1. 1
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DIPERBAHARUI
DENGAN UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2001 DALAM HUBUNGAN DENGAN
PRAKTIK ILEGAL DAN KORUPSI YANG DILAKUKAN SEORANG BIDAN
Dosen : Ns. Oktarina, S.Kep.,M.M
TUGAS KELOMPOK 4 :
1. Nindy Herlin Usboko (A1221065)
2. Maria Adriana Kolo (A1221066)
3. Maria Junita Us’Abata (A1221067)
4. Dewa Ayu Putu Ria Andani (A1221068)
5. Ni Ketut Yuli Widasari (A1221069)
6. Ni Luh Putu Yusi Widayanti (A1221077)
7. Ni Made Dwi Virmayanti (A1221078)
8. Hamisah (A1221086)
9. Nursuci (A1221087)
10. Sri Rahayu (A1221089)
Sekolah Tinggi Kesehatan Bina Usada Bali Badung
Tahun 2021/2022
2. 2
DAFTAR ISI
SAMPUL……………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI…………………………………………………… 2
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………………………………….. 3
B. Rumusan masalah…………………………………….… 5
C. Tujuan……………………………………………….….. 5
D. Manfaat……………………………………………….… 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian korupsi…………………………………….... 6
BAB III PEMBAHASAN
A. Contoh kasus………………………………………...…. 8
B. Analisa kasus……………………………………..……. 8
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan……………………………………………….. 9
B. Saran…………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA
3. 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air selama ini tidak
saja merugikan Keuangan Negara atau Perekeonomian Negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat,
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tipikor tidak lagi dapat diolongkan
sebagai kejahatan luar biasa, tetapi telah menjadi kejahatan luar biasa. Metode
konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa menyelesaikan persoalan
korupsi yang ada di masyrakat, maka penanganannya pun juga harus menggunakan
cara-cara luar biasa. Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang no 31 tahun 1999 dan Undang-Undang no 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah adanya unsur
kerugian keuangan negara, unsur tersebut memberi konsekuensi bahwa
pemberantasan Tipikor tidak hanya bertujuan untuk membuat penjara yang berat,
melainkan juga memulihkan keuangan negara akibat korupsi sebagaimana ditegaskan
dalam konsideran dan penjelasan umum UU Tipikor. Kegagalan pengembalian aset
hasil korupsi dapat mengurangi “makna” penghukuman terhadap para koruptor.
Adapun konsideran menimbang dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Dengan
demikian, tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara biasa. Indonesia dalam rangka pencegahan
dan pemberantasan korupsi telah mengadakan undang-undang tersendiri untuk
mencegah dan memberantas korupsi. Dalam lingkup lebih spesifik, akan menemukan
4. 4
beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan kerja
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
b. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Pada tahun 2018, Transparency International menerbitkan sebuah hasil riset
tentang korupsi sektor kesehatan di Asia Tenggara. Tulisan ini ini menyebutkan
bahwa sektor kesehatan sangat rentan terhadap korupsi karena kompleksitas sistem di
dalamnya yang ditandai dengan 3 (tiga) hal yaitu besarnya aliran uang, peralatan
medis yang mahal dan struktur organisasi yang kompleks. Ketiganya saling berkaitan.
Penyebab pertama adalah besarnya aliran uang di dunia kesehatan karena semua
orang membutuhkan sektor ini. Kesehatan adalah kebutuhan primer. Besarnya
kebutuhan, secara ekonomi, akan menimbulkan besarnya permitaan yang berujung
pada besarnya aliran uang. Rumitnya pengembangan peralatan medis yang setidaknya
membutuhkan ilmu kedokteran/kesehatan sendiri dan teknik merupakan alasan yang
masuk akal. Ilmu kesehatan sendiri sudah cukup rumit karena merupakan sintesis dari
berbagai macam ilmu dasar. Struktur organisasi yang kompleks terlihat dari ragam
profesi dan ragam fasilitas kesehatan. Keragaman tersebut kemudian beriteraksi dan
menghasilkan kombinasi dan pola yang tidak terbatas.
Ada 3 pemicu diatas, penelitian lain menyebutkan ada 7 (tujuh) titik rawan korupsi di
sektor kesehatan yaitu.
1. Pelayanan oleh petugas medis (provision of service by medical personnel)
2. Manajemen sumber daya manusia (human resources management)
3. Pemilihan obat yang akan digunakan pasien (drug selection an use)
4. Pengadaan obat dan peralatan medis (procurement of drugs and medical
equipment)
5. Penyaluran dan penyimpanan obat-obatan (distribution an strage of drugs)
6. Sistem regulasi (regulatory system)
5. 5
7. Penganggaran dan pengaturan harga (budgeting and pricing)
B. Rumusan Masalah
Bagaimana penanggulangan prilaku korupsi pada pelaksanaan praktek kebidanan?
C. Tujuan
Setiap penelitian yang dilakukan memilik tujuan yang jelas dan terarah. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis kasus tindakan korupsi dalam hubungannya dengan sanksi
pidana pada tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1971.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk menganalisis tindakan yang diperlukan untuk mencegah korupsi pada
contoh kasus
D. Manfaat
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan yang
ingin dicapai maka dapat diberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Bidan dapat mengetahui tindakan-tindakan yang termasuk dalam tindakan
korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan
pertimbangan bagi Bidan PNS dalam melakukan Asuhan Kebidanan sesuai
dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah
diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Korupsi merupakan penyimpangan dari kekuasaan. Kekuasaan yang
merupakan kemungkinan mengejar tujuan seseorang atau sekelompok orang, untuk
membatasi jumlah pilihan bagi orang-orang atau sekelompok orang untuk membatasi
jumlah pilihan bagi orang-orang dalam menentukan sikap mereka. Korupsi ini dapat
dimasukkan kategori kekuasaan tanpa adanya aturan hukum, oleh karena selalu ada
praduga pemakaian kekuasaan tanpa adanya aturan hukum, oleh karena selalu ada
praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 digantikan dengan UU Nomor 31
Tahun 1999 dan diubah beberapa pasalnya dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Beberapa kemajuan dalam UU ini adalah:
1. Dikenal adanya korupsi aktif dan korupsi pasif.
2. Percobaan, permufakatan dan pembantuan tindak pidana korupsi diancam pidana
sebagaimana pelaku korupsi
3. Adanya ketentuan yang mempermudah pembuktian dengan dipakainya prinsip
pembuktian terbalik yang terbatas dan adanya ketentuan yang memprioritaskan
penanganan tindak pidana korupsi.
Yang menjadi landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia adalah :
a. UU No 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi
b. UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolosi dan Nepotisme
c. Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
d. UU No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
7. 7
Korupsi (corruptio/Latin/penyuapan, corruptore/Latin/merusak) dalam kamus
bahasa diartikan jahat, merusak dan dalam kamus hukum diartikan perbuatan curang,
tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Tindak Pidana Korupsi menurut UU
31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001 mencakup perbuatan-perbuatan sebagai
berikut: secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999). Undang-undang tersebut juga
melarang orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara ( Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999) memberi atau menjajikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau peyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri ,
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
8. 8
BAB III
PEMBAHASAN
A. Contoh Kasus
Seorang dokter spesialis kandungan di Jawa Timur menyampaikan kasus
posisi sebagai berikut, “Dalam hal ini terdapat skenario antara bidan PNS dengan
pihak rumah sakit, yang kemudian pihak rumah sakit memberikan sejumlah fee
kepada bidan yang telah merujuk pasien ke rumah sakitnya. Kemudian mengarahkan
pasiennya untuk melahirkan secara caesar.
Keterangan tersebut terkonfirmasi melalui berita di Radar Lampung Selatan
mengangkat berita senada dengan sumber yang dirahasiakan karena memunculkan
angka yang cukup spesifik. “mereka dijanjikan fee kalau bawa pasien rujukan.
Nominalnya Rp 300 ribu-400 ribu”. Imbal jasa tiga ratus ribu rupiah tersebut untuk
kategori persalinan normal, sementara untuk persalinan degan bedah sesar imbal
jasanya naik sampai 400 ribu.
B. Analisa Kasus
Dari kasus di atas dapat dianalisis bahwa Bidan PNS melakukan korupsi aktif
dimana bidan melaksanakan tindak korupsi tanpa perantara orang lain. Di lapangan,
kasus diatas dilabeli sebagai “gratifikasi rujukan”. Pada intinya, kasus ini
menunjukkan adanya relasi finansial antara bidan ditempat praktiknya dengan rumah
sakit tertentu, bidan tersebut merujuk ibu hamil yang merupakan pasiennya. Bahaya
yang muncul dari kasus ini adalah munculnya rujukan yang tidak objektif dan tidak
sesuai dengan keperluan medis pasien. Hal ini kemudian harus dicocokan kembali
dengan definisi Pegawai Negeri dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Korupsi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Oleh
karena itu untuk menanggulangi perilaku korupsi pada praktek kebidanan adalah
dengan memberikan pelatihan tentang tindakan anti korupsi sehingga bidan paham
tentang UU Nomor 20 tahun 2001
9. 9
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Pada contoh kasus di atas tindakan yang dilakukan oleh Bidan tersebut
merupakan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan pasien. Dimana tindak
pidana korupsi yang dilakukan telah melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Untuk mencegah korupsi pada contoh kasus diperlukan adanya pelatihan
tentang Anti Korupsi khususnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
B. SARAN
Bidan diharapkan mengikuti Pelatihan Anti Korupsi
Didalam melakukan asuhan kebidanan sebaiknya berpedoman pada Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diperbaharui dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
10. 10
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.unair.ac.id/104500/4/4.%20BAB%20I%20.pdf
Ganarsih, Yenti. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahannya Di
Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers, 2016
Anwar, Yesmil, and Adang. Pembaruan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Di Indonesia)
Jakarta: Grasindo, 2008
Azra, Azyumardi, “Korupsi Dalam Perspektif Good Governance.” Jurnal Kriminologi
Indonesia Vol.2, no 1 (2002)