Buku ini menceritakan tokoh Charles Bukowski, seorang penulis yang tidak pernah menyerah walaupun karyanya selalu ditolak. Bukowski memiliki sikap bodo amat yang tidak berarti tidak peduli, melainkan memilih fokus pada hal-hal penting dalam menghadapi masalah yang tak berujung. Buku ini mengajak pembaca untuk belajar dari semangat Bukowski.
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
Non Fiksi.docx
1. Identitas Buku:
Judul Buku : Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat
Pengarang : Mark Manson
Alih Bahasa :F Wicaksono
Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Cetakan : ke-13. November 2018
Tempat Terbat : Jakarta
Tebal Buku 1 246 Halaman
Genre : Nonfiksi
ISBN 1 918-602-451698-6
Harga : 67.000
mentalitas korban” (hal 37)
Isi Resensi:
Buku ini menceritakan seorang Charles Bukowski seorang pecandu alkohol senang
bermain perempuan, penjudi kronis, kasar, kikir, dan tukang utang. Ia bercita-cita
menjadi seorang penulis. Karya Bukowski selalu ditolak oleh hampir setiap majalah,
tetapi hal tersebut tidak membuatnya menyerah ia tetap menulis dan membuat
puisi. Dari pengalamannya ia memiliki sikap bodo amat
Dalam bukunya yang berisi makna cuek yang bukan berarti tidak peduli terhadap apa
pun, Charles Bukowski gambaran sederhana untuk mengarahkan kembali ekspektasi
hidup dalam memilih apa yang penting karena pada intinya hidup hanyalah rentetan
masalah yang tidak ada ujungnya.
Kelebihan Buku:
2. Melalui karakter tokoh Charles Bukowski yang kuat dan gigih, kita mendapat makna
tersendiri untuk bersikap cuek, dan tetap bahagia menatap masalah yang sedang
dialami
Kekurangan Buku:
Meskipun judulnya seolah memberi kesan tentang kiat-kiat cuek, tetapi ternyata
tidak cuek di sini menggambarkan seorang pejuang yang meraih impian dengan
segala rintangan.
Sinopsis Buku:
“Apa pun masalahnya, konsepnya sama: selesaikan masalah, lalu berbahagialah.
Sayangnya bagi banyak orang, rasanya hidup tidak sesederhana itu. Itu karena
mereka menghadapi masalah dengan paling tidak satu dari dua cara berikut:
penyangkalan atau mentalitas korban” (hal 37)