arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh , arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh
1. Media Indonesia
Minggu, 15 Juli 2007
Dua Penari (Untuk Tuan Kawabata)
Cerpen: Rama Dira J
ANGIN lembut milik sore musim semi, cukup mendatangkan kesejukan pada dua
perempuan yang tengah berjalan-jalan di sekitar hutan kecil itu. Bau dedaunan muda yang
dihajar angin bercampur aroma tanah basah akibat hujan yang sebentar tadi menyeruap,
menyengat di hidung. Mereka melihat tupai-tupai berlarian di atas dahan, tampak gembira
karena tak ada lagi hujan. Mereka mendengar suara-suara burung yang beterbangan, begitu
menyenangkan. Ada pelangi mini yang mengambang di atas danau.
Perempuan yang lebih muda, namanya Rani. Ia masih mengenakan busana tari berwarna
emas. Dalam gerak yang kurang leluasa sebagai pengaruh dari rok panjang yang agak ketat,
ia mendorong perlahan sebuah kursi roda. Di atasnya duduk perempuan yang lebih tua,
namanya Hanum. Sebagaimana penghuni lain di panti perawatan bagi orang cacat yang
berlokasi tak jauh dari hutan itu, Hanum mengenakan setelan serba putih.
Berdua mereka menyusuri jalan setapak di antara rimbun pepohonan samping danau berair
hijau dengan terus menikmati pemandangan dan kehidupan yang begitu terawat dalam
hutan itu. Hanum terus mengajak berbicara, terdengar sangat antusias suaranya.
Tampaknya, kunjungan Rani telah menjadi sesuatu yang sangat berharga baginya.
Pada kenyataannya, Hanum belumlah bisa dikatakan tua, meski ia bukan gadis pula;
usianya baru menginjak kepala tiga. Meski demikian, masa-masa kejayaannya telah
berakhir. Ia tak lagi bisa seperti dulu, memukau ratusan penghuni Ibu Kota yang sengaja
datang demi menyaksikan pertunjukan tarian tunggalnya yang begitu menakjubkan.
Pada masa itu, gedung kesenian seolah sengaja dibangun khusus untuknya, sebab tak ada
kegiatan kesenian di gedung itu yang bisa menandingi keramaian pertunjukan tarian
tunggal Hanum. Tak ada yang memungkiri bahwa Hanum memang memiliki sihir jika
menari. Sebagai perempuan dengan kecantikan alami, yang bisa menggerakkan badan
dengan begitu indahnya dalam menerjemahkan kegundahan, kegembiraan, maupun
kesepian dalam wujud tarian, tak pernah ada perempuan lain yang bisa menandingi
kehebatan Hanum. Namun sekali lagi, kini, semuanya tak lagi tersisa. Dikenang pun, hanya
akan menimbulkan duka pada Hanum. Meski demikian, apa yang kemudian dapat diraih
Rani kini, lumayan bisa mengobati kegalauannya setelah kehilangan semua.
"Bagaimana pertunjukan tarianmu tadi, Rani?" Ia terus melontarkan percakapan antusias
pada Rani.
"Sempurna, Bunda! Aku bisa memukau ribuan penonton sebagaimana Bunda dulu."
Meski tak ada hubungan darah antara mereka, Rani memang memanggil Hanum dengan
sebutan bunda. Dulu, Hanumlah yang menyelamatkan Rani dari jerat kehidupan jalanan.
Hanum telah mengangkat Rani si gadis yatim sebagai anak. Ia perlakukan Rani selayaknya
darah dagingnya sendiri.
Seketika itu juga, kenangan tentang gadis kumal yang terbaring lemah di depan pintu
rumahnya kembali membayang di depan mata Hanum. Betapa ia merasa bangga kini, bisa
menjadikan Rani sebagai penggantinya menjadi penari yang sulit tertandingi. Demi capaian
itu, ia telah mengajarkan dan mewariskan pada Rani gerakan-gerakan tarian kreasinya
sendiri.
2. Bagaimanapun, waktu itu ia sepenuhnya menyadari, jika usia mulai menggerogoti
tubuhnya, seorang pengganti haruslah disiapkan. Namun, ia tak pernah menyangka, takdir
berkata lain. Kelumpuhan kedua kakinya itu datang menyerang terlalu cepat, kala usianya
belumlah bisa dikatakan senja.
Sebelum menderita cacat, meski Rani telah sampai pada tahap hampir menandingi
kehebatannya dalam menari, Hanum tak pernah merasa tertandingi. Bahkan untuk Rani, ia
menciptakan tarian kupu-kupu emas, sebuah tarian yang indah, hanya jika ditarikan oleh
mereka berdua sebab mereka sepakat untuk merahasiakan gerakan-gerakan detail dalam
tarian itu. Bagaimana membuat kerlingan mata yang berbeda-beda dalam setiap gerakan
pergelangan tangan, bagaimana tingkat kelembutan jentikan jari ketika harus mengibaskan
ujung kain, bagaimana gerakan sebat kala mengepakkan sayap kupu-kupu emas buatan dan
kapan harus saling menukar pandang dan senyum, baik pada pasangan maupun pada
penonton adalah sekian dari rahasia milik mereka semata.
Tarian kupu-kupu itu membuat Hanum tak hanya menguasai tarian tunggal. Keberhasilan
kreasi tarian kupu-kupu emas yang ditarikannya bersama Rani telah menambah reputasinya
sebagai penari serbabisa. Sampai kini, tak akan pernah ada yang tidak memuji keindahan
dan kehebatan tarian kupu-kupu emas sebab mereka berdua bisa menjiwainya,
menarikannya dengan begitu sempurna, hingga mereka menjelma laksana dua anak
kembar, pemilik gerak harmonis layaknya sepasang sayap kupu-kupu sungguhan yang
mengepak, kemudian dari kepakan itu mengeluarkan semacam serbuk sihir yang bisa
memukau semua penonton yang ada di gedung kesenian.
"Ah, aku sangat ingin menarikan tarian kupu-kupu bersamamu lagi, seperti dulu."
"Bunda usah khawatir, aku masih terus menarikannya. Oh, ya aku lupa memberi tahu
Bunda. Gerakan pada tarian kupu-kupu itu aku ubah sedikit. Karena Bunda tak bisa
menemaniku, aku terpaksa memodifikasinya dan menampilkan sosok laki-laki sebagai
pengganti Bunda."
"Oh, ya? Apa tidak mengurangi nilai keindahannya?" Ada nada tak suka dalam suara
pertanyaan Hanum.
"Sama sekali tidak, Bunda. Penonton malahan sangat menyukai versi baru ini."
Hanum diam. Sesungguhnya, ia tidak pernah menduga Rani akan melakukan itu. Semenjak
mula, tarian itu ia buat khusus untuk ditarikan oleh mereka berdua. Jika kemudian salah
satu dari mereka tak ada, seharusnya tarian itu tidak dipertunjukkan.
"Mengapa diam, Bunda? Apa Bunda keberatan jika tarian itu kuubah?" Tampaknya Rani
bisa membaca gerak pikiran Hanum. Meski keberatan, Hanum tak mau Rani mengetahui. Ia
tak ingin membuat Rani merasa bersalah. Ia sungguh bisa membuat dirinya berdamai
dengan apa saja keberatannya demi kebaikan Rani sebab ia sangat menyayangi anak
angkatnya itu, melebihi siapa pun.
Dengan penuh kepura-puraan, Hanum berusaha menenangkan Rani, "Oh, tidak, tidak.
Jangan salah sangka. Aku diam justru membayangkan betapa menariknya tarian antara
engkau dan lelaki pasanganmu."
Bagaimanapun, Hanum tak ingin membahas masalah itu lebih jauh. Ia tak ingin suasana
hatinya yang girang berkat kunjungan Rani menjadi kacau balau. Lagi pula, ia tak pernah
mau membuat Rani merasa bersalah. Untuk itu, ia berinisiatif mengalihkan pembicaraan.
3. "Rani, tahukah kau?"
"Ya. Bunda?"
"Saat kunjunganmulah yang selalu kunantikan. Aku sangat kesepian di sini." Hanum
memang tak suka dengan kesepian sebab dalam kesepian, bayangan masa lalu akan mudah
menyusup dalam pikirannya. Dalam kondisi seperti itu, ia akan bersedih hati,
membayangkan rumahnya, tabungannya, segala harta bendanya yang sudah habis terkuras
untuk biaya pengobatan penyakitnya yang tak kunjung bisa disembuhkan itu. Nasib buruk
lain juga akan membayang. Kenangan tentang Braman, sang kekasih yang
meninggalkannya dengan mudah pula menghantui. Ia begitu terpukul menemukan
kenyataan bahwa laki-laki itu tak mencintainya. Terbukti dengan aksinya yang begitu saja
meninggalkannya setelah mengetahui Hanum menderita cacat seumur hidup.
Berbagai macam masalah itulah yang membuat Hanum bulat memutuskan untuk tinggal di
panti perawatan bagi orang-orang cacat, meski Rani pernah menawarinya untuk tinggal
bersama dalam apartemen mewah miliknya.
Tentu, pernyataan Hanum tadi membutuhkan jawaban. Dan Rani memberikan jawaban
yang bernada kurang lebih sama : "Aku pun begitu, Bunda. Saat seperti inilah yang selalu
kuinginkan. Aku sentiasa ingin dekat dengan Bunda. Namun, itu mustahil kulakukan.
Karena namaku semakin banyak dikenal, aku sering kali pergi ke luar kota untuk
melakukan pertunjukan." Hanum tentu paham mengenai hal itu. Ia mengangguk menyetujui
Rani.
Kini, mereka terus melintasi hutan itu. Sinar matahari sehabis hujan yang bersekutu dengan
angin sore mulai menyapu hilang pelangi yang tadinya tersisa separuh di atas danau. Suara-
suara riang di taman samping kompleks panti tak lagi terdengar, menandakan mereka
berdua sudah melangkah begitu jauh.
"Apa kita tak terlalu jauh, Bunda?"
"Ah, tak mengapa. Aku masih ingin menikmati suasana di sini. Teruskan saja perjalanan
kita sampai ke taman air mancur di ujung sana." Rani menurut saja apa yang diinginkan
Hanum.
Taman air mancur adalah taman bunga yang ada di ujung hutan kecil itu, di sana terdapat
pula kolam yang ada air mancurnya. Dan banyak burung dara yang beterbangan di dekat
kolam itu. Sebelum meninggalkan kompleks panti tadi, Hanum memang sudah
merencanakan untuk berjalan sampai ke taman air mancur. Ia telah mempersiapkan
sebungkus jagung kering yang halus bagi burung-burung dara yang ada di sana.
Begitu mereka tiba di taman air mancur, Hanum langsung menaburkan jagung-jagung halus
dari dalam genggamannya. Burung-burung dara yang kelaparan langsung berkelepak,
mengerubung di depan mereka. Begitu gembiranya, Hanum sampai tak bisa menahan tawa
segarnya yang lepas begitu saja. Rani pun ikut menikmati keriangan itu. Segera ia taburkan
segenggam lagi jika yang segenggam tandas.
Kegembiraan itu tiba-tiba terhenti kala Hanum menyaksikan ada seekor burung dara yang
terpisah dari kawanan itu. Burung dara itu menepi lemah di kaki tiang sebuah lampu taman
yang ada di pojokan. Hanum meminta Rani untuk membawanya ke arah burung dara
tersebut. Setelah mereka mendekat, Hanum meminta Rani mengambilkan burung dara itu.
Rani segera mengambilnya, memberikannya langsung kepada Hanum. Hanum mengamati
4. burung dara itu sejenak dan menemukan kedua kakinya memang patah. Hanum begitu saja
terbawa pada pikiran bahwa kondisi burung dara itu tak berbeda jauh dengan apa yang
menimpanya. Ada kesedihan yang kemudian datang, meski tak langsung membuatnya
menangis. Ia kembali meminta Rani untuk meletakkan burung dara itu di kaki tiang lampu
taman. Ia lemparkan seganggam jagung yang mulai dipatuk satu-satu oleh burung dara
cacat itu. Tapi kemudian, kawanan burung-burung dara lainnya ikut mengerubungi
segenggam jagung yang tengah dipatuk-patuk si burung dara malang. Langsung habislah
dalam sekejap saja. Hanum kembali memberikan segenggam jagung, lebih dekat lagi pada
si burung dara malang, namun kawanan burung-burung tadi justru mematuk si burung dara
malang, yang seperti bukan anggota kawanan mereka. Burung dara malang yang kewalahan
tak kuasa menahan. Ia mencoba untuk berdiri menghindar dari patukan, namun tak bisa ia
lakukan. Hanum dan Rani mencoba mengusir kawanan burung dara yang jahat itu. Maka,
beterbangan menyebarlah burung-burung itu untuk sementara dan Rani mengambil si
burung dara malang untuk kembali diletakkan di tangan Hanum atas permintaannya.
Burung-burung dara yang sempat terbang tadi, kembali mengerubungi segenggam jagung
terakhir dari kantung jagung yang dibawa Hanum. Hanum mengelus-elus si burung dara
malang. Tiba-tiba saja air mukanya berubah. Ia menangis dengan air mata yang menitik
berat. Berbagai macam kenangan, keperihan yang menyatu dengan pemandangan nasib
naas si burung dara malang membuatnya tak tahan.
"Tinggalkan aku untuk sementara di sini. Kembalilah menjemputku setengah jam lagi....."
Sebagaimana biasanya, Rani tak menolak permintaan Hanum. Ia melangkah perlahan
meninggalkan taman air mancur. Ia hanya sempat menoleh ke belakang, sebelum mencapai
tikungan. Semakin menjauh meninggalkan Hanum, dalam setiap langkah kakinya
menyusuri jalan setapak, perasaan girang yang lain, yang coba ditahannya kala bersama
Hanum tadi menyeruak begitu saja. Bagaimanapun, kondisi Hanum yang seperti itu
memang sudah lama ia harapkan. Ia tersenyum kala mengingat perjuangannya sampai harus
ke pedalaman Kalimantan demi menemui seorang peracik ramuan pelumpuh kaki dari
bahan tetumbuhan hutan. Ramuan itulah yang ia campurkan pada air minum Hanum di
suatu malam keparat yang kemudian membuat Hanum abadi dalam kelumpuhan. Itulah
awal, ketika ia bisa dengan leluasa meraih apa yang dimiliki Hanum yang serasa mustahil
tergapai jika Hanum masih berada dalam kondisi sehat dan bisa menebarkan sihir tarinya.
Tak ada yang tahu bahwa sesungguhnya semua itu bermula dari rasa muaknya berada
posisi sebagai orang kedua, selaku penari pelengkap sang Dewi Tari: Hanum
Setyaningrum.
Dengan pikiran yang terus berjalan, Rani melangkah mantap menyusuri jalan setapak hutan
hingga mencapai panti, langsung menuju ke area parkir kendaraan. Dari dalam sebuah
mobil sedan, Braman melambai mesra pada kekasih barunya itu. Begitu Rani masuk, mobil
sedan itu langsung menderu laju meninggalkan area parkir.
Setengah jam telah berlalu, Hanum masih menunggu. Ia masih membelai-belai si burung
dara malang dalam pangkuan. Kala itu, malam mulai turun. Ia terus abadi dalam harapan
bahwa Rani akan kembali datang menjemputnya karena ia tak bakalan tahu bahwa
sesungguhnya, kedatangan Rani tadi adalah kedatangan untuk terakhir kalinya.***
Pedalaman Borneo, 12 Juni 2007