Ketamakan para pemilik perusahaan dan CEO yang menginginkan pertumbuhan laba yang terus meningkat telah mendorong perilaku mempermainkan peraturan dan laporan keuangan yang tidak jujur, menyebabkan gelembung ekonomi dan krisis keuangan global.
1. Mereka yang Tidak Tahu Batas
Selalu ingin memperoleh yang lebih adalah sifat dasar manusia. Seorang pedagang hari ini
mampu menjual barang dagangannya seribu unit, besok ia menargetkan dua ribu. Begitu juga
seorang konsumen, hari ini mampu membeli kebutuhan-kebutuhan yang pokok, maka besok-
besok ia punya keinginan untuk mampu membeli kebutuhan tersiernya.
Kita harus sangat berterimakasih pada Tuhan yang telah menanamkan sifat ini pada manusia,
karena dengan sifat inilah manusia mampu terus berusaha mencapai puncak prestasi hidup.
Namun tidak sedikit juga manusia yang justru jatuh ke titik terendah kehidupan akibat sifat
ini. Yaitu saat manusia sudah mencapai titik puncaknya, tetapi masih ingin mencapai yang
lebih tinggi. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu batas. Sedangkan kemampuan
manusia terbatas, oleh karena itu kemudian ia akan menggunakan berbagai cara untuk
menutupi keterbatasannya tersebut, termasuk cara-cara yang tidak patut digunakan.
Ketamakan (rakus) yang membawa pada ketidak-adilan meletakkan hak dan kewajiban,
manipulasi data, kebohongan, penyelewengan hukum dan lain sebagainya. Dari situlah justru
ia mulai menjatuhkan dirinya sendiri yang sudah berada di puncak menuju kehancuran.
Seperti jatuhnya kekuasaan Roma dari puncak kejayaan yang diungkapkan Gibbon dalam
bukunya The Decline and Fall of Roman Empire.
Seperti itu pula lah jatuhnya ekonomi dunia yang terjadi beberapa waktu lalu. Berawal dari
kehancuran sebuah perusahaan di negara yang terkenal dengan paham kebebasannya,
Amerika Serikat, yang tentu perekonomiannya juga dibangun berdasarkan hukum kebebasan
tanpa batas. Di sana, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan
membesar. Mau pakai cara “setan” atau cara “malaikat”, terserah saja. Sudah ada hukum
yang mengawasi cara kerja mereka: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak,
hukum perburuhan, dan seterusnya. Kalau menemui kebuntuan, harus dicarikan jalan lain.
Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau membuat jalan baru ternyata sulit,
ambil saja jalan orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan
cara yang licik dan kasar (hostile take over). Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan
aneh: minta politisi untuk membuat berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa
mendapat jalan.
***
2. Sudah banyak ahli yang memaparkan mengenai faktor teknis krisis ekonomi yang terjadi,
seperti buruknya peraturan pemerintah, turunnya kepuasan pasar, manipulasi laporan
keuangan, dan lain sebagainya. Yang sebenarnya faktor-faktor teknis tersebut hanyalah
beberapa rentetan akibat, bukan penyebab. Seharusnya yang kita cari tahu adalah motif yang
melatar-belakangi perusahaan melakukan itu semua.
Kami yakin bahwa krisis ekonomi dunia lebih dikibatkan oleh masalah moral para pelakunya.
Penyebab dari krisis ini adalah ketamakan para pemilik perusahan dan CEOnya. Dari situ
baru kemudian muncul perilaku mempermainkan hukum (aturan perekonomian negara), juga
kebohongan para pelapor keuangan (akuntan). Artinya, ketidak-transparan laporan keuangan
juga hanya merupakan akibat. Kami akan memulai dengan menjelaskan apa dan bagaimana
ketamakan para pemilik perusahaan, kemudian hubungannya dengan ketidak-jujuran akuntan.
1. Ketamakan Pemilik Perusahaan
Setiap perusahaan yang sudah go public dipaksa untuk terus berkembang, terutama
labanya. Bahkan, perusahaan besar menargetkan peningkatan laba 20% setiap tahunnya.
Mengenai bagaimana caranya, itu urusan CEO dan jajarannya. Para pemilik saham tidak mau
tahu. Yang mereka ingin tahu hanya dua hal penting bagi mereka sendiri: harga saham harus
terus naik dan labanya harus terus meningkat.
Untuk mewujudkannya, tentu CEO memiliki tugas-tugas yang sangat berat bahkan sangat
beresiko. Tapi CEO tak pernah merasa terbebani, karena tugas-tugas tersebut menunjang
kariernya serta demi memperoleh bonus dan gaji superbesar yang biasanya dihitung sekian
persen dari laba/pertumbuhan yang dicapai. Biasanya gaji dan bonus yang diterima para CEO
perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden.
Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang senang. CEO dan para direkturnya
senang karena memperoleh bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham
juga senang karena kekayaannya terus naik. Pemerintah senang karena penerimaan pajak
yang terus membesar.
Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan
rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV,
mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang,
ekonomi semakin maju lagi.
Tapi, itu semua belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Bonus yang sudah
amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit.
Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo
3. juga belum cukup. Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi
perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan
agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya
sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah, begitu
juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli
rumah? Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar?
Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan
bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar?
Padahal, semua perusahaan harus semakin besar?
Selain jumlah penjualan yang ingin terus bertambah, ada yang lebih konyol: mereka juga
terus meningkatkan harganya. Berikut adalah grafik kenaikan harga rumah sepanjang
milenium terakhir:
Population in Millions
Index or Interest Rate
Year
Sumber: Shiller (2005).
Entah mereka lupa atau mengabaikan bahwa kemampuan beli konsumen itu terbatas, juga
ada hukum dasar ekonomi: harga naik, permintaan akan turun. Seolah-olah mereka ingin
melawan hukum tersebut, dan menggantinya: harga naik, permintaan naik. Mana mungkin?
Secara akal sehat hal macam itu memang tidak mungkin dilakukan. Tapi, ini harus bisa
dilakukan demi menaikkan laba. Maka seperti yang kami ungkapkan di awal tadi: kalau tak
ada jalan, buat jalan baru, bagaimanapun caranya.
2. Perilaku Mempermainkan Aturan Negara
4. Mulai berkurangnya permintaan, akibat semua orang yang memiliki daya beli sudah punya
rumah. Perusahaan pun buat jalan baru, yaitu dengan menghubungi politisi untuk membuat
atau mengubah aturan perundangan-undangan yang menguntungkan mereka. Lalu apa
untungnya bagi Sang Politisi? Ia bisa memperoleh dukungan finansial atau sumber dana
kampanye.
Sejak sebelum tahun 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-
undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu,
bisa mendapat mortgage. Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh
ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena
mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun. UU Mortgage tersebut
sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.
Namun pada tahun 1986, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya:
pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah
satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa
dimasukkan dalam fasilitas itu.
Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990.
Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya
hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya.
Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar
setahun.
Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Yang
belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan harga
rumahnya terus naik. Kalau suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi,
tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah. Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat
sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.
Terhambat undang-undang tersebut, dibentuklah jalan baru, yaitu perusahaan keuangan
yang “mirip” bank yang disebut investment banking. Ia lebih bebas, tidak terikat peraturan
bank. Lehman Brothers dan Bear Stern adalah contohnya. Begitu bebasnya gerakan para
investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang
bisa memperoleh mortgage, oleh mereka yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime)
dirangsang untuk minta mortgage. Dengan begitu, pasar pun menggelembung.
Akibatnya, dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung
melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak
orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu
5. kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti semakin banyak yang gagal bayar. Bank
atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu
kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi,
begitu seterusnya. Sehingga jika yang di hulu jatuh, maka semua hingga ke hilir jatuh.
Berikut adalah grafik penurunan harga mortgage:
3. Ketidak-jujuran Akuntan
Untuk menutupi kemrosotan tersebut dan semakin banyaknya jumlah mortgage yang
beresiko tinggi dari para investor, perusahaan bekerja sama dengan para akuntan untuk
membuat laporan palsu. Seperti yang dilakukan Lehmann Brothers, proporsi mortgage yang
beresiko tinggi mereka mencapai 55% tapi dilaporkan hanya sekitar 15%, the Financial Crisis
Inquiry Commission stated that a mortgage fraud involved in this case and so many others
else. And the revenue was also marked up so the credits that were not payable were able to
seem like healthy. Not only here, the FCIC believed that many other collapsing companies
are doing the same so.
In the case of Lehman (and other investment banks), this problem was aggravated by two
factors: the extremely high level of leverage (asset-to-equity ratio) and the strong reliance on
short-term debt financing. While commercial banks are regulated and cannot leverage their
equity more than 15 to 1, at the beginning of the crisis Lehman had a leverage of more than
30 to 1, i.e. only $3.30 of equity for every $100 of loans. With this leverage, a mere 3.3%
drop in the value of assets wipes out the entire value of equity and makes the company
insolvent.
6. Lehman Brothers Liabilities and Shareholders’ Equity :
Source : Lehman Annual Reports.
In turn, the instability created by the leverage problem was exacerbated by Lehman’s large
use of short-term debt, which financed more than 50% of the asset at the beginning of the
crisis. In a low interest rate environment, reliance on short-term borrowing is very profitable,
but increases the risk of “runs” similar to the ones bank face when they are rumored to be
insolvent. Any doubt regarding the solvency of the borrower makes short-term lenders leery
to renew their lending. These doubts can be self-fulfilling, in that if enough short-term
lenders withdraw their funds, the borrower faces a liquidity shortage, which cannot be easily
dealt with in the current economic environment, forcing a firm to default.
7. After the beginning of the crisis, Lehman did try to reduce its leverage and reduce its
reliance on short term debt. But it was too little, too late. Lehman succumbed. The Lehman
CEO will likely tell you that his company was solvent and that it was brought down by a run.
This is a distinct possibility. The problem is that nobody knows for sure. When Lehman went
down, it had $20 billion in book equity, but the doubts about the value of its assets combined
with its high degree of leverage created a huge uncertainty about the true value of this equity:
it could have been worth $40 billion or negative 20. It is important to note that Lehman did
not find itself in that situation by accident; it was the unlucky draw of a consciously-made
gamble.
Sekali lagi: ketidak-transparanan akuntan hanyalah akibat, bukan penyebab. Akibat dari
ketamakan para pemilik perusahaan yang ingin melindungi perusahaannnya. Seorang akuntan
hanya sebagai tokoh figuran yang memperburuk keadaan dalam drama krisis ekonomi dunia
ini, bukan tokoh utama. Sebenarnya ia mampu melakukan hal yang sebaliknya, menjadi
pahlawan yang menyelamatkan dunia dari krisis ekonomi. Bagaimana caranya?
Saat akuntan mulai membaca kejanggalan dalam laporan keuangan yang dibuatnya,
seharusnya ia segera melaporkannya dengan benar. Tentu hal ini akan berlawanan dengan
ketamakan para pemilik perusaahaan, jadi lagi-lagi ini masalah moral, akuntan harus mampu
menjunjung tinggi kejujuran dan kekuatan nurani untuk menolak suap.
4. Akar Masalah
Dari semua masalah moral yang melatar-belakangi terjadinya krisis ekonomi, bisa kita
tarik satu akar masalah: semua berawal dari bergesernya pandangan hidup kita, terutama
konsep kita tentang kehidupan dunia ini. Dulu, Orang Jawa, misalnya, mempunyai falsafat
“Hidup di dunia ini hanyalah ibarat mampir ngombe, mampir minum.” Ini hampir senada
dengan anjuran Nabi Muhammad SAW, “Kun fiddunya kaannaka ghariibun au „aabiru
sabiil” , Jadilah kamu di dunia ini seolah-olah orang asing atau penyeberang jalan.” Karena
pandangan hidup inilah, kesederhanaan hidup menjadi sebuah anutan masyarakat.
Tapi saat ini, kita menjadi terlalu materialistis dan cinta terhadap kehidupan dunia, seolah-
olah hidup di dunia selamanya. Kita lupa atau entah mengabaikan suatu kepastian: kematian.
Dari situlah muncul keserakahan, selalu ingin memperoleh yang lebih meskipun telah
mencapai batasnya dengan berbagai cara.
Secara sadar atau tidak, kita telah dididik untuk menjadi manusia yang mencintai
kehidupan duniawi sedemikian rupa, sehingga nyaris tak ada lagi warga negeri ini yang
8. memandang kehidupan duniawi ini biasa-biasa saja. Yang kalau pun menganggap penting,
hanyalah sekedar sebagai wasilah atau sarana bagi kehidupan yang lebih esensial. Semua
orang seolah-olah berlomba untuk menjadi orang kaya. Harta dan kekuasaan pun menjadi
idaman dan kepentingan setiap orang.
Dari idaman, harta dan kekuasaan, naik menjadi pujaan, lalu menjadi kepentingan;
kemudian menjadi Tuhan. Ketika kepentingan duniawi menjadi Tuhan, maka Tuhan Yang
Maha Esa pun menjadi Kesetanan yang Maha Perkasa. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
menjadi Kebinatangan yang Degil dan biadab. Persatuan antar bangsa menjadi Persetruan
antar bangsa. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawarata/perwakilan menjadi Kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan dan Keadilan Sosial bagi seluruh bangsa pun menjadi
Kelaliman sosial bagi seluruh bangsa.
Maka menurut kami, kita perlu melakukan revolusi mental. Mengembalikan konsep kita
tentang kehidupan dunia ini seperti semula. Memandang dunia dan materi ini biasa-biasa
saja. Kalau pun menganggap penting, ya secara proporsional. Tidak berlebih-lebihan.
9. References
Dahlan, Iskan, 2008, “Kronologis Krisis Sub-prime Mortgage di Amerika Serikat”, Jawa
Pos, 28 September 2008.
Zingales, Luigi, 2008, “Causes and Effects of the Lehman Brothers Bankruptcy”, Testimony
Bisri, Musthofa, 2011, “Akar Masalah”, Jawa Pos, 25 Januari 2011