menyakitkan. Ia menyesal mengapa ia pergi keluar rumah hanya untuk memastikan orang
yang telah tak bernyawa dan meninggalkan kakaknya tinggal dirumah sendirian. Galang
merasa di bodohi oleh musuh-musuhnya.
Galang pulang dan mengambil sisa-sisa perbekalan yang dibawa kakaknya kemarin. Ia
akan pergi dari kota tersebut sebelum mereka datang lagi untuk menghabisinya. Galang
kembali ke stasiun dan menumpang sebuah kereta untuk pergi ke pelabuhan. Ia belum merasa
aman jika belum menyebrang laut dan tinggal di pulau yang berbeda.
Galang menyewa sebuah kamar kos tak jauh dari pelabuhan. Persediaan uang yang
ada terus berkurang, jika ia tak bekerja mungkin ia tak bisa bertahan hidup. Galang pergi ke
pelabuhan dan mencoba mencari pekerjaan di sana. Tak banyak yang bisa ia kerjakan, ia
hanya membantu mengangkat barang-barang penumpang menuju angkutan yang telah
menunggu. Uang-uang koin ia dapatkan dari jasa angkat barang. Tak begitu ia
permasalahkan, asalkan halal apapun ia kerjakan.
Berhari-hari Galang menjalani kehidupanya sebagai kuli angkut barang. Ia hidup
sebatang kara, tak ada ayah ataupun kakaknya. Ia tak tahu lagi bagaimana keadaan kakaknya
saat ini. Benar-benar kejam Raja Bambo itu. Sebenarnya yang membawa mereka pergi adalah
Galang, tapi mengapa ayah dan kakaknya yang terkena akibatnya.
“Koran koran, Koran koran. Koran mas!”
“Ya, satu pak.”
Koran yang ia genggam mungkin akan sedikit menghiburnya yang haus akan
informasi-informasi terbaru. Ia buka halaman demi halaman. Berita, artikel iklan-iklan pun ia
baca. Sampai ia menemukan sebuah pengumuman pencarian orang. Ada foto hitam putih di
atas tulisan data orang tersebut. Sepertinya Galang mengenali orang itu, sangat kenal. Foto
hitam putih itu taka sing baginya, ia mencoba mengingat-ingat siapa yang ada di foto tersebut.
“Raja,”katanya.
Galang mengenali orang yang berada di foto tersebut yaitu Raja Bambo. Tapi
mengapa namanya berbeda? Raja Bambo bernama Herisman tapi yang tertulis di Koran
tersebut adalah Heru alias Widi. Ia tak tahu mengapa ia menjadi salah satu orang yang dicari
kepolisian. Pastinya ia bukanlah orang yang baik, mungkin saja ia penjahat atau perampok.
Tak ada salahnya ia mendatangi kepolisian untuk memastikannya.
Sampai di kantor polisi Galang mengutarakan maksud kedatanganya. Ia mengenal
orang yang berada dalam foto tersebut tapi ia asing dengan namanya.
“Begini pak, sepertinya saya mengenal orang yang barada di foto ini. Tapi namanya
berbeda, setahu saya orang ini bernama Herisman.”
“Adik tahu sendiri seorang penjahat memiliki banyak nama. Coba adik lihat foto ini,
mungkin lebih jelas.”
“Ya benar. Orang ini telah membunuh ayah saya dan menculik kakak saya pak.”
“Kalau begitu mari ikut saya.”
Galang mengikuti langkah polisi itu menuju mobil yang terparkir di depan gedung. Ia
masuk ke dalam mobil yang membawanya ke sebuah tempat. Bukanlah sebuah gedung
instansi melainkan sebuah rumah bergaya kuno yang terlihat sangat kokoh. Mereka berdua
dipersilahkan masuk oleh seorang wanita yang membukakan pintu. Sekitar 45 tahun umurnya,
ia begitu ramah pada kami.
“Selamat siang, tuan Brady. Saya membawa kabar baik tentang kasus anda.”
“Selamat siang. Bagus kalau begitu, duduklah. Bagaimana-bagaimana?”kata orang
yang berpakaian rapi itu.
“Perkenalkan ini Galang, baru saja ia melapor ke kantor bahwa ia mengenali orang
yang ada di foto yang saya muat di koran. Ia juga bercerita bahwa ayahnya meninggal karena
orang yang anda cari. Maaf saya harus pergi dan semoga perbincangan kalian membuahkan
hasil.”
“Oh begitu, terimakasih banyak,”kata orang yang berada di hadapan Galang itu.
“Maaf bolehkah saya langsung bercerita?”tanya Galang.
“Tentu saja anak muda. Silahkan!”
“Saya mengenal orang ini sebagai Herisman, ia adalah raja di Kerajaan Bambo.
Kehidupan di kerajaan sana sangat tidak nyaman, setiap hari berteman dengan ancaman,
terror dan kekejaman. Sampai suatu saat kakak saya akan dinikahi oleh Herisman. Tapi say
menolak dan memutuskan untuk membawa ayah dan kakak saya ke kota. Tak lama saya
tinggal di kota, ayah saya berhasil di bunuh oleh orang suruhanya dan kakak saya diculik.
Saya sangat terpukul dan saya pergi ke pulau ini untuk mencari ketenangan. Saya menyewa
sebuah kamar kos di dekat pelabuhan. Saya bekerja di pelabuhan sebagai kuli angkut dan
kebetulan saya melihat pengumuman di koran tadi pagi. Saya sangat berkeinginan untuk
mengembalikan keadaan kerajaan seperti yang dulu lagi. Walaupun ayah dan kakak saya tak
bisa kembali, saya mau melakukan apapun untuk mengembalikan keadaan kerajaan.”
“Bagus nak. Kalau begitu kau tinggal disini saja. Keamanan akan terjamin, nanti aku
akan menghubungi polisi untuk memperketat sekeliling rumahku ini. Aku juga sudah lama
mencari orang ini, ia telah membuat kekacauan. Ia pernah meledakkan bom di dekat gereja
dan ribuan orang menjadi korbanya termasuk anakku yang paling kecil. Ia baru berumur 10
tahun saat itu.”
“Semoga saja ia cepat ditangkap. Tapi perbatasan kerajaan itu dijaga sangat ketat.
Apalagi setelah saya melarikan diri.”
“Benar benar orang itu, sangat cerdas. Ia menjadi raja dan memperketat keamanan
untuk menutupi kebusukannya. Kalau begitu kau istirahat saja nak, besok kau temani aku ke
perbatasan. Tak usah takut ada aku dan teman-teman ku yang akan membantu.”
Galang diperlakukan seperti saudara dekat di keluarga tersebut. Rumah itu begitu
nyaman membuat Galang sangat menikmati istirahatnya saat itu. Tuan Brady seorang yang
sangat memikirkan dengan cermat setiap keputusan yang ia buat. Mengerutkan dahi dan
mondar-mandir di ruang kerjanya menjadi salah satu tanda ia mulai menyelami alam
pikiranya.
Setelah makan malam, Galang dan Tuan Brady berbincang-bincang soal kehidupan di
Kerajaan Bambo yang sangat menyedihkan. Terkadang Tuan Brady menggeleng-gelengkan
kepalanya karena mendengar kepedihan penduduk yang tinggal di sana. Kadang ia juga
memuji buruanya itu.
Perbincangan itu berakhir sekitar pukul 21.00. Galang menuju kamar berukuran
sedang yang telah dipersiapkan oleh Nyonya Brady tadi sore. Tuan Brady masih betah di
ruang tamu mungkin ia mempersiapkan strategi untuk meringkus buruannya.
“Tidur yang nyenyak, di luar penjagaan sudah diperketat.”
“Terimakasih Tuan Brady.”
Keesokan harinya Galang, Tuan Brady dan ketiga temanya berangkat menuju
pelabuhan dan sampailah mereka di Kota Sande. Darisana mereka menumpang sebuah truk
angkutan barang yang akan menuju utara. Jika mereka menggunakan transportasi umum
resikonya akan lebih besar.
“Ini daerah perbatasan selatan. Coba kau amati tuan,”kata Galang sambil mengintip
lewat celah-celah badan truk.
“Ya, seperti yang aku bayangkan. Sepi tapi ramai penjagaan. Apa pusat kerajaan
berada di utara?”
“Benar tuan. Jika kita turun disini, mungkin kita terlalu lama menuju kerajaan dimana
Herisman berada.”
Tuan Brady dan teman-temanya asik mengatur strategi selama perjalanan. Sesekali
Tuan Brady menanyakan sesuatu kepada Galang. Galang tak mau ikut campur dengan strategi
mereka. Ia bukanlah ahli strategi, ia takut jika ide-idenya akan merusak strategi Tuan Brady.
Lebih dari 6 jam truk itu berjalan sekitar satu jam lagi mereka akan tiba di utara.
Mereka bersiap-siap dengan senjatanya. Pukul 13.10 mereka tiba di perbatasan utara.
Mereka turun di jalan raya dan berjalan kaki menuju perbatasan. Perbatasan itu tak seperti
biasanya, mengkin kini penjagaan dipusatkan di sebelah selatan tempat keluar Galang dan
keluarganya.
Mereka masuk dengan leluasa, di jalan-jalan kecil berdebu itu mulai terlihat anak
buah-anak buah raja yang berjaga. Kedua teman Tuan Brady sangatlah pandai membereskan
lima orang anak buah raja. Mereka berempat harus berhati-hati penjagaan semakin ketat.
Tembok pagar kerajaan sangatlah tinggi tapi semangat mereka untuk menangkap si Herisman
lebih tinggi dan lebih tebal daripada tembok di depan mereka.
Dua orang teman Tuan Brady melewati sisi kiri dan kanan kerajaan dan mereka akan
masuk melalui pintu depan. Galang dan Tuan Brady masuk melalui pintu belakang. Disana
istri-istri raja yang diperlakukan tak semestinya dan Galang melihat kakaknya berada dalam
jeruji besi. Galang membebaskan mereka dan budak-budak raja lainya.
Di dapur kerajaan terlihat beberapa koki yang kurus sibuk dengan bagianya masing-
masing. Gendis berada di paling depan agar koki-koki itu tak terkejut saat Galang dan Tuan
Brady masuk. Kerjasama yang sangat baik, koki-koki itu diam tanpa suara. Seperti tak ada
orang asing yang masuk ke istana.
“Galang kau masuk dulu. Tak usah takut, aku mengikutimu. Bawa pistol ini,”bisik
tuan Brady.
Galang hanya mengangguk dan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuan Brady.
Galang akan berhadapan dengan Herisman, penjahat kelas berat yang telah bertahun-tahun
menjadi buruan kepolisian dan sekarang bertahta raja di Kerajaan Bambo. Dalam hitungan
menit tahtanya akan runtuh benar-benar runtuh.
“Herisman!”teriak Galang
“Kamu! Sialan! Berani-beraninya kau menginjakkan kaki di istanaku ini. Penjaga
kesini kalian bawa anak ini keluar dari istanaku.”
“Hei… Sebenarnya siapa yang kau panggil? Mereka semua sudah dibereskan oleh
teman-temanku. Tenang saja, kita ngobrol sebentar di ruangan megah ini,”kata Galang,
padahal ia tak tahu apakah penjaga-penjaga itu memang sudah dibereskan oleh kedua teman
Tuan Brady.
“Hallo Herisman alias Heru alias Widi. Buruanku yang sangat cerdas,”kata Tuan
Brady yang berada di belakang Herisman.
“Kau!”teriak Herisman.
Herisman dengan muka ketakutan berusaha melarikan diri dari ruangan itu. Tapi
peluru yang ditembakkan oleh Tuan Brady lebih cepat melesat dan terbenam di punggungnya.
Satu peluru lagi yang Galang tembakkan, menurutku peluru itu telah melukai tengkuknya.
Peluru itu peluru pembalasan. Galang begitu ikhlas menembakkan peluru itu dan ia takkan
menyesal telah melakukanya.
Cita-cita Galang telah terwujud, tahta raja telah diruntuhkan. Saat ini raja telah
menjadi mayat kaku dan melanjutkan perjalanannya ke alam kubur. Mayat Herisman dibawa
dengan mobil polisi menuju ke kota. Mungkin mayat itu akan diserahkan kepada keluarganya
atau mungkin saja keluarga Herisman tak menerimanya lagi.
Mendung hitam pekat yang menyelimuti Kerajaan Bambo kini telah terhapus dengan
perjuangan Galang. Andaikan Galang tak memiliki sedikit keberanian untuk keluar dari
kegelapan pekat yang mengisi Kerajaan Bambo, mungkin saat itu Herisman masih duduk di
singgasana yang sebenarnya tak pantas untuk dirinya.
Galang berfikir mustahil untuk mengembalikan Pak Gandi ayahnya. Tapi ia bersyukur
masih ada Gendis yang akan menemaninya berjuang untuk mengembalikan keadaan kerajaan.
Keadaan aman tentram suasana pedesaan khas Kerajaan Bambo kini telah kembali. Teman-
teman Galang mulai meninggalkan budaya alkoholisme dan mulai bergaul kembali dengan
Galang.
Cerita Pendek
“Keluar dari Lingkaran Kegelapan”
Karya :
Ihsan Nur Alimah XD/12
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Wonosari
Ajaran 2012/2013

More Related Content

What's hot

Three Little Pigs
Three Little PigsThree Little Pigs
Three Little Pigscaponea973
 
Cinderella Short Story
Cinderella Short StoryCinderella Short Story
Cinderella Short StoryEltari
 
Lahi rajud sa CMU!- Bisaya Poem
Lahi rajud sa CMU!- Bisaya PoemLahi rajud sa CMU!- Bisaya Poem
Lahi rajud sa CMU!- Bisaya Poem
paojean2000
 
Coraline (story)
Coraline (story)Coraline (story)
Coraline (story)
Ryan Emman Marzan
 
The Very Hungry Caterpillar
The Very Hungry CaterpillarThe Very Hungry Caterpillar
The Very Hungry CaterpillarJocelyn MacKay
 
Goldilocks and the three bears shortstory.pptx
Goldilocks and the three bears shortstory.pptx Goldilocks and the three bears shortstory.pptx
Goldilocks and the three bears shortstory.pptx
josemariacarbonell
 
Goldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bearsGoldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bears
Annisa Jaturrahmah
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawanbeesingle41
 
The love of lam ang
The love of lam angThe love of lam ang
The love of lam angmidorinohime
 
The very hungry caterpillar
The very hungry caterpillarThe very hungry caterpillar
The very hungry caterpillar
Dorianne Farrugia
 
Si Pagong at si Kuneho
Si Pagong at si KunehoSi Pagong at si Kuneho
Si Pagong at si Kuneho
Charee16
 
Si Inggolok at Planeta Pakaskas
Si Inggolok at Planeta PakaskasSi Inggolok at Planeta Pakaskas
Si Inggolok at Planeta PakaskasBeverly Joyce
 
Goldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bearsGoldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bears
Milena Bernal Gomez
 
SI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdf
SI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdfSI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdf
SI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdf
irvingrei gamit
 
The Three Little Pigs.pdf
The Three Little Pigs.pdfThe Three Little Pigs.pdf
The Three Little Pigs.pdf
KomalJogi4
 
StoryTelling - The Ugly Duckling
StoryTelling - The Ugly DucklingStoryTelling - The Ugly Duckling
StoryTelling - The Ugly DucklingAEC-Inglês
 
Town Mouse and Country Mouse
Town Mouse and Country MouseTown Mouse and Country Mouse
Town Mouse and Country Mouse
Tatiana Glushakova
 
Funny PICTURES
Funny PICTURESFunny PICTURES
Funny PICTURESlorinchina
 
Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...
Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...
Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...
OH TEIK BIN
 

What's hot (20)

Three Little Pigs
Three Little PigsThree Little Pigs
Three Little Pigs
 
Cinderella Short Story
Cinderella Short StoryCinderella Short Story
Cinderella Short Story
 
Lahi rajud sa CMU!- Bisaya Poem
Lahi rajud sa CMU!- Bisaya PoemLahi rajud sa CMU!- Bisaya Poem
Lahi rajud sa CMU!- Bisaya Poem
 
Coraline (story)
Coraline (story)Coraline (story)
Coraline (story)
 
The Very Hungry Caterpillar
The Very Hungry CaterpillarThe Very Hungry Caterpillar
The Very Hungry Caterpillar
 
Goldilocks and the three bears shortstory.pptx
Goldilocks and the three bears shortstory.pptx Goldilocks and the three bears shortstory.pptx
Goldilocks and the three bears shortstory.pptx
 
Goldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bearsGoldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bears
 
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot PerawanSepupu Ku Yang Hot Perawan
Sepupu Ku Yang Hot Perawan
 
The love of lam ang
The love of lam angThe love of lam ang
The love of lam ang
 
The very hungry caterpillar
The very hungry caterpillarThe very hungry caterpillar
The very hungry caterpillar
 
Si Pagong at si Kuneho
Si Pagong at si KunehoSi Pagong at si Kuneho
Si Pagong at si Kuneho
 
Si Inggolok at Planeta Pakaskas
Si Inggolok at Planeta PakaskasSi Inggolok at Planeta Pakaskas
Si Inggolok at Planeta Pakaskas
 
Goldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bearsGoldilocks and the three bears
Goldilocks and the three bears
 
Snow white
Snow whiteSnow white
Snow white
 
SI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdf
SI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdfSI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdf
SI+PONYANG+AT+ANG+LIHIM+NG+KUWEBA+(FIL).pdf
 
The Three Little Pigs.pdf
The Three Little Pigs.pdfThe Three Little Pigs.pdf
The Three Little Pigs.pdf
 
StoryTelling - The Ugly Duckling
StoryTelling - The Ugly DucklingStoryTelling - The Ugly Duckling
StoryTelling - The Ugly Duckling
 
Town Mouse and Country Mouse
Town Mouse and Country MouseTown Mouse and Country Mouse
Town Mouse and Country Mouse
 
Funny PICTURES
Funny PICTURESFunny PICTURES
Funny PICTURES
 
Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...
Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...
Mousedeer and Tiger - A Sang Kancil Story with Lessons to Learn (Eng & Malay)...
 

Viewers also liked

The late and great presentation
The late and great presentationThe late and great presentation
The late and great presentation
sarahlawler
 
Tpl scenic research
Tpl scenic researchTpl scenic research
Tpl scenic research
sarahlawler
 
Thomas skelton findings
Thomas skelton findingsThomas skelton findings
Thomas skelton findings
sarahlawler
 
López martín, n. la pepa
López martín, n.   la pepaLópez martín, n.   la pepa
López martín, n. la pepaLópez Martín
 
Creative commons
Creative commonsCreative commons
Creative commons
jose dussan
 
Red Summer 1919
Red Summer 1919Red Summer 1919
Red Summer 1919
Diana Fordham
 

Viewers also liked (8)

Presentation_1370588629391
Presentation_1370588629391Presentation_1370588629391
Presentation_1370588629391
 
The late and great presentation
The late and great presentationThe late and great presentation
The late and great presentation
 
Tpl scenic research
Tpl scenic researchTpl scenic research
Tpl scenic research
 
Thomas skelton findings
Thomas skelton findingsThomas skelton findings
Thomas skelton findings
 
López martín, n. la pepa
López martín, n.   la pepaLópez martín, n.   la pepa
López martín, n. la pepa
 
Creative commons
Creative commonsCreative commons
Creative commons
 
Red Summer 1919
Red Summer 1919Red Summer 1919
Red Summer 1919
 
Smith Resume
Smith ResumeSmith Resume
Smith Resume
 

Cerpan keluar dari lingkaran kegelapan

  • 1. “Keluar dari Lingkaran Kegelapan” Malam itu sunyi senyap. Sesekali dipecahkan kikrikan jangkrik yang tak tau dimana dia bersembunyi. Mendung hitam menutupi taburan bintang dan rembulan yang sedang purnama. Kilat tanpa guntur terkadang cukup mengagetkan anak buah-anak buah raja yang sedang berjaga di seluruh penjuru Kerajaan. Suasana mencekam menyelimuti Kerajaan Bambo, setelah tadi siang seorang pemuda imigran dari pulau seberang dibunuh secara kejam. Pemuda itu dibacok dan dimasukkan ke dalam karung oleh lima orang anak buah Raja Bambo. Tak tau kemana mayat itu akan di buang. Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya saat Raja Bambo ke empat digantikan oleh Raja Bambo ke lima orang asing tak boleh lagi menginjakkan kaki sejengkal pun di tanah kekuasaan raja. Mereka sangat pandai mengenali orang asing. Entah bagaimana caranya? Tak seperti biasanya, malam itu tak ada satupun penduduk yang berani keluar. Mungkin mereka takut dengan anak buah raja yang masih marah. Tapi tidak untuk Galang. Pemuda berusia delapan belas tahun itu memang suka tantangan dan tak pernah takut dengan siapapun. Hampir setiap malam ia berkeliling Kerajaan Bambo ditemani sepeda pemberian almarhumah ibunya. Setiap pukul 19.00, Galang mulai mengayuh sepedanya ke arah selatan yang dipenuhi sawah-sawah dan hutan belantara. Semakin ke selatan, hutan semakin lebat tapi sebaliknya tak ada penjagaan di hutan itu. Mungkin anak buah raja terlalu lemah untuk menghadapai ketakutan akan isu-isu yang condong ke arah mistis. Jika ia telah sampai di jalan kecil perbatasan Kerajaan, ia akan membelok kearah barat laut. Melewati pasar dimana tadi siang terjadi pembunuhan di tempat itu, kemudian melewati perumahan penduduk yang sangat sepi. Semakin kearah utara pemukiman semakin padat, penjagaan pun semakin ketat saja. Di sepanjang jalan menuju kerajaan, banyak ditemui gerombolan anak buah raja. Mereka berperawakan tinggi besar, kekar dan tatapan mereka yang sangat tajam membuat orang-orang takut untuk berhadapan apalagi melawan mereka. Pernah beberapa orang mencoba melawan mereka, tapi tak lama kemudian orang-orang tersebut tewas secara misterius.
  • 2. Tapi tak sedikit pun rasa takut itu ada dalam diri Galang. Berkali-kali ia melawan mereka dan tak jarang Galang dipukuli sampai babak belur. Ada anak buah raja yang berencana membunuh Galang, Tapi Raja Bambo tidak membolehkanya. Kata Raja, Galang tak boleh dibunuh karena ia masih dibawah umur 20 tahun. Anak buahnya betanya-tanya, sejak kapan penduduk dibawah 20 tahun yang berani melawan tidak boleh dibunuh. Galang pun juga bingung mengapa Raja Bambo berkata seperti itu. Ia lebih baik dibunuh daripada setiap hari ia harus melihat kenyataan yang tak berperikemanusiaan. Ada saja berita orang dirampas seluruh harta yang dimilikinya, dipekerjakan paksa, dipenjara, dibunuh, sampai dihukum gantung. Galang sudah sampai di jalan depan kerajaan yang menandakan ia telah menempuh setengah dari perjalanannya. Gerbang kerajaan dijaga sangat ketat saat itu. Galang hanya lewat saja dan tak menghiraukan ejekan-ejekan mereka. Sampai di tanjakan tak jauh dari kerajaan Galang merasa ada yang aneh dengan sepedanya. Ia berhenti untuk memeriksa sepedanya, memang benar ban belakang bocor dan ia menemukan paku pines yang masih mengkilap menancap. Saat itu ada dua orang anak buah raja yang sedang lewat, mereka mencoba mengejek Galang. “Hei.. anak ingusan!! Berani-beraninya kamu keluyuran malam-malam begini,” kata Pamo sambil menenggak minumanya. “Hahaha… kan mau jadi pemberani bang,”sahut Reki. “Aku memang anak ingusan bagi kalian. Tapi kau Pamo, kau lebih dari ingusan bagiku,” sentak Galang sambil menunjukkan jarinya kearah Pamo. “Apa katamu? Kau pantas di beri pelajaran!!” bentak Pamo tak terima. Pyarrrrr…. Suara botol minuman yang ada di genggaman Pamo. Botol itu ia lemparkan dan menghantam sepeda Galang bagian belakang. “Sudahlah bang, nanti kalau ketahuan raja repot urusanya. Lagian anak ingusan saja kau ladeni,” kata Reki sambil memegang tangan Pamo yang akan memukul Galang. “Jika aku tidak dilarang oleh raja, kau pasti sudah menjadi orang pertama yang harus aku musnahkan,”kata Pamo sambil menatap tajam mata Galang. “Oh ya? Kalau aku jadi kalian, Raja Bambo lah yang menjadi orang pertama yang harus aku musnahkan,” bentak Galang sambil menuntun sepedanya. “Hati-hati kalau berbicara!” teriak Pamo sambil menahan amarahnya.
  • 3. Galang tak menghiraukan peringatan itu. Hari sudah terlalu malam untuk menghiraukan omong kosong itu. Kekhawatiran Pak Gandi dan Gendis muncul. Jam kecil yang terpasang di dinding ruang tamu telah menunjukkan pukul 22.07. Galang tak pernah berada di luar rumah selarut itu. Ia pasti sudah memarkirkan sepedanya tak lebih dari pukul 21.00 dan setelah itu ia tak keluar lagi. “Gendis, apa Galang belum pulang?”tanya Pak Gandi kepada anak perempuanya. “Belum yah, aku khawatir Galang kenapa-napa,”jawab Gendis. “Ya sudah, ayah akan mencari Galang keluar.” “Jangan yah, di luar terlalu berbahaya. Tunggu saja sebentar, mungkin Galang masih di perjalanan.” “Ya ada benarnya, ayah akan menunggu 15 menit.” Tok...tok…tok. Pintu rumah Pak Gandi diketuk. “Itu dia!”kata gendis sambil bergegas menuju pintu. “Tunggu dulu. Jangan sembarangan kau membukakan pintu malam-malam seperti ini. Sudah, kamu ke belakang saja siapkan makanan untuk adikmu. Dia pasti kelaparan.” “Maaf yah.” “Siapa di luar?” tanya Pak Gandi sambil mengintip dari jendela. “Sudahlah Gandi! Buka pintunya,”suara berat itu terdengar. Krett… Pak Gandi membuka pintu untuk tamunya. Sejenak semilir angin malam yang dingin dan basah menerpa tubuh Pak Gandi saat pintu rumahnya terbuka. “Hormat kami Raja Bambo, mari masuk!”Pak Gandi mempersilahkan tamunya sambil menunjuk kea rah sofa. “Bagus bagus.. Apakah kau sudah tau maksud kedatanganku kemari?”tanya raja. “Jujur, saya tidak tahu raja.” “Hahahaha.. Apa kau belum di beri tahu oleh Pamo?” “Maaf raja, apa masalah pernikahan Gendis?” “Cerdas… mana anak mu yang cantik itu?”sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara.
  • 4. “Ada raja, dia di dapur menunggu adiknya.” “Adiknya? Apa Gendis masih menganggap bocah itu sebagai adiknya?” “Bagaimanapun juga Galang adik Gendis raja.” “Terserahlah, ayo kita bicarakan.” Pak Gandi dan Raja Bambo berbincang-bincang di ruang depan. Gendis yang mendengar perbincangan mereka. Tak kuat rasanya menahan air matanya, setelah ia mendengar bahwa seminggu lagi ia akan dipinang raja menjadi istri ke-5. Dalam hati ia tak mau, tapi mau bagaimana lagi? Ia harus menuruti kata-kata raja. Jika ia menolak, kemungkinan besar keluarganya akan terancam bahaya. Entah itu dipenjara atau dibunuh. Tangan Gendis gemetar saat menungkan teh ke dalam cangkir-cangkir kecil yang akan dihidangkanya kepada ayah dan calon suaminya. Gendis mengangkat nampan putih dengan gambar bunga mawar itu ke ruang depan. Ia enggan melangkah. Ia enggan menatap wajah calon suaminya yang seram itu. Krett… Pintu depan terbuka. Galang yang membuka pintu itu. “Beri hormat kepada raja nak,”perintah Pak Gandi kepada anak laki-lakinya itu. Galang tak menghiraukan perintah ayahnya. Dia berlalu dan menuju kamarnya. “Galang kau tak makan dulu? Dari siang tadi kakak belum lihat kamu makan,” tanya Gendis kepada Galang. “Tidak kak, aku memang lapar tapi tak nafsu makan lagi!” sindir Galang dengan suara yang lantang. “Ya sudah, kakak tidak memaksa.” “Mungkin tamu yang ada di depan sedang lapar kak, kau tawarkan saja padanya!” Raja mendengar perkataan Galang dan menggebrak meja kayu yang ada di depanya. Braakk.. “Anak sialan!! Gandi tolong beri pelajaran kepada bocah itu!”seru raja dan bergegas keluar dari rumah itu. Mentari mulai keluar dari persembunyianya. Cahayanya yang hangat masuk melalui celah-celah jendela kamar Galang yang semalam lupa tak di tutup. Suara bebek, kambing dan burung perkutut milik ayahnya bersahut-sahutan mengadakan konser kecil di pagi hari.
  • 5. Gendis masih sibuk di kerajaan dapurnya. Semua jenis masakan ia mampu menguasainya bagaikan kompeni yang menguasai seluruh tanah jajahanya. Semilir angin membawa aroma sedap ke seluruh penjuru ruangan. Aroma itu membuat Galang terbangun dari tidurnya. “Hmm… Kakak masak apa? Harum sekali.” “Nasi goreng Lang. Kamu baru bangun? Makanya pulang jangan malem-malem.” “Galaaaang!! Ayah minta bantuan sebentar,”teriak Pak Gandi. “Iya yah,”jawab galang sambil berlari kecil menghampiri sang ayah. “Bantu ayah mengikat kayu-kayu ini!”perintah Pak Gandi. “Siap yah.” Dengan cekatan Galang mengikat seluruh kayu-kayu kering dan membawanya ke dapur. Kemudian ia membantu ayahnya menjemur kayu-kayu basah yang didapat dari hutan kemarin sore. Sarapan pun sudah siap. Pak Gandi dan Galang sudah tak sabar menikmati nasi goreng dan teh manis buatan Gendis. “Ayah dan raja tadi malam membicarakan apa?”tanya Galang pada ayahnya. “Sebelumnya ayah minta maaf nak, ayah tidak meminta persetujuanmu. Dua minggu lagi kakakmu akan menikah dengan raja,”jawab Pak Gandi. Galang berlari keluar rumah. Sarapan saja belum sempat ia sentuh. Galang duduk di serambi depan. Galang sedih mendengar kakaknya akan di nikahi Raja Bambo. Akhirnya apa yang ia takutkan sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Galang sudah lama berkeinginan keluar dari Kerajaan itu. Bebas dari aturan-aturan bodoh raja. Tak boleh dikunjungi orang asing, tak boleh keluar dari Kerajaan, tak boleh berkomunikasi dengan orang luar, menentang berarti penjara atau mati, Raja boleh menikahi wanita mana saja yang ia inginkan baik istri orang atau wanita yang belum bersuami. Galang merasa peraturan-peraturan itu tidaklah adil. Peraturan yang diabuat raja semata-mata hanya menguntungkan raja. Rakyatnya selalu ketakutan, ditindas dan tak pernah diperhatikan haknya. Galang bingung harus berbuat apa agar raja tak jadi menikah dengan kakaknya. Tak bisa dibayangkan kakak iparnya adalah orang yang paling dibencinya. Pak Gandi duduk di sebelah Galang dan berusaha menghiburnya. “Aku tak boleh tinggal diam, aku harus berbuat sesuatu,”kata Galang dalam hati.
  • 6. Galang mengambil sepeda yang diparkirnya di samping rumah, tanpa pamit ia segera mengayuh sepedanya menuju arah kerajaan. “Galaaang… kamu mau kemana?”teriak Pak Gandi. Galang tak menjawab dan terus melangkahkan kakinya sekuat tenaga agar ia cepat sampai di kerajaan dimana Raja Bambo itu berada. Galang tak lagi menganggap tempat itu sebagai sebuah kerajaan melainkan markas besar penjahat. Dari kejauhan tampak beberapa orang penjaga gerbang yang asik bermain kartu dan menenggak minuman keras. Penjaga-penjaga markas besar yang benar-benar payah pikir Galang. Orang yang tak berpendidikan semakin rusak dengan minuman-minuman yang tak berguna itu. Jika saja rajanya cerdas, tidak mungkin orang-orang seperti mereka akan dipekerjakan. Tanpa pikir panjang Galang masuk ke halaman bangunan yang disebut penduduk dengan kerajaan itu. “Hei Raja…. Aku ingin berbicara denganmu!!”teriak Galang. “Heh kamu!! Berani-beraninya nyelonong,”bentak seorang anak buah. “Aku tak berurusan denganmu! Lagian gerbang depan tidak ada yang jaga,”bentak Galang pula. Tak berapa lama Raja Bambo menampakkan tubuhnya yang tinggi besar. “Hahahaha… Ada apa calon adik iparku?”tanya raja. “Aku tak akan sudi menjadi adik iparmu. Pernikahan ini tak akan pernah terjadi selama aku masih bernafas. Aku yakin apa yang kau beritakan kepada rakyatmu soal nasib wanita-wanita yang kau nikahi itu tidak benar dan aku tak akan pernah membiarkan kakak ku menjadi salah satu dari mereka.” “Tahu apa kau bocah! Istri-istriku saat ini ada di dalam kerajaan. Mereka hidup enak di kerajaan dan kau tak usah khawatir dengan nasib kakakmu nanti.” “Di dalam kerajaan, di bagian kerajaan yang mana kau menempatkan mereka? Di penjara bawah tanahmu bukan?” “Omong kosong. Pergilah dari sini, sebelum kau membuat keributan.” “Raja macam apa kau ini? Ngomong saja kalau kau takut,”kata Galang yang tubuhnya tiba-tiba diseret keluar kerajaan. Galang sangat sedih dan menyesal jika kakaknya benar-benar menjadi istri dari Raja Bambo. Karena Galang yakin, istri-istri raja mengalami penderitaan. Tak ada satupun
  • 7. penduduk yang pernah melihat istri-istri raja keluar kerajaan. Keluarga mereka hanya menerima kabar lewat surat yang sesekali diantar oleh anak buah raja. Entah surat itu membawa kabar yang benar atau hanya kebohongan raja saja. Hal ini terasa aneh, jika saja mereka hidup enak mereka pasti menyempatkan diri pergi keluar kerajaan untuk sekedar mencari angin segar. Seakan-akan mereka dikurung di dalam kerajaan dan Galang yakin ada yang ditutup-tutupi. Kaki-kaki Galang yang kuat, kini terasa lemas. Hembusan angin yang menyentuh kulit Galang terasa seperti terpaan badai. Ingin sekali meneteskan air mata untuk mengobati sesak di dada, tapi air mata hanya membuat Galang semakin lemah. Ayah Galang telah menunggu kedatanganya di serambi rumah. Lelaki paruh baya yang duduk di kursi kayu beranyamkan rotan itu menyambut kedatangan putranya dengan kebungkaman. Tak ada satupun kata yang terucap. Hanya pandangan mata penuh harapan yang ada. Harapan bahwa Galang akan membawa kabar baik akan tetapi detik demi detik berlalu kabar itu tak juga terucap dari mulut Galang. “Ayah tahu persaan mu nak. Sesungguhnya ayah juga tidak rela kakakmu menikah dengan raja. Tapi kita tak punya daya untuk melawan raja. Sudah ikhlaskan saja kakakmu untuk menjadi istri raja.” “Tidak yah, aku tidak bisa mengikhlaskan kakak untuk si raja itu. Toh kalau aku bisa ikhlas, apa kakak bisa mengikhlaskan dirinya untuk raja itu?” “Tidak, sejujurnya aku tidak ikhlas,”Gendis menyahut pembicaraan Galang dan ayahnya. “Ayah sudah mendengarnya kan? Kita tidak boleh tinggal diam, secepatnya kita akan meninggalkan Kerajaan ini.” “Bagaimana caranya? Kau bisa melawan seluruh anak buah raja itu? Jangan terlalu berambisi kamu, nak!” “Mereka hanya orang-orang berotot yang tak berotak yah, walaupun kita kalah kuat kita tidak kalah pintar. Nanti akan kucoba untuk memikirkanya.” Galang meninggalkan ayah dan kakaknya yang masih duduk di serambi rumah. Nasi goreng di atas meja makan tak lagi terlihat asapnya, tanda nasi goreng itu telah dingin. Tapi bukan masalah bagi Galang. Apa pun yang dihidangkan tetap ia santap demi perutnya yang hampa karena semalam tak ada makanan yang masuk. Jujur saja gengsinya terhadap raja tadi malam membuat ia menahan lapar semalaman dan untung saja ia masih bisa tidur.
  • 8. Teringat ban sepedanya yang bocor tadi malam akibat menginjak paku yang mungkin saja paku-paku itu disebar oleh anak buah-anak buah raja yang berniat mencelakai Galang. Ia segera mengambil peralatan tambal di gudang dan menambal ban sepedanya. Ternyata tak hanya satu satu paku yang menancap. Benar-benar sengaja katanya dalam hati. Terpaksa ia harus mengganti ban dalamnya. “Ayah, aku mau beli ban dalam dulu,”Galang berpamitan. “Ban dalam? Ayah rasa ban dalam mu belum lama diganti. Cepat sekali rusaknya.” “Mungkin kualitasnya rendah yah. Galang keluar dulu yah.” “Ya hati-hati!” Galang tak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Pasti ayahnnya akan marah jika ayahnya tahu bahwa ia sering di ganggu oleh anak buah raja. Tentunya ia tak diizinkan lagi untuk berkeliling desa malam-malam. Di tengah perjalanan, Galang bertemu dengan temanya yang bernama Adi. Adi adalah seorang anak dari salah satu anak buah raja. Adi tak pernah berusaha untuk menjauhi Galang yang selalu dianggap anak berbahaya. “Galang tunggu!” “Ada apa Di?” “Kudengar kakakmu akan menikah dengan raja, apa benar Lang?” “Ya rencananya. Tapi kenyataanya tak akan pernah terjadi. Aku tak akan pernah membiarkan kakak ku menikah dengan raja. Aku akan membawa kakak dan ayahku pergi dari tempat ini, sesulit apa pun itu pasti aku bisa melakukanya. Apa kau akan terima jika kakak iparmu adalah musuhmu sendiri?” “Jelas tidak Lang, aku mendukung mu. Tapi bagaimana caranya kau bisa membawa keluargamu pergi? Bukanya di perbatasan penjagaan sangat ketat?” “Tak semua perbatasan dijaga ketat Di. Kau tahu perbatasan di selatan selalu lupt dari penjagaan. Menurutku anak buah raja yang bertugas di sana telah berkhianat dengan rajanya. Mereka akan berbondong-bondong menuju selatan dan tak pernah sampai di perbatasan. Mereka takut masuk hutan dan berjaga di jalan-jalan menuju hutan saja. Setelah itu mereka akan lapor ke rajanya bahwa perbatasan selatan telah dijaga ketat. Kemudian raja akan memuji anak buahnya yang ia anggap pemberani. Jika saja raja itu cerdas, ia akan pergi ke selatan dan memastikanya.”
  • 9. “Baru tahu aku. Tapi menurutku raja itu penakut Lang. Jadi ia tak pernah menuju selatan dan memastikan keadaan di perbatasan selatan. Ngomong-ngomong kamu dapat informasi darimana Lang?” “Ya ya kamu benar Di, mungkin raja itu penakut. Kalau informasi itu hasil dari aku selalu keluyuran malam-malam Di,”jawab Galang sambil menahan tawanya setelah mendengar kata-kata Adi. “Ya sudah Lang, aku pulang dulu. Nanti kalau ayah melihat aku berbincang-bincang denganmu, bisa-bisa aku di pecat sebagai anaknya.” “Sampai jumpa Di.” Sampai di toko Galang merasa aneh dengan tatapan para pengunjung toko tersebut. Mereka menatap Galang dengan remeh. Tapi Galang tak terlalu memperhatikanya. “Ada dua kemungkinan mereka menatap dirinya seperti itu. Bisa saja mereka telah mendengar kabar bahwa ia akan menjadi ipar dari raja atau bisa juga mereka adalah penggemar,” kata Galang dalam hati. “Bang, kok orang-orang pada aneh ya?”tanya Galang kepada penjaga toko. “Maaf ya Lang, kayaknya mereka udah pada denger isu kalau kakakmu mau nikah sama raja. Emang bener?” “Rencananya seperti itu, tapi aku tidak setuju bang.” “Bener kamu Lang. Kalau aku jadi kamu, aku gak setuju. Tapi kita tidak bisa menolak permintaan raja Lang. Setuju gak setuju ujung-ujungnya harus tetap setuju.” “Iya bang, tapi aku akan berusaha agar pernikahan itu tidak menjadi kenyataan. Ya sudah bang, ini uangnya.” “Berani sekali kamu, tapi hati-hati Lang. Orang-orang sepertimu hanya sedikit di desa ini. Sebaliknya orang-orang yang membela raja sangatlah banyak.” “Terimakasih bang, aku pulang dulu.” “Sama-sama. Hati-hati dijalan.” Ternyata ada orang-orang penduduk desa ini yang tidak setuju dengan raja. Sayangnya hanya sedikit dari mereka yang memiliki keberanian besar. Memang minoritas di desa ini tak terlalu diperhatikan. Pendapat yang membela mayoritas pasti sangat diperhatikan oleh raja. Pendapat yang membela minoritas tak akan bertahan lama. Siapa berani menentang raja berarti memperpendek umur. Jadi mereka yang merupakan kelompok minoritas hanya bisa
  • 10. menggerutu, menahan sesak di dada dan menganggukan kepala di depan kelompok mayoritas walaupun di belakang, mereka menggelengkan kepala sambil menunduk menyesal. Sampai di rumah, Galang meneruskan pekerjaanya memperbaiki ban sepedanya. Supaya nanti malam ia bisa berkeliling desa seperti biasanya. Mengamati keadaan desa dari ujung selatan sampai ujung utara dan mendapatkan informasi penting untuk mencari celah untuk pergi dari desa itu. Rumah Galang sangat sepi, mungkin saja ayah sedang pergi ke sawah dan kakaknya sedang bekerja di belakang rumah. Galang membuka pintu depan dan ternyata pintu itu terkunci. “Tak seperti biasanya, jika ada orang di rumah tak mungkin pintu dikunci,”katanya. Galang berlari ke belakang rumah dan hanya ada kayu-kayu yang tadi pagi ia jemur bersama ayahnya. Kemana ayah dan kakak Galang pergi? Galang mencoba mencari mereka di sawah, tapi mereka tak di sana. Galang bertanya kepada tetangga-tetangganya, mereka juga tak tahu ayah dan kakaknya pergi. Sampai Galang bertemu dengan Pamo dan Reki yang selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi. “Galang, apa kau sedang mencari ayah dan kakakmu?”tanya Pamo. “Iya,”jawab Galang singkat. “Aku tau dimana ayah dan kakakmu sekarang.”kata Pamo sambil menyulut rokoknya. “Dimana? Dimana mereka, jangan coba-coba menyakiti mereka,”bentak Galang sambil menatap Pamo dan Reki. “Santai saja kamu ini. Mereka sedang menjadi tamu raja.” Galang berlari menyusul ayah dan kakaknya ke kerajaan. Ia khawatir hal-hal yang tidak diinginkan akan menimpa ayah dan kakaknya. Gerbang kerajaan tak di jaga dan ia segera masuk ke ruang tamu yang begitu besar dan megah itu. Dilihatnya raja yang duduk di singgasana dihadapanya ada 6 orang wanita yang dulu ia kenal sebagai penduduk dan sekarang telah menjadi istri raja. Mereka memakai gaun-gaun yang terlihat seperti gaun sirkus kun. Tubuh mereka yang sangat kecil dan kurus seperti tidak pernah makan. Sebenarnya apa yang dilakukan raja terhadap mereka. Kakak dan ayahnya yang duduk di kursi terkejut melihat Galang masuk ke ruangan itu. “Selamat datang calon adik iparku di istana megah ini,”sambut raja. “Ayo kita pergi dari sini,”ajak Galang sambil menggandeng tangan ayah dan kakaknya dan sama sekali tak menghiraukan sambutan raja.
  • 11. “Hei anak muda, jangan terburu-buru pergi. Minumlah dulu dan nikmati makanan yang telah aku hidangkan.” “Tak usah sok perhatian, aku tak butuh minuman-minuman seperti itu dan makanan- makanan yang di dapat dari cara yang tidak diperbolehkan oleh agama. Aku mau bertanya, apa mereka adalah wanita-wanita yang dulu kamu nikahi?” “Ya benar, apa kau tidak bahagia jika kau melihat kakakmu itu memakai pakaian- pakaian cantik yang aku berikan dan tinggal di istana yang megah ini? Sudahlah biarkan kakakmu itu menikah denganku, diluar sana tidak ada laki-laki yang bisa memberikan lebih dari apa yang akan aku berikan kepada kakakmu.” “Tidak, aku tidak akan pernah bahagia dan tidak akan pernah setuju dengan omong kosongmu itu. Bahkan sekarang aku sedih melihat enam istrimu itu. Katamu mereka hidup enak dan kau berikan gaun-gaun yang indah. Sekarang cermati saja, mereka seperti pemain sirkus yang menggenakan pakaian berwarna warni dan kurus kering seperti tak pernah makan saja. Orang buta seni saja tahu kalau pakaian itu bukanlah pakaian yang cantik, melainkan pakaian sirkus yang sangatlah kuno. Apa yang ku katakan ini benar? Sebenarnya aku tak perlu bertanya seperti itu, karena aku tahu kau sangat pandai menutupi kebohonganmu. ” “Sudah Lang, kalau raja marah bagaimana?”kata Gendis. “Pergi dari istanaku!”bentak raja geram. Galang, Pak Gandi dan Gendis pulang dengan perasaan lega bisa keluar dari istana itu. Tiba-tiba Gendis jatuh pingsan, Pak Gandi dan Galang pun membopong Gendis menuju sebuah gardu yang tak jauh dari kerajaan. Pak Gandi bercerita bahwa tadi Gendis memaksakan diri untuk meminum air yang telah dihidangkan raja. Gendis tak mau kalau ia dan ayahnya dianggap tidak menghargai raja. Dahulu minuman-minuman yang dihidangkan di kerajaan adalah minuman yang halal dan sehat. Tapi semua sudah berubah, budaya minuman keras yang tak pantas dibawa oleh raja dan akhirnya merambah ke penduduk yang berada di kerajaan itu. Perdagangan minuman keras dibebaskan dan produksinya pun sangat didukung oleh raja. Tapi Galang tahu bahwa minuman itu dilarang dan tidak baik untuk kesehatanya. Maka dari itu ia tak pernah mencoba untuk menyentuh atau mencicipi minuman tersebut. Pernah ia mencoba untuk menghimbau teman-temanya tapi himbauan itu tak pernah dihiraukan. Minuman itu tak hanya meracuni tubuh mereka tapi pikiran mereka pun kini dibawah kendali minuman itu. Gendis bangun dan Galang menggendong kakaknya karena ia tak tega membiarkan kakaknya berjalan sampai rumah dengan keadaan seperti itu. Galang sangat sayang terhadap
  • 12. keluarganya dan selalu berusaha untuk melindungi mereka. Ia tak akan membiarkan mereka hidup dalam kesengsaraan. Galang mengantarkan Gendis ke kamarnya yang sesekali masih berjalan sempoyongan. Pak Gandi membuat teh hangat untuk mereka bertiga. “Galang biaran kakakmu beristirahat. Ayo kita ke ruang depan, ayah ingin berbicara denganmu.” Galang mengikuti langkah ayahnya menuju ruang tamu. Pak Gandi menasihati Galang untuk tidak terlalau ambisius untuk melawan raja. Hal itu terlalu berbahaya dan Galang perlu menyusun strategi untuk keluar dari tempat itu. “Yah, bagaimana kalau kita pergi nanti malam. Kegelapan kan mempermudah kita untuk bergerak dan mereka tidak akan melihat kita jika kita berusaha untuk hati-hati. Kita akan berjalan ke selatan melalui sawah dan masuk ke hutan yah. Kujamin perbatasan selatan tak ada yang menjaga. Selanjutnya kita akan menumpang kendaraan yang lewat di jalan pinggir kota. Kita lanjutkan perjalanan menuju pusat kota dan beristirahat untuk sementara, mereka akan kesulitan mengenali jejak kita yah. Tolong ayah siapkan perlengkapan yang kita butuhkan selama perjalanan. Bangunkan kak Gendis dan aku akan pergi ke hutan sekarang juga untuk memastikan keadaan disana aman.” “Ya, ayah setuju saja denganmu.” Galang mengayuh sepedanya menuju hutan dan ia berharap tak ada anak buah raja yang melihatnya. Hutan itu sangat gelap, sepi dan menyeramkan, penjagaan pun tidak ada. Sampai di perbatasan ada jalan besar beraspal menuju pusat kota Sesekali truk angkutan barang lewat di jalan itu. Galang pulang karena hari sudah petang, ayah dan kakaknya sudah menunggunya dirumah. Sialnya anak buah raja sudah mulai berjaga di depan hutan. Ia tak mungkin melewati jalan itu, mereka pasti akan curiga dengan kedatangan Galang dari selatan. Galang kembali ke dalam hutan dan menyembunyikan sepedanya di balik semak-semak. Galang pulang jalan kaki melewati sawah dan terus berjalan ke utara. “Mana sepedamu Lang?”tanya Pak Gandi. “Aku sembunyikan di hutan. Mereka sudah mulai berjaga di jalan-jalan menuju hutan. Ayo kita makan dulu saja, agar nanti malam kta tidak kelaparan. Apa kakak sudah bangun yah?” “Sudah, dia baru mempersiapkan bekal.”
  • 13. Malam itu juga mereka akan pergi, bekal yang telah dipersiapkan di bungkus dalam kain persegi berwarna hitam. Tak lupa Galang membawa sebuah pistol dan Pak Gandi membawa sebuah pisau lipat. Pukul 22.00 mereka memulai pelarian, pertama mereka masuk ke sawah. Semakin ke selatan penjagaan semakin ketat. “Cepat! Cepat!”bisik Galang. Terkadang mereka bertiga merangkak agar tak dikenali oleh anak buah raja. Suara langkah kaki mereka selalu diperhatikan oleh Galang. Jika terdengar sangat dekat mereka akan berhenti. Galang berada di depan dan ayahnya berada di paling belakang. Galang akan mengintip dan memastikan keadaan. Barulah ayah dan Gendis menyusul dibelakangnya. “Sebentar, mereka masih memperhatikan tempat ini.” Seorang anak buah raja melangkah di pematang sawah. Ia curiga dengan sebuah rimbunan padi yang bergerak-gerak tanpa ada angin yang berhembus kencang. Ia namak seperti singa yang sedang melirik mengsanya. “Hei siapa disana?”teriaknya sambil turun ke sawah itu. Dada Galang terasa sangat sesak dan detak jantungnya berdegup sangat kencang. Keringat dingin pun bercucuran, ia memberanikan diri untuk menggenggam pistol yang dibawanya. Gendis menggenggam erat tangan ayahnya yang sangat dingin. “Galang jangan memakai pistol, suaranya terlalu keras. Pakai saja ini.”bisik Pak Gandi sambil mengeluarkan sebuah pisau lipat. Galang mengangguk dan tiba-tiba ia melompat ke arah anak buah raja itu dan membungkam mulutnya dengan tanga. Terjadi peperangan kecil saat itu. Anak buah raja telah mengganggam sebuah pisau yang mengkilap, ia mencoba mengayunka pisaunya kea rah Galang. “Dasar anak sialan!”kata anak buah raja. Sraaat… Darah mengucur dari lengan Galang yang tergores pisau anak buah raja itu. Benar-benar perih rasanya tapi luka dihatinya lebih perih daripada luka di lenganya itu. Semangat untuk keluar dari tempat itu yang membuat Galang tetap melawan. “Haha rasakan itu.” Jrut.. Kali ini Galang berhasil, ia menusuk perut anak buah itu. Sebenarnya ada penyesalan dalam hatinya. Ia telah mengotori tanganya dengan sebuah pembunuhan. Galang memanggil ayah dan kakaknya karena mereka tak punya banyak waktu. Dalam hitungan menit anakbuah raja yang lain akan tahu yang sebenarnya terjadi.
  • 14. “Ayo yah cepat. Mereka sudah mendekat.” Sesosok tubuh tinggi besar terlihat di balik bambu-bambu di pinggir jalan. Kehadiranya sangat terasa, sorot cahaya lampu terhalang oleh langkah-langkah kakinya. Galang tetap melanjutkan pelarianya. Nafas mereka tersenggal-senggal, kaki-kaki yang penuh lumpur membuat mereka sangat berhati-hati. Galang dua orang anak buah raja yang berjaga di pinggir jalan. Mereka menggunakan senter untuk menerangi area sekitar sawah. Galang menyeret ayah dan kakaknya untuk bersembunyi di balik pohon. “Apa yang terjadi di sana? B ke satu.”tanya seorang anak buah raja kepada temanya. “Aku belum tahu. M ke tiga.”jawab temanya. Galang memperhatikan percakapan mereka. Ada kata-kata yang aneh yang masuk ke telinganya. Seperti kata-kata bermakna yang mereka gunakan. Galang baru tahu, kata-kata itu adalah sandi yang mereka gunakan jika mereka tak melihat secara jelas siapa yang mereka ajak bicara. Malam-malam yang sangat gelap pastinya sulit untuk mengenali siapa yang ada di dekatnya. Pantas saja anak buah raja yang dibunuh olah Galang curiga. Jika Galang menyerukan sandi-sandi tersebut, pasti anak buah raja tidak akan berusaha mendekat dan mencari tahu siapa yang bersembunyi. Keadaan sudah aman, mereka bertiga kembali melangkah menuju hutan. Semakin ke selatan penjagaan semakin sepi. Tapi mereka tak boleh buang-buang waktu. Jika anak buah itu tahu mereka lari dari tempat itu, mereka pasti akan dikejar ke selatan. Benar saja, segerombolah anak buah raja telah dikirim ke selatan untuk mengejar Galang dan keluarganya. Sesampinya di hutan, perjalanan semakin sulit saja. Daun-daun yang berserakan ditanah akan mempersulit mereka untuk bergerak. Saat itu sekitar pukul 01.00. Kehadiran embun pagi mulai terasa. Mereka hampir mencapai perbatasan. Deru kendaraan bermotor mulai terdengar. Tak disangka ada dua orang anak buah raja yang sedang berjaga. Mereka tak boleh bersuara, jika mereka tak mau orang-orang itu mengetahui eberadaan mereka. Krak… Gendis menginjak dahan pohon yang kering. Galang melihat, seorang anak raja menatap kearah sumber suara. “B ke satu.”Galang memberanikan diri unutk mengucap kata-kata itu. “M ke tiga.”jawab orang itu. Galang mulai menggunakan fungsi sandi-sandi itu. Dilihatnya orang yang telah menjawab sandinya pergi menjauh dari tempat itu. Jalan raya mungkin 200 meter lagi. Mereka harus bergerak cepat karena hari semakin terang, truk-truk pun mulai terlihat lalu-
  • 15. lalang di jalan raya. Sampai di sana, Pak Gandi, Galang dan Gendis menumpang sebuah truk yang mengangkut beras. “Hei pak, berhantilah. Bolahkah kami menumpang.” “Boleh nak. Masuk ke belakang.” Mereka bertiga bergegas naik ke atas truk yang cukup tinggi itu. Gendis pun terlihat kesulitan menaikinya. Sesak di dada mereka kini terasa lega. Mereka kini bisa tersenyum bahagia karena bisa keluar dari tempat yang penuh dengan kebodohan itu. Perjalanan menuju pusat kota masih sangat panjang. Mereka tertidur lelap di atas tumpukan karung-karung beras. Mungkin mereka kecapekan setelah semalaman berlari, terjatuh dan berada dalam suasana yang sangat menegangkan yang belum pernah mereka alami. Tak terasa mereka telah menumpang truk tersebut selama empat jam. Mereka terbangun dengan suara-suara ramai khas perkotaan. Galang bangun dan menghapus air matanya. Ia sangat senang apa yang ia impikan saat itu terwujud. Truk yang mereka tumpangi telah sampai di tujuanya, yaitu pasar kota. “Maaf, saya hanya sampai sini. Apa kalian ini penduduk baru di kota ini?”tanya sopir truk itu. “Iya, kami baru saja pindah.”jawab Galang. “Oh begitu, kalau kalian mau mencari tempat tinggal. Kalian bisa mencari kendaraan umum. Di daerah Sande banyak tempat tinggal yang mungkin cocok untuk pendatang seperti kalian.” “Terimakasih, saya berhutang budi dengan Anda.” “Ya, sama-sama.” Pak Gandi, Galang dan Gendis menuju Sande dengan sebuah bus. Memang benar disana banyak rumah kecil yang disewakan. Galang suka dengan daerah itu, penduduknya ramah walaupun mereka terlihat sangatlah sibuk. Ada yang bekerja, sekolah, bermain dengan teman, olahraga dan masih banyak lagi aktivitas-aktivitas yang Galang lihat. Mereka menyewa sebuah rumah kecil berwarna coklat di tengah-tengah komplek. Sepertinya rumah itu belum lama ditinggal oleh penyewanya. Perabot rumah masih terlihat bersih dan tertata rapi. Galang tak canggung untuk keluar rumah dan menghampiri tetangga barunya. “Hai… Aku Galang. Senang bisa bertemu dengn kalian.” “Hai Galang, Aku Ardi, darimana kamu pindah?”
  • 16. “Eeee.. dari kota sebelah.”Galang agak ragu menjawabnya. “Oh begitu. Mengapa kamu pindah kesini?” “Aku dan keluargaku tak betah berada di rumahku yang lama. Jadi kami memutuskan untuk pindah ke daerah ini.” “Ya, aku dan keluargaku dulu juga begitu. Galang aku pamit dulu, ada latihan basket sore ini.” “Basket? Bolehkan aku ikut denganmu?” “Boleh saja. Mari ikut aku.” Akhirnya Galang bisa bermain-main dengan teman sebayanya. Sebelumnya ia tak punya teman mungkin hanya Adi satu-satunya teman Galang yang sangat setia denganya. Tapi ia masih asing dengan olahraga basket. Maklum di tempat ia tinggal dulu tak ada yang namanya olahraga basket. Bahkan olahraga sudah dilupakan penduduk mereka lebih suka berkumpul, bermain kartu, judi dan minum minuman keras. Hari sudah petang, saatnya latihan itu diakhiri dan kembali ke rumah masing-masing. Galang berjalan menuju rumahnya bersama Ardi, mereka sangat akrab seperti sahabat lama padahal mereka baru kenal beberapa jam saja. Tok tok tok… Galang mengetuk pintu rumah barunya. Gendis membukakan pintu dengan rasa lega karena adiknya pulang dengan selamat. “Darimana saja kamu Lang, aku dan ayah sudah khawatir. Dari tadi sore tidak pulang- pulang.” “Tak usah khawatir kak, aku hanya bermain dengan Ardi tetangga kita dan melihat latihan basket.” “Galang ingat, kita harus berhati-hati jangan terlalu lama berada di tempat umum. Kalau suruhan raja mengejar kita sampai kota ini bagaimana?”kata Pak Gandi. “Iya yah, Galang terlalu senang dengan kehadiran teman-teman baruku.” Esok harinya, Pak Gandi dan Gendis pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan dan peralatan-peralatan lainya. Suasana pasar sangat ramai saat itu, Pak Gandi pergi ke toko peralatan dan Gendis mencari bahan-bahan makanan. Mereka tak boleh lama-lama di pasar, bisa saja anak buah raja menari keberadaan mereka sampain kota itu.
  • 17. Gendis sangat senang bisa pergi ke pasar walaupun ia tak bisa berlama-lama disana. Biasanya ia tak berani keluar apalagi sampai di tempat umum seperti ini. Pedagang di pasar yang sangat ramah membuat Gendis betah dan begitu menikmati suasana pasar. Tiba-tiba kesibukan pasar di kejutkan dengan keributan di dekat toko pecah belah, ada seorang lelaki yang tergeletak tak bernyawa bersimbah darah. Gendis menahan tangisnya, jangan sampai laki-laki itu adalah ayahnya. “Bu, siapa laki-laki itu bu?”tanya Gendis kepada seorang ibu paruh baya yang baru saja keluar dari kerumunan. “Saya tidak tahu nak, sepertinya dia orang baru disini. Baru sekali ini ibu melihatnya.” “Siapa bu yang membunuhnya?” “Ibu juga tidak tahu siapa pembunuhnya, ia berlari begitu cepat nak. Mengapa kau begitu pucat seperti itu? Apa kau kenal dengan lelaki itu?” “Tidak bu. Saya hanya takut dengan darah. Jadi muka saya pucat seperti ini.” “Ya sudah, jangan mencoba mendekat kalu kamu takut.” Gendis segera berlari menuju jalan dan bergegas untuk pulang dan menceritakan semua yang telah terjadi. Gendis ketakutan, jangan sampai langkahnya di ikuti oleh anak buah raja. Adiknya pasti sangat sedih dan terpukul jika mendengar ceritanya. Tok tok tok… “Galang, cepat bukakan pintu.” “Mana ayah kak?” “Semoga ini tak benar, aku tadi berpisah dengan ayah. Aku membeli sayur-sayuran dan ayah membeli peralatan. Saat aku membeli sayur, banyak orang berkerumun di depan toko pecah belah. Mereka menemukan seorang laki-laki yang sudah tak bernyawa lagi. Aku berfikir itu ayah, tapi aku sangat berharap itu bukan ayah. Aku ketakutan dan aku memutusakn untuk pergi dari pasar. Aku sangat berhati-hati saat pulang tadi, aku takut ada yang mengikuti di belakangku.” “Aku akan mencari informasi, kakak dirumah saja. Kunci pintu!” Hati Gendis mulai tenang, sekarang ia merasa lebih aman berada di dalam rumah. Tapi ia masih penasaran dengan orang yang dibunuh di pasar tadi. Gendis belum rela jika
  • 18. orang itu adalah ayahnya. Jika memang benar orang itu ayahnya, ia juga tak bisa berbuat apa- apa. Brak… Pintu depan di dobrak oleh seorang laki-laki. Gendis mengenali laki-laki itu, dia Pamo si anak buah andalan raja. Tangannya yang gemuk masih berlumur darah segar yang telah kering. Gendis mencoba untuk lari lewat pintu belakang. Orang itu mengejar Gendis dan Gendis pun tertangkap. “Tak usah lari kau!” “Lepaskan. Jangan bunuh aku.” “Tidak, tenang saja aku tak akan membunuhmu. Tapi nanti, jika sudah sampai kerajaan, kuhabisi nyawamu. Katakana dimana adikmu?” “Aku tak tau, entah dia pergi kemana.” “Ya sudah, dia tak terlalu penting bagiku. Kau jangan mencoba melawanku!”kata Pamo sambil membungkam mulut Gendis. Parr… Pamo menampar Gendis samapi ia pingsan. Pamo mengeluarkan sebuah karung dari dalam jaket hitamnya. Nampaknya karung itu telah dipersiapkan sebelum ia pergi ke tempat itu. Ia masukkan Gendis ke dalam karung tersebut dan membawanya pergi. Tak lupa ia melemparkan selembar kertas ke ruang tamu sebagai tanda pamit kepada penghuni rumah yang masih tersisa. Galang terkejut saat ia melihat pintu rumahnya terbuka dan tak ada orang yang berada di rumahnya. Kakaknya tak ada di rumah itu hanya ada selembar kertas yang ada di ruang tamu. Galang mengambil kertas tersebut dan membacanya. GENDIS MASIH ADA. TAPI TAK TAHU BERAPA JAM LAGI. AKU YANG MEMBACOK AYAHMU. HATI-HATI NAK! Satu masalah belum selesai satu masalah lagi datang. Galang berlari ke luar dan mencoba mengejar kakaknya ke stasiun. Pasti ia pergi menggunakan kereta api. Tak mungkin ia akan berjalan sejauh 100 kilometer. Benar saja, ia melihat seorang laki-laki membawa karung besar menaiki sebuah kereta kelas ekonomi yang melaju sangat cepat. Percuma saja, secepat apapun Galang berlari tak akan melampaui kecepatan kereta listrik itu.
  • 19. Galang hanya bisa menangis tertunduk lesu melihat kenyataan yang begitu menyakitkan. Ia menyesal mengapa ia pergi keluar rumah hanya untuk memastikan orang yang telah tak bernyawa dan meninggalkan kakaknya tinggal dirumah sendirian. Galang merasa di bodohi oleh musuh-musuhnya. Galang pulang dan mengambil sisa-sisa perbekalan yang dibawa kakaknya kemarin. Ia akan pergi dari kota tersebut sebelum mereka datang lagi untuk menghabisinya. Galang kembali ke stasiun dan menumpang sebuah kereta untuk pergi ke pelabuhan. Ia belum merasa aman jika belum menyebrang laut dan tinggal di pulau yang berbeda. Galang menyewa sebuah kamar kos tak jauh dari pelabuhan. Persediaan uang yang ada terus berkurang, jika ia tak bekerja mungkin ia tak bisa bertahan hidup. Galang pergi ke pelabuhan dan mencoba mencari pekerjaan di sana. Tak banyak yang bisa ia kerjakan, ia hanya membantu mengangkat barang-barang penumpang menuju angkutan yang telah menunggu. Uang-uang koin ia dapatkan dari jasa angkat barang. Tak begitu ia permasalahkan, asalkan halal apapun ia kerjakan. Berhari-hari Galang menjalani kehidupanya sebagai kuli angkut barang. Ia hidup sebatang kara, tak ada ayah ataupun kakaknya. Ia tak tahu lagi bagaimana keadaan kakaknya saat ini. Benar-benar kejam Raja Bambo itu. Sebenarnya yang membawa mereka pergi adalah Galang, tapi mengapa ayah dan kakaknya yang terkena akibatnya. “Koran koran, Koran koran. Koran mas!” “Ya, satu pak.” Koran yang ia genggam mungkin akan sedikit menghiburnya yang haus akan informasi-informasi terbaru. Ia buka halaman demi halaman. Berita, artikel iklan-iklan pun ia baca. Sampai ia menemukan sebuah pengumuman pencarian orang. Ada foto hitam putih di atas tulisan data orang tersebut. Sepertinya Galang mengenali orang itu, sangat kenal. Foto hitam putih itu taka sing baginya, ia mencoba mengingat-ingat siapa yang ada di foto tersebut. “Raja,”katanya. Galang mengenali orang yang berada di foto tersebut yaitu Raja Bambo. Tapi mengapa namanya berbeda? Raja Bambo bernama Herisman tapi yang tertulis di Koran tersebut adalah Heru alias Widi. Ia tak tahu mengapa ia menjadi salah satu orang yang dicari kepolisian. Pastinya ia bukanlah orang yang baik, mungkin saja ia penjahat atau perampok. Tak ada salahnya ia mendatangi kepolisian untuk memastikannya. Sampai di kantor polisi Galang mengutarakan maksud kedatanganya. Ia mengenal orang yang berada dalam foto tersebut tapi ia asing dengan namanya.
  • 20. “Begini pak, sepertinya saya mengenal orang yang barada di foto ini. Tapi namanya berbeda, setahu saya orang ini bernama Herisman.” “Adik tahu sendiri seorang penjahat memiliki banyak nama. Coba adik lihat foto ini, mungkin lebih jelas.” “Ya benar. Orang ini telah membunuh ayah saya dan menculik kakak saya pak.” “Kalau begitu mari ikut saya.” Galang mengikuti langkah polisi itu menuju mobil yang terparkir di depan gedung. Ia masuk ke dalam mobil yang membawanya ke sebuah tempat. Bukanlah sebuah gedung instansi melainkan sebuah rumah bergaya kuno yang terlihat sangat kokoh. Mereka berdua dipersilahkan masuk oleh seorang wanita yang membukakan pintu. Sekitar 45 tahun umurnya, ia begitu ramah pada kami. “Selamat siang, tuan Brady. Saya membawa kabar baik tentang kasus anda.” “Selamat siang. Bagus kalau begitu, duduklah. Bagaimana-bagaimana?”kata orang yang berpakaian rapi itu. “Perkenalkan ini Galang, baru saja ia melapor ke kantor bahwa ia mengenali orang yang ada di foto yang saya muat di koran. Ia juga bercerita bahwa ayahnya meninggal karena orang yang anda cari. Maaf saya harus pergi dan semoga perbincangan kalian membuahkan hasil.” “Oh begitu, terimakasih banyak,”kata orang yang berada di hadapan Galang itu. “Maaf bolehkah saya langsung bercerita?”tanya Galang. “Tentu saja anak muda. Silahkan!” “Saya mengenal orang ini sebagai Herisman, ia adalah raja di Kerajaan Bambo. Kehidupan di kerajaan sana sangat tidak nyaman, setiap hari berteman dengan ancaman, terror dan kekejaman. Sampai suatu saat kakak saya akan dinikahi oleh Herisman. Tapi say menolak dan memutuskan untuk membawa ayah dan kakak saya ke kota. Tak lama saya tinggal di kota, ayah saya berhasil di bunuh oleh orang suruhanya dan kakak saya diculik. Saya sangat terpukul dan saya pergi ke pulau ini untuk mencari ketenangan. Saya menyewa sebuah kamar kos di dekat pelabuhan. Saya bekerja di pelabuhan sebagai kuli angkut dan kebetulan saya melihat pengumuman di koran tadi pagi. Saya sangat berkeinginan untuk mengembalikan keadaan kerajaan seperti yang dulu lagi. Walaupun ayah dan kakak saya tak bisa kembali, saya mau melakukan apapun untuk mengembalikan keadaan kerajaan.”
  • 21. “Bagus nak. Kalau begitu kau tinggal disini saja. Keamanan akan terjamin, nanti aku akan menghubungi polisi untuk memperketat sekeliling rumahku ini. Aku juga sudah lama mencari orang ini, ia telah membuat kekacauan. Ia pernah meledakkan bom di dekat gereja dan ribuan orang menjadi korbanya termasuk anakku yang paling kecil. Ia baru berumur 10 tahun saat itu.” “Semoga saja ia cepat ditangkap. Tapi perbatasan kerajaan itu dijaga sangat ketat. Apalagi setelah saya melarikan diri.” “Benar benar orang itu, sangat cerdas. Ia menjadi raja dan memperketat keamanan untuk menutupi kebusukannya. Kalau begitu kau istirahat saja nak, besok kau temani aku ke perbatasan. Tak usah takut ada aku dan teman-teman ku yang akan membantu.” Galang diperlakukan seperti saudara dekat di keluarga tersebut. Rumah itu begitu nyaman membuat Galang sangat menikmati istirahatnya saat itu. Tuan Brady seorang yang sangat memikirkan dengan cermat setiap keputusan yang ia buat. Mengerutkan dahi dan mondar-mandir di ruang kerjanya menjadi salah satu tanda ia mulai menyelami alam pikiranya. Setelah makan malam, Galang dan Tuan Brady berbincang-bincang soal kehidupan di Kerajaan Bambo yang sangat menyedihkan. Terkadang Tuan Brady menggeleng-gelengkan kepalanya karena mendengar kepedihan penduduk yang tinggal di sana. Kadang ia juga memuji buruanya itu. Perbincangan itu berakhir sekitar pukul 21.00. Galang menuju kamar berukuran sedang yang telah dipersiapkan oleh Nyonya Brady tadi sore. Tuan Brady masih betah di ruang tamu mungkin ia mempersiapkan strategi untuk meringkus buruannya. “Tidur yang nyenyak, di luar penjagaan sudah diperketat.” “Terimakasih Tuan Brady.” Keesokan harinya Galang, Tuan Brady dan ketiga temanya berangkat menuju pelabuhan dan sampailah mereka di Kota Sande. Darisana mereka menumpang sebuah truk angkutan barang yang akan menuju utara. Jika mereka menggunakan transportasi umum resikonya akan lebih besar. “Ini daerah perbatasan selatan. Coba kau amati tuan,”kata Galang sambil mengintip lewat celah-celah badan truk. “Ya, seperti yang aku bayangkan. Sepi tapi ramai penjagaan. Apa pusat kerajaan berada di utara?”
  • 22. “Benar tuan. Jika kita turun disini, mungkin kita terlalu lama menuju kerajaan dimana Herisman berada.” Tuan Brady dan teman-temanya asik mengatur strategi selama perjalanan. Sesekali Tuan Brady menanyakan sesuatu kepada Galang. Galang tak mau ikut campur dengan strategi mereka. Ia bukanlah ahli strategi, ia takut jika ide-idenya akan merusak strategi Tuan Brady. Lebih dari 6 jam truk itu berjalan sekitar satu jam lagi mereka akan tiba di utara. Mereka bersiap-siap dengan senjatanya. Pukul 13.10 mereka tiba di perbatasan utara. Mereka turun di jalan raya dan berjalan kaki menuju perbatasan. Perbatasan itu tak seperti biasanya, mengkin kini penjagaan dipusatkan di sebelah selatan tempat keluar Galang dan keluarganya. Mereka masuk dengan leluasa, di jalan-jalan kecil berdebu itu mulai terlihat anak buah-anak buah raja yang berjaga. Kedua teman Tuan Brady sangatlah pandai membereskan lima orang anak buah raja. Mereka berempat harus berhati-hati penjagaan semakin ketat. Tembok pagar kerajaan sangatlah tinggi tapi semangat mereka untuk menangkap si Herisman lebih tinggi dan lebih tebal daripada tembok di depan mereka. Dua orang teman Tuan Brady melewati sisi kiri dan kanan kerajaan dan mereka akan masuk melalui pintu depan. Galang dan Tuan Brady masuk melalui pintu belakang. Disana istri-istri raja yang diperlakukan tak semestinya dan Galang melihat kakaknya berada dalam jeruji besi. Galang membebaskan mereka dan budak-budak raja lainya. Di dapur kerajaan terlihat beberapa koki yang kurus sibuk dengan bagianya masing- masing. Gendis berada di paling depan agar koki-koki itu tak terkejut saat Galang dan Tuan Brady masuk. Kerjasama yang sangat baik, koki-koki itu diam tanpa suara. Seperti tak ada orang asing yang masuk ke istana. “Galang kau masuk dulu. Tak usah takut, aku mengikutimu. Bawa pistol ini,”bisik tuan Brady. Galang hanya mengangguk dan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuan Brady. Galang akan berhadapan dengan Herisman, penjahat kelas berat yang telah bertahun-tahun menjadi buruan kepolisian dan sekarang bertahta raja di Kerajaan Bambo. Dalam hitungan menit tahtanya akan runtuh benar-benar runtuh. “Herisman!”teriak Galang “Kamu! Sialan! Berani-beraninya kau menginjakkan kaki di istanaku ini. Penjaga kesini kalian bawa anak ini keluar dari istanaku.”
  • 23. “Hei… Sebenarnya siapa yang kau panggil? Mereka semua sudah dibereskan oleh teman-temanku. Tenang saja, kita ngobrol sebentar di ruangan megah ini,”kata Galang, padahal ia tak tahu apakah penjaga-penjaga itu memang sudah dibereskan oleh kedua teman Tuan Brady. “Hallo Herisman alias Heru alias Widi. Buruanku yang sangat cerdas,”kata Tuan Brady yang berada di belakang Herisman. “Kau!”teriak Herisman. Herisman dengan muka ketakutan berusaha melarikan diri dari ruangan itu. Tapi peluru yang ditembakkan oleh Tuan Brady lebih cepat melesat dan terbenam di punggungnya. Satu peluru lagi yang Galang tembakkan, menurutku peluru itu telah melukai tengkuknya. Peluru itu peluru pembalasan. Galang begitu ikhlas menembakkan peluru itu dan ia takkan menyesal telah melakukanya. Cita-cita Galang telah terwujud, tahta raja telah diruntuhkan. Saat ini raja telah menjadi mayat kaku dan melanjutkan perjalanannya ke alam kubur. Mayat Herisman dibawa dengan mobil polisi menuju ke kota. Mungkin mayat itu akan diserahkan kepada keluarganya atau mungkin saja keluarga Herisman tak menerimanya lagi. Mendung hitam pekat yang menyelimuti Kerajaan Bambo kini telah terhapus dengan perjuangan Galang. Andaikan Galang tak memiliki sedikit keberanian untuk keluar dari kegelapan pekat yang mengisi Kerajaan Bambo, mungkin saat itu Herisman masih duduk di singgasana yang sebenarnya tak pantas untuk dirinya. Galang berfikir mustahil untuk mengembalikan Pak Gandi ayahnya. Tapi ia bersyukur masih ada Gendis yang akan menemaninya berjuang untuk mengembalikan keadaan kerajaan. Keadaan aman tentram suasana pedesaan khas Kerajaan Bambo kini telah kembali. Teman- teman Galang mulai meninggalkan budaya alkoholisme dan mulai bergaul kembali dengan Galang.
  • 24. Cerita Pendek “Keluar dari Lingkaran Kegelapan” Karya : Ihsan Nur Alimah XD/12 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Wonosari Ajaran 2012/2013