SlideShare a Scribd company logo
1 of 46
Download to read offline
Pandangan Hidup
Tan Malaka (1948)
Kontributor: Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Feb 2008)

1. MANUSIA MONYET
Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita untuk ingatan kita sekarang, ketika
mungkin kepulauan Indonesia masih besartu antara satu dengan lainnya, juga dengan Filipina
dan benua Asia bahwa mungkin juga dengan Australia, menurut seorang ahli hiduplah disini,
dekat desa Trinil, makhluk setengah hewan setengah manusia, yang oleh ilmu dinamakan
pithecantropus erectus, manusia monyet. Di belahan bumi lain seperi di Tiongkok Utara, Afrika
Selatan, serta Eropa Selatan dan Tengah ditemukan juga mahluk semacam itu.
Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi (ilmu hayat) mendapatkan pandangan
dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selama ini
tentang asal-usul dan hari akhir manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti,
kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di alam raya kita
ini, di Universe kita ini.

2. INDONESIA SEDERHANA
Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali mengamati penghuninya! Maka
sekarang pun Indonesia masih dapat menyaksikan manusia pada tingkat yang serendahrendahnya, yang berada di antara jenis hewan yang paling tinggi derajatnya, seperti orang utan,
dengan pelbagai penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya
dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan seperti banyak orang Irian (Papua) masih bisa
mendapatkan semua keperluan hidupnya daripada Alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa
mengerahkan otaknya dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk
mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau untuk memperoleh senjata buat
membela diri mereka terhadap hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah dari pohon di
berlainan tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk
menjamin hidup mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu
mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu yang dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon,
cukup pula untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada beberapa bagian di kepulauan
Indonesia. Ini saya majukan untuk memberi penjelasan, betapa dekat dan eratnya hubungan alam
dan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tidaklah mendorong manusianya membanting
tulang serta memutar otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta
memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam
yang kejam. Di mana keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian dan
pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi dimana keadaan alam dan
masyarakatnya mengalami perubahan, disana tenaga dan otak penduduk Indonesia menunjukkan
juga kesanggupan penuh terhadap segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki
oleh alam dan masyarakat yang berubah itu. Sungguh besar perbedaan alam jiwanya orang
Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi
dengan alam-jiwanya seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh, doker, insinyur, atau
pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan bukan pula dengan maksud memuji atau menghina,
saya berani mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika berada dalam keadaan sama akan
sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di
desa dan kota. Perbedaan orang Indonesia berada dengan yang sederhana (primitive) bukanlah
disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh
perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan oleh kodrat pendorong.

3. ANIMISME.
Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat adanya perbedaan Pandangan
Hidup (Weltanschauung) Indonesia beradab dengan Indonesia primitif itu. Buat mengerti hal ini,
maka sebaiknya sekejap kita mengandaikan berada di tengah-tengah hutan rimba Sumatera,
Kalimantan, atau Irian! Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat seluruh penduduk pulau Jawa,
agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan
jiwa kita.
Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang selalu gelap-gulita karena sang
matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang
mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak dan belukar, karena mungkin
menyembunyikan biantang buas atau berbisa, semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak
berdaya sebagai manusia menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam.
Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal sekali mencerminkan alam-luar itu
kepada alam-dalamnya, kepada jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam
dirinya disebabkan olah jiwa yang berada di Alam-Luar, yakni yang berada dalam hutan rimba
raya itu. Buat pikiran orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh
pohon besar. Demikianlah di mata orang sederhana itu, semua benda yang dahsyat di sekitarnya
dianggap mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang dahsyat, air
mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya; bahkan batu dan kayu pun
dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik, yang terpendam dalam pengalamannya seharihari belum lagi begitu terpisah dalam pandangannya. orang sederhana memuja bukan yang baik
asal baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya, yang baik
maupun yang jahat. Hantu yang jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana
daripada hantu yang baik, yakni hantu kawan manusia. tentulah di mana alam sangat dahsyat di
sanalah hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang buaya mendapat perhatian lebih dari pada
yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan
serba-serbi itu pula, berdasarkan paham yang oleh para ahli dinamai kepercayaan animisme.
Semua yang ada di alam ini dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan alamnya di mana mansuia itu
berlaku pasif, menerima, bahkan menderita ketakutan saja, di masa inipun berlakulah hukum
dialektika, yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran
sifat (quantity into quality).
Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air
dan menderita bermacam-macam penyakit, lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala
pengorbanan dan pemujaan kepada salah satu yang paling ditakuti di antara banyak-yangditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air, atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah
Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu, yang paling penting-cocok dengan penghidupan dan
pengalaman sehari-hari. Dimana pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka
hantu pemburulah yang sengat dipuja. Di sinilah hantu-pemburu akhirnya mendapat kehormatan
sebagai Maha-Hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah agak ramah-tamah, maka yang baik
mendapat perhatian agak lebih dari yang jahat. Konon kabarnya ada satu suku bangsa Irian yang
menganggap pohon aren atau enau sebagai Tuhan dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren
juga antara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang telah memberikan
segala-galanya yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu dari pohon Aren adalah makanan
yang sehat dan mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai buat atap rumah.
Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak penangkap ikan dan alat membela diri terhadap
musuh.
Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang berurutan dari satu sampai tujuh
tahun. Tebanglah pohon ketujuh yang berumur tujuh tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah
satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seorang anggota, yakni
memotong sepohon sagu sekali satun dan menanam sepohon sagu sekali setahu. Selainnya itu dia
boleh memancing atau berburu, berkelahi atau bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi
Sagu-lah yang dianggapnya pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam segala-galanya.
Demikianlah dalam Swarga-Loka di Irian.
Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia
kepada makhluk manusia di sekelilingnya.
4. KEPERCAYAAN INDIA.
Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke masyarakat lain, yakni India! Salah
satu kesimpulan yang kita peroleh setelah membaca buku suci Mahabarat, Ramayan, dan
Upanishad, serta tulisan tentang hidupnya Sidharta Gautama, Sang Budha, dan agama Budha,
yakni bahwa pertama kali India mempunyai penduduk asli dan penduduknya terdiri dari
bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau
Selatan!
Kedua, bahwa mayarakat India di masa semua buku tersebut dikarang sudah mengenal alat
perkakas produksi yang dibuat dari logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari komunis asli ke tingkat feodal yang
mengenal beberapa raja dan maharaja, sedangkan aturan desanya berdasarkan komunis asli.
Keempat, dan inilah pula yang perlu diperhatikan disini, bahwa kebudayaan dan agama India
yang tertulis itu cukuplah mencerminkan masyarakatnya di masa itu buat mereka yang
berpedoman dialektisme materialistis, jadi bukan dialektisme idealistis.
Memang dalam kitab suci India itu sukar diperoleh fakta sejarahnya (historical facts) dan sukar
pula didapat konsistensinya, yakni persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua
kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sense. Malah tarikh pun, yakni salah satu syarat
yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat.
Maksudnya di sini tidaklah akan bisa mengambil suatu kesimpulan secara pasti dari Buku-Suci
yang tidak berdasarkan historical facts itu. Cuma sekedar menimbulkan kesamaan petunjuk buat
ahli pemeriksa.
Berhubungan dengan dongeng Ramayana, maka dengan sendirinya timbul dalam hati kita
pertanyaan, apakah monyet putih atau Hanoman itu benar penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu
gaib ataukah tiada lebih tepat bahwa Hanoman si Monyet Putih itu adalah seorang Panglima
Aria, yakni bangsa Kaukasia yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula bahwa perkataan
monyet itu adalah satu ejekan dari bangsa India asli, yang berkulit hitam, seperti bangsa Keling?
Kita pun di Indonesia ini mengenal kata ejekan terhadap orang asing-putih, penjajah, yakni kebo
bule, siwer matan.
Namun bagaimanapun juga, bagi saya dongeng Monyet Putih itu adalah suatu petunjuk buat
memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan yang sedikit kuat, yang kita peroleh
dari dongengan Monyet itu ialah: India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli atau
pun yang masuk menyerbu.
Mungkin sekali perbedaan kasta itu – yang belum pasti terbentuk dalam kitab suci itu, tetapi
terlaksana sampai menjadi kurang lebih 3000 kasta pokok, cabang, dan ranting di masa
imperialisme Inggris – bersandar mulanya kepada perbedaan bangsa.
Yang tiada pula kurang memberi sugesti kepada saya ialah adanya Trimurti, adanya tiga
Mahadewa Hindu, yakni Wisnu Sang Pembangun, Shiwa Sang Perusak, dan Brahma Sang
Pemelihara.
Banyak orang yang melihat pelaksanaan dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memang
banyak ahli dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas dialektika idealistik,
bukan dialektika materialistik, meskipun Hegel menganggap dialektika Hindu itu kurang
kaitannya antara satu faktor dengan faktor yang lain, yakni antara tesis dan anti tesis.
Bagaimanapun juga Trimurti dari mahadewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu cocok
sekali dengan Pandangan Hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir
ataupun batin. Tidak sukar membelokkan proses tersebut kepada trimurti Hegel, yakni tesis, anti
tesis, sintesis. Cuma buat Hegel, seorang ahli dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku dalam otak
manusia. sedangkan buat orang Hidnu, Trimurti itu adalah Mahadewa yang menguasai
seluruhnya alam raya kita termasuk juga hidup dan matinya manusia.
Bagi saya asal-usul, serta sifat ketiga Mahadewa Hindu itu cukup tergambar dalam masyarakat
Hindu yang kabur dan tiada logis-kronologis tercantum dalam Kitab Suci Hindu.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang pada mulanya terdiri dari berbagai-bagai
kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur satu sama lain akhirnya mendapatkan tiga maharaja
atau pun satu maharaja yang terutama. Terhadap tiga mahadewa itu pun ada tingkat kekuasaan
dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya yang berbeda dari tempo
ke tempo dan tempat ke tempat.
Demikianlah di Hindustan sendiri pada satu tempo dan satu tempat Wisnu-lah yang dipuja. Pada
lain tempo dan lain tempat Syiwa-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai dewa dan mahadewanya Hindu di dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian
pada pelbagai raja dan maharaja di dunia lahir, yakni dunia politik, tetapi juga mendapatkan
penyesuaian penuh pada dunia-sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarkat Hindu itu
berpuncak pula pada tiga kasta pokok, yakni Kasta Brahma, Kasta Satria, dan Kasta Waisya, atau
Kasta Pendeta, Kasta Ningrat, dan Kasta Saudagar. Semua kasta itu berpuncak kepada Kasta
Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan, maka menurut
hukum karma dan reinkarnasi seseorang harus melalui kasta dari bawah ke atas, setingkat demi
setingkat. Dalam hal itu seorang Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam surga,
sedangkan Kasta Sudra dan Paria (kelas rendah) mendengarkan bacaan kitab suci pun di dunia
fana ini tiada diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi pecah belah dan beku,
terpaku pada ribuan Kasta yang tiada boleh bercampur gaul satu dengan lainnya. Lama sebelum
Masehi rupanya pemisahan masyarakat Hindu dalam beberapa kasta itu sudah menggelisahkan
para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung pri-kemanusiaan.
Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari pemikir besar Sidharta Gautama,
putera mahkota dari raja Kapilawastu. Sidharta Gautama atau Budha membantah keras
pembagian manusia ke dalam beberapa kasta itu dan mempropagandakan bahwa bukan anggota
Brahmana saja yang dapat memasuki Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan
agamanya dengan sungguh-sungguh.
Proses untuk mendemokratisasi masyarakat Hindu yang dimulai pada kurang lebih 500 tauhn
sebelum Masehi itu berakhir dengan kemenangan Agama Budha pada kurang lebih 500 tahun
pula sesudahnya Nabi Isa, yakni dibawah pemerintah Ashoka. Tetapi aksi yang dilakukan oleh
Sidahrta Gautama beserta para pengikutnya yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya 500
tahun itu diikuti pula oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan
penuh dan sampai sekarang Hinduisme masih bersimaharajalela di dalam masyarakat Hindu.
Setelah abad ke-14 masuklah dari jurusan Utara, agama baru yang terkenal sebagai agama Islam,
yang lahir di antara masyarakat Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di
Hindustan baik dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelum
imperialisme Eropa memasuki India, orang Islam-lain yang menjadi Maharaja di Hindustan.

5. INDONESIA-INDIA
Gerakan Pandangan-Hidup di India sepeti ditinjau selayang pandang di atas itu, menjalankan
lakonnya pula di Indonesia kita ini. Di sini pun kita mengenal berlakunya diberlainan tempat dan
diberlainan tempo Trimurti, Mahadewa Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Kita pun mengenal
pengembangan dan perluasan agama Islam.
Dengan berkembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia setahun demi setahun,
berkembang dan berkuasa pula bansga Hindu (dibelakang hari juga bangsa Arab) atas
masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu berkembang dan berkuasalah pula
semua agama Hindu dan Arab (Islam) itu dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu pada puncak kekuasaan masing-masing agama, Hindu ataupun Arab (Islam),
kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul dari alam Indonesia sendiri, yakni
animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia.
Sekarang pun para Hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air terjun yang
terus-menerus menuangkan airnya itu masih menekan jiwa orang Indonesia yang melihat dan
mendekatinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu sesuai pula dengan perbandingan
yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa Indonesia di zaman tersebut. Perdagangan dan
perusahaan asing walaupun berkembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia, belumlah
pernah Indonesia lepas dari tangannya. Tegasnya, sawah, ladang, serta hutan, sungai dan lautan,
ringkasnya tanah, air, dan udara masih tetap di dalam genggaman bangsa Indonesia asli. Dengan
demikian masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih
gemilang daripada di waktu yang telah lampau.
Mata pencaharian yang masih erat pada genggamannya, tanah, air, udara yang teristimewa kayapemurah yang bagaimanapun juga hebatnya perasaan dan penindasan asing dan bangsa sendiri,
di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhana sekali.
Seperti halnya dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya
berebut-rebutan dan bunuh membunuh untuk mendapatkan nafkah, para arca dari bermacammacam Mahadewa pun bisa duduk dalam satu gedung berhala.
Berbeda dengan keadaan di negara asalnya sendiri maka di Jawa-Swarga-Loka, kita dapat
menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun, Wishnu, sambil
bersenyum-senyuman.

6. DI SEKITAR NABI MUSA.
Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah sungai Nil di Mesir, ketika di bawah
pemerintahan Maharaja Fir’aun.
Di sekitar bagian bumi sanalah kita mendapatkan bukti sejarah yang banyak sekali dan paling tua
sekali di antara bukti sejarah yang sudah diperoleh di bagian bumi mana pun juga.
Egypt alias Mesir di zaman ribuan tahun yang lampau itu mengenal bermacam-macam dewa
pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, yakni Dewa Matahari yang mendapatkan
kehormatan dan pujaan sebagai Mahadewa.
Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rah-lah yang memfirmankan bumi,
langit, sungai Nil dan gurun pasir beserta hewan dan manusia. Semua itu terbentuk sekaligus
dengan mengucapkan sepatah kata saja, yakni Ptah. Jadi berlainan dengan pandangan Kant,
Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya
ini menjelma dalam kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikian pengertian Mahakuasa, yang sanggup menciptakan Yang Ada, atau benda dari Yang
Tak Ada atau kosong, sudah tersebar pada masa hidupnya Nabi Musa.
Pengertian Mahakuasa ini pun sudah termasuk ke dalam kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada
zaman Fir’aun itu adalah bangsa budak terhina, berhijrah di kerajaan Fir’aun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing
di tengah-tengah bangsa Mesir asli itu, maka suatu waktu bangsa Yahudi itu memutuskan,
hendak pindah ke “Tanah susu dan madu” yang menurut kepercayaan yahudi sudah dijanjikan
oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang
dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah-rebutan antara Yahudi dan
Arab itu.
Buat bangsa budak, yang penghidupannya bergembala dalam suasana kemelaratan dan
penghinaan terus menerus, maka satu daerah bumi dimana “susu dan madu berlimpahan” serta
kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan
penarik yang sangat besar.
Orang yang memimpin pemindahan besar-besaran (exodus) ke Palestina itu yang dilakukan
secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang dijalankan dengan mengandung
bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh tentara Maharaja Fir’aun yang
bersenjata lengkap patutlah disebut seorang pemimpin dalam arti kata sesungguhnya. Bangsa
Yahudi akan musnah atau akan terpaksa kembali ke bawah penindasan Fir’aun, kalau yang
memimpinnya bukanlah seorang pemimpin seperti Nabi Musa.
Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai bahaya yang oleh orang biasa
dianggap suatu yang mustahil akan dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang
terdiri dari orang tua-muda, bayi, lelaki, perempuan, sehat dan sakit yang sering bercecok satu
sama lainnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagian terdiri
dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Fir’aun, yang
dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar di belakang, dalam keadaan demikian cuma
seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang dapat terus memegang
pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifatnya manusia serta keadaan alam sekitarnya, yang
dimiliki oleh Nabi Musa. Pandangan tepat tentang kejadian yang mungkin terjadi di hari depan.
Kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri
dari pelbagai umur, pelbagai pengalaman dan keinginan, serta akhirnya tetapi tidak kurang
artinya, kepercayaan yang tidak dapat dilunturkan oleh bahaya dan pertolongan yang dijanjikan
oleh Jehovah kepada leluhur bangsa Yahudi dalam menuju ke “Tanah susu dan madu” yang
dijanjikan itu. Semua syarat penting bagi seorang pemimpin dalam keadaan demikian yang
terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi segala kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat
yang aman dan bahagia, dengan tidak berkompromi sedikit pun dengan musuhnya yang 1001
kali lebih kuat.
Pimpinan ulung dari satu orang yang cuma mempunyai satu tujuan dan satu tekad, sebagaimana
menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesusahan dan bahaya sering sendiri
saja menjumpai Tuhan Yang Maha-Esa, pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya
satu Tuhan itu, …pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu,
memperdalam kepercayaan Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada
yang sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu, benar-benar the proof of the pudding is the
eating (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah dimakan).
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atau beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala
juga mengenal beberapa dewa, menurut sukunya, maka sempurna jayalah pula kepercayaan
monotheisme, percaya kepada ke-esaan Tuhan di antara semua suku bangsa Yahudi.
7. DI SEKITAR NABI ISA.
Inkonsistensi, kontradiksi logika, pertentangan bagian dengan bagian, pertentangan dalam hal
tarikh, pertentangan kejadian dengan hukum alam dan common sense, yang ditemukan oleh para
ahli dan saya sendiri dalam kedua kitab suci, yakni kitab Injil Tua dan Injil Baru, tidak menjadi
pusat perhatian saya di sini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan teknik dan ilmu, bukti di masa
Nabi Isa itu, semua kegaiban alam dan kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab sudah pada
tempat dan temponya. Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah moral (kesusilaan) dan
ketuhanan yang termaktub dalam kitab suci itu. Pertentangan arti dalam hal susila dan
ketuhanan, yang saya rasa terdapat dalam kitab suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran
kita, kalau kita berpendirian seperti ahli, bahwa kitab suci tertulis lama sesudahnya Nabi Isa
wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga Yunani lama
sebelum Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari agama Kristen yang berbunyi : “Kalau pipi
kirimu dipukul orang berikanlah pipi kananmu kepadanya buat dipukul pula” dengan ucapan
Nabi Isa yang berbunyi : “Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”.
Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ketuhanan pun bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang
Maha-Esa, yang diutamakan Injil-Lama dan oleh nabi seperti kita bentangkan di atas dengan
Trinitas-nya, dengan Trimurti-nya, karena Katholik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa
(Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau diseluk-belukkan dengan tempo dan
tempat. Dengan demikian maka kuranglah pula penting buat saya apakah pernah hidup seorang
Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya sudahlah cukup jelas pelajaran yang
diberikan oleh agama Kristen dan Ideal Keluruhan Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar
pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli sejarah, yang
mendapatkan kesimpulan bahwa di mana bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi,
maka bangkitlah soerang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan terang-terangan
membela kaum Murba menghadapi kaum pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi kaki tangannya
kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya raja
Yahudi, Mahdi, Yezus Nazarenus Rex Judiorum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua pertentangan di dalam pikiran kita.
Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba,
yang memang melarat hidupnya di masa itu dan memang bersemangat pemberontak, terutama di
daerah Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan menganjurkan sikap “pipi kiri
dipukul, berikanlah pipi kanan” maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi segenap Murba.
Terhadap kaum pendeta dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, yakni kalau perlu
dengan senjata di tangan menghancurkan kaum Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki
tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasional tentang dua susila yang bertentangan itu. Salah satunya
dikatakan bahwa kaum Murba Yahudi di masa itu tidak berdaya pula menghadapi kaum Rabbi,
penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan Murba Yahudi.
Jadi menurut tafsiran itu sikap pasif, sikap menerima yang dianjurkan oleh nabi Isa itu berasal
dari perasaan tidak berdaya menghadapi kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kakitangannya, “inlanders-alatnya” kekuasaan Romawi itu.
Bagi saya tafsiran yang belakangan ini memang, mengandung alasan tetapi kurang sempurna.
Bangsa Yahudi, terutama kaum Murba-nya, dibelakang kota seperti di Yerussalem dan
teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asal Nabi Isa sendiri, jauh daripada sikap pasif atau
nrimo. Pemberontakan besar dan kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan
Romawi dengan kaki tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula dengan Nabi Isa sendiri ketika
berhadapan dengan para Rabbi, para inlanders-alat itu, seperti di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan dengan Tuhan Nabi Musa. Tuhan di
masa Nabi Isa itu tetap Yang Maha Esa. Filsafat ketuhanan, bahwa 1+1+1=3 itu timbul dan
tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan duniawi
yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3=1 itu. Dibelakang harinya di masa Revolusi
Perancis banyak pula anasir masyarakat manusia ini yang menumbangkan filsafat 3=1 itu! Tetapi
bagi saya filsafat semacam ini tidak menjadi soal pokok.

8. DI SEKITAR NABI MUHAMMAD.
Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1=1
itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula susila yang biasa, yang praktis, bagi masyarakat
manusia, yakni yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya, dimaafkan salah seorang
yang mengakui kesalahannya dan mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan
jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah, seorang Arab dari suku Qurays.
Karena bangsa Arab dan Yahudi tiada berapa bedanya menurut ilmu kebangsaan, dan kedua
bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga nabi besar itu, yakni Nabi Musa, Isa
dan Muhammad itu sebangsa dan seketurunan pula. Dalam kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa
bangsa Yahudi dan Arab turun temurun dari Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan pandangan kita pada keseluruhan muka bumi yang kita kenal, pada
permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita ialah cuma keruntuhan dalam hal
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi,
malaise, madegnya, tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di Afrika Utara dan Asia Barat
sedang menderita keruntuhan akibat desakan dan serangan pelbagai bangsa Jermania dari Utara.
Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa baru yang perkasa (Bulgaria dan lain-lain) yang
menyerbu ke dalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota
keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan, Romawi Timur hanya sanggup memamah-mamah
pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain negara bekas penguasa di sekitar Semenanjung Arabia,
semuanya berada dalam keadaan hidup enggan mati tak mau. Sedangkan semenanjung Arabia
yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu;
sudah mencapai kemakmuran, karena perdagangan dengan negara luar, dengan perantaraan para
saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada kalifah yang kuat bersenjata, tersusun sebagai
laskar teristimewa pula, belumlah pernah Semenanjung Arabia menderita penindasan dari bangsa
asing. Dengan demikian maka bangsa Arab masih bersemangat tegak gagah perkasa dan percaya
atas kekuatan diri sendiri. Cuma antar suku masih bertentangan dan perang memerangi. Sejajah
dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu,
melainkan terpecah belah dalam pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai
Kafir-Jahiliyah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliyah yang tergambar pada pelbagai patung di masa
itu; mempersatukan ideologi sebagai sintesis dari pertentangan pelbagai ideologi yang ada di
masa itu, inilah usaha yang pertama sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad
menjelang persatuan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di
Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan
Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung
dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.
Buta huruf bukanlah berarti buta kecerdasan, buta keberanian ataupun buta kejujuran. Sebaliknya
pula, pendidikan pun tidaklah menjamin keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin,
ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat.
(resourcefulness)
Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia “jauh berjalan banyak
dilihat, lama hidup banyak dirasai”. Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah ke
negara-negara di sekitar Arab, bersama-sama dengan kafilah memberikan semua pengalaman
dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan Nabi di hari depan,
saat Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan sangat membutuhkan pemimpin semacam
itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otak pemuda Muhammad bin Abdullah, yang ingin
mengetahui asal-usul semua yang ada di alam dan masyarakat itu dapat dipenuhi oleh
masyarakat di sekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta
dan Rabbi dapat memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat
menjawab semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya.
Bumi dan langit Semenanjung Arabia yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan oleh
seorang yang mengamatinya akan menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh dengan
percakapan dalam pulang pergi dari Mekah ke luar negeri itu. Pengalaman yang diperoleh ketika
mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua
sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.
Terlatih tergembleng dalam “University of Life” (Universitas hidup) itu, maka apa bila
Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam segala-galanya maka tampillah Muhammad
bin Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandis, jenderal,
pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.
Tempo dan tempat amat sesuai dengan keesaan dan kemahakuasaan pada permulaan abad
ketujuh itu. Perhatikanlah sekali lagi Semenanjung Arabia dan sekitarnya di masa itu.
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan dalam pimpinan, yang
sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku. Lagi pula
masyarakat itu memerlukan adanya satu kaum, yakni kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala
bangsa di Dunia. Semua keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa, yang menguasai serba sekalian alam dan manusia,
bidadari dan malaikatnya.
Semangat Islam, yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan, semangat menerima putusan
Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai pusat, jiwa dan filsafat serta prakteknya
suatu kepercayaan, memang belum lagi dikenal dalam sejarah manusia. Agama baru yang
bertentangan dengan kepercayaan pelbagai suku Arabia itu tidaklah akan dibatalkan ataupun
disembunyikan oleh Nabi Muhammad. Apabila dalam suatu hari keluarga Nabi Muhammad
meminta dalam satu rapat, supaya propaganda Islam itu dihentikan saja, karena sangat
menimbulkan pertengkaran, dan sangat mengancam jiwa Nabi Muhammad, maka Nabi
Muhammad menjawab : Bahwa walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang
sedemikian, larangan itu tak akan diindahkan.
Syahdan, dengan semangat bersatu padu di antara kaum Muslimin yang kian hari kian bertambah
banyak juga anggotanya; dengan semangat bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang
Maha Kuasa, dengan semangat tak mengenal damai dengan kepercayaan Kafir Jahiliyah, maka
dibawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya setelah kira-kira dua puluh tahun berjalan
propaganda Islam, persiapan dan pertempuran sengit berulang-ulang, maka tercapailah persatuan
seluruh Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kuat-kokoh di antara semua suku Arab, dengan semangat pantang
menyerah, Islam, zonder (tanpa) janji kepada takdir Tuhan, seimbang dengan semangat
menyerang zonder mengenal damai terhadap negara dan rakyat di sekitar Arabia, untuk
memperoleh kemenangan lahir dan batin, maka dalam kurang lebih 100 tahun dapatlah bangsa
Arab menguasai hampir seluruh Laut tengah di Asia, Afrika dan Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan oleh dunia Kristen kepada Arab
Islam, di Abad Pertengahan sampai sekarang pun, jasa Arab-Islam, tentang filsafat dan ilmu
pengetahuan empirik, sesungguhnya belum mendapatkan penghargaan yang sepatutnya!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle edaran dialektika! Dengan Nabi Musa
majulah ke depan filsafat ketuhanan 1=1 sebagai tesis. Setelah Nabi Isa, maka timbullah
tentangan berupa 3=1, sebagai anti-tesis. Dengan Nabi Muhammad terbentuklah sintesis, yakni
kembalinya filsafat 1=1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada semula.
Sedikit saja filsafat Ketuhanan Islam yang tercantum dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak
dapat dielakkan itu menoleh ke dunia lama, yakni masyarakat Yunani, maka filsafat Islam
mendapatkan bahan serta petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali
filsafat Yunani yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan kerajaan Romawi. Filsafat
Islam dapat memisahkan padi yang berisi dari padi yang hampa, menanam yang berisi sampai
tumbuhnya di Abad Pertengahan.
Dengan demikian sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke belakang masyarakat Islam yang
jaya-mulia-makmur di Spanyol, Mesir, dan Bagdad dan kembali sebentar menoleh ke
masyarakat Yunani asli.

9. YUNANI ASLI.
Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani asli masih dianggap
Kebudayaan Ibu. Plato, sebagai ahli filsafat, masih menjadi sumber bagi filsafat Idealisme.
Filsafat Heraklitos masih dianggap uratnya materialisme dan dialektika. Aristoteles masih
dianggap moyang pelbagai ahli ilmu pengetahuan empirik (scientis dalam sudut pandang
positivisme) modern. Demikianlah bermacam cabang kebudayaan modern dapat dicari uratnya
pada Kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu sampai
sekarang masih perlu diajarkan kepada mahasiswa yang harus menyelami semua ilmu modern
itu lebih dengan dalam, sampai keuratnya.

10. AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kepada dunia Barat, yakni Eropa dan Amerika, maka
tampaklah di mata kita tiga garis pokok kebudayaan. Semenjak 2500 tahun sejarah Dunia Barat,
yakni dari kurang lebih tahun 500 SM sampai sekarang tiga garis pokok itu adalah garis agama,
garis filsafat dan garis ilmu pengetahuan empirik. Semua cabang kebudayaan yang lain termasuk
ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia barat yang 2500 tahun itu, banyak sekali
mengalami kemajuan, kemunduran serta pertukaran nilai dan kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, agama memperoleh nilai
kedudukan tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat cuma mengabdi kepada agama serta ilmu
pengetahuan empirik boleh dianggap melalaikan otak dan pikiran belaka. Saat itu meliputi
zaman Yunani, Romawi dan Abad Pertengahan, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan
masyarkaat Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian
terkemuka dalam masyarakat dan negara.
Boleh dikatakan pula, dalam garis besarnya maka dari tahun 1500 sampai 1850 masehi, ilmu
filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di
masa ini maka mulailah agama terdesak ke belakang. Bahkan pada masa Revolusi Perancis
agama mendapat perlawanan yang sekeras-kerasnya.
Sedangkan ilmu pengetahuan empirik makin mendesak dan sudah menjadi sandaran utama bagi
ilmu filsafat. Pada saat itu, bukan lagi kaum pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan
negara, melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu pengetahuan empirik,
ilmu nyata.
Akhirnya kira-kira dari tahun 1850 sampai sekarang, maka ilmu pengetahuan empirik (science)lah yang memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi dalam masyarakat serta negara Eropa dan
Amerika modern itu. Agama yang di masa Revolusi Perancis mendapat tentangan yang sekeraskerasnya bisa bangun kembali, tetapi tidak lagi mendapatkan nilai dan kedudukan seperti
sebelum Revolusi Perancis.
Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat dalam arti aslinya mulai turun dari singgasananya
seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, yakni filsafat materialisme
dialektis, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan : “Hari Akhir Filsafat”.
Semenjak itu ilmu kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu pengetahuan empirik.
Ilmu pengetahuan empirik dalam pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai
serat kedudukan yang tertinggi sampai sekarang.
Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsfat tetapi artinya berlainan dari semula.
Artinya sekarang, terutama ialah weaving up general principles (penyusupan prinsip umum),
seperti dikatakan Francis Bacon, salah seorang ahli ilmu pengetahuan empirik besar.
Jelas kiranya bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan buat Dunia Barat seperti tersebut di
atas salaing beralihan nilai dan kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayan itu:
agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Adapun peralihan ketiga garis pokok yang sejajar
pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan negara
(Social-political regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang
berdasarkan teknik yang ada.

11. PERALIHAN SISTEM PRODUKSI.
Pada masa pendeta dan ningrat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara baik di
Yunani, Romawi maupun di Eropa Barat di zaman pertengahan (kurang lebih tahun 1500 sampai
1850 M), produksi sudah lebih dipusatkan pada manufaktur. Di akhir masa itu, pengoperasian
pabrik sudah mulai dijalankan dengan mesin uap.
Pada masa borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum sosialis) di mana kaum borjuis
memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa-Barat dan Amerika, (berkisar
sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi sudah dikuasai finance capital (modal bank) dan
monopoli. Tekonologi maju cepat, dari tenaga uap sampai tenaga listrik, minyak dan sekarang
tenaga atom.
12. SOAL AGAMA.
Adapun soal agama, kita semua kurang lebih sudah mengetahuinya. Soal itu berpusat kepada :
Dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya Bumi, Bintang, dan langit pendeknya alam raya ini?
Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ketuhanan, yakni agama Yahudi,
Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada kodrat Tuhan. Alam raya itu
sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nasib
manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasib itu dipertimbangkan pula
oleh amal dan ibadahnya. Amal dan ibadahnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut
menentukan, apakah pahala atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadah dan
bernasib baik akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang
akan dimasukkan ke dalam neraka. Ringkasnya ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal dan
akhir manusia tetapi juga menetapkan jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan neraka.
Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal dan akhir manusia itu. Budha,
Sidharta Gautama, mengemukakan lima jalan untuk mendapatkan surga. Berbeda daripada tiga
agama tersebut diatas, agama Budha lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung
jawab diri sendiri dan perbuatan diri sendiri.
Semua itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah kepada masing-masing
penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi
saya agama itu tetap “eine Privatsache” atau kepercayaan masing-masing orang. Dengan
majunya ilmu filsafat, logika, dan matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat
menjelaskan sendi agamanya. Tetapi, yang jelas bagi penganut satu agama belum tentu jelas bagi
penganut agama lain. Agama tinggal tetap sesuatu kepercayaan bagi masing-masing orang.

13. FILSAFAT
Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut pandangnya. Tetapi
bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bsia memberi
penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut
Engels, ahli filsafat bisa dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Di
antara dua golongan besar yang merupakan dua-kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah
pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya termasuk ke dalam salah satu
golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan
jawaban yang diberikan oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi : “Manakah yang asal
(primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)? Di
alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan
soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa (nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu
berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan rohani-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang
asal, benda atau kodrat, badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?
14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIS
Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah yang asal, yang pokok : “Tak ada
kodrat zonder benda. Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. Syahdan sebelum
manusia itu ada di bumi ini, maka bumi dan bintang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis.
Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani
itulah yang turunan (derivative). Kata idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya ini cuma ide
saja, yakni ide yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada
hubungannya dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada awal dunia ini
dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia dalam sekejap
mata setelah kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog)
Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah bahwa ejekan yang ditujukan oleh
kaum idealis kepada kaum materialis, bahwa kaum materialis cuma memikirkan makan-minum
serta kesenangan hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali.

15. AHLI FILSAFAT YUNANI
Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan
yang bersandar kepada dogma semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, kita
mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli,
yakni tanah, air, udara dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya
ini serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya sendiri, maka Zeno, idealis
Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: “Gerakan (benda) itu cuma bayangan panca indera
manusia saja (illusion of the sense)."
Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato setelah memakai cara berpikir yang
memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat
kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute idea). Dengan cara berpikir yang
abstrak, pilah-memilah (analisis), dia sampai kepada Dunia Logos, Dunia Roh. Banyak
persamaan Logos Plato itu dengan Atma-nya Hindu.
Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang
nyata, serta gerakan benda, yakni Heraklitos, mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang
masih besar artinya bagi kita, yaitu :”Sesuatu itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur,
senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan
memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru dibenarkan oleh
ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno, Heraklitos
mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang menyebabkan benda, senantiasa
mengalami perubahan (Nich ist, alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.
Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsfaat tersebut hidup raksasa pemikir Yunani,
yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa,
sebagai bapak dari beberapa ilmu, terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan
perhatiannya kepada suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato
dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika
dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum dialektika yang dipakai
oleh Heraklitos dan Demokritos.

16. AHLI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan
Plato khususnya terhadap masyarakat di zaman pertengahan, yakni masyarakat Islam dan
Nasrani. Dunia filsafat Barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rusyd, yang terkenal sebagai
Averoes, atau Ariestoteles-nya bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Ariestoteles yang
sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui dan
diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat penghargaan di
masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada kedua masyarakat itu kita kurang
mendengar nama Heraklitos dan Demokritos. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar
atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan kepada kita.
Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan pemikir yang dinamai
Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota besar kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai
pemberontak, sebagai anarkis dan ateis. Keterangan lebih lanjut tentang paham dan kehidupan
mereka tidaklah sampai kepada kita, selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh
agama resmi. Ibnu Rusyd sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Mu’tazilah dan
kebebasan pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa
(Nasrani) yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi gerak-geriknya. Tetapi
tidak mengherankan kalau mereka kaum Mu’tazilah adalah Murba-Kota yang berpaham
revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana
(rudimentary).
Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman pertengahan itu, kita sedikit sekali
mendengar nama Heraklitos dan lebih banyak mendengar nama Plato dan Ariestoteles.
Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf di zaman pertengahan Eropa Barat itu. Hawa
yang dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup
lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak-serf oleh kaum ningrat dan pendeta,
tidaklah memberikan kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini diserahkan kepada
para pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang besar, dikelilingi oleh pohon dan dilayani
oleh rakyat budak disekitarnya. Terpisah dari masyarakat pekerja seperti Logosnya Plato,
terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan
penuh untuk menguji filsafat Plato dan Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak Plato cocok benar
dengan sifatnya God (Tuhan) yang berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu.
Paham mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi
ini.
Klasifikasi Ariestoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah dari tumbuhan dan
hewan yang sesungguhnya sangat digemari oleh schoolmen, scholasticus, ahli buku, di Abad
Pertengahan. Karena ahli buku yang memang hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri
pula dari hewan dan tumbuhan yang sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku ahli filsafat
di Abad Pertengahan itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari
rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli filsfaat
di Abad Pertengahan itu.
Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu
pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum idealis masih memakai kepercayaan agama sebagai
premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem (karangannya). Tetapi kaum materialis tidak
lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis. Mereka ini memakai bukti yang
nyata saja sebagai premis.
Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hayat yang
sederhana sekali dalam penjelasannya. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan empirik,
maka kian ditinggalkan penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu
(petitio principi).

17. AHLI FILSFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS.
Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan empirik sudah jauh sekali mendapat
kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita
mengenal raksasa matematika dan ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis,
Clairut, D’Alembert, Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit
seorang raksasa matematika ilmu alam dan fisika, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia
hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun secara sistematis
ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia
Arab!
Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles. Perbandingan Phytagoras dilanjutkan
oleh Newton, begitu juga pemikiran Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa disebut,
namun itu semua ibarat memperbandingkan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan empirik, yang telah membikin jarak
zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah puluhan ribu tahun lamanya itu memberikan
bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi para ahli filsfaat tetap terpecah dua, yakni
golongan idealis dan materialis. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan
ilmu pengetahuan empirik itu sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing teori mereka.
Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni pendeta Berkeley dan David Hume.
Berdasarkan atas kerohanian si pemandang, maka David Hume dengan tekad konsekuensi
seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang
ada dalam alam raya ini tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan paham) tentang
alam raya itu. Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu
“gambaran” dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume
meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan bahwa orang lain, buat dia cuma
satu “gambaran” dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa berakat bahwa Hume
sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja, selain daripada satu gambaran dalam otak orang
lain itu saja. “Kamu” buat Hume adalah “saya” buat orang lain itu. Sebaliknya “saya” buat Hume
adalah “kamu” buat orang lain itu.
Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani
menarik kesimpulan nekat layaknya David Hume itu. Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak
bisa meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi selain mengakui yang ada itu, dia lari pula
kepada “Ding An Sich” “benda pada dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya
Imanuel Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian
diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel.
Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di sekitar revolusi borjuis itu mendapat
kritikan yang keras sekali dari ahli filsafat materialis Perancis yang termashur seperti Diderot
dan Lamartine. Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu,
maka mereka meniadakan kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham
sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam
pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move, benda
bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya berhadapan dengan benda dan hukum gerakan
benda di alam raya ini. Manusia itu adalah mesin yang pasif, menerima saja. Kalau ada kodrat
penggerak bergeraklah dia, kalau tidak berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang pasif, penerima
itu, demikianlah pula manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam disekitarnya.
Materialisme yang semacam ini kami namai Mechanical-matterialism, yakni materialisme yang
menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar
dirinya saja. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam
disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum
materialisme mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap takdir Tuhan,
demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap
kebendaan itu (mechanism of matter).

18. MATERIALISME DIALEKTIS.
Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli filsafat idealisme bisa diterima dengan
baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi
filsafat materialisme dari Perancis, tetapi terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan
menschalische taotigkeit (perbuatan manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach,
menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada idealisme”,
sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan kebendaan”. Setelah
Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya sebagai mahaguru lantaran dianggap
terlampau radikal, maka feurbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian
luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam cara berpikir menurut cara dialektika
materialistis.
Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sezamannya,
yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua orang ini adalah ahli dan penggemar
matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme Perancis dan Inggris. mereka juga
memanfaatkan teori Evolusi dari Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David
Ricardo dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition
(keadaan), yakni sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang berdasarkan impian
(utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon, Fourir, dan Robert Owen, berubah
menjadi scientific socialism, yakni sosialisme ilmiah. Adapun yang dianggap menjadi sebab
(cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat, dari tingkat ke tingkat itu ialah perubahan
sistem produksi ilmu sejarah yang didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical
materialism (materialisme sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan
hidupnya yang berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme
Dialektis.
Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap primus, pokok, asal di alam raya
ini. Disebut pula dialektis karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah
dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang.
Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition, sebabnya dari perubahan dan
pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka berubah-bertukarlah pula sejarah manusia, dari
satu kebetulan, dari satu nasib yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang
nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal, berujung, bersebab dan berakibat. Dengan
begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia-gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal
dan tujuan, serta lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal. Setelah segala
kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan
dipastikan hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah bertukarlah pula filsafat, yang
berbunyi what does this all mean (apakah arti semuanya ini), menjadi soal kaum ahli ilmu
pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu pengetahuan
empirik.

19. ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Tepat juga kesimpulan Engels yang mengatakan bahwa dalam perkembangan ratusan tahun itu,
maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu pengetahuan empirik,
Wissenschafft, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya
(natura). Sisa dari filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika.
Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik awalnya, ke zaman Yunani dan dari sini
secepat kilat kita berlari ke zaman modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada
logika dan dialektika yang oleh Engels disebut sebagai sisanya filsafat itu.
Syahdan, dalam kurang lebih 2500 tahun perantauannya, maka sains, ilmu pengetahuan empirik,
yang dianggap sebagai anak dari filsafat dan cucu dari agama, yang sampai sekarang sebagian
besarnya belum lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya, ilmu pengetahuan empirik
tentang alam raya –dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya itu- sudah
sampai ke dunai terkecil yang tidak tampak oleh mata, karena kecilnya. Satu ‘universe’ (alam)
yang dapat ‘universe’. Kini kita mengenal adanya planet-planet dan tatasurya lain. Kita juga
mengenal alam molekul dan atom Molekul dan atom yang tercipta dalam hipotesis atau dugaan
kedua materialis dialektis, Heraklitos dan Demokritos itu sekarang bisa dibuktikan oleh mata
dengan bantuan teropong. Bahkan ilmu pengetahuan empirik sudah sampai kepada benda yang
lebih kecil lagi. Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih bisa
dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari; seperti satu tatasurya
lainnya; seperti universe dengan universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik
(repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya kodrat tesis dan anti
tesis dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia terkecil tadi, yaitu proton dan elektron
tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik menjadi satu atom satu sintesis atom. Ringkasnya
sintesis dari proton dan elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul; sintesis
molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan matahari ialah tatasurya, sintesis dari
satu tatasurya dengan tatasurya lainnya serta akhirnya satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya,
ialah alam raya kita ini.
Dalam 2500 tahun ini, menurut dialektika dan hukumnya tesis, anti tesis, dan sintesis, maka otak
manusia sudah mengenal alam terbesar, yakni alam raya kita dan alam terkecil ialah elektron dan
proton tadi.

20. CABANG-CABANG ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK
Entah sampai mana ilmu pengetahuan empirik bakal bercabang lagi!
Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atas ilmu pengetahuan empirik, maka
kita memperoleh dua kelas, yakni yang masuk kelas sejarah dan yang masuk kelas alam. Maka
ilmu pengetahuan empirik mengenai sejarah manusia itu sudah terpecah-pecah pula menjadi
ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu
kesusasteraan dan lain-lain. Ilmu pengetahuan empirik yang mengenai alam raya ini sudah
terbagi sudah menjadi ilmu bintang, ilmu alam (phisic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain.
Disamping itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti dasarnya berlandaskan barang ciptaan
seperti angka (number) dan huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, aljabar,
trigonometri dan sebagainya.
Perpecahan ini tidak hanya dalam cabang besarnya saja, tiap-tiap cabang itu sudah terpecahpecah juga. Cermati saja berapa banyak ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran. Kita
mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah juga contoh dari
cabang ilmu hukum yang sudah terbagi juga atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undangundang dasar (constitutional laws), ilmu hukum tata negara (laws of nation) hukum sipil (civil
laws) dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya kalau orang yang ahli dalam suatu cabang ilmu pengetahuan empirik
tidak lagi mengenal hubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain sehingga dia hidup
terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya kalau seorang dokter ahli rambut hilang
lenyap dalam haarklovery-nya saja dan melupakan hubungan rambut itu dengan seluruh bagian
tubuh yang lain dan seluruhnya kesehatan manusia. Tak kurang juga besar bahaya kalau seorang
ahli kejahatan, kriminolog, memandang kejahatan dari sudut tingkah laku seseorang saja, seolaholah dia lupa bahwa perbuatan orang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung
pada pelbagai keadaan di dalam dan luar dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang
berseluk-beluk dan berkenaan pula dengan keadaan ekonomi-politik, sosial dan kebudayaan
dalam masyarakat itu sendiri.
Berhubung dengan bahaya keterpecahan, keterpisahan, keterasingan itulah maka kuat sekali
arusnya satu aliran dalam dunia ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi,
menghubungkan kembali pelbagai ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi,
menghubungkan kembali pelbagai ilmu yang terpecah-belah karena kemajuannya sendiri itu!
Seperti sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientis
ternama dengan weaving up general principles sebagai tafsiran dari filsafat modern.

21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Tidaklah mungkin, tetapi tidak juga perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semua
atau sebagian pun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. Sudahlah cukup kepentingan kita disini,
mencoba menafsirkan maksud ilmu pengetahuan empirik, cara ilmu pengetahuan empirik
memperoleh maksudnya. Serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat yang
dikandungnya buat mencapai maksudnya itu.
Salah satu kalimat yang lazim dipakai buat mendefinisikan (menetapkan) maksud ilmu
pengetahuan empirik ialah : simplification by generalization atau mempermudah dengan
memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal atau
memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah lebih dikenal.
Kalimat lain yang juga biasa digunakan untuk mendefinisikan maksud ilmu pengetahuan empirik
berbunyi : the organization of facts (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat praktis.
Berhubung dengan inilah pula, maka sains itu saya terjemahkan dengan ‘ilmu bukti’.
Tetapi tidak pula kurang praktisnya formula yang lain, yang juga dipublikasikan di dunia ilmu
sebagai maksud sains, yaitu to estabish laws and system, untuk membentuk hukum dan sistem.
Sekian tentang maksud ilmu pengetahuan empirik.
Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan cara logika, klasifikasi, statistik dan
ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara dialektis. Dalam logika kita
berurusan dengan apa yang dinamakan induksi, deduksi dan verifikasi. Dalam matematika kita
berurusan dengan apa yang disebut metode sintetik, analitik dan reductio ad absurdum. Kedua
ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tiada berapa bedanya. Di tempat lain saya
sudah uraikan perkara itu lebih lanjut, yaitu dalam buku Madilog. Di sini saya cuma hendak
menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum scientis itu mendapatkan maksudnya, yaitu
mendapatkan hukum dan sistem itu (laws and systems).
Bahan atau bukti yang dipergunakan oleh kaum ahli ilmu pengetahuan empirik itu diperoleh
dengan jalan observation (pengamatan) atau experiment (praktek). Jalan experiment lebih
banyak mendapatkan hasil. Karena dengan jalan pengamatan penyelidik cuma pasif, berdiam diri
dan mengamati saja, sedangkan dengan jalan praktek si penyelidik boleh memindahkan barang
dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang dituju.
Sedangkan si pengamat cuma bisa mengamati hidup dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau
hewan di masing-masing tempatnya, tetapi si pelaksana praktek dapat mengawinkan tumbuhan
maupun hewan untuk mendapatkan jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan empirik semenjak Galileo. Pada permulaan abad
ke-17 Galileo mengadakan experiment-nya di menara kota Pisa. Boleh dikata experiment itu
telah membuka pintu untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat
manusia. Dari empat anasir yang dikenal oleh Yunani asli, yakni tanah, air, udara, dan api maka
ilmu kimia sekarang saja sudah mengenal 92 elements (anasir)
Akhirnya, dan tidak juga kurang pentingnya maka semangat objectivity (tidak melibatkan
subyektivitas, termasuk emosi dan kepentingan) di samping semangat adventure, dalam arti
sanggup meloncat dari dunia bukti ke dunia hipotesis dan teori adalah satu sine qua non bagi
seorang sciencetis. Seorang ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup
melepaskan bukti-bukti itu supaya bsia melayang ke dunia hipotesis dan teori, tidaklah akan
sanggup membentuk laws and systems seperti maksud science. Mereka akan tetap tinggal pada
dunia bukti saja.

22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Kurang tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu
pengetahuan empirik. Kurang tepat jika disebut bahwa India, Tiongkok dan lain-lainnya cuma
mengenal agama dan filsafat saja dan tidak mengenal science, ilmu pengetahuan empirik. Konon
kabarnya bapak ilmu ukur (geometri) itu adalah seorang Hindu asal Birma dan katanya juga
India lama sudah mengenal aljabar. Juga Tiongkok sudah mengetahui bagaimana membuat
lingkaran, walaupun tidak memkai rumus P.R yang kita kenal. Tak ada yang tak akan terkagumkagum dan terpengaruhi oleh logikanya mahaguru Kung (Confucius) kalau membaca sistem
kekeluargaan dalam empat bukunya. Tak ada pula orang yang tak akan terpesona mengikuti cara
dialektis yang dipergunakan oleh mistikus maha guru Lao Tze, apa bila dia menjelaskan
pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemajuan obat orang Tionghoa. Bahkan dalam
meramalkan hari depan, sehubungan dengan hujan, panas, angin ribut dan topan sering kali saya
menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu pengetahuan
empirik Barat dengan weather forecast, weerbericht atau ramalan cuacanya. Dan bukankah
pengetahuan percetakan, bubuk mesiu dan kompas diwariskan oleh Tiongkok ke dunia Barat
melalui Arab?
Namun semua yang disebut itu tidak lantas menyatakan bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah
sampai ke tingkat science, seperti masyarakat Yunani 500 tahun SM. Mahaguru Kung walaupun
logis berpikir belum sampai kepada tingkat membentuk logika sendiri, yakni memisahkan
hukum berpikir itu dari process (lakonnya) berpikir itu sendiri. Mahaguru Lao belum pula dapat
menarik hukum dialektika dari proses berpikir, yang memang dialektis. Demikian juga tukang
ukur, ahli kedokteran, dan ahli cuaca di Tiongkok belumlah sampai ke tingkat memisahkan,
hukum ilmu ukur, hukum kedokteran dan kimia dari proses ukur-mengukur, obat mengobat dan
memisahkan hukum gerakan udara daripada proses yang berlaku di udara. Kung tzu memakai
logika itu cuma menurut nalurinya (instinct) saja! Begitu juga Lao tze mempergunakan
dialektikanya. Dan cara mencatatnya pun itu semua dalam bentuk ingatan analogi saja.
Demikianlah tukang ukur, ahli obat dan ahli keadaan cuaca di Tiongkok menjalankan
prakteknya. Mereka tak pernah lepas dan melompat lalu melambung ke dunia hukum. Di sinilah
kelebihan hukum dan pengetahuan yunani daripada dunia India dan Tiongkok. Rupanya kodrat
pendorong di India dan Tiongkok berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan
hasil, tiada berapa majunya semenjak kurang lebih empat ribu tahun! India terpaku pada sistem
kastanya. Tiongkok terpaku pada dunia feodal yang mengakar kepada sistem kekeluargaan.
Terpaku kepada teknik, sosial, ekonomi, politik serta kebudayaan yang berlainan coraknya
dengan sistem yang ada di Eropa Barat, seperti huruf alfabet (a,b,c) belum lagi lepas dari
gambaran suatu pengertian menurut sistem menulis di Tiongkok (Han-dji). Begitulah juga
hukum ilmu pengetahuan empirik belum lagi lepas-terpisah, melompat-melambung keluar dari
bukti itu sendiri.

23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Dengan demikian maka patutlah kita memberikan piala kehormatan ke tangan bangsa Yunani
sebagai pelopor ilmu pengetahuan empirik modern. Dalam arti tulisan dan lisan memang
Archimedes melompat dan melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum atas bukti yang
nyata.
Sekian lama Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri tentang mengapa dan bagaimana
badannya bisa melambung ke atas, kalau dia mencemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam
sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan ilham dan pertama kali
menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu. Archimedes mendapat hukum, tentang benda
yang terbenam, melayang dan mengapung dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di
sekolah. Dalam kegembiraannya Archimedes tidak saja melompat keluar dari air dan berteriakteriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana kemari melupakan pakaian tetapi ia sudah melompat
melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkan itu kian
tahun kian mengembang dan melambung. Hukum tadi dilaksanakan pada semua tempat dan
semua waktu, sampai salah seorang pengikutnya menemukan air raksa (kwik). Barang biasa
seperti kayu tidak terbenam di dalam air raksa melainkan terapung. Nyatalah di belakang hari,
bahwa bukan Hukum Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas. Hukum
Achimedes bahkan mendapatkan verification (pembuktian), lantaran bukti baru (air raksa) tadi.
Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak, air raksa dan lain-lain atau mengenai
semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya menjadi semua benda. Hukum
Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Gay Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan
ke udara, ke strastosphere, ke mana Prof. Piccard melambung mencari pengesahan alam.
Merantaulah Piccard ke dunia yang belum di alami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut
hipotesis saja! Merantau berpetualang dari alam terkenal ke alam yang belum di kenal, seperti
Columbus, Ronald Amunsen dan lain-lain para ahli penjelajah samudra!
Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verifikasi yang diutamakan oleh logika dan
ilmu pengetahuan empirik itu. Dan lebih sempurnalah pula mencari sebab, yakni dengan lima
jalan yang sudah dikenal :
1.
2.
3.
4.
5.

Method of agreement (cara persamaan).
Method of Difference (cara pembedaan).
Joint Method (cara paduan).
Concomitant Variation (cara perubahan serempak).
Mehtod of Residue (cara sisa).

Sejarah menceritakan kepada kita bahwa Pytahogras tidak tinggal menguji (to prove) sudut siku
yang kita kenal. Selain pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori, Pythagoras pun
cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak
angka yang dianggap sakti oleh mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras
mempengaruhi dunia keagamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita disini,
yakni dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras, kita setelah 2500 tahun ini sampai kepada
pelbagai teori matematika yang sulit seperti teori relativitas Einstein, melalui para ahli
matematika raksasa seperti Fermat, Laplace, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran
dan jasa para ahli matematika itu, sekali-kali tidak dapat kita lupakan kebesaran dan jasa para
ahli Islam yang melakukan pemilahan (abstraction) yang lebih tinggi. Angka yang dipakai
sebagai simbol (lambang) benda sudah dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh
menjadi lambang dari tiga prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Aljabar naik
setingkat lagi mengangkat huruf menjadi lambang. Huruf X umpamanya boleh mewakili angka
1,2,3 dan seterusnya. Tanpa Aljabar tidaklah mungkin kita sampai kepada teori trigonometri dan
relativitas Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan
kemajuan matematika. Pelambungan benda ke angka dan pelambungan angka ke huruflah yang
memberi pesawat kepada Einstein dan Newton supaya mudah melambung ke dunia bintang di
langit dan mengukur segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi,
matahari sampai ke gerakan atom dan sinar matahari yang laju 300.000 km dalam sedetik!
Dikatakan oleh beberapa ahli bahwa klasifikasi yang dilakukan Ariestoteles dibekukan oleh
pengetahuan di Abad Pertengahan. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja.
Haruslah diperiksa bagaimana keadaan produksi dan masyarakat di Abad Pertengahan itu
membekukan klasifikasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah klasifikasi yang banyak
dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hayat (biologi) itu menjadi perkakas yang penting,
disamping dialektika, bagi pelopor biologi modern, yakni Charles Darwin. Di masa Darwin
bertualang dengan kapal Beagle-nya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di
daratan, lautan dan udara Darwin tak lepas dari cara klasifikasi, induksi, deduksi dan cara
menetapkan sebab yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memang permulaan abad ke19 adalah abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup yang sudah dipelopori oleh
Aristoteles. Ilmu yang dirintis oleh raksasa pemikir Yunani itu sempat terhenti di zaman tengah
dan di belakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan
kebangkitannya kembali untuk maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ke tangannya
Charles Darwin yang hidup dalam kandungan masyarakat kapitalisme modern.
Demikian juga lebih dari 2000 tahun teori molekul dan atom serta tafsiran materialisme dan cara
berpikir dialektis dari Heraklitos, Demokritos dan Epicurus harus beku terpendam menunggu
masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas seperti Marx, Engels, dan Lenin
yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang telah lama beku terpendam itu buat
dilanjutkan dan disempurnakan.
Sekianlah di sini tentang ilmu pengetahuan empirik!

24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA.
Serba sedikit juga di sini akan diuraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, daerah serta batas logika, seperti juga isi, bagian, sifat, sejarah, daerah
dan jenisnya dialektika, sudah kami uraikan juga dengan panjang lebiar dalam buku Madilog. Di
sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari kedua cara berpikir itu
secara garis besarnya saja. Lagi akan kami singgung pula dua jenis dialektika, yakni dialektika
idealistis dan dialektika materialistis.
Dunia mengakui Aristoteles sebagai bapak logika. Dialah yang pertama kali membentuk logika,
yakni cara berpikir sebagai suatu ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu
sempurna, sehingga bolehlah dikatakan bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke zaman John
Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak banyak lagi mengalami perubahan penting. Boleh
dikatakan bahwa dalam segala cabang ilmu pengetahuan maka logika itu tidak dapat
disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Dialektika di tangan Heraklitos dan demokritos sudah sanggup menyelami dunia benda sampai
ke molekul dan atom yang tidak kasat mata dan baru bisa dilihat dengan mikroskop di zaman
modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dan gerakan benda maka
dialektika sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat dorongan
yang belum pernah dialaminya di dunia lampau, di dunia statis, berhenti dan pasif tadi.
Di tangan Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Jerman yang menentang feodal-autokratis,
maka dialektika idealistis melambung setinggi-tingginya. Di tangan Marx dan Engels sebagai
pemimpin aliran proletaris-komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis demokratis,
dialektika materialistis menjadi perkakas berpikir kaum revolusioner-proletaris bagi seluruh
dunia.
Di tangan kaum Bolsyewik Rusia cara berpikir dialektika materialis dapat membentuk satu partai
Murba yang sanggup menghancur leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya
kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum berpikir, atau cara berpikir. Itu tafsiran
yang sah.
Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir itu? Sepintas lalu saja, saya
pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali terletak pada cara
menempatkan (barang) yang diselidiki oleh penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu dalam keadaan berhenti (static),
terpisah (distinct), tak berubah-ubah (unchangable) dan kekal. Sesuatu itu harus diselidiki satu
persatu, terpisah-pisah dan dianggap tak berhubungan dan berkenaan satu dengan lainnya sesuai
waktu dan tempat.
Pemakai dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak
(movement), berhubungan (connection), berubah-berubah (change) dan bertentangan. Sesuatu itu
harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan, timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam suatu
waktu pula.
Bagi seorang pemakai logika dalam menghadapi suatu soal dalam keadaan itu, maka dalam
jawabannya, “ya itu adalah ya dan tidak itu tidak. Ya itu tidak boleh tidak dan tidak itu tidak
boleh ya”. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg
:”Pertanyaan yang pasti dalam arti yang pasti pula, yakni apakah suatu sifat tertentu dimiliki oleh
suatu barang, harus dijawab dengan ya atau tidak. Tidak boleh dijawab dengan ya dan tidak”.
Tiga premis pokok bagi logika adalah : Pertama A itu = A; kedua A itu bukannya Non A; dan
ketiga tak ada jembatan antara A dan Non-A (tiga premis pokok ini disebut juga ‘prinsip
identitas’).
Berhubung dengan tiga premis pokok tersebut maka sesuatu (barang) itu masuk jenis A atau
masuk jenis Non-A. Dan suatu kesimpulan yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa
benar kedua-duannya.
Contoh :
Apakah warna sapi itu hitum atau putih jika dipandang dari sebelah kiri ini?
Memang jika hanya satu atau terbatas warna yang dimiliki oleh benda yang tak bergerak,
pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari
sapi itu dipandang dari kiri putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang dari sebelah kanan
maka sapi itu sebaliknya, yakni hitam bukannya putih.
Jadi jawabannya boleh cocok A=A itu bukannya Non-A.
Tetapi apakah jawabannya, kalau orang bertanya :
Apakah warna sapi itu seluruhnya hitam atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja.
Tetapi disini dialektika bisa melangkah masuk dan ikut campur memberi jawaban sebagai
berikut :
Seluruh sapi itu ya putih ya hitam. Atau dengan perkataan lain :
Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu menjalani sepanjang umurnya, yakni sejak masa bayi sampai ia menjadi
dewasa, ketika warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum lagi sapi itu digerakkan
dengan kecepatan sinar, yaitu 300.000 km sedetik. Dalam hal ini, maka belum tentu warna
belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia kedua penipuan warna (aberation,
aberratie) itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan antara),
dipakai oleh armada Amerika buat menipu musuhnya?
Demikianlah, maka sehubungan dengan sesuatu yang sulit (complex) tetapi masih dalam keadaan
tak bergerak saja, logika sudah terpaksa meminta bantuan kepada dialektika. Apalagi dalam
keadaan bergerak!
Memang suatu pertanyaan seperti : “ Apakah bola yang bergulir cepat ini pada detik ini berada di
titik ini atau tidak lagi? Ini tidak dapat lagi dijawab ya atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka
jawaban itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada pada titik yang dimaksudkan itu.
Kalau dijawab ya, maka jawaban ini pun salah karena belum lagi si penjawab selesai
mengucapkan ya, bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika tak berdaya apa-apa dalam hal ini,
logika harus meminta pertolongan kepada dialektika untuk memberi jawaban ya dan tidak
sekaligus.”
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu ilmu pengetahuan empirik sudah mengakui
bahwa :
1. Semua Kodrat di alam raya ini (Force, Energy), yang terlaksana pada cahaya, panas dan
sinar (light, heat dan ray) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetisme,
listrik dan kodrat-kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih
dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian maka dengan timbulnya satu
bentuk kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di alam raya
berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tiada henti-hentinya. Kant-Laplace
menjelaskan peralihan molten mess (benda cair) di alam raya pada permulaan dini sampai
menjadi alam raya sekarang dengan bumi, bintang dan kometnya.
2. Adanya sel sebagai satuan dalam badan tumbuhan dan hewan! Karena pelipatgandaan
(multiplication) dan perbedaan (variation), ketika turun temurun sel, maka terciptalah
dunia tumbuhan dan hewan yang dikenal di masa sekarang ini.
Oleh Charles Darwin dijelaskan bahwa semua tumbuhan, hewan dan manusia yang sekarang ada
di atas bumi kita ini adalah hasil dari kemajuan ratusan-ribu tahun dari beberapa sel-tunggal
dalam suasana struggle for existence (perjuangan hidup) suasana survival of the fittest (kejayaan
yang kuat) dan adaptability (kemampuan menyesuaikan diri). Beberapa sel-tunggal ini muncul
dari putih telur dan protoplasma menurut hukumnya ilmu kimia.
Joule dan Mayer menunjukkan bahwa panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih
berada dalam jenis panas dan listrik kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika,
statistik, dan ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa
satuan tenaga kudakah listrik. Juga bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini panas atau
listrik, dengan ya atau tidak. Tetapi apabila panas bukan lagi panas, namun belum lagi menjadi
listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab dengan ya atau tidak saja. Pertanyaan itu
harus dijawab dengan ya dan tidak sekaligus.
Demikian pula dalam keadaan di mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan : seperti air
sedang berubah menjadi uap, kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik) dan
sebagainya, atau satu zat sedang mengalami peralihan juga : atom beralih menjadi molekul, putih
telur beralih menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh lainnya….,
maka logika statika dan ukur-mengukur secara matematika itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini
maka dialektikalah yang sanggup memberi jawaban.
Apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terampil (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah
menjadi listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam hal
itu dapatlah juga dipergunakan logika, statika, matematika, dan ilmu ukur-mengukur serta
timbang-menimbang! Di belakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti berikut :
Dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi dalam berurusan dengan
pelbagai barang yang mengandung pelbagai sifat yang bertentangan, maka kita harus mengakui
coincidence of oposites (perjumpaan beberapa pertentangan). Jadinya dalam hal ini boleh
dipergunakan ya dan tidak sekaligus!
Dalam salah satu halaman buku karangannya yang berjudul logik, Hegel seorang raksasa filsafat
Jerman berkata kurang lebih begini, “dialektik nennen wir solche geistlische Bewegung, bei
denen das getrennt scheinenden durch ischselbst, d.h ducrh das, was sie sind in einander
uebergehen, und so des getrent scheinenden aufheben”.
(saya tepaksa mencatat di luar kepala pula!)
Artinya kurang lebih :”Yang kita namakan dialektika ialah gerakan pikiran (rohani), ketika yang
berbentuk saling terpisah itu, olehnya sendiri artinya terbawa oleh sifatnya sendiri saling
berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya
bersatu kembali).”
Banyak persamaan antara Hegel dengan bekas muridnya Marx! Tetapi besar pula perbedaan di
antara guru dan murid, setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya.
Persamaan pertama :
Kedua jenis pemikiran itu sama-sama mempergunakan cara dialektik, yakni menyelidiki sesuatu
dalam keadaan bergerak, bertentangan timbul, tumbuh dan tumbang.
Persamaan kedua :
Keduanya sama-sama menolak pemisahan kekal antara ya dan tidak itu. Dalam gerakan tesis,
antitesis, dan sintesis, maka akhirnya ya itu bisa menjadi tidak dan sebaliknya. Dalam gerakan
itu maka perubahan quantity (jumlah) lambat laun beralih menjadi perubahan quality (sifat).
Dengan demikian tercapailah Negation der Negation (peniadaan ketiadaan).
Syahdan menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang yang masing-masingnya
bersamaan dengan barang ketiga, kedua barang itu bersamaan pula satu dengan lainnya. Tetapi
dua barang yang masing-masing berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu bersamaan satu
dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, yakni Hegel dan Marx kedunya sama
berbeda sikapnya soal logika.
Mereka sama-sama tidak setuju dengan pemisahan kekal dan pertentangan kekal antara ya dan
tidak itu. Mereka sama-sama juga menyelidiki sesuatu itu dalam suasana dialektika (gerakan
pertentangan). Tetapi ada juga perbedaan besar antara kedua penganut dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektika itu kepada tafsiran dan teori idealisme. Sedangkan Marx
mendasarkan dialektika itu atas teori dan tafsiran materialisme. Hegel adalah penganut dialektika
idealistik. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut dialektika materialistik.
Dalam “Dialektika dan Logika” maka Plekanov mengikhtiarkan perbedaan dialektika
materialstik dan dialektika idealistik sebagai berikut :
Dalam sistem Hegel, maka dialektika sama diri dengan metafisika. Buat kami maka dialektika
bersendi atas ilmu ke-alam-an (hukum alam).
Dalam sistem Hegel, maka demiurge, creator atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute
idea (akal atau ide mutlak). Buat kami, ide mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction) dari
gerakan. Dan oleh gerakan itu terjadilah semua perpaduan dari keadaan semua benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju disebabkan oleh keinsyafan dan penyelesaian beberapa
pertentangan yang berada di dalam pikiran (concept). Menurut teori materialis kami, maka
semua pertentangan yang ada dalam pikiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang
ada itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu tafsiran pada dunia nyata (fenomena),
sebagai akibat dari pertentangan yang terdapat pada dasarnya-bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata, itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (idea).
Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu dapat dijelaskan oleh kemajuan yang nyata,
kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).
Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali yang di udara itu ke tanah dan kepada yang
oleh Hegel ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang dikenal oleh
Hegel kepada dialektika itu. Dengan begitu, maka di tangan Marx dan Engels dialektika menjadi
senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh kudung gaib, maka dialektika menjadi senjata kaum reaksioner di Jerman. Buat
Hegel maka dialektika adalah senjata revolusi terhadap kaum feodal tetapi berubah menjadi
senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan Engels sebagai para pembela kaum
proletar, maka dialektika yang bersandar pada materialismelah senjata yang tepat, tetap, dan
sempurna terhadap kaum feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang kalau kita mengupas lebih dalam persamaan dan perbedaan, cara dan
teori berpikir antara Hegel dan Marx dalam karangan yang dimaksudkan cuma sebagai satu
tujuan singkat saja ini. Di lain tempat tinjauan yang lebih luas dan lebih dalam sudah saya
kerjakan agak lebih lanjut. cuma sebagai penguji, ingin saya menyinggung lagi sedikit
persamaan dan perbedaan itu, serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan materialisme
mekanik dengan materialisme dialektik!
Janganlah hendaknya kita menyangka bahwa Hegel terus melayang-layang di dunia pikiran saja
dengan tak pernah menginjakkan kakinya ke tanah-bukti (reality). Sebaliknya pula jangan dikira
bahwa Marx dan Engels tak pernah melepaskan kakinya dari tanah-bukti dan tak pernah
memasuki dunia cita-cita, pikiran, ide itu!
Kedua jenis pemikiran tadi maju berpikir dengan berpegangan kepada kedua dunia pikiran dan
bumi-bukti. Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikiran dan Marx-Engels berpangkalan
kepada bumi-bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh Marx dan Engels juga jauh
lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel.
Demikian Hegel pernah mengucapkan, bahwa rohani (spirit) itu adalah dasar pendorong (motiveprinciple) sejarah. Tetapi disamping itu, diucapkan pula bahwa keadaan-ekonomi pada satu
tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan (instrumentality) rohani.
Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada kebendaan ada juga mengucapkan pada
suatu tingkat, maka rohani itu bisa pula menjadi kodrat yang arahnya ditentukan oleh keadaan
ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya jelas juga bagi kita persamaan dan perbedaan antara
materialisme mekanik dan materialisme dialektik. Keduanya sama-sama bersandar kepada
kebendaan. Tetapi bagi pengikut materialisme mekanik, maka manusia dengan pikiran, perasaan,
dan kemauannya (ringkasnya manusia dengan jiwanya) seolah-olah tidak berdaya menghadapi
alam raya dan hukumnya.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, dalam wilayah yang dibatasi oleh
keadaan masyarakat sendiri, manusia dengan jiwanya bukanlah benda yang pasif, nrimo, seperti
mesin saja. Beberapa ayat dari tulisan Marx yang memperlihatkan perlantunan (interaction,
wissel werking) antara manusia dan alam di sekitarnya berbunyi, kurang lerbih :
“Bumi sekeliling (geographical environment) mempengaruhi manusia dengan perantaraan
kemajuan ekonomi, pada salah satu daerah, atas salah satu kodrat-produksi (force of production)
yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom dan lain-lain) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam
sekelilingnya. Keadaan ini membentuk hubungan baru antara manusia dan alam-sekitarnya”.
“Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya, mengubah sekitarnya itu dan dengan begitu
mengubah diri (jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 tesis Marx mengucapkan :
”Die Filosopen hebben die Welt nu verschieden interpretiert. Es Kommt aber daraufan, die welt
zu aendern” (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini, yang terpenting
ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan tersebut di atas nyatalah sudah salah benar mereka yang mengatakan
bahwa kaum materialis itu cuma orang fatalis, penerima kodrat alam saja, dan cuma memikirkan
makan-minum dan kepelesiran hidup semata-mata. Sebaliknya bukan juga hasil pelaksanaan
kemauan manusia itu tak terbatas! Melainkan dibatasi oleh keadaan lahir dan batin yang telah
dicapai oleh suatu masyarakat itu sendiri (ilmu, teknik, produksi, sosial, politik, kebudayaan,
sejarah dan lain-lain).
Terbatas oleh alam dan masyarakat yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, menafsirkan
materialisme dialektik itu dipandang dari salah satu sudut ialah :
1. Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa barat, ilmu teknik dan
organisasi modern, sebelum Proklamasi sudah membentuk sistem masyarakat produksidistribusi, sosial-politik yang ringkasnya boleh disebut sebagai masyarakat kapitalismejajahan Belanda (tesis).
2. Dalam kandungan imperialisme Belanda itu, di antara yang lain-lain, timbul dan
tumbuhlah paham yang bertentangan dengan paham masyarakat-kapitalisme-jajahan
tersebut yang pada hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru yang
memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu di dalam suatu produksi berdasarkan
tolong menolong dan distribusi berdasarkan “pada waktu yang memberikan keuntungan
hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah dan di waktu bahaya terlentang sama
minum air, terlungkup sama makan tanah,” berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di
antara manusia dan manusia serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-tesis).
3. Dengan proklamasi 17 Agustus, maka rakyat pemuda mulai bertindak melaksanakan
paham pembentukan alam dan masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.

KONSEP NEGARA
1. NEGARA (STATE).
Sebagai hasil dari cara berpikir berdasarkan logika yang mengesampingkan pertentangan, maka
ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe (Belanda), Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya
mendefinisikan negara itu, kurang lebih sebagai berikut :
“Negara adalah wilayah tertentu, didiami oleh rakyat (bangsa asli dan warga baru) tertentu di
bawah kekuasaan (authority) yang syah dan tertentu pula”.
Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah : Wilayah yang tertentu untuk
menyusun suatu pemerintahan (for the sake of organizing a government).
Sebagai hasil cara berpikir dialektika yang melaksanakan pertentangan atas paham (teori)
idealisme, maka Hegel mendefinisikan negara itu, sebagai “Pernyataan paham kesusilaan (moral)
….atau gambaran dan kenyataannya akal, atau ……kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakekat
dan keadilan yang abadi dilaksanakan”.
Sebagai hasilnya cara berpikir dialektik, yakni logika-pertentangan yang diselenggarakan atas
paham (teori) materialisme, maka Marx mendefinisikan itu dengan kalimat yang terkenal :
“Negara itu adalah hasil dan pernyataan perjuangan kelas yang tidak bisa didamaikan” (The state
is the product and the manifestation of the irreconcilability of class-antagonism”).
Dalam buku karangan Engels judul Der Uspung der Familie, der Privateigentums und des State
(1894) tertulis di antara lain-lainnya " ….(negara) adalah hasil masyarakat pada suatu tingkat
kemajuannya, dia (negara) adalah suatu pengakuan bahwa masayrakat ini sudah terlibat dalam
pertentangan dengan dirinya sendiri sehingga tak dapat diselesaikan lagi; sampai (negara) itu
terbelah dua dalam pertentangan dendam dan kesumat yang tidak dapat disingkirkan lagi”.
“Supaya pertentangan ini, (yaitu pertentangan) dua kelas yang berdasarkan pertentangan
kepentingan ekonomi ini, jangan melenyapkan diri dan masyarakat sendiri oleh perjuangan siasia, maka perlu ada sesuatu kekuasaan yang rupanya seolah-olah berdiri di atas masyarakat untuk
menjabarkan perjuangan dan membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentraman; dan
kekuasaan ini yang timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat
dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat, yakni negara”.
“Kekuasaan umum itu ada pada tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja terdiri dari orang
bersenjata, tetapi juga disertai oleh badan seperi penjara dan berbagai rupa alat pemaksa, yang
semuanya tidak dikenal dalam suatu masyarakat kekeluargaan.”
Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi” (State and Revolution) berkata : "Dua badan yang
teristimewa menjadi syarat mutlak mesin negara ialah birokrasi dan tentara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada badan masyarakat borjuis, lintah
darat yang timbul dari pertentangan yang membela dua masyarakat itu, tetapi lambat laun yang
menghisap semua lubang hidup masyarakat”.
Sekianlah dahulu catatan saya tentang negara itu yang saya rasa perlu sebelum saya memulai
uraian saya.
Karena berlainan cara berpikir, berlainan bahan-berpikir dan berlainan pula semangat berpikir,
maka ketiga jenis ahli pikir tersebut di atas mendapatkan hasil pikiran yang berbeda pula bentuk
dan isinya.
Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis tidak mengemukakan pertentangan
kelas dengan kelas dalam masyarakat yang diliputi oleh negara itu. Hegel memang guru Marx
dalam hal ilmu berpikir secara dialektik, yakni cara berpikir yang berdasarkan pertentangan.
Tetapi ia mempergunakan dialektika itu atas pengertian-tafsiran dan teori idealisme. Marx,
Engels, dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektik, tetapi mereka memakai dialektika itu atas
teori kebendaan, kenyataan (materialisme).
Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah wilayah (territory), rakyat (people), dan
kekuasaan (authority). Dalam definisi tersebut di atas Hegel tidak mengacuhkan daerah dan
rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (Rede) atau paham (Idea). Pun
Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah ke dalam definisinya. Tetapi mereka
mengutamakan perpecahan kelas di antara rakyat itu dan mengemukakan kekuasaan yang
dipakai oleh salah satu kelas dalam rakyat itu untuk menindas kelas yang lain dengan alat
kekuasaan negara itu.
Tentang semangat menghampiri persoalan kenegaraan pun ketiga jenis ahli di atas tadi berlainan
satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat menyebarkan dan membatasi perjuangan.
Sebaliknya Marx, Engels, dan Lenin mempertajam dan memperluas perjuangan kelas dari
lingkup nasional ke lingkup international. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap
sistem negara feodal tetapi bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletar!
Meskipun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah dan rakyat ke dalam definisi
negara itu, walaupun ketiga pemikir proletar ini lahir-batin adalah internationalis, tetapi hal ini
tidak berarti bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan (nasional-question). Jauh dari
pada itu!
Semua persoalan yang berhubungan dengan kemegahan dan kebangsaan (nasional-question),
seperti soal bentuk suatu negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka
Pandangan Hidup Tan Malaka

More Related Content

Similar to Pandangan Hidup Tan Malaka

Karlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final bacaKarlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final bacawijiwungkul
 
Makalah sejarah
Makalah sejarahMakalah sejarah
Makalah sejarahSantos Tos
 
Pola hunian (sejarah)
Pola hunian (sejarah)Pola hunian (sejarah)
Pola hunian (sejarah)Dwi Febriyana
 
Kebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesiaKebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesiaJoko Sriyatno
 
Kebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesiaKebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesiaJoko Sriyatno
 
Materi negrito dan wedidd
Materi negrito dan wediddMateri negrito dan wedidd
Materi negrito dan wediddRival Pratama
 
Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)
Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)
Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)Atika Wulandari
 
Kehidupan manusia masa Pra Aksara
Kehidupan manusia masa Pra AksaraKehidupan manusia masa Pra Aksara
Kehidupan manusia masa Pra AksaraArdhia Pramesti
 
Selamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi Kita
Selamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi KitaSelamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi Kita
Selamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi KitaLilik Maysarah
 
Menjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesia
Menjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesiaMenjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesia
Menjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesiaHarunyahyaBahasaIndonesia
 
Tinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayak
Tinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayakTinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayak
Tinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayakHARISA MARDIANA
 
Pp manusia purba
Pp manusia purbaPp manusia purba
Pp manusia purbaPastime.net
 

Similar to Pandangan Hidup Tan Malaka (20)

Karlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final bacaKarlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final baca
 
Makalah sejarah
Makalah sejarahMakalah sejarah
Makalah sejarah
 
Pola hunian (sejarah)
Pola hunian (sejarah)Pola hunian (sejarah)
Pola hunian (sejarah)
 
Kebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesiaKebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesia
 
Kebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesiaKebudayaan logam di indonesia
Kebudayaan logam di indonesia
 
Ekosistem
EkosistemEkosistem
Ekosistem
 
Kepunahan Hewan Buas
Kepunahan Hewan BuasKepunahan Hewan Buas
Kepunahan Hewan Buas
 
Kepunahan Hewan Buas
Kepunahan Hewan BuasKepunahan Hewan Buas
Kepunahan Hewan Buas
 
Sejarah
SejarahSejarah
Sejarah
 
Materi negrito dan wedidd
Materi negrito dan wediddMateri negrito dan wedidd
Materi negrito dan wedidd
 
Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)
Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)
Pemanfaatan Hewan dan Tumbuhan(IPA SMK semester 5)
 
Kehidupan manusia masa Pra Aksara
Kehidupan manusia masa Pra AksaraKehidupan manusia masa Pra Aksara
Kehidupan manusia masa Pra Aksara
 
Rasa Ingin Tahu
Rasa Ingin TahuRasa Ingin Tahu
Rasa Ingin Tahu
 
Selamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi Kita
Selamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi KitaSelamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi Kita
Selamatkan Orang Utan Selamatkan Bumi Kita
 
Menjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesia
Menjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesiaMenjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesia
Menjelajah dunia semut. indonesian. bahasa indonesia
 
Tinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayak
Tinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayakTinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayak
Tinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayak
 
KALAJENGKING
KALAJENGKINGKALAJENGKING
KALAJENGKING
 
Pp manusia purba
Pp manusia purbaPp manusia purba
Pp manusia purba
 
Dinosaurus
DinosaurusDinosaurus
Dinosaurus
 
A
AA
A
 

More from Bayu Prasetyo

Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)
Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)
Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)Bayu Prasetyo
 
Makalah Lahirnya Generasi Digital Indonesia
Makalah Lahirnya Generasi Digital IndonesiaMakalah Lahirnya Generasi Digital Indonesia
Makalah Lahirnya Generasi Digital IndonesiaBayu Prasetyo
 
1948 ku handle di kaliurang
1948 ku handle di kaliurang1948 ku handle di kaliurang
1948 ku handle di kaliurangBayu Prasetyo
 
1924 menuju republik indonesia
1924 menuju republik indonesia1924 menuju republik indonesia
1924 menuju republik indonesiaBayu Prasetyo
 
1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarang1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarangBayu Prasetyo
 
Ideologi pancasila__dan_konstitusi
Ideologi  pancasila__dan_konstitusiIdeologi  pancasila__dan_konstitusi
Ideologi pancasila__dan_konstitusiBayu Prasetyo
 

More from Bayu Prasetyo (11)

Teknik persidangan
Teknik persidanganTeknik persidangan
Teknik persidangan
 
Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)
Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)
Apa itu blog ? (Penjelasan tentang blog untuk pemula)
 
Makalah Lahirnya Generasi Digital Indonesia
Makalah Lahirnya Generasi Digital IndonesiaMakalah Lahirnya Generasi Digital Indonesia
Makalah Lahirnya Generasi Digital Indonesia
 
1948 ku handle di kaliurang
1948 ku handle di kaliurang1948 ku handle di kaliurang
1948 ku handle di kaliurang
 
1946 thesis
1946 thesis1946 thesis
1946 thesis
 
1926 semangat muda
1926 semangat muda1926 semangat muda
1926 semangat muda
 
1924 menuju republik indonesia
1924 menuju republik indonesia1924 menuju republik indonesia
1924 menuju republik indonesia
 
1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarang1921 serikat islam semarang
1921 serikat islam semarang
 
Berbicara efektif
Berbicara efektifBerbicara efektif
Berbicara efektif
 
Ideologi pancasila__dan_konstitusi
Ideologi  pancasila__dan_konstitusiIdeologi  pancasila__dan_konstitusi
Ideologi pancasila__dan_konstitusi
 
Lpj pelantikan
Lpj pelantikanLpj pelantikan
Lpj pelantikan
 

Pandangan Hidup Tan Malaka

  • 1. Pandangan Hidup Tan Malaka (1948) Kontributor: Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Feb 2008) 1. MANUSIA MONYET Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita untuk ingatan kita sekarang, ketika mungkin kepulauan Indonesia masih besartu antara satu dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia bahwa mungkin juga dengan Australia, menurut seorang ahli hiduplah disini, dekat desa Trinil, makhluk setengah hewan setengah manusia, yang oleh ilmu dinamakan pithecantropus erectus, manusia monyet. Di belahan bumi lain seperi di Tiongkok Utara, Afrika Selatan, serta Eropa Selatan dan Tengah ditemukan juga mahluk semacam itu. Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi (ilmu hayat) mendapatkan pandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan kepercayaan yang ditaati oleh agama selama ini tentang asal-usul dan hari akhir manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan dengan besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di alam raya kita ini, di Universe kita ini. 2. INDONESIA SEDERHANA Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali mengamati penghuninya! Maka sekarang pun Indonesia masih dapat menyaksikan manusia pada tingkat yang serendahrendahnya, yang berada di antara jenis hewan yang paling tinggi derajatnya, seperti orang utan, dengan pelbagai penduduk manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia. Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan seperti banyak orang Irian (Papua) masih bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya daripada Alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otaknya dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian yang diperlukannya atau untuk memperoleh senjata buat membela diri mereka terhadap hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah dari pohon di berlainan tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk menjamin hidup mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu yang dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
  • 2. Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada beberapa bagian di kepulauan Indonesia. Ini saya majukan untuk memberi penjelasan, betapa dekat dan eratnya hubungan alam dan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini tidaklah mendorong manusianya membanting tulang serta memutar otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam yang kejam. Di mana keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi dimana keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, disana tenaga dan otak penduduk Indonesia menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyarakat yang berubah itu. Sungguh besar perbedaan alam jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu, Semang, Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi dengan alam-jiwanya seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh, doker, insinyur, atau pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan bukan pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan kota. Perbedaan orang Indonesia berada dengan yang sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan oleh kodrat pendorong. 3. ANIMISME. Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat adanya perbedaan Pandangan Hidup (Weltanschauung) Indonesia beradab dengan Indonesia primitif itu. Buat mengerti hal ini, maka sebaiknya sekejap kita mengandaikan berada di tengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan, atau Irian! Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat seluruh penduduk pulau Jawa, agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita. Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang selalu gelap-gulita karena sang matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan biantang buas atau berbisa, semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya sebagai manusia menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam. Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal sekali mencerminkan alam-luar itu kepada alam-dalamnya, kepada jiwanya, cocok benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya disebabkan olah jiwa yang berada di Alam-Luar, yakni yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh pohon besar. Demikianlah di mata orang sederhana itu, semua benda yang dahsyat di sekitarnya dianggap mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang dahsyat, air mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya; bahkan batu dan kayu pun dianggapnya berjiwa, bernyawa.
  • 3. Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik, yang terpendam dalam pengalamannya seharihari belum lagi begitu terpisah dalam pandangannya. orang sederhana memuja bukan yang baik asal baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya, yang baik maupun yang jahat. Hantu yang jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu yang baik, yakni hantu kawan manusia. tentulah di mana alam sangat dahsyat di sanalah hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang buaya mendapat perhatian lebih dari pada yang baik. Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan paham yang oleh para ahli dinamai kepercayaan animisme. Semua yang ada di alam ini dianggapnya berjiwa, bernyawa. Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan alamnya di mana mansuia itu berlaku pasif, menerima, bahkan menderita ketakutan saja, di masa inipun berlakulah hukum dialektika, yakni perubahan bilangan sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality). Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita bermacam-macam penyakit, lama kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala pengorbanan dan pemujaan kepada salah satu yang paling ditakuti di antara banyak-yangditakuti. Di antara macan, buaya, hantu pohon, hantu air, atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu, yang paling penting-cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Dimana pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang sengat dipuja. Di sinilah hantu-pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai Maha-Hantu. Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih dari yang jahat. Konon kabarnya ada satu suku bangsa Irian yang menganggap pohon aren atau enau sebagai Tuhan dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren juga antara segala pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang telah memberikan segala-galanya yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu dari pohon Aren adalah makanan yang sehat dan mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai buat atap rumah. Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak penangkap ikan dan alat membela diri terhadap musuh. Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang berurutan dari satu sampai tujuh tahun. Tebanglah pohon ketujuh yang berumur tujuh tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu dilakukan seorang anggota, yakni memotong sepohon sagu sekali satun dan menanam sepohon sagu sekali setahu. Selainnya itu dia boleh memancing atau berburu, berkelahi atau bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Irian. Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke angkasa sambil memberi bahagia kepada makhluk manusia di sekelilingnya.
  • 4. 4. KEPERCAYAAN INDIA. Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke masyarakat lain, yakni India! Salah satu kesimpulan yang kita peroleh setelah membaca buku suci Mahabarat, Ramayan, dan Upanishad, serta tulisan tentang hidupnya Sidharta Gautama, Sang Budha, dan agama Budha, yakni bahwa pertama kali India mempunyai penduduk asli dan penduduknya terdiri dari bermacam-macam bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau Selatan! Kedua, bahwa mayarakat India di masa semua buku tersebut dikarang sudah mengenal alat perkakas produksi yang dibuat dari logam. Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari komunis asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa raja dan maharaja, sedangkan aturan desanya berdasarkan komunis asli. Keempat, dan inilah pula yang perlu diperhatikan disini, bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan masyarakatnya di masa itu buat mereka yang berpedoman dialektisme materialistis, jadi bukan dialektisme idealistis. Memang dalam kitab suci India itu sukar diperoleh fakta sejarahnya (historical facts) dan sukar pula didapat konsistensinya, yakni persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sense. Malah tarikh pun, yakni salah satu syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat. Maksudnya di sini tidaklah akan bisa mengambil suatu kesimpulan secara pasti dari Buku-Suci yang tidak berdasarkan historical facts itu. Cuma sekedar menimbulkan kesamaan petunjuk buat ahli pemeriksa. Berhubungan dengan dongeng Ramayana, maka dengan sendirinya timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet putih atau Hanoman itu benar penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tiada lebih tepat bahwa Hanoman si Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, yakni bangsa Kaukasia yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula bahwa perkataan monyet itu adalah satu ejekan dari bangsa India asli, yang berkulit hitam, seperti bangsa Keling? Kita pun di Indonesia ini mengenal kata ejekan terhadap orang asing-putih, penjajah, yakni kebo bule, siwer matan. Namun bagaimanapun juga, bagi saya dongeng Monyet Putih itu adalah suatu petunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan yang sedikit kuat, yang kita peroleh dari dongengan Monyet itu ialah: India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli atau pun yang masuk menyerbu. Mungkin sekali perbedaan kasta itu – yang belum pasti terbentuk dalam kitab suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi kurang lebih 3000 kasta pokok, cabang, dan ranting di masa imperialisme Inggris – bersandar mulanya kepada perbedaan bangsa.
  • 5. Yang tiada pula kurang memberi sugesti kepada saya ialah adanya Trimurti, adanya tiga Mahadewa Hindu, yakni Wisnu Sang Pembangun, Shiwa Sang Perusak, dan Brahma Sang Pemelihara. Banyak orang yang melihat pelaksanaan dialektika dalam kepercayaan Hindu Asli itu. Memang banyak ahli dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar atas dialektika idealistik, bukan dialektika materialistik, meskipun Hegel menganggap dialektika Hindu itu kurang kaitannya antara satu faktor dengan faktor yang lain, yakni antara tesis dan anti tesis. Bagaimanapun juga Trimurti dari mahadewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu cocok sekali dengan Pandangan Hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir ataupun batin. Tidak sukar membelokkan proses tersebut kepada trimurti Hegel, yakni tesis, anti tesis, sintesis. Cuma buat Hegel, seorang ahli dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku dalam otak manusia. sedangkan buat orang Hidnu, Trimurti itu adalah Mahadewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita termasuk juga hidup dan matinya manusia. Bagi saya asal-usul, serta sifat ketiga Mahadewa Hindu itu cukup tergambar dalam masyarakat Hindu yang kabur dan tiada logis-kronologis tercantum dalam Kitab Suci Hindu. Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang pada mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur satu sama lain akhirnya mendapatkan tiga maharaja atau pun satu maharaja yang terutama. Terhadap tiga mahadewa itu pun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya yang berbeda dari tempo ke tempo dan tempat ke tempat. Demikianlah di Hindustan sendiri pada satu tempo dan satu tempat Wisnu-lah yang dipuja. Pada lain tempo dan lain tempat Syiwa-lah yang diutamakan. Tidak saja pelbagai dewa dan mahadewanya Hindu di dunia gaib itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai raja dan maharaja di dunia lahir, yakni dunia politik, tetapi juga mendapatkan penyesuaian penuh pada dunia-sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarkat Hindu itu berpuncak pula pada tiga kasta pokok, yakni Kasta Brahma, Kasta Satria, dan Kasta Waisya, atau Kasta Pendeta, Kasta Ningrat, dan Kasta Saudagar. Semua kasta itu berpuncak kepada Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan, maka menurut hukum karma dan reinkarnasi seseorang harus melalui kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal itu seorang Kasta Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria (kelas rendah) mendengarkan bacaan kitab suci pun di dunia fana ini tiada diizinkan. Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan Kasta yang tiada boleh bercampur gaul satu dengan lainnya. Lama sebelum Masehi rupanya pemisahan masyarakat Hindu dalam beberapa kasta itu sudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur dan mengandung pri-kemanusiaan. Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari pemikir besar Sidharta Gautama, putera mahkota dari raja Kapilawastu. Sidharta Gautama atau Budha membantah keras pembagian manusia ke dalam beberapa kasta itu dan mempropagandakan bahwa bukan anggota
  • 6. Brahmana saja yang dapat memasuki Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh. Proses untuk mendemokratisasi masyarakat Hindu yang dimulai pada kurang lebih 500 tauhn sebelum Masehi itu berakhir dengan kemenangan Agama Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, yakni dibawah pemerintah Ashoka. Tetapi aksi yang dilakukan oleh Sidahrta Gautama beserta para pengikutnya yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya 500 tahun itu diikuti pula oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh dan sampai sekarang Hinduisme masih bersimaharajalela di dalam masyarakat Hindu. Setelah abad ke-14 masuklah dari jurusan Utara, agama baru yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat Arab di Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik dengan propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelum imperialisme Eropa memasuki India, orang Islam-lain yang menjadi Maharaja di Hindustan. 5. INDONESIA-INDIA Gerakan Pandangan-Hidup di India sepeti ditinjau selayang pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini. Di sini pun kita mengenal berlakunya diberlainan tempat dan diberlainan tempo Trimurti, Mahadewa Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Kita pun mengenal pengembangan dan perluasan agama Islam. Dengan berkembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia setahun demi setahun, berkembang dan berkuasa pula bansga Hindu (dibelakang hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu berkembang dan berkuasalah pula semua agama Hindu dan Arab (Islam) itu dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal itu pada puncak kekuasaan masing-masing agama, Hindu ataupun Arab (Islam), kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul dari alam Indonesia sendiri, yakni animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarang pun para Hantu yang bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air terjun yang terus-menerus menuangkan airnya itu masih menekan jiwa orang Indonesia yang melihat dan mendekatinya. Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu sesuai pula dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa Indonesia di zaman tersebut. Perdagangan dan perusahaan asing walaupun berkembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia, belumlah pernah Indonesia lepas dari tangannya. Tegasnya, sawah, ladang, serta hutan, sungai dan lautan, ringkasnya tanah, air, dan udara masih tetap di dalam genggaman bangsa Indonesia asli. Dengan demikian masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu yang telah lampau.
  • 7. Mata pencaharian yang masih erat pada genggamannya, tanah, air, udara yang teristimewa kayapemurah yang bagaimanapun juga hebatnya perasaan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhana sekali. Seperti halnya dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan umat manusianya berebut-rebutan dan bunuh membunuh untuk mendapatkan nafkah, para arca dari bermacammacam Mahadewa pun bisa duduk dalam satu gedung berhala. Berbeda dengan keadaan di negara asalnya sendiri maka di Jawa-Swarga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun, Wishnu, sambil bersenyum-senyuman. 6. DI SEKITAR NABI MUSA. Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah sungai Nil di Mesir, ketika di bawah pemerintahan Maharaja Fir’aun. Di sekitar bagian bumi sanalah kita mendapatkan bukti sejarah yang banyak sekali dan paling tua sekali di antara bukti sejarah yang sudah diperoleh di bagian bumi mana pun juga. Egypt alias Mesir di zaman ribuan tahun yang lampau itu mengenal bermacam-macam dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, yakni Dewa Matahari yang mendapatkan kehormatan dan pujaan sebagai Mahadewa. Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rah-lah yang memfirmankan bumi, langit, sungai Nil dan gurun pasir beserta hewan dan manusia. Semua itu terbentuk sekaligus dengan mengucapkan sepatah kata saja, yakni Ptah. Jadi berlainan dengan pandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya ini menjelma dalam kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah. Demikian pengertian Mahakuasa, yang sanggup menciptakan Yang Ada, atau benda dari Yang Tak Ada atau kosong, sudah tersebar pada masa hidupnya Nabi Musa. Pengertian Mahakuasa ini pun sudah termasuk ke dalam kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Fir’aun itu adalah bangsa budak terhina, berhijrah di kerajaan Fir’aun. Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta penghinaan sebagai bangsa asing di tengah-tengah bangsa Mesir asli itu, maka suatu waktu bangsa Yahudi itu memutuskan, hendak pindah ke “Tanah susu dan madu” yang menurut kepercayaan yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang dimaksudkan itu, ialah tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah-rebutan antara Yahudi dan Arab itu.
  • 8. Buat bangsa budak, yang penghidupannya bergembala dalam suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, maka satu daerah bumi dimana “susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar. Orang yang memimpin pemindahan besar-besaran (exodus) ke Palestina itu yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh tentara Maharaja Fir’aun yang bersenjata lengkap patutlah disebut seorang pemimpin dalam arti kata sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan terpaksa kembali ke bawah penindasan Fir’aun, kalau yang memimpinnya bukanlah seorang pemimpin seperti Nabi Musa. Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai bahaya yang oleh orang biasa dianggap suatu yang mustahil akan dapat diatasi oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang tua-muda, bayi, lelaki, perempuan, sehat dan sakit yang sering bercecok satu sama lainnya lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagian terdiri dari mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Fir’aun, yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar di belakang, dalam keadaan demikian cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang dapat terus memegang pimpinannya. Pengetahuan yang luar biasa tentang sifatnya manusia serta keadaan alam sekitarnya, yang dimiliki oleh Nabi Musa. Pandangan tepat tentang kejadian yang mungkin terjadi di hari depan. Kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur, pelbagai pengalaman dan keinginan, serta akhirnya tetapi tidak kurang artinya, kepercayaan yang tidak dapat dilunturkan oleh bahaya dan pertolongan yang dijanjikan oleh Jehovah kepada leluhur bangsa Yahudi dalam menuju ke “Tanah susu dan madu” yang dijanjikan itu. Semua syarat penting bagi seorang pemimpin dalam keadaan demikian yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi segala kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat yang aman dan bahagia, dengan tidak berkompromi sedikit pun dengan musuhnya yang 1001 kali lebih kuat. Pimpinan ulung dari satu orang yang cuma mempunyai satu tujuan dan satu tekad, sebagaimana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan kesusahan dan bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha-Esa, pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, …pimpinan yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu, benar-benar the proof of the pudding is the eating (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah dimakan). Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atau beberapa suku Yahudi, yang dahulu kala juga mengenal beberapa dewa, menurut sukunya, maka sempurna jayalah pula kepercayaan monotheisme, percaya kepada ke-esaan Tuhan di antara semua suku bangsa Yahudi.
  • 9. 7. DI SEKITAR NABI ISA. Inkonsistensi, kontradiksi logika, pertentangan bagian dengan bagian, pertentangan dalam hal tarikh, pertentangan kejadian dengan hukum alam dan common sense, yang ditemukan oleh para ahli dan saya sendiri dalam kedua kitab suci, yakni kitab Injil Tua dan Injil Baru, tidak menjadi pusat perhatian saya di sini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan teknik dan ilmu, bukti di masa Nabi Isa itu, semua kegaiban alam dan kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab sudah pada tempat dan temponya. Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah moral (kesusilaan) dan ketuhanan yang termaktub dalam kitab suci itu. Pertentangan arti dalam hal susila dan ketuhanan, yang saya rasa terdapat dalam kitab suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran kita, kalau kita berpendirian seperti ahli, bahwa kitab suci tertulis lama sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga Yunani lama sebelum Nabi Isa lahir ke dunia. Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari agama Kristen yang berbunyi : “Kalau pipi kirimu dipukul orang berikanlah pipi kananmu kepadanya buat dipukul pula” dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi : “Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”. Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ketuhanan pun bagaimana pula bisa menyesuaikan Yang Maha-Esa, yang diutamakan Injil-Lama dan oleh nabi seperti kita bentangkan di atas dengan Trinitas-nya, dengan Trimurti-nya, karena Katholik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh Suci. Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau diseluk-belukkan dengan tempo dan tempat. Dengan demikian maka kuranglah pula penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya sudahlah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh agama Kristen dan Ideal Keluruhan Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli sejarah, yang mendapatkan kesimpulan bahwa di mana bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi, maka bangkitlah soerang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan terang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi kaki tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin pemberontak dari Galilea itu menamai dirinya raja Yahudi, Mahdi, Yezus Nazarenus Rex Judiorum! Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua pertentangan di dalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa itu dan memang bersemangat pemberontak, terutama di daerah Galilea. Kalau dia menganjurkan sikap bermaaf-maafan menganjurkan sikap “pipi kiri dipukul, berikanlah pipi kanan” maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi segenap Murba. Terhadap kaum pendeta dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, yakni kalau perlu dengan senjata di tangan menghancurkan kaum Rabbi, penindas bangsa Yahudi dan kaki tangannya penjajah Romawi di masa itu. Tentulah ada tafsiran lain yang rasional tentang dua susila yang bertentangan itu. Salah satunya dikatakan bahwa kaum Murba Yahudi di masa itu tidak berdaya pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung berurusan dengan Murba Yahudi.
  • 10. Jadi menurut tafsiran itu sikap pasif, sikap menerima yang dianjurkan oleh nabi Isa itu berasal dari perasaan tidak berdaya menghadapi kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kakitangannya, “inlanders-alatnya” kekuasaan Romawi itu. Bagi saya tafsiran yang belakangan ini memang, mengandung alasan tetapi kurang sempurna. Bangsa Yahudi, terutama kaum Murba-nya, dibelakang kota seperti di Yerussalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asal Nabi Isa sendiri, jauh daripada sikap pasif atau nrimo. Pemberontakan besar dan kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula dengan Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan para Rabbi, para inlanders-alat itu, seperti di atas tadi. Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan dengan Tuhan Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Yang Maha Esa. Filsafat ketuhanan, bahwa 1+1+1=3 itu timbul dan tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3=1 itu. Dibelakang harinya di masa Revolusi Perancis banyak pula anasir masyarakat manusia ini yang menumbangkan filsafat 3=1 itu! Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tidak menjadi soal pokok. 8. DI SEKITAR NABI MUHAMMAD. Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1=1 itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula susila yang biasa, yang praktis, bagi masyarakat manusia, yakni yang salah dihukum setimpal dengan kesalahannya, dimaafkan salah seorang yang mengakui kesalahannya dan mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah, seorang Arab dari suku Qurays. Karena bangsa Arab dan Yahudi tiada berapa bedanya menurut ilmu kebangsaan, dan kedua bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga nabi besar itu, yakni Nabi Musa, Isa dan Muhammad itu sebangsa dan seketurunan pula. Dalam kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun temurun dari Nabi Ibrahim. Jika kita melayangkan pandangan kita pada keseluruhan muka bumi yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita ialah cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi, malaise, madegnya, tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal. Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di Afrika Utara dan Asia Barat sedang menderita keruntuhan akibat desakan dan serangan pelbagai bangsa Jermania dari Utara. Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa baru yang perkasa (Bulgaria dan lain-lain) yang menyerbu ke dalam daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan, Romawi Timur hanya sanggup memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi almarhum. Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain negara bekas penguasa di sekitar Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan hidup enggan mati tak mau. Sedangkan semenanjung Arabia
  • 11. yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai kemakmuran, karena perdagangan dengan negara luar, dengan perantaraan para saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada kalifah yang kuat bersenjata, tersusun sebagai laskar teristimewa pula, belumlah pernah Semenanjung Arabia menderita penindasan dari bangsa asing. Dengan demikian maka bangsa Arab masih bersemangat tegak gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri sendiri. Cuma antar suku masih bertentangan dan perang memerangi. Sejajah dengan pertentangan dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu, melainkan terpecah belah dalam pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliyah. Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliyah yang tergambar pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai sintesis dari pertentangan pelbagai ideologi yang ada di masa itu, inilah usaha yang pertama sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo, seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini. Buta huruf bukanlah berarti buta kecerdasan, buta keberanian ataupun buta kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun tidaklah menjamin keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat. (resourcefulness) Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia “jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai”. Perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah ke negara-negara di sekitar Arab, bersama-sama dengan kafilah memberikan semua pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan Nabi di hari depan, saat Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan sangat membutuhkan pemimpin semacam itu. Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otak pemuda Muhammad bin Abdullah, yang ingin mengetahui asal-usul semua yang ada di alam dan masyarakat itu dapat dipenuhi oleh masyarakat di sekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab semua soal yang timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya. Bumi dan langit Semenanjung Arabia yang memberi kesan yang tidak dapat dilupakan oleh seorang yang mengamatinya akan menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh dengan percakapan dalam pulang pergi dari Mekah ke luar negeri itu. Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah. Terlatih tergembleng dalam “University of Life” (Universitas hidup) itu, maka apa bila Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam segala-galanya maka tampillah Muhammad
  • 12. bin Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai propagandis, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi. Tempo dan tempat amat sesuai dengan keesaan dan kemahakuasaan pada permulaan abad ketujuh itu. Perhatikanlah sekali lagi Semenanjung Arabia dan sekitarnya di masa itu. Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan dalam pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan dari pelbagai suku. Lagi pula masyarakat itu memerlukan adanya satu kaum, yakni kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di Dunia. Semua keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa, yang menguasai serba sekalian alam dan manusia, bidadari dan malaikatnya. Semangat Islam, yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan, semangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai pusat, jiwa dan filsafat serta prakteknya suatu kepercayaan, memang belum lagi dikenal dalam sejarah manusia. Agama baru yang bertentangan dengan kepercayaan pelbagai suku Arabia itu tidaklah akan dibatalkan ataupun disembunyikan oleh Nabi Muhammad. Apabila dalam suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam satu rapat, supaya propaganda Islam itu dihentikan saja, karena sangat menimbulkan pertengkaran, dan sangat mengancam jiwa Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad menjawab : Bahwa walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang sedemikian, larangan itu tak akan diindahkan. Syahdan, dengan semangat bersatu padu di antara kaum Muslimin yang kian hari kian bertambah banyak juga anggotanya; dengan semangat bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa, dengan semangat tak mengenal damai dengan kepercayaan Kafir Jahiliyah, maka dibawah pimpinan Nabi Muhammad akhirnya setelah kira-kira dua puluh tahun berjalan propaganda Islam, persiapan dan pertempuran sengit berulang-ulang, maka tercapailah persatuan seluruh Semenanjung Arabia. Dengan persatuan yang kuat-kokoh di antara semua suku Arab, dengan semangat pantang menyerah, Islam, zonder (tanpa) janji kepada takdir Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder mengenal damai terhadap negara dan rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh kemenangan lahir dan batin, maka dalam kurang lebih 100 tahun dapatlah bangsa Arab menguasai hampir seluruh Laut tengah di Asia, Afrika dan Eropa. Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan oleh dunia Kristen kepada Arab Islam, di Abad Pertengahan sampai sekarang pun, jasa Arab-Islam, tentang filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, sesungguhnya belum mendapatkan penghargaan yang sepatutnya! Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle edaran dialektika! Dengan Nabi Musa majulah ke depan filsafat ketuhanan 1=1 sebagai tesis. Setelah Nabi Isa, maka timbullah tentangan berupa 3=1, sebagai anti-tesis. Dengan Nabi Muhammad terbentuklah sintesis, yakni kembalinya filsafat 1=1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada semula.
  • 13. Sedikit saja filsafat Ketuhanan Islam yang tercantum dalam takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu menoleh ke dunia lama, yakni masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapatkan bahan serta petunjuk yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali filsafat Yunani yang ratusan tahun terpendam di bawah haribaan kerajaan Romawi. Filsafat Islam dapat memisahkan padi yang berisi dari padi yang hampa, menanam yang berisi sampai tumbuhnya di Abad Pertengahan. Dengan demikian sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke belakang masyarakat Islam yang jaya-mulia-makmur di Spanyol, Mesir, dan Bagdad dan kembali sebentar menoleh ke masyarakat Yunani asli. 9. YUNANI ASLI. Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani asli masih dianggap Kebudayaan Ibu. Plato, sebagai ahli filsafat, masih menjadi sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafat Heraklitos masih dianggap uratnya materialisme dan dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang pelbagai ahli ilmu pengetahuan empirik (scientis dalam sudut pandang positivisme) modern. Demikianlah bermacam cabang kebudayaan modern dapat dicari uratnya pada Kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada mahasiswa yang harus menyelami semua ilmu modern itu lebih dengan dalam, sampai keuratnya. 10. AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK. Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kepada dunia Barat, yakni Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis pokok kebudayaan. Semenjak 2500 tahun sejarah Dunia Barat, yakni dari kurang lebih tahun 500 SM sampai sekarang tiga garis pokok itu adalah garis agama, garis filsafat dan garis ilmu pengetahuan empirik. Semua cabang kebudayaan yang lain termasuk ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu. Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia barat yang 2500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan, kemunduran serta pertukaran nilai dan kedudukan. Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, agama memperoleh nilai kedudukan tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat cuma mengabdi kepada agama serta ilmu pengetahuan empirik boleh dianggap melalaikan otak dan pikiran belaka. Saat itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan Abad Pertengahan, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarkaat Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam masyarakat dan negara. Boleh dikatakan pula, dalam garis besarnya maka dari tahun 1500 sampai 1850 masehi, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di
  • 14. masa ini maka mulailah agama terdesak ke belakang. Bahkan pada masa Revolusi Perancis agama mendapat perlawanan yang sekeras-kerasnya. Sedangkan ilmu pengetahuan empirik makin mendesak dan sudah menjadi sandaran utama bagi ilmu filsafat. Pada saat itu, bukan lagi kaum pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara, melainkan mereka yang mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, ilmu nyata. Akhirnya kira-kira dari tahun 1850 sampai sekarang, maka ilmu pengetahuan empirik (science)lah yang memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi dalam masyarakat serta negara Eropa dan Amerika modern itu. Agama yang di masa Revolusi Perancis mendapat tentangan yang sekeraskerasnya bisa bangun kembali, tetapi tidak lagi mendapatkan nilai dan kedudukan seperti sebelum Revolusi Perancis. Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat dalam arti aslinya mulai turun dari singgasananya seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu golongan ahli filsafat, yakni filsafat materialisme dialektis, di bawah pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan : “Hari Akhir Filsafat”. Semenjak itu ilmu kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu pengetahuan empirik. Ilmu pengetahuan empirik dalam pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil nilai serat kedudukan yang tertinggi sampai sekarang. Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsfat tetapi artinya berlainan dari semula. Artinya sekarang, terutama ialah weaving up general principles (penyusupan prinsip umum), seperti dikatakan Francis Bacon, salah seorang ahli ilmu pengetahuan empirik besar. Jelas kiranya bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan buat Dunia Barat seperti tersebut di atas salaing beralihan nilai dan kedudukan yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayan itu: agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Adapun peralihan ketiga garis pokok yang sejajar pula dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan negara (Social-political regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang berdasarkan teknik yang ada. 11. PERALIHAN SISTEM PRODUKSI. Pada masa pendeta dan ningrat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara baik di Yunani, Romawi maupun di Eropa Barat di zaman pertengahan (kurang lebih tahun 1500 sampai 1850 M), produksi sudah lebih dipusatkan pada manufaktur. Di akhir masa itu, pengoperasian pabrik sudah mulai dijalankan dengan mesin uap. Pada masa borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum sosialis) di mana kaum borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa-Barat dan Amerika, (berkisar sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi sudah dikuasai finance capital (modal bank) dan monopoli. Tekonologi maju cepat, dari tenaga uap sampai tenaga listrik, minyak dan sekarang tenaga atom.
  • 15. 12. SOAL AGAMA. Adapun soal agama, kita semua kurang lebih sudah mengetahuinya. Soal itu berpusat kepada : Dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya Bumi, Bintang, dan langit pendeknya alam raya ini? Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ketuhanan, yakni agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada kodrat Tuhan. Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nasib manusia oleh tiga agama diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasib itu dipertimbangkan pula oleh amal dan ibadahnya. Amal dan ibadahnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah pahala atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadah dan bernasib baik akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan dimasukkan ke dalam neraka. Ringkasnya ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal dan akhir manusia tetapi juga menetapkan jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan neraka. Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal dan akhir manusia itu. Budha, Sidharta Gautama, mengemukakan lima jalan untuk mendapatkan surga. Berbeda daripada tiga agama tersebut diatas, agama Budha lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab diri sendiri dan perbuatan diri sendiri. Semua itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “eine Privatsache” atau kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika, dan matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan sendi agamanya. Tetapi, yang jelas bagi penganut satu agama belum tentu jelas bagi penganut agama lain. Agama tinggal tetap sesuatu kepercayaan bagi masing-masing orang. 13. FILSAFAT Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan yang tepat, yang bsia memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat bisa dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Di antara dua golongan besar yang merupakan dua-kutub yang saling bertentangan itu terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan jawaban yang diberikan oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi : “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)? Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu. Di dalam jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa (nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan rohani-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat, badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?
  • 16. 14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIS Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah yang asal, yang pokok : “Tak ada kodrat zonder benda. Manusia haruslah dapat makan, supaya dapat berpikir”. Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi ini, maka bumi dan bintang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis. Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative). Kata idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya ini cuma ide saja, yakni ide yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada awal dunia ini dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia dalam sekejap mata setelah kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog) Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah bahwa ejekan yang ditujukan oleh kaum idealis kepada kaum materialis, bahwa kaum materialis cuma memikirkan makan-minum serta kesenangan hidup saja, tidaklah pada tempatnya sama sekali. 15. AHLI FILSAFAT YUNANI Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan diri dari tali pusat kepercayaan yang bersandar kepada dogma semata-mata, dan mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah, air, udara dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya ini serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya sendiri, maka Zeno, idealis Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: “Gerakan (benda) itu cuma bayangan panca indera manusia saja (illusion of the sense)." Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato setelah memakai cara berpikir yang memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute idea). Dengan cara berpikir yang abstrak, pilah-memilah (analisis), dia sampai kepada Dunia Logos, Dunia Roh. Banyak persamaan Logos Plato itu dengan Atma-nya Hindu. Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakan benda, yakni Heraklitos, mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kita, yaitu :”Sesuatu itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa berubah, selalu timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru dibenarkan oleh ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno, Heraklitos mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang menyebabkan benda, senantiasa mengalami perubahan (Nich ist, alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.
  • 17. Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsfaat tersebut hidup raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapak dari beberapa ilmu, terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan perhatiannya kepada suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum logika dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum dialektika yang dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos. 16. AHLI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya terhadap masyarakat di zaman pertengahan, yakni masyarakat Islam dan Nasrani. Dunia filsafat Barat memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rusyd, yang terkenal sebagai Averoes, atau Ariestoteles-nya bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Ariestoteles yang sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui dan diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada kedua masyarakat itu kita kurang mendengar nama Heraklitos dan Demokritos. Tetapi mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan sejarah yang diwariskan kepada kita. Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan pemikir yang dinamai Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota besar kerajaan Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan ateis. Keterangan lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka tidaklah sampai kepada kita, selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh agama resmi. Ibnu Rusyd sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Mu’tazilah dan kebebasan pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid Eropa (Nasrani) yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan kalau mereka kaum Mu’tazilah adalah Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis walaupun masih serba sederhana (rudimentary). Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman pertengahan itu, kita sedikit sekali mendengar nama Heraklitos dan lebih banyak mendengar nama Plato dan Ariestoteles. Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf di zaman pertengahan Eropa Barat itu. Hawa yang dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak-serf oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah memberikan kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini diserahkan kepada para pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang besar, dikelilingi oleh pohon dan dilayani oleh rakyat budak disekitarnya. Terpisah dari masyarakat pekerja seperti Logosnya Plato, terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafat Plato dan Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak Plato cocok benar dengan sifatnya God (Tuhan) yang berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu.
  • 18. Paham mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini. Klasifikasi Ariestoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang terpisah dari tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya sangat digemari oleh schoolmen, scholasticus, ahli buku, di Abad Pertengahan. Karena ahli buku yang memang hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari hewan dan tumbuhan yang sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku ahli filsafat di Abad Pertengahan itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli filsfaat di Abad Pertengahan itu. Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih bersandar kepada agama dan ilmu pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum idealis masih memakai kepercayaan agama sebagai premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem (karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai anasir kepercayaan agama itu sebagai premis. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai premis. Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika, ilmu alam dan ilmu hayat yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan empirik, maka kian ditinggalkan penjelasan yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principi). 17. AHLI FILSFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS. Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan empirik sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita mengenal raksasa matematika dan ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis, Clairut, D’Alembert, Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa matematika ilmu alam dan fisika, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun secara sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia Arab! Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles. Perbandingan Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga pemikiran Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa disebut, namun itu semua ibarat memperbandingkan anak bayi dengan orang dewasa. Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan empirik, yang telah membikin jarak zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah puluhan ribu tahun lamanya itu memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi para ahli filsfaat tetap terpecah dua, yakni golongan idealis dan materialis. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan empirik itu sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing teori mereka.
  • 19. Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas kerohanian si pemandang, maka David Hume dengan tekad konsekuensi seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada dalam alam raya ini tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan paham) tentang alam raya itu. Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu “gambaran” dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan bahwa orang lain, buat dia cuma satu “gambaran” dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa berakat bahwa Hume sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja, selain daripada satu gambaran dalam otak orang lain itu saja. “Kamu” buat Hume adalah “saya” buat orang lain itu. Sebaliknya “saya” buat Hume adalah “kamu” buat orang lain itu. Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya David Hume itu. Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak bisa meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi selain mengakui yang ada itu, dia lari pula kepada “Ding An Sich” “benda pada dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya Imanuel Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel. Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di sekitar revolusi borjuis itu mendapat kritikan yang keras sekali dari ahli filsafat materialis Perancis yang termashur seperti Diderot dan Lamartine. Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu, maka mereka meniadakan kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move, benda bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. Manusia itu adalah mesin yang pasif, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak bergeraklah dia, kalau tidak berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang pasif, penerima itu, demikianlah pula manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme yang semacam ini kami namai Mechanical-matterialism, yakni materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam disekitarnya. Rupanya masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum materialisme mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap takdir Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak berdaya terhadap kebendaan itu (mechanism of matter). 18. MATERIALISME DIALEKTIS. Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli filsafat idealisme bisa diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi filsafat materialisme dari Perancis, tetapi terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan menschalische taotigkeit (perbuatan manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach, menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada idealisme”,
  • 20. sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan kebendaan”. Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya sebagai mahaguru lantaran dianggap terlampau radikal, maka feurbach terpaksa hidup terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam cara berpikir menurut cara dialektika materialistis. Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman sezamannya, yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua orang ini adalah ahli dan penggemar matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme Perancis dan Inggris. mereka juga memanfaatkan teori Evolusi dari Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David Ricardo dalam pembentukan teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan), yakni sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang berdasarkan impian (utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon, Fourir, dan Robert Owen, berubah menjadi scientific socialism, yakni sosialisme ilmiah. Adapun yang dianggap menjadi sebab (cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat, dari tingkat ke tingkat itu ialah perubahan sistem produksi ilmu sejarah yang didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan hidupnya yang berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme Dialektis. Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap primus, pokok, asal di alam raya ini. Disebut pula dialektis karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang. Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition, sebabnya dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka berubah-bertukarlah pula sejarah manusia, dari satu kebetulan, dari satu nasib yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal, berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia-gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal. Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan dipastikan hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah bertukarlah pula filsafat, yang berbunyi what does this all mean (apakah arti semuanya ini), menjadi soal kaum ahli ilmu pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu pengetahuan empirik. 19. ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK. Tepat juga kesimpulan Engels yang mengatakan bahwa dalam perkembangan ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi ilmu pengetahuan empirik, Wissenschafft, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya (natura). Sisa dari filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika.
  • 21. Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik awalnya, ke zaman Yunani dan dari sini secepat kilat kita berlari ke zaman modern. Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada logika dan dialektika yang oleh Engels disebut sebagai sisanya filsafat itu. Syahdan, dalam kurang lebih 2500 tahun perantauannya, maka sains, ilmu pengetahuan empirik, yang dianggap sebagai anak dari filsafat dan cucu dari agama, yang sampai sekarang sebagian besarnya belum lagi lepas dari ari-ari (tali pusat) ibu dan neneknya, ilmu pengetahuan empirik tentang alam raya –dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya itu- sudah sampai ke dunai terkecil yang tidak tampak oleh mata, karena kecilnya. Satu ‘universe’ (alam) yang dapat ‘universe’. Kini kita mengenal adanya planet-planet dan tatasurya lain. Kita juga mengenal alam molekul dan atom Molekul dan atom yang tercipta dalam hipotesis atau dugaan kedua materialis dialektis, Heraklitos dan Demokritos itu sekarang bisa dibuktikan oleh mata dengan bantuan teropong. Bahkan ilmu pengetahuan empirik sudah sampai kepada benda yang lebih kecil lagi. Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari; seperti satu tatasurya lainnya; seperti universe dengan universe lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik (repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya kodrat tesis dan anti tesis dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia terkecil tadi, yaitu proton dan elektron tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik menjadi satu atom satu sintesis atom. Ringkasnya sintesis dari proton dan elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul; sintesis molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan matahari ialah tatasurya, sintesis dari satu tatasurya dengan tatasurya lainnya serta akhirnya satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya kita ini. Dalam 2500 tahun ini, menurut dialektika dan hukumnya tesis, anti tesis, dan sintesis, maka otak manusia sudah mengenal alam terbesar, yakni alam raya kita dan alam terkecil ialah elektron dan proton tadi. 20. CABANG-CABANG ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK Entah sampai mana ilmu pengetahuan empirik bakal bercabang lagi! Kalau kita pergunakan logical division (pembagian logika) atas ilmu pengetahuan empirik, maka kita memperoleh dua kelas, yakni yang masuk kelas sejarah dan yang masuk kelas alam. Maka ilmu pengetahuan empirik mengenai sejarah manusia itu sudah terpecah-pecah pula menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusasteraan dan lain-lain. Ilmu pengetahuan empirik yang mengenai alam raya ini sudah terbagi sudah menjadi ilmu bintang, ilmu alam (phisic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain. Disamping itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti dasarnya berlandaskan barang ciptaan seperti angka (number) dan huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, aljabar, trigonometri dan sebagainya. Perpecahan ini tidak hanya dalam cabang besarnya saja, tiap-tiap cabang itu sudah terpecahpecah juga. Cermati saja berapa banyak ahli yang sudah terdapat dalam ilmu kedokteran. Kita
  • 22. mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli rambut dan lain-lain. Ambillah juga contoh dari cabang ilmu hukum yang sudah terbagi juga atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undangundang dasar (constitutional laws), ilmu hukum tata negara (laws of nation) hukum sipil (civil laws) dan hukum kejahatan (criminal laws). Besar sekali bahayanya kalau orang yang ahli dalam suatu cabang ilmu pengetahuan empirik tidak lagi mengenal hubungan ilmunya dengan berlusin-lusin ilmu lain sehingga dia hidup terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah bahaya kalau seorang dokter ahli rambut hilang lenyap dalam haarklovery-nya saja dan melupakan hubungan rambut itu dengan seluruh bagian tubuh yang lain dan seluruhnya kesehatan manusia. Tak kurang juga besar bahaya kalau seorang ahli kejahatan, kriminolog, memandang kejahatan dari sudut tingkah laku seseorang saja, seolaholah dia lupa bahwa perbuatan orang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan luar dirinya sendiri; tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk-beluk dan berkenaan pula dengan keadaan ekonomi-politik, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan bahaya keterpecahan, keterpisahan, keterasingan itulah maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu pengetahuan empirik untuk mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu yang terpecah-belah karena kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah rupanya yang dimaksudkan seorang scientis ternama dengan weaving up general principles sebagai tafsiran dari filsafat modern. 21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK. Tidaklah mungkin, tetapi tidak juga perlu disini kita menghampiri dan menafsirkan isi semua atau sebagian pun dari pelbagai cabang pengetahuan itu. Sudahlah cukup kepentingan kita disini, mencoba menafsirkan maksud ilmu pengetahuan empirik, cara ilmu pengetahuan empirik memperoleh maksudnya. Serta bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat yang dikandungnya buat mencapai maksudnya itu. Salah satu kalimat yang lazim dipakai buat mendefinisikan (menetapkan) maksud ilmu pengetahuan empirik ialah : simplification by generalization atau mempermudah dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam sesuatu yang sudah lebih dikenal atau memasukkan yang belum dikenal itu ke dalam yang sudah lebih dikenal. Kalimat lain yang juga biasa digunakan untuk mendefinisikan maksud ilmu pengetahuan empirik berbunyi : the organization of facts (menyusun segala bukti). Formula ini saya rasa amat praktis. Berhubung dengan inilah pula, maka sains itu saya terjemahkan dengan ‘ilmu bukti’. Tetapi tidak pula kurang praktisnya formula yang lain, yang juga dipublikasikan di dunia ilmu sebagai maksud sains, yaitu to estabish laws and system, untuk membentuk hukum dan sistem. Sekian tentang maksud ilmu pengetahuan empirik.
  • 23. Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan cara logika, klasifikasi, statistik dan ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga dipakai cara dialektis. Dalam logika kita berurusan dengan apa yang dinamakan induksi, deduksi dan verifikasi. Dalam matematika kita berurusan dengan apa yang disebut metode sintetik, analitik dan reductio ad absurdum. Kedua ragam cara berpikir dalam logika dan matematika itu tiada berapa bedanya. Di tempat lain saya sudah uraikan perkara itu lebih lanjut, yaitu dalam buku Madilog. Di sini saya cuma hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum scientis itu mendapatkan maksudnya, yaitu mendapatkan hukum dan sistem itu (laws and systems). Bahan atau bukti yang dipergunakan oleh kaum ahli ilmu pengetahuan empirik itu diperoleh dengan jalan observation (pengamatan) atau experiment (praktek). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena dengan jalan pengamatan penyelidik cuma pasif, berdiam diri dan mengamati saja, sedangkan dengan jalan praktek si penyelidik boleh memindahkan barang dari tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang dituju. Sedangkan si pengamat cuma bisa mengamati hidup dan sifatnya masing-masing tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya, tetapi si pelaksana praktek dapat mengawinkan tumbuhan maupun hewan untuk mendapatkan jenis yang baru, yang lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat. Alangkah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan empirik semenjak Galileo. Pada permulaan abad ke-17 Galileo mengadakan experiment-nya di menara kota Pisa. Boleh dikata experiment itu telah membuka pintu untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari empat anasir yang dikenal oleh Yunani asli, yakni tanah, air, udara, dan api maka ilmu kimia sekarang saja sudah mengenal 92 elements (anasir) Akhirnya, dan tidak juga kurang pentingnya maka semangat objectivity (tidak melibatkan subyektivitas, termasuk emosi dan kepentingan) di samping semangat adventure, dalam arti sanggup meloncat dari dunia bukti ke dunia hipotesis dan teori adalah satu sine qua non bagi seorang sciencetis. Seorang ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak sanggup melepaskan bukti-bukti itu supaya bsia melayang ke dunia hipotesis dan teori, tidaklah akan sanggup membentuk laws and systems seperti maksud science. Mereka akan tetap tinggal pada dunia bukti saja. 22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK. Kurang tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat Timur, di luar Arab tidak mengenal ilmu pengetahuan empirik. Kurang tepat jika disebut bahwa India, Tiongkok dan lain-lainnya cuma mengenal agama dan filsafat saja dan tidak mengenal science, ilmu pengetahuan empirik. Konon kabarnya bapak ilmu ukur (geometri) itu adalah seorang Hindu asal Birma dan katanya juga India lama sudah mengenal aljabar. Juga Tiongkok sudah mengetahui bagaimana membuat lingkaran, walaupun tidak memkai rumus P.R yang kita kenal. Tak ada yang tak akan terkagumkagum dan terpengaruhi oleh logikanya mahaguru Kung (Confucius) kalau membaca sistem kekeluargaan dalam empat bukunya. Tak ada pula orang yang tak akan terpesona mengikuti cara dialektis yang dipergunakan oleh mistikus maha guru Lao Tze, apa bila dia menjelaskan pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemajuan obat orang Tionghoa. Bahkan dalam
  • 24. meramalkan hari depan, sehubungan dengan hujan, panas, angin ribut dan topan sering kali saya menyaksikan keulungan pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu pengetahuan empirik Barat dengan weather forecast, weerbericht atau ramalan cuacanya. Dan bukankah pengetahuan percetakan, bubuk mesiu dan kompas diwariskan oleh Tiongkok ke dunia Barat melalui Arab? Namun semua yang disebut itu tidak lantas menyatakan bahwa masyarakat Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat science, seperti masyarakat Yunani 500 tahun SM. Mahaguru Kung walaupun logis berpikir belum sampai kepada tingkat membentuk logika sendiri, yakni memisahkan hukum berpikir itu dari process (lakonnya) berpikir itu sendiri. Mahaguru Lao belum pula dapat menarik hukum dialektika dari proses berpikir, yang memang dialektis. Demikian juga tukang ukur, ahli kedokteran, dan ahli cuaca di Tiongkok belumlah sampai ke tingkat memisahkan, hukum ilmu ukur, hukum kedokteran dan kimia dari proses ukur-mengukur, obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara daripada proses yang berlaku di udara. Kung tzu memakai logika itu cuma menurut nalurinya (instinct) saja! Begitu juga Lao tze mempergunakan dialektikanya. Dan cara mencatatnya pun itu semua dalam bentuk ingatan analogi saja. Demikianlah tukang ukur, ahli obat dan ahli keadaan cuaca di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tak pernah lepas dan melompat lalu melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan hukum dan pengetahuan yunani daripada dunia India dan Tiongkok. Rupanya kodrat pendorong di India dan Tiongkok berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan hasil, tiada berapa majunya semenjak kurang lebih empat ribu tahun! India terpaku pada sistem kastanya. Tiongkok terpaku pada dunia feodal yang mengakar kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada teknik, sosial, ekonomi, politik serta kebudayaan yang berlainan coraknya dengan sistem yang ada di Eropa Barat, seperti huruf alfabet (a,b,c) belum lagi lepas dari gambaran suatu pengertian menurut sistem menulis di Tiongkok (Han-dji). Begitulah juga hukum ilmu pengetahuan empirik belum lagi lepas-terpisah, melompat-melambung keluar dari bukti itu sendiri. 23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK. Dengan demikian maka patutlah kita memberikan piala kehormatan ke tangan bangsa Yunani sebagai pelopor ilmu pengetahuan empirik modern. Dalam arti tulisan dan lisan memang Archimedes melompat dan melambung dari dunia bukti nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata. Sekian lama Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri tentang mengapa dan bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia mencemplungkan dirinya ke dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan ilham dan pertama kali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu. Archimedes mendapat hukum, tentang benda yang terbenam, melayang dan mengapung dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam kegembiraannya Archimedes tidak saja melompat keluar dari air dan berteriakteriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana kemari melupakan pakaian tetapi ia sudah melompat melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkan itu kian tahun kian mengembang dan melambung. Hukum tadi dilaksanakan pada semua tempat dan
  • 25. semua waktu, sampai salah seorang pengikutnya menemukan air raksa (kwik). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air raksa melainkan terapung. Nyatalah di belakang hari, bahwa bukan Hukum Archimedes yang salah melainkan formulanya masih kurang luas. Hukum Achimedes bahkan mendapatkan verification (pembuktian), lantaran bukti baru (air raksa) tadi. Kini air diperluas daerahnya, yakni mengenai minyak, air raksa dan lain-lain atau mengenai semua yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya menjadi semua benda. Hukum Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Gay Lusac dan lain-lain. Sampai dilanjutkan ke udara, ke strastosphere, ke mana Prof. Piccard melambung mencari pengesahan alam. Merantaulah Piccard ke dunia yang belum di alami, ke dunia yang cuma dianggap benar menurut hipotesis saja! Merantau berpetualang dari alam terkenal ke alam yang belum di kenal, seperti Columbus, Ronald Amunsen dan lain-lain para ahli penjelajah samudra! Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verifikasi yang diutamakan oleh logika dan ilmu pengetahuan empirik itu. Dan lebih sempurnalah pula mencari sebab, yakni dengan lima jalan yang sudah dikenal : 1. 2. 3. 4. 5. Method of agreement (cara persamaan). Method of Difference (cara pembedaan). Joint Method (cara paduan). Concomitant Variation (cara perubahan serempak). Mehtod of Residue (cara sisa). Sejarah menceritakan kepada kita bahwa Pytahogras tidak tinggal menguji (to prove) sudut siku yang kita kenal. Selain pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori, Pythagoras pun cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu ke dunia gaib. Banyak angka yang dianggap sakti oleh mahaguru Pythagoras. Dengan demikian maka Pythagoras mempengaruhi dunia keagamaan, dunia filsafat dan yang berkenaan dengan uraian kita disini, yakni dunia matematika. Dipelopori oleh Pythagoras, kita setelah 2500 tahun ini sampai kepada pelbagai teori matematika yang sulit seperti teori relativitas Einstein, melalui para ahli matematika raksasa seperti Fermat, Laplace, Newton dan lain-lain. Dan dalam semua kebesaran dan jasa para ahli matematika itu, sekali-kali tidak dapat kita lupakan kebesaran dan jasa para ahli Islam yang melakukan pemilahan (abstraction) yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai simbol (lambang) benda sudah dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Aljabar naik setingkat lagi mengangkat huruf menjadi lambang. Huruf X umpamanya boleh mewakili angka 1,2,3 dan seterusnya. Tanpa Aljabar tidaklah mungkin kita sampai kepada teori trigonometri dan relativitas Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan atau sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Pelambungan benda ke angka dan pelambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Einstein dan Newton supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit dan mengukur segala kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari sampai ke gerakan atom dan sinar matahari yang laju 300.000 km dalam sedetik! Dikatakan oleh beberapa ahli bahwa klasifikasi yang dilakukan Ariestoteles dibekukan oleh pengetahuan di Abad Pertengahan. Ucapan semacam itu tidak boleh diterima begitu saja. Haruslah diperiksa bagaimana keadaan produksi dan masyarakat di Abad Pertengahan itu membekukan klasifikasinya Aristoteles. Tetapi yang nyata ialah klasifikasi yang banyak
  • 26. dipergunakan oleh Aristoteles dalam ilmu hayat (biologi) itu menjadi perkakas yang penting, disamping dialektika, bagi pelopor biologi modern, yakni Charles Darwin. Di masa Darwin bertualang dengan kapal Beagle-nya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan hewan, di daratan, lautan dan udara Darwin tak lepas dari cara klasifikasi, induksi, deduksi dan cara menetapkan sebab yang dibentuk oleh Aristoteles dalam logikanya. Memang permulaan abad ke19 adalah abad yang sanggup mengangkat kembali ilmu yang hidup yang sudah dipelopori oleh Aristoteles. Ilmu yang dirintis oleh raksasa pemikir Yunani itu sempat terhenti di zaman tengah dan di belakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan kebangkitannya kembali untuk maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ke tangannya Charles Darwin yang hidup dalam kandungan masyarakat kapitalisme modern. Demikian juga lebih dari 2000 tahun teori molekul dan atom serta tafsiran materialisme dan cara berpikir dialektis dari Heraklitos, Demokritos dan Epicurus harus beku terpendam menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta para ahli yang pantas seperti Marx, Engels, dan Lenin yang sanggup membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang telah lama beku terpendam itu buat dilanjutkan dan disempurnakan. Sekianlah di sini tentang ilmu pengetahuan empirik! 24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA. Serba sedikit juga di sini akan diuraikan tentang logika dan dialektika. Isi, bagian, sifat, sejarah, daerah serta batas logika, seperti juga isi, bagian, sifat, sejarah, daerah dan jenisnya dialektika, sudah kami uraikan juga dengan panjang lebiar dalam buku Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan dan daerah masing-masing dari kedua cara berpikir itu secara garis besarnya saja. Lagi akan kami singgung pula dua jenis dialektika, yakni dialektika idealistis dan dialektika materialistis. Dunia mengakui Aristoteles sebagai bapak logika. Dialah yang pertama kali membentuk logika, yakni cara berpikir sebagai suatu ilmu yang terpisah. Pembentukan itu sudah sampai begitu sempurna, sehingga bolehlah dikatakan bahwa dari zaman Aristoteles sampai ke zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika itu tidak banyak lagi mengalami perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam segala cabang ilmu pengetahuan maka logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun diabaikan zonder menderita kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri. Dialektika di tangan Heraklitos dan demokritos sudah sanggup menyelami dunia benda sampai ke molekul dan atom yang tidak kasat mata dan baru bisa dilihat dengan mikroskop di zaman modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan tentang semua benda dan gerakan benda maka dialektika sebagai hukum berpikir yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat dorongan yang belum pernah dialaminya di dunia lampau, di dunia statis, berhenti dan pasif tadi.
  • 27. Di tangan Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Jerman yang menentang feodal-autokratis, maka dialektika idealistis melambung setinggi-tingginya. Di tangan Marx dan Engels sebagai pemimpin aliran proletaris-komunis Eropa Barat yang menentang kapitalis demokratis, dialektika materialistis menjadi perkakas berpikir kaum revolusioner-proletaris bagi seluruh dunia. Di tangan kaum Bolsyewik Rusia cara berpikir dialektika materialis dapat membentuk satu partai Murba yang sanggup menghancur leburkan feodal borjuis Rusia dan mendirikan diktatornya kaum Murba Rusia. Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum berpikir, atau cara berpikir. Itu tafsiran yang sah. Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir itu? Sepintas lalu saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama sekali terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki oleh penyelidik. Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu dalam keadaan berhenti (static), terpisah (distinct), tak berubah-ubah (unchangable) dan kekal. Sesuatu itu harus diselidiki satu persatu, terpisah-pisah dan dianggap tak berhubungan dan berkenaan satu dengan lainnya sesuai waktu dan tempat. Pemakai dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan bergerak (movement), berhubungan (connection), berubah-berubah (change) dan bertentangan. Sesuatu itu harus diselidiki dalam gerakan, pertentangan, timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam suatu waktu pula. Bagi seorang pemakai logika dalam menghadapi suatu soal dalam keadaan itu, maka dalam jawabannya, “ya itu adalah ya dan tidak itu tidak. Ya itu tidak boleh tidak dan tidak itu tidak boleh ya”. Satu sama lainnya bertentangan, tak bisa liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg :”Pertanyaan yang pasti dalam arti yang pasti pula, yakni apakah suatu sifat tertentu dimiliki oleh suatu barang, harus dijawab dengan ya atau tidak. Tidak boleh dijawab dengan ya dan tidak”. Tiga premis pokok bagi logika adalah : Pertama A itu = A; kedua A itu bukannya Non A; dan ketiga tak ada jembatan antara A dan Non-A (tiga premis pokok ini disebut juga ‘prinsip identitas’). Berhubung dengan tiga premis pokok tersebut maka sesuatu (barang) itu masuk jenis A atau masuk jenis Non-A. Dan suatu kesimpulan yang satu dengan yang lainnya bertentangan, tak bisa benar kedua-duannya. Contoh : Apakah warna sapi itu hitum atau putih jika dipandang dari sebelah kiri ini? Memang jika hanya satu atau terbatas warna yang dimiliki oleh benda yang tak bergerak, pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan hitam atau putih saja. Umpamanya sebagian dari
  • 28. sapi itu dipandang dari kiri putih, bukannya hitam. Dan kalau dipandang dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya, yakni hitam bukannya putih. Jadi jawabannya boleh cocok A=A itu bukannya Non-A. Tetapi apakah jawabannya, kalau orang bertanya : Apakah warna sapi itu seluruhnya hitam atau putih? Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja atau dengan hitam saja. Tetapi disini dialektika bisa melangkah masuk dan ikut campur memberi jawaban sebagai berikut : Seluruh sapi itu ya putih ya hitam. Atau dengan perkataan lain : Sapi itu belang. Belum lagi sapi itu menjalani sepanjang umurnya, yakni sejak masa bayi sampai ia menjadi dewasa, ketika warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum lagi sapi itu digerakkan dengan kecepatan sinar, yaitu 300.000 km sedetik. Dalam hal ini, maka belum tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada masa perang dunia kedua penipuan warna (aberation, aberratie) itu, (ialah lantaran pertukaran warna berkenaan dengan sinar, gerakan dan antara), dipakai oleh armada Amerika buat menipu musuhnya? Demikianlah, maka sehubungan dengan sesuatu yang sulit (complex) tetapi masih dalam keadaan tak bergerak saja, logika sudah terpaksa meminta bantuan kepada dialektika. Apalagi dalam keadaan bergerak! Memang suatu pertanyaan seperti : “ Apakah bola yang bergulir cepat ini pada detik ini berada di titik ini atau tidak lagi? Ini tidak dapat lagi dijawab ya atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka jawaban itu salah, karena memangnya bola itu pernah berada pada titik yang dimaksudkan itu. Kalau dijawab ya, maka jawaban ini pun salah karena belum lagi si penjawab selesai mengucapkan ya, bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika tak berdaya apa-apa dalam hal ini, logika harus meminta pertolongan kepada dialektika untuk memberi jawaban ya dan tidak sekaligus.” Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu ilmu pengetahuan empirik sudah mengakui bahwa : 1. Semua Kodrat di alam raya ini (Force, Energy), yang terlaksana pada cahaya, panas dan sinar (light, heat dan ray) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetisme, listrik dan kodrat-kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian maka dengan timbulnya satu bentuk kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di alam raya berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tiada henti-hentinya. Kant-Laplace
  • 29. menjelaskan peralihan molten mess (benda cair) di alam raya pada permulaan dini sampai menjadi alam raya sekarang dengan bumi, bintang dan kometnya. 2. Adanya sel sebagai satuan dalam badan tumbuhan dan hewan! Karena pelipatgandaan (multiplication) dan perbedaan (variation), ketika turun temurun sel, maka terciptalah dunia tumbuhan dan hewan yang dikenal di masa sekarang ini. Oleh Charles Darwin dijelaskan bahwa semua tumbuhan, hewan dan manusia yang sekarang ada di atas bumi kita ini adalah hasil dari kemajuan ratusan-ribu tahun dari beberapa sel-tunggal dalam suasana struggle for existence (perjuangan hidup) suasana survival of the fittest (kejayaan yang kuat) dan adaptability (kemampuan menyesuaikan diri). Beberapa sel-tunggal ini muncul dari putih telur dan protoplasma menurut hukumnya ilmu kimia. Joule dan Mayer menunjukkan bahwa panas bisa beralih menjadi listrik. Memang selama masih berada dalam jenis panas dan listrik kita bisa menjawab semua pertanyaan menurut logika, statistik, dan ukuran. Dengan pasti bisa dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa satuan tenaga kudakah listrik. Juga bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini panas atau listrik, dengan ya atau tidak. Tetapi apabila panas bukan lagi panas, namun belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab dengan ya atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ya dan tidak sekaligus. Demikian pula dalam keadaan di mana satu kodrat sedang mengalami satu peralihan : seperti air sedang berubah menjadi uap, kodrat bergerak sedang beralih menjadi dinamo (listrik) dan sebagainya, atau satu zat sedang mengalami peralihan juga : atom beralih menjadi molekul, putih telur beralih menjadi benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh lainnya…., maka logika statika dan ukur-mengukur secara matematika itu tidak berdaya lagi. Dalam hal ini maka dialektikalah yang sanggup memberi jawaban. Apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terampil (air sudah menjadi uap, magnetisme sudah menjadi listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan sudah menjadi hewan) maka dalam hal itu dapatlah juga dipergunakan logika, statika, matematika, dan ilmu ukur-mengukur serta timbang-menimbang! Di belakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti berikut : Dalam soal yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi dalam berurusan dengan pelbagai barang yang mengandung pelbagai sifat yang bertentangan, maka kita harus mengakui coincidence of oposites (perjumpaan beberapa pertentangan). Jadinya dalam hal ini boleh dipergunakan ya dan tidak sekaligus! Dalam salah satu halaman buku karangannya yang berjudul logik, Hegel seorang raksasa filsafat Jerman berkata kurang lebih begini, “dialektik nennen wir solche geistlische Bewegung, bei denen das getrennt scheinenden durch ischselbst, d.h ducrh das, was sie sind in einander uebergehen, und so des getrent scheinenden aufheben”. (saya tepaksa mencatat di luar kepala pula!) Artinya kurang lebih :”Yang kita namakan dialektika ialah gerakan pikiran (rohani), ketika yang berbentuk saling terpisah itu, olehnya sendiri artinya terbawa oleh sifatnya sendiri saling
  • 30. berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya bersatu kembali).” Banyak persamaan antara Hegel dengan bekas muridnya Marx! Tetapi besar pula perbedaan di antara guru dan murid, setelah pikiran murid keluar dari kandungan pikiran gurunya. Persamaan pertama : Kedua jenis pemikiran itu sama-sama mempergunakan cara dialektik, yakni menyelidiki sesuatu dalam keadaan bergerak, bertentangan timbul, tumbuh dan tumbang. Persamaan kedua : Keduanya sama-sama menolak pemisahan kekal antara ya dan tidak itu. Dalam gerakan tesis, antitesis, dan sintesis, maka akhirnya ya itu bisa menjadi tidak dan sebaliknya. Dalam gerakan itu maka perubahan quantity (jumlah) lambat laun beralih menjadi perubahan quality (sifat). Dengan demikian tercapailah Negation der Negation (peniadaan ketiadaan). Syahdan menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang yang masing-masingnya bersamaan dengan barang ketiga, kedua barang itu bersamaan pula satu dengan lainnya. Tetapi dua barang yang masing-masing berbeda dengan barang ketiga belumlah tentu bersamaan satu dengan lainnya. Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, yakni Hegel dan Marx kedunya sama berbeda sikapnya soal logika. Mereka sama-sama tidak setuju dengan pemisahan kekal dan pertentangan kekal antara ya dan tidak itu. Mereka sama-sama juga menyelidiki sesuatu itu dalam suasana dialektika (gerakan pertentangan). Tetapi ada juga perbedaan besar antara kedua penganut dialektika itu. Adapun Hegel menyandarkan dialektika itu kepada tafsiran dan teori idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan dialektika itu atas teori dan tafsiran materialisme. Hegel adalah penganut dialektika idealistik. Marx dan teman pembentuknya Engels, adalah penganut dialektika materialistik. Dalam “Dialektika dan Logika” maka Plekanov mengikhtiarkan perbedaan dialektika materialstik dan dialektika idealistik sebagai berikut : Dalam sistem Hegel, maka dialektika sama diri dengan metafisika. Buat kami maka dialektika bersendi atas ilmu ke-alam-an (hukum alam). Dalam sistem Hegel, maka demiurge, creator atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau ide mutlak). Buat kami, ide mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction) dari gerakan. Dan oleh gerakan itu terjadilah semua perpaduan dari keadaan semua benda. Menurut Hegel, maka paham itu maju disebabkan oleh keinsyafan dan penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di dalam pikiran (concept). Menurut teori materialis kami, maka
  • 31. semua pertentangan yang ada dalam pikiran oleh dunia pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada itu adalah bayangan di otak manusia; adalah satu tafsiran pada dunia nyata (fenomena), sebagai akibat dari pertentangan yang terdapat pada dasarnya-bersama, yakni gerakan. Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata, itu ditetapkan oleh kemajuan pikiran (idea). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu dapat dijelaskan oleh kemajuan yang nyata, kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia). Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali yang di udara itu ke tanah dan kepada yang oleh Hegel ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung kegaiban yang dikenal oleh Hegel kepada dialektika itu. Dengan begitu, maka di tangan Marx dan Engels dialektika menjadi senjata revolusi semata-mata. Diselimuti oleh kudung gaib, maka dialektika menjadi senjata kaum reaksioner di Jerman. Buat Hegel maka dialektika adalah senjata revolusi terhadap kaum feodal tetapi berubah menjadi senjata reaksioner terhadap kaum proletar. Buat Marx dan Engels sebagai para pembela kaum proletar, maka dialektika yang bersandar pada materialismelah senjata yang tepat, tetap, dan sempurna terhadap kaum feodal dan kaum borjuis. Akan terlampau panjang kalau kita mengupas lebih dalam persamaan dan perbedaan, cara dan teori berpikir antara Hegel dan Marx dalam karangan yang dimaksudkan cuma sebagai satu tujuan singkat saja ini. Di lain tempat tinjauan yang lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. cuma sebagai penguji, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan itu, serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan materialisme mekanik dengan materialisme dialektik! Janganlah hendaknya kita menyangka bahwa Hegel terus melayang-layang di dunia pikiran saja dengan tak pernah menginjakkan kakinya ke tanah-bukti (reality). Sebaliknya pula jangan dikira bahwa Marx dan Engels tak pernah melepaskan kakinya dari tanah-bukti dan tak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, ide itu! Kedua jenis pemikiran tadi maju berpikir dengan berpegangan kepada kedua dunia pikiran dan bumi-bukti. Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikiran dan Marx-Engels berpangkalan kepada bumi-bukti. Dengan demikian, maka hasil yang diperoleh Marx dan Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang diperoleh Hegel. Demikian Hegel pernah mengucapkan, bahwa rohani (spirit) itu adalah dasar pendorong (motiveprinciple) sejarah. Tetapi disamping itu, diucapkan pula bahwa keadaan-ekonomi pada satu tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan (instrumentality) rohani. Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada kebendaan ada juga mengucapkan pada suatu tingkat, maka rohani itu bisa pula menjadi kodrat yang arahnya ditentukan oleh keadaan ekonomi. Dengan demikian, maka akhirnya jelas juga bagi kita persamaan dan perbedaan antara materialisme mekanik dan materialisme dialektik. Keduanya sama-sama bersandar kepada
  • 32. kebendaan. Tetapi bagi pengikut materialisme mekanik, maka manusia dengan pikiran, perasaan, dan kemauannya (ringkasnya manusia dengan jiwanya) seolah-olah tidak berdaya menghadapi alam raya dan hukumnya. Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, dalam wilayah yang dibatasi oleh keadaan masyarakat sendiri, manusia dengan jiwanya bukanlah benda yang pasif, nrimo, seperti mesin saja. Beberapa ayat dari tulisan Marx yang memperlihatkan perlantunan (interaction, wissel werking) antara manusia dan alam di sekitarnya berbunyi, kurang lerbih : “Bumi sekeliling (geographical environment) mempengaruhi manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi, pada salah satu daerah, atas salah satu kodrat-produksi (force of production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi sekelilingnya itu”. “Kodrat produksi (uap, listrik, atom dan lain-lain) mempertinggi kekuasaan manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini membentuk hubungan baru antara manusia dan alam-sekitarnya”. “Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya, mengubah sekitarnya itu dan dengan begitu mengubah diri (jiwanya) sendiri”. Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 tesis Marx mengucapkan : ”Die Filosopen hebben die Welt nu verschieden interpretiert. Es Kommt aber daraufan, die welt zu aendern” (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini, yang terpenting ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini). Dari beberapa catatan tersebut di atas nyatalah sudah salah benar mereka yang mengatakan bahwa kaum materialis itu cuma orang fatalis, penerima kodrat alam saja, dan cuma memikirkan makan-minum dan kepelesiran hidup semata-mata. Sebaliknya bukan juga hasil pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas! Melainkan dibatasi oleh keadaan lahir dan batin yang telah dicapai oleh suatu masyarakat itu sendiri (ilmu, teknik, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dan lain-lain). Terbatas oleh alam dan masyarakat yang ada di Indonesia ini, maka bagi saya, menafsirkan materialisme dialektik itu dipandang dari salah satu sudut ialah : 1. Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelum Proklamasi sudah membentuk sistem masyarakat produksidistribusi, sosial-politik yang ringkasnya boleh disebut sebagai masyarakat kapitalismejajahan Belanda (tesis). 2. Dalam kandungan imperialisme Belanda itu, di antara yang lain-lain, timbul dan tumbuhlah paham yang bertentangan dengan paham masyarakat-kapitalisme-jajahan tersebut yang pada hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru yang memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu di dalam suatu produksi berdasarkan tolong menolong dan distribusi berdasarkan “pada waktu yang memberikan keuntungan hati gajah sama dilapah, hati tungau sama dicacah dan di waktu bahaya terlentang sama
  • 33. minum air, terlungkup sama makan tanah,” berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-tesis). 3. Dengan proklamasi 17 Agustus, maka rakyat pemuda mulai bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini. KONSEP NEGARA 1. NEGARA (STATE). Sebagai hasil dari cara berpikir berdasarkan logika yang mengesampingkan pertentangan, maka ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe (Belanda), Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya mendefinisikan negara itu, kurang lebih sebagai berikut : “Negara adalah wilayah tertentu, didiami oleh rakyat (bangsa asli dan warga baru) tertentu di bawah kekuasaan (authority) yang syah dan tertentu pula”. Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah : Wilayah yang tertentu untuk menyusun suatu pemerintahan (for the sake of organizing a government). Sebagai hasil cara berpikir dialektika yang melaksanakan pertentangan atas paham (teori) idealisme, maka Hegel mendefinisikan negara itu, sebagai “Pernyataan paham kesusilaan (moral) ….atau gambaran dan kenyataannya akal, atau ……kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakekat dan keadilan yang abadi dilaksanakan”. Sebagai hasilnya cara berpikir dialektik, yakni logika-pertentangan yang diselenggarakan atas paham (teori) materialisme, maka Marx mendefinisikan itu dengan kalimat yang terkenal : “Negara itu adalah hasil dan pernyataan perjuangan kelas yang tidak bisa didamaikan” (The state is the product and the manifestation of the irreconcilability of class-antagonism”). Dalam buku karangan Engels judul Der Uspung der Familie, der Privateigentums und des State (1894) tertulis di antara lain-lainnya " ….(negara) adalah hasil masyarakat pada suatu tingkat kemajuannya, dia (negara) adalah suatu pengakuan bahwa masayrakat ini sudah terlibat dalam pertentangan dengan dirinya sendiri sehingga tak dapat diselesaikan lagi; sampai (negara) itu terbelah dua dalam pertentangan dendam dan kesumat yang tidak dapat disingkirkan lagi”. “Supaya pertentangan ini, (yaitu pertentangan) dua kelas yang berdasarkan pertentangan kepentingan ekonomi ini, jangan melenyapkan diri dan masyarakat sendiri oleh perjuangan siasia, maka perlu ada sesuatu kekuasaan yang rupanya seolah-olah berdiri di atas masyarakat untuk menjabarkan perjuangan dan membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentraman; dan kekuasaan ini yang timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat, yakni negara”.
  • 34. “Kekuasaan umum itu ada pada tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja terdiri dari orang bersenjata, tetapi juga disertai oleh badan seperi penjara dan berbagai rupa alat pemaksa, yang semuanya tidak dikenal dalam suatu masyarakat kekeluargaan.” Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi” (State and Revolution) berkata : "Dua badan yang teristimewa menjadi syarat mutlak mesin negara ialah birokrasi dan tentara”. “Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada badan masyarakat borjuis, lintah darat yang timbul dari pertentangan yang membela dua masyarakat itu, tetapi lambat laun yang menghisap semua lubang hidup masyarakat”. Sekianlah dahulu catatan saya tentang negara itu yang saya rasa perlu sebelum saya memulai uraian saya. Karena berlainan cara berpikir, berlainan bahan-berpikir dan berlainan pula semangat berpikir, maka ketiga jenis ahli pikir tersebut di atas mendapatkan hasil pikiran yang berbeda pula bentuk dan isinya. Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis tidak mengemukakan pertentangan kelas dengan kelas dalam masyarakat yang diliputi oleh negara itu. Hegel memang guru Marx dalam hal ilmu berpikir secara dialektik, yakni cara berpikir yang berdasarkan pertentangan. Tetapi ia mempergunakan dialektika itu atas pengertian-tafsiran dan teori idealisme. Marx, Engels, dan Lenin tidak saja berpikir secara dialektik, tetapi mereka memakai dialektika itu atas teori kebendaan, kenyataan (materialisme). Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah wilayah (territory), rakyat (people), dan kekuasaan (authority). Dalam definisi tersebut di atas Hegel tidak mengacuhkan daerah dan rakyat itu. Dia mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (Rede) atau paham (Idea). Pun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah ke dalam definisinya. Tetapi mereka mengutamakan perpecahan kelas di antara rakyat itu dan mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu kelas dalam rakyat itu untuk menindas kelas yang lain dengan alat kekuasaan negara itu. Tentang semangat menghampiri persoalan kenegaraan pun ketiga jenis ahli di atas tadi berlainan satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat menyebarkan dan membatasi perjuangan. Sebaliknya Marx, Engels, dan Lenin mempertajam dan memperluas perjuangan kelas dari lingkup nasional ke lingkup international. Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap sistem negara feodal tetapi bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletar! Meskipun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah dan rakyat ke dalam definisi negara itu, walaupun ketiga pemikir proletar ini lahir-batin adalah internationalis, tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak memperdulikan soal kebangsaan (nasional-question). Jauh dari pada itu! Semua persoalan yang berhubungan dengan kemegahan dan kebangsaan (nasional-question), seperti soal bentuk suatu negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan