191000117_Irvan H Noho_Identifikasi Bahan Toksik di Lingkungan dan Kuis Toksikologi Lingkungan.pdf
1. TUGAS
Identifikasi Bahan Toksik di Desa Gohor Lama Kecamatan Wampu Kabupaten
Langkat
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan yang
diberikan oleh Ibu:
Ir. Indra Chahaya S, M.Si
Oleh:
Nama : Irvan H Noho
NIM : 191000117
Kelas : A
DEPARTEMEN KESEHATAN LINGKUNGAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
2. Identifikasi Bahan Toksik di Desa Gohor Lama Kecamatan Wampu Kabupaten
Langkat
a. Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan teknologi dan peradaban manusia membuat
lingkungan semakin menunjukkan tanda kerusakan. Hal ini ditandai dengan
timbulnya berbagai bahan toksik di lingkungan. Bahan toksik sendiri pada
dasarnya ada yang terdapat di alam namun adapula yang timbul akibat perilaku
manusia yang mengeksploitasi sumber daya yang terdapat di lingkungan. Untuk
itu pentingnya mempelajari toksikologi lingkungan adalah agar manusia dapat
mencegah serta melakukan pengendalian terhadap bahan-bahan toksik yang
mencemari lingkungan dan dapat beresiko terhadap kesehatannya.
Toksikologi lingkungan adalah bidang ilmu yang mempelajari bahan-bahan
toksik atau beracun yang terdapat pada lingkungan dan dapat mengakibatkan
risiko kesehatan apabila bahan toksik tersebut memasuki tubuh manusia. Adapun
tujuan dari mempelajari toksikologi lingkungan adalah mencegah timbulnya efek
terhadap kesehatan manusia yang diakibatkan suatu bahan toksik serta menjadi
standarisasi terhadap suatu kualitas lingkungan.
Bahan toksik dapat ditemukan dimanapun, ada yang sumbernya berasal
dari alam namun adapula yang berasal dari kegiatan atau aktivitas manusia.
Terkadang tanpa disadari oleh manusia, bahwa aktivitas yang dilakukannya dapat
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Begitu pula dengan yang terjadi
pada masyarakat Desa Gohor Lama, Kecamatan Wampu, Kabupaten Stabat.
Adapun hal yang melatar belakangi untuk dilakukan identifikasi bahan
toksik di lingkungan Desa Gohor Lama adalah sebagai berikut:
a) Gambaran Kondisi Lingkungan
Gambaran kondisi lingkungan yang dipilih untuk dilakukan
identifikasi bahan toksik adalah Desa Gohor Lama. Desa Gohor Lama
merupakan salah satu wilayah administratif di Kecamatan Wampu,
3. Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani kebun kelapa sawit dan
peternak sapi, terdapat beberapa aktivitas atau kebiasaan masyarakat yang
memiliki risiko bagi masyarakat untuk terpapar bahan toksik yang kemudian
akan berdampak terhadap kesehatan pada masyarakat di desa tersebut.
Rumah-rumah warga dibangun dengan lokasi yang cukup berjarak satu
sama lain. Rumah warga juga banyak dikelilingi oleh kebun kelapa sawit.
Terdapat beberapa hal yang dinilai bahwa aktivitas dan kebiasaan masyarakat
pada desa tersebut dapat diidentifikasikan sebagai risiko terkena bahan
toksik.
Aktivitas dan perilaku tersebut, antara lain umumnya masyarakat yang
berada di wilayah tersebut memiliki kandang sapi yang jaraknya berdekatan
atau bahkan menyatu dengan rumah. Hal ini tentunya juga memberikan
resiko terhadap kesehatan. Selain itu, perilaku masyarakat yang terbiasa
untuk membakar sampah, kebiasaan menggunakan insektisida untuk
menghindari gigitan nyamuk saat malam hari dapat berdampak pada
kesehatan masyarakat.
Masyarakat Desa Gohor Lama, juga memiliki kebiasaan gembala sapi
atau yang sering disebut dengan angon sapi. Angon sapi biasanya dilakukan
masyarakat pada pagi hari lalu pulang ketika sore hari. Sapi-sapi tersebut
dibawa ke perkebunan untuk diberi makan. Kebiasaan ini dilakukan setiap
hari secara terus-menerus. Akibat yang ditimbulkan adalah banyaknya
kotoran sapi yang berceceran di jalan dekat dengan rumah warga. Tentunya
hal ini dapat menimbulkan pencemaran udara sesaat berupa timbulnya bau
yang dapat mengakibatkan masyarakat menjadi kurang nyaman.
Sumber air yang digunakan oleh warga umumnya berasal dari sumur
dengan memanfaatkan air tanah. Namun, pada beberapa rumah terlihat bahwa
jarak sumur dengan jamban pada rumah warga tidak memenuhi standar
kesehatan yang ditetapkan.
4. b) Kawasan Permukiman di Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit dan
Kebiasaan Menggunakan Insektisida
Desa Gohor Lama yang sebagian wilayahnya banyak ditumbuhi oleh
perkebunan kelapa sawit. Wilayah tersebut juga dekat dengan sungai wampu
yang melintasi sebagian besar Kabupaten Langkat. Berdasarkan hal tersebut
membuat kondisi lingkungan yang terkesan lembap terutama saat musim
penghujan.
Saat musim penghujan tiba, perkembangan vektor nyamuk semakin
didukung dengan munculnya tempat perkembang biakan. Pertumbuhan
nyamuk yang semakin banyak membuat risiko masyarakat Desa Gohor Lama
untuk terkena penyakit-penyakit akibat nyamuk seperti DBD, malaria,
maupun chikungunya semakin besar.
Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat Desa Gohor Lama
mengatasinya dengan menggunakan insektisida baik yang diaplikasikan
dengan cara dibakar maupun dengan cara penyemprotan. Penggunaan
insektisida ini dilakukan pada malam hari saat akan tidur.
Penggunaan insektisida bakar maupun penyemprotan sebenarnya
mampu membuat masyarakat terhindar dari gigitan nyamuk. Namun, tanpa
disadari bahwa penggunaan pestisida tersebut berdampak pada kesehatan
masyarakat yang diakibatkan bahan toksik yang terkandung didalamnya.
c) Kandang Sapi Berjarak Dekat dengan Rumah Masyarakat
Masyarakat Desa Gohor Lama pada umumnya memiliki mata
pencaharian sebagai petani kebun kelapa sawit dan peternak sapi. Mata
pencaharian sebagai peternak membuat rumah-rumah masyarakat umumnya
memiliki kandang sapi.
Berdasarkan hal yang terjadi dilapangan, kebanyakan dari masyarakat
memiliki letak kandang sapi yang tidak memenuhi standar yang telah
ditetapkan. Jarak kandang dengan suatu rumah yang telah ditetapkan minimal
10 meter. Namun, kebanyakan dari masyarakat yang memiliki kandang
5. dengan jarak kurang dari 10 meter atau bahkan ada yang menyatu dengan
rumah masyarakat.
d) Kebiasaan Membakar Sampah
Kebiasaan masyarakat dalam membakar sampah sering dilakukan pada
masyarakat di wilayah tersebut. Umumnya masyarakat membakar sampah-
sampah dedaunan atau beberapa dari sampah domestik. Pembakaran sampah
tersebut dilakukan pada tanah-tanah kosong di sekitaran rumah.
Kebiasaan ini sebenarnya merupakan hal yang tanpa disadari sering
dilakukan oleh masyarakat. Karena kurangnya pemahaman masyarakat
bahwa pembakaran sampah dapat menimbulkan pencemaran udara.
Masyarakat menganggap bahwa pembakaran sampah merupakan langkah
yang tepat untuk mengurangi jumlah sampah yang ada di lingkungan.
b. Identifikasi Masalah
a) Bahan Toksik dari Insektisida
Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah
tersebut dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat terkait
bahaya yang terkandung dalam insektisida. Penggunaan insektisida
sebenarnya memang menyelesaikan permasalahan untuk mencegah
terjangkitnya penyakit yang disebabkan vektor nyamuk seperti DBD,
malaria, maupun chikungunya. Namun, penggunaan insektisida yang tidak
didasari dengan pengetahuan yang baik akan menimbulkan permasalahan
baru pada masyarakat terutama masalah kesehatan yang dapat menurunkan
derajat kesehatan pada masyarakat.
Bahan toksik dapat ditemukan pada semua jenis insektisida baik yang
diaplikasikan dengan cara dibakar maupun disemprot. Adapun bahan toksik
yang terkandung pada insektisida baik yang dibakar maupun disemprotkan,
antara lain: Dichlorovinyl Dimethyl Phospate (DDVP) dan Phyrethoid.
6. 1. Dichlorovinyl Dimethyl Phospate atau DDVP
DDVP merupakan salah satu jenis insektisida yang termasuk dalam
golongan organophosphate. DDVP banyak ditemukan dan digunakan
dalam obat nyamuk yang diaplikasikan dengan cara disemprotkan.
Padahal, penggunaaan DDVP sebagai salah satu bahan pembuatan
insektisida dapat beresiko terhadap kesehatan masyarakat karena
insektisida jenis ini memiliki daya racun yang sangat tinggi.
Menurut WHO, dampak yang ditimbulkan oleh DDVP adalah
bersifat karsinogenik sehingga dapat menjadi pemicu masyarakat terkena
kanker, dapat merusak sistem saraf, dan dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pada sistem pernapasan maupun jantung manusia. Selain itu,
menurut lembaga perlindungan lingkungan Amerika yaitu Environment
Protection Authority (US EPA) dan New Jersey Department of Health
menyatakan bahwa DDVP dapat menyebabkan kanker pada masyarakat,
menghambat pertumbuhan organ, merusak sistem dan kemampuan
reproduksi, serta dapat menghambat produksi ASI pada ibu yang
menyusui.
DDVP juga dapat menyebabkan terganggunya kadar cholinesterase
pada tubuh. Berdasarkan penelitian Amelia dkk. (2015) menyatakan
bahwa kadar cholinesterase pada masyarakat Kelurahan Jati Rumah
Gadang memiliki penurunan kadar dibawah normal namun tidak dalam
kategori keracunan sebanyak 9 responden. sedangkan sebanyak 12
responden mengalami penurunan kadar cholinesterase dan dikategorikan
sebagai keracunan.
Kelalaian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap penggunaan
insektisida ini juga dapat menimbulkan dampak kesehatan. Jika DDVP
termakan oleh manusia, maka akan menyebabkan gejala seperti mual,
rasa ingin muntah, perasaan gelisah, munculnya keringat berlebihan, dan
gemetar pada tubuh. Dampak lainnya bahkan dapat menyebabkan koma
7. atau kematian bila DDVP berhasil masuk kedalam tubuh manusia melalui
jalur oral.
2. Phyrethoid
Phyrethoid merupakan jenis insektisida yang tergolong organik
sintesis. Phyrethoid termasuk dalam golongan racun kelas menengah.
Penggunaan insektisida yang mengandung phyrethoid dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan sistem hormonal, bersifat
karsinogenik sehingga memicu tumbuhnya sel kanker dalam tubuh, dapat
menghancurkan sistem endokrin pada manusia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sunarsih dkk. (2020)
menyatakan bahwa penggunaan insektisida antinyamuk yang
mengandung phyrethoid memiliki gangguan kesehatan berupa sakit
kepala, lelah, pusing, kehilangan selera makan, sesak nafas, kejang pada
otot, gatal pada mata dan kulit, dan menyebabkan penglihatan kabur.
b) Bahan Toksik Akibat Jarak Kandang Sapi Terhadap Rumah
Jarak kandang ternak dengan rumah tinggal masyarakat diatur
dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 40 Tahun 2011 yang menyatakan
bahwa jarak kandang dengan rumah tinggal minimal 10 meter dengan tujuan
agar udara disekitaran rumah tidak tercemar oleh bau dari kotoran.
Hal ini bertolak belakang dengan yang terjadi pada masyarakat
Desa Gohor Lama. Beberapa rumah ditemukan memiliki kandang sapi yang
jaraknya kurang dari 10 meter dari rumah atau bahkan juga menyatu dengan
rumah bagian dapur. Padahal keberadaan kandang sapi yang terlalu dekat
dengan rumah akan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pemilik rumah.
Tentunya hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat terkait
bahaya kesehatan yang ditimbulkan apabila jarak kandang sapi dengan rumah
terlalu dekat, masyarakat hanya ingin agar hewan ternak tetap terjaga dengan
aman. Bahan toksik yang dihasilkan dari kotoran sapi yaitu metana (CH4) dan
ammonia (NH3).
8. 1. Metana atau CH4
Metana atau CH4 umumnya tidak berbahaya bagi kesehatan
manusia. Namun, metana (CH4) merupakan salah satu penyumbang pada
Gas Rumah Kaca (GRK). Hal ini tentunya akan memperparah terjadinya
perubahan iklim.
Berdasarkan penelitian Ratnia (2018) menyatakan bahwa emisi gas
rumah kaca yang diakibatkan oleh sektor peternakan salah satunya
berasal dari total emisi gas metana (CH4). Sejalan dengan penelitian
tersebut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti dkk.
(2015) Menyatakan bahwa nilai konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK)
dalam satu ekor sapi yang menghasilkan kotoran 40 Kg setiap harinya
menghasilkan 1,72 mgCH4/menit/kg kotoran sapi. Sehingga selain
menimbulkan aroma yang tidak sedap, kotoran sapi dapat menjadi angka
penyumbang gas rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim.
2. Amonia atau NH3
Amonia atau NH3 juga memiliki dampak pada kesehatan
masyarakat. Menurut penelitian yan dilakukan oleh Latief dkk. (2014)
menyatakan bahwa keberadaan kandang di dalam rumah menunjukkan
korelasi yang bersifat searah. Korelasi ini berarti bahwa semakin besar
konsentrasi ammonia yang terdapat di dalam rumah, maka akan semakin
meningkatkan frekuensi kejadian gangguan kesehatan. Gangguan
kesehatan yang ditemukan antara lain iritasi pada mata, hidung, dan kulit,
dan menimbulkan gejala batuk.
c) Bahan Toksik dari Pembakaran Sampah
Pembakaran sampah umumnya sering dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Karena adanya anggapan bahwa pembakaran sampah mampu
mengurangi kuantitas sampah yang ada. Pembakaran sampah memang
menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Namun,
untuk membakar sampah tentunya tidak dilakukan secara sembarangan atau
9. dilakukan pembakaran terbuka karena bahan toksik yang dilepaskan ke udara
dapat menimbulkan pencemaran pada udara serta memberikan efek kesehatan
pada masyarakat. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan
masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan akibat proses pembakaran
baik kepada manusia maupun masyarakat.
Bahan toksik yang ditimbulkan dari pembakaran sampah domestik
adalah Karbon dioksida (CO2) dan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH).
1. Karbon dioksida atau CO2
Karbon dioksida merupakan salah satu gas emisi penyumbang efek
Gas Rumah Kaca. Pada proses pembakaran yang sempurna akan
menghasilkan Karbon dioksida. Gas emisi CO2 tidak memberikan efek
kesehatan terhadap manusia, namun CO2 memberikan dampak yang
signifikan terhadap lingkungan yang berujung pada perubahan iklim.
2. Polisiklik Aromatik Hidrokarbon atau PAH
Polisiklik Aromatik Hidrokarbon atau PAH merupakan senyawa
yang terbentuk dari siklik aromatik. Terdapat lebih dari 100 senyawa
PAH dengan susunan senyawa kimia yang berbeda. PAH terbentuk dari
adanya pembakaran yang tidak sempurna dari senyawa organik.
Sebagian besar jenis Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH)
bersifat karsinogenik, mutagenik, dan tetragenik, serta memiliki daya
bioakumulasi yang tergolong tinggi sehingga PAH dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia.
PAH dapat berpindah dari berbagai media seperti udara, tanah,
maupun air tanah melalui proses evaporasi, leaching dan migrasi. Dalam
hal ini PAH berpindah melalui media udara.
c. Pemecahan Masalah
Permasalahan bahan toksik yang telah diidentifikasi di Desa Gohor Lama,
Kecamatan Wampu perlu dilakukan pengendalian agar bahan toksik yang
dihasilkan tidak berdampak pada kesehatan masyarakat pada wilayah tersebut.
10. Solusi pemecahan masalah dari setiap bahan toksik tentunya dikendalikan
dengan cara dan metode yang berbeda-beda. Adapun solusi pemecahan masalah
yang dapat dilakukan, antara lain:
a) Solusi Bahan Toksik dari Insektisida
Permasalahan dasar dari penggunaan insektisida ini adalah kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai bahaya insektisida terhadap kesehatan
serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk menanggulangi atau mencegah
perkembangbiakan nyamuk. Untuk itu solusi yang diberikan, antara lain:
1. Memberikan penyuluhan dan sosialisasi terkait cara pencegahan
perkembangbiakan nyamuk di lingkungan sehingga masyarakat akan
mengurangi penggunaan insektisida.
2. Kelambunisasi. Kelambunisasi merupakan program pemerintah berupa
pemberian kelambu secara gratis kepada masyarakat.
3. Menggalakkan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan 3M Plus.
4. Menggunakan insektisida organik yang memiliki kandungan bahan
racun yang kecil.
b) Solusi Bahan Toksik dari Kandang Sapi
Permasalahan dari jarak kandang sapi yang terlalu dekat dengan rumah
sehingga berakibatkan pada terpaparnya masyarakat terhadap gas metana
dan ammonia adalah kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap bahaya
memiliki kandang yang berjarak terlalu dekat dengan rumah dan ketakutan
masyarakat terkait keamanan hewan ternak. Adapun solusi yang diberikan
terkait permasalahan tersebut adalah:
1. Mengedukasi masyarakat tentang bahaya kandang yang terlalu berjarak
dekat dengan rumah.
2. Menjamin keamanan hewan ternak warga dengan mengadakan
penjagaan saat malam hari.
3. Menyediakan lahan untuk membangun kandang sapi dengan jarak
sesuai syarat kesehatan yang telah ditentukan.
11. Untuk solusi jangka pendek yang dapat dilakukan oleh masyarakat, antara
lain (Latief, 2014) :
1. Pengurangan konsentrasi ammonia pada area kandang dengan
mempersingkat waktu pembersihan kotoran sapi misalnya dengan
pembersihan kandang setiap hari.
2. Pengurangan konsentrasi ammonia dengan media tumbuhan. Dalam hal
ini sebaiknya antara kandang dengan bagian rumah dihiasi oleh
tumbuhan yang dapat mengurangi konsentrasi ammonia melalui
penyerapan oleh tumbuhan.
3. Pengurangan waktu kontak dengan menggunakan alat pelindung diri.
c) Solusi Bahan Toksik dari Pembakaran Sampah
Permasalahan dasar terkait dengan pembakaran sampah adalah
kurangnya pengetahuan masyarakat bahwa dalam proses pembakaran
sampah terjadi pelepasan CO2 dan PAH yang tidak hanya beresiko terhadap
gangguan kesehatan manusia tetapi juga menyebabkan kerusakan pada
lingkungan. Adapun solusi yang diberikan untuk mengatasi permasalahan
terkait pembakaran sampah, antara lain:
1. Memberikan edukasi pada masyarakat tentang bahaya melakukan
pembakaran terbuka.
2. Menanam pohon untuk dapat menyerap Karbon dioksida.
3. Untuk mengatasi sampah yang menumpuk, dapat dilakukan pengelolaan
limbah domestik dengan menerapkan prinsip reduce, reuse, dan recycle
sehingga tidak semua sampah dikelola dengan cara dibakar.
4. Pemangku kebijakan perlu menyediakan fasilitas dan sumber daya
manusia yang cakap dan terampil untuk melakukan pengelolaan limbah
domestik sehingga limbah domestik dapat tertangani dengan baik.
12. Daftar Pustaka
Amelia, A., Alioes, Y., & Rusdan, S. (2015). Hubungan Lama Penggunaan Obat Anti
Nyamuk Bakar dengan Kadar Kolinesterase Darah pada Masyarakat
Kelurahan Jati Rumah Gadang Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2).
Diakses pada http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/303
Latief, R., Sutrisno, E., & Hadiwidodo, M. (2014). Pengaruh jumlah kotoran sapi
terhadap konsentrasi gas amonia (NH3) di dalam rumah (Studi kasus: Desa
dalangan Kelurahan Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang)
(Doctoral dissertation, Diponegoro University). Diakses pada
https://media.neliti.com/media/publications/134179-ID-pengaruh-jumlah-
kotoran-sapi-terhadap-ko.pdf
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pembibitan
Ayam Ras Yang Baik
Ratnia, D. (2018). Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca (Ch4 Dan N2o) Dari Sektor
Peternakan Kabupaten Sleman Bagian Selatan DI Yogyakarta. Diakses pada
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/5555/Laporan%20Tugas
%20Akhir%20Desty%20Ratnia_13513157.pdf?sequence=1
Sunarsih, E., & Purba, I. G. (2020). Keluhan Kesehatan Subjektif Pada Masyarakat
Pengguna Insektisida Antinyamuk di Kecamatan Indralaya. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 19(1), 35-44. Diakses pada
https://repository.unsri.ac.id/36851/
Widiastuti, F., Sutrisno, E., & Huboyo, H. S. (2015). Analisis Timbulan Gas Rumah
Kaca (Co2, Ch4, N2o) Dari Komposting Kotoran Sapi Dan Limbah
Pembakaran Batu Bata (Doctoral dissertation, Diponegoro University).
Diakses pada https://media.neliti.com/media/publications/133409-ID-analisis-
timbulan-gas-rumah-kaca-co2-ch4.pdf
13. Nama : Irvan H Noho
Kelas : A
NIM : 191000117
Kuis Toksikologi Lingkungan
1. Jelaskan dinamika PB di lingkungan
2. Bagaimana menurut saudara, tempat pembuangan akhir sampah yang berada di
lingkungan pemukiman yang padat penduduk
Pembahasan:
1. Dinamika PB di lingkungan
Pb merupakan atau plumbum adalah salah satu zat toksik yang terdapat pada
lingkungan dan mampu menimbulkan efek berupa gangguan kesehatan. Pb
banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pb dapat berasal dari asap
kendaraan bermotor sebagai akibat campuran dari bahan bakar kendaraan. Pb
juga banyak digunakan pada pembuatan peralatan rumah tangga seperti panci
dan lain-lain, dan juga Pb dapat digunakan sebagai bahan campuran cat pada
mainan anak-anak.
a. Udara
Pb dapat mencemari udara sebagai akibat dari pelepasan asap kendaraan
bermotor. Pelepasan asap kendaraan bermotor yang mengandung Pb juga
dapat mencemari makanan yang dijual di pinggir jalan sehingga ketika
dikonsumsi oleh manusia dapat beresiko terhadap kesehatan. Selain itu Pb
juga dapat terhirup oleh manusia.
b. Air
Pencemaran Pb pada air dapat berasal dari larutnya cat-cat pada kapal yang
bersandar di dermaga pelabuhan. Larutnya cat yang menggunakan bahan
baku Pb pada air dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air.
14. Adapun jalur masuk Pb kedalam tubuh manusia meliputi:
a. Inhalasi: asap kendaraan bermotor dan bensin. Proses masuknya Pb
kedalam tubuh manusia melalui proses inhalasi adalah ketika asap
kendaraan bermotor yang dilepas ke udara dapat membuat asap kendaraan
tersebut terhirup oleh manusia sehingga masuk ke saluran pernapasan.
b. Oral: makanan pinggir jalan, cat pada mainan anak penggunaaan
gelas/mangkuk yang telah terkelupas. Makanan yang tercemar asap
kendaraan bermotor beresiko terdapat Pb melalui adsorpsi. Pb tersebut
akan menempel pada makanan lalu dimakan oleh manusia sehingga masuk
ke dalam tubuh. Selanjutnya Pb pada penggunaan mainan pada anak
dikarenakan mainan pada anak yang menggunakan cat mengandung Pb dan
digigit-gigit oleh anak-anak.
c. Topikal: tidak memakai APD saat kerja di lingkungan yang memiliki
resiko terpapar Pb seperti pada industri mainan, industri pembuatan panci,
dan lain-lain.
2. Tempat pemrosesan akhir sampah yang berada di sekitar lingkungan padat
penduduk
Tempat pemrosesan akhir sampah yang berada di lingkungan pemukiman
padat penduduk dapat beresiko terhadap gangguan kesehatan manusia,
terutama pada TPA yang menggunakan sistem open dumping. Hal ini
dikarenakan sampah yang terdapat pada TPA dapat mencemari lingkungan
pemukiman.
a. Air
TPA yang menggunakan sistem open dumping dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran pada air-air yang digunakan oleh warga yang
berasal dari sumur. Hal ini karena saat terjadi hujan, air hujan akan jatuh
pada sampah dan terjadi proses infiltrasi dan masuk kedalam air tanah.
Selanjutnya masyarakat yang menggunakan sumur akan beresiko
menggunakan air yang telah tercemar oleh limbah sampah
15. b. Udara
Pada TPA pencemaran udara dapat terjadi akibat gas methan atau CH4
yang dihasilkan oleh sampah dan aroma busuk, sehingga dapat
menimbulkan ketidak nyamanan pada masyarakat
c. Tanah
Sampah anorganik pada tanah dapat menyebabkan tanah menjadi hilang
kesuburannya. Selain itu, sampah anorganik seperti sampah plastik akan
sulit diuraikan oleh mikroorganisme di tanah.