5. iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Berawal dari pertemuan penggiat Hutan Jawa yang diselenggarakan ARuPA dan
dihadiri 10 organisasi masyarakat sipil dan LSM pada tanggal 16 November 2011 di
Yogyakarta, munculah ide “Rekonfigurasi Hutan Jawa”. Ide ini tidak semata‐mata
muncul begitu saja. Keprihatinan pengelolaan hutan jawa yang kian carut marut,
bahkan bisa dikatakan gagal menjadi salah satu mengapa kemudian 10 organisasi
tersebut membentuk Koalisi Pemulihan Hutan Jawa (KPH Jawa). Di sisi lain,
kebutuhan untuk melakukan advokasi secara bersama‐sama didasari evaluasi
bahwa selama ini LSM di Jawa cenderung melakukan kegiatan sendiri‐sendiri, tanpa
ada koordinasi agenda dan strategi sehingga tidak mampu memberikan dampak
yang signifikan. Kemudian, dalam perkembangannya, kini anggota KPH Jawa
mencapai sebanyak 38 Organisasi Masyarakat Sipil yakni ARuPA, FKKM, FPPK,
FPPKS, FWI, HuMa, Javlec, JPIK Jateng, Karsa, Kompleet, KpSHK, LBH Bandung, LBH
Semarang, LBH Surabaya, Lidah Tani, LPH Yaphi, LPPSLH, Ortaja, Paguyuban Petani
Turi, Paramitra, PPHJ, PPLH Mangkubumi, RMI, Rumah Aspirasi Budiman, SD
INPERS, Sepkuba, SPP, SPPT, Stan Balong, Suphel, Telapak, Walhi DIY, Walhi Jabar,
Yayasan Koling, Yayasan Sitas Desa, Yayasan Trukajaya, LBH Yogyakarta, dan
Epistema
Dalam waktu 1 tahun (2013) KPH Jawa telah menyelesaikan naskah akademis dan
naskah kebijakan rekonfigusi hutan jawa. Dokumen ini disusun oleh Tim Substansi
yang terdiri dari Ronald Ferdaus (ARuPA), Paramita Iswari (KARSA), Erwin Dwi
Kristianto (HuMa), Mumu Muhajir (Epistema), Totok Dwi diantoro (ARuPA), dan
Sungging Septivianto (Kompleet) yang disupervisi oleh R. Yando Zakaria. Terdapat
juga Tim Expert yang berkontribusi dalam pembahasan awal draf roadmap meliputi:
Asep Suntana (Surya University), Hariadi Kartodihardjo (IPB), Yando Zakaria (Karsa),
Martua T Sirait (Kemitraan), Mia Siscawati (Sajogyo Institute), Noer Fauzi (Sajogyo
Institute), Agustiana (SPP), Heri Santoso (Javlec), Rahmanto Setiadi (Javlec). Serta
Tim Reviewer, para pakar yang diminta untuk mereview dokumen roadmap: Yando
Zakaria (Karsa), Myrna Safitri (Epistema), Martua Sirait (ICRAF), Hariadi
Kartodihardjo (IPB) dan Suryanto Sadiyo (ARuPA). Kami mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pimpinan lembaga serta tim substansi, tim expert dan tim reviewer
atas kerjasama dalam penyusunan “rekonfigurasi hutan jawa”.
Dokumen ini menggambarkan bagaimana kondisi faktual dan rancangan masa
depan pengelolaan hutan Jawa yang diusulukan oleh kalangan CSO. Harapannya
dokumen ini dapat digunakan untuk membangun kesepahaman para pihak
6. iv
terhadap kebijakan pengelolaan hutan jawa. Akhirnya, kepada seluruh Organisasi
Masyarakat Sipil yang tergabung dalam KPH jawa, Tim substansi, Tim Expert dan
reviewer, serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dokumen ini hingga
tercetak dengan baik, kami sampaikan penghargaan dan terima kasih atas kerja
keras.
Yogyakarta, Maret 2014
Dwi Nugroho
Direktur Eksekutif ARuPA
7. v
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136
juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar 6
persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen
jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Kepadatan pulau Jawa tentu saja
berimplikasi pada besarnya tekanan pada sumberdaya alam demi kelangsungan
hidup sehari‐hari. Tekanan ini terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam
atau di sekitar hutan. Pada sisi lain besarnya tekanan pada sumberdaya alam di
pulau Jawa ini hanya didukung oleh sejumlah kecil luasan lahan hutan.Data yang
dipublikasikan oleh BPKH Wilayah XI, Jawa‐Madura (2012) menunjukkan bahwa dari
98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya sekitar 3.38% saja yang
tercatat berada di pulau ini.
Dengan luasan sekitar 2.4 juta ha sebanyak 85,37% hutan di Jawa diserahkan
pengelolaannya pada Perum Perhutani. Penguasaan hutan dalam skala masif oleh
Perhutani ini pada sisi lain kemudian diiringi dengan meningkatnya krisis ekologis di
pulau Jawa. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini terlihat dari terus
berkurangnya luas tutupan hutan Jawa tiap tahunnya. Pada tahun 2000 luas
tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun pada tahun 2009
luas tutupan hutan hanya tinggal 800an ribu hektar. Perubahan tutupan hutan ini
terjadi karena deforestasi, baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi hutan.
Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi pada percepatan laju deforestasi dan
degradasi hutan, seperti kepentingan pembangunan dan ekonomi; ketergantungan
masyarakat pada sumberdaya alam; pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya;
tingginya permintaan pasar akan kayu dan produk kayu; tingginya permintaan dan
harga komoditas perkebunan dan pertambangan; kepemilikan lahan yang tidak
jelas; kepentingan politik; dan buruknya tata kepengurusan (bad governance)
sumberdaya hutan.
Berkurangnya luasan tutupan hutan ini secara drastis berdampak pada
terganggunya daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Data dari Kementrian
Lingkungan Hidup menyebutkan sebanyak 123 titik DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa
terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Hal ini kian menegaskan
terancamnya Jawa oleh krisis ekologis. Ancaman bencana yang terjadi di Pulau
Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat mencolok jika
dibandingkan dengan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya.
8. vi
Di samping mengalami krisis ekologis, salah urus Pulau Jawa juga diwarnai krisis
sosial. Yang paling menonjol tentu saja kemiskinan yang akut. Data BPS
(2012)menunjukkan jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah
8.703.350 jiwa. Sejauh ini diyakini bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa terutama disebabkan oleh keterbatasan
lahan yang dimiliki.Dalam data Sensus Pertanian (1993)RACA Intitute menyebutkan
bahwa penguasaan tanah petani di Jawa rata‐rata 0,3 ha/KK. Sedangkan
berdasarkan data yang dikumpulkan dari sebuah pertemuan organisasi petani pada
tahun 2012, fakta mengenai kepemilikan tanah oleh masyarakat ini cenderung
mengalami penurunan menjadi 0,1 – 0,25 ha/KK.
Selain sejumlah faktor yang telah disebutkan diatas, kemiskinan juga disebabkan
oleh terbatasnya akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya.Dalam
pengelolaan hutan Jawa yang berlaku selama ini kawasan hutan adalah bukan
kekayaan alam yang seharusnya juga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat desa, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya hak pengelolaan
sebagian besar hutan Jawa diserahkan kepada Perhutani sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2010.
Dengan karakteristik kerja Perhutani, alih‐alih mengatasi krisis sosial yang terjadi
selama ini konflik dan eksploitasi terhadap masyarakat justru semakin tajam. Dalam
catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia,
41 (empat puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh
Perum Perhutani. Rekonfigurasi hutan Jawa dengan demikian diperlukan untuk
melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa, serta
perluasan ruang kelola rakyat guna mengentaskan kemiskinan masyarakat desa
hutan. Perubahan dilakukan terhadap beberapa aspek penting yaitu: Paradigma,
Tata Kuasa, Tata Guna, dan Kebijakan.
Rekonfigurasi hutan Jawa harus dimulai dari perubahan paradigma dengan
memaknai hutan sebagai satu kesatuan utuh atau holistik, tidak hanya dilihat
sebagai sumber produksi hasil hutan kayu ataupun non kayu. Rekonfigurasi hutan
Jawa juga memerlukan perubahan paradigma pada tataran pengelolaannya, dari
hanya sekedar bisnis lahan ataupun pengusahaan hutan, dikembalikan menjadi
pengelolaan hutan (bukan sekedar lahan, dan bukan sekedar pengusahaan).Proses
perubahan paradigma pengelolaan hutan seharusnya dimulai dengan merevisi
Undang‐undang Kehutanan sebagai dasar kebijakan pengelolaan hutan di
Indonesia.
9. vii
Hal mendasar yang paling mendesak untuk ditata ulang adalah persoalan tata kuasa
atas lahan hutan Jawa, mengingat dalam satu dekade terakhir ini banyak terdapat
konflik lahan yang menimbulkan korban jiwa. Sejumlah opsi rekonfigurasi tata
kuasa hutan Jawa akan mengurangi luasan hutan negara karena sebagian luasan
akan berubah dengan kondisi sebagai berikut: (1)Dikembalikan ke individu pemilik
sah (sebelum tanah dikuasai oleh negara) atau ahli warisnya (2)Berubah status
menjadi aset desa berupa hutan milik desa dan (3)Menjadi Hutan Adat berdasarkan
penetapan oleh Perda.
Adapun tata guna hutan Jawa di waktu yang akan datang cukup dibedakan menjadi
2 pola pemanfaatan ruang, yaitu: hutan pada kawasan lindung dan hutan pada
kawasan budidaya. Perubahan tata guna lahan hutan Jawa juga harus didukung
dengan perubahan kelembagaan pengelola hutan Jawa. Di masa depan, diperlukan
ada 3 macam kelembagaan yaitu: (1)Kelembagaan Perencanaan Kehutanan Jawa;
(2)Kelembagaan Pengelola Hutan Jawa; (3)Kelembagaan Penyelesaian Konflik Hutan
Jawa.
Untuk menuju realisasi gagasan rekonfigurasi tersebut di atas, langkah penting yang
pertama kali harus dilakukan adalah mengkerangkainya—baik pada level paradigma
hingga teknis operasional—melalui rekonstruksi kebijakan mulai dari Undang‐
undang sampai Peraturan Pelaksanaan. Pada ranah Undang‐undang, yang mesti
dilakukan adalah mengganti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan
Undang‐undang yang baru. Penggantian UUK 41/1999 ini setidak‐tidaknya dengan
merevisi Pasal 6 ayat (1) UUK 41/1999 terutama terkait dengan pengklasifikasian
hutan menurut fungsi konservasi, lindung dan produksi. Sedangkan pada ranah
Peraturan Pelaksanaan, mencabut PP 72 Tahun 2010 tentang Perum Perhutani
adalah konsekuensi yang tidak bisa dielakkan.
Rekonstruksi basis kebijakan yang dimulai dengan mencabut PP No. 72/2010,
selanjutnya perlu dilanjutkan denganpenerbitan regulasi pengelolaan hutan Jawa
yang mendukung disain kepengurusan melalui model kelembagaan KPH. Penerbitan
regulasi tersebut dilakukansebagaimana mandat PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008,
di mana unit usaha milik negara (mungkin sebagai ganti Perhutani) tidak lebih
merupakan salah satu pihak penerima konsesi sejajar dengan masyarakat dan
harus tetap tunduk dalam garis koordinasi dan supervisi KPH.
10. viii
DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih |ii
Ringkasan Eksekutif |v
Daftar Gambar, Tabel dan Box |ix
Daftar Singkatan |x
BAB I Keniscayaan Rekonfigurasi Hutan Jawa |1
1.1 Krisis Sosial‐Ekologis Hutan Jawa : Mengancam Keselamatan Hidup
Ratusan Juta Manusia dan Mahluk Hidup Lainnya |2
1.2 Metodologi |16
1.2.1 Kerangka Pemikiran |16
1.2.2 Proses Kerja |18
1.2.3 Tujuan dan Ruang Lingkup |20
1.3 Sistematika Pembahasan |20
BAB II Salah Urus Hutan Jawa |22
2.1 Paradigma Pengelolaan Hutan Jawa |23
2.2 Tata Kelola |22
2.2.1 Tata Guna |22
2.2.2 Tata Kuasa |31
2.2.3 Tata Usaha |34
2.2.4. Pengelolaan Hutan Jawa dan Konflik Agraria |40
BAB III Rekonfigurasi Hutan Jawa |49
3.1 Hutan Rakyat: katup penyelamat ekologi dan kehidupan ekonomi
masyarakat di Jawa |50
3.2 Rekonfigurasi Hutan Jawa |55
3.2.1 Perubahan Paradigma Pengelolaan Hutan |55
3.2.2 Perubahan Tata Kuasa Hutan Jawa |57
3.2.3 Perubahan Tata Guna Hutan Jawa |65
3.2.4 Perubahan Kebijakan Pengelolaan Hutan Jawa |67
BAB IV Langkah Konsolidasi dan Tahapan Kerja |71
4.1 Tujuan dan Tenggat Waktu |72
4.2 Kebijakan dan Inisiatif Kerja yang Sejalan |75
4.3 Rekonfigurasi Hutan Jawa |77
Cara membaca matrik rekonfigurasi Hutan Jawa |78
Daftar Pustaka |105
12. x
DAFTAR SINGKATAN
AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
ARuPA Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam
BAPPEDA Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
BAPPENAS Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
BKSDA Balai Konservasi Sumber Daya Alam
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPKH Balai Pemantapan Kawasan Hutan
BPN Badan Pertanahan Nasional
BPS Badan Pusat Statistik
BULOG Badan Urusan Logistik
BUMN Badan Usaha Milik Negara
CSO Civil Society Organization
DAS Daerah Aliran Sungai
DPD Dewan Perwakilan Daerah
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
FAO Food and Agriculture Organization
FKKM Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat
FWI Forest Watch Indonesia
HD Hutan Desa
HKM Hutan Kemasyarakatan
HTR Hutan Tanaman Rakyat
HUMA Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis
JAVLEC Java Learning Center
JKPP Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
KARSA Lingkar Pembaruan Pedesaan dan Agraria
KemenBUMN Kementerian Badan Usaha Milik Negara
Kemendagri Kementerian Dalam Negeri
KemenESDM Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral
Kemenhut Kementerian Kehutanan
Kemenkeu Kementerian Keuangan
KemenPU Kementerian Pekerjaan Umum
13. xi
KLH
Kementerian Lingkungan Hidup
KNUPKA Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria
KOLING Konservasi Lingkungan
Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KOMPLEET Komunitas Peduli Slamet
KPH Koalisi Pemulihan Hutan
KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan
KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan
KPK Komisi Pemberantasan Korupsi
KSO Kerjasama Operasional
LBH Lembaga Bantuan Hukum
LESEHAN Lembaga Studi Ekologi Hutan
LMDH Lembaga Masyarakat Desa Hutan
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MP3EI Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
NKB Nota Kesepahaman Bersama
PERUM Perusahaan Umum
PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
PMDHI Perhimpunan Masyarakat Desa Hutan Indonesia
PP Peraturan Pemerintah
PPHJ Paguyuban Petani Hutan Jawa
PPLH Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Pusdalbanghut Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan
RAB Rumah Aspirasi Budiman
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RPJMP Rencana Pembangunan Jangka Menengah Propinsi
RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah
SDA Sumberdaya Alam
SDH Sumberdaya Hutan
SEPKUBA Serikat Petani untuk Kedaulatan Bangsa
14. xii
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
SPP Serikat Petani Pasundan
Stan Balong Serikat Petani Banyumas Pekalongan
SUPHEL Solidaritas Masyarakat untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup
SVLK Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan
TN Taman Nasional
UKP4 Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
UU Undang‐Undang
VOC Vereenigde Oostindische Compagnie
WALHI Wahana Lingkungan Hidup
15.
16.
17. | 3
Pemanfaatan hutan di Jawa bukan semata‐mata hanya bermanfaat dalam hal
produk hasil hutan berupa kayu. Sebagaimana juga terdapat di daerah lainnya,
dalam kehidupan masyarakat, hutan mempunyai fungsi holistik. Dari hutan
masyarakat bisa memperoleh produk berupa pangan (food), energi (energy), serat
(fiber), obat‐obatan (medicine), dan karbon (carbon). Hutan sebagai tempat
bertumbuhnya berjuta tanaman berfungsi sebagai penyedia air bagi kehidupan.
Tidak dipungkiri pula jika hutan kontribusi penting bagi kehidupan masyarakat di
perkotaan.
Dalam situasi krisis energi berbasis fosil, hutan menyediakan sejumlah sumber
energi alternatif. Di daerah di Jawa saat ini sudah mulai memanfaatkan tanaman
jarak, nyamplung, sorgum atau jagung cantle, maupun tetes tebu sebagai bahan
bakar nabati. Hutan juga menghasilkan serat yang dapat digunakan sebagai bahan
baku pulp dan kertas.
Hutan juga adalah sumber penting dari mana masyarakat memperoleh obat‐
obatan. Masyarakat Jawa sudah sejak lama memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan
yang dapat diolah menjadi ramuan tradisional (jamu).5
Menurut Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kementrian Kehutanan, sebagian besar tumbuhan obat di
Indonesia (78%) diperoleh melalui ekstraksi (pengambilan langsung) kawasan
5
Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia yang terbuat dari bahan‐bahan alami, baik dari
tumbuhan maupun hewan (Departemen Kesehatan). Istilah ini memang identik dengan budaya Jawa,
sedangkan wilayah lain memiliki obat tradisional dengan sebutannya sendiri.
18. 4 |
hutan. Hanya sebagian kecil dari tanaman obat tersebut yang telah dibudidayakan,
sebagaimana juga terjadi di Pulau Jawa.6
Potensi karbon hutan rakyat di Pulau Jawa patut pula diperhitungkan. Berdasarkan
luasan indikator yang didapat melalui penafsiran citra satelit yang dilakukan oleh
BPKH Wilayah XI Jawa dan Madura, potensi karbon pada tahun 2009 adalah sebesar
40.724.689,17 ton atau 15,75 ton/ha.7
Hal ini tentunya menunjukkan bahwa hutan
rakyat memberikan peran luar biasa dalam konteks mitigasi perubahan iklim dan
mengurangi emisi gas rumah kaca.
Di luar manfaat yang bersifat fisik tersebut, dalam banyak komunitas masyarakat
adat di Jawa seperti Wong Sikep di Blora,8
Suku Baduy di Lebak,9
Kasepuhan Banten
Kidul di Taman Nasional Gunung Halimun, Wong Tengger di Bromo, dan lainnya,
hubungan dengan hutan bukan sekedar hubungan kebendaan semata melainkan
juga memiliki makna spiritualitas tertentu. Terganggunya keberadaan hutan secara
tidak langsung akan menganggu kelangsungan tatanan kehidupan masyarakat itu
sendiri.
Dengan berbagai manfaat yang dipaparkan diatas jelas bahwa hutan Jawa memiliki
nilai strategis bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup yang ada di pulau ini,
termasuk 136 juta manusia yang hidup di dalamnya. Meski demikian, wacana krisis
kehutanan di Indonesia selama ini nyaris tidak menyertakan hutan Jawa di
dalamnya. Boleh jadi, luasan hutan Jawa yang tidak seberapa dan jauh berada di
bawah angka luasan hutan di wilayah Indonesia lain menjadi penyebabnya. Luasan
kawasan hutan dan perairan di Pulau Jawa berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan, sebagaimana ditunjukkan oleh diagram berikut, hanya sekitar 2,43%
dari total di Indonesia. Bandingkan dengan Kalimantan yaitu 28,12% maupun Papua
yang mencapai 31.01%. Lebih jauh lagi, persentase hutan di Pulau Jawa sangat
6
Hal ini disampaikan dalam sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Iman Santoso, dalam Seminar
Internasional “Hutan dan Tumbuhan Obat untuk Kesejahteraan Masyarakat”, yang diselenggarakan pada 10‐12
September 2013 di Bogor.
7
BPKH Wilayah XI Jawa dan Madura, 2009.
8
Wong Sikep atau sering disebut juga sedulur Sikep adalah para pengikut ajaran Agama Adam, yakni ajaran yang
dikembangkan Samin Surosentiko pada akhir abad XIX di Klopoduwur, Blora. Komunitas ini memiliki konsep
ketuhanan yang berimplikasi terhadap kehidupan sehari‐hari, misalnya dalam hubungannya dengan tanah
pertanian dan hutan. Wong Sikep memandang bahwa mengolah lahan pertanian sama halnya dengan
“perkawinan manusia” dengan alam. Kesatuan yang serasi antara suami dan istri dalam ikatan suci perkawinan
ini akan menghasilkan kedamaian dan kesuburan. Penghargaan terhadap tanah sebagai faktor yang suci
menjadikan “perkawinan” tersebut dijaga dengan sepenuh hati. (lihat Purwanto, 2009)
9
Urang Baduy, yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten
berpendapat bahwa dirinya diciptakan untuk menjaga tanah larangan yang merupakan pusatnya bumi. Mereka
dituntut untuk menyelamatkan hutan tutupannya dengan menerapkan pola hidup seadanya yang diatur oleh
norma adat. Oleh karena itu, kegiatan utama masyarakat Baduy, pada hakekatnya terdiri dari pengelolaan
lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan pengelolaan serta pemeliharaan hutan untuk perlindungan
lingkungan. (Jurnal Humaniora, Vol.23. No.1 Februari 2011). Bahkan saat ini tanah adat Baduy telah didaftarkan
di BPN dan dilindungi sebagai tanah adat berdasarkan Permen Agraria No. 5 Tahun 1999.
19. | 5
rendah, yaitu hanya 14 % dari total luas daratannya. Sementara di pulau besar
lainnya masih terdapat 35‐81 % hutan.10
Sumber : Diolah dari Statistik Kehutanan, 2011
Dibalik minimnya luasan hutan tersebut orang sering lupa bahwa lebih dari 50
persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Tekanan
atas daya dukung lingkungan pun menjadi sangat besar, sebagaimana dapat terlihat
pada Tabel 1 berikut. Pada tabel ini tergambarkan betapa beban Pulau Jawa
sangatlah tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Hal ini diikuti oleh
pembiaran atas salah urus hutan Jawa selama berpuluh‐puluh tahun selama ini
telah menyebabkan Pulau Jawa terancam krisis ekologis.11
10
Statistik Kehutanan, 2011.
11
Mengutip apa yang disampaikan Forest Watch Indonesia, jika hutan di pulau lain masuk dalam kategori‘rusak
parah’, maka hutan Jawa masuk dalam kategori ‘telanjur dibiarkan rusak parah terlalu lama’ (FWI, Maret 2003)
20. 6 |
Tabel 1
Perbandingan Luasan Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan dengan Kepadatan Penduduk di Pulau Besar Indonesia
No Pulau
Luas Kawasan Hutan
dan Perairan (Ha)
Kepadatan Penduduk
(jiwa/km2
)
1. Sumatera 28.313.781 105
2. Jawa 3.313.547,97 1055
3. Bali‐NTT‐NTB 2.986.635,01 179
4. Kalimantan 38.285.659 25
5. Sulawesi 13.784.678 92
6. Maluku 7.264.707 33
7. Papua 42.224.840 9
Total 136.173.847,98 124
Sumber : Diolah dari Data Statistik Kehutanan, 2011 dan Data BPS, 2013
Gejala telah terjadinya krisis ekologis terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan
hutan Jawa tiap tahunnya. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa
diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun pada tahun 2009 luas tutupan hutan
hanya tinggal 800an ribu hektar. Sehingga dalam rentang waktu sembilan tahun
(2000‐2009) tutupan hutan di Jawa mengalami pengurangan sekitar 60%. Jika laju
deforestasi di Jawa tidak ditekan, diperkirakan pada tahun 2020 tutupan hutan di
Jawa akan habis.12
Rincian pengurangan tutupan hutan Jawa antara tahun 2000 – 2009 ini secara lebih
detail dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2
Kehilangan Hutan Jawa antara Tahun 2000‐2009
Provinsi
Tutupan Hutan
Tahun 2000
(ha)
Tutupan Hutan
Tahun 2009
(ha)
Deforestasi
(ha)
Laju
Deforestasi
(ha)
Banten 128.337,80 91.478,63 36.859,18 3.685,92
Jawa Barat 953.984,29 357.240,88 596.743,40 59.674,34
Jawa Tengah 507.949,60 127.878,48 380.071,12 38.007,11
Jawa Timur 690.912,09 321.380,83 369.531,26 36.953,13
Total 2.281.183,78 897.978,82 1.383.204,96 138.320,50
Sumber : Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000‐2009,FWI (2011)
12
Potret Keadaan Hutan Indonesia, Periode 2000‐2009, FWI 2011.
21. | 7
Menurut kajian CIFOR (2013), perubahan tutupan hutan ini terjadi karena
deforestasi, baik terencana maupun tidak, atau oleh degradasi hutan. Terdapat
sejumlah faktor yang berkontribusi pada percepatan laju deforestasi dan degradasi
hutan, seperti kepentingan pembangunan dan ekonomi; ketergantungan
masyarakat pada sumberdaya alam; pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya;
tingginya permintaan pasar akan kayu dan produk kayu; tingginya permintaan dan
harga komoditas perkebunan dan pertambangan; kepemilikan lahan yang tidak
jelas; kepentingan politik; dan buruknya tata kelola pengelolaan sumberdaya
hutan.13
Perlu pula dicatat, pengembangan Koridor Ekonomi Jawa dalam kerangka Master
Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak
2011 harus juga diwaspadai menjadi potensi ancaman atas daya dukung lingkungan
Pulau Jawa ke depan.
Untuk menjelaskan tentang menurunnya tutupan hutan ini sesungguhnya bukanlah
hal yang sederhana. Berbagai faktor sosial‐politik‐ekonomi yang saling kait mengait.
Namun yang jelas, sebagian dari persoalan ini tidak dapat dipisahkan dari kenyataan
bahwa ada berbagai pihak yang punya kepentingan berbeda dengan hutan, dimana
antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya tidaklah selalu berjalan
seiring. Pada saat yang bersamaan terjadi pula kepengurusan yang buruk (bad
governance). Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa penyerahan pengurusan
sebagian besar hutan Jawa kepada satu pihak tertentu saja pada kenyataannya
mengalami kegagalan.
Berkurangnya luasan tutupan hutan ini secara drastis bukan tanpa dampak.
Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan, khusus di Pulau Jawa, selama 1984 –
2005 jumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis bertambah berlipat‐lipat dengan
cepat. Sebanyak 123 titik DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa terganggu akibat
degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7
juta ha DAS dan Sub‐DAS di Pulau Jawa akan terancam kualitas fungsi ekologisnya
secara serius.14
Pengaruh yang jelas nyata sebagai akibat dari masalah tersebut adalah terkait
ketersediaan air. Saat ini ketersediaan air di Indonesia mencapai 16.800 m per‐
kapita per‐tahun. Jumlah ini sebenarnya jauh lebih besar dari ketersediaan air rata‐
rata di dunia, yang hanya 8.000 m3 per kapita per tahun (KLH, 2011). Namun,
ketersediaan air ini tidak tersebar merata, baik secara spasial maupun temporal.
Bagaimana dengan Pulau Jawa? Kementerian Pekerjaan Umum (2012)
menyebutkan bahwa Pulau Jawa dengan populasi yang besar ternyata total potensi
13
Lihat misalnya Sunderlin dan Resosudarmo, 1996; FWI/ GFW 2002.
14
Sinar Harapan, 8 Februari 2006
22. 8 |
air yang dimilikinya sangat kecil. Hal ini secara langsung menunjukkan Pulau Jawa
menghadapi masalah ketersediaan air yang serius. Hal ini ditegaskan oleh Kelompok
Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, yang menyebutkan bahwa
pada tahun 2000 ketersediaan air di Pulau Jawa hanya 1.750 m3 per kapita per‐
tahun. Angka itu akan terus menurun hingga diperkirakan pada 2020, hingga tersisa
1.200 m3 per kapita. Padahal, standar kecukupan minimal sebanyak 2.000 m3 per
kapita (Kementrian Lingkungan Hidup, 2012).
Terkait dengan masalah ketersediaan air ini, Kementrian Lingkungan Hidup
mencatat bahwa kekeringan terjadi di 6 provinsi di Indonesia. 5 dari 6 provinsi
dimaksud adalah seluruh propinsi yang berada di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah
adalah wilayah dengan kekeringan terluas, yaitu meliputi 472 desa. Peringkat kedua
adalah Provinsi Jawa Timur, dimana tercatat 141 desa yang tersebar di 6 kabupaten
(Kementrian Pekerjaan Umum, 2013).Peta Kejadian Bencana Kekeringan di
Indonesia 1979‐2009berikut juga menunjukkan fenomena yang sama (BNPB, 2010).
Gambar3
Peta kejadian bencana kekeringan di Indonesia tahun 1979‐2009
Sumber : BNPB, 2010
Ironisnya, masa musim yang lain, bencana banjir dan tanah longsor justru menjadi
ancaman kehidupan di Jawa. Berkurangnya tutupan hutan telah mengakibatkan
jumlah hujan yang menjadi air larian (run‐off) jauh lebih besar daripada air hujan
23. | 9
yang masuk ke dalam tanah (air tanah) dan aliran mantap (baseflow). Hal tersebut
berarti jumlah air di permukaan semakin besar. Akibatnya, meningkatkan potensi
bencana banjir dan tanah longsor (Kodoatie R. J, 2011).
Peta potensi rawan bencana dan risiko banjir serta longsor di Indonesia yang
diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa 82,4 persen Pulau
Jawa rawan banjir dan 20,8 persen berisiko longsor. Menurut Deputi Bidang
Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan
Lingkungan, hal ini erat kaitannya dengan tutupan vegetasi hutan di pulau Jawa
yang tinggal sekitar tujuh persen saja. Menurutnya Pulau Jawa beresiko
tenggelam.15
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mendukung perkiraan itu. Faktanya
dalam periode hampir satu tahun terakhir (1 Januari – 31 Oktober 2013) Pulau Jawa
telah mengalami 58 kali banjir, yang tersebar di 30 kabupaten dan 5 propinsi. Dalam
periode tahun yang sama juga terjadi 29 kejadian longsor di 14 kabupaten dan 5
propinsi. Peristiwa ini menelan korban 69 orang meninggal dunia, 18 orang luka‐
luka dan memaksa 211.697 orang mengungsi.
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel berikut, berdasarkan indeks rawan bencana
kabupaten/kota di Indonesia, dari 25 Kabupaten dengan indeks tertinggi, 18
Kabupaten terletak di Pulau Jawa (BNPB, 2011).
Tabel 3
Indeks Rawan Bencana Kabupaten/Kota (25 Tertinggi)
No Provinsi Kabupaten Skor Kelas Rawan
1. Jawa Barat Garut 139 Tinggi
2. Jawa Barat Tasikmalaya 133 Tinggi
3. Jawa Tengah Cilacap 132 Tinggi
4. Jawa Barat Bandung 131 Tinggi
5. Jawa Barat Bogor 129 Tinggi
6. Jawa Barat Sukabumi 126 Tinggi
7. Maluku Kota Ambon 124 Tinggi
8. Jawa Tengah Banyumas 123 Tinggi
9. Nusa Tenggara Timur Sikka 123 Tinggi
10. Sumatera Barat Kota Padang 119 Tinggi
11. Jawa Barat Cianjur 118 Tinggi
12. Jawa Tengah Kebumen 113 Tinggi
13. Aceh Aceh Timur 112 Tinggi
14. Sulawesi Utara Kota Manado 112 Tinggi
15. Aceh Kota Banda Aceh 111 Tinggi
16. Jawa Barat Majalengka 111 Tinggi
15
Tempo. Rabu 26 November 2008
24. 10 |
17. NusaTenggara Barat Lombok Barat 111 Tinggi
18. Jawa Timur Malang 111 Tinggi
19. Jawa Tengah Klaten 106 Tinggi
20. Jawa Tengah Wonosobo 105 Tinggi
21. Jawa Tengah Jepara 105 Tinggi
22. Jawa Barat Ciamis 104 Tinggi
23. Jawa Tengah Semarang 103 Tinggi
24. Jawa Tengah Karanganyar 102 Tinggi
25. Jawa Tengah Brebes 101 Tinggi
Sumber : Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana, 2011
Ancaman bencana yang terjadi di Pulau Jawa menjadi sangat mencolok jika
dibandingkan dengan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya,
sebagaimana yang dapat dilihat dalam diagram berikut. Terlihat bahwa Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami jumlah kejadian bencana yang sangat
tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.16
Gambar 4
Perbandingan Bencana Pada 33 Provinsi di Indonesia
Sumber : BNPB, 2013 dalam Kartodihardjo, 2013
Sebagaimana dilaporkan beberapa pihak, kekeringan, banjir, dan berbagai bencana
itu telah mengancam ketahanan pangan nasional. Kekeringan di musim kemarau
dan banjir di musim hujan bermuara pada gagal panen. Selama tahun 2013 saja
misalnya, ratusan ribu hektar lahan sawah di Jawa terendam banjir, seperti 19.481
hektar sawah di empat kabupaten/kota di Banten (Dinas Pertanian Provinsi Banten,
2013), 460 hektar sawah di Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur (BAPPEDA
Provinsi Jawa Timur, 2013), 490 hektar sawah di Rancaekek, Kabupaten Bandung,
16
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2013.
25. | 11
Jawa Barat (Dinas Tanaman Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013), 1.081
hektar sawah di Mijen dan Dempet, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (Suara
Merdeka, 17 April 2013).
Dampaknya tidak hanya terjadi Pulau Jawa namun juga mengganggu persediaan
bahan pangan untuk Indonesia secara keseluruhan. Walaupun pemerintah
menafikan kemungkinan terjadinya krisis pangan, namun FAO mengingatkan
mengenai hal ini (Surabaya Post, September 2012). Bahkan Direktur Utama Perum
Bulog mengkhawatirkan pengaruh kekeringan di Jawa kepada target produksi beras
nasional, mengingat pengadaan beras dalam negeri terbesar berasal dari Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Mongabay, 10 September 2012).
Selain itu, deforestasi dan degradasi hutan berdampak pula pada terancamnya
spesies khas yang hidup di hutan Jawa. Satwa endemik Jawa yang terancam punah
akibat rusaknya hutan di Jawa antara lain Lutung Jawa (Trachypithecus auratus),
Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Macan Tutul (Panthera
pardus), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan Merak (Pavo muticus) (Pro Fauna,
2010).
Kerusakan fungsi ekologis karena adanya deforestasi dan degradasi hutan yang
berdampak pada DAS dan kerusakan berbagai sektor ekonomi karena bencana
alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan di Pulau Jawa ini berpotensi
menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp 136,2 triliun per
tahun (Greenomics, 2006).17
Disamping mengalami krisis ekologis, salah urus Pulau Jawa juga diwarnai krisis
sosial. Yang paling menonjol tentu saja kemiskinan yang akut. Peluso (2010)
menunjukkan bahwa penggunaan kekuasaan oleh negara dalam memonopoli
eksploitasi sumber daya hutan dalam kerangka politik dan penguasaan ruang
kawasan kehutanan (produksi dan konservasi) telah berakibat langsung pada proses
penghilangan otonomi relatif dan memperparah kemiskinan akses masyarakat
pinggiran hutan atas sumber daya hutannya. Menurut Rahman (2012),
menyempitnya ruang hidup rakyat dan lepasnya alat produksi berupa tanah dan
sumber daya alam lainnya telah menyebabkan banyak penduduk hanya mampu
masuk ke dalam pasar buruh murah dan akhirnya terbelenggu dalam proses
kemiskinan struktural.
Menurut data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal
(PDT), besarnya persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari
dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Hal ini didukung oleh pernyataan
17
Bahkan untuk saat ini saja, kerugian ekonomi akibat degradasi hutan Pulau Jawa diperkirakan tidak kurang dari
Rp 8,37 triliun per‐tahun. Angka ini merupakan nilai kehilangan subsidi langsung ekologis dari kawasan
konservasi dan hutan lindung untuk sektor ekonomi dan sosial kemasyarakatan (Tempo, 8 Februari 2006).
26. 12 |
Ketua Perhimpunan Masyarakat Desa Hutan Indonesia (PMDHI), dimana di Jawa
Madura saat ini terdapat 5.400 LMDH yang terdiri atas 5 juta kepala keluarga, dan
60 % di antaranya masuk kategori desa miskin dan tertinggal.
Sementara itu, Kementrian Kehutanan menyebutkan bahwa di Jawa, 99,45% desa
hutan yang berada di dalam kawasan hutan, dan 97,08% desa hutan yang berada di
tepi kawasan hutan, sumber penghasilan utama masyarakatnya adalah pertanian.
Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat desa hutan adalah petani
gurem yang tidak memiliki lahan pertanian namun menggantungkan seluruh
hidupnya dari usaha pertanian. 18
Kemiskinan yang terjadi pada penduduk desa di Jawa ini juga ditunjukkan oleh data
BPS (2012), dimana jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah
8.703.350 jiwa.19
Jumlah penduduk miskin ini sangat menonjol jika dibandingkan
pulau‐pulau besar lain di Indonesia, seperti tampak pada diagram berikut :
Salah satu indikator yang mendukung kenyataan kemiskinan tersebut adalah dari
angka kematian ibu dan bayi yang juga dapat mencerminkan derajat kesehatan
masyarakat dan lingkungannya. Sangat menyedihkan mendapati data Kementrian
Kesehatan tahun 2012 yang menyebutkan bahwa lima provinsi dengan angka
kematian ibu dan anak tertinggi di Indonesia empat provinsi teratas berlokasi di
Pulau Jawa, yaitu : Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra
Utara. Hanya Provinsi DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta yang tidak dalam posisi
kritis.20
18
Herwati, SRM, Hutan Jawa : Manajemen, Knoblike dan Solusi, 2013
19
Walaupun tidak ditemukan data khusus mengenai jumlah penduduk miskin di desa yang berada di dalam dan
sekitar hutan, namun setidaknya narasi ini sudah dapat menyuarakan kemiskinan pada penduduk di wilayah ini.
20
Kementrian Kesehatan, 2012.
Gambar 5
Jumlah Penduduk Miskin Indonesia
Sumber : BPS, 2013
27. | 13
Angka kematian ibu dan anak inipun cenderung menunjukkan peningkatan. Pada
tahun 2010 kasus kematian ibu di Jawa Barat tercatat sebanyak 794 kasus dan bayi
sekitar 4.987 kasus. Pada tahun 2011 angka kematian ibu meningkat menjadi 837
kasus; dan angka kematian bayi meningkat menjadi 5.201 kasus.
Betapapun, kemiskinan yang dialami masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar
hutan Jawa terutama disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki.
Berdasarkan data Sensus Pertanian (1993) RACA Intitute menyebutkan bahwa
penguasaan tanah petani di Jawa rata‐rata 0,3 ha/KK.21
Fakta mengenai kepemilikan
tanah oleh masyarakat ini cenderung mengalami penurunan menjadi 0,1 – 0,25
ha/KK berdasarkan data yang dikumpulkan dari sebuah pertemuan organisasi
petani pada tahun 2012.22
Tim Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa
Tengah (2006) menyebutkan bahwa pendapatan masyarakat desa di dalam dan
sekitar hutan di Jawa Tengah hanya cukup untuk membiayai hidup keluarganya
selama satu bulan, bahkan seringkali harus mencari pinjaman untuk dapat
menutupi kebutuhan keluarganya.
Beberapa gambaran kemiskinan di beberapa desa di Jawa Tengah dapat dilihat
dalam box berikut.
Box 1
Kemiskinan Desa Hutan di Jawa Tengah
Desa Windujaya,
Kab. Banyumas
Windujaya adalah desa sekitar hutan, persisnya di Selatan lereng
Gunung Slamet. Secara kewilayahan ia bagian dari kecamatan
Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Desa ini termasuk dalam
wilayah Perhutani Unit I Jawa Tengah, KPH Banyumas Timur. Pada
tahun 2002 penduduk desa Windujaya berjumlah 2.436 jiwa. Lebih
dari 80% atau 445 dari 528 kepala keluarganya (KK) adalah Keluarga
Pra Sejahtera. Ironis, mengingat sumber daya alam yang melimpah di
desa ini.
Desa Cacaban,
Kab. Kendal
Penggarapan di lahan Perhutani dilakukan sejak tahun 1997/1998.
Tetapi semua ini hanya berlangsung sekitar tiga sampai empat tahun.
Setelah itu bibit‐bibit baru pohon jati telah tumbuh sekitar satu
sampai dua meter dan tanpa disuruh petani menghentikan
penggarapan. Memaksakan diri menggarap lahan hanya akan
merugikan diri. Kualitas palawija yang ditanam bersanding dengan
pohon jati akan menurun kualitasnya. Penderitaan masyarakat
Cacaban terjadi ketika usia pohon‐pohon jati mencapai tiga atau
21
RACA Institute, 2003.
22
Lihat notulensi Diskusi Kelompok Terfokus di Wonosobo pada tanggal 4 Oktober 2012 yang diselenggarakan
oleh HuMA dan dihadiri berbagai organisasi tani.
28. 14 |
empat tahun. Mereka tak bisa menggarap lahan pohon jati, menjadi
pengangguran dan mencari kerja di luar daerah. Misalnya, menjadi
buruh di Kecamatan Kangkung, Kendal. Ada juga yang menjadi kuli
bangunan atau kerja serabutan di Jakarta. Bahkan ada yang menjadi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Desa Kalirejo
Kab. Kendal
Kebanyakan petani hanya memiliki sedikit lahan yang tak cukup
untuk hidup. Karena itu banyak masyarakat menjadi buruh tani atau
mencari pekerjaan di kota. Banyak pula yang menjadi TKI, khususnya
perempuan, di luar negeri: Arab Saudi dan Korea. Namun, ketika
mereka berhasil menguasai lagi lahan‐lahan milik mereka,
perekonomian merekapun membaik. Mereka dapat menjual hasil
panen: jagung, cabe, rambutan, dan durian.
Desa Kuripan,
Kab. Batang
Mereka yang tinggal di sekitar lahan yang dikuasai Perhutani adalah
petani miskin tak berlahan. Namun sebagian besar dari tempat
tinggal mereka, yakni Desa Kuripan, Desa Gondang, dan Desa
Sengonan, telah tertutup oleh pohon ‐ pohon jati dan mahoni milik
Perhutani. Akibatnya, setelah kehilangan lahan garapan, para petani
menjadi penganggur, buruh tani, buruh Perhutani, perantau di kota
besar atau TKI.
Desa Sigayam,
Kab. Batang
Kebanyakan petani di Desa Sigayam tak memiliki tanah. Mereka
bekerja di lahan Perhutani. Pada tahun 2000/2001, para petani dapat
kembali menggarap tanahnya yang pernah diklaim sebagai lahan
Perhutani. Sebelumnya ‐ saat Perhutani melarang masyarakat
menggarap lahan itu ‐ banyak di antara mereka yang menganggur.
Banyak di antara mereka yang mencari kerja di luar desa. Bahkan ada
yang menjadi buruh bangunan dan buruh serabutan di Jakarta atau
menjadi TKI di Malaysia, Saudi Arabia, dan lain‐lain. Semua jenis
pekerjaan rendah itu dikarenakan kebanyakan dari mereka hanya
lulus Sekolah Dasar.
Sumber : Rahma Mary Herwati (2007)
Selain itu, kemiskinan ini juga disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap
sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya. Dalam pengelolaan hutan Jawa yang
berlaku selama ini kawasan hutan adalah bukan kekayaan alam yang seharusnya
juga bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Hak pengelolaan
sebagian besar hutan Jawa diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
bidang kehutanan yaitu Perhutani, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara.
29.
30. 16 |
Demikianlah. Salah urus telah membawa hutan Jawa ke dalam keadaan genting.
Dibutuhkan tindakan nyata untuk memperbaiki salah urus yang telah berlangsung
berpuluh tahun itu. Rekonfigurasi tata kelola hutan Jawa adalah sebuah
keniscayaan.
1.2 Metodologi
1.2.1 Kerangka Pemikiran
Dokumen ini memuat kondisi faktual hutan Jawa dan analisisnya serta agenda
rekonfigurasi hutan Jawa di masa yang akan datang, berikut dengan peta jalan
perubahannya. Agar dokumen ini lebih mudah dipahami maka pada bagian berikut
akan dijelaskan secara singkat kerangka pikir dan beberapa konsep yang digunakan.
Konfigurasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘bentuk, wujud atau
komposisi, susunan’. Dalam konteks pengelolaan hutan Jawa, ‘bentuk, wujud atau
komposisi, susunan’ itu merujuk pada dua tataran yang saling berbeda tingkat
abstraksinya. Pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi, ‘bentuk, wujud atau
komposisi, susunan’ merujuk pada paradigma dalam melihat hutan Jawa. Hal ini
menyangkut asumsi‐asumsi dasar yang menjadi pedoman dalam mengembangkan
tata kelola hutan Jawa itu sendiri. Sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh dalam
bagian lain, selama ini hutan Jawa – seperti institusi kehutanan lainnya di Asia –
lebih cenderung bersifat state centric. Paradigma ini percaya bahwa pengelolaan
hutan akan lebih efektif dan efisien jika hutan bersifat kompartemen, dalam arti
terbagi‐bagi ke dalam sejumlah fungsi, tidak holistik, dan dikuasai oleh negara.
Pada tingkatan yang lebih operasional, ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’ itu
merujuk pada tata kelola itu sendiri. Tata kelola ini sendiri terdiri dari 3 ranah, yaitu
Tata Kuasa, Tata Guna, dan Tata Usaha.
Tata Kuasa berkaitan dengan tenurial system dari lahan atau kawasan hutan yang
bersangkutan. Tata Guna merujuk pada cara‐cara penggunaan dari kawasan hutan
yang bersangkutan. Sesuai dengan Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, tata guna ini merujuk pada hutan berdasarkan fungsinya yakni hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Termasuk juga konsepsi berdasarkan
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, dimana terdapat Kawasan Lindung
sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan, serta
kawasan budi daya sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
31. | 17
Sedangkan Tata Usaha adalah moda produksi, yang terdiri dari aspek kebijakan,
kelembagaan, serta pengusahaan (dalam arti bagaimana mendapatkan fungsi
tertentu dengan cara tertentu pada tata guna tertentu, seperti PHBM).
Dengan demikian rekonfigurasi yang dimaksud dalam dokumen ini adalah usulan
perubahan atas ‘bentuk, wujud atau komposisi, susunan’ hutan Jawa, baik dalam
tataran paradigma maupun pada tataran tata kelola hutan Jawa, demi ‘bentuk,
wujud atau komposisi, susunan’ hutan Jawa yang lebih baik di masa‐masa yang akan
datang.
Baik dalam rangka memahami persoalan yang dihadapi dalam tata kelola hutan
Jawa saat ini, maupun untuk menemukan tindakan‐tindakan perbaikan di masa
depan, kajian yang dilakukan untuk menyusun dokumen ini dengan sengaja pula
mengembangkan sebuah bagan analisis sebagai alat bantu sebagaimana yang
ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 4.
Model matrik kerangka analisis rekonfigurasi hutan Jawa
TATA KELOLA
Tata Usaha
Kebijakan Kelembagaan Pengusahaan
Tata Kuasa
Tata Guna
Bagan tersebut adalah alat bantu untuk mengenali persoalan serta memulai sebuah
penataan yang lebih menyeluruh. Apa yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa
suatu penataan yang komprehensif (menyeluruh), setidaknya harus memuat
penataan kembali beberapa segi dasar, yaitu Tata Kuasa, Tata Guna dan Tata Usaha.
Dengan menata ulang hal‐hal yang mendasar diharapkan krisis sosial dan ekologis
sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu dapat teratasi. Krisis ekologis
yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan
kemampuan pelayanan alam dan daya dukung lingkungan karena kerusakan ekologi
sebagai akibat dari praktek eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam besar‐
besaran. Sedangkan yang dimaksudkan dengan krisis sosial adalah suatu kondisi
dimana terjadi negara‐isasi tanah dan sumber daya alam lain milik penduduk,
kemudian diikuti dengan terbitnya hak‐hak baru di atasnya dan diberikan kepada
pihak lain (baca: badan usaha skala raksasa), yang berakibat munculnya sengketa
serta merosotnya kemampuan rakyat untuk memproduksi barang kebutuhan hidup
dan komoditas yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Krisis sosial dan
ekologis ini bersifat genting dan membutuhkan penanganan segera karena
mengancam keselamatan hidup rakyat.
32. 18 |
1.2.2 Proses Kerja
Inisiatif ini berawal dari sebuah Sarasehan Hutan Jawa yang diselenggarakan pada
tanggal 16 November 2011 di Yogyakarta. Sarasehan yang dihadiri oleh berbagai
organisasi, seperti LBH Semarang, FKKM, PPHJ, Stan Balong, RAB, Javlec, Koling,
Paramitra, Lesehan, Sepkuba, Kompleet dan ARuPA ini menghasilkan kesepakatan
bersama untuk membangkitkan kembali gerakan yang memperjuangkan keadilan
bagi rakyat terutama yang terdapat di dalam dan sekitar hutan Jawa. Berdasarkan
inisiatif tersebut, pada tanggal 16‐17 Januari 2012 diselenggarakan sebuah
lokakarya di Yogyakarta, yang dihadiri oleh 24 organisasi. Masing‐masing adalah
ARuPA, Javlec, PPHJ, SPP, Stan Balong, FKKM, Paramitra, SUPHEL, Rumah Aspirasi
Budiman, Lidah Tani, LBH Semarang, LBH Surabaya, WALHI Jabar, Walhi Jogja,
Kompleet, Telapak, KARSA, HUMA, Sitas Desa Blitar, Koling, SEPKUBA, PPLH
Tulungagung, Paguyuban Petani Turi, dan Forest Watch Indonesia. Pada lokakarya
kali ini dideklarasikan berdirinya Koalisi Pemulihan Hutan Jawa (KPH Jawa). KPH
Jawa adalah koalisi yang saat ini terdiri dari 36 organisasi masyarakat sipil di Jawa
yang peduli pada upaya pemulihan hutan Jawa. Selain deklarasi lahirnya koalisi
dalam lokakarya ini disepakati pula agenda prioritas KPH Jawa,yang kemudian
dibungkus dalam tajuk “Rekonfigurasi Hutan Jawa”. Salah satu output yang harus
segera dihasilkan adalah dokumen peta jalan (road map) “Rekonfigurasi Hutan
Jawa” itu sendiri.
Pertemuan berikutnya berlangsung pada tanggal 1‐2 Februari 2012 di Yogyakarta.
Dalam pertemuan ini disepakati kerangka dasar peta jalan, sekaligus merancang
agenda aksi jangka pendek dan menyusun sebuah kertas posisi. Tidak berhenti di
sini, pertemuan (Focus Group Discussion) untuk memberikan input terkait dokumen
peta jalan, yang difasilitasi oleh HuMA juga dilakukan pada 3‐5 Oktober 2012 di
Wonosobo. FGD yang diselenggarakan oleh HuMa dilakukan 2 (dua) kali dengan
peserta FGD dari unsur: pertama organisasi tani, yaitu: Paguyuban Petani Wonosari
(PPW) – Kendal; Paguyuban Petani Penggarap Tanah Rakyat (P3TR) – Bandungan;
Serikat Tani Indramayu (STI) – Indramayu; Serikat Petani Pasundan (SPP); Serikat
Petani Kedaulatan Bangsa (Sepkuba) – Wonosobo; Serikat Petani Ankola (SPA) –
Cianjur; Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ). Serta kedua organisasi mahasiswa,
yaitu: Forum Pemuda Mahasiswa Untuk Rakyat Tasikmalaya (FPMR); Forum Aspirasi
Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci); unsur LSM: LBH Semarang; LBH Bandung;
LBH Jogja; LBH Surabaya; Telapak; Komiter Riset Aksi Agraria; HuMa; Komunitas
Peduli Slamet (Kompleet) – Banyumas; AGRA, ARuPA dan Javlec.
Berdasarkan input dari FGD dimaksud, HuMA menyelenggarakan Workshop
Penulisan Peta Jalan Hutan Jawa di Depok, 19‐20 Desember 2012. Pada kegiatan ini
dihasilkan draft awal dokumen ini. Draft awal ini kemudian dipresentasikan kepada
seluruh anggota KPH Jawa pada 22‐23 Januari 2013 di Yogyakarta. Di akhir
pertemuan sebuah Tim Kecil diberi mandat untuk melakukan penyempurnaan
33. | 19
dokumen. Tim kecil terdiri dari Erwin Dwi Kristianto, Ronald Muh. Ferdaus, Mumu
Muhajir, Paramita Iswari, Totok Dwi Diantoro, dan Sungging Septivianto.
Pada tahap berikutnya, di bawah supervisi R. Yando Zakaria, Tim Kecil menjalani
serangkaian proses. Rangkaian proses yang ditempuh oleh tim kecil dalam rangka
memfinalisasi dokumen ini adalah sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan expert meeting pada tanggal 24 Oktober 2013 di
Yogyakarta, yaitu pertemuan dengan ahli hutan Jawa untuk mendapatkan
masukan dari berbagai sudut pandang untuk menyempurnakan dokumen.
Pertemuan ini dihadiri oleh Agustiana, Asep Sugih Suntana, Diah Rahardjo,
Hariadi Kartodihardjo, Heri Santoso, Martua Sirait, Mia Siscawati, Noer
Fauzi, Rahmanta Setiahadi, R. Yando Zakaria dan Yuli Nugroho;
2) Melakukan writing workshop 1, penulisan dalam kerangka finalisasi
dokumen;
3) Meminta expert review untuk dokumen terkait bagi penyempurnaan isi.
Reviewer dalam hal ini adalah Hariadi Kartodihardjo, Myrna Savitri, Martua
Sirait serta R.Yando Zakaria;
4) Menyelenggarakan writing workshop 2, kerja penulisan dalam kerangka
menyempurnakan dokumen;
5) Menyelenggarakan lokakarya dengan anggota KPH Jawa untuk
mendapatkan masukan dari anggota KPH Jawa;
6) Menyelenggarakan writing workshop 3 sekaligus memfinalisasi pengemasan
dokumen, untuk menjadi alat negosiasi atau lobby.
EXPERT
MEETING
24
Oktober
2013
WRITING
WORKSHOP
PENULISAN
DOKUMEN
PETA JALAN
1
25‐27
Oktober
2013
EXPERT
REVIEW
Atas
dokumen
peta jalan
terkait
WRITING
WORKSHOP
PENULISAN
DOKUMEN
PETA JALAN
2
29
November
– 1
Desember
2013
WORKSH
OP KPH
JAWA
7 Januari
2014
WRITING
WORKSHO
P
PENULISAN
DOKUMEN
PETA
JALAN 4
(Pengemas
an menjadi
Dokumen
Gerakan
dan Publik)
8‐10
Januari
2014
34. 20 |
1.2.3 Tujuan dan Ruang Lingkup
Dokumen ini disusun sebagai alat bantu untuk membuka dialog dengan berbagai
pihak, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung, dengan pengurusan
hutan Jawa. Selain itu dokumen ini juga dapat digunakan sebagai bahan dalam
melakukan lobby pada pengambil keputusan, demi menyelamatkan ratusan juta
jiwa manusia maupun ekosistem yang hidup di Pulau Jawa.
Pada dasarnya usulan rekonfigurasi yang dimaksudkan oleh KPH Jawa mencakup
seluruh jenis fungsi hutan Jawa. Namun, karena adanya sejumlah keterbatasan,
untuk pertama kalinya dokumen ini hanya akan fokus pada rencana rekonfigurasi
yang terkait dengan hutan produksi, khususnya yang dikelola Perum Perhutani.
Dengan kata lain, dokumen ini akan menjadi dokumen rekonfigurasi bagian
pertama, dan akan dilanjutkan dengan dokumen‐dokumen usulan rekonfigurasi
pada fungsi‐fungsi lainnya.
Tenggat waktu yang ditentukan dalam dokumen ini adalah mengikuti tenggat waktu
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemerintah, yakni selama
5 (lima) tahun, yaitu 2015‐1019. Hal ini dimaksudkan agar usulan‐usulan yang
terkandung dalam dokumen ini dapat segera diintegrasikan ke dalam dokumen‐
dokumen perencanaan yang sesuai dengan alur kerja pengambil kebijakan.
1.3 Sistematika Pembahasan
Dokumen ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab.
Bab I memuat tentang latar belakang masalah yang menggambarkan perlunya
rekonfigurasi hutan Jawa, metodologi serta penjelasan ringkas kandungan dokumen
ini.
Bab II berisi pembahasan tentang konfigurasi hutan Jawa saat ini. Bab ini terbagi
kedalam dua bagian pembahasan. Bagian pertama bahasan pada tataran
paradigma; dan bagian kedua adalah uraian rinci tentang tata kelola.
Bab III secara khusus akan dimulai dengan antitesis pengelolaan hutan Jawa, yaitu
keberadaan hutan rakyat sebagai wilayah kelola rakyat yang dalam kenyataannya
semakin meluas dari waktu ke waktu. Hutan rakyat ini telah pula berfungsi sebagai
katup penyelamat ekologi dan kehidupan ekonomi masyarakat di Jawa. Bahasan
selanjutnya adalah tentang tawaran agenda rekonfigurasi yang harus dilakukan ke
depan.
38. 24 |
Bab ini akan menguraikan konfigurasi hutan Jawa sebagaimana yang diterapkan
hingga hari ini. Pada intinya Bab ini akan terbagi ke dalam dua bagian bahasan. Pada
bagian pertama terlebih dahulu menguraikan paradigma yang dianut Pemerintah
dalam mengelola hutan Jawa. Baik oleh Pemerintah Kolonial maupun Nasional.
Bagian kedua berisikan uraian yang lebih rinci pada tataran tata kelola, yang
terbagi‐bagi lagi ke dalam sub‐bagian, tata guna, tata kuasa, dan tata usaha. Dalam
bagian ini juga akan diuraikan dampak dari pilihan paradigma dan tata kelola hutan
Jawa yang diterapkan itu, yakni konflik dengan warga masyarakat yang tinggal di
dalam dan/atau di sekitar kawasan Hutan Jawa.
2.1 Paradigma Pengelolaan Hutan Jawa
Institusi kehutanan di banyak negara di Asia merupakan suatu “kerajaan” (empire)
yang begitu solid, kuat, yang menguasai tanah, hutan, dan masyarakat hutan dan
menjalankan kebijakannya hanya dalam interpretasi tunggal yaitu scientific school
of forestry.26
Lebih lanjut, Vandergeest & Peluso (2006) menyatakan, “These schools
had the effect of transferring some of basic elements of how to make forests ʻvisibleʼ
and ʻcalculableʼ to middle‐level local staff. In other words, they introduced European
ways of seeing through a professional lens, including the idea of ʻforestsʼ as a
resource to be understood scientifically and managed.”27
School subjects included
forest mensuration, forest law, forest protection, forest management and
silviculture, botany and timber identification, surveying and levelling, and
architectural drawing.28
Konsep scientific school of forestry yang banyak
diberlakukan adalah German forestry school and British forestry school.
Meski begitu, terdapat perbedaan yang tegas antara model German forestry school
and British forestry school dalam aspek penguasaan tanah. German forestry school
kental dengan penguasaan kawasan hutan oleh negara. Sementara, British forestry
school juga bersifat segregatif, tetapi bersifat liberal dan mempercayakan
penguasaan hutan kepada privat. Kepemilikan hutan oleh tuan‐tuan tanah swasta,
untuk produksi maupun untuk perburuan.29
26
Lihat Vandergeest & Peluso. 2006. Empires of Forestry: Professional Forestry and State Power in Southeast Asia,
Part 1 dan 2, Environment and History 12, Hal. 31‐64. Tentang prinsip‐prinsip Scientific School of Forestry, lihat:
Cotta’s Preference, dicetak ulang dalam Forestry Quarterly, Vol 1. 1902‐1903.
27
Vandergeest & Peluso, 2001, Genealogies of Forest Law and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and
Thailandʼ. Journal of Asian Studies, Hal 761–812.
28
Lihat Vandergeest & Peluso. 2006. Op. Cit, Hal 367. 2006,
29
Martua T. Sirait, 2008, Pluralisme Paradigma Pemikiran dalam Dunia Kehutanan: Kajian Sosio‐Historis atas
Perdebatan Kebijakan Kehutanan di Indonesia Sejak Jaman Kolonial Hingga Saat ini, Paper dipresentasikan
pertama kali dalam MUNAS Ikatan Alumni Fahutan UNMUL, 8 Februari 2008, Samarinda.
39. | 25
Model German forestry school mendominasi perjalanan panjang hutan di Indonesia
khususnya hutan Jawa. Eksploitasi jati30
pada masa kerajaan‐kerajaan, masa VOC
(Verenigde Oost‐Indische Compagnie),31
masa penguasaan pemerintah kolonial
Hindia Belanda, pemerintah nasional pasca kolonial, orde lama, orde baru, hingga
orde reformasi adalah rentang periode‐periode penting riwayat perjalanan German
school of forestry. German forestry school mengasumsikan: negara harus menguasai
hutan.
Kecenderungan itu dimungkinkan karena pada masa pemerintah Kolonial Belanda
banyaknya amtenar‐amtenar Belanda yang belajar ilmu kehutanan di Jerman.
Mereka membawa dan mempraktekkan German school of forestry di Hindia
Belanda. Mereka menerapkan model German forestry of school pada pola
pengelolaan hutan di Indonesia secara perlahan tapi pasti dengan menggunakan
momentum banjir di Jawa tahun 1849. Model tersebut lalu tetap dilanjutkan
setelah masa kemerdekaan Indonesia sampai sekarang.32
Menurut Cotta dalam Rajan Ravi,33
terdapat 3 (tiga) prinsip utama German forestry
school, yaitu:
a. Minimum diversity, keanekaragaman yang terbatas dengan tujuan
mendapatkan hasil yang optimal dari beberapa species yang terbatas.
Pendekatan ini jelas terlihat dengan definisi lesser known species,
economical species, jenis‐jenis komersial. Konsekuensi dari konsep penting
ini menihilkan jenis‐jenis species lain yang belum dikenal dan dikorbankan
untuk ditebang atau tidak diberikan hidup dalam rumpang (gap) yang ada.
b. Balance sheet, bertujuan mengkonversi tegakan (khususnya dari jenis‐jenis
komersial diatas) ke dalam nilai dan dihitung umur masak tebangnya.
c. Sustained yield, bertujuan untuk mendapatkan keberlanjutan hasil dalam
suatu rotasi tebang dan membaginya dalam blok‐blok tebangan yang dapat
menghasilkan sepanjang tahun. Maka dikenal dengan Jatah Tebang
Tahunan (AAC).
30
Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku dalam bahasa
Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f. Lihat:
http://id.wikipedia.org/wiki/Jati diakses 18 Januari 2014
31
VOC memiliki hak istimewa yaitu hak octroy layaknya negara yang berdaulat untuk mencetak uang dan memiliki
tentara serta diberi hak monopoli dagang.
32
Ahli kehutanan Jerman yang pertama‐ tama datang yaitu; Bennich and Mollier, Balzar (ahli pemetaan hutan tiba
tahun 1849),diikuti oleh Van Roessler (dari Jerman tahun 1855) diikuti oleh Ahli kehutanan berkebangsaan
Belanda denan didikan Jerman ; Beijerinck, Noodt, Stuffken, dan de Sturler tahun 1857, sesuai dengan saran
Van Hogendrop bahwa professional foresters harus dikerahkan untuk bekerja di Hindia Belanda.
33
Rajan Ravi, 1998, Imperial Environmentalism of EnvironmentalImperialism? European Forestry, Colonial
Forestrers and the Agendas for Forest Management in British India 1800‐1900. in Grove, Damodaran &
Sangwan eds. Nature and the Orient: the Environmental History of South and Southeast Asia, Ed.s Grove,
Danodaram & Sangwan, Oxford University Press, Delhi, Hal. 324‐333.
40. 26 |
Dengan tiga prinsip utama itu, hutan menjadi dapat diprediksi dan dihitung secara
matematis (mathematical predictive) dan dapat diperlakukan dengan berbagai
perlakuan silviculture (prescriptive).34
Dua syarat utama dari penerapan konsep ini
adalah pemisahan hutan dari aktifitas pertanian dan perlunya kepastian
penguasaan hutan dalam skala luas. Lebih jauh, konsep ini memisahkan hutan
berdasarkan kategori‐kategori lindung, konservasi dan produksi. Syarat ini disebut
syarat segregatif yang menolak konsep hutan dengan fungsi intergratif ‐ pada saat
yang sama berfungsi hutan dan pertanian, konservasi lindung dan produksi secara
sekaligus.35
Dalam rentang periode praktek dan penerapan German school of forestry –
termaktub dalam Bosch Ordonantie dan seterusnya – diskursus segregatif masih
terbawa ke dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya
disebut UUK 41/1999). Syarat segregatif yang menolak konsep hutan dengan fungsi
integratif ditunjukkan dalam Pasal 6 UUK/1999 yang menyebutkan:
1. Hutan mempunya tiga fungsi, yaitu:
a. Fungsi konservasi
b. Fungsi lindung, dan
c. Fungsi produksi
2. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. Hutan konservasi,
b. Hutan lindung, dan
c. Hutan produksi.
Untuk dapat mempraktekkan system (mathematically predictable and prescribed)
hutan tidak saja disegregasikan dari usaha pertanian yang bersifat budidaya, tetapi
hutan juga harus disegregasikan untuk tujuan produksi, konservasi dan lindung.
Hutan dibagi‐bagi ke dalam blok fungsi dan tebangan, serta penugasan aparat
kehutanan beserta alat‐alat pengamanannya. Akan tetapi, untuk dapat
mengalokasikan hutan dalam skala besar, diperlukan negara yang kuat dan mampu
menetapkan secara sepihak bahwa semuanya adalah kawasan hutan negara.36
Tidak heran jika definisi kawasan hutan dalam Pasal 1 Angka (3)37
UUK 41/1999
34
Rajan, 1999, Ibid, hal. 333.
35
Lihat: Noordwijk Meine, Tomich Thomas, de Foresta, Michon Genevieve, 1997, To Segregate or Integrate; The
Question of Balance Between Production and Biodiversity Conservation in Complex Agroforestry System,
Agroforestry Today, 9 (1), ICRAF, Nairobi.
36
Martua T. Sirait, 2008, Ibid.
37
Telah berubah dengan Putusan MK Perkara Nomor 45/PUU‐IX/2011. MK menghasilkan putusan yang tidak
hanya merubah rumusan definisi hutan, tetapi juga memberikan pandangan‐pandangan tentang kebijakan
terkait kawasan hutan seharusnya dilaksanakan. Putusan tersebut merubah bagaimana hutan didefinisikan
melalui intepretasi terhadap Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 yang sebelumnya dirumuskan: Kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap menjadi: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Mengacu pada putusan tersebut, kawasan hutan harus
41.
42. 28 |
kebutuhan para raja.40
Ketika VOC berkuasa, VOC mengekploitasi hutan secara
besar‐besaran. Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1808.
Daendels mendirikan administrasi kehutanan (Administratie der Bosschen).41
Negara melalui Administratie der Bosschen memonopoli hutan. Negara juga
memberlakukan pelbagai peraturan untuk membatasi masyarakat menebangs
pohon hutan. Pada masa Raffles, Jawatan Kehutanan – yang didirikan Daendels –
diubah dan disederhanakan. Fungsi Superintendant atau Pengawas Utama Hutan
mulai diterapkan. Pada masa itu pemerintah juga tidak memonopoli perdagangan
kayu jati, sehingga perusahaan swasta bisa tumbuh kembali.
Pada tahun 1815 Inggris menyerahkan kembali pulau Jawa kepada Belanda. Pada
waktu Belanda mengambil alih pemerintahan dari Inggris, pada tahun 1830,
Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa).
Masyarakat kehilangan lahan garapannya. Sebagai gantinya mereka membuka
hutan untuk mendapatkan lahan garapan baru. Pada masa ini banyak kawasan
hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan‐perkebunan untuk komoditi
ekspor. Semua ini memperparah kerusakan hutan.42
Pada masa ini pula untuk pertama kalinya lahir undang‐undang kehutanan untuk
Jawa dan Madura, yaitu Boschordonantie voor Java en Madoera 1865. Pada tahun
1870 Belanda mengeluarkan Undang‐undang Agraria (Agrarische Wet) yang
didalamnya terdapat bab mengenai Domeinverklaring. Sejak itu muncul konsep
hutan negara yang digunakan sampai sekarang.
Pemerintah kolonial menerbitkan Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di
Jawa dan Madura 1874 yang berisi: (1) pengusahaan hutan jati diserahkan pada
swasta, (2) pengelolaan hutan rimba (non jati) diserahkan pada Residen, dan (3)
hutan jati dikelola secara teratur melalui pemetaan, penataan kawasan hutan dan
penetapan batas‐batas hutan yang jelas dengan memasang patok batas wilayah
hutan.
Selanjutnya, Boschwezen (Jawatan Kehutanan), membatasi akses dan pemanfaatan
hutan bagi kepentingan masyarakat. Pengambilan kayu dari hutan harus seijin polisi
hutan. Penataan batas dan petak hutan dilakukan dengan memindahkan
permukiman penduduk yang semula tersebar didalam hutan ke satu daerah.
Perluasan hutan jati dilakukan dengan mengambil alih tanah‐tanah kerajaan dan
merampas tanah‐tanah penduduk. Dampaknya adalah pengelompokan rumah‐
rumah penduduk dan sempitnya lahan pertanian/pekarangan di desa‐desa sekitar
hutan.43
40
Nancy Lee Peluso, 2006, Hutan Kaya, Rakyat Melarat, Jakarta, Konphalindo, Hal 47.
41
Semacam Jawatan Kehutanan, dan merupakan lembaga baru di Hindia Belanda.
42
Edi Suprapto dkk (eds.). 2004. Konflik Hutan Jawa. Yogyakarta: BP ARuPA. hal 6.
43
Ibid. hal 7.
43. | 29
Sementara itu, penatabatasan di Jawa Barat dan Banten (Lihat pada table 5)
menyebabkan tumpang tindih pengelolaan dengan lahan garapan masyarakat. Hal
ini nampak dari konflik di wilayah‐wilayah yang sudah ditata batas. Hingga tahun
1934, kelompok hutan Bongkok, kelompok hutan Sanggabuana Utara dan kelompok
hutan Sanggabuana Selatan serta 22 kelompok hutan lainnya di Keresidenan
Banten, masih bertumpang tindih dengan huma‐huma (ladang) milik masyarakat
setempat.
Tabel 5.
Kelompok Hutan Yang Telah Disahkan Berdasarkan Berita Acara Tata Batas
Kelompok Hutan
Tanggal Pengesahan Berita Acara Tata
Batas
Luas (ha)
Jasinga I 13 Juli 1934 5.800
Jasinga II 23 Mei 1934; 14 September 1939 2.865
Nanggung 28 Maret 1934
Salak Utara 1 Maret 1926
Salak 1 Agustus 1906
Sanggabuana Utara 4 Januari 1933 4.568
Sanggabuana Selatan 30 September 1924; 11 November 1935 30.023
Bongkok 9 Oktober 1919 6.646
Sumber: Data sekunder
44
Ketika Jepang berkuasa fokus utamanya adalah mencukupi kebutuhan pangan
tentara Jepang. Petani menjadi romusha yang menanam tanaman‐tanaman pangan.
Sebagian besar tanah‐tanah yang sempat dirampas pada masa penjajahan Belanda
dikembalikan pada rakyat, karena ditinggalkan pemiliknya dan terlantar. Jepang
juga terus mengeksploitasi hasil hutan di bawah wewenang Sangyobu (Departemen
Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku (Departemen Perkapalan), dan juga pembukaan lahan
hutan secara besar‐besaran untuk menanam palawija, kopi, dan lain‐lain.
Pasca kemerdekaan, pada tahun 1952, pemerintah membentuk Jawatan
Kehutanan. Jawatan Kehutanan berwenang menguasai tanah‐tanah negara yang
ditetapkan sebagai kawasan hutan. Tahun 1960, keluar Undang‐undang Pokok
Agraria yang memberi akses masyarakat pada sumber daya alam dan
mengamanatkan landreform.
44
Lihat: Data hasil olahan dari Arsip Perum Perhutani, 1906‐1939 dalam Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 2005,
Vo.XI No. 1: Hal. 1‐15.
44. 30 |
Pada tahun 1957, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 64/1957. PP
tersebut menyebutkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan serta eksploitasinya,
terutama di Jawa dan Madura, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra
Tingkat I, kecuali cagar alam dan suaka alam yang tetap menjadi urusan Pemerintah
Pusat. Penyerahan pengelolaan ini mencakup pengaturan ijin kepada masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan yang bersangkutan untuk mengambil kayu dan hasil
hutan lainnya untuk dipergunakan sendiri oleh masyarakat termaksud. Pada masa
itu, petugas pemerintah daerah mengijinkan masyarakat setempat yang telanjur
menggarap kawasan hutan ini dengan mewajibkan mereka memberikan sebagian
hasil panennya (kabubusuk) kepada pemerintah daerah.
Di masa Orde Baru, pada tahun 1961 didirikan Perusahaan Negara Perhutani (PN
Perhutani) untuk mengelola hutan di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur.45
Pada tahun 1972, Perusahaan Negara (PN) Perhutani berubah menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Perhutani.46
Pada masa reformasi 1998 terjadi ”penjarahan” hutan besar‐besaran. Penjarahan
hutan oleh masyarakat ini terjadi dalam bentuk kegiatan pengambilan kayu dari
hutan yang identik dengan balas dendam masyarakat sekitar terhadap perlakuan
Perhutani selama ini.47
Pada tahun 1999 Pemerintah mengeluarkan Undang‐Undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menggantikan Undang‐Undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐pokok Kehutanan. Undang‐Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan kembali membatasi masyarakat pinggir hutan untuk
mengakses hutan.
Saat ini, Data Kementerian Kehutanan mencatat kawasan hutan di Jawa adalah
seluas 3.315.445,914 Ha. Dari sisi tata guna, luasan tersebut terbagi menjadi:
pertama hutan konservasi seluas 273.135,000 ha; kedua, hutan produksi seluas
1.812.186,050 ha; dan ketiga, hutan lindung seluas 735.194,560 ha Sementara
untuk hutan rakyat, hingga tahun 2009 tumbuh cukup pesat hingga mencapai luas
2.584.911,25.48
45
N. Juni Adi dkk (eds.), 2005, Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang Tersendat, Yogyakarta, BP Arupa, hal.9
46
Di dalam portal resmi Perhutani disebutkan dasar hukum Perhutani ditetapkan dalam PP No. 15/1972 juncto PP
No. 2/1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut‐turut dengan PP No. 36/1986, PP No. 53/1999, PP No.
14/2001, dan terakhir dengan PP No. 30/2003. Saat ini pengelolaan perusahaan Perhutani dilaksanakan
berdasarkan PP No. 72/2010.
47
Edi Suprapto dkk (eds.), 2004, Op.cit., hal 11.
48
Data BPKH wilayah XI Jawa‐Madura – MFP II.
45. | 31
Tabel 6.
Luas Kawasan Hutan Negara Jawa ‐ Madura
Provinsi
Luas kawasan Hutan dan Perairan (Ha)
Jumlah
Hutan Konservasi Hutan Produksi Hutan Lindung
Perairan Daratan Jumlah
Banten 51.467,000 112.991,000 164.458,000 76.437,000 12.359,000 253.254,000
DKI Jakarta 108.045,000 227,340 158,350 158,350 44,760 108.475,450
Jawa Barat ‐ 132.180,000 393.117,000 291.306,000 291.306,000 816.603,000
Jawa Tengah 110.117,000 126.530,000 546.290,000 84.430,000 84.430,000 757.250,000
DIY ‐ 2.992,964 13.411,700 2.312,800 2.312,800 18.717.464
Jawa Timur 3.506,000 230.126,000 782772,000 344.742,000 344.742,000 1.361.146,000
Jumlah 237.135,000 494.930,304 1.812.186,050 735.194,560 735.194,560 3.315.445,914
Sumber: SK penunjukan kawasan Hutan Lingkup Jawa‐Madura
Saat ini Perhutani memperoleh mandat dari negara untuk menguasai 2,4 juta ha
lahan kawasan hutan di seluruh Pulau Jawa, dengan komposisi unit pengelolaan
Jawa Tengah: 630,7 ribu ha; Jawa Timur: 1,136 juta ha; dan Jawa Barat‐Banten:
659,1 ribu ha. Dengan luasan itu berarti Perhutani menguasai 85,37% hutan di Jawa.
Luas daratan Pulau Jawa adalah 13.210.700 ha, sedangkan Perhutani menguasai
18% dari luas daratan. Kawasan hutan yang dikelola Perhutani seluas 2.442.101 Ha,
terdiri dari hutan produksi seluas 1.750.860 Ha dan hutan lindung seluas 691.241
Ha. Wilayah kerja perusahaan terbagi menjadi 3 (tiga) Unit dengan 57 (limapuluh
tujuh) Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH).
Di bawah penguasaan Perhutani kondisi hutan Jawa memprihatinkan. Fakta di
lapangan menunjukkan hampir sepertiga hutan lindung yang dikelola tidak memiliki
tutupan hutan, sedangkan setengah hutan produksi terbatas tidak berpenutupan
hutan. Hanya 1.872.607 ha hutan yang dikelola Perhutani yang memiliki tutupan
hutan.49
Sementara itu, Perhutani tidak mengelola hutan di wilayah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memang memiliki
kekhasan dalam pengelolaan hutan yaitu kawasan hutan negara dikelola oleh Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas hutan
negara di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari hasil kegiatan padu‐serasi
antara Keputusan Penunjukan Hutan oleh Menteri Kehutanan, Keputusan Kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY No. 188.4/3710 tanggal 22 Oktober 2003, dan
hasil pengukuran di lapangan adalah 18.715,0640 ha atau 5,9 % dari luas wilayah
Propinsi Daerah Istimewa Yogykarta.
49
BPKH XI, 2003,
46. 32 |
Kawasan hutan negara di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut tersebar di 4
(empat) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul,
Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Sleman. Dari keempat kabupaten yang ada
di Propinsi Daerah Istimewa Yogykarta itu, Kabupaten Gunungkidul merupakan
kabupaten yang memiliki wilayah hutan paling luas yaitu 14.895,50 ha. Selanjutnya,
Kabupaten Sleman dengan luas hutan seluas 1.729,46 ha, Kabupaten Bantul seluas
1.052,60 ha, dan Kabupaten Kulonprogo dengan luas hutan 1.037,50 ha.50
Dalam pengelolaannya, hutan negara di Propinsi Daerah Istimewa Yogykarta dibagi
menjadi 6 (enam) Bagian Daerah Hutan (BDH), yaitu: BDH Karangmojo, BDH Paliyan,
BDH Panggang, BDH Playen, BDH Yogyakarta, dan BDH Kulon Progo. Empat BDH,
yaitu BDH Karangmojo, BDH Paliyan, BDH Panggang dan BDH Playen terletak di
wilayah Kabupaten Gunungkidul. BDH Yogyakarta terletak di wilayah Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Sleman, sedangkan BDH Kulon Progo terletak di wilayah
Kabupaten Kulon Progo.
Untuk hutan konservasi, di Jawa terdapat 12 (duabelas) taman nasional yaitu: (1.)
Taman Nasional Alas Purwo, (2.) Taman Nasional Baluran, (3.) Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru, (4.) Taman Nasional Gunung Ciremai, (5.) Taman Nasional
Gede Pangrango, (6.) Taman Nasional Gunung Halimun Salak, (7.) Taman Nasional
Gunung Merapi, (8.) Taman Nasional Gunung Merbabu, (9.) Taman Nasional
Karimunjawa, (10.) Taman Nasional Kepulauan Seribu, (11.) Taman Nasional Meru
Betiri, (12.) Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan cagar alam di Jawa berjumlah
74 (tujuh puluh empat) cagar alam yang tesebar 30 (tiga puluh) di Jawa Barat, 25
(dua puluh lima) di Jawa Tengah, 3 (tiga) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan 16 (enam belas) di Jawa Timur.
Selain itu untuk kawasan produksi, lindung, dan konservasi, dari tahun 2006 hingga
2011 terdapat 62 ijin dengan luas 3000,16 ha untuk kegiatan non kehutanan.51
2.2.2 Tata Kuasa
Dokumen Sejarah Kehutanan Indonesia mencatat bahwa tahun 1897 adalah titik
awal penguasaan hutan oleh negara. Penguasaan hutan oleh negara dilegitimasi
oleh kebijakan kolonial “Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande op
Java en Madoera ” Staatsblad 1897 nomor 61 (disingkat “Bosreglement”).
Paradigma pengelolaan hutan oleh negara di era kolonial merupakan cerminan dari
model German forestry school. Di era kemerdekaan, penguasaan hutan oleh negara
masih mendapat legitimasi melalui pemberlakuan Undang‐Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Pada pasal 4 ayat 1, 2 dan 3 disebutkan bahwa :
50
BPKH XI, 2008, Hal. 16‐17.
51
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan 2011.
47. | 33
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar‐besar
kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c. mengatur dan menetapkan hubungan‐hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan‐perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,
serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Sejak kemerdekaan Indonesia, Kementerian Kehutanan mencatat luas kawasan
hutan negara di Jawa mencapai 3.315.445,914 ha. Sementara untuk hutan rakyat,
hingga tahun 2009 tumbuh cukup signifikan mencapai luas 2.584.911,25.52 Untuk
kawasan hutan negara, aspek legalitas dan pengaturan tata kuasanya dibawah
otoritas Menteri Kehutanan. Upaya pengesahan kembali kawasan hutan negara di
Jawa sudah mulai dilakukan sejak tahun 1999 melalui penerbitan SK penunjukan
kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan.
Kawasan hutan negara di Jawa dibagi ke dalam beberapa model hak. Untuk hutan
lindung dan produksi, PP 72 tahun 2010 telah menetapkan Perum Perhutani sebagai
pemegang hak pengelolaannya. Luas konsesinya mencapai 2.531.656 ha atau 76,4%
dari luas kawasan hutan negara di pulau Jawa. Untuk kawasan hutan dengan fungsi
konservasi dengan luas 713.715,144 hektar, pengaturan dan pengelolaannya masih
tetap dipegang oleh Pemerintah (cq. Kementerian Kehutanan). Khusus kawasan
hutan negara di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta otoritas pengaturannya telah
didelegasikan oleh Kementerian Kehutanan kepada pemerintah daerah (cq.Dinas
Kehutanan). Sesuai SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor 171 tahun 2000,
luas hutan negara di DIY sejumlah 16.819,52 hektar.
Selain hak pengelolaan yang langsung diberikan kepada Perhutani, juga terdapat
beberapa hak lain yang diberikan oleh pemerintah. Perhutani menerbitkan hak
kerjasama kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan atau biasa disebut PHBM
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Selain bermitra dengan masyarakat,
Perhutani juga mengembangkan model Kerjasama Operasional (KSO) dengan
perusahaan swasta, misalnya dalam bidang pariwisata, pertambangan, dan lainnya.
52
Data BPKH wilayah XI Jawa‐Madura – MFP II
48. 34 |
Untuk pengelolaan kawasan konservasi, Kementerian Kehutanan juga menerbitkan
ijin pengusahaan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan dan
pariwisata kepada pihak ketiga.
Sedangkan untuk wilayah hutan negara di wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan/KPH memberikan skema
ijin usaha pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dan Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) kepada kelompok masyarakat disekitar hutan. Untuk mendorong Hkm,
Kementerian Kehutanan telah menerbitkan SK.438/Menhut‐II/2007 tentang
Penetapan Kerja Areal Hutan Kemasyarakat di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 1.087, 45 hektar.
Jika melihat luasan wilayah konsesi Perhutani di Jawa, tampak ada perlakuan yang
“istimewa” yang diberikan oleh pemerintah (pusat). Namun demikian, pemberian
hak pengelolaan yang luas serta mandat sebagai perusahaan pelayan publik, tidak
digunakan secara optimal oleh Perhutani untuk mengentaskan kemiskinan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi
UUD 1945. Sebagai penguasa tanah dan hutan yang luas Perhutani berdiri di tengah
ketimpangan penguasaan sumber daya agraria. Gambaran ketimpangan
kepemilikan tanah di Jawa dapat dilihat melalui hasil FGD perkumpulan HuMa di
Wonosobo pada tanggal 4 Oktober 2012 berikut ini:
Tabel 7.
Luas Kepemilikan Tanah Masyarakat
Daerah Rata‐rata luas kepemilikan tanah/kk
Kec. Sukadana, Kab. Ciamis 0,2 Ha
Kec. Cibinong, Kab. Cianjur 0,1 Ha
Ngrimpak, Kec. Bejen, Kab. Temanggung 0,2 Ha
Blantang, Kec. Kradenan, Kab. Blora 0,25 Ha
Kec. Subah, Kab. Batang 0,25 Ha
Kec. Pangalengan, Kab. Bandung 0,25 Ha
Bogor Nanggung – Cigombong 0,2 Ha
Desa Maitan, Kab. Pati 0,2 Ha
Sumber: Data primer yang diolah.
Selain pemanfaatan oleh sektor kehutanan, kawasan hutan negara di Jawa juga
menjadi sasaran pembangunan non kehutanan, seperti Pertambangan, Jalan Tol
dan Bendungan. Tercatat dari tahun 2006 hingga 2011 terdapat 62 ijin dengan luas
3.000,16 ha untuk kegiatan non kehutanan di Jawa.53
Dengan melihat luas pulau
dan pertumbuhan penduduk yang pesat, kebijakan ini bisa telah mengganggu
53
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan 2011
49. | 35
keseimbangan ekologi yang berdampak pada terancamnya kehidupan masyarakat.
Pola relasi stakeholder yang berjalan sekarang ini masih didominasi oleh birokrasi
dan korporasi. Masih sangat sedikit alokasi sumberdaya hutan di Jawa yang
diperuntukkan bagi rakyat.
2.2.3 Tata Usaha
Hutan Jawa juga memiliki sejarah yang panjang dalam hal pengusahaan kayu jati.
Adalah Vereenigde Oost‐Indische Compagnie (VOC) sebuah persekutuan dagang
Belanda untuk kawasan Hindia Barat yang mulai masuk ke nusantara pada tahun
1603.54
Dengan masuknya perusahaan ini di Nusantara, model tata niaga modern
mulai diperkenalkan, meskipun dengan cara‐cara yang tak ubahnya penjajahan oleh
suatu negara.
Setelah berkuasa 4 abad, VOC mengalami kebangkrutan yang disebabkan oleh
beberapa masalah. Selanjutnya sistem penguasaan dan perdagangan hasil hutan
diteruskan oleh kolonial Belanda melalui de Dienst v/h Boswezen (Jawatan
Kehutanan) pada tahun 1865. Untuk merealisasikan usaha kehutanan khususnya
kayu jati, pada tahun 1925 Boswezen membentuk badan usaha baru yang bernama
Djatibedrief.55
Agar eksploitasi melalui sistem perdagangan di Indonesia berjalan
mulus, Belanda menetapkan beberapa kebijakan, diantaranya: (1) Undang‐Undang
Perbendaharaan Hindia Belanda (Indische Comptabiliteitswet) tahun 1867 yang
menyatakan bahwa anggaran belanja Hindia Belanda harus ditetapkan dengan
Undang‐undang, jadi dengan persetujuan Parlemen Belanda; (2) Undang‐Undang
Gula (Suikerwet) tahun 1870, berisi ketetapan bahwa tanaman tebu adalah
tanaman monopoli pemerintah berangsur‐angsur akan dihilangkan sehingga di
Pulau jawa dapat diusahakan oleh pengusaha swasta; dan (3) Undang‐Undang
Agraria (Agrarichwet) yang pada intinya berisi pengaturan bahwa tanah di Hindia
Belanda (Indonesia) dibedakan atas dua, yakni tanah rakyat dan tanah pemerintah.
Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang sifatnya bebas dan tanah desa yang
miliknya tidak bebas. Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada bangsa asing, hanya
boleh disewakan. Tanah pemerintah dapat dijual untuk tanah dijadikan tanah milik
atau disewakan selama 75 tahun.56
Masa kolonialisme di Indonesia mulai dari Portugis hingga Jepang mengalami masa
akhir akibat perlawanan dari para tokoh‐tokoh daerah dan kesultanan di Nusantara.
Dalam catatan sejarah Indonesia dikenal Perjuangan Rakyat Malaka melawan
Portugis yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah 1 (1511) dan Pangeran
Diponegoro pada abad 19 (1825 ‐ 1830) serta beberapa tokoh nasional lainnya.
54
http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie
55
Lihat Lisman Sumardjani. 2007. Konflik Sosial Kehutanan. Bogor: WG Tenure.
56
http://id.wikipedia.org