1. Khanata – Pustaka LP3ES Indonesia
Analisis Berita • No. 32, Volume I, 2007
Reformasi Absolut Birokrasi
T ANPA tedeng aling-aling, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendedahkan ke hadapan
publik hal ihwal reformasi di Departemen Keuangan sebagai percontohan (benchmarking) bagi
departemen lain dalam lingkungan pemerintahan. Inilah reformasi birokrasi versi Departemen
Keuangan yang diklaim sebagai paling visible sejak Indonesia memasuki kurun politik baru pasca-
Soeharto. Atmosfer makro-politik pada era Orde Baru Soeharto memang tak memungkinkan
berlangsungnya reformasi birokrasi. Itu karena, basis kekuasaan rezim Soeharto tak lain dan tak
bukan adalah feodalisme dan patrimonialisme. Birokrat yang menuntut pelayanan masyarakat—
bukan birokrat pelayan masyarakat—merupakan prasyarat dan sekaligus ladang subur menguatnya
kekuasaan rezim feodal-patrimonial Soeharto. Tak berlebihan jika kemudian muncul harapan bakal
berlalunya model birokrasi feodal-patrimonial sejalan dengan berlalunya (the passing) kekuasaan
Soeharto.
Tetapi apa hendak dikata, satu dasawarsa setelah kejatuhan Soeharto, birokrasi publik tetap
stagnan untuk tak tersentuh oleh proses reformasi. Itulah mengapa, timbul masalah kekosongan
sukma dalam reformasi politik di Indonesia. Lantaran tak tersentuh reformasi, birokrasi merupakan
elemen pemerintahan yang tertinggal di belakang haluan dalam proses reformasi kebangsaan.
Pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota boleh dilakukan secara langsung, sehingga
rekrutmen politik secara demokratis benar-benar menemukan pengejawantahannya. Tetapi kontras
dengan itu, birokrasi yang tak berubah, tetap berjalan di atas landasan feodalisme-patrimonialisme.
Maka, klaim tentang reformasi birokrasi di Departemen Keuangan sebagai percontohan patut untuk
ditelaah secara saksama.
Boks
62 Ribu PNS di Departemen Keuangan
• Nilai Total Tunjangan : Rp 4,3 triliun
• Per Pegawai : Rp 1,33 juta – Rp 46,95 juta
• Instansi Penerima Terbesar : Ditjen Pajak, Bea Cukai dan Bappepam
• Mulai Berlaku : 1 Juli 2007
Sumber: Indo Pos, 9 Juli 2007, hlm. 1
Dalam pernyataannya yang penuh percaya diri, di hadapan pemimpin redaksi media massa
nasional, Menteri Keuangan berbicara tentang dua hal di seputar reformasi birokrasi di Departeman
Keuangan. Dua hal dimaksud adalah remunerasi (tunjangan pegawai) sebesar Rp 4,3 triliun sejak 1
Juli 2007 serta evaluasi terhadap keberadaan 62 ribu pegawai dalam lingkungan Departemen
Keuangan (lihat Boks). Dengan demikian, dua hal ini merupakan agenda reformasi dalam konteks
Departemen Keuangan. Persoalan yang kemudian mengemuka adalah masyarakat belum tahu apakah
pengawai Departemen Keuangan memang layak dan patut mendapatkan remunerasi sebesar itu?
Persoalan lain yang tak kalah gawatnya tercermin pada pertanyaan: apakah memang reformasi
birokrasi selalu sama dan sebangun maknanya dengan peningkatan secara eksponensial pendapatan
pengawai? Atau, adakah sesuatu yang lebih sublimatif dari itu? Bagi Menteri Keuangan jawabnya
amatlah jelas. Uang merupakan faktor determinan keberhasilan reformasi birokrasi. Dengan
determinasi semacam ini muncul tesis, bahwa besarnya pendapatan pegawai negeri sipil ekuivalen
dengan pengurangan korupsi. Lagi-lagi pertanyaannya, benarkah?
Dalam editorialnya pada edisi Selasa, 10 Juli 2007, Indo Pos mengemukakan matra reformasi
1
birokrasi pemerintahan. Pada tingkat kesadaran, reformasi birokrasi di Indonesia kini merupakan
Page
keharusan, mutlak dan berkembang menjadi kebutuhan dalam situasi darurat. Disebut darurat,
lantaran birokrasi gagal menjalankan misi profetik sebagai pelayan masyarakat. Pada tingkat
2.
implementasi, reformasi birokrasi berarti penataan kelembagaan dan fungsi, perampingan organisasi
serta peningkatan kualitas birokrat untuk tujuan penciptaan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas
demi menjamin adanya apa yang disebut “efektivitas dan kepastian dalam pelayanan publik”. Tak bisa
tidak, semua ini merupakan aksioma reformasi birokrasi. Resultannya kemudian tercermin pada
pemberian insentif, remunerasi dan sebagainya. Dengan skema semacam ini, berarti Menteri
Keuangan melakukan lompatan yang sekonyong-konyong, mengingat besarnya remunerasi bukanlah
post factum dari membaiknya mekanisme birokrasi. Logika yang diusung Menteri Keungan justru
adalah ini: tingkatkan dulu remunerasi, baru kemudian dimintakan kesediaan agar para birokrat
bekerja lebih baik dengan memperkuat orientasi pada pelayanan publik. Padahal, hingga munculnya
berita tentang pembengkakan jumlah remunerasi itu aparat Departemen Keuangan belum mampu
memosisikan dirinya sebagai teladan kebajikan membaiknya pelayanan publik.
Dengan mengabaikan hakikat national policy dalam hal menentukan besaran gaji pokok dan
tunjangan, maka Menteri Keuangan menstimuli departemen lain dalam pemerintahan agar
menentukan sendiri besaran gaji pokok dan tunjangan. Dalam pengertiannya yang luas, ini sama saja
maknanya dengan mendorong setiap departemen melakukan tindakan ”anarkis” dalam hal
menentukan magnitude gaji pokok dan tunjangan. Realisme buruk yang kemudian dapat dibaca dengan
segera adalah ini: di tingkat nasional berlangsung pengabaian akan kualifikasi sumber daya manusia
yang dibutuhkan demi meningkatkan kinerja birokrasi publik. Pada titik ini tak ada apa yang disebut
key performance indicators (KPI) untuk keperluan instrumentasi pengukuran kinerja aparat dan birokrat
pemerintah (Investor Daily, 10 Juli 2007, hlm.4). Sehingga tak dapat dibantah, inilah sesungguhnya
trase materialistik peningkatan kinerja birokrasi yang dengan gegap gempita dikumandangkan Menteri
Keuangan. Bahaya besar yang ditimbulkan oleh trase materialistik ini terpatri pada tak adanya jaminan
bakal berakhirnya episode Indonesia sebagai jajaran negara terkorup di dunia, jika sepenuhnya
mengacu pada pola yang diberlakukan Menteri Keuangan.
Pada abad XXI kini, Indonesia merupakan sebuah potret negara gagal (state failure) di dunia
akibat buruknya birokrasi. Kerusakan Indonesia yang hampir sempurna sebagai state failure, benar-
benar bersumber dari kekacauan birokrasi. Tak berlebihan jika kemudian disimpulkan, bahwa
birokrasi merupakan sumber mata air yang keruh namun kemudian mengacaukan totalitas
pengelolaan negara. Terapi yang dibutuhkan demi mengatasi karut-marut birokrasi ditentukan oleh
perubahan tekstur negara. Birokrasi yang sejauh ini diharu-biru oleh aneka perilaku korupsi dengan
berbagai bentuknya yang mengerikan serta berada di luar batas akal sehat manusia hanya mungkin
bisa disucikan melalui upaya-upaya radikal. Upaya radikal dimaksud adalah “reformasi absolut
birokrasi pemerintahan”.
Dengan meminjam perspektif G.W.F. Hegel (1770-1831) tentang “negara sebagai Roh
Absolut”, maka ada keniscayaan mengubah orientasi pengelolaan negara di Indonesia. Mutlak untuk
diberikan pengakuan, bahwa negara dalam realitas Indonesia terlampau jauh dikerumuki najis dan
kotor korupsi dalam berbagai bentuknya. Mau tak mau, negara harus disucikan dan sepenuhnya
diarahkan bekerja sebagai center of excellence terwujudnya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan pada
tingkat kolektif. Negara dalam pengertian terakhir inilah yang oleh Hegel disebut Roh Absolut.
Namun dengan demikian, tak berarti Analisis Berita ini menghimbau dan memanggil siapa pun untuk
menghamba pada negara. Hal fundamental yang diserukan hanyalah, bagaimana tata kelola negara
benar-benar bersih dari pengaruh korupsi. Bukan saja kemudian korupsi tak ditolerir sebagai
kesalahan yang bercorak substansial, tetapi juga tak diterima sebagai kesalahan yang bersifat
aksidental. Celakanya, konsepsi Roh Absolut itu tak ditemukan jejaknya dalam kelembagaan birokrasi
pemerintahan Indonesia. Karena itu, sudah saatnya jika pendidikan dan latihan dalam kerangka human
resources development dalam lingkup birokrasi pemerintahan dilandaskan pada upaya penguatan konsepsi
negara sebagai Roh Absolut. Baru setelah itu kita berbicara tentang remunerasi dan beragam remeh-
temeh yang menyertainya. Inilah reformasi absolut birokrasi.● [ANWARI WMK]
Untuk informasi lebih lanjut tentang pelayanan Analisis Berita, Anda dapat menghubungi Pustaka
LP3ES Indonesia, (c/p. Fatah); 021-566 3527; HP: 0819-3249 1538.
2
Page
Khanata – Pustaka LP3ES Indonesia, Jl. S. Parman Kav. 81 Slipi, Jakarta 11420. Telp. (021) 566 3527; Fax.: (021) 5696 4691;
E-mail: puslp3es@indo.net.id