Cerita pendek ini menceritakan tentang kunjungan Hitler ke sebuah rumah sakit jiwa di Jerman pada masa kekuasaannya. Semua pasien dilatih untuk menyambutnya dengan mengacungkan tangan dan berteriak "Heil Hitler". Namun, ada seorang penjaga yang menolak berbuat demikian karena menurutnya ia tidak gila. Hal ini membuat Hitler marah besar dan memerintahkan penjaga itu ditangkap. Cerita ini menggambarkan
Kisetoto Daftar Link Slot Gacor Hari Ini Gampang Menang Pasti Maxwin
Nilai kejujuran (kohar ibrahim, a)
1. Batam Pos
Minggu, 15 Juli 2007
Nilai Kejujuran
Cerpen: Kohar Ibrahim, A
SAAT yang tak terlupakan selama persinggahanku sebulan di Berlin adalah percakapan
bebas dan tulus dengan pemuda-pemudi Jerman. Dari soal musik pop, perang Vietnam,
rasisme sampai kediktatoran di beberapa negeri. Juga mengenai diktatur fasis Hitler.
Pada hari terakhir, dalam perjalanan menuju stasiun keretapi kunyatakan kesanku itu pada
Lutz, tuanrumahku. Ia senyum memaklumi, seraya menganjurkan lebih banyak lagi
bertemu dan bertukar pikiran dengan yang lainnya dalam perjalananku.
’’Nanti kau akan tarik kesimpulan sendiri yang lebih baik,” katanya. ’’Kenapa ada yang
jadi fasis, anarkis dan cinta damai.”
Aku tidak menyanggahnya.
’’Fasisme itu tidak mati,” katanya lagi. ’’Yang anti-fasis juga.’’
Lantas dia mengajakku membelok ke kanan, ke jalan yang bukan langsung menuju ke arah
statsiun keretapi. Sejenak kami berhenti di depan sebuah gedung besar berhalaman luas
berpagar besi. Dia menjelaskan bahwa bangunan itu dulu, sampai Perang Dunia Kedua,
adalah Rumah Sakit Gila. Suatu ketika, Hitler sempat mnggunakan RS itu demi tujuan
propaganda kekuasaan multaknya. Mengadakan kunjungan ke situ.
Selama seminggu di RS itu terjadi kesibukan luarbiasa untuk mempersiapkan penyambutan
kedatangan sang mahakuasa Fuhrer. Barangtentu yang terpenting adalah soal penyambutan
kehormatan dan keamanan. Kerapian dan kedisiplinan orang Jerman. Maka semua orang-orang
yang menderita sakit syaraf atau sisnting di RS itu dilatih selama berhari-hari untuk
berbaris sigap sembari mengacungkan tangan menyerukan ’’Heil Hitler!’’. Bagi para
penjaga atau pelatih, tambahan pekerjaan yang sangat sensitif itu cukup menyerap tenaga
dan ksesabaran sampai ujung batas.
TIBALAH hari yang dinanti. Hitler dengan diiringi beberapa pembesar lainnya bangga
mendapat sambutan khidmat dari para penanggungjawab dan pegawai RS Gila itu. Lalu
iapun melangkah dengan tegap, senyum bangga pula ketika melakukan pemeriksaan
barisan para pasien. Mereka mengacungkan tangan dan berteriak-teriak sekuat bisa: ’’Heil
Hitler!’’. Dan seperti lazimnya dia mengangguk-angguk santai menyatakan pengertiannya.
Sesekali dia melirik pada pembesar pembantunya dan pada para wartawan, seolah-olah
berkata: ’’Lihatlah, segenap lapisan masyarakat mencintaiku! Setiap orang Jerman
mendukungku!’’. Tentu saja, yang dimaksudkannya adalah dukungan atas politik dan
tindakannya demi kemurnian ras Arya dan menguasai sejagad dunia.
Akan tetapi, seketika dia menghentikan langkahnya. Rautmukanya berubah dari jembar
menjadi kejang. Secepat kilat senyumnya sirna. Keningnya berkerut. Giginya
bergemeretak. Bibirnya bergetar membikin kumisnya bergerak-gerak. Segera begitu
dilihatnya seseorang yang berdiri di ujung barisan diam saja bagai patung. Sembari
menekan amarah Hitler menegur:
’’Kau ini, bisu-tuli atau lumpuh?’’
Yang ditegur menggelengkan kepala.
’’Kenapa tidak berlaku seperti yang lain-lain?’’ desak Hitler.
’’Aku?’’ orang itu bertanya pula, memperlihatkan telunjuk ke dadanya sendiri lantas
beralih kepada yang lainnya. ’’Aku mesti berlaku seperti mereka?“
2. ’’Ya, tentu… Tanpa kecuali!’’ bentak Hitler. Kemarahannya cepat meningkat.
’’Nanti dulu!’’ bilang orang yang dimarahinya sembari menggerakkan telunjuk di
pelipisnya. Menggelengkan kepala. Menegaskan: ’’Aku ini seorang penjaga. Akulah yang
ditugaskan melatih mereka…’’
’’Ah so. Tapi…’’
’’Aku tak mau berlaku seperti mereka.’’
’’Kenapa?”
’’Aku tidak gila!”
Hitler melohok, terbungkam oleh tangkasnya tikaman kata-kata orang yang polos di
hadapannya itu. Satu-satunya orang yang terang-terangan yang tak sudi berprilaku seperti
yang lain-lain. Maka kemarahannya pun tak tertahankan lagi. Berpaling. Pada salah seorang
pengawal dia menggumam: ’’Warum?” Dan perintahnya ketus, ’’Periksa orang ini!”
Sejak insiden itu, tak seorangpun tahun akan nasib penjaga RS Gila yang berani
mengutarakan kata hati dan pikirannya dengan jujur. Juga nasib semua pasien yang
dilatihnya.
SELINTAS terasosiasi dalam pikiranku kamp-kamp konsentrasi dan eksterminasi tempat
pemusnahan berjuta-juta manusia. Ketika aku tanya pakah penjaga itu sorang Yahudi, Lutz
menggelengkan kepala. Menandaskan:
’’Bukan Yahudi, bukan Gitan, bukan pula Komunis atau pejuang-pejuang anti-fasis
lainnya.”
’’Jerman asli?”
’’Ya,” jawab Lutz. Aku perhatikan dia mereguk air liur dengan susah payah. Meneruskan:
’’Malah, menurut orang yang mengenalnya, selain peramah penjaga itu berbadan tegap,
berambut pirang dan bermata biru. Pendek kata, fisiknya mencukupi syarat akan manusia
yang di-ideal-kan Nazi.”
Sesaat Lutz melihat jam tangannya. Lalu kami beranjak meninggalkan depan gedung besar
dan tua itu. Membelok ke kiri dan bergegas menuju stasiun keretapi. Nyaris ketinggalan.
Cepat aku mengambil tempat di gerbong keretapi jurusan Ostende via Koln. Beberapa detik
kemudian bertolak perlahan.
Dari balik jendela kulambaikan tangan dan Lutz membalas. Saat itu, baru pada saat itu
mata, mata hati dan pikiranku tertumpu pada perawakan Jermannya. Seperti penjaga RS
Gila yang jujur itu. ***