Kinerja Pustakawan dalam Meningkatkan Popularitas Perpustakaan
https1.docx
1. https://pustakawan.perpusnas.go.id/berita/1092/new-normal,-new-user-habit
Perkembangan jaman mengubah kondisi kehidupan, sebeumnya pengguna perpustakaan
dapat berkumpul dan kelompok secara tatap muka diperpustakaan, dan kondisi saat ini
yang terjadi pada era covid 19 yaitu
1. Layanan daring (online), dari kebiasaan menjadi kebutuhan
Pengguna layanan perpustakaan akan memilih memanfaatkan layanan-layanan
yang tersedia secara daring (online). Selain karena memang tidak bisa
melakukan mobilitas, pengguna akan lebih menyadari bahwa ternyata layanan
daring ini lebih efektif dan efisien.
Kebiasan pengguna berbelanja daring misalnya, dari yang sebelumnya hanya
untuk groceries dan kebutuhan esensial sehari-hari, bisa jadi nantinya
kebutuhan untuk leisure juga semakin beralih ke layanan daring. Kebutuhan ini
diantaranya untuk mengakses buku-buku dan referensi yang selama ini
didapatkan melalui perpustakaan.
Di perpustakaan tempat saya bekerja misalnya, selama ini memiliki layanan
pemesanan dokumen standar, baik untuk pengguna eksternal maupun internal,
yang dilakukan secara hybrid (fisik dan daring). Dalam kondisi kerja dari rumah
seperti saat ini, layanan fisik sangat tidak memungkinkan sehingga harus beralih
dengan mengoptimalisasikan layanan daring yang tersedia. Ternyata bisa, dan
terbukti tetap efektif.
Kondisi ini tentu akan menjadi bahan evaluasi berkelanjutan bagi manajemen
perpustakaan ke depan. Tentu perlu pengembangan sistem yang lebih mumpuni
untuk memberikan pelayanan secara daring. Tapi dengan fakta yang ada di
depan mata, perubahan perilaku pengguna dan korelasinya dengan layanan
yang ada, kesadaran manajemen untuk mengembangkan sistem seharusnya
lebih tinggi.
2. Layanan pesan-antar (delivery), dari kesenangan menjadi kebermanfaatan
Sekilas kita akan berpikir bagaimana perilaku pengguna ini akan berdampak
pada normal baru di perpustakaan. Tetapi Anda mungkin akan terhenyak jika
menyadari bahwa Anda pun mengalaminya selama masa karantina mandiri di
rumah. Layanan ini akan kembali popular untuk berbagai jenis perpustakaan
dengan berbagai skala. Apalagi jika dikombinasikan dengan layanan daring.
Pengguna hanya tinggal pilih koleksi, dalam hal ini yang masih berbentuk fisik,
melalui aplikasi dan koleksi yang dibutuhkan akan diantarkan oleh
layanan delivery perpustakaan. Sangat memudahkan pengguna tapi tentunya
menambah effort dari pengelola perpustakaan. Apa boleh buat, pengguna kita
pasti akan berubah. Jika perpustakaan tidak membaca dan mengimbangi
perubahan perilaku ini, lama-kelaman tentu perpustakaan akan ditinggalkan.
2. 3. Era social (or physical) distancing secara permanen
Social (or physical) distancing akan menjadi normal baru dan bisa jadi permanen
pasca pandemi ini. Orang tidak akan serta merta berinteraksi fisik seperti sedia
kala. Mereka akan sesedikit mungkin melakukan kontak dengan orang lain.
Kemudian membentuk gaya hidup baru, gaya hidup tanpa kontak fisik. Ketika
gaya hidup ini menjadi keseharian pengguna kita, perpustakaan harus
menyusun langkah strategis baru dalam memberikan layanan. Perpustakaan
harus menyusun strategi baru dalam membuat seminar-seminar, diskusi-diskusi,
literasi informasi secara full-contact atau tatap muka, dan lain-lain.
4. Waktu kerja yang fleksibel
Dalam buku “Millenials Kills Everything”, Yuswohady menyebutkan bahwa ke
depan milenial akan membunuh jam kerja “9-to-5”. Saat ini pegawai, yang
notabene adalah pengguna kita, dipaksa untuk menjalankan kerja dari rumah.
Mereka punya banyak kesempatan untuk mengeksplor pola kerja yang lebih
fleksibel. Meski awalnya denial, apalagi harus menggunakan platform-paltform
baru seperti Zoom, Webex, Google Meet, Lite Meet, dll. Tetapi setelah berjalan
berminggu-minggu, berbulan-bulan, mereka mulai terbiasa, menikmatinya dan
ketagihan. Lalu apa dampaknya terhadap perpustakaan? Ke depan kerja dari
rumah akan semakin menjadi kebutuhan, bukan sekedar tren. Pengguna
memiliki waktu kerja yang fleksibel. Mereka bisa membutuhkan sumber referensi
perpustakaan kapan saja, di mana saja. Perpustakaan perlu bersiap,
memperkuat layanan daringnya, memastikan sumber-sumber informasi yang
dibutuhkan pengguna tersedia dan bisa diakses kapan saja, di mana saja tanpa
kendala.
5. Lahirnya generasi Zoom
Hal ini tentu tak dapat dipungkiri. Beberapa minggu terakhir ini saya pribadi
disibukkan dengan aktivitas di aplikasi satu ini. Berbagai diskusi, seminar,
bahkan training tersedia secara daring dan memanfaatkan aplikasi Zoom. Gratis
pula. Tanpa sadar kita seolah dilahirkan kembali di tengah dunia yang rapuh
oleh ancaman pandemi, dan makhluk pertama yang kita lihat bernama “Zoom”.
Zoom menjadi semacam “the new Google” untuk generasi ini.
Bagaimana perpustakaan membaca peluang dari kondisi ini? Selama ini
perpustakaan biasa memberikan layanan seperti literasi informasi, bimbingan
pemustaka, konsultasi, layanan referensi, dan sejenisnya secara tatap muka.
Namun dalam kondisi sekarang, aplikasi Zoom menjadi alternatif menjanjikan
untuk memenuhi kebutuhan pengguna terhadap layanan-layanan tersebut.
6. Low-trust society and constantly-fear customer
Istilah ini saya ambil dari “30 Prediksi Perilaku Konsumen di New Normal”-
nya yuswohady.com. Krisis Covid-19 turut membuat kecurigaan antarmanusia
3. meningkat. Di tengah ketidakpastian, orang mengalami kekacauan mental
sehingga menjalani hari-hari dalam ketakutan. Takut terjadi krisis ekonomi, takut
kehilangan pekerjaan, takut tak mampu membayar hutang, takut terpapar virus,
dan puncaknya takut mati. Kondisi ini diperparah dengan berseliwerannya
disinformasi atau hoaksdi internet.
Maka, perpustakaan dapat berperan dalam kondisi ini dengan menjadi sumber
informasi yang kredibel bagi penggunanya. Perpustakaan dapat mengedukasi
masyarakat untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang benar dan
terpercaya. Perpustakaan dapat mengompilasi sumber informasi terkini yang
relevan dan kredibel sesuai dengan kebutuhan penggunanya.
7. Kebangkitan era virtual society
Adanya kebijakan social (or physical) distancing yang bisa jadi permanen serta
larangan untuk melakukan kegiatan yang mengundang kerumunan adalah faktor
yang membangkitkan era virtual society ini. Lalu apa dampaknya terhadap
perpustakaan? Beberapa tahun terakhir kita membaca berbagai artikel
mengenai konsep “library as makerspace”, “library as a community space”,
“library as a community hub” dan lain sejenisnya. Intinya adalah perpustakaan
menjadi ruang temu dan interaksi antarmanusia untuk saling berdayaguna.
Wabah Covid-19 mengubah tatanan konsep-konsep tersebut. Jika tidak ada
inovasi untuk menjawab tantangan kondisi ini, perpustakaan tak akan bertahan
hidup.
8. Online+Home Learning
Pandemi ini memicu dua tren sekaligus dalam kegiatan pembelajaran. Pertama
pembelajaran secara daring (online learning) memanfaatkan berbagai platform
digital. Kedua, peran orang tua yang semakin besar dalam proses pembelajaran
bagi anaknya (home learning).
Perpustakaan dalam hal ini dapat berperan dengan menyediakan modul-
modul e-learning sesuai dengan ruang lingkup tugas dan fungsinya, misal;
mengembangkan platform e-learning untuk literasi informasi secara umum,
bagaimana mengakses jurnal, bagaimana memanfaatkan Zotero/Mendeley,
bagaimana menyusun karya ilmiah yang baik, dan hal-hal esensial lain yang
dapat dipersonalisasi sesuai target penggunanya. Dalam rangka membantu
orang tua dalam memberikan pembelajaran di rumah, perpustakaan juga dapat
berperan menyusun buku panduan yang relevan sesuai target pengguna. Misal,
menyusun panduan mendongeng untuk anak, panduan perilaku hidup bersih
dan sehat untuk keluarga, dan lain-lain. (MDAP)
Ciri - ciri sekumpulanindividudapatdisebutkelompokyaitu:
- Terdapatdoronganatau motif yangsama pada individu - individuyangmenyebabkanterjadinya
interaksi diantaramerekayangmengarahpadatujuanyangsama.Tujuan akanmudah dicapai jika
dilakukansecaraberkelompok.