SlideShare a Scribd company logo
1 of 27
Download to read offline
PANDUAN
PENENTUAN KLASIFIKASI FUNGSI JALAN
DI WILAYAH PERKOTAAN
NO. 010/T/BNKT/1990
DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA
DIREKTORAT PEMBINAAN JALAN KOTA
PRAKATA
Dalam rangka mewujudkan peranan penting jalan dalam mendorong perkembangan kehidupan
bangsa, sesuai dengan U.U. no. 13/1980 Tentang Jalan, Pemerintah berkewajiban melakukan
pembinaan yang menjurus ke arah profesionalisme dalam bidang pengelolaan jalan, baik di pusat
maupun di daerah.
Adanya buku-buku standar, baik mengenai Tata Cara Pelaksanaan, Spesifikasi, maupun
Metoda Pengujian, yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian dan
pemeliharaan merupakan kebutuhan yang mendesak guna menuju ke pengelolaan jalan yang
lebih baik, efisien dan seragam.
Sambil menunggu terbitnya buku-buku standar dimaksud, buku "Panduan Penentuan
Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan" ini dikeluarkan guna memenuhi kebutuhan
intern di lingkungan Direktorat Pembinaan Jalan Kota.
Menyadari akan belum sempurnanya buku ini, maka pendapat dan saran dari semua
pihak akan kami hargai guna penyempurnaan dikemudian hari.
Jakarta, Januari 1990.
DIREKTURPEMBINAANJALAN KOTA
DJOKO ASMORO
DAFTAR ISI
Halaman
1. Pedahuluan ........................................................................................................................ 1
2. Maksud dan Tujuan .................................................................................................. 1
3. Ruang Lingkup ................................................................................................... 1
4. Pengertian ....................................................................................................... 1
4.1. Sistem Jaringan Jalan Primer ……………………………………………… 1
4.2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder 5
4.3. Kaitan antara Hirarki Jalan dengan Sistem Jaringan Jalan Menurut
Wewenang Pembinaan ......................................................................................... 6
5. Kriteria yang Dipertimbangkan dalam Menetapkan Klasifikasi Fungsi Jalan
5.1. Jalan Arteri Primer …………………………………………………………. 9
5.2. Jalan Kolektor Primer ……………………………………………………….. 12
5.3. Jalan Lokal Primer …………………………………………………………. 15
5.4. Jalan Arteri Sekunder ................................................................................................................ 15
5.5. Jalan Kolektor Sekunder ……………………………………………………… 16
5.6. Jalan Lokal Sekunder …………………………………………………………. 16
6. Penutup ........................................................................................................................................... 20
I. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, jaringan jalan di kota-kota besar di Indonesia telah dittandai dengan
kemacetan - kemacetan lalu lintas. Selain akibat pertumbuhan lalu lintas yang pesat,
kemacetan tersebut disebabkan oleh terbaurnya peranan arteri, kolektor dan lokal pada
jalan yang seharusnya berperan sebagai jalan arteri dan sebaliknya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu kiranya dilakukan pemantapan fungsi jaringan
jalan kota. Panduan klasifikasi fungsi jalan ini diharapkan dapat membantu proses penetapan
klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkotaan. Acuan utama panduan ini adalah
Undang-Undang nomor 13 tahun 1980 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah nomor
26 tahun 1985 tentang Jalan. ruas-ruas jalan yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya dapat
dipakai sebagai pegangan dan petunjuk seperti untuk koordinasi dengan manajemen sistem
transportasi dan tata guna lahan. Koordinasi tersebut dimaksudkan untuk dapat
diterapkannya penggunaan jaringan jalan sesuai dengan fungsinya, sehingga sistem
transportasi yang efisien disamping keselamatan lalu lintas dapat
ditingkatkan/diwujudkan.
2. MAKSUD DAN TUJUAN
Buku panduan ini dimaksudkan untuk dapat memberikan arahan dan bimbingan dalam
perencanaan jaringan jalan di wilayah perkotaan. Buku panduan ini diharapkan dapat
memperjelas penentuan klasifikasi fungsi jalan, sehingga pelaksanaan tugas pembinaan dan
perencanaan jaringan jalan di wilayah perkotaan dapat lebih terarah.
3. RUANG LINGKUP
Buku panduan ini hanya membahas jaringan jalan di wilayah perkotaan yang terdiri
dari sistem jaringan jalan primer dan sekunder. Pokok bahasan meliputi sistem jaringan jalan
dan kriteria untuk fungsi ruas jalan. Dengan menggunakan kriteria dalam penetapan
fungsi jalan pada buku panduan ini, klasifikasi fungsi jalan kota saat sekarang dan yang
dituju dapat diformulasikan.
4. PENGERTIAN
Jaringan jalan merupakan satu kesatuan sistem terdiri dari sistem jaringan jalan
primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hirarki.
4.1. Sistem Jaringan Jalan Primer
a. Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang
dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan
simpul-simpul jasa distribusi.
b. Jaringan jalan primer menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu, kota
jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang dibawahnya sampai ke persil
dalam satu satuan wilayah pengembangan. Jaringan jalan primer
menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar
satuan wilayah pengembangan.
c. Jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota. Jaringan jalan
primer harus menghubungkan kawasan primer. Suatu ruas jalan primer dapat
berakhir pada suatu kawasan primer. Kawasan yang mempunyai fungsi primer
antara lain: industri skala regional, terminal barang/pergudangan,
1
pelabuhan, bandar udara, pasar induk, pusat perdagangan skala regional/ grosir.
d. Jalan Arteri Primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang ke satu
dengan kota jenjang ke satu yang terletak berdampingan atau menghubungkan
kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
e. Jalan Kolektor Primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan
kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang
ketiga.
f. Jalan Lokal Primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu
dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau
menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga
dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil, atau kota
dibawah jenjang ketiga sampai persil.
g. Yang dimaksud dengan kota jenjang kesatu ialah kota yang berperan melayani
seluruh satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang
paling tinggi dalam satuan wilayah pengembangannya serta memiliki orientasi
keluar wilayahnya.
h. Yang dimaksud dengan kota jenjang kedua ialah kota yang berperan melayani
sebagian dari satuan wilayah pengembangannya dengan kemampuan pelayanan
jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kesatu dalam satuan wilayah
pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta
memiliki orientasi ke kota jenjang kesatu.
i. Yang dimaksud dengan kota jenjang ketiga ialah kota yang berperan melayani
sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan
jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kedua dalam satuan wilayah
pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta
memiliki orientasi ke kota jenjang kedua dan ke kota jenjang kesatu.
j. Yang dimaksud dengan kota di bawah jenjang ketiga ialah kota yang berperan
melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan
pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang ketiga dan terikat jangkauan
serta orientasi yang mengikuti prinsip-prinsip di atas.
k. Kawasan adalah wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan lingkup
pengamatan fungsi tertentu.
1. Kawasan Primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi
primer (Fl) adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai
pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah
pengembangannya.
m. Hubungan antar hirarki kota dengan peranan ruas jalan penghubungnya dalam
sistem jaringan jalan primer diberikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1
disajikan dalam bentuk matrix dan Gambar 1 disajikan dalam bentuk diagram.
2
Tabel 1 : Hubungan antar hirarki kota dengan peranan ruas
jalan dalam sistem jaringan jalan primer
KOTA JENJANG
I
JENJANG
II
JENJANG
III
PERSIL
JENJANG I Arteri Arteri - Lokal
JENJANG II Arteri Kolektor Kolektor Lokal
JENJANG III - Kolektor Lokal Lokal
PERSIL Lokal Lokal Lokal Lokal
3
4
4.2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
a. Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi
primer, fungsi sekunder ke satu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan.
b. Jalan Arteri Sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder
kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
kedua.
c. Jalan Kolektor Sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder ketiga.
d. Kawasan Sekunder adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi sekunder.
Fungsi sekunder sebuah kota dihubungkan dengan pelayanan terhadap warga
kota itu sendiri yang lebih berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal. Fungsi ini
dapat mengandung fungsi yang terkait pada pelayanan jasa yang bersifat
pertahanan keamanan yang selanjutnya disebut fungsi sekunder yang bersifat
khusus.
g. Fungsi primer dan fungsi sekunder harus tersusun teratur dan tidak terbaurkan.
Fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua dan seterusnya
terikat dalam satu hubungan hirarki.
h. Fungsi primer adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota
sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah
pengembangannya.
i. Fungsi sekunder adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan
kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan penduduk kota itu sendiri.
j. Wilayah dimaksudkan sebagai kesatuan geografi beserta segenap unsur yang
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pengamatan
administratif dan atau fungsional.
k. Struktur kawasan kota dapat dibedakan berdasarkan besarnya penduduk kota yang
bersangkutan. Ketentuan tentang fungsi kawasan, penduduk pendukung dan jenis
sarananya dapat dilihat pada Lampiran.
1. Hubungan antar kawasan kota dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan
jalan sekunder diberikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2 disajikan dalam
bentuk matrix dan Gambar 2 disojikan dalam bentuk diagram.
5
Tabel 2 : Hubungan antara kawasan kota dengan peranan ruas
Jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder
KAWASAN PRIMER
(F1)
SEKUNDER
1
(21)
SEKUNDER
2
(F22)
SEKUNDER
3
(23)
PERUMAHAN
Primer
(F1) - arteri - - -
Sekunder I
L
(F21)
arteri arteri arteri - lokal
Sekunder II
(F22) - arteri kolektor kolektor lokal
Sekunder III
(F23) - - kolektor - lokal
Perumahan - lokal lokal lokal -
4.3. Kaitan antara Hirarki Jalan Dengan Sistem Jaringan Jalan MenurutWewenang
Pembinaan
Menurut wewenang pembinaan jalan dikelompokkan menjadi jalan Nasional,
Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten, Jalan Kotamadya dan Jalan
Khusus.
a. Jalan Nasional
Yang termasuk kelompok jalan nasional adalah jalan arteri primer, jalan
kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi,
dan jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional.
Penetapan status suatu jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan
Keputusan Menteri.
b. Jalan Propinsi
Yang termasuk kelompok jalan propinsi adalah:
i. Jalan kolektor primer yang menghubungkan lbukota Propinsi dengan Ibukota
Kabupaten/Kotamadya.
ii. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar lbukota Kabupaten/
Kotamadya.
iii. Jalan lain yang mempunyai kepentingan strategis terhadap kepentingan propinsi.
iv. Jalan dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang tidak termasuk jalan nasional.
Penetapan status suatu jalan sebagai jalan propinsi dilakukan dengan Keputusan
Menteri Dalam Negeri atas usul Pemerintah Daerah Tingkat I yang
bersangkutan, dengan memperhatikan pendapat Menteri.
6
7
c. Jalan Kabupaten
Yang termasuk kelompok jalan kabupaten adalah:
i. Jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan propinsi.
ii. Jalan lokal primer
iii. Jalan sekunder dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan nasional,
jalan propinsi dan jalan kotamadya.
Penetapan status suatu jalan sebagai jalan kabupaten dilakukan dengan Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, atas usul Pemerintah Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
d. Jalan Kotamadya
Yang termasuk kelompok jalan Kotamadya adalah jaringan jalan sekunder di dalam
kotamadya. Penetapan status suatu ruas jalan arteri sekunder dan atau ruas jalan
kolektor sekunder sebagai jalan kotamadya dilakukan dengan keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I atas usul Pemerintah Daerah Kotamadya yang bersangkutan.
Penetapan status suatu ruas jalan lokal sekunder sebagai jalan Kotamadya dilakukan
dengan Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
e. Jalan Khusus
Yang termasuk kelompok jalan khusus adalah jalan yang dibangun dan dipelihara oleh
instansi/badan hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing.
Penetapan status suatu ruas jalan khusus dilakukan oleh instansi/badan
hukum/perorangan yang memiliki ruas jalan khusus tersebut dengan memperhatikan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum.
f. Perubahan Status Jalan
Suatu ruas jalan dapat ditingkatkan statusnya menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi
persyaratan sebagai berikut:
i. Ruas jalan tersebut berperan penting dalam pelayanan terhadap wilayah/
kawasan yang lebih luas dari wilayah/kawasan semula.
ii Ruas jalan tersebut makin dibutuhkan masyarakat dalam rangka pengem
bangan sistem transportasi.
Suatu ruas jalan dapat diturunkan statusnya menjadi lebih rendah apabila terjadi hal-hal
yang berlawanan dengan yang tersebut. di atas. Peralihan status suatu jalan dapat
diusulkan oleh pembina jalan semula kepada pembina jalan dituju. Pembina jalan yang
menerima usulan atau saran memberikan pendapatnya kepada pejabat yang menetapkan
status semula. Penetapan status ruas jalan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang
menetapkan status baru dari ruas jalan yang bersangkutan, setelah mendengar pendapat
pejabat yang menetapkan status semula.
8
5 KRITERIA YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM MENETAPKAN
KLASIFIKASI FUNGSI JALAN
Kriteria ini dimaksudkan sebagai ciri-ciri umum yang diharapkan pada masing-masing
fungsi jalan. Ciri-ciri ini dapat merupakan arahan fungsi jalan yang perlu dipenuhi/
didekati. Sketsa hipotetis hirarki jalan kota dapat dilihat pada Gambar 3.
5.1. Jalan Arteri Primer
a. Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan jalan arteri primer luar kota.
b. Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer.
c. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60
km/jam.
d. Lebar badan jalan arteri primer tidak kurang dari 8 meter (Gambar 4).
9
10
11
e. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu-lintas regional. Untuk
itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, dan lalu lintas
lokal, dari kegiatan lokal (Gambar 5).
f. Kendaraan angkutan barang berat dan kendaraan umum bus dapat diizinkan
melalui jalan ini.
g. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien. J arak antar jalan
masuk/akes langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter.
h. Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu yang
sesuai dengan volume lalu lintasnya.
i. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas
rata-rata.
j. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan
yang lain.
k. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan seharusnya tidak diizinkan.
1. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu
pengatur lalu lintas, lampu penerangan jalan dan lain-lain.
m. Jalur khusus seharusnya disediakan yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya.
n. Jalan arteri primer seharusnya dilengkapi dengan median.
5.2. Jalan Kolektor Primer
a. Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar
kota.
b. Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri
primer.
c. Jalan kolektor primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40
(empat puluh) km per jam.
d. Lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang dari 7 (tujuh) meter (Gambar 6).
e. Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien. Jarak antar
jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter.
12
13
14
f. Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini.
g. Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu yang
sesuai dengan volume lalu lintasnya.
h. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume
lalu lintas rata-rata.
i. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diizinkan
pada jam sibuk.
j. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu
pengatur lalu lintas dan lampu penerangan jalan.
k. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan arteri
primer.
l. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya.
5.3. Jalan Lokal Primer
a. Jalan lokal primer dalam kota merupakan terusan jalan lokal primer luar kota.
b. Jalan lokal primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer
lainnya.
c. Jalan lokal primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20
(dua puluh) km per jam.
d. Kendaraan angkutan barang dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini.
e. Lebar badan jalan lokal primer tidak kurang dari 6 (enam) meter (Gambar 7).
f. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah pada sistem
primer
.
5.4. Jalan Arteri Sekunder
a. Jalan arteri sekunder menghubungkan :
i. kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu.
ii. antar kawasan sekunder kesatu.
iii. kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
iv. jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu.
b. Jalan arteri sekunder dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30
(tiga puluh) km per jam.
c. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter (Gambar 8).
d. Lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu lintas
lambat.
e. Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter.
15
f. Kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat
diizinkan melalui jalan ini.
g. Persimpangan pads jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai
dengan volume lalu lintasnya.
h. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas same atau lebih besar dari volume
lalu lintas rata-rata.
i. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak
dizinkanpada jam sibuk.
j. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu
pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain.
k. Besarnya lala lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem
sekunder yang lain.
1. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan
kendaraan lambat lainnya.
m. Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang dengan
kelas jalan yang lebih rendah.
5.5. Jalan Kolektor Sekunder
a. Jalan kolektor sekunder menghubungkan:
i. enter kawasan sekunder kedua.
ii. kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
b. Jalan kolektor sekunder dirancang berdasarken keoepatan rencana paling rendah 20
(dua puluh) km per jam.
c. Lebar badan jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 (tujuh) meter (Gambar 9).
d. Kendaraan angkutan barang berat tidak diizinkan melalui fungsi jalan ini di daerah
pemukiman.
e. Lokasi parkir pads badan jalan-dibatasi.
f. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.
g. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pads umumnya lebih rendah dari sistem primer
dan arteri sekunder.
5.8. Jalan Lokal Sekunder
a. Jalan lokal sekunder menghubungkan:
i. enter kawasan sekunder ketiga atau dibawahnya.
ii. kawasan sekunder dengan perumahan.
b. Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10
(sepuluh) km per jam.
c. Lebar badan jalan lokal sekunder tidak kurang dari 5 (lima) meter (Gambar 10).
16
17
18
19
d. Kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diizinkan melalui fungsi jaIan ini di dae-
rah pemukiman.
e. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah dibandingkan
dengan fungsi jalan yang 'lain.
6. PENUTUP
Buku panduan ini telah memberikan arahan secara teknis dalam mempersiapkan penetapan
klasifikasi fungsi jalan. Selanjutnya hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
6.1. Penetapan ruas-ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan primer dan
jalan arteri sekunder dilakukan secara berkala oleh Menteri Pekerjaan Umum setelah
mendengar pendapat Menteri Perhubungan sesuai dengan
tingkat perkembangan wilayah yang telah dicapai.
6.2. Penetapan ruas-ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan sekunder
kscuali jalan arteri sekunder dilakukan secara berkala oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I, atas usul Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan dengan memperhatikan petunjuk Menteri Pekerjaan Umum
dan Menteri Perhubungan sesuai dengan tingkat perkembangan kawasan kota yang telah
dicapai.
6.3. Kiranya dapat disimpulkan bahwa data utama yang perlu disimpulkan dan
beberapa faktor khusus yang perlu dipertimbangkan untuk menetapkan
klasifikasi fungsi jalan meliputi:
a Peta jaringan jalan.
b. Peta tata guna lahan, baik untuk keadaan sekarang maupun rencana
pengembangannya di masa mendatang yang disertai dengan informasi lebih
lengkap mengenai potensi aktivitas - aktivitas perdagangan, pergudangan,
perkantoran, industri, pendidikan serta jasa jasa lain baik yang bersifat regional
maupun lokal. (Untuk mengurangi konflik antara sistem transportasi dan tata guna lahan,
keseimbangan/kesesuaianantarafungsijaringanjalandengantatagunalahanperludipenuhi).
c. Volume kendaraan sesuai dengan jenisnya.
(Meskipun volume lalu lintas bergantung kepada beberapa faktor, tetapi
secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi volume lalu lintas pada suatu
ruas jalan makin tinggi pula klasifikasi jalan tersebut. Sebagai contoh bahwa
volume lalu lintas bukan satu-satunya kriteria yang digunakan adalah sebagai
berikut: suatu ruas jalan yang melayani volume lalu lintas yang rendah dan
berdasarkan volume ini bisa digolongkan pada jalan lokal seharussnya adalah
jalan arteri sekunder jikalau jalan tersebut melayani kendaraan-kendaraan
beret dan hanya satu-satunya ruas jalan yang menghubungkan jalan arteri.
Sebaliknya, jalan jalan yang memberikan akses ke daerah parkir suatu
pusat pertokoan dan melayani lalu lintas yang tinggi tidak bisa digolongkan
sebagai jalan arteri sekunder).
d. Lebar jalan, rambu-rambu lalu lintas serta fasilitas parkir kendaraan.
e. Rute kendaraan umum bis dan bemo serta truk.
20
f. Proporsi lalu lintas menerus pada jalan jalan utama.
g. Rencana induk kota.
h. Data pendukung lain yang tersedia.
6.4. Didalam menentukan klasifikasi fungsi jalan, pedoman utama yang harus diikuti
adalah pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia tentang jalan serta
pasal 4 sampai pasal 1.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun 1985
tentang jalan. Isi pedoman utama ini telah dijabarkan pada Bab pengertian.
21
22
Lampiran
STRUKTUR KAWASAN SEKUNDER
Hirarki Pusat Pelayanan Penduduk
Pendukung
Jenis Sarana
KM KB KS KK
F21 - - - 1.000.000 1. Balai Kota
2. Gedung Kesenian
3. Bioskop
4. Mesjid
5. Gedung serbaguna
6. Perpustakaan
7. Parkir
8. Kantor Polisi
9. Kantor Pos
10.Kantor Telepon
11.Kantor PAM
12.Kantor PLN
13.Peribadatan lainnya
14.Pusat Perbelanjaan
15 Akademi/Perti
F22 F21 - - 480.000- 1. Taman/Tempat main/olah
F23 F22 F21 -
1.000.000
120.000-
480.000
raga
2. Pusat Perbelanjaan
3. Rumah Sakit
4. Gedung serbaguna
5. Bioskop
6. Gedung kesenian
7. Parkir
8. Kantor Wilayah
9. Kantor Polisi
10.Pos Pemadam Kebakaran
11.Kantor Telepon
12.Pelayanan Umum dan
Rekreasi
1. Taman/tempat bermain
Olahraga
2. SLA
3. Pusat Perbelanjaan
4 Puskesmas + B
pertemuan
5. Gedung Seba Guna
6. Masjid
7. Parkir
8. Kantor Kecamatan
9. Kantor
10.Kantor Pos
23
Hirarki Pusat Pelayanan Penduduk
Pendukung
Jenis Sarana
KM KB KS KK
11.Pos Pemadam Kebakaran
12.Kantor Telepon
13.Pelayanan Umum
dan Rekreasi
F-24 F-23 F22 F21 30.000- 1. Taman/tempat main/
120.000.- olahraga
2. SLP (2 session)
3. BKIA + Session)
3. BKIA + R. Bersalin
4. Pusat Perbelanjaan
5. Puskesmas + B.Pertemuan
6. Apotik
7. Gedung serbaguna
8. Masjid
9. Bioskop
10.Parkir
11.Kantor
Lingkungan
12.Kantor Polisi
13.Kantor Pos
14.Pos Pemadam
Kebakaran
F25 F24 F23 F22 2.500- 1. Taman/tempat main/olah
30.000 raga
2. T.K.
3. S.D. (2 session)
4. Pertokoan
5. Langgar
6. Balai Pertemuan
7. Parkir
8. Pelayanan Umum dan
Rekreasi
Keterangan:
KM = Kota Metropolitan
KB = Kota Besar
KS = Kota Sedang
KK = Kota Kecil
F21 = Kawasan Sekunder I
F22 = Kawasan Sekunder II
K23 = Kawasan Sekunder III
K24 = Kawasan Sekunder IV
F25 = Kawasan Sekunder V
24

More Related Content

What's hot

Bab 4 pendekatan dan metodologi
Bab 4   pendekatan dan metodologiBab 4   pendekatan dan metodologi
Bab 4 pendekatan dan metodologidandi rustandi
 
Tn 2012 sisjar fungsi status jalan
Tn 2012 sisjar fungsi status jalanTn 2012 sisjar fungsi status jalan
Tn 2012 sisjar fungsi status jalanhendro51
 
Sistem Jaringan Jalan
Sistem Jaringan JalanSistem Jaringan Jalan
Sistem Jaringan Jalanindra aprian
 
Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan Joy Irman
 
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaanPedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaaninfosanitasi
 
Proses Desain Drainase Perkotaan
Proses Desain Drainase PerkotaanProses Desain Drainase Perkotaan
Proses Desain Drainase PerkotaanJoy Irman
 
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1infosanitasi
 
Contoh perhitungan drainase perkotaan
Contoh perhitungan drainase perkotaanContoh perhitungan drainase perkotaan
Contoh perhitungan drainase perkotaanSyahrul Ilham
 
Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...
Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...
Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...Penataan Ruang
 
Barchart dan Penjadwalan proyek
Barchart dan Penjadwalan proyekBarchart dan Penjadwalan proyek
Barchart dan Penjadwalan proyekNurul Angreliany
 
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase PerkotaanPermen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaaninfosanitasi
 
Sistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Sistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase PerkotaanSistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Sistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase PerkotaanJoy Irman
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...Penataan Ruang
 
Alinemen vertikal-teks1
Alinemen vertikal-teks1Alinemen vertikal-teks1
Alinemen vertikal-teks1WSKT
 
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air MinumPedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minuminfosanitasi
 
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaPerka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPenataan Ruang
 
Sni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan
Sni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaanSni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan
Sni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaanArdita Putri Usandy
 
Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)
Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)
Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)andribacotid
 

What's hot (20)

Bab 4 pendekatan dan metodologi
Bab 4   pendekatan dan metodologiBab 4   pendekatan dan metodologi
Bab 4 pendekatan dan metodologi
 
Tn 2012 sisjar fungsi status jalan
Tn 2012 sisjar fungsi status jalanTn 2012 sisjar fungsi status jalan
Tn 2012 sisjar fungsi status jalan
 
Koef runoff
Koef runoffKoef runoff
Koef runoff
 
Sistem Jaringan Jalan
Sistem Jaringan JalanSistem Jaringan Jalan
Sistem Jaringan Jalan
 
Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Tata Cara Penyusunan Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
 
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaanPedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
Pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
 
Proses Desain Drainase Perkotaan
Proses Desain Drainase PerkotaanProses Desain Drainase Perkotaan
Proses Desain Drainase Perkotaan
 
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan - Lamp1
 
Contoh perhitungan drainase perkotaan
Contoh perhitungan drainase perkotaanContoh perhitungan drainase perkotaan
Contoh perhitungan drainase perkotaan
 
Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...
Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...
Permen PU Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruan...
 
Barchart dan Penjadwalan proyek
Barchart dan Penjadwalan proyekBarchart dan Penjadwalan proyek
Barchart dan Penjadwalan proyek
 
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase PerkotaanPermen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan
Permen PU No 12 Tahun 2014 tentang Drainase Perkotaan
 
Sistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Sistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase PerkotaanSistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
Sistematika Dokumen Rencana Induk Sistem Drainase Perkotaan
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/K...
 
Alinemen vertikal-teks1
Alinemen vertikal-teks1Alinemen vertikal-teks1
Alinemen vertikal-teks1
 
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air MinumPedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
 
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaPerka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
 
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota
 
Sni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan
Sni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaanSni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan
Sni 03 1733-2004 v.2 tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan
 
Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)
Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)
Geometrik Jalan Raya (Perencanaan)
 

Similar to JALAN FUNGSI

Permen pu03 2012
Permen pu03 2012Permen pu03 2012
Permen pu03 2012samadbjb
 
Panduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaan
Panduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaanPanduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaan
Panduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaanKetut Swandana
 
Panduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkot
Panduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkotPanduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkot
Panduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkotFuad CR
 
02dasar2-geometrik-jalan.pptx
02dasar2-geometrik-jalan.pptx02dasar2-geometrik-jalan.pptx
02dasar2-geometrik-jalan.pptxIekORlando
 
Kriteria pengendalian pemanfaatan ruang
Kriteria pengendalian pemanfaatan ruangKriteria pengendalian pemanfaatan ruang
Kriteria pengendalian pemanfaatan ruangRahmi Yunianti
 
Transportasi Modul 2.pdf
Transportasi Modul 2.pdfTransportasi Modul 2.pdf
Transportasi Modul 2.pdfDedeIskamto1
 
Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi
Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi
Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi Gita Saraswati
 
Jalan arteri primer
Jalan arteri primerJalan arteri primer
Jalan arteri primerRezha Azhar
 
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang JalanPeraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang JalanPenataan Ruang
 
Peraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdf
Peraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdfPeraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdf
Peraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdfMuhammadAswal
 
BA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdf
BA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdfBA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdf
BA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdffransiscaindriyani91
 
Eki Manajemen Transportasi
Eki Manajemen TransportasiEki Manajemen Transportasi
Eki Manajemen TransportasiUNTIRTA
 
a57e2_6._UU_Jalan.ppt
a57e2_6._UU_Jalan.ppta57e2_6._UU_Jalan.ppt
a57e2_6._UU_Jalan.pptmelky28
 
11 39-1-pb
11 39-1-pb11 39-1-pb
11 39-1-pbdniel6
 

Similar to JALAN FUNGSI (20)

Permen pu03 2012
Permen pu03 2012Permen pu03 2012
Permen pu03 2012
 
Panduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaan
Panduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaanPanduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaan
Panduan penentuan klasifikasi_fungsi_jalan_di_wilayah_perkotaan
 
Panduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkot
Panduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkotPanduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkot
Panduan penentuan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkot
 
02dasar2-geometrik-jalan.pptx
02dasar2-geometrik-jalan.pptx02dasar2-geometrik-jalan.pptx
02dasar2-geometrik-jalan.pptx
 
Kriteria pengendalian pemanfaatan ruang
Kriteria pengendalian pemanfaatan ruangKriteria pengendalian pemanfaatan ruang
Kriteria pengendalian pemanfaatan ruang
 
Bab iv (hal. 69 87)
Bab iv (hal. 69   87)Bab iv (hal. 69   87)
Bab iv (hal. 69 87)
 
Transportasi Modul 2.pdf
Transportasi Modul 2.pdfTransportasi Modul 2.pdf
Transportasi Modul 2.pdf
 
02_pertemuan_2.ppt
02_pertemuan_2.ppt02_pertemuan_2.ppt
02_pertemuan_2.ppt
 
PPT Struktur .pptx
PPT Struktur .pptxPPT Struktur .pptx
PPT Struktur .pptx
 
Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi
Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi
Skripsi Penyusunan Peraturan Zonasi
 
Pp no 34_2006
Pp no 34_2006Pp no 34_2006
Pp no 34_2006
 
Jalan arteri primer
Jalan arteri primerJalan arteri primer
Jalan arteri primer
 
Pp34 06
Pp34 06Pp34 06
Pp34 06
 
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang JalanPeraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan
 
Peraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdf
Peraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdfPeraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdf
Peraturan Pemerintah no 34 tahun 2006 tentang jalan.pdf
 
BA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdf
BA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdfBA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdf
BA XII 3.3 Pemanfaatan PJ dan SIG Full.pdf
 
Eki Manajemen Transportasi
Eki Manajemen TransportasiEki Manajemen Transportasi
Eki Manajemen Transportasi
 
a57e2_6._UU_Jalan.ppt
a57e2_6._UU_Jalan.ppta57e2_6._UU_Jalan.ppt
a57e2_6._UU_Jalan.ppt
 
UU_Jalan.ppt
UU_Jalan.pptUU_Jalan.ppt
UU_Jalan.ppt
 
11 39-1-pb
11 39-1-pb11 39-1-pb
11 39-1-pb
 

JALAN FUNGSI

  • 1. PANDUAN PENENTUAN KLASIFIKASI FUNGSI JALAN DI WILAYAH PERKOTAAN NO. 010/T/BNKT/1990 DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT PEMBINAAN JALAN KOTA
  • 2. PRAKATA Dalam rangka mewujudkan peranan penting jalan dalam mendorong perkembangan kehidupan bangsa, sesuai dengan U.U. no. 13/1980 Tentang Jalan, Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan yang menjurus ke arah profesionalisme dalam bidang pengelolaan jalan, baik di pusat maupun di daerah. Adanya buku-buku standar, baik mengenai Tata Cara Pelaksanaan, Spesifikasi, maupun Metoda Pengujian, yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan merupakan kebutuhan yang mendesak guna menuju ke pengelolaan jalan yang lebih baik, efisien dan seragam. Sambil menunggu terbitnya buku-buku standar dimaksud, buku "Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan" ini dikeluarkan guna memenuhi kebutuhan intern di lingkungan Direktorat Pembinaan Jalan Kota. Menyadari akan belum sempurnanya buku ini, maka pendapat dan saran dari semua pihak akan kami hargai guna penyempurnaan dikemudian hari. Jakarta, Januari 1990. DIREKTURPEMBINAANJALAN KOTA DJOKO ASMORO
  • 3. DAFTAR ISI Halaman 1. Pedahuluan ........................................................................................................................ 1 2. Maksud dan Tujuan .................................................................................................. 1 3. Ruang Lingkup ................................................................................................... 1 4. Pengertian ....................................................................................................... 1 4.1. Sistem Jaringan Jalan Primer ……………………………………………… 1 4.2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder 5 4.3. Kaitan antara Hirarki Jalan dengan Sistem Jaringan Jalan Menurut Wewenang Pembinaan ......................................................................................... 6 5. Kriteria yang Dipertimbangkan dalam Menetapkan Klasifikasi Fungsi Jalan 5.1. Jalan Arteri Primer …………………………………………………………. 9 5.2. Jalan Kolektor Primer ……………………………………………………….. 12 5.3. Jalan Lokal Primer …………………………………………………………. 15 5.4. Jalan Arteri Sekunder ................................................................................................................ 15 5.5. Jalan Kolektor Sekunder ……………………………………………………… 16 5.6. Jalan Lokal Sekunder …………………………………………………………. 16 6. Penutup ........................................................................................................................................... 20
  • 4. I. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini, jaringan jalan di kota-kota besar di Indonesia telah dittandai dengan kemacetan - kemacetan lalu lintas. Selain akibat pertumbuhan lalu lintas yang pesat, kemacetan tersebut disebabkan oleh terbaurnya peranan arteri, kolektor dan lokal pada jalan yang seharusnya berperan sebagai jalan arteri dan sebaliknya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu kiranya dilakukan pemantapan fungsi jaringan jalan kota. Panduan klasifikasi fungsi jalan ini diharapkan dapat membantu proses penetapan klasifikasi fungsi jalan di wilayah perkotaan. Acuan utama panduan ini adalah Undang-Undang nomor 13 tahun 1980 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 1985 tentang Jalan. ruas-ruas jalan yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya dapat dipakai sebagai pegangan dan petunjuk seperti untuk koordinasi dengan manajemen sistem transportasi dan tata guna lahan. Koordinasi tersebut dimaksudkan untuk dapat diterapkannya penggunaan jaringan jalan sesuai dengan fungsinya, sehingga sistem transportasi yang efisien disamping keselamatan lalu lintas dapat ditingkatkan/diwujudkan. 2. MAKSUD DAN TUJUAN Buku panduan ini dimaksudkan untuk dapat memberikan arahan dan bimbingan dalam perencanaan jaringan jalan di wilayah perkotaan. Buku panduan ini diharapkan dapat memperjelas penentuan klasifikasi fungsi jalan, sehingga pelaksanaan tugas pembinaan dan perencanaan jaringan jalan di wilayah perkotaan dapat lebih terarah. 3. RUANG LINGKUP Buku panduan ini hanya membahas jaringan jalan di wilayah perkotaan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sekunder. Pokok bahasan meliputi sistem jaringan jalan dan kriteria untuk fungsi ruas jalan. Dengan menggunakan kriteria dalam penetapan fungsi jalan pada buku panduan ini, klasifikasi fungsi jalan kota saat sekarang dan yang dituju dapat diformulasikan. 4. PENGERTIAN Jaringan jalan merupakan satu kesatuan sistem terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hirarki. 4.1. Sistem Jaringan Jalan Primer a. Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional, yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi. b. Jaringan jalan primer menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang dibawahnya sampai ke persil dalam satu satuan wilayah pengembangan. Jaringan jalan primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar satuan wilayah pengembangan. c. Jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota. Jaringan jalan primer harus menghubungkan kawasan primer. Suatu ruas jalan primer dapat berakhir pada suatu kawasan primer. Kawasan yang mempunyai fungsi primer antara lain: industri skala regional, terminal barang/pergudangan, 1
  • 5. pelabuhan, bandar udara, pasar induk, pusat perdagangan skala regional/ grosir. d. Jalan Arteri Primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang ke satu yang terletak berdampingan atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua. e. Jalan Kolektor Primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga. f. Jalan Lokal Primer adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil, atau kota dibawah jenjang ketiga sampai persil. g. Yang dimaksud dengan kota jenjang kesatu ialah kota yang berperan melayani seluruh satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang paling tinggi dalam satuan wilayah pengembangannya serta memiliki orientasi keluar wilayahnya. h. Yang dimaksud dengan kota jenjang kedua ialah kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kesatu dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kesatu. i. Yang dimaksud dengan kota jenjang ketiga ialah kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang kedua dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kedua dan ke kota jenjang kesatu. j. Yang dimaksud dengan kota di bawah jenjang ketiga ialah kota yang berperan melayani sebagian dari satuan wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah dari kota jenjang ketiga dan terikat jangkauan serta orientasi yang mengikuti prinsip-prinsip di atas. k. Kawasan adalah wilayah yang batasnya ditentukan berdasarkan lingkup pengamatan fungsi tertentu. 1. Kawasan Primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi primer (Fl) adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya. m. Hubungan antar hirarki kota dengan peranan ruas jalan penghubungnya dalam sistem jaringan jalan primer diberikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1 disajikan dalam bentuk matrix dan Gambar 1 disajikan dalam bentuk diagram. 2
  • 6. Tabel 1 : Hubungan antar hirarki kota dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan jalan primer KOTA JENJANG I JENJANG II JENJANG III PERSIL JENJANG I Arteri Arteri - Lokal JENJANG II Arteri Kolektor Kolektor Lokal JENJANG III - Kolektor Lokal Lokal PERSIL Lokal Lokal Lokal Lokal 3
  • 7. 4
  • 8. 4.2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder a. Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder ke satu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. b. Jalan Arteri Sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. c. Jalan Kolektor Sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. d. Kawasan Sekunder adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi sekunder. Fungsi sekunder sebuah kota dihubungkan dengan pelayanan terhadap warga kota itu sendiri yang lebih berorientasi ke dalam dan jangkauan lokal. Fungsi ini dapat mengandung fungsi yang terkait pada pelayanan jasa yang bersifat pertahanan keamanan yang selanjutnya disebut fungsi sekunder yang bersifat khusus. g. Fungsi primer dan fungsi sekunder harus tersusun teratur dan tidak terbaurkan. Fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua dan seterusnya terikat dalam satu hubungan hirarki. h. Fungsi primer adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya. i. Fungsi sekunder adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai pusat pelayanan jasa bagi kebutuhan penduduk kota itu sendiri. j. Wilayah dimaksudkan sebagai kesatuan geografi beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pengamatan administratif dan atau fungsional. k. Struktur kawasan kota dapat dibedakan berdasarkan besarnya penduduk kota yang bersangkutan. Ketentuan tentang fungsi kawasan, penduduk pendukung dan jenis sarananya dapat dilihat pada Lampiran. 1. Hubungan antar kawasan kota dengan peranan ruas jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder diberikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2 disajikan dalam bentuk matrix dan Gambar 2 disojikan dalam bentuk diagram. 5
  • 9. Tabel 2 : Hubungan antara kawasan kota dengan peranan ruas Jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder KAWASAN PRIMER (F1) SEKUNDER 1 (21) SEKUNDER 2 (F22) SEKUNDER 3 (23) PERUMAHAN Primer (F1) - arteri - - - Sekunder I L (F21) arteri arteri arteri - lokal Sekunder II (F22) - arteri kolektor kolektor lokal Sekunder III (F23) - - kolektor - lokal Perumahan - lokal lokal lokal - 4.3. Kaitan antara Hirarki Jalan Dengan Sistem Jaringan Jalan MenurutWewenang Pembinaan Menurut wewenang pembinaan jalan dikelompokkan menjadi jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten, Jalan Kotamadya dan Jalan Khusus. a. Jalan Nasional Yang termasuk kelompok jalan nasional adalah jalan arteri primer, jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi, dan jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan Keputusan Menteri. b. Jalan Propinsi Yang termasuk kelompok jalan propinsi adalah: i. Jalan kolektor primer yang menghubungkan lbukota Propinsi dengan Ibukota Kabupaten/Kotamadya. ii. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar lbukota Kabupaten/ Kotamadya. iii. Jalan lain yang mempunyai kepentingan strategis terhadap kepentingan propinsi. iv. Jalan dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang tidak termasuk jalan nasional. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan propinsi dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas usul Pemerintah Daerah Tingkat I yang bersangkutan, dengan memperhatikan pendapat Menteri. 6
  • 10. 7
  • 11. c. Jalan Kabupaten Yang termasuk kelompok jalan kabupaten adalah: i. Jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan propinsi. ii. Jalan lokal primer iii. Jalan sekunder dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan nasional, jalan propinsi dan jalan kotamadya. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan kabupaten dilakukan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, atas usul Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan. d. Jalan Kotamadya Yang termasuk kelompok jalan Kotamadya adalah jaringan jalan sekunder di dalam kotamadya. Penetapan status suatu ruas jalan arteri sekunder dan atau ruas jalan kolektor sekunder sebagai jalan kotamadya dilakukan dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas usul Pemerintah Daerah Kotamadya yang bersangkutan. Penetapan status suatu ruas jalan lokal sekunder sebagai jalan Kotamadya dilakukan dengan Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan. e. Jalan Khusus Yang termasuk kelompok jalan khusus adalah jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing. Penetapan status suatu ruas jalan khusus dilakukan oleh instansi/badan hukum/perorangan yang memiliki ruas jalan khusus tersebut dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. f. Perubahan Status Jalan Suatu ruas jalan dapat ditingkatkan statusnya menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi persyaratan sebagai berikut: i. Ruas jalan tersebut berperan penting dalam pelayanan terhadap wilayah/ kawasan yang lebih luas dari wilayah/kawasan semula. ii Ruas jalan tersebut makin dibutuhkan masyarakat dalam rangka pengem bangan sistem transportasi. Suatu ruas jalan dapat diturunkan statusnya menjadi lebih rendah apabila terjadi hal-hal yang berlawanan dengan yang tersebut. di atas. Peralihan status suatu jalan dapat diusulkan oleh pembina jalan semula kepada pembina jalan dituju. Pembina jalan yang menerima usulan atau saran memberikan pendapatnya kepada pejabat yang menetapkan status semula. Penetapan status ruas jalan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang menetapkan status baru dari ruas jalan yang bersangkutan, setelah mendengar pendapat pejabat yang menetapkan status semula. 8
  • 12. 5 KRITERIA YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM MENETAPKAN KLASIFIKASI FUNGSI JALAN Kriteria ini dimaksudkan sebagai ciri-ciri umum yang diharapkan pada masing-masing fungsi jalan. Ciri-ciri ini dapat merupakan arahan fungsi jalan yang perlu dipenuhi/ didekati. Sketsa hipotetis hirarki jalan kota dapat dilihat pada Gambar 3. 5.1. Jalan Arteri Primer a. Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan jalan arteri primer luar kota. b. Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer. c. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam. d. Lebar badan jalan arteri primer tidak kurang dari 8 meter (Gambar 4). 9
  • 13. 10
  • 14. 11
  • 15. e. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu-lintas regional. Untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, dan lalu lintas lokal, dari kegiatan lokal (Gambar 5). f. Kendaraan angkutan barang berat dan kendaraan umum bus dapat diizinkan melalui jalan ini. g. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien. J arak antar jalan masuk/akes langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter. h. Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya. i. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. j. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan yang lain. k. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan seharusnya tidak diizinkan. 1. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu penerangan jalan dan lain-lain. m. Jalur khusus seharusnya disediakan yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. n. Jalan arteri primer seharusnya dilengkapi dengan median. 5.2. Jalan Kolektor Primer a. Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota. b. Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer. c. Jalan kolektor primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) km per jam. d. Lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang dari 7 (tujuh) meter (Gambar 6). e. Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien. Jarak antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter. 12
  • 16. 13
  • 17. 14
  • 18. f. Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini. g. Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya. h. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. i. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diizinkan pada jam sibuk. j. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas dan lampu penerangan jalan. k. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan arteri primer. l. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. 5.3. Jalan Lokal Primer a. Jalan lokal primer dalam kota merupakan terusan jalan lokal primer luar kota. b. Jalan lokal primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya. c. Jalan lokal primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km per jam. d. Kendaraan angkutan barang dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini. e. Lebar badan jalan lokal primer tidak kurang dari 6 (enam) meter (Gambar 7). f. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah pada sistem primer . 5.4. Jalan Arteri Sekunder a. Jalan arteri sekunder menghubungkan : i. kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu. ii. antar kawasan sekunder kesatu. iii. kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. iv. jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu. b. Jalan arteri sekunder dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) km per jam. c. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter (Gambar 8). d. Lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. e. Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter. 15
  • 19. f. Kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat diizinkan melalui jalan ini. g. Persimpangan pads jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya. h. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas same atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. i. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak dizinkanpada jam sibuk. j. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain. k. Besarnya lala lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem sekunder yang lain. 1. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. m. Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang dengan kelas jalan yang lebih rendah. 5.5. Jalan Kolektor Sekunder a. Jalan kolektor sekunder menghubungkan: i. enter kawasan sekunder kedua. ii. kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. b. Jalan kolektor sekunder dirancang berdasarken keoepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km per jam. c. Lebar badan jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 (tujuh) meter (Gambar 9). d. Kendaraan angkutan barang berat tidak diizinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman. e. Lokasi parkir pads badan jalan-dibatasi. f. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup. g. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pads umumnya lebih rendah dari sistem primer dan arteri sekunder. 5.8. Jalan Lokal Sekunder a. Jalan lokal sekunder menghubungkan: i. enter kawasan sekunder ketiga atau dibawahnya. ii. kawasan sekunder dengan perumahan. b. Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) km per jam. c. Lebar badan jalan lokal sekunder tidak kurang dari 5 (lima) meter (Gambar 10). 16
  • 20. 17
  • 21. 18
  • 22. 19
  • 23. d. Kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diizinkan melalui fungsi jaIan ini di dae- rah pemukiman. e. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah dibandingkan dengan fungsi jalan yang 'lain. 6. PENUTUP Buku panduan ini telah memberikan arahan secara teknis dalam mempersiapkan penetapan klasifikasi fungsi jalan. Selanjutnya hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : 6.1. Penetapan ruas-ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan primer dan jalan arteri sekunder dilakukan secara berkala oleh Menteri Pekerjaan Umum setelah mendengar pendapat Menteri Perhubungan sesuai dengan tingkat perkembangan wilayah yang telah dicapai. 6.2. Penetapan ruas-ruas jalan menurut peranannya dalam sistem jaringan jalan sekunder kscuali jalan arteri sekunder dilakukan secara berkala oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, atas usul Bupati/Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan dengan memperhatikan petunjuk Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perhubungan sesuai dengan tingkat perkembangan kawasan kota yang telah dicapai. 6.3. Kiranya dapat disimpulkan bahwa data utama yang perlu disimpulkan dan beberapa faktor khusus yang perlu dipertimbangkan untuk menetapkan klasifikasi fungsi jalan meliputi: a Peta jaringan jalan. b. Peta tata guna lahan, baik untuk keadaan sekarang maupun rencana pengembangannya di masa mendatang yang disertai dengan informasi lebih lengkap mengenai potensi aktivitas - aktivitas perdagangan, pergudangan, perkantoran, industri, pendidikan serta jasa jasa lain baik yang bersifat regional maupun lokal. (Untuk mengurangi konflik antara sistem transportasi dan tata guna lahan, keseimbangan/kesesuaianantarafungsijaringanjalandengantatagunalahanperludipenuhi). c. Volume kendaraan sesuai dengan jenisnya. (Meskipun volume lalu lintas bergantung kepada beberapa faktor, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi volume lalu lintas pada suatu ruas jalan makin tinggi pula klasifikasi jalan tersebut. Sebagai contoh bahwa volume lalu lintas bukan satu-satunya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: suatu ruas jalan yang melayani volume lalu lintas yang rendah dan berdasarkan volume ini bisa digolongkan pada jalan lokal seharussnya adalah jalan arteri sekunder jikalau jalan tersebut melayani kendaraan-kendaraan beret dan hanya satu-satunya ruas jalan yang menghubungkan jalan arteri. Sebaliknya, jalan jalan yang memberikan akses ke daerah parkir suatu pusat pertokoan dan melayani lalu lintas yang tinggi tidak bisa digolongkan sebagai jalan arteri sekunder). d. Lebar jalan, rambu-rambu lalu lintas serta fasilitas parkir kendaraan. e. Rute kendaraan umum bis dan bemo serta truk. 20
  • 24. f. Proporsi lalu lintas menerus pada jalan jalan utama. g. Rencana induk kota. h. Data pendukung lain yang tersedia. 6.4. Didalam menentukan klasifikasi fungsi jalan, pedoman utama yang harus diikuti adalah pasal 3 dan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia tentang jalan serta pasal 4 sampai pasal 1.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun 1985 tentang jalan. Isi pedoman utama ini telah dijabarkan pada Bab pengertian. 21
  • 25. 22
  • 26. Lampiran STRUKTUR KAWASAN SEKUNDER Hirarki Pusat Pelayanan Penduduk Pendukung Jenis Sarana KM KB KS KK F21 - - - 1.000.000 1. Balai Kota 2. Gedung Kesenian 3. Bioskop 4. Mesjid 5. Gedung serbaguna 6. Perpustakaan 7. Parkir 8. Kantor Polisi 9. Kantor Pos 10.Kantor Telepon 11.Kantor PAM 12.Kantor PLN 13.Peribadatan lainnya 14.Pusat Perbelanjaan 15 Akademi/Perti F22 F21 - - 480.000- 1. Taman/Tempat main/olah F23 F22 F21 - 1.000.000 120.000- 480.000 raga 2. Pusat Perbelanjaan 3. Rumah Sakit 4. Gedung serbaguna 5. Bioskop 6. Gedung kesenian 7. Parkir 8. Kantor Wilayah 9. Kantor Polisi 10.Pos Pemadam Kebakaran 11.Kantor Telepon 12.Pelayanan Umum dan Rekreasi 1. Taman/tempat bermain Olahraga 2. SLA 3. Pusat Perbelanjaan 4 Puskesmas + B pertemuan 5. Gedung Seba Guna 6. Masjid 7. Parkir 8. Kantor Kecamatan 9. Kantor 10.Kantor Pos 23
  • 27. Hirarki Pusat Pelayanan Penduduk Pendukung Jenis Sarana KM KB KS KK 11.Pos Pemadam Kebakaran 12.Kantor Telepon 13.Pelayanan Umum dan Rekreasi F-24 F-23 F22 F21 30.000- 1. Taman/tempat main/ 120.000.- olahraga 2. SLP (2 session) 3. BKIA + Session) 3. BKIA + R. Bersalin 4. Pusat Perbelanjaan 5. Puskesmas + B.Pertemuan 6. Apotik 7. Gedung serbaguna 8. Masjid 9. Bioskop 10.Parkir 11.Kantor Lingkungan 12.Kantor Polisi 13.Kantor Pos 14.Pos Pemadam Kebakaran F25 F24 F23 F22 2.500- 1. Taman/tempat main/olah 30.000 raga 2. T.K. 3. S.D. (2 session) 4. Pertokoan 5. Langgar 6. Balai Pertemuan 7. Parkir 8. Pelayanan Umum dan Rekreasi Keterangan: KM = Kota Metropolitan KB = Kota Besar KS = Kota Sedang KK = Kota Kecil F21 = Kawasan Sekunder I F22 = Kawasan Sekunder II K23 = Kawasan Sekunder III K24 = Kawasan Sekunder IV F25 = Kawasan Sekunder V 24