Pengujian (hipotesis) pak aulia ikhsan dalam ilmu statistika
Analisa kromit geo listrik
1. Skripsi Geofisika
ANALISIS ALUR VEIN KROMIT DI BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN
METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER
OLEH
YUDHI PRAWIRA
H221 08 272
PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
2. ANALISIS ALUR VEIN KROMIT DI BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN
METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER
YUDHI PRAWIRA
H 221 08 272
PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
3. i
ANALISIS ALUR VEIN KROMIT DI BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN
METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER
OLEH :
YUDHI PRAWIIRA
H221 0 8272
Diajukan
Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI GEOFISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
4. ii
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS ALUR VEIN KROMIT DI BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN
METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER
Makassar, Februari 2014
Disetujui Oleh:
Pembimbing Utama
Syamsuddin, S.Si, MT
NIP: 1974 0115 2002 121 001
Pembimbing Pertama
Sabrianto Aswad, S.Si, MT
NIP: 1978 0524 2005 011 002
5. iii
ABSTRAC
The Research about identifying distribution of chromite by lateral on one of the mine
block at North Kolaka district have finished. Parameters distribution of chromite
vein (statiform) are in form of peridotite rock which is predicted to forming a
groove. In this research, electrical resistivity measurements as six lines using
Wenner-Schlumberger configuration with a certain pattern. Length stretch of each
lines varies between 190 m to 210 m with the smallest space 10 m. Inversion results
all lines are combined based on design the field parameters to obtain pseudo section
3D that describes the continuity chromite vein groove in the peridotite rocks. Groove
of peridotite rocks containing chromites vein (statiform) oriented N E for body
A and N E for body B.
Keywords: Chromite, Peridotite, Resistivity, Vein, Wenner-Schlumberger
6. iv
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian identifikasi penyebaran kromit secara lateral di salah satu
blok tambang kabupaten Kolaka Utara. Parameter penyebaran kromit statiform
(vein) adalah batuan peridotit yang diprediksikan membentuk sebuah alur. Pada
penelitian ini dilakukan pengukuran geolistrik sebanyak enam (6) lintasan
pengukuran menggunakan konfigurasi Wenner–Schlumberger dengan pola tertentu.
Panjang bentangan setiap lintasan bervariasi antara 190 m hingga 210 m dengan
spasi terkecil 10 m. Hasil inversi ke-6 lintasan disatukan berdasarkan desain
parameter lapangannya untuk memperoleh pseudosection 3D yang menggambarkan
kontinuitas alur vien kromit pada batuan peridotite.
E untuk body A E
untuk body B.
Kata Kunci: Kromit, Peridotit, Resistivitas, Vein, Wenner-Schlumberger
7. v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, yang senantiasa
mencurahkan rahmat dan ridho-Nya memberikan kesempatan dan kesehatan
j “Analisis
Alur Vein Kromit Di Bawah Permukaan Menggunakan Metode Geolistrik Konfigurasi
Wenner-Schlumberger”. S w c da baginda
Rasulullah Muhammad SAW.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada
Jurusan Fisika Program Studi Geofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan
skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak
langsung. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih
yang tidak terhingga saya hanturkan kepada Ayahanda Ahmadhan M.Arsyad dan
Mama tersayang Hasriati, S.Pd, MM atas segala cinta, kasih sayang, pengorbanan,
kritik, serta doa yang tidak henti-hentinya buat ananda. Buat kakakku Eka Putri
Damayanti dan adikku Nanang Nur Rahman, terima kasih atas dukungan kalian
serta masalah-masalah yang kalian lakukan sehingga saya ikut repot juga,
alhamdulillah dengan masalah-masalah tersebut saya sekarang bisa tangguh dalam
menghadapi segala problema hidup. Buat keponakan ku terima kasih sudah jadi
bahan hiburan ketika saya menghadapi masalah.
8. vi
Melalui kesempatan ini pula, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Syamsuddin, S.Si,MT selaku pembimbing utama dan Bapak Sabrianto
Aswad, S.Si,MT selaku pembimbing pertama yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membimbing dan memberikan ilmu yang bermanfaat serta
motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Rudi Sutanto, Bapak Muhammad Ramli, ST dan Bapak Rasyid
karaeng Pallangga selaku pembimbing, guru dan orang tua saya di lapangan
yang memberikan ilmu serta pengalaman dalam hidup dan dalam dunia kerja.
3. Bapak Prof.Dr.H.Halmar Halide,M.Sc, Bapak Drs.Lantu,M.Eng.Sc.DESS ,
dan Bapak Dr.Muh. Altin Massinai,MT.Surv sebagai Tim penguji sidang
skripsi. Terima kasih atas segala saran dan kritikan terhadap penulis.
4. BapakDr.Tasrief Surungan,M.Sc selaku Ketua Jurusan Fisika FMIPA
UNHAS atas segala kemudahan dan kebijakannya.
5. Bapak Syamsuddin, S.Si, MT selaku penasehat Akademik yang selalu
memberikan bimbingan kepada penulis selama menempuh studi.
6. Seluruh staff pegawai akademik Jurusan Fisiska dan staff pegawai akademik
FMIPA UNHAS, terima kasih atas bantuannya dalam pengurusan
administrasi selama penulis menempuh kuliah.
7. Seluruh teman-teman Fisika 2008, terima kasih telah menjadi motivasi dan
alasan saya mau ke kampus.
9. vii
8. Teman-teman Saka Bhayangkara Marching Band, terima kasih atas segala
bentuk perhatiannya. Semoga kegiatan-kegiatan mengenai MB bisa berjalan
terus dan semakin berkembang.
9. Seluruh anak-anak J-Stern, dimanapun kalian berada.
10. “Tujua”, kapten, Panglima, semoga kejadian itu bisa terulang lagi.
Serta kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu,
atas segala perhatian dan bantuannya selama ini. Semoga Allah Azza wa jalla
membalas jasa–jasa kalian.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan dan terutama bagi penulis. Amin Yaa Rabbal Alamin.
Makassar, 24 Februari 2014
Penulis
Yudhi Prawira
10. viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
ABSTRACT......................................................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang............................................................................................... 1
I.2. Ruang Lingkup.............................................................................................. 2
I.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sifat Listrik Batuan...................................................................................... 4
II.2. Metode Geolistrik........................................................................................ 6
II.2.1. Prinsip Kerja Metoda Geolistrik Tahanan Jenis........................... 7
II.2.2. Resistivitas Semu.......................................................................... 9
II.2.3. Konfigurasi Elektroda Metode Tahanan Jenis.............................. 10
II.2.4. Konfigurasi Wenner-Schlumberger.............................................. 13
11. ix
II.3. Kromit.......................................................................................................... 14
II.3.1. Tipe Cebakan Kromit................................................................................ 16
BAB III METODE PENELITIAN
III.1. Lokasi Penelitian ....................................................................................... 19
III.2. Metode Pengambilan Data dan Peralatan.................................................. 20
III.3. Pengolahan Data ....................................................................................... 22
III.4. Bagan Alir Penelitian ................................................................................ 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil........................................................................................................... 24
IV.2. Pengolahan Data ....................................................................................... 26
IV.2.1. Inversi data ................................................................................ 26
IV.3. Pembahasan .............................................................................................. 32
IV.3.1. Analisis Penampang 2D............................................................. 32
IV.3.2. Analisis Penampang Pseudo 3D ............................................... 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan................................................................................................. 42
V.2. Saran .......................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
12. x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Prinsip kerja Metode Resistivitas. .................................................8
Gambar 2.2. Beberapa konfigurasi elektroda yang digunakan dalam survey
metoda geolistrik tahanan jenis .....................................................10
Gambar 2.3. Dua pasang elektroda arus dan potensial pada permukaan
medium homogen isotropis dengan tahanan jenis ρ ......................11
Gambar 2.4. Pola aliran arus dan bidang ekipotensial antara dua elektroda
arus dengan polaritas berlawanan .................................................12
Gambar 2.5. Pengaturan elektroda konfigurasi Wenner-Schlumberger.............13
Gambar 2.6. Serpentinkromit ................................................................... ........14
Gambar 2.7. Kenampakan mikroskopik mineral kromit ....................................15
Gambar 2.8. a).Lapisan stratiform di Bushveld, Afrika Selatan
b).Lapisan stratiform di lokasi penelitian. .....................................17
Gambar 2.9. Podiform kromit.............................................................................18
Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian .............................................................. ....19
Gambar 3.2. Peralatan Akusisi (Pengambilan Data) .................................... ....20
Gambar 3.3. Desain Bentangan ..................................................................... ....21
Gambar 4.1. Hasil inversi lintasan 1................................................................. ....26
Gambar 4.2. Hasil inversi lintasan 2................................................................. ....27
Gambar 4.3. Hasil inversi lintasan 3................................................................. ....28
13. xi
Gambar 4.4. Hasil inversi lintasan 4................................................................. ....29
Gambar 4.5. Hasil inversi lintasan 5................................................................. ....30
Gambar 4.6. Hasil inversi lintasan 6................................................................. ....31
Gambar 4.7. Penampang Resistivitas Lintasan 1 ......................................... ....33
Gambar 4.8. Penampang Resistivitas Lintasan 2 ......................................... ....34
Gambar 4.9. Penampang Resistivitas Lintasan 3 ......................................... ....35
Gambar 4.10. Penampang Resistivitas Lintasan 4 ......................................... ....36
Gambar 4.11. Penampang Resistivitas Lintasan 5 ......................................... ....36
Gambar 4.12. Penampang Resistivitas Lintasan 6 ......................................... ....37
Gambar 4.13. Pseudosection 3D ..................................................................... ....39
Gambar 4.14. Bentuk alur peridotite dengan asumsi pertama..................... .......40
Gambar 4.15. Bentuk alur peridotite dengan asumsi kedua .............................. 41
15. xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Peta Area Penelitian ............................................................ 44
Lampiran 2 Peta Titik Bor ...................................................................... 46
Lampiran 3 Data Bor .............................................................................. 48
Lampiran 4 Peta Penyebaran Anomali.................................................... 53
Lampiran 5 Dokumentasi........................................................................ 55
Lampiran 6 Tabel Pengukuran ................................................................ 59
16. 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kebutuhan industri akan bahan galian tambang mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun, hal ini menyebabkan kegiatan eksplorasi untuk menemukan dan
menentukan potensi bahan galian yang diinginkan juga mengalami peningkatan.
Selain itu, adanya peningkatan harga jual barang tambang juga menjadi faktor lain
yang menyebabkan terjadinya peningkatan kegiatan ekplorasi. Ada bermacam-
macam jenis barang tambang yang sering dicari, salah satu diantaranya adalah
Krom. Keberadaan krom itu sendiri tidak lepas dari berbagai asosiasi mineral
yang membentuk satu senyawa seperti FeCr2O3 atau Cr2O3.
Indikasi akan adanya bijih Kromit di indonesia terdapat diberbagai wilayah,
khususnya di bagian timur Indonesia. Kabupaten Kolaka Utara merupakan salah
satu wilayah yang menunjukkan adanya indikasi potensi Kromit. Hal ini
disebakan karena terdapat beberapa cebakan Krom berbentuk statiform, vein
Kromit serta bongkah biji Kromit yang terlihat di permukaan. Untuk mengetahui
kelanjutan dari alur vein Kromit tersebut dibutuhkan metode geofisika untuk
mengetahui struktur geologi bawah permukaan tanah yang akurat. Salah satu
metode geofisika yang sering digunakan untuk melakukan kegiatan eksplorasi
dangkal adalah geolistrik.
17. 2
Geolistrik merupakan salah satu bentuk eksplorasi yang menggunakan arus listrik
untuk menyelidiki susunan material yang ada di bawah permukaan bumi. Metode
ini dilakukan melalui pengukuran beda potensial yang ditimbulkan akibat injeksi
arus listrik ke dalam bumi. Sifat-sifat suatu formasi dapat digambarkan oleh tiga
parameter dasar yaitu konduktivitas listrik, permeabilitas magnet, dan permitivitas
dielektrik. Sifat konduktivitas batuan berpori dihasilkan oleh sifat konduktivitas
dari fluida yang mengisi pori, interkoneksi ruang pori dan sifat konduktivitas dari
interfase butiran. Berdasarkan pada harga resistivitas listriknya, suatu struktur
bawah permukaan bumi dapat diketahui material penyusunnya. Metode geolistrik
cukup sederhana, murah dan sangat rentan terhadap gangguan sehingga cocok
digunakan dalam eksplorasi dangkal (Ngadimin, 2001).
Hal tersebut melatarbelakangi penelitian ini karena hal ini tidak lepas dari
kegiatan eksplorasi geofisika yang bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan
vein Kromit dengan menggunakan metoda resistivitas sebagai parameter penentu.
I.2 Ruang Lingkup
Penelitian ini meliputi pengolaha data geolistrik dengan konfigurasi wenner-
schlumberger untuk salah satu blok tambang yang ada di kabupaten Kolaka Utara,
Sulawesi Tenggara.
18. 3
I.3 Tujuan
Adapun tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi dan memperkirakan jalur vein kromit di bawah permukaan
berdasarkan nilai resistivitas.
2. Menghasilkan penampang pseudo 3D untuk melihat penyebaran batuan yang
berasosiasi dengan vein crom secara lateral.
19. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Sifat Listrik Batuan
Aliran arus listrik di dalam batuan/mineral dapat digolongkan menjadi tiga
macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara elektrolitik dan
konduksi secara dielektrik. Konduksi secara elektronik terjadi jika batuan/mineral
mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam
batuan/mineral tersebut oleh elektron-elektron bebas itu. Konduksi elektrolitik
terjadi jika batuan/mineral bersifat porus dan pori-pori tersebut terisi oleh cairan-
cairan elektrolitik. Sedang konduksi dielektrik terjadi jika batuan/mineral bersifat
dielektrik terhadap aliran arus listrik yaitu terjadi polarisasi saat bahan dialiri
listrik.
Berdasarkan harga resistivitas listriknya, batuan/mineral digolongkan menjadi tiga
yaitu :
Konduktor baik : 10-1
< ρ < Ω
Konduktor pertengahan : < ρ < 7
Ω
Isolator : ρ > 7
Ω
Survei resistivitas akan memberikan gambaran tentang distribusi resistivitas
bawah permukaan. Harga resistivitas tertentu akan berasosiasi dengan kondisi
geologi tertentu. Untuk mengkonversi harga resistivitas ke dalam bentuk geologi
diperlukan pengetahuan tentang tipikal dari harga resistivitas untuk setiap tipe
20. 5
material dan struktur daerah survey. Harga resistivitas batuan, mineral, tanah dan
unsur kimia secara umum telah diperoleh melalui berbagai pengukuran dan dapat
dijadikan sebagai acuan untuk proses konversi (Telford, et al., 1990).
Tabel 2.1 Nilai Resistivitas Batuan dan Mineral (Telford, M.M., Geldart, L.P.,
Sheriff, R.E. 1991. Applied Gephysics, second edition. USA: Cambridge University Press)
Jenis Batuan
Resistivity Range (Ωm)
Wet Dry
- Granite porphyry 4.5 x 103
1.3 x 106
- Feldspar porphyry 4 x 103
- Syenite 102
- 106
- Diorite porphyry 1.9 x 103
2.8 x 104
- Porphyrite 10 – 5 x104
3.3 x 103
Carbonatized porphyry 2.5 x 103
6 x 104
- Quartz diorite 2 x 104
– 2 x 106
1.8 x 105
- Porphyry (various) 60 - 104
- Dacite 2 x 104
- Andesite 4.5 x 104
1.7 x 102
- Diabase (various) 20 – 5 x 107
- Lavas 102
– 5 x 104
- Gabro 103
- 106
- Basalt 10 – 1.3 x 107
Olivine norite 103
– 6 x 104
- Peridotite 3 x 103
6.5 x 103
- Hornfels 8 x 103
6 x 107
- Schists 20 - 104
- Tuffs 2 x 103
105
- Graphite schist 10 - 102
- Slates (various) 6 x 102
4 x 107
- Gneiss (various) 6.8 x 104
3 x 106
- Marble 102
– 2.5 x 108
- Skarn 2.5 x 102
2.5 x 108
- Quartzites (various) 10 – 2 x 108
- Consolidated shale 20 – 2 x 103
- Argilites 10 – 8 x 102
- Conglongmerates 2 x 103
- 104
- Sandstone 1 – 6.4 x 108
- Limestones 50 – 107
Dolomite 3.5 x 102
5 x 103
- Clay 1 – 100
- Marls 3 – 70
- Oil sands 4 – 800
21. 6
Mineral Range Average
- Chalcopyrite 1.2 x 10-5
– 0.3 4 x 103
- Galena 3 x 10-5
– 3 x 102
2 x 10-3
- Chromite 1 - 106
- Specularite 6 x 10-3
- Hematite 3.5 x 10-3
– 10-7
- Limonite 103
– 107
- Magnetite 5 x 10-5
– 5 x 103
- Quartz 4 x 1010
– 2 x 1014
- Bismuthinite 18 – 570 220
- Pyrite 2.9 x 10-5
– 1.5 3 x 10-1
- Cuprite 10-3
– 300 30
II.2 Metode Geolistrik
Metode geolistrik merupakan metode yang menggunakan prinsip aliran arus
listrik dalam menyelidiki struktur bawah permukaan bumi. Aliran arus listrik
dalam mengalir di dalam tanah melalui batuan-batuan dan sangat dipengaruhi oleh
adanya air tanah dan garam yang terkandung di dalam batuan serta hadirnya
mineral logam maupun panas yang tinggi. Oleh karena itu, metode geolistrik
dapat digunakan pada penyelidikan hidrogeologi seperti penentuan aquifer dan
adanya kontaminasi, penyelidikan mineral, survei arkeologi dan deteksi hotrocks
pada penyelidikan panas bumi.
Berdasarkan asal sumber arus listrik yang digunakan, metode resistivitas dapat
dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu (Prasetiawati, 2004):
Metode pasif
Metode ini menggunakan arus listrik alami yang terjadi di dalam tanah (batuan)
yang timbul akibat adanya aktivitas elektrokimia dan elektromekanik dalam
22. 7
materi-materi penyusun batuan. Metode yang termasuk dalam kelompok ini di
antaranya Potensial Diri/Self Potensial (SP) dan Magneto Teluric (MT).
Metode aktif
Yaitu bila arus listrik yang diinjeksikan (dialirkan) di dalam batuan, kemudian
efek potensial yang ditimbulkan arus buatan tersebut diukur di permukaan.
Metode yang termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya metode resistivity dan
Induced Polarization (IP).
II.2.1 Prinsi Kerja Metoda Geolistrik Tahanan Jenis
Metode resistivitas pada dasarnya adalah pengukuran harga resistifitas (tahanan
jenis) batuan. Prinsip kerja metode ini adalah dengan menginjeksikan arus ke
bawah permukaan bumi sehingga diperoleh beda potensial, yang kemudian akan
didapat informasi mengenai tahanan jenis batuan. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan keempat elektroda yang disusun sebaris, salah satu dari dua buah
elektroda yang berbeda muatan digunakan untuk mengalirkan arus ke dalam
tanah, dan dua elektroda lainnya digunakan untuk mengukur tegangan yang
ditimbulkan oleh aliran arus tadi, sehingga resistivitas bawah permukaan dapat
diketahui. Resistivitas batuan adalah fungsi dari konfigurasi elektroda dan
parameter-parameter listrik batuan. Arus yang dialirkan di dalam tanah dapat
berupa arus searah (DC) atau arus bolak-balik (AC) berfrekuensi rendah. Untuk
menghindari potensial spontan, efek polarisasi dan menghindarkan pengaruh
kapasitansi tanah yaitu kecenderungan tanah untuk menyimpan muatan maka
23. 8
biasanya digunakan arus bolak balik yang berfrekuensi rendah (Bhattacharya &
Patra, 1968).
Besarnya beda potensial di antara kedua elektroda potensial tersebut selain
bergantung pada besarnya arus yang dialirkan ke dalam bumi, juga bergantung
pada letak kedua elektroda potensial tersebut terhadap letak kedua elektroda arus
yang digunakan. Dalam hal ini tercakup juga pengaruh batuan yang dilewati oleh
arus listrik tersebut. Aturan penempatan keempat elektroda tersebut diatas dalam
istilah Geofisika sering dinamai dengan konfigurasi elektroda (Hendrajaya L.,
1990)
Gambar 2.1 Prinsip kerja Metode Resistivitas (Bhattacharya & Patra, 1968).
24. 9
II.2.2 Resistivitas Semu
Pengukuran resistivitas dilakukan terhadap permukaan bumi yang dianggap
sebagai suatu medium yang homogen isotropis. Pada kenyataannya, bumi
tersusun atas komposisi batuan yang bersifat heterogen baik ke arah vertikal
maupun horisontal. Akibatnya objek batuan yang tidak homogen dan beragam
akan memberikan harga resistivitas yang beragam pula. Sehingga resistivitas yang
diukur adalah resistivitas semu. Harga tahanan jenis semu ini tergantung pada
tahanan jenis lapisan–lapisan pembentuk formasi dan konfigurasi elektroda yang
digunakan. Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai:
(II.1)
dengan K adalah faktor geometri susunan elektroda yang berdimensi panjang.
Beberapa hal yang mempengaruhi nilai resistivitas semu adalah sebagai berikut
(Prasetiawati, 2004):
1. Ukuran butir penyusun batuan, semakin kecil besar butir maka kelolosan arus
akan semakin baik, sehingga mereduksi nilai tahanan jenis.
2. Komposisi mineral dari batuan, semakin meningkat kandungan mineral clay
akan mengakibatkan menurunnya nilai resisivitas.
3. Kandungan air, air tanah atau air permukaan merupakan media yang
mereduksi nilai tahanan jenis.
4. Kelarutan garam dalam air di dalam batuan akan mengakibatkan
meningkatnya kandungan ion dalam air sehingga berfungsi sebagai
konduktor.
25. 10
5. Kepadatan, semakin padat batuan akan meningkatkan nilai resistivitas
II.2.3 Konfigurasi Elektroda Metode Tahanan Jenis
Ada beberapa cara pengaturan elektroda ini yaitu metoda Wenner, metoda Pole-
pole, metoda Pole-dipole, metoda Dipole-dipole dan metoda Schlumberger.
Dengan C1 dan C2 adalah elektroda-elektroda arus, P1 dan P2 adalah elektroda-
elektroda potensial, a adalah spasi elektroda, n adalah perbandingan jarak antara
elektroda C1 dan P1 dengan spasi a.
Gambar 2.2 Beberapa konfigurasi elektroda yang digunakan dalam survey metoda
geolistrik tahanan jenis (Loke,2004)
26. 11
Apabila terdapat dua elektroda arus yang dibuat dengan jarak tertentu seperti
Gambar 2.3, potensial pada titik-titik dekat permukaan akan dipengaruhi oleh
kedua elektroda arus tersebut.
Gambar 2.3 Dua pasang elektroda arus dan potensial pada permukaan medium homogen isotropis
dengan tahanan jenis ρ (Bahri, 2005)
Potensial pada titik P1 akibat elektroda arus C1 adalah (Reynolds, 1997 dalam
Bahri, 2005):
(II.2)
Karena arus pada kedua elektroda sama dan berlawanan arah, maka potensial pada
titik P1 akibat elektroda arus C2 dapat ditulis,
(II.3)
Sehingga potensial pada titik P1 akibat elektroda arus C1 dan C2 adalah,
(II.4)
27. 12
Gambar 2.4 Pola aliran arus dan bidang ekipotensial antara dua elektroda arus dengan polaritas
berlawanan (Bahri, 2005)
Dengan cara yang sama, potensial pada P2 akibat elektroda arus C1 dan C2
adalah,
(II.5)
Akhirnya, beda potensial antara P1 dan P2 dapat ditulis sebagai,
(II.6)
Atau dapat ditulis
(II.7)
K adalah faktor geometri yang besarnya sangat tergantung dari jarak antar
elektroda yang digunakan dalam pengolahan data.
28. 13
II.2.4 Konfigurasi Wenner-Schlumberger
Konfigurasi ini merupakan gabungan antara konfigurasi Wenner dan konfigurasi
Schlumberger. Konfigurasi Wenner-Sclumberger mempuyai penetrasi maksimum
kedalaman 15% lebih baik dari konfigurasi Wenner.
Faktor geometri dari konfigurasi elektroda Wenner-Schlumberger adalah :
K = π n (n + 1) a (II.8)
Dimana a adalah jarak antara elektroda P1 dan P2, serta r adalah perbandingan
antara jarak elektroda C1 – P1 dengan P1– P2. Nilai reistivitas semu dirumuskan :
ρsemu = K.R (II.9)
Gambar 2.5 Pengaturan elektroda konfigurasi Wenner-Schlumberger(Loke,2004)
Keunggulan dari konfigurasi Wenner - Schlumberger dibanding dengan
konfigurasi lainnya antara lain :
Karena elektroda arus dan elektroda potensial selalu berubah-rubah maka
konfigurasi ini sensitif terhadap adanya ketidak homogenan lokal, seperti
lensa-lensa dan gawair-gawir.
29. 14
Karena jarak elektoda potensial cukup besar maka beda potensial yang
terukur di antaranya juga cukup besar sehingga pengukuran yang dilakukan
cukup sensitif.
Cocok untuk memetakan batuan bawah permukaan dengan cakupan yang
dalam.
II.3 Kromit
Kromit adalah suatu mineral oksida dengan bentuk oktahedral yang terbentuk
akibat proses kristalisasi magma pada suhu 1200 o
C. Kromit merupakan mineral
oksida dari besi kromium dengan komposisi kimia (FeCr2O3) dan bijih logam
kromium. Mineral ini terdapat di dalam batuan beku ultrabasa seperti peridotit.
Selain itu, terdapat pula pada serpentin dan batuan metamorf lainnya yang
terbentuk dari alterasi batuan beku ultrabasa. Mineral ini terbentuk pada
temperatur yang sangat tinggi dan pada bagian bawah dari tubuh magma, dimana
proses kristalisasi terjadi. (Hasan R.S.,1998)
Gambar 2.6 Serpentinkromit (Mottana dkk, 1977)
30. 15
Mineral dengan komposisi kimia FeCr2O4 ini memiliki warna hitam dan coklat
kehitaman. Goresan dari mineral ini berwarna coklat gelap dengan kilap logam.
Mineral ini tidak berupa mineral transparan melainkan mineral opak yang tidak
memiliki belahan. Kekerasannya 5,5-6 dan berat jenisnya 4,5-4,8.
Gambar 2.7 Kenampakan mikroskopik mineral kromit (Mottana dkk, 1977)
Beradasarkan gambar di atas mineral kromit ditunjukkan oleh warna abu-abu
terang, yang berasosiasi dengan silika ditunjukkan oleh warna abu-abu gelap.
Sedangkan warna hitam adalah lubang-lubang poles
Kromit digunakan sebagai bijih utama dari kromium. Sekitar 76% produksi
kromit dunia digunakan untuk industri logam terutama metal alloy dan sisanya
untuk industri refraktory, foundry, kimia dan industri keramik. Kromit juga
digunakan dalam pembuatan batu bata tahan api untuk lapisan dapur api.
(Intan,2011).
31. 16
II.3.1 Tipe Cebakan Kromit
Berdasarkan tipe cebakan, Kromit dibagi atas :
1. Cebakan Primer : terdiri dari cebakan stratiform dan cebakan podiform
2. Cebakan Sekunder : terdiri dari bijih laterit dan plaser
Cebakan Stratiform
Cebakan stratiform kromit terbentuk akibat proses kristalisasi pada ruang magma,
dimana bentuk cebakan berupa lapisan kromit tipis dan memiliki sifat homogen.
Kromit adalah salah satu mineral pertama yang terbenam, berkerut dan
mengkristal sebelum mengendap dalam ruang-ruang magma. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya lapisan-lapisan kromit yang tipis dan homogen, serta
memperlihatkan batas yang jelas antara lapisan bijih kromit dengan lapisan batuan
induk. Pada celah-celah antara lapisan dijumpai mineral-mineral silikat dalam
jumlah yang cukup besar dan secara nyata akan mempengaruhi kadar dan ukuran
butir kromit. Lapisan stratiform ini berupa lapisan lateral yang menerus dan kaya
akan kromit. Ketebalan lapisan hanya beberapa milimeter serta keterdapatannya
saling bergantian dengan lapisan silika. Lapisan silika ini berada di dalam batuan
mafik dan ultramafik seperti dunit, peridotit, piroksenit, dan berbagai jenis batuan
mafik dan ultramafik lain yang tidak melebihi gabro. Pada umumnya terdapat
pada lapisan intrusi basaltik seperti yang terdapat di Bushveld Compleks, Afrika
Selatan.
32. 17
Berikut adalah model-model lapisan stratiform di beberapa negara :
Gambar 2.8 a.Lapisan stratiform di Bushveld, Afrika Selatan (Mottana dkk, 1977),
b. Lapisan stratiform di lokasi penelitian..(Sutanto,2010)
Cebakan Podiform
Cebakan podiform kromit merupakan cebakan berbentuk lensa-lensa dengan
ukuran yang bervariasi. Kebanyakan tipe cebakan podiform termasuk Al-rich
chromite. Tubuh massive dari kromit ini didominasi oleh dunit (kaya olivin) dan
berasosiasi dengan peridotit. Tipe cebakan ini banyak ditemukan di sepanjang
zona patahan dan lingkar pegunungan.
Cebakan podiform terdapat di Troodos Complex (Cyprus), semile (Oman), Turki,
Saudi Arabia, dan Kaledonia baru. Di indonesia, cebakan ini dijumpai di
indonesia bagian timur (Sulawesi, Halmahera, Gebe, dan Gag).
Endapan besar kromit terjadi sebagai polong lensa, atau lapisan dalam ophiolit
batuan ultrabasa. Secara tektonik, keberadaannya di bawah kerak dan mantel atas
batuan ultrabasa. Endapan tipe podiform ini juga terbentuk sebagai proses
magmatik primer. Umur mineralisasi dari kromit adalah pada Mesozoikum muda.
Kromit berasosiasi dengan peridotit, hasburgit, dan dunit. Adapun gangue mineral
dari endapan diantaranya Olivin, Serpentin, Orthopirosin, dan Magnetit.
33. 18
Model genetik dari cebakan podiform ini berupa fraksi awal dimana kromit
berasal dari cairan basal, baik tepat pada transisi bawah kerak mantel di saku
magma atau mungkin dalam sisa mantel hasburgit. Selain itu, bisa juga tepat di
atas transisi kerak-mantel yang menyatukan lapisan dalam dunit di dasar ruang
magma.
Cadangan bijih podiform sangat bervariasi tetapi sangat kecil dibandingkan
dengan cebakan stratiform, yaitu dari beberapa ton hingga satuan juta ton. Lebih
dari setengah cadangan bijih podiform dunia dikelompokkan sebagai kromit kaya
alumunium. Di Indonesia, endapan kromit termasuk tie podiform, yang pada
umumnya tersebar di Indonesian bagian Timur. Bentuk endapan, berupa
perlapisan dan lensa-lensa di dalam batuan piroksen-peridotit.(Intan,2011).
Gambar 2.9 Podiform kromit (Anonim)
34. 19
BAB III
METODOLOGI
III.1 Lokasi Penelitian
Lokasi daerah penelitian terletak pada salah satu blok tambang yang terdapat di
kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara.
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
35. 20
III.2 Metode Pengambilan Data dan Peralatan
1) Peralatan
Alat ukur tahanan jenis Naniura NRD300HF
Elektroda
2 Buah Meteran
Kabel penghubung
Palu
2 Buah aki 12 Volt
GPS
Kompas Geologi
Alat tulis menulis untuk pencatatan data (table, diagram dan kalkulator)
Handy Talky 3 unit.
Gambar 3.2 Peralatan Akusisi (Pengambilan Data)
36. 21
2) Metoda Pengukuran
Pada kegiatan ini dilakukan pengukuran sebanyak 6 lintasan pengukuran. Metode
yang digunakan berupa wenner - sclhumberger dengan panjang lintasan 200 m
dan spasi 10 m. Dimana 4 lintasan ditempatkan saling sejajar dan 2 lintasan dibuat
melintang melewati 4 lintasan sejajar tadi, sehingga ke 6 lintasan tersebut
membentuk gambar seperti pada gambar.
Gambar 3.3 Desain Bentangan
37. 22
III.3 Pengolahan Data
1. Data hasil pengukuran yang diperoleh di lapangan berupa data nilai arus
(I) dan beda potensial (V) di input ke dalam Ms.Exel.
2. Gunakan persamaan II.8 untuk menentukan nilai faktor geometri(K) untuk
konfigurasi Wenner Schlumberger.
3. Menentukan nilai resistivitas semu (ρsemu) menggunakan persamaan II.9
untuk setiap datum.
4. Data dimasukkan ke dalam bentuk ekstensi .dat file sesuai dengan format
data res2divn. Kemudian inversi data tersebut menggunakan res2divn
untuk memperoleh penampang pseudo 2D
5. Menggabungkan semua penampang 2D menjadi pseudo 3D.
6. Interpretasi penyebaran vein Kromit secara lateral menggunakan hasil dari
pemodelan pseudo 3D.
38. 23
III.4 Bagan Alir Penelitian
Persiapan
Inversi Data
Menghitung Resistivitas
Semu
Pemodelan
Pengambilan Data
Interpretasi
Desain Parameter
Lapangan
Data Arus (I) & Potensial
(V)
Data GeologiFaktor Geometri (K)
39. 24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAAN
IV.1 Hasil
Lintasan 1 : Panjang lintasan pengukuran 190 m, dengan arah lintasan Utara -
Selatan. Menggunakan spasi 10 m sehingga menghasilkan 81 datum point (dp).
Kedalaman permukaan bumi yang terukur dari hasil inversi adalah 39,6 meter
. Ω – 4 Ω RMS
58.4%.
Lintasan 2 : Panjang lintasan pengukuran 210 m, dengan arah lintasan Selatan-
Utara. Menggunakan spasi 10 m sehingga menghasilkan 100 datum point (dp).
Kedalaman permukaan bumi yang terukur dari hasil inversi adalah 39,6 meter
. 5 Ω – 533 Ω RMS
67.4%.
Lintasan 3 : Panjang lintasan pengukuran 210 m, dengan arah lintasan Selatan-
Utara. Menggunakan spasi 10 m sehingga menghasilkan 100 datum point (dp).
Kedalaman permukaan bumi yang terukur dari hasil inversi adalah 39,6 meter
. 5 Ω – 6 Ω RMS
78.1 %.
Lintasan 4 : Panjang lintasan pengukuran 190 m, dengan arah lintasan Selatan-
Utara. Menggunakan spasi 10 m sehingga menghasilkan 81 datum point (dp).
Kedalaman permukaan bumi yang terukur dari hasil inversi adalah 39,6 meter
40. 25
dengan rentang resistivitas berkisar 3.64 Ω – 4 Ω RMS 4 .
%.
Lintasan 5 : Panjang lintasan pengukuran 210 m, dengan arah lintasan Timur-
Barat. Menggunakan spasi 10 m sehingga menghasilkan 100 datum point (dp).
Kedalaman permukaan bumi yang terukur dari hasil inversi adalah 39,6 meter
. 6 Ω – Ω RMS
94.9%.
Lintasan 6 : Panjang lintasan pengukuran 210 m, dengan arah lintasan Timur-
Barat. Menggunakan spasi 10 m sehingga menghasilkan 100 datum point (dp).
Kedalaman permukaan bumi yang terukur dari hasil inversi adalah 39,6 meter
. 6 Ω – 5 Ω RMS
80.7%.
41. 26
IV.2 Pengolahan Data
IV.2.1 Inversi Data
Nilai resistivitas semu setiap datum yang diperoleh melalui pengukuran di
lapangan kemudian diinversi menggunakan software res2dinv untuk memperoleh
penampang resistivitas 2D. Hasil inversi ini merupakan representatif keadaan
bawah permukaan berdasarkan nilai resistivitasnya. Berikut merupakan hasil
inversi setiap lintasan.
Lintasan 1
Lintasan yang dibuat membentang dari Utara-Selatan, yang diperkirakan akan
berpotongan dengan alur batuan dasar (peridotite) yang berasosiasi dengan
mineral kromit. Adapun alur batuan tersebut diperkirakan membentuk jalur yang
membentang dengah arah Timur-Barat dan sebagian alur tersebut terlihat di
permukaan.
Gambar 4.1 Hasil inversi lintasan 1
42. 27
Pada gambar penampang VI.1 dapat dengan jelas terlihat adanya nilai resistivitas
yang tinggi pada posisi 45-70 meter dengan kedalaman 7.5- 24.9 meter, dimana
nilai tersebut menunjukkan adanya batuan dasar yang kompak (peridotite)
sehingga memberikan hambatan yang relatif besar terhadap aliran listrik. Untuk
sementara nilai tersebut bisa diinterpretasikan sebagai boulder.
Lintasan 2
Lintasan 2 dibuat membentang sejajar dengan lintasan 1, hal ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kelanjutan alur batuan dasar yang terlihat pada permukaan dan
pada penampang lintasan 1. Posisi alur batuan dasar dapat dilihat pada Peta
kondisi daerah penelitian (Lampiran 1)
Gambar 4.2 Hasil inversi lintasa 2
Adanya nilai resistivitas yang memiliki nilai relatif tinggi terletak pada kedalaman
18.5 m - 39.6 m pada meter ke 115 m – 145 m seperti pada gambar IV.2. Hal
tersebut menunjukkan adanya anomali, dimana anomali tersebut dapat
43. 28
diasumsikan sebagai suatu satuan yang kompak sehingga hambatan terhadap arus
listrik pada area tersebut relatif cukup besar.
Lintasan 3
Lintasan 3 merupakan lintasan sejajar ke-3 yang berada persis setelah lintasan 2
dengan arah bentangan Selatan-Utara.
Gambar 4.3 Hasil inversi lintasan 3
Gambar IV.3 menunjukkan adanya kesamaan dengan lintasan sebelumnya
yakni letak dari posisi nilai resistivitas yang dianggap sebagai anomali, letak
anomali juga berada pada 115 m -145 m pada lintasan akan tetapi posisi
kedalaman yang berbeda, pada lintasan ini anomali tersebut berada pada
kedalaman ± 31 m. Dikatakan sebagai anomali karena adanya nilai resistivitas
yang relatif besar dibandingkan dengan nilai resistivitas disekitarnya.
44. 29
Lintasan 4
Lintasan 4 ini merupakan lintasan sejajar yang ke-4 yang terletak ±80 m dari
lintasan sebelumnya, yakni lintasan 3.
Gambar 4.4 Hasil inversi lintasan 4
Sama halnya dengan lintasan 3, lintasan 4 ini memiliki posisi anomali yang
hampir sama juga dengan posisi anomali pada lintasan sebelumnya akan tetapi
posisi kedalaman anomali tersebut sedikit berbeda dengan posisi anomali pada
lintasan sebelumnya. Posisi anomali pada lintasan ini berada pada 110 m – 125 m
pada lintasan dengan kedalaman ±35 meter. Keseragaman terhadap 2 lintasan
sebelumnya mengindikasikan adanya anomali yang bersifat homogen dan
memiliki kemungkinan adanya kesinambungan atau hubungan antara anomali
yang terdapat pada lintasan 4 ini dengan anomali yang ada pada lintasan lain
sebelumnya.
45. 30
Lintasan 5
Berbeda dengan 4 lintasan sebelumnya, lintasan 5 ini merupakan lintasan yang
dibuat berpotongan (crossing) terhadap 4 lintasan sejajar sebelumnya. Lintasan ini
membentang dari arah Barat-Timur dan berpotongan persis pada sisi selatan dari 4
lintasan sejajar sebelumnya. Dapat dilihat pada peta area penelitian (Lampiran 1).
Gambar 4.5 Hasil inversi lintasan 5
Adapun anomali terdeteksi menyebar pada kedalaman ±25 meter. Hal tersebut
menjelaskan adanya pola penyebaran anomali yang cukup menarik, hal tersebut
dikarenakan adanya hasil inversi lintasan 5 seperti yang terlihat pada gambar IV.5
menyebabkan pola penyebaran anomali dalam hal ini adalah area yang memiliki
nlai resistivitas yang tinggi menjadi rumit, sehingga utuk menginterpretasikannya
secara geologi membutuhkan beberapa data geologi dalam bentuk data bor
(Borhole).
46. 31
Lintasan 6
Lintasan selanjutnya yaitu lintasan 6, dimana lintasan ini memiliki posisi yang
sejajar dengan lintasan 5 dan memotong lintasan 1 hingga lintasan 4. Hasil dari
inversi data lintasan 6 menghasilkan penampang (pseudosection) seperti pada
gambar IV.6.
Gambar 4.6 Hasil inversi lintasan 6
Hal ini menyebabkan anomali dari hasil inversi lintasan 6 tersebut berada pada
kedalaman yang relatif lebih dalam sehingga yang terdeteksi pada penampang
hasil inversi hanya sebagian kecil atau hanya bagian atas permukaan alurnya saja.
47. 32
IV.3 Pembahasan
IV.3.1 Analisis Penampang 2D
Inversi ke-6 lintasan menghasilkan penampang resistivitas yang masih perlu
dikoreksi. Hal ini dilakukan untuk menyeragamkan interval kontur resistivitas
setiap lintasan sesuai dengan keadaan geologi maupun litologi lokal yang terdapat
pada lokasi penelitian.
Berdasarkan penampang bawah permukaan yang telah dikoreksi, dapat terlihat
dengan jelas posisi dari batuan dasar (peridotite). Batuan peridotite tersebut
memilki nilai resistivitas antara 1.6 x 103
dalam keadaan 0,1% kandungan H2O
dan 3 x 103
dalam kondisi kering (Telford, et al., 1990).
Kondisi lokasi yang berada tidak jauh dari pesisir laut (Lampiran 1) menyebabkan
intrusi air laut sangat mempengaruhi hasil pembacaan sehingga nilai resistivitas
batuan peridotite memiliki kemungkinan pembacaan yang relatif lebih rendah.
Faktor lain yang juga menyebabkan pengambilan data menghasilkan bacaan yang
relatif rendah adalah kondisi batuan peridotite pada lokasi ini dipengaruhi oleh
struktur geologi berupa rekahan-rekahan. Rekahan-rekahan tersebut diisi oleh
mineral-mineral logam maupun intrusi dari air laut yang bersifat sebagai
penghantar listrik (konduktor), dalam hal ini mineral logam yang dimaksud adalah
kromit. Pengaruh keadaan geologi tersebut menjadi faktor maupun alasan penting
mengenai nilai resistivitas batuan peridotite yang relatif rendah dibandingkan
dengan yang ditetapkan oleh Telford dkk.
48. 33
Adanya pertimbangan mengenai keadaan geologi lokal pada area penelitian ini,
maka interval kontur resistivitas setiap lintasan dibuat seragam dengan prioritas
≥ Ω
dasar. Hal tersebut juga didukung dengan adanya data bor (Lampiran 5) yang
menjelaskan litologi bawah permukaan secara real. Sedangkan untuk nilai
< Ω
rendah (limonite) yang memiliki kandungan unsur besi (Fe) yang tinggi.
Kandungan unsur besi (Fe) yang tinggi serta pengaruh dari intrusi air laut
menyebabkan nilai resistivitas yang terukur relatif rendah.
Adapun hasil koreksi dari inversi data resistivitas menghasilkan penampang 2D
untuk setiap lintasan yang sesuai dengan penjelasan geologi lokal pada lokasi
penelitian. Berikut adalah hasil koreksi untuk setiap lintasan.
Gambar 4.7 Penampang resistivitas lintasan 1
Indikasi bentuk batuan dasar pada lintasan 1 ini menyerupai bentuk body seperti
yang ada pada gambar (indikasi). Hal tersebut relatif sangat sesuai dengan data
litologi yang diperoleh dari hasil pengeboran. Data bor pada lintasan ini
memberikan informasi bawah permukaan berupa informasi lapisan serta data
Indikasi
A
B
Efek intrusi
Data bor
49. 34
mengenai kandungan kimia tiap meter lapisan. Dari data bor pada lintasan ini kita
dapat mengetahui posisi kedalaman sebenarnya dari body batuan dasar. Data bor
(Lampiran 5) menunjukkan body alur batuan poridotite terdapat pada kedalaman
±10 meter dari permukaan tanah dengan ketebalan mencapai ±15 meter.
Bentuk anomali yang diasumsikan sebagai batuan dasar pada penampang hasil
inversi seperti pada Gambar IV.7 memperkuat dugaan adanya bentuk batuan dasar
yang menyerupai alur di bawah permukaan.
Gambar 4.8 Penampang resistivitas lintasan 2
Lintasan berikutnya adalah lintasan 2. Memiliki posisi yang sejajar dengan
lintasan 1, dimana lintasan ini bertujuan untuk mengindikasikan lekukan alur yang
terlihat pada lintasan 1 sebelumnya.
Indikasi anomali batuan peridotite sebagai batuan dasar terlihat sangat jelas pada
hasil inversi dan juga setelah data diolah. Data litologi dari hasil pengeboran juga
menunjukkan hal positif mengenai kelanjutan dari alur batuan. Ukuran dari
anomali juga terlihat semakin massive dibandingkan yang terlihat pada lintasan
sebelumnya. Pengaruh akan intrusi air laut juga terlihat pada penampang ini,
dimana air laut memiliki kemungkinan mengintrusi lapisan tanah yang memiliki
kandungan nikel rendah (limonite).
Indikasi
C
D
Efek intrusi
Data bor
50. 35
Data bor yang terdapat pada lintasan 1 dan 2 memperkuat data resistivitas
sehingga keberadaan body batuan dasar menjadi lebih faktual. Data bor yang
terdapat pada lintasan 2 menunjukkan hal yang relatif sama dengan data
resistivitasnya. Susunan lapisan tanah yang lapisannya relatif homogen walaupun
dengan ketebalan yang berbeda. Posisi kedalaman body batuan peridotite pada
lintasan ini mencapai kedalaman ±37 meter, didesain untuk menlihat bentuk dari
body alur batuan peridotite sehingga titik bor diupayakan tepat pada bagian sisi
luar body. Dari hasil data bor dapat diasumsikan bentuk body pada lintasan ini
menyerupai bentuk body yang ada pada lintasan 1.
Gambar 4.9 Penampang resistivitas lintasan 3
Lintasan 3 pada gambar berada pada ketinggian 27 meter dari permukaan laut
hingga 35 meter dari permukaan laut. Pada meteran 40 – 70 menunjukkan
pengaruh dari intrusi air laut, sedangkan pengaruh genangan air yang cukup besar
pada permukaan ditunjukkan pada meteran 130 – 185. Indikasi batuan dasar pada
penampang tersebut terlihat memiliki posisi yang semakin dalam jika dibandikan
dari penampang pada lintasan sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan oleh
IndikasiEfek intrusi
E F
51. 36
pengaruh perbedaan elevasi, dimana lintasan 3 ini berada pada ketinggian lebih
tinggi dibandingkan lintasan sebelumnya.
Gambar 4.10 Penampang resistivitas lintasan 4
Dari Gambar IV.10 di atas menunjukkan anomali yang diasumsikan sebagai
kelanjutan alur batuan dasar berada pada posisi yang hampir sama dengan posisi
anomali pada 2 lintasan sebelumnya. Hal ini menunjukkan arah alur batuan
peridotite yang memiliki potensi cebakan primer kromit (statiform) mengarah ke
arah barat menerus hingga mencapai batuan dasar dalam hal ini batuan peridotite
dalam jumlah massive. Pengaruh adanya beda elevasi terhadap 3 lintasan
sebelumnya menyebabkan posisi anomali yang terletak semakin dalam.
Gambar 4.11 Penampang resistivitas lintasan 5
Indikasi
Indikasi
G H
J
I
J
52. 37
Selanjutnya, lintasan 5 yang merupakan lintasan yang posisinya memotong
lintasan 1 hingga 4. Letak lintasan yang berdekatan dengan laut menyebabkan
intrusi air laut sangat mempengaruhi hasil pengukuran. Adapun elevasi terendah
pada penampang tersebut menjelaskan hal tersebut sedangkan pada elevasi tinggi
(40 m- 60 m) kemungkinan disebabkan oleh air dari pegunungan maupun intrusi
air laut yang diakibatkan oleh sifat porositas yang dimiliki oleh batuan maupun
material hasil laterisasi.
Indikasi batuan dasar terlihat sangat jelas. Adapun lapisan yang menutupi batuan
dasar tersebut diindikasikan sebagai hasil dari laterisasi yang berlangsung pada
daerah tersebut.
Penampang lintasan 5 ini menimbulkan kecenderungan adanya percabangan alur
batuan yang terbaca pada lintasan 1 hingga lintassan 4. Kecenderungan lainnya
yaitu indikasi batuan peridotite pada lintasan 5 merupakan ujung lain dari alur
batuan peridotite yang berasal pada formasi batuan peridotite massive yang sama
dengan alur yang terdapat pada lintasan 1 hingga 4.
Gambar 4.12 Penampang resistivitas lintasan 6
Indikasi
K
L
53. 38
Lintasan berikutnya yaitu lintasan 6, merupakan lintasan yang memotong lintasan
1 hingga 4, sama halnya dengan lintasan sebelumnya yaitu lintasan 5. Akan tetapi
posisi lintasan ini berjarak lebih jauh dibandingkan lintasan 5. Sehingga pengaruh
intrusi air laut pada lintasan ini tidak sebesar lintasan lainnya. Kondisi permukaan
yang relatif lembab saat pengambilan data di lapangan berlangsung
mengakibatkan pembacaan nilai resistivitas yang diperoleh relatif rendah. Adanya
aliran sungai di sekitar lintasan 6 dapat dijadikan sebagai faktor penyebab
pembacaan nilai resistivitas menjadi relatif rendah.
Adapun posisi indikasi batuan dasar berada cukup dalam dan merupakan
kelanjutan alur batuan dasar karena pada posisi tersebut merupakan perpotongan
lintasan ini dengan lintasan 3 dimana lintasan tersebut membentuk suatu indikasi
alur batuan dasar setelah mendapat dukungan data dari dua lintasan sebelumnya.
IV.3.2 Analisis Penampang Pseudo 3D
Komposisi material peridotite relatif lebih kompak dibandingkan dengan material
penyusun lapisan tanah yang terdapat pada lokasi penelitian, sehingga batuan
peridotite cenderung akan memberikan hambatan terhadap arus listrik dan
≥ Ω . Resistivitas
yang relatif lebih tinggi ini dapat diindikasikan sebagai resistivitas batuan dasar.
Apabila setiap penampang resistivitas yang diperoleh dari hasil pengukuran di
lapangan mengidentfikasikan adanya nilai resistivitas yang relatif tinggi, maka
dapat diindikasikan sebagai batuan dasar. Jika posisi indikasi batuan dasar
54. 39
berdasarkan nilai resistivitas pada tiap penampang berada pada posisi yang relatif
hampir sama, maka kemungkinan adanya alur batuan dasar di bawah permukaan
dapat ditentukan.
Gambar 4.13 Pseudosection 3D
Penentuan alur batuan dasar bertujuan untuk mendeteksi alur cebakan primer
kromit juga. Hal tersebut dikarenakan cebakan statiform yang menjadi prioritas
penambangan berada pada batuan dasar. Dimana mineral kromit tersebut mengisi
rekahan-rekahan pada batuan dasar. Rekahan-rekahan tersebut terbentuk karena
adanya pengaruh endogen yang menyebabkan batuan dasar mengalami proses
merekah. Jika rekahan-rekahan pada batuan dasar tersebut terisis oleh magma dari
perut bumi yang kaya akan kandungan kromit, maka akan membentuk cebakan
statiform yang kaya akan kromit.
55. 40
Indikasi batuan dasar yang terdapat pada lintasan 5 (Body B) memunculkan dua
kemungkinan terkait alur batuan dasar yang mengandung vein kromit tersebut.
Pertama, arah alur batuan peridotite memanjang dari 1 hingga lintasan ke-4 (Body
A) dan mencapai formasi batuan peridotite yang bersifat massive, sedangkan
untuk indikasi batuan peridotite yang terdeteksi pada lintasan 5 merupakan alur
lain dari batuan dasar (peridotite), akan tetapi diprediksikan berasal dari formasi
batuan peridotite massive yang sama. Seperti pada gambar IV.14.
Gambar 4.14 Bentuk alur peridotite dengan asumsi pertama
A
B
56. 41
Kedua, indikasi batuan dasar (peridotite) yang terdapat pada lintasan 5 (Body
j c .
3 c
NE seperti pada gambar IV.15 dengan kata lain body A
dan body B saling berhubungan dan diprediksikan mengarah ke formasi batuan
peridotite yang massive.
Gambar 4.15 Bentuk alur peridotite dengan asumsi kedua
A
B
57. 42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
1. Alur batuan peridotite merupakan parameter untuk mengidentifikasi
penyebaran vein kromit di bawah permukaan, dengan asumsi nilai
≥ Ω . yang
mengandung NE untuk body A.
Sedangkan untuk body B dengan ara NE pada lintasan 5 membentuk 2
kemunkinan. Pertama, body B terhubung langsung dengan body A. Kedua,
body A dan B tidak terhubung secara langsung akan tetapi berasal dari satu
formasi batuan peridotite massive yang sama.
2. Bentuk pola penyebaran maupun arah alur batuan dasar (peridotite) sebagai
parameter penyebaran vein kromit (Statiform) dapat digambarkan
menggunakan pseudosection 3D.
V.2 Saran
1. Penelitian selanjutnya diharapkan meneliti mengenai analisis kimia batuan
untuk menentukan pengaruh kandungan kimia pada batuan terhadap nilai
resistansinya.
2. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan software FOXLER dalam
proses pengolahannya untuk memperoleh tampilan yang lebih baik.
58. 43
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, 2005. Hand Out Mata Kuliah Geofisika Lingkungan dengan topik Metoda
Geolistrik Resistivitas, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
ITS, Surabaya.
Hasan R.S.,1998,Mineral Kromit Di Indonesia.Puslitbang Geologi. Bandung.
Hendrajaya, L., Idam Arif. 1990. Geolistrik Tahanan Jenis. Bandung: ITB.
Intan,S.D., 2011.Endapan Kromit Magmatik. Jurnal Pertambangan.
Loke, M.H., Rapid 2D Resistivity & IP Inversion using the least-square method,
Geotomo Software, Malaysia, 2004.
Mottana, Annibale, Rodolfo Crespi, and Giuseppe Liborio (1977). Rocks
and Minerals.Simon&Schuster;NewYork.
Nabeel,F.,dkk.2013. Analisa Sebaran Fosfat dengan Menggunakan Metode
Geolistrik Konfigurasi Wenner-Schlumberger : Studi Kasus Saronggi,
Madura. Jurnal Sains Dan Seni Pomits Vol. 2, No.1
Prasetiawati, Lukei, 2004. Aplikasi metode resistivitas dalam eksplorasi
Endapan laterit nikel serta studi perbedaan Ketebalan endapannya
berdasarkan morfologi Lapangan: Penelitian Lapangan. Skripsi (Tidak
dipublikasikan). Program Sarjana Sains FMIPA, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Telford, W. M., G , L. P. S , R. ., , “ G c ,
S c “, C U P , U S c .
van Nostrand, Robert, G. & Kenneth, L Cook. 1966. Interpretation of
Resistivity Data. Washington: Geological Survey.