1. RUMAH DARI TANGAN AYAH
Di masa mudaku dan tahun-tahun rapuh, Ayahku mengajakku tinggal di sebuah rumah yang
tampak seperti buah permai di puncak bukit yang dikelilingi sungai jernih dan gunung-gunung
beku yang menggigil.
Saat pertama kali melihat rumah dari luar, Aku takjub dan berharap bisa menghabiskan liburan
musim dingin ini dengan sedikit sentuhan berwarna. Namun apa yang setelah itu kulihat dalam
rumah adalah pandangan jijik dan mengerikan. Sarang laba-laba ada dimana-mana, di langit-
langit rumah, dinding dan properti seperti meja dan tempat perapian kecilnya. Dinding-dinding
kayunya seperti pipa hitam di pabrik.
Aku berjalan pelan tetap waspada agar tidak terperosok di antara pijakan lantai papan kayu yang
telah rapuh dimakan usia. Sementara ayah menaruh kardus di samping kotak yang dibawanya
masuk tadi dan menjatuhkannya di kaki tangga. Setidaknya, sebagian besarnya hari ini akan ada
dua perdebatan dengan ayahku. Kesenangan apa yang aku dapatkan di musim dingin tahun ini?
Juga inikah hadiah yang ia janjikan karena aku menang olimpiade sains tingkat SMP di sekolah
dua bulan lalu?
Jika suasana terus macam ini, maka akan menghancurkan rencana bersenang-senang dan
melupakan semuanya. Bahkan dari detik ini aku sudah kehilangan rencana menghabiskan malam
sambil makan chicolota berminyak dan menonton pertandingan di televisi.
“Apa kita akan tinggal di sini ayah?”
“Begitulah,” kata ayah santai saat membawa berbagai perkakas, berupa cat dan kuas.
“Aku tidak ingin tinggal di sini?”
“Kenapa?”
“Karena suasana di sini sangat buruk dan menakutkan.”
“Oh ya?” Ayah melihat ke sekeliling sekilas sambil membersihkan bajunya. “Paling tidak ini
awal yang bagus.”
“Tidak, ini benar-benar tidak bagus. Apa ayah tidak mempedulikan kesehatanku?”
“Pertanyaan yang bagus, nak,” katanya tersenyum. “Aku mencintaimu dan almarhum ibumu.
Mana bisa aku tidak peduli denganmu, kita hanya perlu beberapa sentuhan di sini. Olesan kecil
cat di dinding seperti mengoles selai dari roti. Membersihkan langit-langit dan lantai dari kotoran
tikus. Membetulkan perapian dan menghiasinya dengan jari-jari kreasi. Ayolah, ini akan
menyenangkan.”
“Tapi aku tidak suka menghias. Kecuali… baiklah,” kataku terpaksa. “Tapi bagian mengusir
tikus untuk ayah.” Kami tersenyum.
Penuh hari ini kami kerjakan untuk tugas rumah. Denah rumah yang ayah buat persis dengan
rumahnya, kecuali sedikit modifikasi. Trim dinding dan lantai telah dikelupas untuk
memunculkan warna kayu alami dan dipelitur, kemudian dinding-dindingnya dicat hijau tua
hangat, sehingga menonjolkan warna madu pada lantai kayunya. Ia juga telah memasang lampu
model antik di langit-langitnya tinggi.
Lorong rumah itu seharusnya ditutup karpet, pikirku. Karpet tua, sedikit gundul, dan penuh
karakter. Dan mungkin ayah berniat mengecat ulang meja di dekat pintu.
Ayah kembali sambil membawa dua helai handuk berwarna biru tua. “Ayah sudah membuat
beberapa perubahan bagus di sini.”
“Masa?” Ayah melihat ke sekeliling sambil menggosok-gosok rambut dengan handuk. “Paling
tidak ini awal yang bagus bukan?”
“Benar-benar bagus,” ujarku sambil berjalan masuk ke ruang duduk. Perabotan-perabotan harus
diperbarui. Ditutup taplak atau lebih baik lagi, diganti dengan yang baru. Dan poster penyanyi
bryan adams yang diidolakan ayah adalah satu satunya pemandangan unik di dinding. Gambar
itu hampir memenuhi setengah sisi dinding. Warna hijau dinding-dinding ruang duduk itu sedikit
2. lebih tua, dan interior kayunya benar-benar indah. Tempat perapian kecilnya dibuat dari batu
granit coklat muda dan dibingkai kayu ek berwarna madu dengan rak lebar di atasnya.”
“Ya Tuhan, ini benar-benar indah, yah. Sungguh.” Aku berjalan melintasi ruangan menghampiri
perapian, jari-jariku mengelus rak di atas perapian. Rak itu berdebu, tapi kayu di bawahnya
benar-benar terasa halus. “Oh, coba lihat apa yang kaulakukan pada jendela itu!”
Jendela itu disekat rak-rak, dengan ukiran-ukiran di pinggirnya. “Ini jenis detail yang dibutuhkan
untuk ruang seukuran ini. Membuatnya tampak indah tanpa kelihatan sempit. Membuatnya
tampak nyaman.”
“Ayah sedang berpikir untuk melapisi bagian depannya dengan kaca -mungkin kaca buram.
Belum diputuskan. Tapi ayah akan melakukan hal itu pada lemari built-in di ruang makan, jadi
mungkin yang ini akan dibiarkan tetap terbuka saja. Yang terpenting bahan untuk membuatnya
juga tak ada.”
Aku baru tahu jika ayah tukang yang andal dan jika dia melakukan keahliannya ini sebagai
pekerjaan. Pelanggan pasti bangga pada hasil karyanya, dan sikap antusias lebih puas lagi.
“Bagian Dapur sudah selesai, kalau kau mau melihatnya,” Ujar ayah tersenyum enteng.
“Dapur adalah ruangan terpenting.” Ayah membuka pintu dapur.
Sebelum ayah membawaku ke sini, ternyata dia melakukan sedikit renovasi di bagian dapur.
Ayah mengganti lantai dapur dengan keramik berukuran besar yang warnanya senada dengan
meja dapur dan memilih warna putih untuk lemari-lemarinya. Beberapa di antaranya mempunyai
daun pintu berkaca. Ia juga memasang meja untuk acara makan-makan santai, dan menambahkan
jendela sehingga pemandangan halaman belakang rumah bisa dilihat di dapur. Ambang jendela
itu dibuat dari batu dan sengaja dibuat lebar untuk menaruh pot-pot berisi tanaman bunga atau
tanaman bumbu yang cantik.”
“Aku suka sekali bagian dapur ini. Mungkin aku bisa menghabiskan seharian bermain di sini.”
“Tapi kau yakin tidak ingin menghabiskan seharian di sebuah tempat lain yang sekiranya lebih
menakjubkan?”
Ayah kemudian membawaku ke bagian kamar dekat ruang utama. Dinding kamar berlatar
keliaran hutan dan ketenangan awan. Rak-rak buku lengkap dengan meja belajar memang
disiapkan ayah untuk aku tetap mengingat musim dingin ini bukan hanya sekedar liburan tetapi
juga untuk mengasah otak. Ranjang dan kasur hangat dari sutera dan bermotif tokoh kartun
Donald Bebek yang kusukai. Kali ini aku benar-benar betah. Ayah menekan sebuah tombol dan
membuat lantai kayu di bawah terbuka. Awalnya aku mengira diletakkan teknologi untuk
membuatnya terbuka, tetapi setelah ayah menjelaskan caranya bekerja, ternyata itu hanya sebuah
rancangan kayu biasa yang dibuat dengan detail hingga terlihat seperti teknologi mesin.
Ruangan bawah itu adalah tempat bermain dengan temperatur hangat. Cahaya lampu terang
cukup menerangi seluruh sudut ruangan. Lantainya terbuat dari kayu Aspen dan dinding-dinding
masih berupa bata merah yang memantulkan cahaya.
“Kayu Aspen adalah kayu berkualitas, putih dan halus. Memiliki satu kekhasan aroma yang kuat.
Cukup ideal dan mengesankan,” kata Ayah mengajar.
Di ruangan bawah itu juga diletakkan barang-barang yang punya arti penting. Ayah masih
menyimpan dua gambar yang kubuat untuknya waktu aku masih kecil dulu, seperti gambar hati
dengan garis bergerigi bertulis ‘I Love U forever, Daddy’. Juga gambar rumah kotak-kotak
dengan atap segitiga. Matahari besar dan bundar. Burung-burung berbentuk huruf W yang
beterbangan.
Aku tahu. Ayahku memutuskan untuk menyimpan kenangan masa lalu daripada memikirkan
masa depan yang belum tentu menyenangkan baginya. Karena ia tahu cara mengartikan
kebahagiaan sebenarnya, dengan melihat orang-orang di sekitarnya bahagia, begitulah cakapnya.
Dua hari setelah berakhirnya musim dingin dan pulang ke rumah kami yang terletak di desa elite
di pinggir kota. Aku terpukul atas kematian ayah yang mendadak. Dia meninggal dalam sebuah
kecelakaan lalu lintas. Mobil yang dia kendarai ditabrak sebuah truk pengangkut kayu.
Sebenarnya kematiannya bukan karena kecelakaan, melainkan lebih tragis, tertimpa kayu besar
dari truk yang jatuh saat berusaha menyelamatkan diri. Sebelum dia meninggalkanku dia sempat
menulis sebuah surat berisi perkataan di atas meja kerjanya. Rumah dari tangan ayah sekarang
3. ayah serahkan ke tanganmu. Berjanjilah kau akan membuatnya lebih indah dan aku yakin dunia
akan menengokmu.
Setelah aku beranjak dewasa aku menepati janji itu, dan butuh beberapa tahun untuk
menciptakan bangunan berarsitektur luar biasa. Tanpa melupakan tugas kuliah aku terus
mengepakkan mimpi-mimpiku. Hingga aku lulus dan bergelar sarjana arsitektur, aku fokus pada
pembangunan rumah. Untuk bisa menfasilitasi pembangunan yang kubuat, aku juga bekerja
bisnis renovasi rumah bagi klien-klienku yang aktif. Bisnis yang bagus saat ini, jadi itulah
intinya.
Aku menikah di umur 25 tahun dengan wanita yang bekerja di sebuah restoran piza yang ia
warisi dari mendiang ibunya. Sampai kami memiliki seorang putra, pembangunan yang kubuat
akhirnya selesai. Rumah yang ayah bangun dan aku bangun menjadi sebuah bangunan
berarsitektur tinggi. Dan diantara pejabat dan bangsawan kaya raya berniat membelinya. Tapi
masa bodo untuk hal itu. Aku tidak berniat untuk menjualnya. Mimpi ayahku sekarang terbang
bersama mimpiku. Dan untuk satu-satunya alasan aku berada di sini sebab atas keberadaan
ayahku. Terima kasih ayah. Terima kasih selamanya.
4. MENERAWANG JAUH KE NEGERI SEBERANG
Jam dinding berdetak, seakan sebuah melodi di ruang kosong dan gelap tempat aku duduk
sekarang. Memandang langit cerah di luar sana yang seakan lukisan hidup yang sangatlah indah.
Tatapan mata ke seberang sebuah jendela, namun pikiran menerawang jauh ke negeri seberang.
Indah memang di luar sana, namun ruangan yang kutempatilah yang mungkin sama dengan
sebuah suasana di hati kosong dan hening.
Seseorang mengetuk pintu dengan sangat keras, mungkin suara seperti itu bukanlah suara
ketukan pintu tapi lebih mirip dengan suara pintu yang dipukul-pukul menggunakan kedua
tangan seorang petinju. Suara pintu yang sangat bising menghentikan pikiranku yang saat itu
sedang menerawang jauh ke negeri sana. Mengharuskanku untuk bangkit dari duduk, berjalan
lalu membuaka pintu agar mengehentikan suara bising yang dilakukan seseorang yang memecah
keheningan saat itu.
Pintu pun terbuka, orang itu langsung masuk saja tanpa permisi dengan gerak terburu buru. Dia
berjalan cepat ke arah saklar listrik lalu menekan tombol saklar agar sebuah cahaya yaitu lampu
di ruangan gelap itu menyala. Kemudian dengan langkah terburu-buru juga dia berjalan cepat ke
arahku yang saat itu tengah berdiri di depan pintu menatap datar ke arahnya. Lalu menarik
tanganku cepat sembari berkata “cepeeet miliii” kami menuju sebuah meja di sudut belakang
ruangan, tak butuh beberapa lama sampailah kami di meja tersebut.
Dia segera mengambil sesuatu dari dalam tas yang menyampai di tubuhnya, hanya beberapa
detik sebuah majalah berada di tangannya. Segera ia meletakan majalah tersebut di atas meja
tadi, lalu dengan terburu-buru membuka lembar demi lembar. Di halaman 17 tangannya berhenti
melakukan gerakan untuk membuka lembaran selanjutnya.
“Nih liat, lo ada di majalah ini, di sini tertulis tentang fakta-fakta nathan -aktor terkenal di
Indonesia- kalau dia lagi deket sama elo Wili Pratiwi dan elo gak bisa ngelak wil, nih ada foto
lo” cerosos feli panjang lebar, tangannya menunjuk sebuah foto di majalah itu, ya itu adalah foto
diriku sendiri.
“Terus?” Jawabku dengan wajah datar
“Ah lu mah sok biasa aja, Udahlah wil, jangan gitu. Kalo mau teriak, ya teriak aja kalo mau
loncak-locat, ya tinggal lakuin. Gak usah malu sama gue.” Lanjut feli mengangkat kedua alisnya
dengan tersenyum
“Lo salah faham fel, gue gak pernah deket sama nathan kok”
“Terus ini apa?” Tanya feli menunjuk foto di majalah tersebut
“Tau ah, pokonya gue gak deket sama dia” jawabku yang berjalan ke arah jendela menjauhi feli
“OMG hello, willi” teriak feli memperlihatkan majalah tadi, di sana terlihat foto aku dan nathan
yang sedang duduk berdua di meja di sebuah cafe
“Lo gak bisa ngelak lagi wili, ditunggu pjnya ya ibu nathan” lanjut feli mengedipkan mata
kirinya dengan tersenyum
“Enggak akan lah, ya udah gue ceritain semuanya sama lo. Gini iya kita emang jalan, tapi gue
gak pernah suka sama dia. Lo tau dia juga nembak gue fel, tapi emang gue gak pernah suka sama
dia. Jadi semuanya salah faham feli.” Jawabku pelan di posisi yang sama menatap ke luar jendela
“Kok lo gitu sih wil, pertama Dika, kedua rian, dan sekarang nathan. Mereka orang-orang hebat
willi. Gue tau pasti lo tolak mereka gara-gara nunggu iqbale kan?”
“Ya lo emang bener, gak ada yang seperfect dia fel. Dia itu..” belum sempat aku meneruskan feli
sudah mengehntikanku berkat “sttttt”
“Lo gak cape nunggu iqbale sekolah di LA yang gak tau kapan kembali ke Indo? Gimana kalau
dia udah sama yang lain?” Tanyanya yang membuat mataku berkaca-kaca mengingat sesorang
yang setiap harinya membuatku tak mengizinkan ada seseorang yang masuk dalam hatiku,
5. sesorang yang membuat hatiku KOSONG, namun di balik kekosongan wajah indahnya selalu
terpotret jelas tersusun rapi di hati.
“Insyaalah gue siap, kalau di usia gue yang ke 20 tahun dia gak pulang ke indo atau udah sama
yang lain gue akan buka hati, masih ada waktu 2 tahun untuk menunggu orang yang menurut gue
tepat. Insyaallah gue janji fel”
Kini feli mengerti, dia mulai mengerti apa yang ada di hatiku, dia hanya terdiam.
Menunggu itu bukanlah hal yang mudah bagiku. Dalam menunggu hati resah, banyak ketakutan,
kekhawatiran, kecemasan akan ketidakkembaliannya lagi ke dalam hidupku. Tapi lebih sulit
berhenti menunggu, karena harus menghentikan hati dan fikiran yang selalu memutarkan wajah
dan namanya setiap detik perjalanan hari-hariku. Iqbale memang bukanlah seperti dika, rian
ataupun nathan yang tampan dan terkenal. Iqbale hanyalah seorang pemuda biasa, tidak
setampan mereka, namun dia mempunyai segudang prestasi yang membuatnya meneruskan
pendidikannya di LA.
“Lebih baik menunggu orang yang tepat daripada menghabiskan waktu dengan orang yang
salah!!” Ingatlah lebih baik menunggu
Cerpen Karangan: Renita Melviany
Facebook: Renita melviany
Nama aku renita melviany, biasanya orang-orang memanggilku rere. Aku sekolah di SMAN 1
TALAGA, duduk di kelas XI IPA 1 (kingdomscione). Aku suka Menulis mulai dari Aku duduk
di bangku SMP. Aku belum mendapat segudang prestasi di bidang menulis ataupun cerpen, tapi
insyaallah suatu saat akan tergoras Pena di sebuah piagam bertuliskan Nama “Renita
Melviany”… ingin tau lebih banyak tentang Aku? Follow you ig aku renitamelviany_17