1. ANALISIS PERBANDINGAN INTERFERENSI LINK GELOMBANG
MIKRO PADA DAERAH URBAN DAN RURAL MENGGUNAKAN
SOFTWARE PATHLOSS 5.0
Evi Oktaviasari1
, Ade Wahyudin2
, Alfin Hikmaturokhman3
1,2,3
Program studi S1 Teknik Telekomunikasi, IT Telkom
Jl. D.I. Panjaitan No. 128, Purwokerto, 53147
Email : 14101052@st3telkom.ac.id
Abstrak – Dalam perencanaan jaringan gelombang mikro dibutuhkan jaringan yang memiliki kehandalan sistem
yang bekerja secara optimal. Namun ada kalanya kehandalan jaringan tidak bekerja secara optimal, salah satu
faktor penyebabnya adalah adanya interferensi. Oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan interferensi pada
jaringan transmisi untuk menganalisis interferensi yang terjadi serta optimasi untuk menghilangkannya. Untuk
mengetahui hal tersebut maka dilakukan simulasi perancangan jaringan menggunakan software Pathloss 5.0.
Penelitian ini dilakukan pada daerah urban yaitu pada link hop Pluit Karang Barat-Kuningan Barat-Condet serta
pada jaringan yang berada di daerah rural yaitu pada link hop Cibadak-Cibolangkaler-Sukabumi. Interferensi
yang terjadi menyebabkan penurunan nilai availability. Pada daerah urban terjadi penurunan availability sebesar
0,00313%, sedangkan pada daerah rural terjadi penurunan availability sebesar 0,00014%. Ada beberapa metode
yang digunakan untuk menghilangkan kasus interferensi yaitu dengan mengganti sub band, merubah polarisasi
antena, serta menambahkan power pada jaringan. Dari beberapa metode tersebut yang paling optimal untuk
menghilangkan interferensi adalah dengan mengganti sub band. sub band yang sebelumnya menggunakan sub
band C dengan channel 1 (7.747,70 MHz-8.059,02) menjadi sub band D dengan channel 5 (7.866,30MHz-
8.177,62 MHz). Setelah dilakukan optimasi dengan mengganti sub band, maka interferensi yang terjadi dapat
dihilangkan dan besarnya peningkatan availability setelah optimasi bernilai sama dengan besarnya penurunan
unavailability ketika interferensi.
Kata kunci – gelombang mikro, interferensi, pathloss 5.0, availability
Abstract— Microwave communications network planning needed network who have the reliability of a system
that works optimally in providing service. But there are times when network reliability does not work optimally,
one of the factors is the interference. Therefore it is necessary to check interference on the transmission network
to analyze the interference and optimization to eliminate it. To know this then do the simulation of network
design using software Pathloss 5.0. This research was conducted on a network located in the urban area that
occurred in the case of interference link hop Pluit Karang Barat-Kuningan Barat-Condet, and on the
transmission network is in the rural case interference happens on the links hop Cibadak-Cibolangkaler-
Sukabumi. The interference that occurs causes a decline in availability. Urban areas decline in availability of
0.00313%, and in areas of rural decline of 0.00014% availability. There are several methods used to eliminate
interference cases by replacing the sub band, changing the antenna polarization, and adding power on the
network. The most optimal methods of eliminating interference is by replacing the sub band. Sub band that
formerly used the sub band C with channel 1 (7,747.70 MHz-8,059.02 MHz) become sub band D with channel 5
(7.866, 30MHz-8,177.62 MHz). After optimization by replacing sub-bands, interferences can be removed and the
magnitude of the improvement availability after the optimization value is equal to the magnitude of the decline in
unavailability when interference.
Keywords-microwave, interference, Pathloss 5.0, availability
I. PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya teknologi pada bidang
telekomunikasi, meningkat pula permintaan akan
penyediaan layanan telekomunikasi yang memiliki
kapasitas yang besar serta memiliki kecepatan yang
tinggi. Penggunaan frekuensi tinggi pada sistem
komunikasi menggunakan gelombang mikro sangat
diperlukan untuk mengatasi masalah teknologi
komunikasi yang semakin berkembang. Walaupun
memiliki beberapa keunggulan bukan berarti sistem
komunikasi gelombang mikro yang ada saat ini
sudahlah sempurna dan tidak memiliki permasalahan.
2. Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam
sistem komunikasi gelombang radio yaitu sering
terjadi interferensi. Interferensi ini akan mengganggu
suatu komunikasi data sehingga data yang akan
dikirimkan menjadi terhambat dikarenakan adanya
interferensi tersebut. Interferensi ini dapat diatasi
dengan perencanaan yang baik dalam pemakaian
frekuensi radio.
Interferensi yang terjadi pada suatu link pada
daerah yang berbeda pasti tidak akan sama sehingga
untuk dapat menganalisa interferensi yang terjadi
diperlukan perancangan link microwave dengan
menggunakan software Pathloss 5.0. Software
Pathloss 5.0 berfungsi sebagai alat bantu untuk
komunikasi radio microwave. Penelitian ini
terinspirasi oleh penelitian yang berjudul “Analisa
Pengaruh Interferensi Terhadap Availability pada
Jaringan Transmisi Microwave Menggunakan
Software Pathloss 5.0” dimana pada penelitian
tersebut membahas mengenai perencanaan sebuah
jaringan transmisi radio mocrowave pada link
transmisi site Labuan-Panimbang-Cigeulis dan
menganalisa interferensi yang mempengaruhi nilai
availability.
Dengan latar belakang ini penulis mengangkat
tema dengan judul “Analisis perbandingan
interferensi antar site pada wilayah urban dan
rural menggunakan software Pathloss 5.0.”
penelitian ini dilakukan pada daerah urban pada link
transmisi site Pluit Karang Barat – Kuningan Barat –
Condet, serta pada daerah rural pada link transmisi
site Cibadak – Cibolangkoler – Sukabumi. Pada
penelitian ini akan dilakukan beberapa metode untuk
menghilangkan interferensi yaitu dengan mengganti
sub band, polarisasi dan menambah power yang
digunakan pada jaringan transmisi ini. Penelitian ini
diharapkan agar dalam perencanaan jaringan terhindar
dari interferensi yang dapat mempengaruhi nilai unjuk
kerja sistem.
II. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan dalam
penelitian ini merupakan metode penelitian dengan
studi kasus di PT. Alita Praya Mitra. Penelitian
dimulai dengan melakukan pengumpulan data yang
menunjang untuk perencanaan jaringan transmisi
microwave, data yang dibutuhkan yaitu data network
map, data parameter antena, data radio microwave,
rain file, transmission line, transmission channel.
Pada metode perancangan dilakukan
perancangan link microwave menggunakan Pathloss
5.0. Simulasi dilakukan dengan merancang dua
jaringan microwave dengan lokasi yang berbeda
namun menggunakan frekuensi dan perangkat yang
sama. Pada perancangan jaringan microwave hal
yang dilakukan yaitu memasukkan koordinat
latitude, longitude, elevasi, tinggi tower dari masing-
masing site. Kemudian memasukkan parameter-
parameter yang dibutuhkan berdasarkan perhitungan
link budget. Setelah perancangan selesai dilakukan
maka dilakukan pemeriksaan interferensi. Jika pada
jaringan transmisi tersebut terdapat interferensi maka
akan dilakukan suatu optimasi jaringan, yaitu dengan
merngganti sub band, mengubah polarisasi antena
yang digunakan dan dengan menaikan power pada
perangkat. Hal ini dilakukan untuk mencegah atau
menghilangkan interferensi agar tidak mempengaruhi
kehandalan sistem.
Ketika perancangan dan pemeriksaan selesai
dilakukan maka berikutnya adalah melakukan
perhitungan parameter link budget. Perhitungan
parameter selain didapatkan dari report simulasi
Pathloss 5.0 juga akan dilakukan secara manual.
Hasil perhitungan link budget yang dilakukan secara
manual akan dibandingkan dengan hasil report
parameter yang didapatkan dari software Pathloss
5.0.
Gambar 1. Flowchart Sistem
Setelah melakukan perhitungan rumus link
budget maka akan dilakukan analisis untuk
mengetahui bagaimana pengaruh interferensi pada
daerah urban dan daerah rural terhadap parameter
yang dihasilkan. Parameter yang diamati antara lain
gain antenna, free space loss, Effective Isotropic
Radiated Power (EIRP), Isotropic Received Level
(IRL), receive signal level, fading margin, dan
availability.
Gain merupakan parameter yang digunakan
untuk mengukur kemampuan antena untuk
mengirimkan gelombang yang diinginkan ke arah
tujuan. Besarnya nilai gain dipengaruhi oleh
3. frekuensi kerja, diameter antena dan efisiensi antena.
Besarnya nilai gain dapat dicari dengan persamaan
(1).
G = 20 log f + 20 log d + 10 log η + 20.4 (1)
Dengan,
G = Gain antena (dB)
η = Effisiensi antena (%)
d = Diameter antena (m)
f =Frekuensi kerja (GHz)
Free space loss merupakan redaman yang terjadi
di ruang bebas disepanjang ruang antara antena
pemancar dan penerima. Besarnya nilai free space
loss dipengaruhi oleh jarak antara kedua site dan
frekuensi kerja. Besarnya nilai free space loss dapat
dicari dengan persamaan (2).
Lfs = 92,45 + 20 log f + 20 log (2)
Dengan,
D = Panjang lintasan (km)
f = Frekuensi kerja yang digunakan (GHz)
Apabila frekuensi yang digunakan dalam satuan
MHz, maka persamaan yang digunakan adalah
persamaan (3).
Lfs = 32,45 + 20 log f + 20 log D (3)
Dengan,
D = Panjang lintasan (km)
f = Frekuensi kerja yang digunakan (MHz)
Effective Isotropic Radiated Power( EIRP)
merupakan nilai daya maksimum gelombang sinyal
mikro yang keluar dari antena pemancar atau dapat
disebut juga nilai efektif daya yang dipancarkan oleh
antena pemancar. Besarnya nilai EIRP dapat
diperoleh dengen menggunakan persamaan (4).
EIRP = PTX + Gantena - LTX (4)
Dengan,
PTX = Daya pancar (dBm)
G = Gain antena (dBi)
LTX = Transmitter Loss (dB)
Isotropic Received Level (IRL) merupakan level
daya isotropic yang diterima oleh antena receiver, di
mana daya tersebut ditangkap langsung dari ruang
bebas dan belum melalui rangkaian decoding. IRL
dapat diperoleh dengen menggunakan persamaan (5).
IRL = EIRP - FSL (5)
Dengan,
EIRP = Effective Isotropic Radiated Power (dBm)
FSL = Free Space Loss (dB)
Receive Signal Level (RSL) merupakan level
daya yang diterima oleh penerima yang sudah
melewati perangkat decoding. Besarnya nilai RSL
dapat diperoleh dengan persamaan (6).
RSL = IRL +GRX - LRX (6)
Dengan,
RSL = Received Signal Level (dBm)
IRL = Isotropic Received Level (dBm)
GRX = Gain antena (dBi)
LRX = Receiver Loss (dB)
Untuk mengatasi adanya fading, maka
diperlukan cadangan daya yang digunakan agar dapat
mempertahankan level daya terima di atas level batas
ambang (rx threshold). Cadangan daya tersebut
disebut dengan fading margin. Pada sistem tanpa
diversity, fading margin dapat dihitung dengan
persamaan (7)
FM = 30 log D + 10 log (axbx2,5 x f) – 10 log
UnAvpath - 60 (7)
Dengan,
D = panjang lintasan (km)
UnAvpath= ketidakhandalan sistem
f = frekuensi kerja (GHz)
a = faktor kekasaran bumi
a : 4 ; untuk daerah halus, laut, danau, dan gurun
a : 1 ; untuk daerah kekasaran rata-rata, dataran
a : ¼ ; untuk pegunungan dan dataran tinggi
b = faktor iklim
b : ½ ; untuk daerah panas dan lembab
b : ¼ ; untuk daerah normal
b : ; untuk daerah pegunungan (sangat kering)
Availability merupakan ukuran kehandalan
sistem. Semua sistem idealnya harus memiliki
availability 100%. Namun keadaan tersebut tidak
mungkin terpenuhi karena didalam suatu sistem pasti
terdapat kegagalan sistem dalam memberikan
pelayanan. Kegagalan sistem dalam memberikan
pelayanan disebut sebagai unavailability Besarnya
nilai unavailability dan availability dapat dicari
dengan persamaan (8) dan persamaan (9).
UnAvpath = a x b x 2.5 x f x D3
x 10-6
x 10 –FM/10
(8)
Avpath = (1-UnAvpath)x100% (9)
Dengan,
FM = fading margin (dB)
D = panjang lintasan (km)
UnAvpath= ketidakhandalan sistem
f = frekuensi kerja (GHz)
a = faktor kekasaran bumi
a : 4 ; untuk daerah halus, laut, danau, dan gurun
a : 1 ; untuk daerah kekasaran rata-rata, dataran
a : ¼ ; untuk pegunungan dan dataran tinggi
b = faktor iklim
b : ½ ; untuk daerah panas dan lembab
b : ¼ ; untuk daerah normal
b : ; untuk daerah pegunungan (sangat kering)
III. HASIL PENELITIAN
Perancangan jaringan microwave pada penelitian
ini dilakukan pada dua lokasi jaringan yang berbeda
yaitu daerah urban dan daerah rural. Terdapat tiga
buah site pada perancangan jaringan yang berada
pada daerah urban yaitu Pluit Karang Barat dengan
latitude 06o
06o
56.01o
S dan longitude 106o
46o
30.00o
E, site Kuningan Barat dengan latitude 06o
14o
07.58o
S dan longitude 106o
49o
26.40o
E dan site
Condet dengan latitude 06o
18o
00.70o
S dan
longitude 106o
51o
31.10o
E. Pada perancangan
jaringan pada daerah rural juga terdapat tiga buah site
yaitu Cibadak dengan latitude 06o
53o
40.00o
S dan
longitude 106o
47o
06.38o
E, site Cibolangkaler
dengan latitude 06o
54o
15.60o
S dan longitude 106o
51o
57.69o
E dan site Sukabumi dengan latitude 06o
55o
44.80o
S dan longitude 106o
56o
41.60o
E.
Perancangan jaringan dilakukan menggunakan
4. software pathloss 5.0. Hasil perancangan jaringan
dapat dilihat pada gambar 2 dan gambar 3.
Gambar 2. Perancangan Jaringan Pada Daerah Urban
Gambar 3. Perancangan Jaringan Pada Daerah Rural
Setelah dilakukan pemerikasaan interferensi
pada jaringan yang berada pada daerah urban
maupun daerah rural didapatkan hasil bahwa pada
daerah tersebut terdapat kasus interferensi. Pada
daerah urban setelah dilakukan pemeriksaan terdapat
empat kasus interferensi. Untuk melihat kasus
interferensi pada daerah urban dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Cases Interference Daerah Urban
No
Cases
Cases Interference
Case 1
Condet from Kuningan Barat – 7747,7V – threshold
degradation 26,88 dB
1-1 Kuningan Barat to Pluit Karang Barat –7747,7V -
correlated case
Distance 8,12 km
Interfering level -75,26 dBm
Threshold degradation 26,88 dB
Case 2
Kuningan Barat from Condet – 8059,02V – threshold
degradation 21,60 dB
2-1 Pluit Karang Barat to Kuningan Barat – 8059,02V
Distance 14,32 km
Interfering level -80,56 dBm
Threshold degradation 21,60 dB
Case 3
Kuningan Barat from Pluit Karang Barat – 8059,02V -
threshold degradation 26,54 dB
3-1 Condet to Kuningan Barat – 8059,02V
Distance 8,12 km
Interfering level -75,60 dBm
Threshold degradation 26,54 dB
Case 4
Pluit Karang Barat from Kuningan Barat – 7747,7V -
threshold degradation 21,95 dB
4-1 Kuningan Barat to Condet – 7747,7V - correlated case
Distance 14,32 km
Interfering level -80,21 dBm
Threshold degradation 21,95 dB
Kasus interferensi pertama pada daerah urban
berkolerasi dengan kasus interferensi yang keempat.
Karena pada kasus interferensi pertama dan keempat
yang menjadi penyebab interferensi berada pada site
yang sama yaitu Kuningan Barat dengan frekuensi
7747,7 MHz. Pada kasus interferensi yang pertama,
site yang terinterferensi (victim) adalah Condet. Pada
kasus interferensi yang kedua yang menjadi penyebab
interferensi adalah site Pluit Karang Barat dengan
frekuensi 8059,02 MHz, sedangkan site yang
terinterferensi (victim) adalah Kuningan Barat. Pada
kasus interferensi yang ketiga yang menjadi penyebab
interferensi adalah site Condet dengan frekuensi
8059,02 MHz, sedangkan site yang terinterferensi
(victim) adalah Kuningan Barat.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
kasus interferensi keempat berkolerasi dengan kasus
interferensi yang pertama. Karena pada kasus
interferensi pertama dan keempat yang menjadi
penyebab interferensi berada pada site yang sama
yaitu Kuningan Barat dengan frekuensi 7747.7 MHz.
Pada kasus interferensi yang keempat, site yang
terinterferensi (victim) adalah Pluit Karang Barat.
Pada daerah rural setelah dilakukan pemeriksaan
terdapat empat kasus interferensi. Untuk melihat
kasus interferensi pada daerah urban dapat dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Cases Interference Daerah Rural
No
Cases
Cases Interference
Case 1
Cibadak from Cibolangkaler – 7747,7V – threshold
degradation 22,99 dB
1-1 Cibolangkaler to Sukabumi – 7747,7V - correlated case
Distance 9,01 km
Interfering level -79,16 dBm
Threshold degradation 22,99 dB
Case 2
Cibolangkaler from Cibadak – 8059,02V - threshold
degradation 22,53 dB
2-1 Sukabumi to Cibolangkaler – 8059,02V
Distance 9,14 km
Interfering level -79,63 dBm
Threshold degradation 22,53 dB
Case 3
Cibolangkaler from Sukabumi – 8059,02V - threshold
degradation 22,65 dB
3-1 Cibadak to Cibolangkaler – 8059,02V
Distance 9,01 km
Interfering level -79,50 dBm
Threshold degradation 22,65 dB
Case 4
Sukabumi from Cibolangkaler – 7747,7V - threshold
degradation 22,87 dB
4-1 Cibolangkaler to Cibadak – 7747,7V - correlated case
Distance 9,14 km
Interfering level -79,28 dBm
Threshold degradation 22,87 dB
Dari tabel 1 dan tabel 2 dapat diketahui bahwa
semakin besar nilai interfering signal level yang
dihasilkan maka akan semakin besar pula ambang
degradasinya (threshold degradation). Menurut
standar, degradasi yang diperbolehkan adalah sebesar
1 dB. Apabila lebih besar dari 1 dB maka akan
mengganggu unjuk kerja link. Pada kasus interferensi
yang terjadi pada daerah urban dan rural, kasus
pertama sampai keempat memiliki threshold
degradation yang cukup besar dan tidak sesuai
standar. Threshold degradation yang bernilai besar
akan mempengaruhi unjuk kerja jaringan, oleh sebab
itu interferensi pada jaringan ini harus dihilangkan.
Ada beberapa metode yang dilakukan untuk
menghilangkan interferensi yang terjadi yaitu dengan
mengganti subband, mengubah polarisasi dan
menambahkan power antena yang digunakan. Metode
pertama yang dilakukan untuk menghilangkan
interferensi adalah dengan mengganti sub band yang
digunakan pada jaringan.
Pada daerah urban link hop pertama (Pluit
Karang Barat-Kuningan Barat) menggunakan sub
band C dengan channel 1h 8059 MHz dan 1l 7747
MHz. Untuk link hop kedua (Kuningan Barat –
5. Condet) juga menggunakan sub band C dengan
channel 1l 7747 MHz dan 1h 8059 MHz. Sub band
yang digunakan diubah menjadi sub band D dengan
channel 5l dan 1h. Sehingga antar site tidak akan
menggunakan sub band atau channel yang sama. Pada
daerah urban link hop pertama (Pluit Karang Barat-
Kuningan Barat) menggunakan sub band D dengan
channel 5h 8177 MHz dan 5l 7866 MHz. Untuk link
hop kedua (Kuningan Barat – Condet) tetap
menggunakan sub band C dengan channel 1l 7747
MHz dan 1h 8059 MHz. Hal yang sama juga
dilakukan pada jaringan yang berada pada daerah
rural.
Setelah melakukan perubahan sub band maka
selanjutnya adalah memeriksa interferensi untuk
melihat apakah metode yang digunakan dapat
menghilangkan interferensi atau tidak. Pada gambar 4
dan gambar 5 muncul tampilan “No interference
cases recorded” yang mengindikasikan bahwa
optimasi yang dilakukan dengan mengganti subband
berhasil menghilangkan interferensi baik pada daerah
urban maupun rural.
Gambar 4. Hasil Pemeriksaan Interferensi Daerah Urban
Gambar 5. Hasil Pemeriksaan Interferensi Daerah Rural
Metode kedua yang dilakukan untuk
menghilangkan interferensi adalah dengan mengubah
polarisasi. Polarisasi yang digunakan pada daerah
urban dan rural adalah polarisasi secara vertikal.
Polarisasi ini kemudian diubah menjadi polarisasi
secara horizontal. Dan metode berikutnya untuk
menghilangkan interferensi yaitu dengan mengubah
power. Power pada perangkat yang digunakan akan
dinaikkan. Perangkat yang digunakan pada setiap site
sama sehingga power yang dihasilkan pada setiap site
sama. Power yang dihasilkan pada perangkat ini
adalah sebesar 26 dBm. Power tersebut diubah
menjadi 28 dBm. Setelah dilakukan pemeriksaan
ternyata perubahan polarisasi dan power tidak dapat
menghilangkan interferensi yang terjadi.
Dari beberapa metode tersebut yang paling
optimal untuk dapat menghilangkan interferensi yang
terjadi adalah dengan mengganti sub band yang
digunakan. Interferensi sering terjadi karena
penggunaan kembali frekuensi channel yang sama
didalam satu lokasi, sehingga dengan tidak
menggunakan sub band yang sama pada satu lokasi
akan menghilangkan interferensi yang terjadi.
Mengubah polarisasi dan menambahkan power pada
perangkat yang digunakan tidak dapat menghilangkan
interferensi karena pada daerah urban dan rural masih
menggunakan frekuensi yang sama sehingga
walaupun sudah mengubah polarisasi, masih terdapat
interferensi.
IV. PEMBAHASAN
Untuk mengetahui pengaruh interferensi terhadap
parameter-parameter yang diamati maka dilakukan
perhitungan. Tabel 3 menampilkan parameter-
parameter yang diamati untuk mengetahui pengaruh
interferensi pada daerah urban.
Tabel 3. Parameter Link Budget Pada Daerah Urban
Parameter
Pluit Karang Barat -
Kuningan Barat
(Link hop pertama)
Kuningan Barat – Condet
(Link hop kedua)
Sebelum
Pemeriksaan
Interferensi
Ketika
Interferensi
Sebelum
Pemeriksaan
Interferensi
Ketika
Interferensi
Jarak 14,32 Km 8,12 Km
Gain Antena 37,20 dBi 37,20 dBi
Free Space
Loss
133,65 dB 128,72 dB
EIRP 62,10 dBm 62,10 dBm
IRL -71,55 -66,62
RSL -35,60 dBm -30,61 dBm
Fading
Margin
39,90 dB 13,36dB 44,89 dB 18,01 dB
Unavailability 0,00001% 0,00615% 0% 0,00012%
Availability 99,99999% 99,99385% 100% 99,99988%
Link hop pertama (Pluit Karang Barat-Kuningan
Barat) memiliki jarak yang lebih jauh dibandingkan
dengan Link hop kedua (Kuningan Barat-Condet). Hal
tersebut mengakibatkan nilai FSL link hop pertama
lebih besar dari pada link hop kedua. Karena FSL link
hop pertama lebih besar dari pada link hop kedua
maka RSL yang dapatkan link hop pertama jauh lebih
kecil dari link hop kedua. Fading margin yang
dihasilkan link hop pertama sebelum dilakukan
pemeriksaan interferensi adalah 39,90 dB. Setelah
mengalami interferensi fading margin mengalami
penurunan. Penurunan fading margin disebabkan
karna pada link hop pertama memiliki threshold
degradation sebesar 26,54 dB. Untuk megetahui
threshold degradation dapat dilihat pada tabel 1.
Karena fading margin mengalami degradasi sebesar
26,54 dB maka fading margin yang dihasilkan ketika
interferensi adalah sebesar 13,36 dB.
Pada link hop kedua daerah urban fading margin
yang dihasilkan sebelum dilakukan pemeriksaan
interferensi adalah 44,89 dB. Setelah mengalami
interferensi fading margin mengalami penurunan.
Penurunan fading margin disebabkan karna pada link
hop kedua memiliki threshold degradation sebesar
26,88 dB, threshold degradation pada link hop kedua
lebih besar jika dibandingkan dengan link hop
pertama. Fading margin mengalami degradasi sebesar
26,88 dB sehingga fading margin yang dihasilkan
ketika interferensi adalah sebesar 18,01 dB. Semakin
6. besar threshold degradation yang dihasilkan maka
fading margin yang dihasilkan akan semakin kecil.
Semakin kecil nilai fading margin yang dihasilkan
maka akan semakin besar unavailabilitynya. Semakin
besar nilai unavailability yang dihasilkan maka akan
semakin kecil nilai availabilitynya. Availability pada
daerah urban link hop pertama sebelum dilakukan
pemeriksaan interferensi yaitu 99,99999% dan link
hop kedua sebesar 100%. Availability yang dihasilkan
pada link hop pertama ketika terjadi interferensi yaitu
99,99385%, dan link hop kedua 99,99988% sehingga
mengalami penurunan availability sebesar 0,00313 %.
Setelah dilakukan optimasi dengan mengganti sub
band, besarnya fading margin dan availability akan
kembali seperti sebelum pemeriksaan interferensi.
Tabel.4 Parameter Link Budget Pada Daerah Rural
Parameter
Cibadak – Cibolangkaler
(Link hop pertama)
Cibolangkaler – Sukabumi
(Link hop kedua)
Sebelum
Pemeriksaan
Interferensi
Ketika
Interferensi
Sebelum
Pemeriksaan
Interferensi
Ketika
Interferensi
Jarak 9,01 Km 9,14 Km
Gain Antena 37,20 dBi 37,20 dBi
Free Space
Loss
129,63 dB 129,75 dB
EIRP 62,10 dBm 62,10 dBm
IRL -67,53 -67,65
RSL -31,25 dBm -31,64 dBm
Fading
Margin
43,98 dB 22,97dB 43,86 dB 22,97 dB
Unavailability 0% 0% 0% 0,00014%
Availability 100% 100% 100% 99,99986%
Tabel 4 menampilkan parameter-parameter yang
diamati untuk mengetahui pengaruh interferensi
terhadap parameter-parameter link budget pada daerah
rural. Fading margin yang dihasilkan pada daerah
rural link hop pertama sebelum dilakukan pemeriksaan
interferensi adalah 43,98 dB. Ketika mengalami
interferensi, fading margin mengalami degradasi
sebesar 21 dB. Untuk mengetahui threshold
degradation pada daerah rural dapat dilihat pada tabel
2. Karena fading margin mengalami degradasi sebesar
21 dB maka fading margin yang dihasilkan ketika
interferensi adalah sebesar 22,97 dB. Pada link hop
kedua daerah urban fading margin yang dihasilkan
sebelum dilakukan pemeriksaan interferensi adalah
44,86 dB. Setelah mengalami interferensi fading
margin mengalami degradasi sebesar 20,88 dB
sehingga fading margin yang dihasilkan ketika
interferensi adalah sebesar 22,97 dB.
Pada link hop pertama, interferensi yang terjadi
tidak mempengaruhi nilai availability, sehingga
availability yang didapatkan memiliki nilai yang tetap
yaitu sebesar 100 %. Kemudian pada link hop kedua
ketika interferensi mendapatkan availability sebesar
99,99986%, sehingga mengalami penurunan
availability sebesar 0,00014 %. Setelah dilakukan
optimasi dengan mengganti sub band, besarnya fading
margin dan availability yang dihasilkan pada daerah
rural akan kembali seperti sebelum pemeriksaan
interferensi.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Interferensi yang terjadi pada daerah urban
maupun daerah rural menyebabkan terjadinya
penurunan nilai fading margin pada jaringan
microwave. Penurunan fading margin yang
terjadi pada daerah urban adalah sebesar 26,54
dB pada link hop pertama dan 26,88 dB pada link
hop kedua. Sedangkan penurunan fading margin
yang terjadi pada daerah rural link hop pertama
adalah sebesar 21 dB dan pada link hop kedua
adalah sebesar 20,88 dB.
2. Penurunan nilai fading margin menyebabkan
nilai unavailablity pada jaringan meningkat.
Semakin meningkatnya nilai unavailability maka
akan menyebabkan penurunan nilai availability
yang didapat. Pada daerah urban terjadi
penurunan availability sebesar 0,00313%,
sedangkan pada daerah rural terjadi penurunan
availability sebesar 0,00014%.
3. Pada kasus ini metode yang dapat menghilangkan
interferensi adalah dengan mengganti sub band.
Interferensi sering terjadi karena penggunaan
kembali frekuensi channel yang sama dalam satu
lokasi, sehingga dengan tidak menggunakan sub
band yang sama pada satu lokasi akan
menghilangkan interferensi.
B. Saran
Adapun saran untuk pengembangan penelitian
berikutnya adalah melakukan perbandingan terhadap
interferensi pada jaringan yang berada pada kondisi
jaringan yang berbeda. Selanjutnya dapat dilakukan
penelitian mengenai perbandingan perangkat yang
digunakan pada perancangan jaringan transmisi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] A. Hikmaturokhman, “Diktat Kuliah Gelombang
Mikro,” Akademik Teknik Telekomunikasi Sandhy
Putra Purwokerto, Purwokerto, 2007.
[2] R. G. Winch, Telecommunication Transmission
System Microwave, Fiber Optic, Mobile Celluler
Radio, Data and Digital Multiplexing, Singapore,
1993.
[3] R. L. Freeman, Fundamental of Telecomunication,
New York, 1999.
[4] Hikmaturrokhman, Alfin. "Analisa Pengaruh
Interferensi Terhadap Availability pada Jaringan
Transmisi Microwave Menggunakan Software
PATHLOSS 5.0 Studi Kasus di PT. Alita Praya
Mitra." JURNAL ILMIAH †œECOTIPEâ€
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO-FAKULTAS
TEKNIK UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG 1.2
(2014).
[5] R. L. Freeman, “Telecommunication System
Engineering,” New York, 2004 .
[6] H. Lehpamer, Microwave Transmission
Network: Planning, design, and Deployment
Second Edition, New York: The McGraw-Hill
Companies. All rights reserved, 2010.