SlideShare a Scribd company logo
Biografi Ringkas Mochtar Naim




              BIOGRAFI RINGKAS
               MOCHTAR NAIM
                                 *




S     AYA dilahirkan di sebuah kota kecil, Sungai Penuh, Kerinci,
      tahun 1932. Sungai Penuh dan daerah Kerinci waktu itu
      masuk bagian dari Keresidenan Sumatera Barat; tapi sekarang
masuk Provinsi Jambi.
      Bapak saya, Naim gelar Sutan Rumah Tinggi, waktu itu jadi
pedagang di pasar Sungai Penuh. Punya ruko dengan jualan macam-
macam keperluan sehari-hari. Ibu saya, Kamalat, seorang wanita
salehah berpenampilan lembut. Keduanya berasal dari Banuhampu,
Bukittinggi. Bapak dari Nagari Padang Lua, sedang Ibu dari Nagari
Taluak. Waktu itu banyak dari orang-orang sekampung yang juga
merantau ke ranah Kerinci itu.
      Nama Mochtar yang diberikan kepada saya ternyata ada
sejarahnya. Saya ini rupayanya dilahirkan songsang; kaki dahulu
yang keluar. Sebagai tanda penghargaan kepada dokter yang
menjawat, karena ibu saya dan saya bersabung dengan nyawa,
diberikanlah nama dokter yang menjawat itu, Mochtar, kepada saya.
Konon beliau berasal dari Jawa, termasuk salah seorang pejuang.
Meninggal karena disiksa oleh Jepang. Untuk mengingat jasanya,
namanya diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Umum Pusat di
Bukittinggi, RSUP Dr Ahmad Mochtar.
      Kami berenam bersaudara. Saya anak ketiga. Anak kelima dan
keenam, keduanya perempuan, meninggal waktu masih kecil. Waktu


                          Mochtar Naim 1
Biografi Ringkas Mochtar Naim


melahirkan adik perempuan yang terkecil, di kampung, ibu
meninggal. Ketika itu saya masih berumur 9 tahun, sebelum Jepang
masuk. Ayah meninggal ketika saya sudah kuliah di Yogya. Yang
masih hidup sekarang ada tiga: kakak perempuan tertua, Justina, 78
tahun, kakak perempuan nomor dua, Kartini, 76, dan saya, 74
tahun. Adik saya, laki-laki, Abuzar, meninggal tahun 1992 (umur 58
tahun), ketika merantau ke Johor, Malaysia. Dari bapak dan ibu
yang sama kami juga berkekembangan. Ada dua puluh tiga anak
dengan puluhan cucu.
      Umur lima tahun saya dibawa pulang oleh nenek ke kampung,
di Banuhampu, Bukittinggi. Bersekolah sempat lima tahun di zaman
Belanda, kemudian di zaman Jepang dan zaman Republik. SR, SMP,
SMA di Bukittinggi. Tamat SMA Negeri Birugo tahun 1951, dan
melanjutkan ke UGM, Yogyakarta, tahun 1951, Fakultas HESP
(Hukum, Ekonomi, Sosial, Politik). Setahun kemudian juga masuk
PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Nageri) yang baru dibuka
(cikal bakalnya IAIN ataupun UIN sekarang), dan juga Fakultas
Ekonomi, Universitas Islam Indonesia (UII). Semua ini
dimungkinkan karena waktu itu yang berlaku sistem perkuliahan
bebas. Belum pakai sistem SKS seperti sekarang. Tapi jangan coba-
coba menempuh ujian jika belum benar-benar siap dengan bahan-
bahan dari buku-buku yang dipakai. Banyak dari kami karena
terbiasa dengan buku dan bergantung kepada buku jadi kutu buku.
      Walau sempat menerima beasiswa selama lk setahun dari Dep
P&K di UGM (saya termasuk kelompok lulusan terbaik dari SMA
Negeri Birugo Bukittinggi tahun 1951 itu), saya akhirnya berhenti
dan hanya melanjutkan di kedua yang lain. Di PTAIN saya juga
mendapatkan beasiswa dari Dep Agama. Baik di PTAIN maupun di
Fakultas Ekonomi UII saya hanya sampai di tingkat doktoral,
karena saya mendapatkan beasiswa dari Institute of Islamic Studies,
McGill University, Montreal, Canada, untuk melanjutkan langsung

                           Mochtar Naim 2
Biografi Ringkas Mochtar Naim


untuk program Master, tahun 1957. Adalah Buya Hamka yang
memberikan rekomendasi kepada Profesor Wilfred Cantwel Smith,
Direktur Institute, yang waktu itu datang ke Yogya. Buya ketika itu
menjadi guru besar dalam bidang Tasawuf dan Sejarah Islam di
PTAIN yang saya juga ikut kuliah-kuliah dengan beliau.
      Ketika di tingkat doktoral di Fakultas Ekonomi UII saya
termasuk yang mendapatkan kuliah-kuliah dari Pak Hatta dan Pak
Sumitro Djojohadikusumo. Dengan Pak Hatta kuliah-kuliah
diadakan di aula istana negara yang juga diikuti oleh para mahasiswa
doktoral Fakultas Ekonomi UGM. Beliau datang sekali sebulan ke
Yogya jika tak ada halangan. Beliau banyak menjelaskan mengenai
teori-teori ekonomi klasik. Dengan Pak Mitro di ruang kuliah di
Mesjid Syuhada, Kota Baru. Pak Mitro memberi kuliah tentang
ekonomi makro dan ekonomi Indonesia.
      Dalam perjalanan menuju Montreal, Kanada, September 1957,
saya tak lupa mengambil peluang untuk mampir-mampir dalam
perjalanan. Pertama kali tinggal semalam di hotel mewah, Raffles
Hotel, di Singapura, atas biaya KLM, karena tidak ada penerbangan
yang langsung ke Baghdad. Saya sengaja mampir di Baghdad karena
yang jadi duta besar di sana waktu itu adalah Buya MD Dt Palimo
Kayo, sumando kami di Jambu Aia, Taluak, Banuhampu, dan yang
saya kenal baik. Hampir seminggu saya di sana sehingga oleh staf
kedutaan juga diantar jalan-jalan sampai lebih 100 km ke luar kota.
melihat peninggalan sejarah lama.
      Saya juga mampir di Kairo, beberapa hari, dan jadi tamu
dutabesar pula, ditempatkan di hotel kelas satu menghadap ke
Sungai Nil. Melihat piramid, Al Azhar, mesjid-mesjid terkenal,
musium, dan tentu saja, Sungai Nil. Anak-anak di sepanjang jalan
yang saya lalui suka meneriakkan saya: Shin, Shin, yang artinya:
Cina, Cina. Mereka kira saya orang Cina. Lucu juga melihat orang
membawa roti bakar selebar niru hanya dengan ujung baju

                           Mochtar Naim 3
Biografi Ringkas Mochtar Naim


gamisnya saja, dan meletakkan roti di atas meja tanpa alas sambil
memakannya dengan campuran sayuran, daging, dan lain-lain di
piring.
      Saya juga sempat mampir di Holland dan Inggeris sebelum
meneruskan penerbangan ke Montreal. Pertama kali bertemu
dengan salju saya sengaja membuka mulut saya lebar-lebar untuk
langsung menampung dan merasakannya. Pada musim dingin
pertama itu saya merasakan dinginnya suhu sampai 36 di bawah
zero Fahrenheit, dengan angin kencang, sehingga ingus yang keluar
jadi beku, dan bibir merengkah walau telah dioles dengan salap
olesan tertentu.
      Belajar di luar negeri untuk pertama kali tentu saja merupakan
pengalaman yang sukar untuk dituangkan dalam kata-kata. Walau
selama di Yogya saya sengaja mengambil kursus bahasa Inggeris,
dan membaca buku-buku yang dalam Bahasa Inggeris, tetapi ketika
pertama kali harus membuka mulut untuk berbicara, lucu juga
rasanya. Kadang, terasa ada terkatakan tidak. Tetapi waktu dan
pembiasaan rupanya adalah obat yang paling mujarab. Saya tak
pernah lupa dengan nasehat yang biasa diberikan kepada anak muda
yang jolong pergi merantau, waktu di kampung dulu. Kamu boleh
ongok (bodoh), tapi tak boleh lebih dari seminggu saja.
      Belajar tentang Islam di McGill juga membawa kesan
tersendiri. Beda dengan ketika saya belajar Islam di PTAIN yang
lebih bersifat normatif dan subyektif. sekarang melihatnya secara
obyektif apa adanya. Dan obyek yang sama tidak hanya dipelajari
secara tekstual tetapi juga kontekstual. Ibaratnya, rumah yang
tadinya biasa kita lihat dari dalam saja, sekarang kita juga lihat dari
luar, sambil juga memperbandingkannya dengan rumah yang lain-
lain.
      Bergaul dengan bermacam suku bangsa, dengan berbagai
macam latar belakang budaya, bahasa dan agama, serta warna kulit

                            Mochtar Naim 4
Biografi Ringkas Mochtar Naim


dan postur tubuh yang berbeda-beda, tentu juga merupakan
pengalaman yang sangat menarik, yang semua tentu tak akan
terceritakan di sini. Lama-lama kitapun terbiasa, dan kitapun
menjadi bagian dari mereka.
      Tahun 1960 saya mengakhiri studi saya di McGill dengan
mendapatkan MA dalam Islamic Studies, dengan thesis: “The
Nahdhatul Ulama Party (1952-1955): An Inquiry into the Origin of
Its Electoral Success.” Pembimbing saya waktu itu adalah Profesor
Rasyidi, yang sebelumnya jadi dutabesar RI di Kairo, kemudian
Pakistan, dan di awal kemerdekaan jadi Menteri Agama pertama.
Waktu itu juga mengajar di sana Prof Fazlul Rahman dan Prof
Ismail Faruqi, yang kedua-duanya menoreh sejarah dalam dunia
peradaban Islam.
      Dalam tesis itu saya mencoba menelusuri di mana letak rahasia
kesuksesan Partai NU keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1955,
dari hanya 8 kursi setelah keluar dari Masyumi tahun 1952 menjadi
55 kursi dalam Pemilu pertama tersebut. Peranan ulama di tengah-
tengah kelompok ummat, terutama di Jawa Timur, ternyata
memang sangat krusial dan menentukan. Saya melakukan riset
tentang itu di Yale dan Cornell University, Amerika Serikat. Di
Cornell saya menemukan bahan kepustakaan yang sangat kaya
tentang Indonesia. Tidak jarang saya sampai pagi, sampaipun
tertidur, di kantor pusat studi Indonesia Moderen di kampus
Cornell, yang letaknya di punggung bukit dengan pemandangan
indah ke danau Cayuga. Prof George McT Kahin yang menulis
buku tentang gerakan nasionalisme di Indonesia jadi orang nomor
satunya di sana waktu itu.
      Waktu di Yale saya menjadi asisten dari Prof Karl Pelzer,
seorang ahli geografi ekonomi, yang ahli tentang masalah plantation
di Sumatera Timur, dan Isidore Dyen, seorang profesor linguistik
untuk bahasa-bahasa Malayo-Polinesia di Asia Tenggara dan Pasifik.

                           Mochtar Naim 5
Biografi Ringkas Mochtar Naim


Ada setahun saya di Yale, di New Haven, dan tinggal bersama
keluarga Pelzer di North Haven.
      Saya juga mengajar Bahasa Indonesia di Cornell dan menjadi
ketua Summer Program mengajarkan Bahasa Indonesia kepada para
pengajar Amerika yang akan berangkat ke Indonesia di Oswego
College, State University of New York, di tepi danau Ontario. Saya
diangkat sebagai profesor tamu waktu itu. Pernah juga sebentar,
beberapa minggu, saya di Univ of Bridgeport, Conn., dengan Prof
Justus van der Kroef, ahli masalah-masalah politik Indonesia.
      Karena situasi yang tidak menguntungkan di tanah air sebagai
akibat pemberontakan PRRI, saya memutuskan untuk melanjutkan
studi di New York University, New York, sambil mengajar Bahasa
Indonesia di Dept of Anthropology and Sociology. Adalah
Professor Rufus Hendon, ahli antropologi Indonesia dan ahli
Bahasa Indonesia, yang datang mendekati saya ketika saya sedang
duduk-duduk melepaskan lelah di Washington Square di kampus
NYU. Beliau langsung bertanya dalam Bahasa Indonesia, apakah
saya orang Indonesia. Bermula dari pertanyaan sederhana itu beliau
lalu mengajak saya untuk turut mengajar di Program Indonesia di
NYU itu. Dengan mengajar saya mendapatkan kuliah-kuliah secara
gratis. Saya mengambil program PhD di bidang Sociology.
      Sementara itu tahun 1962 saya berumah tangga dengan
mendatangkan isteri dari tanah air, kawan sesama mahasiswa di UII,
dari Fakultas Hukum, yang kebetulan juga dari Minang, walau
berlainan daerah. Asma Hassan dari Batipuah, Padang Panjang,
sedang saya dari Banuhampu, Bukittinggi.
      Pertemuan kami pertama kali secara berhadap-hadapan punya
kisah tersendiri, yang bagi kami tentu saja tidak akan pernah
terlupakan. Yang mempertemukan kami adalah hujan lebat di suatu
senja di mesjid Syuhada di Yogyakarta, tak lama sebelum saya
berangkat ke Kanada tahun 1957. Kami terkurung dalam mesjid

                          Mochtar Naim 6
Biografi Ringkas Mochtar Naim


karena hujan lebat. Asma baru selesai kuliah yang tempatnya di
ruang kuliah di mesjid itu, sementara tinggalnya jauh di selatan
keraton. Saya sendiri tinggal di asrama YASMA, langsung di
selatannya mesjid.
      Waktu itu ada tiga orang kami yang terkurung dalam mesjid
selesai melaksanakan ibadah maghrib. Saya, Asma dan seorang
kawan saya seasrama, Aziz. Ketika memperkenalkan diri, Aziz
memperkenalkan diri terlebih dahulu. Perkenalkan, saya, Aziz,
Abdul Aziz Pattisahusiwa, dari Ambon. Dan sayapun memper-
kenalkan diri, saya, Mochtar, Mochtar Naim, juga dari Ambon.
      Saya telah berbohong, sambil ketawa dalam hati, dan sekaligus
menguji sampai sejauh mana gadis mahasiswi dari Minang ini tahu
dan sensitif dengan berbagai macam orang yang datang dari
berbagai daerah di Indonesia ini, dengan berbagai bentuk dan ciri-
ciri khas kedaerahan dan etnisitasnya. Ternyata ampernya tidak
bergoyang. Tidak ada reaksi atau komentar apapun. Sepertinya
membenarkan, atau pikirannya sedang ke tempat lain; atau mungkin
juga, karena waktu itu tak ada gadis yang langsung menatap wajah
seorang pria yang sedang berada di hadapannya.
      Demikianlah, karena hujan tak segera mereda, kami usulkanlah
agar dia pulang dengan becak saja, dan spedanya dititipkan di
asrama kami. Kami berjanji akan mengantarkan spedanya besok
pagi ke rumahnya di Jl Suryoputran di selatan kraton itu. Besoknya
kami berdua mengantarkan, disuguhi teh panas, pembicaraan
seperlunya, lalu kembali. Tak tahu dia, bahwa Mochtar yang
mengaku dari Ambon ini sebenarnya sudah lama mengenal dia.
Habis, sekian kali dalam seminggu si dia ini datang kuliah berspeda
ke mesjid Syuhada, persis berhadapan dengan asrama. Melalui
jendela asrama yang terbuka arah ke mesjid, apa-apa yang terjadi di
mesjid itu bisa terlihat walau dari balik kain jendela. Sebagai gadis



                           Mochtar Naim 7
Biografi Ringkas Mochtar Naim


Minang, Asma sejak dari sononya selalu berpakaian baju kurung
dengan selendang tipis penutup rambut walau sekenanya.
      Asma yang cantik, periang dan suka bergaul, memang
disenangi banyak orang; tak terkecuali dosennya sekalipun. Sayapun,
jauh sebelum hari hujan itu sudah jatuh hati juga padanya, walau
belum pernah bertemu bertatap-muka sebelumnya. Setelah tahu
bahwa saya akan berangkat ke Kanada meneruskan studi, sayapun
minta bantuan kepada kakak kelas Asma, Uni Aisyah Aminy, yang
namanya kemudian tercatat sebagai anggota parlemen terlama dan
tokoh pejuang wanita terkenal di Republik ini. Waktu itu belum
lazim kalau pemuda-pemudi yang saling menyenangi menyatakan isi
hatinya secara langsung-langsung, jangankan berpegang-pegangan
tangan ataupun berindehoi seperti sekarang ini. Dalam perpisahan
yang diadakan di asrama, Uni Aisyah berhasil membujuk Asma
untuk juga hadir dan mengantarkan saya dengan sekian banyak
kawan-kawan lainnya ke stasiun Tugu besok harinya.
      Bagaimanapun, sambil berjauhan, melalui bersurat-suratan,
cinta berbalas. Tidak kurang 5 tahun lamanya ikatan itu baru
dibuhul dengan perkawinan. Soalnya karena Asma masih harus
menyelesaikan kuliahnya, sementara saya juga masih jauh di rantau,
di negeri orang.
      Setamatnya di Fakultas Hukum UII, tahun 1962, Asma pun
berangkat ke New York. Walau dikawinkan di kampung oleh kedua
pihak keluarga, tanpa kehadiran seorangpun dari kami, kami ulangi
kembali ijab-kabul dan resepsi pernikahan kami di hadapan syeikh
dari Maroko dan Konsul Jenderal RI di Konsulat Jenderal RI di
Manhattan. Kamipun diharuskan melakukan catatan pernikahan di
Catatan Sivil di City Hall sebelumnya, dengan mengangkatkan dua
jari tangan kanan, dengan mengucapkan … “Yes, I do,” untuk
menjawab pertanyaan apakah kamu siap untuk menjadi suami-isteri.



                           Mochtar Naim 8
Biografi Ringkas Mochtar Naim


      Tahun 1965 anak pertama kami, Amelia, lahir, dan tahun
berikutnya, 13 bulan kemudian, anak kedua kami, Emil, lahir,
kedua-duanya di New York.
      Selama 8 tahun di New York di zaman Sukarno kami para
mahasiswa Indonesia juga terbelah antara yang pro dan yang kontra
rezim Orde Lama. Saya dengan WS Rendra, Muhammadi
(kemudian, Prof Dr Muhammadi, Rektor Univ Muhammadiyah
Jakarta, pernah sama-sama di PAH II BP MPR), Ahmad Padang
(Dr ilmu politik Columbia Univ memilih menetap di New York
sebagai sesepuh masyarakat Indonesia dan ketua pengurus mesjid
Indonesia di Queens, dan bekerja jadi staf senior di PBB), dan
sejumlah lainnya tergolong yang di seberang sana, dan kritis
terhadap apapun yang berbau rejimentasi dan indoktrinisasi.
      Sebelum program Bahasa Indonesia di NYU ditutup karena
memburuknya hubungan Indonesia-Amerika dengan “to hell with
American aids” dari Sukarno, saya sudah sempat menyelesaikan
semua persyaratan perkuliahan saya untuk PhD di bidang Sosiologi
tapi belum lagi menyiapkan disertasi.
      Saya sempat bekerja dengan Perutusan Tetap Indonesia ke
PBB sebagai tenaga staf lokal di bidang Sosial-Politik di New York
sebelum memutuskan pulang ke Indonesia tahun 1968. Saya
memilih langsung pulang ke Padang, dengan mampir di beberapa
kota di Eropah dan sekaligus naik haji sekeluarga. Kami ikut
rombongan haji dari kedutaan, yang berangkat sama-sama dari
Kairo, Mesir, dan dari antaranya adalah Pak Mohammad Rum dan
Ibu. Waktu kami di New York beliau juga sudah sempat ke rumah
kami di Lefrak City, Queens.
      Di Padang kami mendirikan Pusat Studi Minangkabau (Center
for Minangkabau Studies). Selama tiga tahun berturut-turut (1968-
1970) saya menggiatkan penelitian-penelitian di bidang masyarakat
dan kebudayaan Minangkabau, mengadakan seminar-seminar

                          Mochtar Naim 9
Biografi Ringkas Mochtar Naim


berskala nasional dan internasional mengenai Minangkabau.
Keunikan Minangkabau di dunia akademik adalah karena sistem
kekerabatannya yang matrilineal, di mana “women reign but not rule.”
Juga sistem sosialnya yang egaliter dan demokratis, dengan orientasi
filosofinya yang cenderung sintetik dan universal, bukan sinkretik
dan mistik-panteistik seperti di Jawa.
      Saya juga menyempatkan diri untuk menjadi tenaga pengajar
luar-biasa di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Pertanian Universitas
Andalas tanpa pernah berkeinginan untuk menjadi pegawai negeri.
Saya juga pernah jadi dosen luar biasa di Fakultas Hukum
Muhammadiyah di Bukittinggi, ASKI (Akademi Seni Karawitan
Indonesia) di Padang Panjang, dan program Pasca Sarjana di IKIP
Padang -- sekarang UNP: Universitas Negeri Padang.
      Awal tahun 1971, dengan dorongan dari Dr Peter Weldon
yang sudah saya kenal sebelumnya di New York, saya mendapatkan
fellowship dari Ford Foundation yang berbasis di Bangkok untuk
melakukan penelitian tentang merantau yang saya siapkan sebagai
disertasi saya di University of Singapore, dengan judul: “Merantau:
Minangkabau Voluntary Migration.” Saya lahir di rantau, merantau
ke mana-mana, sambil buminya dipijak, langitnya dijunjung, airnya
disauk, rantingnya dipatah. Saya menulis tentang merantau itu,
sekarang secara akademik dari segi pandangan sosiologi migrasi.
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia: “Merantau: Pola
Migrasi Suku Minangkabau” (373 hlm) diterbitkan oleh Gadjah
Mada University Press, tahun 1979, dengan cetak ulang tahun 1984,
dan dipakai secara luas di banyak universitas di Indonesia sebagai
buku rujukan di bidang sosiologi, dan khususnya sosiologi migrasi.
      Untuk melakukan riset tentang merantau, saya beroleh
kesempatan mengunjungi banyak daerah dan banyak kota di
Indonesia di mana perantau Minang banyak didapatkan. Saya
bahkan mendapat kesempatan untuk melakukan riset merantau

                           Mochtar Naim 10
Biografi Ringkas Mochtar Naim


sampai ke Mindanau dan Sulu di Filipina, di mana, dari catatan
sejarah mereka (Tarsila), mereka mengaku bahwa raja mereka (Raja
Baginda) berasal dari Minangkabau. Pendiri kota Manila, Raja
Suleman, menurut Tarsila mereka, juga berasal dari tanah Minang,
melalui jalur Brunei, Serawak, dan Johor. Sebuah paper mengenai
merantau telah saya lontarkan sebelumnya di hadapan International
Congress of Orientalists yang ke 28 di Canberra, Australia (6-12 Jan
1971), sebelum saya hijrah ke Singapura.
      Selama sembilan bulan pertama di Singapura (Maret-Des
1971), saya mendapatkan residence research fellowship dari
Institute of Southeast Asian Studies, di mana saya memproses hasil
penelitian saya mengenai merantau dengan memanfaatkan data
processing system IBM dari Univ of Singapore, yang waktu itu
masih pakai sistem kartu. Untuk menuliskannya menjadi disertasi
dan terdaftar sebagai kandidat doktor di Dept of Sociology, Univ of
Singapore, saya sekali lagi dapat post graduate fellowship dari Ford
Foundation atas rekomendasi dari Prof Dr Hans-Dieter Evers,
ketua Dept of Sociology. Saya tercatat sebagai mahasiswa lulusan
pertama program doktor di bidang Sosiologi di universitas tersebut,
tahun 1974. Saya dibimbing oleh tiga advisor, Prof Hans-Dieter
Evers, Dr Geoffrey Benjamin, dan Dr Peter Weldon. Yang menguji
saya termasuk Prof Husein Alatas, Ketua Dept of Malay Studies,
juga seorang sosiolog lulusan universitas di Belanda, keturunan
Arab dari Jawa Barat, yang adalah juga kawan saya ketika masih di
Islam Study Club (ISC) di Yogya dahulu. Profesor Alatas kemudian
pindah ke Univ Malaya di KL dan ikut aktif berpolitik dan menulis
dengan penanya yang tajam dan digemari. Penguji lainnya termasuk
Prof Sandu Singh, Direktur dari Institute of Southeast Asian
Studies, dan Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Univ of Singapore.
      Sementara itu (1973-1974) sayapun diangkat menjadi Research
Director dari Regional Institute of Higher Education and

                           Mochtar Naim 11
Biografi Ringkas Mochtar Naim


Development (RIHED), Singapura. RIHED adalah lembaga
penelitian mengenai perguruan tinggi yang disponsori oleh negara-
negara Asean. Selama di RIHED saya banyak melakukan
kunjungan-kunjungan studi dan seminar ke Malaysia, Thailand dan
Indonesia.
     Sewaktu masih di Padang, dan sibuk-sibuknya menggerakkan
seminar-seminar dan penelitian tentang Minangkabau, anak kami
ketiga, Elvira, lahir (1970), dan ketika kami di Singapura, anak kami
keempat, Meuthia, bungsu, lahir (1972). Amelia dan Emil sempat
masuk sekolah Indonesia di Singapura.
     Kembali ke tanah air, tahun 1974, menjadi tenaga ahli yang
diperbantukan pada Departemen PUTL (Pekerjaan Umum dan
Tenaga Listrik); mula-mula sebagai tenaga peneliti pada Proyek
Perencanaan Pembangunan Pasaman Barat, di Bukittinggi, bekerja-
sama dengan GTZ dari Jerman Barat. Lalu jadi Kepala Pusat
Dokumentasi Perencanaan Kota dan Daerah (PUSIDO) di
Bukittinggi, dan kemudian dipindahkan ke Medan, tahun 1978,
sebagai Kepala Northern Sumatra Regional Planning. Ketika di
Medan, sempat selama satu setengah bulan melakukan study tour ke
beberapa negara bagian Amerika Serikat di bagian Selatan dengan
tim dari Bappenas dan Dep PUTL. Sementara sebelumnya, ketika
masih bertugas di Bukittinggi, mengikuti UN Seminar on Social
Welfare Policies in Asian and Pacific Countries, di Manila, dari 29
Nov sampai 17 Des 1976.
     Tahun 1979-1980 jadi Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-
Ilmu Sosial (PLPIIS) di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang,
Makasar sekarang. Tahun 1980 kembali ke Padang untuk
mempersiapkan Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas
Andalas. Ketika Fakultas Sastra diresmikan, tahun 1982, saya
diminta jadi dosen tetap mengajarkan Sosiologi dan mata-mata
kuliah terkait. Selama ini saya hanya jadi dosen luar biasa dan tidak

                           Mochtar Naim 12
Biografi Ringkas Mochtar Naim


pernah meminta jadi pegawai negeri. Di Padang, bahkan di seluruh
Sumatera waktu itu, belum ada sosiolog dengan gelar doktor, untuk
bisa mengajarkan sosiologi dan ilmu-ilmu terkait. Saya diangkat jadi
pegawai negeri sebagai dosen tetap atas desakan Rektor Mawardi
Yunus dengan dispensasi dari Presiden, karena saya telah berumur
50 tahun waktu itu.
      Tahun 1988 saya pensiun tanpa hak pensiun, karena saya
hanya sempat jadi pegawai negeri selama enam tahun, dan tidak
pernah meminta kenaikan pangkat. Buah pisang itu rupanya masak
di batang sendirinya. Saya masuk dengan pangkat IIIB dan keluar
juga IIIB. Prestasi apapun secara akademik yang sudah saya lakukan
sebelum diangkat jadi pegawai negeri secara mancanegara rupanya
luput dari pertimbangan. Saya hanya dihitung sebagai fresh dari S3.
Ketika saya kemudian diminta oleh Rektor Yurnalis Kamil
menyerahkan karya-karya tulis saya untuk dinilai, ternyata nilai
kumulatif cumnya melebihi dua kali dari yang diperlukan untuk gelar
profesor. Tapi Senat universitas pada waktu itu menolaknya karena
saya termasuk dari jumlah yang sedikit di Sumatera Barat dan di
Unand khususnya yang kritis dan vokal terhadap Orde Baru. Prof
Mawardi Yunus yang adalah juga seorang penghulu (datuk) dan ahli
adat, pernah mengatakan kepada saya: di Minang ada pepatah,
rumah sudah, tukangnya dibunuh.
      Namun gelar profesor, di samping gelar Dr, sering dialamat-
kan orang kepada saya, walau pangkat saya resminya cuma IIIB
ketika jadi dosen tetap di Unand. Di luar negeri, bagaimanapun, ke
manapun dan di manapun saya mengajar atau berseminar saya
diperlakukan dan dikualifikasikan sebagai profesor. Sekarangpun,
walaupun secara terbuka saya mengatakan bukanlah profesor, tetapi
orang dan kawan-kawan, di MPR-RI sebelumnya dan di DPD-RI
sekarang, suka saja memanggilkan saya profesor. Karena tidak
terlihat ada nada melecehkan, akhirnya saya biarkan saja. Bosan saya

                           Mochtar Naim 13
Biografi Ringkas Mochtar Naim


tiap kali harus menyangkal hal yang sama. Tapi yang saya, jangankan
memanggilkan diri professor, gelar doktorpun tak pernah saya
pakai, kecuali kalau terpaksa harus mengisinya dalam formulir yang
menanyakan itu.
      Selama jadi dosen di Unand (1980-1988) saya banyak beroleh
kesempatan melakukan kunjungan-kunjungan studi, menghadiri
seminar-seminar, di samping juga memberikan kuliah di beberapa
universitas di dalam dan luar negeri. Ketika masih dalam memper-
siapkan Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Sosial di Unand, saya
melakukan kunjungan ke berbagai universitas di Belanda, Jerman
dan Inggeris. Tujuan utama waktu itu adalah untuk menjalin
kerjasama exchange programs ketika Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu
Sosial nanti berdiri. Fakultas yang baru sekalipun akan cepat dikenal
jika kita terlebih dahulu memperkenalkan diri dan mengajak mereka
kerjasama dalam kegiatan perkuliahan dan penelitian bersama.
Ketika saya masih aktif di Unand, banyak tenaga-tenaga pengajar
luar negeri yang mengajar dan menjadi peneliti tamu di fakultas
kami. Saya menghadiri Simposium on the Socio-political and
Economic Structures in Minangkabau, dalam kaitannya dengan
Inter-Congress of the International Union of Anthropological and
Ethnological Sciences, di Amsterdam, bulan April 1981, dengan
juga menyampaikan makalah: “Implications of Merantau for Social
Organization in Minangkabau” (dimuat di Lynn L Thomas & F
von Benda-Beckmann, eds, Change and Continuity in Minangkabau:
Local, Regional and Historical Perspectives on West Sumatra, Ohio U
Monographs in International Studies, Southeast Asia Series No 71,
Center for Southeast Asian Studies, Athens, Ohio, 1985).
      Saya menjadi visiting scholar di Universitas Leiden dan
memberi seminar pada Universitas Bieleveld di Jerman pada tahun
yang sama. Ketika itu yang menjadi Dekan dari Fakultas
Sosiologinya adalah Profesor Hans-Dieter Evers, promotor dan

                           Mochtar Naim 14
Biografi Ringkas Mochtar Naim


advisor saya ketika menyiapkan disertasi di Universitas Singapura.
Beliau waktu itu adalah Ketua Jurusan Sosiologi di Universitas
Singapura. Saya telah mengenal beliau ketika saya pernah menjadi
asisten dan melakukan penelitian di Universitas Yale, sementara
beliau sudah profesor juga waktu itu di Yale. Beliau pernah tinggal
di Padang melakukan penelitian di bidang sosiologi pembangunan
ketika saya sudah di Padang.
      Selama Okt-Nov 1983 saya termasuk dari tiga scholar dari
Asia (dua lainnya dari RRC dan Nepal) yang diundang oleh
Canadian Center for Southeast Asian Studies, Univ of Toronto,
Canada, untuk menghadiri 13th Annual Conference, CCSEAS, Univ
of Toronto, dan melakukan roving seminar (seminar keliling) ke 11
universitas di Kanada, dari Univ of New Foundland di pantai
Timur Atlantik sampai ke Univ of British Columbia di pantai Barat
Pasifik, dengan topik bahasan: “Asian Perceptions on the Canadian
Development Aid in the Third World Countries.” Pada kesempatan
yang sama saya juga mampir di alma mater saya, McGill University,
Montreal, menyampaikan makalah tentang “Labor Migration in
Indonesia.” Saya sempat mengunjungi dan berjumpa dengan
sejumlah profesor dan berbincang-bincang dengan kawan-kawan
kolega Indonesia yang mengambil Islamic Studies di pusat kajian
Islam di McGill itu.
      Selama musim dingin tahun 1984 saya menjadi Visiting
Scholar di University of Kent di Canterbury, England, mempelajari
dari dekat bagaimana sebuah fakultas ilmu-ilmu sosial dikelolakan
dengan sekian banyak jurusan, program studi dan segala seluk-
beluknya. Saya juga memberikan seminar mengenai “Minangkabau
Migratory Patterns” yang saya angkatkan dari disertasi saya. Hal
yang sama saya lakukan juga sebagai British Council visiting
research scholar di SOAS London School of Economics, University
of London.

                           Mochtar Naim 15
Biografi Ringkas Mochtar Naim


      Pada musim panas tahun 1986 saya diundang jadi Visiting
Professor di Universitas Frankfurt dalam sebuah program musim
panas mengenai Indonesian studies; di mana saya memberikan
kuliah-kuliah tentang Peoples and Cultures of Sumatra.
      Pada musim gugur tahun 1986 yang sama, selama hampir
setahun (1986-1987) saya menjadi Visiting Research Scholar di
University of Kyoto Center for Southeast Asian Studies, Jepang.
Pada waktu yang bersamaan pada waktu itu juga ada Dr Melly Tan
dari LIPI. Saya disponsori oleh Tsuyoshi Kato, professor peneliti di
lembaga yang sama, yang ahli tentang antropologi Minangkabau dan
menulis disertasi di Cornell juga mengenai merantau: “Minangkabau
Matriliny and Migration.”
      Saya di sana melakukan penelitian tentang konflik dan
raprosemen budaya Minang dan Jawa: “Conflict and Integration:
The Minangkabau and the Javanese in the Dialectics of Nusantara
Culture.” Sejak awal 1980-an secara akademik saya telah melansir
sebuah konsep dialektika budaya yang waktu itu cukup populer dan
sekaligus polemikal dan kontroversial, yaitu perbandingan pola
budaya J dan M. Budaya J (Jawa) berada di satu kutub sementara
budaya M (Minang) di kutub yang lain dari spektrum budaya
Nusantara yang memang sangat beragam. Budaya J melambangkan
budaya vertikal, hirarkik, sentripetal, sentralistik, feodalistik,
sinkretik, sementara budaya M melambangkan budaya horizontal,
egaliter, sentrifugal, desentralistik, demokratik, sintetik. Pergumulan
Indonesia sekaligus dilambangkan oleh pergumulan antara kedua
kutub budaya yang saling tarik-menarik dalam dialektika budaya
Nusantara itu.
      Saya pertama kali menyampaikannya tahun 1980 pada sebuah
seminar internasional mengenai kebudayaan Minangkabau di
Bukittinggi yang memang dihadiri oleh banyak peserta dari
mancanegara. Mungkin waktu itu “the right topic in the wrong time,”

                            Mochtar Naim 16
Biografi Ringkas Mochtar Naim


karena di masa Orde Baru yang ditekankan adalah keserasian dan
keseragaman, bukan konflik dan keragaman. Dunia akademik yang
mestinya harus lugas dan apa adanya, dan melihat konflik sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, ternyata juga harus
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Apalagi yang
namanya akademisi itu rata-rata adalah juga pegawai negeri, dan
wajib jadi anggota dari partai pemerintah: Golkar – sementara saya
menolaknya. Bagaimanapun, saya harus menanggungkan akibatnya.
Rektor Mawardi Yunus sampai garuk-garuk kepala, kok itu yang
Bapak angkatkan!, katanya.
      Selama di Kyoto saya bersama isteri dan dua anak: Elvira dan
Meuthia, yang kedua-duanya masuk sekolah Jepang, Chu Gakko.
Meuthia di tingkat SMPnya dan Elvira di tingkat SMA. Mereka
nyaris dicemplungkan dalam situasi belajar yang asing sama sekali
tanpa mengenal satu patah katapun bahasa Jepang sebelumnya.
Untungnya mereka pandai berbahasa Inggeris, sehingga komunikasi
dengan guru-guru sedikit banyak tertolong. Setelah melewati masa
krisis dalam penyesuaian diri, akhirnya ketagihan. Dan mulai pandai
berbahasa Jepang. Bahkan minta ditinggal saja setelah dekat waktu
kami harus pulang.
      Keempat-empat anak kami setelah menyelesaikan SMA
mereka di SMA 2 Padang, semua satu per satu masuk ITB, dan
sarjana ITB dalam berbagai disiplin ilmu. Tiga dari antaranya
meneruskan ke S2 di luar negeri. Amelia ke Colorado U, dari
Teknik Industri di ITB mengambil Business Administration,
dengan suami, Indra Januar, ambil S3 di bidang electrical
engineering dengan kekhususan dalam fiber optics. Elvira dari
Planologi di ITB ke Public Policy di NUS, universitas yang sama
dengan saya, bapaknya. Elvira mendapat jodoh seorang sarjana S1
jurusan Metalurgi dari FT UI dan bekerja di Garuda. Meuthia dari
S1 Kimia Murni di ITB ke Leeds U di Inggeris, bersama suami,

                           Mochtar Naim 17
Biografi Ringkas Mochtar Naim


Suyudi, dua-dua mengambil Environmental Economics untuk MSc,
dan dua-dua bekerja di KLH. Emil, dari Elektro di ITB, berkerja
dengan perusahaan minyak Amerika di Balik Papan. Suka dikirim ke
luar negeri oleh perusahaan, dan tiap sebentar mondar-mandir BP-
Jkt urusan dinas perusahaan. Emil mendapatkan jodoh dengan
sarjana Bahasa Jepang, yang bapaknya dulu juga sekuliah dengan
Asma di Fakultas Hukum UII. .
      Jarak beberapa minggu saja, pada tahun 1988, saya diundang
lagi sebagai research associate di Institute of Developing
Economies, Tokyo, untuk enam bulan, sekarang penelitian
mengenai pola manajemen rumah makan Padang: “Minangkabau
Restaurant Management Patterns: A Search for an Indigenous
Prototype of Indonesian Production Sharing Enterprise.” Penelitian
ini adalah melanjutkan penelitian yang sama yang saya lakukan
bersama beberapa kawan wartawan muda di Padang dengan survei
lapangan yang kami lakukan di kota Padang dan Jakarta. Hasil
penelitian bersama ini diterbitkan oleh Yayasan Obor (Mochtar
Lubis) dengan judul: Jurus Manajemen Prototipe Ekonomi Pancasila
(1988).
      Di Tokyo saya melakukan survei perbandingan dengan
sejumlah restoran Jepang dengan fokus pada sistem manajemen dan
hubungan majikan dengan para karyawan serta sistem penggajian
dan bonus-bonusnya. Menarik, memang, memperbandingkan dua
sistem manajemen yang jelas berbeda, tapi punya kesamaan dalam
semangat kerjasamanya yang dilandaskan kepada kebersamaan yang
bersifat sentrifugal, other-oriented, dan bukan sentripetal, ego-oriented.
Pada sistem Jepang, kepala ataupun pemilik berperan sebagai
“bapak,” tetapi bapak yang memperhatikan kepentingan dan kese-
jahteraan anak-anak, artinya, anak buahnya. Sifat paternalismenya
memang kental sekali, tetapi paternalisme yang berorientasi
sentrifugal, bukan sentripetal.

                             Mochtar Naim 18
Biografi Ringkas Mochtar Naim


      Di Minang, yang ditekankan adalah kerjasama yang bersifat
egaliter dan saling menguntungkan, dengan prinsip profit sharing,
syirkah, atau bagi keuntungan, dengan sistem mato (points). Merit
seseorang ditentukan kepada fungsi, lama bekerja, kecekatan,
kesediaan bekerja sama dengan saling kontrol, dsb. Makin tinggi
fungsi, lama berkerja, kecekatan, kesediaan bekerjasama, dsb, itu
makin tinggi jumlah mato yang didapatkan. Karenanya sifatnya
dinamis. Namun rentang antara yang paling tinggi dengan yang
paling rendah tidak terlalu besar. Pemilik modal mendapatkan
bagian keuntungan bervariasi dari 25-30 % di kampung dengan 50
% di rantau. Tukang masak biasanya mendapatkan mato tertinggi,
sesudah itu baru kepala hidang, kasir, juru hidang lainnya, dan
tukang cuci piring pun ikut ke dalamnya. Oleh karena itu sistem gaji
atau upah tidak dikenal. Masa berhitungnya biasanya sekali seratus
hari.
      Selagi masih aktif mengajar di Unand di tahun 1980-an itu,
saya banyak mengarahkan para mahasiswa untuk melakukan peneli-
tian-penelitian. Mana-mana penelitian yang didapatkan melalui
proyek-proyek dengan Departemen-departemen, dsb, selalu dengan
melibatkan tenaga-tenaga mahasiswa, dan di lapangan bersama
mereka saya melakukan bimbingan dan melakukan alih
pengetahuan dan pengalaman kepada mereka. Pengalaman yang
saya dapatkan selama belajar di luar negeri saya berikan pula kepada
mereka. Biasanya honor yang didapatkan selalu dibagi dua, separoh
untuk saya, dan separoh untuk mereka bersama-sama. Cara-cara
seperti ini ternyata berkesan dalam, bagi mereka dan bagi saya juga
sebagai pendidik dan pembimbing. Saya tidak pernah melakukan
hubungan yang kaku dan formal dengan mereka, tetapi
memperlakukan mereka sebagai sahabat dan partner, di dalam
maupun di luar kelas, seperti yang dahulu saya dapatkan ketika saya
belajar di Kanada dan Amerika.

                           Mochtar Naim 19
Biografi Ringkas Mochtar Naim


      Buah ini sempat juga saya petik nikmatnya, ketika saya
mencalonkan diri sebagai anggota DPD-RI tahun 2004 yl, di mana
tanpa harus melakukan kampanye sekalipun, merekalah ternyata
yang merayap ke mana-mana menyebarkan nama saya. Saya sendiri
waktu itu bahkan ada di Univ of Michigan, di Ann Arbor, AS,
selama lima bulan, ketika orang sedang sibuk-sibuknya memper-
siapkan pemilu. Saya baru kembali ke Padang ketika orang sudah
mulai berkampanye. Saya tak sekalipun ikut berkampanye seperti
orang-orang itu kecuali memberikan ceramah di kampus-kampus
dan di mesjid-mesjid. Yang saya ceritakan justeru adalah mengenai
pesatnya perkembangan Islam di Amerika seperti yang saya lihat.
Menceritakan perkembangan Islam di Amerika, sampai di mesjid
dekat kampus University of Michigan, di Ann Arbor, orang shalat
Jumat sampai bergantian dua kali, karena mesjidnya yang cukup
besar tapi tidak muat untuk sekali berjumat. Bagi audiens ternyata
itu lebih menarik daripada mendengarkan janji-janji kosong yang
belum tentu akan dipenuhi. Saya hanya di ujung ceramah menitip-
kan pesan dengan kata-kata sederhana saja: “Jangan lupa nomor
20.” Kebetulan nomor saya nomor 20, sama dengan nomor Golkar.
      Tidak tahu saya siapa yang menolong siapa dengan kesamaan
angka itu. Di Sumbar Golkar ternyata unggul juga. Mungkin karena
Sumbar merasakan nikmat berada di bawah rezim Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru cenderung memberi hati kepada Sumbar
karena pengalaman pahit selama masa PRRI. Untung juga, tuba
dibalas dengan madu, untuk pembangunan yang bersifat fisik, tetapi
yang bersifat kultural, tidak. Pola M yang mestinya tampil meng-
gantikan pola J ketika bandul pendulum beralih ke pola M yang
demokratik dan egaliter tidak terjadi di awal pergantian rezim, dari
Orde Baru ke era Reformasi. Bukti bahwa pola J dan M harus
diterjemahkan dalam konteks dan konstelasi budaya N (Nusantara)
yang didominasi oleh budaya J.

                           Mochtar Naim 20
Biografi Ringkas Mochtar Naim


      Pengalaman belajar dan mengajar di luar negeri, jika
diterapkan di tanah air sendiri, memang banyak faedahnya dan
memberikan suasana tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya.
Selama mengajar di Unand, baik ketika masih sebagai pengajar luar
biasa di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Pertanian, maupun setelah
menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial (yang
kemudian dipisah), saya hanya menerapkan prinsip: firm but gentle.
      Dalam hal disiplin waktu, saya adalah Pak Hattanya Unand.
Biasanya lima menit setelah kuliah dimulai, dan saya sudah ada di
depan kelas teng pada waktunya, pintu ditutup. Tak seorangpun
yang bisa masuk lagi, apapun alasannya. Akibatnya, tak satupun
yang terlambat, dan mau terlambat. Yang memang terlambat,
risikonya, tak bisa masuk. Jadinya, saya lihat, bukan saja yang resmi
mendaftar, yang tak resmi mendaftar pun banyak yang ikut di kuliah
saya.
      Walaupun masih di tahun pertama, saya melaksanakan sistem
kuliah aktif. Setelah di hari-hari pertama dijelaskan topik dan ruang
lingkup dari perkuliahan, dan dituangkan dalam bentuk silabus,
pekerjaan lalu dibagi-bagi dan kelas dikelompokkan ke dalam
kelompok-kelompok diskusi, sesuai dengan bab-bab dari buku teks
pegangan dan silabus yang dipakai.
      Setelah saya memberikan kuliah yang sifatnya memberikan
garis besar dari permasalahan yang dibicarakan, masing-masing
kelompok tampil menyampaikan resume dari buku-buku yang
dibaca, lalu diskusipun terjadi. Saya sendiri tidak pernah duduk
terpaku di belakang meja. Atau membikin sketsa-sketsa, matriks-
matriks, atau catatan istilah-istilah yang dipakai, di papan tulis, atau
mundar-mandir di ruang kelas, sambil melayangkan tunjuk ke
mahasiswa untuk menanyakan apapun dari masalah yang sedang
dibahas. Arah tunjuk yang tidak pernah diprediksi ke mana perginya
menyebabkan mereka juga selalu alert. Dengan diselang-selingi oleh

                            Mochtar Naim 21
Biografi Ringkas Mochtar Naim


contoh-contoh kasus yang terkait dengan permasalahan, suasana
perkuliahan biasanya ramai dan bergairah. Melalui itu pemantauan
bakat dilakukan. Segera bisa diketahui mana mahasiswa yang
menonjol, mana yang tidak. Mana yang memang pintar, mana yang
medioker. Tetapi tidak ada yang merasa teralienasi. Mana yang
menonjol dan memperlihatkan kebolehannya langsung diangkat
sebagai asisten dan pemimpin kelompok diskusi – walau baru di
tahun pertama.
      Hubungan yang hampir tidak mengenal jarak ini bagi para
mahasiswa sendiri ternyata menggairahkan dalam belajar dan
berekspresi. Lama setelah mereka selesai, yang sekarangpun sudah
ada yang jadi doktor dan profesor, hubungan ini tetap akrab, walau
fisik berjauhan.
      Setelah saya berhenti di Unand kesibukan saya ternyata tidak
berkurang, malah bertambah-tambah. Kecuali sibuk dengan berba-
gai penelitian pesanan dari berbagai Departemen dan lembaga-
lembaga, saya juga banyak diminta untuk memberikan makalah
pada berbagai macam seminar, dan ceramah-ceramah. Daftar
Karangan dalam buku Kumpulan Karangan ini memperlihatkan
bahwa nyaris tidak ada bulan tanpa saya menulis makalah atau
tulisan apapun yang dimuat di surat kabar atau di manapun, atau
dibukukan.
      Sebuah proyek pribadi yang telah saya mulai sejak saya
kembali ke Padang dari Makasar di awal 1980-an, dan berlanjut
sampai hari ini, adalah penyusunan Kompendium Al Qur`an yang
diklasifikasi-kan secara tematik-maudhu’i menurut pengklasifikasian
ilmu pengetahuan cara sekarang. Ide ini bermula ketika saya masih
jadi mahasiswa di Institute of Islamic Studies, McGill University, di
Montreal, Kanada, akhir 1950-an. Ketika itu kami dibimbing bagai-
mana melakukan penelusuran kepustakaan dari masalah yang kita
cari. Termasuk tentunya dari apa yang ada dalam Al Qur`an. Waktu

                           Mochtar Naim 22
Biografi Ringkas Mochtar Naim


itu di samping Fathur Rahman, yaitu buku indeks dalam mencari kata
dalam Al Qur`an, juga a.l. ada buku indeks yang sifatnya topikal dari
Jules la Baume, misalnya, yang judulnya: Le Koran Analyse. Namun,
sistematika pengklasifikasian yang dipakai oleh La Baume tidaklah
menurut pengklasifikasian ilmu seperti sekarang tetapi menurut cara
dia sendiri. Sejak itu terpikir oleh saya, bagaimana kalau satu waktu
saya yang melakukannya. Membaca dan memahami Al Qur`an yang
menjadi pegangan hidup orang Islam, ternyata tidaklah segampang
seperti yang dikirakan; pada hal Al Qur`an itu dikatakan sebagai
hudan, petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Al Qur`an nyatanya lebih
untuk dibaca dan dilagukan, tanpa tahu atau perlu tahu tentang yang
dibaca dan dilagukan itu. Muslim awam rata-rata tidak tahu di mana
letaknya ayat-ayat yang berkaitan dengan sesuatu topik atau mas-
alah, sehingga orang Islam dalam kenyataannya jauh dari petunjuk
Al Quran itu.
      Ide ini pertama kali saya lontarkan dalam sebuah pengajian
dari kelompok intelektual di Mesjid Maipa, dekat pantai Losari,
Makasar. Saya waktu itu jadi Direktur dari Pusat Latihan Penelitian
Ilmu-ilmu Sosial di Unhas akhir 1970-an. Mesjid Maipa satu-satunya
mesjid waktu itu yang full AC. Setiap Minggu subuh setelah shalat
shubuh berjamaah langsung diikuti dengan pengajian dengan topik
yang berbeda-beda dan penceramah yang juga berbeda-beda.
Pengunjungnya kebanyakan adalah para sarjana dari berbagai
universitas dan perguruan tinggi yang tujuannya adalah juga untuk
bersosialisasi dan saling kenal mengenal satu sama lain.
      Pada waktu itulah saya melontarkan ide untuk secara bersama-
sama menyusun ayat-ayat Al Qur`an yang disusun secara topikal itu.
Ternyata mendapatkan respons yang positif. Namun sampailah
waktunya saya harus kembali ke Padang untuk membantu memper-
siapkan Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial itu, sehingga yang
tergarap barulah beberapa juz saja yang dikerjakan secara kolektif

                           Mochtar Naim 23
Biografi Ringkas Mochtar Naim


bersama-sama dan masih dalam upaya uji-coba dan dengan trial and
error.
       Proyek inilah yang saya mulai kembali di Padang, yang
sekarang saya lakukan sendirian. Untungnya di awal 1980-an itu
komputer sudah masuk ke Padang, dan saya termasuk yang mula-
mula memanfaatkan komputer untuk melakukan klasifikasi ayat-
ayat Al Qur`an secara topikal-maudhu’i itu. Sekarang sudah lima
jilid yang diterbitkan; yaitu Kompendium ayat-ayat Al Qur`an yang
berkaitan dengan Fisika dan Geografi (495 halaman); Botani dan
Zoologi (228 halaman); Biologi dan Kedokteran (390 halaman);
Hukum (761 halaman); dan Ekonomi (250 halaman). Tiga jilid lagi
tinggal menerbitkan, yaitu yang berkaitan dengan Qashash atau
Kisah-kisah dalam Al Qur`an; Eskatologi, yaitu yang berkaitan
dengan Akhirat, ganjaran Surga dan Neraka; dan Himpunan ayat-
ayat Do’a dalam Al Qur`an. Ternyata bahwa bahagian besar dari
doa-doa yang kita baca setiap hari berasal dari Al Qur`an. Yang
belum dimulai sama sekali justru adalah yang paling mendasar, yaitu
yang berkaitan dengan aqidah dan etika. Mudah-mudahan Allah
memberi kelapangan dan umur panjang untuk bisa menyelesaikan-
nya, amin.
       Lembaran baru di era 1990-an dan memasuki abad ke 21 ini
ternyata juga memberi warna tersendiri, di mana saya mulai mema-
suki dunia politik justru di hari sudah mulai berembang petang ini.
Sambil saya terus menulis, memberikan ceramah-ceramah dan
menyampaikan makalah-makalah di berbagai seminar, dsb, di awal
1990-an saya mulai diajak untuk memasuki dunia politik. Selama ini
saya lebih banyak sebagai pengamat yang kritis atau simpatisan
pinggiran.
       Adalah Pak Natsir yang pertama kali menelepon saya ke
rumah di Padang agar saya ikut membantu Partai PPP. Partai PPP
katanya memerlukan dukungan dan keikut-sertaan dari para intelek-

                           Mochtar Naim 24
Biografi Ringkas Mochtar Naim


tual muslim untuk memperkuat partai dari dalam. Saya sesudah itu
juga ditelepon oleh Ismail Hasan Meutareum, Ketua Umum PPP
waktu itu, mengajak saya berkiprah di PPP. Ajakan itu kemudian
saya terima. Dan saya didudukkan sebagai Ketua Majelis Pertim-
bangan Wilayah (MPW) di DPW PPP Sumbar. Jadilah saya setelah
itu benar-benar orang partai, tapi orang partai yang ke dalampun
suka menyampaikan kritik dan tegur-sapanya.
      Karena saya ditempatkan di kelompok senior dalam partai,
maka sayapun berusaha menempatkan diri sesuai dengan ekspektasi
partai. Karenanya saya tidak terlalu jauh mencampuri urusan dalam
partai yang banyak digeluti oleh kelompok teras yang duduk dalam
DPW dan yang relatif masih lebih muda. Untungnya saya sudah
dikenal luas dalam partai, dan dalam masyarakatpun, karena nama
dan peranan yang saya mainkan selama ini dalam masyarakat,
sehingga sayapun tidak memerlukan penyesuaian diri yang banyak
dalam partai. Saya merasakan bahwa kehadiran saya dalam partai-
pun didambakan oleh para anggota, dan sayapun senang karenanya.
      Ketika Pemilu tahun 1992 dan 1997 dilakukan, nama sayapun
dicantumkan sebagai calon untuk duduk di DPR RI. Walau nama
saya termasuk yang terletak di papan atas, namun yang terpilih tetap
adalah yang duduk di DPP di Jakarta; karena mereka dicalonkan di
daerah mereka masing-masing, dan nama mereka disorongkan dari
atas.
      Ketika Reformasi terjadi, Prof Deliar Noer mengajak saya
untuk ikut mendirikan partai Islam, dengan nama Partai Ummat
Islam. Karena PPP yang didorong oleh Suharto untuk legitimasi
bagi demokrasi rezim Orde Barunya, waktu itu bukanlah partai yang
berdasar Islam, tapi Pancasila, sementara saya menginginkan adanya
partai yang berdasar Islam, seperti Deliar Noer dkk, maka sayapun
menulis kepada Pimpinan, via Ketua Umum, PPP, untuk keluar dari
partai dan bergabung dengan PUI. Di PUI saya ditunjuk menjadi

                           Mochtar Naim 25
Biografi Ringkas Mochtar Naim


Ketua DPW PUI Sumbar. Tugas saya adalah membentuk partai dan
mengembangkannya ke seluruh Sumbar dengan mendirikan cabang
dan ranting.
      Ketika tiba waktunya DPRD Sumbar, seperti juga DPRD lain-
lainnya di seluruh Indonesia, untuk memilih wakil-wakil daerah
untuk duduk di MPR-RI, saya dicalonkan. Yang mengusulkannya
adalah Forum Ukhuwwah Partai-Partai Islam yang beberapa saat
sebelumnya saya ikut menggerakkannya. Walau PUI hanya punya
seorang wakil di DPRD Sumbar, tetapi saya didukung oleh hampir
semua partai yang ada di DPRD. Karena pada hari pemilihan itu
saya telah membikin komitmen sebelumnya untuk memberikan
Seminar mengenai “Madrasah Unggulan” di IAIN Pekanbaru, saya
minta kepada pimpinan Dewan supaya saya didahulukan memberi-
kan orasi untuk menjawab pertanyaan, kenapa saya mencalonkan
diri. Begitu saya selesai, dengan jatah waktu hanya tujuh menit, saya
langsung pamit dan mengejar pesawat yang ke Pekanbaru. Sore
harinya, telepon berdering, ternyata dari isteri, menyatakan bahwa
saya terpilih. Saya terpilih dengan urutan terakhir, kelima. Dari
cerita-cerita yang saya dengar sesudah itu, betapa kasak-kusuknya
kawan-kawan para calon lain-lainnya, dan betapa hangatnya pasar
bursa waktu itu.
      Dari 1999 sampai 2004 jadilah saya anggota MPR-RI selaku
utusan daerah dari Sumbar, bersama empat kawan lainnya. Hari
pertama saya ada di gedung MPR saya bagaikan orang udik yang
jolong ke kota; walau dunia sudah saya kitari. Karena di MPR tak
satupun anggota dari partai yang saya masuki, PUI, saya kelabakan
sendiri. Utusan daerah ternyata tak diakui untuk bisa membentuk
fraksi sendiri. Yang lain-lain, karena memang tunjukan partai,
masuklah mereka ke partai masing-masing, atau masuk ke Utusan
Golongan. Tetapi saya, ke mana mau pergi? Namun, begitu utusan
daerah tidak dibolehkan membentuk fraksi sendiri, begitu secara

                           Mochtar Naim 26
Biografi Ringkas Mochtar Naim


spontan datang ajakan dari berbagai fraksi lainnya untuk masuk ke
fraksi mereka. Yang tak mengajak, kecuali fraksi TNI-Polri, ada
beberapa partai nasionalis. Setelah saya inap-inapkan, saya menja-
tuhkan pilihan pada partai PBB (Partai Bulan Bintang), yang saya
tahu adalah titisan dari partai Masyumi, seperti PUI juga, dan yang
komitmen mereka terhadap Islam sejalan dengan pikiran saya. Sejak
itu sayapun bergabung dengan Fraksi PBB. Yusril Ihza Mahendra
sendiri yang langsung meminta saya untuk menggabung.
      Ketika Badan Pekerja MPR dibentuk, pimpinan Fraksi PBB
menjatuhkan pilihannya menunjuk saya duduk di PAH (Panitia Ad
Hoc) II, sementara Sdr Hamdan Zoelfa SH duduk di PAH I. PAH
I yang berkaitan dengan amandemen UUD 1945, sedang PAH II
berkaitan dengan TAP-TAP MPR. Hanya ada dua jatah yang terse-
dia untuk FPBB di BP MPR, sesuai dengan perimbangan jumlah
anggota dan jumlah kursi yang tersedia. Sebuah penghormatan bagi
saya dan sekaligus juga pengorbanan bagi anggota-anggota Fraksi
PBB yang lain-lainnya yang merekapun berhak terpilih untuk duduk
di BP itu.
      Karena duduk di Badan Pekerja, saya sendirinya harus hadir
sepanjang tahun; bukan hanya sekali setahun ketika Sidang Umum
diadakan seperti anggota-anggota biasa lain-lainnya. Tugas pokok
kami adalah mempersiapkan bahan-bahan yang akan dibahas dan
diputuskan di Sidang Pleno BP MPR untuk seterusnya dibawa dan
diputuskan pada Sidang Umum MPR berikutnya. Dalam rangka
tugas di BP MPR itu saya sempat beberapa kali ikut rombongan
MPR ke luar negeri. Bulan April 2000 saya ikut rombongan Pokja
MPR RI ke Yunani, Jerman dan Turki dalam rangka studi perban-
dingan mengenai sistem dua kamar yang nanti melahirkan adanya
DPD itu.
      Rombongan yang sama juga melakukan studi perbandingan ke
Korea dan RRC sesudah itu. Di Beijing kami sempat naik ke

                           Mochtar Naim 27
Biografi Ringkas Mochtar Naim


Tembok Cina, salah satu dari yang disebut lima keajaiban dunia.
Saya sendiri naik sampai ke atasnya, dan dapat sertifikat tanda sudah
naik dengan membelinya di sebuah gardu di atasnya. Dengan
demikian, tiga dari lima keajaiban dunia sudah saya lihat: Piramida,
Niagara Falls, dan Tembok Cina, sedang dua lainnya belum: Menara
Piza dan Taj Mahal. Mudah-mudahan, siapa tahu.
     Saya sendiri dengan didampingi oleh isteri juga melakukan
lawatan ke Amerika, Kanada dan Norwegia untuk tujuan yang
sama. Di Washington kami menjadi tamu dari Duta Besar
Dorojatun Kuntjarayakti yang sudah kami kenal sejak waktu di
Singapura dulu; sementara di Oslo, Norwegia, jadi tamu dari kawan
akrab Dubes Tarmizi Taher. Di Ottawa juga jadi tamu dari
Sekretaris I, Neneng Panggabean, yang ketika kami di New York
dulu masih berupa gadis kecil dari kawan kami keluarga Panggabean
dari KB Antara, yang ibunya Neneng, Zus De Panggabean, adalah
dari Sungai Puar, bersebelahan kampung dengan saya, dan dari
keluarga Khairul Saleh.
     Walau selaku anggota BP MPR, kami-kami yang bukan
anggota DPR tidak disediakan perumahan seperti anggota-anggota
DPR. Saya karena tak punya rumah di Jakarta, dan tak pula
disediakan uang penyewa rumah, dipersilahkan tinggal di hotel, dan
hotelnya dipilihkan Hotel Sahid Jaya. Sekretariat Jenderal MPR RI
yang mengaturnya. Demikianlah, kami sampai lebih sembilan bulan
tinggal di hotel, yang betapapun konfortabelnya, tidak seperti
tinggal di rumah sendiri. Juga ngeri kalau harus memikirkan berapa
biaya yang dikeluarkan oleh Setjen MPR bagi anggota BP yang
ditempatkan di hotel.
     Kebetulan salah seorang anggota FPBB, seorang dokter asal
Semarang, minta berhenti karena tidak mungkin meninggalkan
praktek spesialisnya. Jatah rumah untuknya di kompleks perumahan
DPR di Kalibata ternyata tak pernah ditempatinya. Rumah itulah

                           Mochtar Naim 28
Biografi Ringkas Mochtar Naim


yang akhirnya ditawarkan oleh Fraksi kepada saya untuk ditempati,
minimal sampai ada pengganti antar-waktu datang menempatinya
nanti.
      Jadilah kami suami-isteri dengan dua anak gadis tinggal di
perumahan DPR tersebut sampai lk sembilan bulan pula, sampai
anggota fraksi pengganti antar-waktu datang menempati rumah itu.
Sementara itu, selagi di Kalibata kami sempat mengawinkan kedua
anak gadis kami itu, Elvira dan Meuthia, dengan pilihan junjungan
mereka masing-masing. Akad nikahnya diadakan selisih satu hari di
Mesjid Kompleks DPR, sedang pestanya barengan di Gedung Serba
Guna DPR Kalibata. Elvira dapat kawan hidup orang sekampung
dengan saya, dari Banuhampu, Bukittinggi, sementara Meuthia
dapat kawan sekantor di Kementerian Lingkungan Hidup yang
kebetulan berasal dari Cicaheum, Bandung.
      Kami kemudian pindah rumah ke Ciputat, di kawasan
Kampung Utan (Jalan Pepaya 72), yang kami sewa sampai kami
berangkat ke Leeds, Inggeris, 29 November 2002. Kami ke Leeds
dengan dua tujuan, pertama mendampingi Meuthia yang akan
melahirkan, sesuai dengan perjanjian semula dengan British Council
di Jakarta, dan kedua menjadi Research scholar di Leeds University.
Thia karena sudah hamil ketika mau berangkat ke Inggeris berjanji
akan mendatangkan ibunya ketika akan melahirkan. Tgl 14 Des
2002 saya berangkat lagi ke Jakarta sendirian memenuhi panggilan
wawancara dengan Aminef yang mengurus fellowship dari
Fulbright. Dari hasil wawancara, saya langsung dinyatakan lulus
untuk mendapatkan scholarship selama enam bulan melakukan riset
di University of Michigan di Ann Arbor. Yang menguji saya
kebetulan kawan yang mengenal baik saya, dan sayapun mengenal
baik mereka: Profesor Dr Parsudi Suparlan, antropolog terkenal
dari UI, dan Dr Mochtar Pabottinggi, sosiolog terkenal dari LIPI.
Tanggal 4 Januari 2003 saya kembali ke Inggeris, ke Leeds,

                           Mochtar Naim 29
Biografi Ringkas Mochtar Naim


mendapatkan cucu laki-laki yang sudah lahir tgl 20 Desember
sebelumnya. Mereka memberi nama cucu yang gagah: Ismail Halim
Suyudi.
       Di Leeds Univ saya melanjutkan pengklasifikasian Ayat-ayat
Al Qur`an secara tematik-maudhu’i itu; karenanya saya bergabung
dengan School of Theology and Religious Studies. Saya dapat
fasilitas yang memadai, ikut seminar-seminar di samping juga
memberikan seminar.
       Enam bulan di Inggeris merupakan peluang yang luas sekali
bukan saja untuk berkontemplasi, melakukan riset dan meman-
faatkan perpustakaan yang semuanya sudah terkomputerisasi, di
samping juga mengenal Inggeris untuk keempat kalinya dari dekat
dengan melakukan kunjungan ke kota-kota yang selama ini baru
saya kenal di peta. Bulan Maret, Elvira dan suami, Eri Rusli, dan
Zahra, anak mereka, berkunjung ke Leeds, dan kami bersama
melancong ke Scotlandia, ke Glasgow dan Edinburg. Bulan April
kami pulang ke tanah air untuk mempersiapkan diri terus ke
Amerika Serikat, ke Ann Arbor, Michigan.
       Semua ini dimungkinkan karena saya tidak lagi duduk di BP
MPR, sehingga tidak perlu masuk setiap hari; cukup sekali setahun
saja ketika Sidang Umum. Di MPR sementara itu Fraksi Utusan
Daerah (FUD) berhasil kami perjuangkan dengan cara yang agak
radikal; sampai kami ramai-ramai menyerbu ke rostrum SU MPR
segala, karena kami dihadang oleh fraksi lain yang menentang
dimunculkannya FUD ini. Perkelahian fisik bahkan nyaris terjadi.
       Bung Karno pernah mengatakan, revolusi suka memakan
anaknya sendiri. Itu juga terjadi pada diri saya. Saya termasuk yang
getol memperjuangkan berdirinya FUD, walau saya resminya berada
di Fraksi PBB, tapi dari Utusan Daerah. Hanya FPBB positif dan
bahkan aktif memperjuangkan terbentuknya FUD ini.



                           Mochtar Naim 30
Biografi Ringkas Mochtar Naim


      Begitu FUD berhasil dilahirkan dan saya secara spontan
masuk dan berpindah ke FUD, saya justeru disingkirkan dari
kedudukan saya di BP MPR. Rupanya kursi di BP itu jadi barang
rebutan di FUD. Banyak yang sebelumnya menasehatkan, seperti
banyak kawan-kawan di Utusan Daerah yang bergabung dengan
partai-partai yang mereka masuki, agar tidak pindah ke FUD
sehingga bisa tetap di BP MPR. Tapi itu bukan tipe saya. Saya
masuk FUD dengan risiko apapun, dan dengan prinsip. Dan karena
itu pula, karena saya tidak lagi duduk di BP MPR saya bisa ke mana-
mana, kembali berlanglang buana. Sebuah blessing in disguise.
Makanya saya sampai di Inggeris dan sekarang ke Amerika pula,
dua-dua dapat fellowship.
      Selama 30 bulan duduk di Badan Pekerja MPR dari FPBB dan
sebentar dari FUD, saya sempat membukukan semua pidato dan
buah-buah pikiran yang saya sampaikan di forum BP MPR, baik di
PAH II yang saya masuki maupun di sidang-sidang pleno BP dan
Sidang Umum MPR sendiri. Karena saya satu-satunya yang
mewakili FPBB di PAH II BP MPR, maka sendirinya tiap kali ada
giliran pembicaraan atas nama Fraksi saya mau tak mau harus
tampil. Untungnya karena agendanya dijadwalkan secara terarah
setiap kali masa sidang, maka pidato-pidato yang disampaikan bisa
disiapkan secara tertulis terlebih dahulu. Itu semua saya kerjakan
sendiri, ketik sendiri, dan sering saya tulis di tengah malam ketika
suasana hening sepi, untuk besoknya disampaikan di muka sidang.
Sebuah keasyikan tersendiri yang rasanya tak mungkin terbeli,
ataupun terulang kembali. Kata Deliar Noer yang memberikan kata
pendahuluan dalam buku itu, tradisi Volklsraad yang tidak
berkelanjutan. Nyatanya, saya hanya satu-satunya dari lk 700
anggota MPR-RI yang menghimpun seluruh pidato-pidato yang
disampaikan (373 halaman) sebagai sekaligus pertanggung-jawaban
kepada rakyat yang diwakili.

                           Mochtar Naim 31
Biografi Ringkas Mochtar Naim


      Dua kawan telah berjasa besar yang memungkinkan buku
kumpulan pidato itu terbit dan keluar pada waktunya, yang ketika
SU MPR tahun 2002 saya bagi-bagikan kepada seluruh anggota
MPR RI secara cuma-cuma. Juga ke anggota-anggota DPRD
Sumbar, Gubernur, dan bahkan seluruh menteri dalam kabinet.
Kedua kawan tersebut adalah Ketua FUD yang juga Wakil Ketua
MPR-RI, Sdr Dr Oesman Sapta, dan Dirut PT Batubara Bukit
Asam, Sdr Drs Ismet Harmaini, yang adalah bekas mahasiswa saya
sewaktu saya mengajar di Fakultas Ekonomi Unand di akhir 1960-
an dan awal 1970-an.
      Di University of Michigan, di Ann Arbor, saya bergabung
dengan Center for Southeast Asian Studies, dengan terus
melanjutkan riset dan penulisan mengenai Kompendium Al
Qur`an. Saya konsentrasi mengenai Eskatologi dan Kisah-kisah
dalam Al Qur`an, yang setelah tersusun ternyata cukup tebal juga.
Selain berkantor di CSEAS saya juga banyak menghabiskan hari di
perpustakaan Central Campus ataupun perpustakaan North
Campus yang dekat dari rumah di University Family Housing;
cukup berjalan kaki saja. Ke Central Campus ada bus kampus setiap
10 menit dan gratis.
      Kota Ann Arbor adalah kota kecil yang nyaris adalah kota
kampus. Dekat ke Detroit di sebelah Timurnya dan agak berjauhan
ke Barat ke Chicago. Saya yang dahulu di tahun 1960-an biasa
bermain di pantai Timur, sekarang mengenali bagian Tengah-Utara
Amerika. Kesempatan selama lima bulan di University of Michigan
juga berarti ada kunjungan-kunjungan yang saya lakukan ke
Chicago, DeKalb, Detroit, Lansing dan East Lansing, dsb, dalam
berbagai keperluan. Di Detroit dan sekitarnya, dan sekarang juga
Chicago dan sekitarnya, ditemukan banyak komunitas Islam;
kebanyakan migran dari Timur Tengah, dan dari India-Pakistan.
Mereka punya mesjid-mesjid dan restoran serta tempat berbelanja

                          Mochtar Naim 32
Biografi Ringkas Mochtar Naim


khas etnik Arab atau India-Pakistan. Komunitas Indonesia pun
biasa melakukan kegiatan pengajian secara rutin sekali sebulan dari
rumah ke rumah di Detroit. Di Detroit ternyata ada sejumlah
keluarga Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan otomotif
terkenal setelah mereka menamatkan sekolah mereka di berbagai
perguruan tinggi. Cukup banyak juga wanita-wanita Indonesia yang
kawin dengan laki-laki Amerika, yang lakinya masuk Islam.
      Ketika masih di Ann Arbor, kami dalam bulan Desember
2003 melakukan kunjungan spiritual ke Selatan, ke Florida dan
Atlanta. Ke Kissimmee di Florida menghadiri “Innaugural
Conference on Islam for Humanity” dan Muktamar Bersama
Indonesian Muslim Students Association (IMSA) dan Malaysian
Islamic Study Group (MISG) di Orlando, Atlanta. Perkembangan
Islam di bagian Selatan ini ternyata juga cukup mengagumkan. Di
Kissimmee, Florida, mereka menyiapkan sebuah pusat Islam
lengkap dengan persekolahan, mesjid, pertokoan, rumah sakit, dsb,
di atas tanah bekas kompleks perhotelan Ramada Inn yang cukup
luas milik pengusaha Yahudi. Banyak dari penduduk setempat,
terutama dari kelompok Afro American (Negro) yang masuk Islam,
di samping juga migran dari West Indies, Karibea, dan Amerika
Latin lainnya. Kesempatan yang sama kami pakai juga untuk
melihat-lihat daerah-daerah turis di Florida, termasuk Kennedy
Space Center.
      Rencana kami untuk tinggal di Ann Arbor selama enam bulan
terpaksa kami perpendek menjadi lima bulan karena saya sudah
dipanggil untuk segera pulang ke Padang melakukan kampanye
Pemilu untuk bertanding mendapatkan jatah kursi untuk duduk di
DPD-RI. Kendati sebelum berangkat ke Amerika saya sudah
mengumpulkan sekitar 3000 tanda tangan dari 2000 yang
disyaratkan untuk bisa lolos sebagai calon, nyatanya cukup banyak
yang ditolak, karena ternyata bagian banyak dari yang mendukung

                           Mochtar Naim 33
Biografi Ringkas Mochtar Naim


saya adalah para mahasiswa yang menyerahkan fotokopi Kartu
Mahasiswa yang ternyata tidak laku dipakai. Sementara juga ada
sejumlah pendukung yang memberikan fotokopi KTP-nya yang
sudah kadaluwarsa. Ada sejumlah 100 lebih yang harus didapatkan
penggantinya dalam waktu hanya tiga hari sebelum waktu
penutupan. Semua itu disanggupi oleh kawan-kawan yang adalah
bekas mahasiswa saya yang turun tangan berjibaku meloloskan
gurunya untuk duduk di DPD-RI. Iya pula, dalam tiga hari mereka
berhasil mendapatkannya sementara saya masih di Ann Arbor.
Tidak seorangpun dari mereka, dan tidakpun dari para mahasiswa
yang bergabung dalam Yayasan Amal Saleh yang tinggal di asrama-
asrama, dan sekarang jadi surau-surau, di sekitar Kampus Air
Tawar, yang mau menerima imbalan jerih. Jadilah saya calon resmi
untuk kursi di DPD-RI.
     Seperti yang saya ceritakan di atas sebelumnya, pulang-
pulangpun ke Padang di awal Maret 2003 ketika masa kampanye
sudah dimulai, saya tidak ikut berkampanye seperti calon-calon lain
dengan bermacam kegiatan kampanye di lapangan terbuka, di
berbagai kota, dan di manapun, dengan berhabis biaya. Konon ada
yang sampai sekian M mengeluarkan dana untuk kampanye, yang
saya memikirkannya saja ngeri. Sekian puluh juta rupiah harus
dikeluarkan untuk satu kali kampanye terbuka saja. Belum lagi biaya
spanduk, ballyhoo, stiker, baju kaos, makan peserta, envelop,
transportasi dan entah apa lagi namanya itu. Saya paling-paling
hanya dibekali oleh anak-anak di Jakarta dengan sejumlah spanduk
dan stiker yang dibikinkan di Jakarta dengan bantuan dana dari
kawan-kawan sesekolah dari anak-anak kami. Bagaimanapun, saya
memanfaatkan surat kabar untuk menulis dan menyampaikan
pesan-pesan dan buah pikiran saya. Kecuali sekali atau dua kali yang
khusus berupa advertensi kampanye, satu atau setengah halaman, di
dua surat kabar, selainnya tak ada yang saya bayar, karena sifatnya

                           Mochtar Naim 34
Biografi Ringkas Mochtar Naim


tulisan atau wawancara. Saya juga diwawancarai gratis oleh TVRI
dan RRI Padang.
      Kebetulan sekali, teman Amerika yang suka mengaku sebagai
anak kami (adopted son), Leonardo Stoute, alias Muhd Khalid ibn
Waleed, guru silat yang kami jumpai di kampus Univ of Michigan,
datang ke Padang. Waleed masuk Islam justeru karena belajar silat
Minang. Silat tidak akan tembus jika tidak dijiwai dengan kekuatan
dalam, yang artinya adalah kekuatan batin yang ditempa oleh ruh
Islam, kata Waleed. Silat, karenanya, berbeda dengan kung fu, taek
won do dan karate, yang mengandalkan hanya kepada kekuatan
fisik. Waleed sendiri punya sabuk hitam sebelum beralih ke silat.
Dan melalui silat ini dia telah mengislamkan orang-orang Amerika
sampai ratusan banyaknya.
      Kami bawalah dia keliling ke mana-mana sambil mendemon-
strasikan kebolehan silat Minangnya. Dan ini tak ayal jadi daya tarik
luar biasa di kampus-kampus dan sekolah-sekolah serta madrasah-
madrasah; sehingga dalam memperkenalkannya saya tinggal
menitipkan kata-kata sederhana itu saja: Jangan lupa nomor 20!
Bukan: “pilihlah saya.”
      April yang ditunggu tiba. Pekan sunyi, pemilu dengan tenang
berlalu, dan saya keluar sebagai pemenang ke empat dari sekian
puluh calon yang ikut bertanding. Jadilah saya calon terpilih DPD-
RI dari Sumbar. September ke Jakarta. 1 Oktober dilantik. Sejak itu
sampai sekarang saya menjadi “senator” dari Sumbar di antara 127
lainnya dari semua provinsi di Indonesia, di mana setiap provinsi,
besar atau kecil jumlah atau luas wilayahnya, sama-sama empat
orang wakilnya.
      Di DPD sendiri saya sungkan untuk dicalonkan dalam unsur
pimpinan apapun; karena seperti yang saya alami di MPR, kita bisa
lebih banyak berbuat dan berkontribusi sebagai anggota biasa. Yang
penting kita berbuat dan berbuat secara optimal dan maksimal.

                           Mochtar Naim 35
Biografi Ringkas Mochtar Naim


DPD adalah tempat kita memikirkan masalah-masalah besar bangsa
dan negara, terutama yang ada kaitannya dengan kepentingan
daerah.
     Sejak kepindahan kembali ke Jakarta, sebentar kami
menumpang di rumah anak tertua, Amelia, di Kampung Utan, Jl
Solo 7, Ciputat. Kemudian kami mendapatkan sebuah rumah yang
cukup memenuhi kebutuhan di Kompleks Inhutani, Ciputat juga.
Kami beli dari seorang pembesar polisi yang baru membangun
rumah besar di dekatnya. Uangnya termasuk hasil buku
Kompendium Al Qur`an yang dipesan oleh Departemen Agama
untuk diedarkan ke madrasah-madrasah Aliyah di seluruh
Indonesia. Kalau Tuhan menginginkan, semua yang sukar jadi
mudah. Kami anak-beranak, empat keluarga tinggal saling
berdekatan dan semua di bilangan Ciputat. Emil dan keluarga
dengan empat anak yang di Balik Papan. Tapi diapun sering dapat
tugas ke Jakarta dari kantornya, sehingga kamipun sering bersua.
     Dalam memasuki usia yang sudah berembang petang ini terasa
Tuhan sangat sayang pada kami.

                                    *

      Berkiprah selama 10 tahun di MPR-RI (1999-2004, 2004-2009)
dan 5 tahun di DPD-RI (2004-2009), kalau diceritakan semua pasti
akan memakan ruangan halaman yang panjang dan waktu yang
banyak – sementara yang dinukilkan di sini hanya biografi ringkas
saja. Untungnya, baik ketika di MPR-RI sebagai anggota Utusan
Daerah mewakili daerah pemilihan Sumatera Barat, maupun di
DPD-RI, juga mewakili daerah Sumatera Barat, saya sempat
membukukan semua pidato dan tulisan-tulisan ....




                          Mochtar Naim 36

More Related Content

Similar to 100814 1 biografi ringkas mochtar naim

Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Edi Awaludin
 
Biografi
BiografiBiografi
Biografi
yuliusadi
 
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdf
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdfTOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdf
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdf
UswatunHasanah927943
 
Biografi gus-dur
Biografi gus-durBiografi gus-dur
Biografi gus-dur
Didik Eko II
 
Contoh esai
Contoh esaiContoh esai
Contoh esai
Anjellichan Minoz
 
Tio 2
Tio 2Tio 2
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdfMAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
NovyNovitaSari
 
Identifikasi jurnal sarah jappie
Identifikasi jurnal sarah jappieIdentifikasi jurnal sarah jappie
Identifikasi jurnal sarah jappie
Widi100
 
Biodata
BiodataBiodata
BIOGRAFI GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANG
BIOGRAFI  GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANGBIOGRAFI  GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANG
BIOGRAFI GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANG
Dhamar Pamilih
 
WALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptx
WALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptxWALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptx
WALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptx
InezAuliana
 
Dari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga PramDari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga Pram
Pindai Media
 
Hamka :)
Hamka :)Hamka :)
Hamka :)
Aimi Wahidah
 
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesiaJulian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
arief permadi arief
 
Biografi
BiografiBiografi
SEJARAH BUYA HAMKA.pptx
SEJARAH BUYA HAMKA.pptxSEJARAH BUYA HAMKA.pptx
SEJARAH BUYA HAMKA.pptx
IndriFrahestawulansa
 
Gerakan Pemikiran Abdurrahman Wahid
Gerakan Pemikiran Abdurrahman WahidGerakan Pemikiran Abdurrahman Wahid
Gerakan Pemikiran Abdurrahman Wahid
Dikki Wahyu Afandi E.D
 
Tokoh fiqh ibnu katsir
Tokoh fiqh  ibnu katsirTokoh fiqh  ibnu katsir
Tokoh fiqh ibnu katsir
Omar Mohd Fiqri Mohd Fiqri
 
Makalah islam masa modern ok.
Makalah islam masa modern ok.Makalah islam masa modern ok.
Makalah islam masa modern ok.
nanang aw aw
 
Pemikiran Kalam Kekinian.ppt
Pemikiran Kalam Kekinian.pptPemikiran Kalam Kekinian.ppt
Pemikiran Kalam Kekinian.ppt
Imam Mashudi Latif
 

Similar to 100814 1 biografi ringkas mochtar naim (20)

Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1
 
Biografi
BiografiBiografi
Biografi
 
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdf
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdfTOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdf
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN.pdf
 
Biografi gus-dur
Biografi gus-durBiografi gus-dur
Biografi gus-dur
 
Contoh esai
Contoh esaiContoh esai
Contoh esai
 
Tio 2
Tio 2Tio 2
Tio 2
 
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdfMAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
MAKALAH KLM 4 SEJARAH ISLAM MODERN (1).pdf
 
Identifikasi jurnal sarah jappie
Identifikasi jurnal sarah jappieIdentifikasi jurnal sarah jappie
Identifikasi jurnal sarah jappie
 
Biodata
BiodataBiodata
Biodata
 
BIOGRAFI GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANG
BIOGRAFI  GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANGBIOGRAFI  GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANG
BIOGRAFI GUS BAHA' ASLI NARUKAN - KRAGAN - REMBANG
 
WALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptx
WALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptxWALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptx
WALISONGO DALAM DAKWAH ISLAM.pptx
 
Dari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga PramDari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga Pram
 
Hamka :)
Hamka :)Hamka :)
Hamka :)
 
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesiaJulian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
 
Biografi
BiografiBiografi
Biografi
 
SEJARAH BUYA HAMKA.pptx
SEJARAH BUYA HAMKA.pptxSEJARAH BUYA HAMKA.pptx
SEJARAH BUYA HAMKA.pptx
 
Gerakan Pemikiran Abdurrahman Wahid
Gerakan Pemikiran Abdurrahman WahidGerakan Pemikiran Abdurrahman Wahid
Gerakan Pemikiran Abdurrahman Wahid
 
Tokoh fiqh ibnu katsir
Tokoh fiqh  ibnu katsirTokoh fiqh  ibnu katsir
Tokoh fiqh ibnu katsir
 
Makalah islam masa modern ok.
Makalah islam masa modern ok.Makalah islam masa modern ok.
Makalah islam masa modern ok.
 
Pemikiran Kalam Kekinian.ppt
Pemikiran Kalam Kekinian.pptPemikiran Kalam Kekinian.ppt
Pemikiran Kalam Kekinian.ppt
 

100814 1 biografi ringkas mochtar naim

  • 1. Biografi Ringkas Mochtar Naim BIOGRAFI RINGKAS MOCHTAR NAIM * S AYA dilahirkan di sebuah kota kecil, Sungai Penuh, Kerinci, tahun 1932. Sungai Penuh dan daerah Kerinci waktu itu masuk bagian dari Keresidenan Sumatera Barat; tapi sekarang masuk Provinsi Jambi. Bapak saya, Naim gelar Sutan Rumah Tinggi, waktu itu jadi pedagang di pasar Sungai Penuh. Punya ruko dengan jualan macam- macam keperluan sehari-hari. Ibu saya, Kamalat, seorang wanita salehah berpenampilan lembut. Keduanya berasal dari Banuhampu, Bukittinggi. Bapak dari Nagari Padang Lua, sedang Ibu dari Nagari Taluak. Waktu itu banyak dari orang-orang sekampung yang juga merantau ke ranah Kerinci itu. Nama Mochtar yang diberikan kepada saya ternyata ada sejarahnya. Saya ini rupayanya dilahirkan songsang; kaki dahulu yang keluar. Sebagai tanda penghargaan kepada dokter yang menjawat, karena ibu saya dan saya bersabung dengan nyawa, diberikanlah nama dokter yang menjawat itu, Mochtar, kepada saya. Konon beliau berasal dari Jawa, termasuk salah seorang pejuang. Meninggal karena disiksa oleh Jepang. Untuk mengingat jasanya, namanya diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Umum Pusat di Bukittinggi, RSUP Dr Ahmad Mochtar. Kami berenam bersaudara. Saya anak ketiga. Anak kelima dan keenam, keduanya perempuan, meninggal waktu masih kecil. Waktu Mochtar Naim 1
  • 2. Biografi Ringkas Mochtar Naim melahirkan adik perempuan yang terkecil, di kampung, ibu meninggal. Ketika itu saya masih berumur 9 tahun, sebelum Jepang masuk. Ayah meninggal ketika saya sudah kuliah di Yogya. Yang masih hidup sekarang ada tiga: kakak perempuan tertua, Justina, 78 tahun, kakak perempuan nomor dua, Kartini, 76, dan saya, 74 tahun. Adik saya, laki-laki, Abuzar, meninggal tahun 1992 (umur 58 tahun), ketika merantau ke Johor, Malaysia. Dari bapak dan ibu yang sama kami juga berkekembangan. Ada dua puluh tiga anak dengan puluhan cucu. Umur lima tahun saya dibawa pulang oleh nenek ke kampung, di Banuhampu, Bukittinggi. Bersekolah sempat lima tahun di zaman Belanda, kemudian di zaman Jepang dan zaman Republik. SR, SMP, SMA di Bukittinggi. Tamat SMA Negeri Birugo tahun 1951, dan melanjutkan ke UGM, Yogyakarta, tahun 1951, Fakultas HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial, Politik). Setahun kemudian juga masuk PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Nageri) yang baru dibuka (cikal bakalnya IAIN ataupun UIN sekarang), dan juga Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia (UII). Semua ini dimungkinkan karena waktu itu yang berlaku sistem perkuliahan bebas. Belum pakai sistem SKS seperti sekarang. Tapi jangan coba- coba menempuh ujian jika belum benar-benar siap dengan bahan- bahan dari buku-buku yang dipakai. Banyak dari kami karena terbiasa dengan buku dan bergantung kepada buku jadi kutu buku. Walau sempat menerima beasiswa selama lk setahun dari Dep P&K di UGM (saya termasuk kelompok lulusan terbaik dari SMA Negeri Birugo Bukittinggi tahun 1951 itu), saya akhirnya berhenti dan hanya melanjutkan di kedua yang lain. Di PTAIN saya juga mendapatkan beasiswa dari Dep Agama. Baik di PTAIN maupun di Fakultas Ekonomi UII saya hanya sampai di tingkat doktoral, karena saya mendapatkan beasiswa dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, untuk melanjutkan langsung Mochtar Naim 2
  • 3. Biografi Ringkas Mochtar Naim untuk program Master, tahun 1957. Adalah Buya Hamka yang memberikan rekomendasi kepada Profesor Wilfred Cantwel Smith, Direktur Institute, yang waktu itu datang ke Yogya. Buya ketika itu menjadi guru besar dalam bidang Tasawuf dan Sejarah Islam di PTAIN yang saya juga ikut kuliah-kuliah dengan beliau. Ketika di tingkat doktoral di Fakultas Ekonomi UII saya termasuk yang mendapatkan kuliah-kuliah dari Pak Hatta dan Pak Sumitro Djojohadikusumo. Dengan Pak Hatta kuliah-kuliah diadakan di aula istana negara yang juga diikuti oleh para mahasiswa doktoral Fakultas Ekonomi UGM. Beliau datang sekali sebulan ke Yogya jika tak ada halangan. Beliau banyak menjelaskan mengenai teori-teori ekonomi klasik. Dengan Pak Mitro di ruang kuliah di Mesjid Syuhada, Kota Baru. Pak Mitro memberi kuliah tentang ekonomi makro dan ekonomi Indonesia. Dalam perjalanan menuju Montreal, Kanada, September 1957, saya tak lupa mengambil peluang untuk mampir-mampir dalam perjalanan. Pertama kali tinggal semalam di hotel mewah, Raffles Hotel, di Singapura, atas biaya KLM, karena tidak ada penerbangan yang langsung ke Baghdad. Saya sengaja mampir di Baghdad karena yang jadi duta besar di sana waktu itu adalah Buya MD Dt Palimo Kayo, sumando kami di Jambu Aia, Taluak, Banuhampu, dan yang saya kenal baik. Hampir seminggu saya di sana sehingga oleh staf kedutaan juga diantar jalan-jalan sampai lebih 100 km ke luar kota. melihat peninggalan sejarah lama. Saya juga mampir di Kairo, beberapa hari, dan jadi tamu dutabesar pula, ditempatkan di hotel kelas satu menghadap ke Sungai Nil. Melihat piramid, Al Azhar, mesjid-mesjid terkenal, musium, dan tentu saja, Sungai Nil. Anak-anak di sepanjang jalan yang saya lalui suka meneriakkan saya: Shin, Shin, yang artinya: Cina, Cina. Mereka kira saya orang Cina. Lucu juga melihat orang membawa roti bakar selebar niru hanya dengan ujung baju Mochtar Naim 3
  • 4. Biografi Ringkas Mochtar Naim gamisnya saja, dan meletakkan roti di atas meja tanpa alas sambil memakannya dengan campuran sayuran, daging, dan lain-lain di piring. Saya juga sempat mampir di Holland dan Inggeris sebelum meneruskan penerbangan ke Montreal. Pertama kali bertemu dengan salju saya sengaja membuka mulut saya lebar-lebar untuk langsung menampung dan merasakannya. Pada musim dingin pertama itu saya merasakan dinginnya suhu sampai 36 di bawah zero Fahrenheit, dengan angin kencang, sehingga ingus yang keluar jadi beku, dan bibir merengkah walau telah dioles dengan salap olesan tertentu. Belajar di luar negeri untuk pertama kali tentu saja merupakan pengalaman yang sukar untuk dituangkan dalam kata-kata. Walau selama di Yogya saya sengaja mengambil kursus bahasa Inggeris, dan membaca buku-buku yang dalam Bahasa Inggeris, tetapi ketika pertama kali harus membuka mulut untuk berbicara, lucu juga rasanya. Kadang, terasa ada terkatakan tidak. Tetapi waktu dan pembiasaan rupanya adalah obat yang paling mujarab. Saya tak pernah lupa dengan nasehat yang biasa diberikan kepada anak muda yang jolong pergi merantau, waktu di kampung dulu. Kamu boleh ongok (bodoh), tapi tak boleh lebih dari seminggu saja. Belajar tentang Islam di McGill juga membawa kesan tersendiri. Beda dengan ketika saya belajar Islam di PTAIN yang lebih bersifat normatif dan subyektif. sekarang melihatnya secara obyektif apa adanya. Dan obyek yang sama tidak hanya dipelajari secara tekstual tetapi juga kontekstual. Ibaratnya, rumah yang tadinya biasa kita lihat dari dalam saja, sekarang kita juga lihat dari luar, sambil juga memperbandingkannya dengan rumah yang lain- lain. Bergaul dengan bermacam suku bangsa, dengan berbagai macam latar belakang budaya, bahasa dan agama, serta warna kulit Mochtar Naim 4
  • 5. Biografi Ringkas Mochtar Naim dan postur tubuh yang berbeda-beda, tentu juga merupakan pengalaman yang sangat menarik, yang semua tentu tak akan terceritakan di sini. Lama-lama kitapun terbiasa, dan kitapun menjadi bagian dari mereka. Tahun 1960 saya mengakhiri studi saya di McGill dengan mendapatkan MA dalam Islamic Studies, dengan thesis: “The Nahdhatul Ulama Party (1952-1955): An Inquiry into the Origin of Its Electoral Success.” Pembimbing saya waktu itu adalah Profesor Rasyidi, yang sebelumnya jadi dutabesar RI di Kairo, kemudian Pakistan, dan di awal kemerdekaan jadi Menteri Agama pertama. Waktu itu juga mengajar di sana Prof Fazlul Rahman dan Prof Ismail Faruqi, yang kedua-duanya menoreh sejarah dalam dunia peradaban Islam. Dalam tesis itu saya mencoba menelusuri di mana letak rahasia kesuksesan Partai NU keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1955, dari hanya 8 kursi setelah keluar dari Masyumi tahun 1952 menjadi 55 kursi dalam Pemilu pertama tersebut. Peranan ulama di tengah- tengah kelompok ummat, terutama di Jawa Timur, ternyata memang sangat krusial dan menentukan. Saya melakukan riset tentang itu di Yale dan Cornell University, Amerika Serikat. Di Cornell saya menemukan bahan kepustakaan yang sangat kaya tentang Indonesia. Tidak jarang saya sampai pagi, sampaipun tertidur, di kantor pusat studi Indonesia Moderen di kampus Cornell, yang letaknya di punggung bukit dengan pemandangan indah ke danau Cayuga. Prof George McT Kahin yang menulis buku tentang gerakan nasionalisme di Indonesia jadi orang nomor satunya di sana waktu itu. Waktu di Yale saya menjadi asisten dari Prof Karl Pelzer, seorang ahli geografi ekonomi, yang ahli tentang masalah plantation di Sumatera Timur, dan Isidore Dyen, seorang profesor linguistik untuk bahasa-bahasa Malayo-Polinesia di Asia Tenggara dan Pasifik. Mochtar Naim 5
  • 6. Biografi Ringkas Mochtar Naim Ada setahun saya di Yale, di New Haven, dan tinggal bersama keluarga Pelzer di North Haven. Saya juga mengajar Bahasa Indonesia di Cornell dan menjadi ketua Summer Program mengajarkan Bahasa Indonesia kepada para pengajar Amerika yang akan berangkat ke Indonesia di Oswego College, State University of New York, di tepi danau Ontario. Saya diangkat sebagai profesor tamu waktu itu. Pernah juga sebentar, beberapa minggu, saya di Univ of Bridgeport, Conn., dengan Prof Justus van der Kroef, ahli masalah-masalah politik Indonesia. Karena situasi yang tidak menguntungkan di tanah air sebagai akibat pemberontakan PRRI, saya memutuskan untuk melanjutkan studi di New York University, New York, sambil mengajar Bahasa Indonesia di Dept of Anthropology and Sociology. Adalah Professor Rufus Hendon, ahli antropologi Indonesia dan ahli Bahasa Indonesia, yang datang mendekati saya ketika saya sedang duduk-duduk melepaskan lelah di Washington Square di kampus NYU. Beliau langsung bertanya dalam Bahasa Indonesia, apakah saya orang Indonesia. Bermula dari pertanyaan sederhana itu beliau lalu mengajak saya untuk turut mengajar di Program Indonesia di NYU itu. Dengan mengajar saya mendapatkan kuliah-kuliah secara gratis. Saya mengambil program PhD di bidang Sociology. Sementara itu tahun 1962 saya berumah tangga dengan mendatangkan isteri dari tanah air, kawan sesama mahasiswa di UII, dari Fakultas Hukum, yang kebetulan juga dari Minang, walau berlainan daerah. Asma Hassan dari Batipuah, Padang Panjang, sedang saya dari Banuhampu, Bukittinggi. Pertemuan kami pertama kali secara berhadap-hadapan punya kisah tersendiri, yang bagi kami tentu saja tidak akan pernah terlupakan. Yang mempertemukan kami adalah hujan lebat di suatu senja di mesjid Syuhada di Yogyakarta, tak lama sebelum saya berangkat ke Kanada tahun 1957. Kami terkurung dalam mesjid Mochtar Naim 6
  • 7. Biografi Ringkas Mochtar Naim karena hujan lebat. Asma baru selesai kuliah yang tempatnya di ruang kuliah di mesjid itu, sementara tinggalnya jauh di selatan keraton. Saya sendiri tinggal di asrama YASMA, langsung di selatannya mesjid. Waktu itu ada tiga orang kami yang terkurung dalam mesjid selesai melaksanakan ibadah maghrib. Saya, Asma dan seorang kawan saya seasrama, Aziz. Ketika memperkenalkan diri, Aziz memperkenalkan diri terlebih dahulu. Perkenalkan, saya, Aziz, Abdul Aziz Pattisahusiwa, dari Ambon. Dan sayapun memper- kenalkan diri, saya, Mochtar, Mochtar Naim, juga dari Ambon. Saya telah berbohong, sambil ketawa dalam hati, dan sekaligus menguji sampai sejauh mana gadis mahasiswi dari Minang ini tahu dan sensitif dengan berbagai macam orang yang datang dari berbagai daerah di Indonesia ini, dengan berbagai bentuk dan ciri- ciri khas kedaerahan dan etnisitasnya. Ternyata ampernya tidak bergoyang. Tidak ada reaksi atau komentar apapun. Sepertinya membenarkan, atau pikirannya sedang ke tempat lain; atau mungkin juga, karena waktu itu tak ada gadis yang langsung menatap wajah seorang pria yang sedang berada di hadapannya. Demikianlah, karena hujan tak segera mereda, kami usulkanlah agar dia pulang dengan becak saja, dan spedanya dititipkan di asrama kami. Kami berjanji akan mengantarkan spedanya besok pagi ke rumahnya di Jl Suryoputran di selatan kraton itu. Besoknya kami berdua mengantarkan, disuguhi teh panas, pembicaraan seperlunya, lalu kembali. Tak tahu dia, bahwa Mochtar yang mengaku dari Ambon ini sebenarnya sudah lama mengenal dia. Habis, sekian kali dalam seminggu si dia ini datang kuliah berspeda ke mesjid Syuhada, persis berhadapan dengan asrama. Melalui jendela asrama yang terbuka arah ke mesjid, apa-apa yang terjadi di mesjid itu bisa terlihat walau dari balik kain jendela. Sebagai gadis Mochtar Naim 7
  • 8. Biografi Ringkas Mochtar Naim Minang, Asma sejak dari sononya selalu berpakaian baju kurung dengan selendang tipis penutup rambut walau sekenanya. Asma yang cantik, periang dan suka bergaul, memang disenangi banyak orang; tak terkecuali dosennya sekalipun. Sayapun, jauh sebelum hari hujan itu sudah jatuh hati juga padanya, walau belum pernah bertemu bertatap-muka sebelumnya. Setelah tahu bahwa saya akan berangkat ke Kanada meneruskan studi, sayapun minta bantuan kepada kakak kelas Asma, Uni Aisyah Aminy, yang namanya kemudian tercatat sebagai anggota parlemen terlama dan tokoh pejuang wanita terkenal di Republik ini. Waktu itu belum lazim kalau pemuda-pemudi yang saling menyenangi menyatakan isi hatinya secara langsung-langsung, jangankan berpegang-pegangan tangan ataupun berindehoi seperti sekarang ini. Dalam perpisahan yang diadakan di asrama, Uni Aisyah berhasil membujuk Asma untuk juga hadir dan mengantarkan saya dengan sekian banyak kawan-kawan lainnya ke stasiun Tugu besok harinya. Bagaimanapun, sambil berjauhan, melalui bersurat-suratan, cinta berbalas. Tidak kurang 5 tahun lamanya ikatan itu baru dibuhul dengan perkawinan. Soalnya karena Asma masih harus menyelesaikan kuliahnya, sementara saya juga masih jauh di rantau, di negeri orang. Setamatnya di Fakultas Hukum UII, tahun 1962, Asma pun berangkat ke New York. Walau dikawinkan di kampung oleh kedua pihak keluarga, tanpa kehadiran seorangpun dari kami, kami ulangi kembali ijab-kabul dan resepsi pernikahan kami di hadapan syeikh dari Maroko dan Konsul Jenderal RI di Konsulat Jenderal RI di Manhattan. Kamipun diharuskan melakukan catatan pernikahan di Catatan Sivil di City Hall sebelumnya, dengan mengangkatkan dua jari tangan kanan, dengan mengucapkan … “Yes, I do,” untuk menjawab pertanyaan apakah kamu siap untuk menjadi suami-isteri. Mochtar Naim 8
  • 9. Biografi Ringkas Mochtar Naim Tahun 1965 anak pertama kami, Amelia, lahir, dan tahun berikutnya, 13 bulan kemudian, anak kedua kami, Emil, lahir, kedua-duanya di New York. Selama 8 tahun di New York di zaman Sukarno kami para mahasiswa Indonesia juga terbelah antara yang pro dan yang kontra rezim Orde Lama. Saya dengan WS Rendra, Muhammadi (kemudian, Prof Dr Muhammadi, Rektor Univ Muhammadiyah Jakarta, pernah sama-sama di PAH II BP MPR), Ahmad Padang (Dr ilmu politik Columbia Univ memilih menetap di New York sebagai sesepuh masyarakat Indonesia dan ketua pengurus mesjid Indonesia di Queens, dan bekerja jadi staf senior di PBB), dan sejumlah lainnya tergolong yang di seberang sana, dan kritis terhadap apapun yang berbau rejimentasi dan indoktrinisasi. Sebelum program Bahasa Indonesia di NYU ditutup karena memburuknya hubungan Indonesia-Amerika dengan “to hell with American aids” dari Sukarno, saya sudah sempat menyelesaikan semua persyaratan perkuliahan saya untuk PhD di bidang Sosiologi tapi belum lagi menyiapkan disertasi. Saya sempat bekerja dengan Perutusan Tetap Indonesia ke PBB sebagai tenaga staf lokal di bidang Sosial-Politik di New York sebelum memutuskan pulang ke Indonesia tahun 1968. Saya memilih langsung pulang ke Padang, dengan mampir di beberapa kota di Eropah dan sekaligus naik haji sekeluarga. Kami ikut rombongan haji dari kedutaan, yang berangkat sama-sama dari Kairo, Mesir, dan dari antaranya adalah Pak Mohammad Rum dan Ibu. Waktu kami di New York beliau juga sudah sempat ke rumah kami di Lefrak City, Queens. Di Padang kami mendirikan Pusat Studi Minangkabau (Center for Minangkabau Studies). Selama tiga tahun berturut-turut (1968- 1970) saya menggiatkan penelitian-penelitian di bidang masyarakat dan kebudayaan Minangkabau, mengadakan seminar-seminar Mochtar Naim 9
  • 10. Biografi Ringkas Mochtar Naim berskala nasional dan internasional mengenai Minangkabau. Keunikan Minangkabau di dunia akademik adalah karena sistem kekerabatannya yang matrilineal, di mana “women reign but not rule.” Juga sistem sosialnya yang egaliter dan demokratis, dengan orientasi filosofinya yang cenderung sintetik dan universal, bukan sinkretik dan mistik-panteistik seperti di Jawa. Saya juga menyempatkan diri untuk menjadi tenaga pengajar luar-biasa di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Pertanian Universitas Andalas tanpa pernah berkeinginan untuk menjadi pegawai negeri. Saya juga pernah jadi dosen luar biasa di Fakultas Hukum Muhammadiyah di Bukittinggi, ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) di Padang Panjang, dan program Pasca Sarjana di IKIP Padang -- sekarang UNP: Universitas Negeri Padang. Awal tahun 1971, dengan dorongan dari Dr Peter Weldon yang sudah saya kenal sebelumnya di New York, saya mendapatkan fellowship dari Ford Foundation yang berbasis di Bangkok untuk melakukan penelitian tentang merantau yang saya siapkan sebagai disertasi saya di University of Singapore, dengan judul: “Merantau: Minangkabau Voluntary Migration.” Saya lahir di rantau, merantau ke mana-mana, sambil buminya dipijak, langitnya dijunjung, airnya disauk, rantingnya dipatah. Saya menulis tentang merantau itu, sekarang secara akademik dari segi pandangan sosiologi migrasi. Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia: “Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau” (373 hlm) diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, tahun 1979, dengan cetak ulang tahun 1984, dan dipakai secara luas di banyak universitas di Indonesia sebagai buku rujukan di bidang sosiologi, dan khususnya sosiologi migrasi. Untuk melakukan riset tentang merantau, saya beroleh kesempatan mengunjungi banyak daerah dan banyak kota di Indonesia di mana perantau Minang banyak didapatkan. Saya bahkan mendapat kesempatan untuk melakukan riset merantau Mochtar Naim 10
  • 11. Biografi Ringkas Mochtar Naim sampai ke Mindanau dan Sulu di Filipina, di mana, dari catatan sejarah mereka (Tarsila), mereka mengaku bahwa raja mereka (Raja Baginda) berasal dari Minangkabau. Pendiri kota Manila, Raja Suleman, menurut Tarsila mereka, juga berasal dari tanah Minang, melalui jalur Brunei, Serawak, dan Johor. Sebuah paper mengenai merantau telah saya lontarkan sebelumnya di hadapan International Congress of Orientalists yang ke 28 di Canberra, Australia (6-12 Jan 1971), sebelum saya hijrah ke Singapura. Selama sembilan bulan pertama di Singapura (Maret-Des 1971), saya mendapatkan residence research fellowship dari Institute of Southeast Asian Studies, di mana saya memproses hasil penelitian saya mengenai merantau dengan memanfaatkan data processing system IBM dari Univ of Singapore, yang waktu itu masih pakai sistem kartu. Untuk menuliskannya menjadi disertasi dan terdaftar sebagai kandidat doktor di Dept of Sociology, Univ of Singapore, saya sekali lagi dapat post graduate fellowship dari Ford Foundation atas rekomendasi dari Prof Dr Hans-Dieter Evers, ketua Dept of Sociology. Saya tercatat sebagai mahasiswa lulusan pertama program doktor di bidang Sosiologi di universitas tersebut, tahun 1974. Saya dibimbing oleh tiga advisor, Prof Hans-Dieter Evers, Dr Geoffrey Benjamin, dan Dr Peter Weldon. Yang menguji saya termasuk Prof Husein Alatas, Ketua Dept of Malay Studies, juga seorang sosiolog lulusan universitas di Belanda, keturunan Arab dari Jawa Barat, yang adalah juga kawan saya ketika masih di Islam Study Club (ISC) di Yogya dahulu. Profesor Alatas kemudian pindah ke Univ Malaya di KL dan ikut aktif berpolitik dan menulis dengan penanya yang tajam dan digemari. Penguji lainnya termasuk Prof Sandu Singh, Direktur dari Institute of Southeast Asian Studies, dan Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Univ of Singapore. Sementara itu (1973-1974) sayapun diangkat menjadi Research Director dari Regional Institute of Higher Education and Mochtar Naim 11
  • 12. Biografi Ringkas Mochtar Naim Development (RIHED), Singapura. RIHED adalah lembaga penelitian mengenai perguruan tinggi yang disponsori oleh negara- negara Asean. Selama di RIHED saya banyak melakukan kunjungan-kunjungan studi dan seminar ke Malaysia, Thailand dan Indonesia. Sewaktu masih di Padang, dan sibuk-sibuknya menggerakkan seminar-seminar dan penelitian tentang Minangkabau, anak kami ketiga, Elvira, lahir (1970), dan ketika kami di Singapura, anak kami keempat, Meuthia, bungsu, lahir (1972). Amelia dan Emil sempat masuk sekolah Indonesia di Singapura. Kembali ke tanah air, tahun 1974, menjadi tenaga ahli yang diperbantukan pada Departemen PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik); mula-mula sebagai tenaga peneliti pada Proyek Perencanaan Pembangunan Pasaman Barat, di Bukittinggi, bekerja- sama dengan GTZ dari Jerman Barat. Lalu jadi Kepala Pusat Dokumentasi Perencanaan Kota dan Daerah (PUSIDO) di Bukittinggi, dan kemudian dipindahkan ke Medan, tahun 1978, sebagai Kepala Northern Sumatra Regional Planning. Ketika di Medan, sempat selama satu setengah bulan melakukan study tour ke beberapa negara bagian Amerika Serikat di bagian Selatan dengan tim dari Bappenas dan Dep PUTL. Sementara sebelumnya, ketika masih bertugas di Bukittinggi, mengikuti UN Seminar on Social Welfare Policies in Asian and Pacific Countries, di Manila, dari 29 Nov sampai 17 Des 1976. Tahun 1979-1980 jadi Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu- Ilmu Sosial (PLPIIS) di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, Makasar sekarang. Tahun 1980 kembali ke Padang untuk mempersiapkan Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Andalas. Ketika Fakultas Sastra diresmikan, tahun 1982, saya diminta jadi dosen tetap mengajarkan Sosiologi dan mata-mata kuliah terkait. Selama ini saya hanya jadi dosen luar biasa dan tidak Mochtar Naim 12
  • 13. Biografi Ringkas Mochtar Naim pernah meminta jadi pegawai negeri. Di Padang, bahkan di seluruh Sumatera waktu itu, belum ada sosiolog dengan gelar doktor, untuk bisa mengajarkan sosiologi dan ilmu-ilmu terkait. Saya diangkat jadi pegawai negeri sebagai dosen tetap atas desakan Rektor Mawardi Yunus dengan dispensasi dari Presiden, karena saya telah berumur 50 tahun waktu itu. Tahun 1988 saya pensiun tanpa hak pensiun, karena saya hanya sempat jadi pegawai negeri selama enam tahun, dan tidak pernah meminta kenaikan pangkat. Buah pisang itu rupanya masak di batang sendirinya. Saya masuk dengan pangkat IIIB dan keluar juga IIIB. Prestasi apapun secara akademik yang sudah saya lakukan sebelum diangkat jadi pegawai negeri secara mancanegara rupanya luput dari pertimbangan. Saya hanya dihitung sebagai fresh dari S3. Ketika saya kemudian diminta oleh Rektor Yurnalis Kamil menyerahkan karya-karya tulis saya untuk dinilai, ternyata nilai kumulatif cumnya melebihi dua kali dari yang diperlukan untuk gelar profesor. Tapi Senat universitas pada waktu itu menolaknya karena saya termasuk dari jumlah yang sedikit di Sumatera Barat dan di Unand khususnya yang kritis dan vokal terhadap Orde Baru. Prof Mawardi Yunus yang adalah juga seorang penghulu (datuk) dan ahli adat, pernah mengatakan kepada saya: di Minang ada pepatah, rumah sudah, tukangnya dibunuh. Namun gelar profesor, di samping gelar Dr, sering dialamat- kan orang kepada saya, walau pangkat saya resminya cuma IIIB ketika jadi dosen tetap di Unand. Di luar negeri, bagaimanapun, ke manapun dan di manapun saya mengajar atau berseminar saya diperlakukan dan dikualifikasikan sebagai profesor. Sekarangpun, walaupun secara terbuka saya mengatakan bukanlah profesor, tetapi orang dan kawan-kawan, di MPR-RI sebelumnya dan di DPD-RI sekarang, suka saja memanggilkan saya profesor. Karena tidak terlihat ada nada melecehkan, akhirnya saya biarkan saja. Bosan saya Mochtar Naim 13
  • 14. Biografi Ringkas Mochtar Naim tiap kali harus menyangkal hal yang sama. Tapi yang saya, jangankan memanggilkan diri professor, gelar doktorpun tak pernah saya pakai, kecuali kalau terpaksa harus mengisinya dalam formulir yang menanyakan itu. Selama jadi dosen di Unand (1980-1988) saya banyak beroleh kesempatan melakukan kunjungan-kunjungan studi, menghadiri seminar-seminar, di samping juga memberikan kuliah di beberapa universitas di dalam dan luar negeri. Ketika masih dalam memper- siapkan Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Sosial di Unand, saya melakukan kunjungan ke berbagai universitas di Belanda, Jerman dan Inggeris. Tujuan utama waktu itu adalah untuk menjalin kerjasama exchange programs ketika Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial nanti berdiri. Fakultas yang baru sekalipun akan cepat dikenal jika kita terlebih dahulu memperkenalkan diri dan mengajak mereka kerjasama dalam kegiatan perkuliahan dan penelitian bersama. Ketika saya masih aktif di Unand, banyak tenaga-tenaga pengajar luar negeri yang mengajar dan menjadi peneliti tamu di fakultas kami. Saya menghadiri Simposium on the Socio-political and Economic Structures in Minangkabau, dalam kaitannya dengan Inter-Congress of the International Union of Anthropological and Ethnological Sciences, di Amsterdam, bulan April 1981, dengan juga menyampaikan makalah: “Implications of Merantau for Social Organization in Minangkabau” (dimuat di Lynn L Thomas & F von Benda-Beckmann, eds, Change and Continuity in Minangkabau: Local, Regional and Historical Perspectives on West Sumatra, Ohio U Monographs in International Studies, Southeast Asia Series No 71, Center for Southeast Asian Studies, Athens, Ohio, 1985). Saya menjadi visiting scholar di Universitas Leiden dan memberi seminar pada Universitas Bieleveld di Jerman pada tahun yang sama. Ketika itu yang menjadi Dekan dari Fakultas Sosiologinya adalah Profesor Hans-Dieter Evers, promotor dan Mochtar Naim 14
  • 15. Biografi Ringkas Mochtar Naim advisor saya ketika menyiapkan disertasi di Universitas Singapura. Beliau waktu itu adalah Ketua Jurusan Sosiologi di Universitas Singapura. Saya telah mengenal beliau ketika saya pernah menjadi asisten dan melakukan penelitian di Universitas Yale, sementara beliau sudah profesor juga waktu itu di Yale. Beliau pernah tinggal di Padang melakukan penelitian di bidang sosiologi pembangunan ketika saya sudah di Padang. Selama Okt-Nov 1983 saya termasuk dari tiga scholar dari Asia (dua lainnya dari RRC dan Nepal) yang diundang oleh Canadian Center for Southeast Asian Studies, Univ of Toronto, Canada, untuk menghadiri 13th Annual Conference, CCSEAS, Univ of Toronto, dan melakukan roving seminar (seminar keliling) ke 11 universitas di Kanada, dari Univ of New Foundland di pantai Timur Atlantik sampai ke Univ of British Columbia di pantai Barat Pasifik, dengan topik bahasan: “Asian Perceptions on the Canadian Development Aid in the Third World Countries.” Pada kesempatan yang sama saya juga mampir di alma mater saya, McGill University, Montreal, menyampaikan makalah tentang “Labor Migration in Indonesia.” Saya sempat mengunjungi dan berjumpa dengan sejumlah profesor dan berbincang-bincang dengan kawan-kawan kolega Indonesia yang mengambil Islamic Studies di pusat kajian Islam di McGill itu. Selama musim dingin tahun 1984 saya menjadi Visiting Scholar di University of Kent di Canterbury, England, mempelajari dari dekat bagaimana sebuah fakultas ilmu-ilmu sosial dikelolakan dengan sekian banyak jurusan, program studi dan segala seluk- beluknya. Saya juga memberikan seminar mengenai “Minangkabau Migratory Patterns” yang saya angkatkan dari disertasi saya. Hal yang sama saya lakukan juga sebagai British Council visiting research scholar di SOAS London School of Economics, University of London. Mochtar Naim 15
  • 16. Biografi Ringkas Mochtar Naim Pada musim panas tahun 1986 saya diundang jadi Visiting Professor di Universitas Frankfurt dalam sebuah program musim panas mengenai Indonesian studies; di mana saya memberikan kuliah-kuliah tentang Peoples and Cultures of Sumatra. Pada musim gugur tahun 1986 yang sama, selama hampir setahun (1986-1987) saya menjadi Visiting Research Scholar di University of Kyoto Center for Southeast Asian Studies, Jepang. Pada waktu yang bersamaan pada waktu itu juga ada Dr Melly Tan dari LIPI. Saya disponsori oleh Tsuyoshi Kato, professor peneliti di lembaga yang sama, yang ahli tentang antropologi Minangkabau dan menulis disertasi di Cornell juga mengenai merantau: “Minangkabau Matriliny and Migration.” Saya di sana melakukan penelitian tentang konflik dan raprosemen budaya Minang dan Jawa: “Conflict and Integration: The Minangkabau and the Javanese in the Dialectics of Nusantara Culture.” Sejak awal 1980-an secara akademik saya telah melansir sebuah konsep dialektika budaya yang waktu itu cukup populer dan sekaligus polemikal dan kontroversial, yaitu perbandingan pola budaya J dan M. Budaya J (Jawa) berada di satu kutub sementara budaya M (Minang) di kutub yang lain dari spektrum budaya Nusantara yang memang sangat beragam. Budaya J melambangkan budaya vertikal, hirarkik, sentripetal, sentralistik, feodalistik, sinkretik, sementara budaya M melambangkan budaya horizontal, egaliter, sentrifugal, desentralistik, demokratik, sintetik. Pergumulan Indonesia sekaligus dilambangkan oleh pergumulan antara kedua kutub budaya yang saling tarik-menarik dalam dialektika budaya Nusantara itu. Saya pertama kali menyampaikannya tahun 1980 pada sebuah seminar internasional mengenai kebudayaan Minangkabau di Bukittinggi yang memang dihadiri oleh banyak peserta dari mancanegara. Mungkin waktu itu “the right topic in the wrong time,” Mochtar Naim 16
  • 17. Biografi Ringkas Mochtar Naim karena di masa Orde Baru yang ditekankan adalah keserasian dan keseragaman, bukan konflik dan keragaman. Dunia akademik yang mestinya harus lugas dan apa adanya, dan melihat konflik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, ternyata juga harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Apalagi yang namanya akademisi itu rata-rata adalah juga pegawai negeri, dan wajib jadi anggota dari partai pemerintah: Golkar – sementara saya menolaknya. Bagaimanapun, saya harus menanggungkan akibatnya. Rektor Mawardi Yunus sampai garuk-garuk kepala, kok itu yang Bapak angkatkan!, katanya. Selama di Kyoto saya bersama isteri dan dua anak: Elvira dan Meuthia, yang kedua-duanya masuk sekolah Jepang, Chu Gakko. Meuthia di tingkat SMPnya dan Elvira di tingkat SMA. Mereka nyaris dicemplungkan dalam situasi belajar yang asing sama sekali tanpa mengenal satu patah katapun bahasa Jepang sebelumnya. Untungnya mereka pandai berbahasa Inggeris, sehingga komunikasi dengan guru-guru sedikit banyak tertolong. Setelah melewati masa krisis dalam penyesuaian diri, akhirnya ketagihan. Dan mulai pandai berbahasa Jepang. Bahkan minta ditinggal saja setelah dekat waktu kami harus pulang. Keempat-empat anak kami setelah menyelesaikan SMA mereka di SMA 2 Padang, semua satu per satu masuk ITB, dan sarjana ITB dalam berbagai disiplin ilmu. Tiga dari antaranya meneruskan ke S2 di luar negeri. Amelia ke Colorado U, dari Teknik Industri di ITB mengambil Business Administration, dengan suami, Indra Januar, ambil S3 di bidang electrical engineering dengan kekhususan dalam fiber optics. Elvira dari Planologi di ITB ke Public Policy di NUS, universitas yang sama dengan saya, bapaknya. Elvira mendapat jodoh seorang sarjana S1 jurusan Metalurgi dari FT UI dan bekerja di Garuda. Meuthia dari S1 Kimia Murni di ITB ke Leeds U di Inggeris, bersama suami, Mochtar Naim 17
  • 18. Biografi Ringkas Mochtar Naim Suyudi, dua-dua mengambil Environmental Economics untuk MSc, dan dua-dua bekerja di KLH. Emil, dari Elektro di ITB, berkerja dengan perusahaan minyak Amerika di Balik Papan. Suka dikirim ke luar negeri oleh perusahaan, dan tiap sebentar mondar-mandir BP- Jkt urusan dinas perusahaan. Emil mendapatkan jodoh dengan sarjana Bahasa Jepang, yang bapaknya dulu juga sekuliah dengan Asma di Fakultas Hukum UII. . Jarak beberapa minggu saja, pada tahun 1988, saya diundang lagi sebagai research associate di Institute of Developing Economies, Tokyo, untuk enam bulan, sekarang penelitian mengenai pola manajemen rumah makan Padang: “Minangkabau Restaurant Management Patterns: A Search for an Indigenous Prototype of Indonesian Production Sharing Enterprise.” Penelitian ini adalah melanjutkan penelitian yang sama yang saya lakukan bersama beberapa kawan wartawan muda di Padang dengan survei lapangan yang kami lakukan di kota Padang dan Jakarta. Hasil penelitian bersama ini diterbitkan oleh Yayasan Obor (Mochtar Lubis) dengan judul: Jurus Manajemen Prototipe Ekonomi Pancasila (1988). Di Tokyo saya melakukan survei perbandingan dengan sejumlah restoran Jepang dengan fokus pada sistem manajemen dan hubungan majikan dengan para karyawan serta sistem penggajian dan bonus-bonusnya. Menarik, memang, memperbandingkan dua sistem manajemen yang jelas berbeda, tapi punya kesamaan dalam semangat kerjasamanya yang dilandaskan kepada kebersamaan yang bersifat sentrifugal, other-oriented, dan bukan sentripetal, ego-oriented. Pada sistem Jepang, kepala ataupun pemilik berperan sebagai “bapak,” tetapi bapak yang memperhatikan kepentingan dan kese- jahteraan anak-anak, artinya, anak buahnya. Sifat paternalismenya memang kental sekali, tetapi paternalisme yang berorientasi sentrifugal, bukan sentripetal. Mochtar Naim 18
  • 19. Biografi Ringkas Mochtar Naim Di Minang, yang ditekankan adalah kerjasama yang bersifat egaliter dan saling menguntungkan, dengan prinsip profit sharing, syirkah, atau bagi keuntungan, dengan sistem mato (points). Merit seseorang ditentukan kepada fungsi, lama bekerja, kecekatan, kesediaan bekerja sama dengan saling kontrol, dsb. Makin tinggi fungsi, lama berkerja, kecekatan, kesediaan bekerjasama, dsb, itu makin tinggi jumlah mato yang didapatkan. Karenanya sifatnya dinamis. Namun rentang antara yang paling tinggi dengan yang paling rendah tidak terlalu besar. Pemilik modal mendapatkan bagian keuntungan bervariasi dari 25-30 % di kampung dengan 50 % di rantau. Tukang masak biasanya mendapatkan mato tertinggi, sesudah itu baru kepala hidang, kasir, juru hidang lainnya, dan tukang cuci piring pun ikut ke dalamnya. Oleh karena itu sistem gaji atau upah tidak dikenal. Masa berhitungnya biasanya sekali seratus hari. Selagi masih aktif mengajar di Unand di tahun 1980-an itu, saya banyak mengarahkan para mahasiswa untuk melakukan peneli- tian-penelitian. Mana-mana penelitian yang didapatkan melalui proyek-proyek dengan Departemen-departemen, dsb, selalu dengan melibatkan tenaga-tenaga mahasiswa, dan di lapangan bersama mereka saya melakukan bimbingan dan melakukan alih pengetahuan dan pengalaman kepada mereka. Pengalaman yang saya dapatkan selama belajar di luar negeri saya berikan pula kepada mereka. Biasanya honor yang didapatkan selalu dibagi dua, separoh untuk saya, dan separoh untuk mereka bersama-sama. Cara-cara seperti ini ternyata berkesan dalam, bagi mereka dan bagi saya juga sebagai pendidik dan pembimbing. Saya tidak pernah melakukan hubungan yang kaku dan formal dengan mereka, tetapi memperlakukan mereka sebagai sahabat dan partner, di dalam maupun di luar kelas, seperti yang dahulu saya dapatkan ketika saya belajar di Kanada dan Amerika. Mochtar Naim 19
  • 20. Biografi Ringkas Mochtar Naim Buah ini sempat juga saya petik nikmatnya, ketika saya mencalonkan diri sebagai anggota DPD-RI tahun 2004 yl, di mana tanpa harus melakukan kampanye sekalipun, merekalah ternyata yang merayap ke mana-mana menyebarkan nama saya. Saya sendiri waktu itu bahkan ada di Univ of Michigan, di Ann Arbor, AS, selama lima bulan, ketika orang sedang sibuk-sibuknya memper- siapkan pemilu. Saya baru kembali ke Padang ketika orang sudah mulai berkampanye. Saya tak sekalipun ikut berkampanye seperti orang-orang itu kecuali memberikan ceramah di kampus-kampus dan di mesjid-mesjid. Yang saya ceritakan justeru adalah mengenai pesatnya perkembangan Islam di Amerika seperti yang saya lihat. Menceritakan perkembangan Islam di Amerika, sampai di mesjid dekat kampus University of Michigan, di Ann Arbor, orang shalat Jumat sampai bergantian dua kali, karena mesjidnya yang cukup besar tapi tidak muat untuk sekali berjumat. Bagi audiens ternyata itu lebih menarik daripada mendengarkan janji-janji kosong yang belum tentu akan dipenuhi. Saya hanya di ujung ceramah menitip- kan pesan dengan kata-kata sederhana saja: “Jangan lupa nomor 20.” Kebetulan nomor saya nomor 20, sama dengan nomor Golkar. Tidak tahu saya siapa yang menolong siapa dengan kesamaan angka itu. Di Sumbar Golkar ternyata unggul juga. Mungkin karena Sumbar merasakan nikmat berada di bawah rezim Orde Baru. Pemerintah Orde Baru cenderung memberi hati kepada Sumbar karena pengalaman pahit selama masa PRRI. Untung juga, tuba dibalas dengan madu, untuk pembangunan yang bersifat fisik, tetapi yang bersifat kultural, tidak. Pola M yang mestinya tampil meng- gantikan pola J ketika bandul pendulum beralih ke pola M yang demokratik dan egaliter tidak terjadi di awal pergantian rezim, dari Orde Baru ke era Reformasi. Bukti bahwa pola J dan M harus diterjemahkan dalam konteks dan konstelasi budaya N (Nusantara) yang didominasi oleh budaya J. Mochtar Naim 20
  • 21. Biografi Ringkas Mochtar Naim Pengalaman belajar dan mengajar di luar negeri, jika diterapkan di tanah air sendiri, memang banyak faedahnya dan memberikan suasana tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Selama mengajar di Unand, baik ketika masih sebagai pengajar luar biasa di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Pertanian, maupun setelah menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial (yang kemudian dipisah), saya hanya menerapkan prinsip: firm but gentle. Dalam hal disiplin waktu, saya adalah Pak Hattanya Unand. Biasanya lima menit setelah kuliah dimulai, dan saya sudah ada di depan kelas teng pada waktunya, pintu ditutup. Tak seorangpun yang bisa masuk lagi, apapun alasannya. Akibatnya, tak satupun yang terlambat, dan mau terlambat. Yang memang terlambat, risikonya, tak bisa masuk. Jadinya, saya lihat, bukan saja yang resmi mendaftar, yang tak resmi mendaftar pun banyak yang ikut di kuliah saya. Walaupun masih di tahun pertama, saya melaksanakan sistem kuliah aktif. Setelah di hari-hari pertama dijelaskan topik dan ruang lingkup dari perkuliahan, dan dituangkan dalam bentuk silabus, pekerjaan lalu dibagi-bagi dan kelas dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok diskusi, sesuai dengan bab-bab dari buku teks pegangan dan silabus yang dipakai. Setelah saya memberikan kuliah yang sifatnya memberikan garis besar dari permasalahan yang dibicarakan, masing-masing kelompok tampil menyampaikan resume dari buku-buku yang dibaca, lalu diskusipun terjadi. Saya sendiri tidak pernah duduk terpaku di belakang meja. Atau membikin sketsa-sketsa, matriks- matriks, atau catatan istilah-istilah yang dipakai, di papan tulis, atau mundar-mandir di ruang kelas, sambil melayangkan tunjuk ke mahasiswa untuk menanyakan apapun dari masalah yang sedang dibahas. Arah tunjuk yang tidak pernah diprediksi ke mana perginya menyebabkan mereka juga selalu alert. Dengan diselang-selingi oleh Mochtar Naim 21
  • 22. Biografi Ringkas Mochtar Naim contoh-contoh kasus yang terkait dengan permasalahan, suasana perkuliahan biasanya ramai dan bergairah. Melalui itu pemantauan bakat dilakukan. Segera bisa diketahui mana mahasiswa yang menonjol, mana yang tidak. Mana yang memang pintar, mana yang medioker. Tetapi tidak ada yang merasa teralienasi. Mana yang menonjol dan memperlihatkan kebolehannya langsung diangkat sebagai asisten dan pemimpin kelompok diskusi – walau baru di tahun pertama. Hubungan yang hampir tidak mengenal jarak ini bagi para mahasiswa sendiri ternyata menggairahkan dalam belajar dan berekspresi. Lama setelah mereka selesai, yang sekarangpun sudah ada yang jadi doktor dan profesor, hubungan ini tetap akrab, walau fisik berjauhan. Setelah saya berhenti di Unand kesibukan saya ternyata tidak berkurang, malah bertambah-tambah. Kecuali sibuk dengan berba- gai penelitian pesanan dari berbagai Departemen dan lembaga- lembaga, saya juga banyak diminta untuk memberikan makalah pada berbagai macam seminar, dan ceramah-ceramah. Daftar Karangan dalam buku Kumpulan Karangan ini memperlihatkan bahwa nyaris tidak ada bulan tanpa saya menulis makalah atau tulisan apapun yang dimuat di surat kabar atau di manapun, atau dibukukan. Sebuah proyek pribadi yang telah saya mulai sejak saya kembali ke Padang dari Makasar di awal 1980-an, dan berlanjut sampai hari ini, adalah penyusunan Kompendium Al Qur`an yang diklasifikasi-kan secara tematik-maudhu’i menurut pengklasifikasian ilmu pengetahuan cara sekarang. Ide ini bermula ketika saya masih jadi mahasiswa di Institute of Islamic Studies, McGill University, di Montreal, Kanada, akhir 1950-an. Ketika itu kami dibimbing bagai- mana melakukan penelusuran kepustakaan dari masalah yang kita cari. Termasuk tentunya dari apa yang ada dalam Al Qur`an. Waktu Mochtar Naim 22
  • 23. Biografi Ringkas Mochtar Naim itu di samping Fathur Rahman, yaitu buku indeks dalam mencari kata dalam Al Qur`an, juga a.l. ada buku indeks yang sifatnya topikal dari Jules la Baume, misalnya, yang judulnya: Le Koran Analyse. Namun, sistematika pengklasifikasian yang dipakai oleh La Baume tidaklah menurut pengklasifikasian ilmu seperti sekarang tetapi menurut cara dia sendiri. Sejak itu terpikir oleh saya, bagaimana kalau satu waktu saya yang melakukannya. Membaca dan memahami Al Qur`an yang menjadi pegangan hidup orang Islam, ternyata tidaklah segampang seperti yang dikirakan; pada hal Al Qur`an itu dikatakan sebagai hudan, petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Al Qur`an nyatanya lebih untuk dibaca dan dilagukan, tanpa tahu atau perlu tahu tentang yang dibaca dan dilagukan itu. Muslim awam rata-rata tidak tahu di mana letaknya ayat-ayat yang berkaitan dengan sesuatu topik atau mas- alah, sehingga orang Islam dalam kenyataannya jauh dari petunjuk Al Quran itu. Ide ini pertama kali saya lontarkan dalam sebuah pengajian dari kelompok intelektual di Mesjid Maipa, dekat pantai Losari, Makasar. Saya waktu itu jadi Direktur dari Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial di Unhas akhir 1970-an. Mesjid Maipa satu-satunya mesjid waktu itu yang full AC. Setiap Minggu subuh setelah shalat shubuh berjamaah langsung diikuti dengan pengajian dengan topik yang berbeda-beda dan penceramah yang juga berbeda-beda. Pengunjungnya kebanyakan adalah para sarjana dari berbagai universitas dan perguruan tinggi yang tujuannya adalah juga untuk bersosialisasi dan saling kenal mengenal satu sama lain. Pada waktu itulah saya melontarkan ide untuk secara bersama- sama menyusun ayat-ayat Al Qur`an yang disusun secara topikal itu. Ternyata mendapatkan respons yang positif. Namun sampailah waktunya saya harus kembali ke Padang untuk membantu memper- siapkan Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial itu, sehingga yang tergarap barulah beberapa juz saja yang dikerjakan secara kolektif Mochtar Naim 23
  • 24. Biografi Ringkas Mochtar Naim bersama-sama dan masih dalam upaya uji-coba dan dengan trial and error. Proyek inilah yang saya mulai kembali di Padang, yang sekarang saya lakukan sendirian. Untungnya di awal 1980-an itu komputer sudah masuk ke Padang, dan saya termasuk yang mula- mula memanfaatkan komputer untuk melakukan klasifikasi ayat- ayat Al Qur`an secara topikal-maudhu’i itu. Sekarang sudah lima jilid yang diterbitkan; yaitu Kompendium ayat-ayat Al Qur`an yang berkaitan dengan Fisika dan Geografi (495 halaman); Botani dan Zoologi (228 halaman); Biologi dan Kedokteran (390 halaman); Hukum (761 halaman); dan Ekonomi (250 halaman). Tiga jilid lagi tinggal menerbitkan, yaitu yang berkaitan dengan Qashash atau Kisah-kisah dalam Al Qur`an; Eskatologi, yaitu yang berkaitan dengan Akhirat, ganjaran Surga dan Neraka; dan Himpunan ayat- ayat Do’a dalam Al Qur`an. Ternyata bahwa bahagian besar dari doa-doa yang kita baca setiap hari berasal dari Al Qur`an. Yang belum dimulai sama sekali justru adalah yang paling mendasar, yaitu yang berkaitan dengan aqidah dan etika. Mudah-mudahan Allah memberi kelapangan dan umur panjang untuk bisa menyelesaikan- nya, amin. Lembaran baru di era 1990-an dan memasuki abad ke 21 ini ternyata juga memberi warna tersendiri, di mana saya mulai mema- suki dunia politik justru di hari sudah mulai berembang petang ini. Sambil saya terus menulis, memberikan ceramah-ceramah dan menyampaikan makalah-makalah di berbagai seminar, dsb, di awal 1990-an saya mulai diajak untuk memasuki dunia politik. Selama ini saya lebih banyak sebagai pengamat yang kritis atau simpatisan pinggiran. Adalah Pak Natsir yang pertama kali menelepon saya ke rumah di Padang agar saya ikut membantu Partai PPP. Partai PPP katanya memerlukan dukungan dan keikut-sertaan dari para intelek- Mochtar Naim 24
  • 25. Biografi Ringkas Mochtar Naim tual muslim untuk memperkuat partai dari dalam. Saya sesudah itu juga ditelepon oleh Ismail Hasan Meutareum, Ketua Umum PPP waktu itu, mengajak saya berkiprah di PPP. Ajakan itu kemudian saya terima. Dan saya didudukkan sebagai Ketua Majelis Pertim- bangan Wilayah (MPW) di DPW PPP Sumbar. Jadilah saya setelah itu benar-benar orang partai, tapi orang partai yang ke dalampun suka menyampaikan kritik dan tegur-sapanya. Karena saya ditempatkan di kelompok senior dalam partai, maka sayapun berusaha menempatkan diri sesuai dengan ekspektasi partai. Karenanya saya tidak terlalu jauh mencampuri urusan dalam partai yang banyak digeluti oleh kelompok teras yang duduk dalam DPW dan yang relatif masih lebih muda. Untungnya saya sudah dikenal luas dalam partai, dan dalam masyarakatpun, karena nama dan peranan yang saya mainkan selama ini dalam masyarakat, sehingga sayapun tidak memerlukan penyesuaian diri yang banyak dalam partai. Saya merasakan bahwa kehadiran saya dalam partai- pun didambakan oleh para anggota, dan sayapun senang karenanya. Ketika Pemilu tahun 1992 dan 1997 dilakukan, nama sayapun dicantumkan sebagai calon untuk duduk di DPR RI. Walau nama saya termasuk yang terletak di papan atas, namun yang terpilih tetap adalah yang duduk di DPP di Jakarta; karena mereka dicalonkan di daerah mereka masing-masing, dan nama mereka disorongkan dari atas. Ketika Reformasi terjadi, Prof Deliar Noer mengajak saya untuk ikut mendirikan partai Islam, dengan nama Partai Ummat Islam. Karena PPP yang didorong oleh Suharto untuk legitimasi bagi demokrasi rezim Orde Barunya, waktu itu bukanlah partai yang berdasar Islam, tapi Pancasila, sementara saya menginginkan adanya partai yang berdasar Islam, seperti Deliar Noer dkk, maka sayapun menulis kepada Pimpinan, via Ketua Umum, PPP, untuk keluar dari partai dan bergabung dengan PUI. Di PUI saya ditunjuk menjadi Mochtar Naim 25
  • 26. Biografi Ringkas Mochtar Naim Ketua DPW PUI Sumbar. Tugas saya adalah membentuk partai dan mengembangkannya ke seluruh Sumbar dengan mendirikan cabang dan ranting. Ketika tiba waktunya DPRD Sumbar, seperti juga DPRD lain- lainnya di seluruh Indonesia, untuk memilih wakil-wakil daerah untuk duduk di MPR-RI, saya dicalonkan. Yang mengusulkannya adalah Forum Ukhuwwah Partai-Partai Islam yang beberapa saat sebelumnya saya ikut menggerakkannya. Walau PUI hanya punya seorang wakil di DPRD Sumbar, tetapi saya didukung oleh hampir semua partai yang ada di DPRD. Karena pada hari pemilihan itu saya telah membikin komitmen sebelumnya untuk memberikan Seminar mengenai “Madrasah Unggulan” di IAIN Pekanbaru, saya minta kepada pimpinan Dewan supaya saya didahulukan memberi- kan orasi untuk menjawab pertanyaan, kenapa saya mencalonkan diri. Begitu saya selesai, dengan jatah waktu hanya tujuh menit, saya langsung pamit dan mengejar pesawat yang ke Pekanbaru. Sore harinya, telepon berdering, ternyata dari isteri, menyatakan bahwa saya terpilih. Saya terpilih dengan urutan terakhir, kelima. Dari cerita-cerita yang saya dengar sesudah itu, betapa kasak-kusuknya kawan-kawan para calon lain-lainnya, dan betapa hangatnya pasar bursa waktu itu. Dari 1999 sampai 2004 jadilah saya anggota MPR-RI selaku utusan daerah dari Sumbar, bersama empat kawan lainnya. Hari pertama saya ada di gedung MPR saya bagaikan orang udik yang jolong ke kota; walau dunia sudah saya kitari. Karena di MPR tak satupun anggota dari partai yang saya masuki, PUI, saya kelabakan sendiri. Utusan daerah ternyata tak diakui untuk bisa membentuk fraksi sendiri. Yang lain-lain, karena memang tunjukan partai, masuklah mereka ke partai masing-masing, atau masuk ke Utusan Golongan. Tetapi saya, ke mana mau pergi? Namun, begitu utusan daerah tidak dibolehkan membentuk fraksi sendiri, begitu secara Mochtar Naim 26
  • 27. Biografi Ringkas Mochtar Naim spontan datang ajakan dari berbagai fraksi lainnya untuk masuk ke fraksi mereka. Yang tak mengajak, kecuali fraksi TNI-Polri, ada beberapa partai nasionalis. Setelah saya inap-inapkan, saya menja- tuhkan pilihan pada partai PBB (Partai Bulan Bintang), yang saya tahu adalah titisan dari partai Masyumi, seperti PUI juga, dan yang komitmen mereka terhadap Islam sejalan dengan pikiran saya. Sejak itu sayapun bergabung dengan Fraksi PBB. Yusril Ihza Mahendra sendiri yang langsung meminta saya untuk menggabung. Ketika Badan Pekerja MPR dibentuk, pimpinan Fraksi PBB menjatuhkan pilihannya menunjuk saya duduk di PAH (Panitia Ad Hoc) II, sementara Sdr Hamdan Zoelfa SH duduk di PAH I. PAH I yang berkaitan dengan amandemen UUD 1945, sedang PAH II berkaitan dengan TAP-TAP MPR. Hanya ada dua jatah yang terse- dia untuk FPBB di BP MPR, sesuai dengan perimbangan jumlah anggota dan jumlah kursi yang tersedia. Sebuah penghormatan bagi saya dan sekaligus juga pengorbanan bagi anggota-anggota Fraksi PBB yang lain-lainnya yang merekapun berhak terpilih untuk duduk di BP itu. Karena duduk di Badan Pekerja, saya sendirinya harus hadir sepanjang tahun; bukan hanya sekali setahun ketika Sidang Umum diadakan seperti anggota-anggota biasa lain-lainnya. Tugas pokok kami adalah mempersiapkan bahan-bahan yang akan dibahas dan diputuskan di Sidang Pleno BP MPR untuk seterusnya dibawa dan diputuskan pada Sidang Umum MPR berikutnya. Dalam rangka tugas di BP MPR itu saya sempat beberapa kali ikut rombongan MPR ke luar negeri. Bulan April 2000 saya ikut rombongan Pokja MPR RI ke Yunani, Jerman dan Turki dalam rangka studi perban- dingan mengenai sistem dua kamar yang nanti melahirkan adanya DPD itu. Rombongan yang sama juga melakukan studi perbandingan ke Korea dan RRC sesudah itu. Di Beijing kami sempat naik ke Mochtar Naim 27
  • 28. Biografi Ringkas Mochtar Naim Tembok Cina, salah satu dari yang disebut lima keajaiban dunia. Saya sendiri naik sampai ke atasnya, dan dapat sertifikat tanda sudah naik dengan membelinya di sebuah gardu di atasnya. Dengan demikian, tiga dari lima keajaiban dunia sudah saya lihat: Piramida, Niagara Falls, dan Tembok Cina, sedang dua lainnya belum: Menara Piza dan Taj Mahal. Mudah-mudahan, siapa tahu. Saya sendiri dengan didampingi oleh isteri juga melakukan lawatan ke Amerika, Kanada dan Norwegia untuk tujuan yang sama. Di Washington kami menjadi tamu dari Duta Besar Dorojatun Kuntjarayakti yang sudah kami kenal sejak waktu di Singapura dulu; sementara di Oslo, Norwegia, jadi tamu dari kawan akrab Dubes Tarmizi Taher. Di Ottawa juga jadi tamu dari Sekretaris I, Neneng Panggabean, yang ketika kami di New York dulu masih berupa gadis kecil dari kawan kami keluarga Panggabean dari KB Antara, yang ibunya Neneng, Zus De Panggabean, adalah dari Sungai Puar, bersebelahan kampung dengan saya, dan dari keluarga Khairul Saleh. Walau selaku anggota BP MPR, kami-kami yang bukan anggota DPR tidak disediakan perumahan seperti anggota-anggota DPR. Saya karena tak punya rumah di Jakarta, dan tak pula disediakan uang penyewa rumah, dipersilahkan tinggal di hotel, dan hotelnya dipilihkan Hotel Sahid Jaya. Sekretariat Jenderal MPR RI yang mengaturnya. Demikianlah, kami sampai lebih sembilan bulan tinggal di hotel, yang betapapun konfortabelnya, tidak seperti tinggal di rumah sendiri. Juga ngeri kalau harus memikirkan berapa biaya yang dikeluarkan oleh Setjen MPR bagi anggota BP yang ditempatkan di hotel. Kebetulan salah seorang anggota FPBB, seorang dokter asal Semarang, minta berhenti karena tidak mungkin meninggalkan praktek spesialisnya. Jatah rumah untuknya di kompleks perumahan DPR di Kalibata ternyata tak pernah ditempatinya. Rumah itulah Mochtar Naim 28
  • 29. Biografi Ringkas Mochtar Naim yang akhirnya ditawarkan oleh Fraksi kepada saya untuk ditempati, minimal sampai ada pengganti antar-waktu datang menempatinya nanti. Jadilah kami suami-isteri dengan dua anak gadis tinggal di perumahan DPR tersebut sampai lk sembilan bulan pula, sampai anggota fraksi pengganti antar-waktu datang menempati rumah itu. Sementara itu, selagi di Kalibata kami sempat mengawinkan kedua anak gadis kami itu, Elvira dan Meuthia, dengan pilihan junjungan mereka masing-masing. Akad nikahnya diadakan selisih satu hari di Mesjid Kompleks DPR, sedang pestanya barengan di Gedung Serba Guna DPR Kalibata. Elvira dapat kawan hidup orang sekampung dengan saya, dari Banuhampu, Bukittinggi, sementara Meuthia dapat kawan sekantor di Kementerian Lingkungan Hidup yang kebetulan berasal dari Cicaheum, Bandung. Kami kemudian pindah rumah ke Ciputat, di kawasan Kampung Utan (Jalan Pepaya 72), yang kami sewa sampai kami berangkat ke Leeds, Inggeris, 29 November 2002. Kami ke Leeds dengan dua tujuan, pertama mendampingi Meuthia yang akan melahirkan, sesuai dengan perjanjian semula dengan British Council di Jakarta, dan kedua menjadi Research scholar di Leeds University. Thia karena sudah hamil ketika mau berangkat ke Inggeris berjanji akan mendatangkan ibunya ketika akan melahirkan. Tgl 14 Des 2002 saya berangkat lagi ke Jakarta sendirian memenuhi panggilan wawancara dengan Aminef yang mengurus fellowship dari Fulbright. Dari hasil wawancara, saya langsung dinyatakan lulus untuk mendapatkan scholarship selama enam bulan melakukan riset di University of Michigan di Ann Arbor. Yang menguji saya kebetulan kawan yang mengenal baik saya, dan sayapun mengenal baik mereka: Profesor Dr Parsudi Suparlan, antropolog terkenal dari UI, dan Dr Mochtar Pabottinggi, sosiolog terkenal dari LIPI. Tanggal 4 Januari 2003 saya kembali ke Inggeris, ke Leeds, Mochtar Naim 29
  • 30. Biografi Ringkas Mochtar Naim mendapatkan cucu laki-laki yang sudah lahir tgl 20 Desember sebelumnya. Mereka memberi nama cucu yang gagah: Ismail Halim Suyudi. Di Leeds Univ saya melanjutkan pengklasifikasian Ayat-ayat Al Qur`an secara tematik-maudhu’i itu; karenanya saya bergabung dengan School of Theology and Religious Studies. Saya dapat fasilitas yang memadai, ikut seminar-seminar di samping juga memberikan seminar. Enam bulan di Inggeris merupakan peluang yang luas sekali bukan saja untuk berkontemplasi, melakukan riset dan meman- faatkan perpustakaan yang semuanya sudah terkomputerisasi, di samping juga mengenal Inggeris untuk keempat kalinya dari dekat dengan melakukan kunjungan ke kota-kota yang selama ini baru saya kenal di peta. Bulan Maret, Elvira dan suami, Eri Rusli, dan Zahra, anak mereka, berkunjung ke Leeds, dan kami bersama melancong ke Scotlandia, ke Glasgow dan Edinburg. Bulan April kami pulang ke tanah air untuk mempersiapkan diri terus ke Amerika Serikat, ke Ann Arbor, Michigan. Semua ini dimungkinkan karena saya tidak lagi duduk di BP MPR, sehingga tidak perlu masuk setiap hari; cukup sekali setahun saja ketika Sidang Umum. Di MPR sementara itu Fraksi Utusan Daerah (FUD) berhasil kami perjuangkan dengan cara yang agak radikal; sampai kami ramai-ramai menyerbu ke rostrum SU MPR segala, karena kami dihadang oleh fraksi lain yang menentang dimunculkannya FUD ini. Perkelahian fisik bahkan nyaris terjadi. Bung Karno pernah mengatakan, revolusi suka memakan anaknya sendiri. Itu juga terjadi pada diri saya. Saya termasuk yang getol memperjuangkan berdirinya FUD, walau saya resminya berada di Fraksi PBB, tapi dari Utusan Daerah. Hanya FPBB positif dan bahkan aktif memperjuangkan terbentuknya FUD ini. Mochtar Naim 30
  • 31. Biografi Ringkas Mochtar Naim Begitu FUD berhasil dilahirkan dan saya secara spontan masuk dan berpindah ke FUD, saya justeru disingkirkan dari kedudukan saya di BP MPR. Rupanya kursi di BP itu jadi barang rebutan di FUD. Banyak yang sebelumnya menasehatkan, seperti banyak kawan-kawan di Utusan Daerah yang bergabung dengan partai-partai yang mereka masuki, agar tidak pindah ke FUD sehingga bisa tetap di BP MPR. Tapi itu bukan tipe saya. Saya masuk FUD dengan risiko apapun, dan dengan prinsip. Dan karena itu pula, karena saya tidak lagi duduk di BP MPR saya bisa ke mana- mana, kembali berlanglang buana. Sebuah blessing in disguise. Makanya saya sampai di Inggeris dan sekarang ke Amerika pula, dua-dua dapat fellowship. Selama 30 bulan duduk di Badan Pekerja MPR dari FPBB dan sebentar dari FUD, saya sempat membukukan semua pidato dan buah-buah pikiran yang saya sampaikan di forum BP MPR, baik di PAH II yang saya masuki maupun di sidang-sidang pleno BP dan Sidang Umum MPR sendiri. Karena saya satu-satunya yang mewakili FPBB di PAH II BP MPR, maka sendirinya tiap kali ada giliran pembicaraan atas nama Fraksi saya mau tak mau harus tampil. Untungnya karena agendanya dijadwalkan secara terarah setiap kali masa sidang, maka pidato-pidato yang disampaikan bisa disiapkan secara tertulis terlebih dahulu. Itu semua saya kerjakan sendiri, ketik sendiri, dan sering saya tulis di tengah malam ketika suasana hening sepi, untuk besoknya disampaikan di muka sidang. Sebuah keasyikan tersendiri yang rasanya tak mungkin terbeli, ataupun terulang kembali. Kata Deliar Noer yang memberikan kata pendahuluan dalam buku itu, tradisi Volklsraad yang tidak berkelanjutan. Nyatanya, saya hanya satu-satunya dari lk 700 anggota MPR-RI yang menghimpun seluruh pidato-pidato yang disampaikan (373 halaman) sebagai sekaligus pertanggung-jawaban kepada rakyat yang diwakili. Mochtar Naim 31
  • 32. Biografi Ringkas Mochtar Naim Dua kawan telah berjasa besar yang memungkinkan buku kumpulan pidato itu terbit dan keluar pada waktunya, yang ketika SU MPR tahun 2002 saya bagi-bagikan kepada seluruh anggota MPR RI secara cuma-cuma. Juga ke anggota-anggota DPRD Sumbar, Gubernur, dan bahkan seluruh menteri dalam kabinet. Kedua kawan tersebut adalah Ketua FUD yang juga Wakil Ketua MPR-RI, Sdr Dr Oesman Sapta, dan Dirut PT Batubara Bukit Asam, Sdr Drs Ismet Harmaini, yang adalah bekas mahasiswa saya sewaktu saya mengajar di Fakultas Ekonomi Unand di akhir 1960- an dan awal 1970-an. Di University of Michigan, di Ann Arbor, saya bergabung dengan Center for Southeast Asian Studies, dengan terus melanjutkan riset dan penulisan mengenai Kompendium Al Qur`an. Saya konsentrasi mengenai Eskatologi dan Kisah-kisah dalam Al Qur`an, yang setelah tersusun ternyata cukup tebal juga. Selain berkantor di CSEAS saya juga banyak menghabiskan hari di perpustakaan Central Campus ataupun perpustakaan North Campus yang dekat dari rumah di University Family Housing; cukup berjalan kaki saja. Ke Central Campus ada bus kampus setiap 10 menit dan gratis. Kota Ann Arbor adalah kota kecil yang nyaris adalah kota kampus. Dekat ke Detroit di sebelah Timurnya dan agak berjauhan ke Barat ke Chicago. Saya yang dahulu di tahun 1960-an biasa bermain di pantai Timur, sekarang mengenali bagian Tengah-Utara Amerika. Kesempatan selama lima bulan di University of Michigan juga berarti ada kunjungan-kunjungan yang saya lakukan ke Chicago, DeKalb, Detroit, Lansing dan East Lansing, dsb, dalam berbagai keperluan. Di Detroit dan sekitarnya, dan sekarang juga Chicago dan sekitarnya, ditemukan banyak komunitas Islam; kebanyakan migran dari Timur Tengah, dan dari India-Pakistan. Mereka punya mesjid-mesjid dan restoran serta tempat berbelanja Mochtar Naim 32
  • 33. Biografi Ringkas Mochtar Naim khas etnik Arab atau India-Pakistan. Komunitas Indonesia pun biasa melakukan kegiatan pengajian secara rutin sekali sebulan dari rumah ke rumah di Detroit. Di Detroit ternyata ada sejumlah keluarga Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan otomotif terkenal setelah mereka menamatkan sekolah mereka di berbagai perguruan tinggi. Cukup banyak juga wanita-wanita Indonesia yang kawin dengan laki-laki Amerika, yang lakinya masuk Islam. Ketika masih di Ann Arbor, kami dalam bulan Desember 2003 melakukan kunjungan spiritual ke Selatan, ke Florida dan Atlanta. Ke Kissimmee di Florida menghadiri “Innaugural Conference on Islam for Humanity” dan Muktamar Bersama Indonesian Muslim Students Association (IMSA) dan Malaysian Islamic Study Group (MISG) di Orlando, Atlanta. Perkembangan Islam di bagian Selatan ini ternyata juga cukup mengagumkan. Di Kissimmee, Florida, mereka menyiapkan sebuah pusat Islam lengkap dengan persekolahan, mesjid, pertokoan, rumah sakit, dsb, di atas tanah bekas kompleks perhotelan Ramada Inn yang cukup luas milik pengusaha Yahudi. Banyak dari penduduk setempat, terutama dari kelompok Afro American (Negro) yang masuk Islam, di samping juga migran dari West Indies, Karibea, dan Amerika Latin lainnya. Kesempatan yang sama kami pakai juga untuk melihat-lihat daerah-daerah turis di Florida, termasuk Kennedy Space Center. Rencana kami untuk tinggal di Ann Arbor selama enam bulan terpaksa kami perpendek menjadi lima bulan karena saya sudah dipanggil untuk segera pulang ke Padang melakukan kampanye Pemilu untuk bertanding mendapatkan jatah kursi untuk duduk di DPD-RI. Kendati sebelum berangkat ke Amerika saya sudah mengumpulkan sekitar 3000 tanda tangan dari 2000 yang disyaratkan untuk bisa lolos sebagai calon, nyatanya cukup banyak yang ditolak, karena ternyata bagian banyak dari yang mendukung Mochtar Naim 33
  • 34. Biografi Ringkas Mochtar Naim saya adalah para mahasiswa yang menyerahkan fotokopi Kartu Mahasiswa yang ternyata tidak laku dipakai. Sementara juga ada sejumlah pendukung yang memberikan fotokopi KTP-nya yang sudah kadaluwarsa. Ada sejumlah 100 lebih yang harus didapatkan penggantinya dalam waktu hanya tiga hari sebelum waktu penutupan. Semua itu disanggupi oleh kawan-kawan yang adalah bekas mahasiswa saya yang turun tangan berjibaku meloloskan gurunya untuk duduk di DPD-RI. Iya pula, dalam tiga hari mereka berhasil mendapatkannya sementara saya masih di Ann Arbor. Tidak seorangpun dari mereka, dan tidakpun dari para mahasiswa yang bergabung dalam Yayasan Amal Saleh yang tinggal di asrama- asrama, dan sekarang jadi surau-surau, di sekitar Kampus Air Tawar, yang mau menerima imbalan jerih. Jadilah saya calon resmi untuk kursi di DPD-RI. Seperti yang saya ceritakan di atas sebelumnya, pulang- pulangpun ke Padang di awal Maret 2003 ketika masa kampanye sudah dimulai, saya tidak ikut berkampanye seperti calon-calon lain dengan bermacam kegiatan kampanye di lapangan terbuka, di berbagai kota, dan di manapun, dengan berhabis biaya. Konon ada yang sampai sekian M mengeluarkan dana untuk kampanye, yang saya memikirkannya saja ngeri. Sekian puluh juta rupiah harus dikeluarkan untuk satu kali kampanye terbuka saja. Belum lagi biaya spanduk, ballyhoo, stiker, baju kaos, makan peserta, envelop, transportasi dan entah apa lagi namanya itu. Saya paling-paling hanya dibekali oleh anak-anak di Jakarta dengan sejumlah spanduk dan stiker yang dibikinkan di Jakarta dengan bantuan dana dari kawan-kawan sesekolah dari anak-anak kami. Bagaimanapun, saya memanfaatkan surat kabar untuk menulis dan menyampaikan pesan-pesan dan buah pikiran saya. Kecuali sekali atau dua kali yang khusus berupa advertensi kampanye, satu atau setengah halaman, di dua surat kabar, selainnya tak ada yang saya bayar, karena sifatnya Mochtar Naim 34
  • 35. Biografi Ringkas Mochtar Naim tulisan atau wawancara. Saya juga diwawancarai gratis oleh TVRI dan RRI Padang. Kebetulan sekali, teman Amerika yang suka mengaku sebagai anak kami (adopted son), Leonardo Stoute, alias Muhd Khalid ibn Waleed, guru silat yang kami jumpai di kampus Univ of Michigan, datang ke Padang. Waleed masuk Islam justeru karena belajar silat Minang. Silat tidak akan tembus jika tidak dijiwai dengan kekuatan dalam, yang artinya adalah kekuatan batin yang ditempa oleh ruh Islam, kata Waleed. Silat, karenanya, berbeda dengan kung fu, taek won do dan karate, yang mengandalkan hanya kepada kekuatan fisik. Waleed sendiri punya sabuk hitam sebelum beralih ke silat. Dan melalui silat ini dia telah mengislamkan orang-orang Amerika sampai ratusan banyaknya. Kami bawalah dia keliling ke mana-mana sambil mendemon- strasikan kebolehan silat Minangnya. Dan ini tak ayal jadi daya tarik luar biasa di kampus-kampus dan sekolah-sekolah serta madrasah- madrasah; sehingga dalam memperkenalkannya saya tinggal menitipkan kata-kata sederhana itu saja: Jangan lupa nomor 20! Bukan: “pilihlah saya.” April yang ditunggu tiba. Pekan sunyi, pemilu dengan tenang berlalu, dan saya keluar sebagai pemenang ke empat dari sekian puluh calon yang ikut bertanding. Jadilah saya calon terpilih DPD- RI dari Sumbar. September ke Jakarta. 1 Oktober dilantik. Sejak itu sampai sekarang saya menjadi “senator” dari Sumbar di antara 127 lainnya dari semua provinsi di Indonesia, di mana setiap provinsi, besar atau kecil jumlah atau luas wilayahnya, sama-sama empat orang wakilnya. Di DPD sendiri saya sungkan untuk dicalonkan dalam unsur pimpinan apapun; karena seperti yang saya alami di MPR, kita bisa lebih banyak berbuat dan berkontribusi sebagai anggota biasa. Yang penting kita berbuat dan berbuat secara optimal dan maksimal. Mochtar Naim 35
  • 36. Biografi Ringkas Mochtar Naim DPD adalah tempat kita memikirkan masalah-masalah besar bangsa dan negara, terutama yang ada kaitannya dengan kepentingan daerah. Sejak kepindahan kembali ke Jakarta, sebentar kami menumpang di rumah anak tertua, Amelia, di Kampung Utan, Jl Solo 7, Ciputat. Kemudian kami mendapatkan sebuah rumah yang cukup memenuhi kebutuhan di Kompleks Inhutani, Ciputat juga. Kami beli dari seorang pembesar polisi yang baru membangun rumah besar di dekatnya. Uangnya termasuk hasil buku Kompendium Al Qur`an yang dipesan oleh Departemen Agama untuk diedarkan ke madrasah-madrasah Aliyah di seluruh Indonesia. Kalau Tuhan menginginkan, semua yang sukar jadi mudah. Kami anak-beranak, empat keluarga tinggal saling berdekatan dan semua di bilangan Ciputat. Emil dan keluarga dengan empat anak yang di Balik Papan. Tapi diapun sering dapat tugas ke Jakarta dari kantornya, sehingga kamipun sering bersua. Dalam memasuki usia yang sudah berembang petang ini terasa Tuhan sangat sayang pada kami. * Berkiprah selama 10 tahun di MPR-RI (1999-2004, 2004-2009) dan 5 tahun di DPD-RI (2004-2009), kalau diceritakan semua pasti akan memakan ruangan halaman yang panjang dan waktu yang banyak – sementara yang dinukilkan di sini hanya biografi ringkas saja. Untungnya, baik ketika di MPR-RI sebagai anggota Utusan Daerah mewakili daerah pemilihan Sumatera Barat, maupun di DPD-RI, juga mewakili daerah Sumatera Barat, saya sempat membukukan semua pidato dan tulisan-tulisan .... Mochtar Naim 36