10. Contoh Feature
Kisah Sang Penggali Kubur
Oleh : maimun shaleh
Abdul Madjid mengistirahatkan setiap jenazah kepada asalnya:
tanah dan debu di liang lahat.
Ketika malam turun di pemakaman di Siroen, Lambaro,
selalu terdengar lolongan anjing, seolah mereka tengah
berdiskusi. Disertai angin malam yang dingin, dan sunyi
yang mencekam, gambaran film horor itu seolah hadir di
kawasan Aceh besar pasca-tsunami. Pada saat itulah, Abdul
Madjid menyalakan senter, lalu mengarahkan cahaya ke
kerumunan anjing itu. Ia terperangah. Anjing-anjing itu
berkelahi memperebutkan tulang-belulang manusia.
11. Abdul menghardik. Mereka tak peduli. Setelah dilempari
batu, barulah anjing-anjing itu kabur. Abdul memungut
kembali tulang yang berserakan, lalu dikumpulkan dengan
alas daun pisang. Pada malam yang sunyi itu ia menguburkan
tulang-tulang tersebut. Sendirian. Tapi kawanan anjing tadi
berhasil membawa kabur dua tulang kaki, dua tulang tangan,
dan satu tengkorak kepala.
Peristiwa Sabtu malam itu, dua pekan setelah tsunami
menggulung Banda Aceh, terjadi di kuburan massal korban
tsunami yang terletak di Siroen, Lambaro, Aceh Besar. Lima
puluh ribu orang dimakamkan di situ, tapi penjaganya cuma
Abdul Madjid seorang diri. Pria berusia 48 tahun ini ikut
membantu penguburan sejak awal. ”Tiga jam sekali, ada
jenazah masuk,” kata Abdul kepada Tempo, yang
menemuinya pada awal bulan ini.
12. Sejak malam pertama, kawanan anjing sudah mengincar kuburan
ini. Anjing-anjing itu asyik berebut daging, juga tulang-tulangnya.
Abdul sedih. Ia lalu berinisiatif ronda malam seorang diri. Tak
cuma kuburan itu yang aman, warga pun merasa sentosa.
Maklum, banyak orang yang ngeri dengan kuburan massal itu.
Sang istri bahkan sempat menjauh. ”Setiap pulang, baju dan
badannya bau mayat,” Aisyiah mengisahkan kegiatan suaminya.
Untung, Aisyiah kini tak takut lagi. Yang dia cemaskan cuma biaya
hidup rumah tangga. Sebab, pekerjaan menjaga kuburan ini
gratisan. Kalaupun ada yang membayar, sifatnya sukarela.
Abdul Madjid sempat berinisiatif menaruh dua celengan di sisi
kiri-kanan makam. Maksudnya agar para pezirah menaruh duit di
dalamnya. Duit itu kemudian dipakai Abdul Madjid untuk membeli
karpet plastik, sapu, dan berbagai peralatan bersih-bersih lainnya.
Sisa uang diserahkan ke Masjid Batul Izzati, yang berada di
seberang jalan. Tapi Abdul justru dituduh makan uang kuburan itu.
”Padahal, demi Tuhan, saya tidak melakukannya,” katanya sedih.
13. Karena asap dapur seret mengepul, ia akhirnya menjual
sapinya yang laku Rp 2,4 juta. Sapi itu adalah upah atas
pengembalaan hewan ternak salah seorang warga. Dan
hanya itu harta Abdul Madjid satu-satunya. Uangnya sudah
habis pula untuk berobat sang istri yang didera penyakit
jantung.
Kisah sedih seakan terus menguntit Abdul Madjid. Rumah
tinggalnya dihancurkan karena pemilik tanah tak lagi
memberikan izin menetap di situ. Dalam keadaan mabuk si
tuan tanah ini mengusir keluarga Abdul Madjid.
Kini, bersama keluarga, Abdul menetap di bekas kandang
sapinya dengan perbaikan seadanya.
14. Hidup susah itu tak membuatnya meninggalkan kuburan
massal yang dia anggap sebagai kewajibannya sebagai
warga. Jiwa-jiwa di situ seakan terus memanggilnya. Hingga
kini ritual ini sudah bagian dari napasnya: mengitari
kuburan, mengusir anjing yang berebut daging manusia, lalu
menguburkan tulang-tulang yang berserakan. Sendirian. Di
kegelapan malam. ”Saya ingin mencari pintu taubat di sini,”
katanya sembari menerawang.
Kini kuburan yang dulu gersang itu tampak hijau. Abdul
Madjid menanaminya dengan kembang sepatu, serunai
rambat, bunga raya, dan pohon pepaya. Saban malam ia
berada di situ. Sempat sepekan ia absen. Tapi itu karena ia
diserang diare berat. Tapi selebihnya ia adalah penjaga yang
setia.