Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Ketentuan hukum menyatakan bahwa kebijakan daerah yang ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah atau keputusan kepala daerah tidak dapat dipidana secara hukum pidana. Kebijakan daerah hanya dapat dicabut atau dibatalkan melalui mekanisme pengawasan politik, administratif, atau pengujian di pengadilan. Kebijakan daerah hanya d
2. KRIMINALISASI KEBIJAKAN
Dalam berbagai kesempatan seringkali digunakan istilah
“KRIMINALISASI KEBIJAKAN”, untuk menggambarkan kenyataan
dalam praktek hukum yang mengkualifikasi tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh pejabat negara/daerah tertentu, yang sebenarnya
masih bersumber kepada “DISCRETIONARY POWER” sebagai
“TINDAK PIDANA”;
Istilah tersebut secara akademis bukan merupakan istilah yang tepat,
sekalipun cukup populer. Dalam ilmu hukum, istilah “KRIMINALISASI”
tertutama tertuju pada proses penetapan dalam undang-undang suatu
perbuatan sebagai tindak pidana. “KRIMINALISASI” tertuju pada
pelaksanaan “LEGISLATIVE POLICY”, jadi bukan “JUDICATIVE
POLICY”;
• Dalam konteks pelaksanaan “OTONOMI DAERAH”, disinyalir berbagai
“KEBIJAKAN DAERAH” juga dikualifikasi sebagai tindak pidana,
seperti banyaknya Kepala Daerah dan/atau Pimpinan/Anggota DPRD
yang diadili karena APBD yang ditetapkannya;
3. KEBIJAKAN DAERAH
UU 32/2004 menggunakan terminologi “KEBIJAKAN
DAERAH”, dimana dalam Penjelasan Umum butir 7
ditentukan:
“Penyelenggara pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas,
wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya serta atas kuasa
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan
KEBIJAKAN DAERAH yang dirumuskan antara lain dalam Peraturan
Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan ketentuan daerah lainnya.
KEBIJAKAN DAERAH tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta
Peraturan Daerah lainnya.”
• Setiap tindakan aparatur daerah yang masuk kualifikasi
KEBIJAKAN DAERAH tidak dapat dinilai berdasarkan
HUKUM PIDANA (dan Hukum Perdata), sesuai hasil
Rapat Kerja/Lokakarya Hakim-Hakim Agung di Makassar
tahun 2003;
4. BENTUK KEBIJAKAN DAERAH
“KEBIJAKAN DAERAH” diantaranya dapat berwujud
dua bentuk tindakan:
1. Kebijakan Daerah dalam bentuk Pembuatan
Peraturan Daerah;
2. Kebijakan Daerah dalam bentuk Pembuatan
Keputusan Daerah;
• Aparatur Daerah yang merumuskan, mengusulkan,
membahas, dan karenanya menetapkan Peraturan
Daerah (PERDA) dan keputusan kepala daerah pada
dasarnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dari
segi HUKUM PIDANA;
5. Membuat Kebijakan Daerah
tidak dapat dipidana
• PERDA misalnya sebagai Kebijakan Daerah adalah peraturan
perundang-undangan, yang berada dalam tata urutan peraturan
(algemene verbindende voorschriften). Mebuat PERDA
(wetgeving) bukan perbuatan “ORANG” tetapi perbuatan
“PEJABAT” yang melakukan “BESTUUR”. Sedangkan subyek
hukum pidana (termasuk dalam TINDAK PIDANA KORUPSI)
adalah “ORANG” atau “KORPORASI” dan bukan “PEJABAT”;
• Pejabat yang “KELIRU” atau “SALAH” membuat peraturan,
termasuk dalam membuat PERDA, misalnya karena
bertentangan dengan “KEPENTINGAN UMUM” atau
bertentangan dengan “PERATURAN YANG LEBIH TINGGI”
atau bertentangan dengan “PERDA LAINNYA”, hanya dapat
dikoreksi/dipertanggungjawabkan dalam “LEGAL NORM
CONTROL MECHANISM”, yaitu melalui:
1. POLITICAL CONTROL;
2. ADMINISTRATIVE CONTROL;
3. JUDICIAL CONTROL;
6. LEGAL NORM CONTROL MECHANISM
TERHADAP PERDA
• POLITICAL CONTROL terhadap Perda/Keputusan Kepala
Daerah dilakukan melalui menolak pertanggungjawaban
Kepala Daerah, atau melalui pengawasan/pengendalian
lembaga politik;
• ADMINISTRATIVE CONTROL terhadap Perda/Keputusan
Kepala Daerah dapat dilakukan dengan evaluasi dan
pembatalan Perda/Keputusan Kepala Daerah oleh
eksekutif (Presiden/Mendagri);
• JUDICIAL CONTROL terhadap Perda/Keputusan Kepala
Daerah dilakukan dengan Uji Materil kepada Mahkamah
Agung/Pengadilan Tata Usaha Negara;
• Sepanjang tidak ada upaya-upaya diatas, maka Kebijakan
Daerah yang katakanlah “SALAH” atau “KELIRU” tetap
7. KEBIJAKAN DAERAH DAN KORUPSI
• MELAWAN HUKUM dan PENYALAHGUNAAN WEWENANG
dalam tindak pidana korupsi tidak dapat terjadi karena membuat
PERDA/Keputusan Kepala Daerah;
• MELAWAN HUKUM berarti berbuat yang BERTENTANGAN
DENGAN HUKUM. Membuat PERDA tidak mungkin
BERTENTANGAN DENGAN HUKUM karena hal itu berarti
MEMBUAT HUKUM, yang dapat dilawan dengan LEGAL NORM
CONTROL MECHANISM;
• PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN berarti menggunakan
kewenangan tidak sesuai dengan tujuan adanya kewenangan itu
sendiri (DETEOURMEMENT DE PROUVOIR), karena itu
membuat PERDA merupakan “menggunakan kewenangan”
yang kalaupun SALAH atau KELIRU hanya dapat dilawan
dengan LEGAL NORM CONTROL MECHANISM
8. KEBIJAKAN DAERAH dalam bentuk Keputusan
• Bentuk KEBIJAKAN DAERAH selain membuat peraturan (regeling)
adalah membuat keputusan (beschikking);
• Tidak semua beschikking yang SALAH atau KELIRU merupakan suatu
perbuatan bersifat MELAWAN HUKUM atau PENYALAHGUNAAN
KEWENANGAN dalam Tindak Pidana Korupsi;
• Melawan hukum adalah berbuat bertentangan dengan hukum, yaitu
berbuat tanpa dasar hukum. Dasar hukum berbuat “PEJABAT” ada
yang ditentukan dalam UU ada yang tidak, yang dikenal dengan
DISKRESI;
• Pembuatan KEPUTUSAN yang merupakan penggunaan kewenangan
yang diberikan UU yang SALAH atau KELIRU, hanya dapat dilawan
dengan mengajukakan GUGATAN kep PTUN;
• Pembuatan KEPUTUSAN yang bersumber dari DISCRETIONARY
POWER yang hanya dapat dinilai dari ALGEMENE BEGINSELEN VAN
BEHOORLIJK BESTUUR (FREIES ERMESSEN);
9. Pembuatan Keputusan dan Korupsi
• Pembuatan keputusan yang SALAH atau KELIRU yang
dapat dinilai sebagai PENYALAHGUNAAN
KEWENANGAN dalam TINDAK PIDANA KORUPSI adalah
penggunaan kewenangan yang dasarnya ditentukan dalam
UU yang tidak sesuai dengan keputusan itu, yang ditujukan
untuk MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI, ORANG LAIN
atau KORPORASI;
• Pemeriksaannya DUA TINGKAT, (1) dinyatakan oleh
PTUN sebagai detourmement de prouvoir sehingga
keputusan tersebut TIDAK SAH atau BATAL, dan (2)
kemudian baru dibuktikan hal itu dilakukan dengan maksud
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi oleh
pengadilan pidana.