Perjalanan yang belum selesai
http://www.allvoices.com/contributed-news/4695131-perjalanan-yang-belum-selesai
( Kisah Nyata seorang wartawan Indonesia)
(Episode pertama, Kamis, 26 Nopember 2009)
By: Muhammad Jusuf *
Berjualan Es keliling
Sekitar bulan Juni, tahun 1968 lalu, aku sudah duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Negeri 3, di Jalan Lembah, Kelandasan, Balikpapan, suatu kota teramai di Kalimantan ketika itu, bahkan sampai ini. Di sekolah ini, sebenarnya aku mulai masuk pertama kali duduk di kelas satu empat tahun sebelumnya, tahun 1964. Namun, karena ketika di kelas satu, aku duduk di paling belakang, sehingga aku tidak terlalu jelas, apa yang tengah diterangkan di depan kelas. Apalagi, ruang kelas ketika itu disesaki sekitar 40 siswa, apalagi, ruang kelas pada waktu itu berukuran cukup besar. Akhirnya, aku di kelas satu sempat tidak naik kelas, sehingga ayahku ‘’Agusno’’, yang ketika itu berpangkat ‘’kopral’’ marah-marah sama gurunya, dan minta saya dipindahkan ke tempat duduk paling depan. Ternyata berhasil, aku naik kelas, hingga kelas tiga, dua tahun berikutnya.
Salah satu teman istewaku, di kelas itu adalah Ahmad, namun banyak teman-teman di kelas memanggilnya ‘’Ahmad Picak’’, karena mata sebelah kiri cacat, sehingga dia hanya bias melihat menggunakan mata kanan. Sejak kelas satu, kata dia, dia sudah mencari penghasilan sendiri. Dengan berjualan es plastic, yang kita panggil pada masa itu dengan ‘’es gaya baru’’, es manis yang dibungkus plastic kecil, yang dibawa ‘’Amat Picak’’, demikian dia sering dipanggil kadang dua teremos penuh yang dipikulnya, usai dia pulang sekolah. Biasanya sekitar pukul 01 siang sampai pukul 05.00 sore. Namun, ketika sekolah masuk siang, dia berjualan pada pagi hari dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 10.00 pagi.
Suatu hari, ketika kami sama-sama duduk satu kelas di kelas tiga, kebetulan kami masuk siang, aku bertanya pada dia. ‘’Mat, boleh aku ikut kamu jualan, agar aku bias punya uang sendiri untuk jajan,’’ kataku padanya. ‘’Besok pagi ikut aku ke gunung dup, Suf’’ kata Amat kepadaku. Gunung dup, adalah suatu kawasan di atas perbukitan, dekat Pelabuhan Laut kota Balikpapan. Di kawasan ini dikenal sebagai perumahan elite, umumnya dihuni para pegawai, utamanya staff atau tingkat manager perusahaan minyak Pertamina, atau perusahaan minyak asing lainnya. Ajakan Amat ke gunung ‘’Dup’’ memang beralasaan, karena pada tahun-tahun itu, hanya segelintir orang ‘’kaya’’ saja yang memiliki ‘’kulkas’’. Kulkas ketika itu masih berupa barang mewah.
Esok, paginya, hari Kamis, Minggu pertama pada bulan Juni 1968 itu sekitar pukul 06.00 sudah ada di rumah salah seorang staf Pertamina yang memiliki ‘’Kulkas’’ seperti yang dituturkan Amat. Seperti biasa, Amat sudah mengisi dua termosnya. Satu termos berisi 60 butir es plastic. Begitu pula saya. Kami pun lalu memikul kedua termos itu menggunakan sebuah tongkat kayu.
Amat lalu berjualan menyusuri pasar Prapatan, Sentosa II lalu ke kawasan Kelandasan, dan siangnya sekitar pukul 11.00 sudah berjualan mendekati sekolah di Jalan Lembah. Jadi, pukul 12.00 siang, dia sudah bersiap masuk sekolah, setelah terlebih ganti baju. Sedangkan saya, ketika itu berjualan kea rah pelabuhan laut, tidak jauh di kawasan Gunung Dup itu.
‘’Iyoo, es gaya baru…Iyooo, es gaya baru,’’ teriak aku berkali-kali, menyusuri jalan hingga satu jam kemudian sampai di kawasan pelabuhan. Di sepanjang jalan, tentu ada satu dua orang yang memanggilku untuk membeli es. Ada yang beli dua, satu bahkan ada yang memborong lima sekaligus.
‘’Dik, kemari,’’ teriak seseorang dari balik Gudang di pelabuhan itu. Saya pun lalu mendekati pemuda yang tengah memanggil itu. Rupanya, para pemuda ini adalah para pekerja ‘’lepas’’ di pelabuhan itu, utamanya ‘’kuli’’ angkut barang. Rupanya, pemuda ini lalu memanggil beberapa temannya. Eh, Togar, cepat kemari, minum es aku yang traktir,’’ ter
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
Perjalanan Yang Belum Selesai 01
1. Perjalanan yang belum selesai
http://www.allvoices.com/contributed-news/4695131-perjalanan-yang-belum-selesai
( Kisah Nyata seorang wartawan Indonesia)
(Episode pertama, Kamis, 26 Nopember 2009)
By: Muhammad Jusuf *
Berjualan Es keliling
Sekitar bulan Juni, tahun 1968 lalu, aku sudah duduk di kelas 3 Sekolah Dasar Negeri 3, di Jalan Lembah,
Kelandasan, Balikpapan, suatu kota teramai di Kalimantan ketika itu, bahkan sampai ini. Di sekolah ini,
sebenarnya aku mulai masuk pertama kali duduk di kelas satu empat tahun sebelumnya, tahun 1964.
Namun, karena ketika di kelas satu, aku duduk di paling belakang, sehingga aku tidak terlalu jelas, apa
yang tengah diterangkan di depan kelas. Apalagi, ruang kelas ketika itu disesaki sekitar 40 siswa, apalagi,
ruang kelas pada waktu itu berukuran cukup besar. Akhirnya, aku di kelas satu sempat tidak naik kelas,
sehingga ayahku ‘’Agusno’’, yang ketika itu berpangkat ‘’kopral’’ marah-marah sama gurunya, dan minta
saya dipindahkan ke tempat duduk paling depan. Ternyata berhasil, aku naik kelas, hingga kelas tiga,
dua tahun berikutnya.
Salah satu teman istewaku, di kelas itu adalah Ahmad, namun banyak teman-teman di kelas
memanggilnya ‘’Ahmad Picak’’, karena mata sebelah kiri cacat, sehingga dia hanya bias melihat
menggunakan mata kanan. Sejak kelas satu, kata dia, dia sudah mencari penghasilan sendiri. Dengan
berjualan es plastic, yang kita panggil pada masa itu dengan ‘’es gaya baru’’, es manis yang dibungkus
plastic kecil, yang dibawa ‘’Amat Picak’’, demikian dia sering dipanggil kadang dua teremos penuh yang
dipikulnya, usai dia pulang sekolah. Biasanya sekitar pukul 01 siang sampai pukul 05.00 sore. Namun,
ketika sekolah masuk siang, dia berjualan pada pagi hari dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 10.00 pagi.
Suatu hari, ketika kami sama-sama duduk satu kelas di kelas tiga, kebetulan kami masuk siang, aku
bertanya pada dia. ‘’Mat, boleh aku ikut kamu jualan, agar aku bias punya uang sendiri untuk jajan,’’
kataku padanya. ‘’Besok pagi ikut aku ke gunung dup, Suf’’ kata Amat kepadaku. Gunung dup, adalah
suatu kawasan di atas perbukitan, dekat Pelabuhan Laut kota Balikpapan. Di kawasan ini dikenal sebagai
perumahan elite, umumnya dihuni para pegawai, utamanya staff atau tingkat manager perusahaan
minyak Pertamina, atau perusahaan minyak asing lainnya. Ajakan Amat ke gunung ‘’Dup’’ memang
beralasaan, karena pada tahun-tahun itu, hanya segelintir orang ‘’kaya’’ saja yang memiliki ‘’kulkas’’.
Kulkas ketika itu masih berupa barang mewah.
Esok, paginya, hari Kamis, Minggu pertama pada bulan Juni 1968 itu sekitar pukul 06.00 sudah ada di
rumah salah seorang staf Pertamina yang memiliki ‘’Kulkas’’ seperti yang dituturkan Amat. Seperti biasa,
Amat sudah mengisi dua termosnya. Satu termos berisi 60 butir es plastic. Begitu pula saya. Kami pun
lalu memikul kedua termos itu menggunakan sebuah tongkat kayu.
2. Amat lalu berjualan menyusuri pasar Prapatan, Sentosa II lalu ke kawasan Kelandasan, dan siangnya
sekitar pukul 11.00 sudah berjualan mendekati sekolah di Jalan Lembah. Jadi, pukul 12.00 siang, dia
sudah bersiap masuk sekolah, setelah terlebih ganti baju. Sedangkan saya, ketika itu berjualan kea rah
pelabuhan laut, tidak jauh di kawasan Gunung Dup itu.
‘’Iyoo, es gaya baru…Iyooo, es gaya baru,’’ teriak aku berkali-kali, menyusuri jalan hingga satu jam
kemudian sampai di kawasan pelabuhan. Di sepanjang jalan, tentu ada satu dua orang yang
memanggilku untuk membeli es. Ada yang beli dua, satu bahkan ada yang memborong lima sekaligus.
‘’Dik, kemari,’’ teriak seseorang dari balik Gudang di pelabuhan itu. Saya pun lalu mendekati pemuda
yang tengah memanggil itu. Rupanya, para pemuda ini adalah para pekerja ‘’lepas’’ di pelabuhan itu,
utamanya ‘’kuli’’ angkut barang. Rupanya, pemuda ini lalu memanggil beberapa temannya. Eh, Togar,
cepat kemari, minum es aku yang traktir,’’ teriak pemuda ini kepada puluhan teman-temannya di sekitar
kawasan itu.
Dalam sekejab, tidak sampai lima menis, puluhan pemuda itu ‘’melariskan’’ kedua isi termosku. Namun,
beberapa menit kemudian, mereka satu per satu ‘’bergegas pergi’’ lalu menghilang di kejauhan. Tinggal
aku sendiri, tentu di usiaku sekitar 10 tahun, masih terlalu kecil dan tentu kalah cepat dalam berlari
mengejar para pemuda berusia 20’an itu.
Menyadari mereka semua bergegas lari, meninggalkan aku sendiri, aku pun mulai menyadari bahwa
mereka rupanya telah ‘’kabur’’ tanpa membayar sesen pun seluruh dua isi termos. Mungkin isi termos
itu tinggal sekitar 80 es plastic, karena sekitar 40 telah terjual ketika dalam perjalanan dari rumah
‘’Touke’’ menuju pelabuhan.
*Menjadi wartawan lebih 25 tahun di berbagai media, kini wartawan freelance adan dosen komunikasi
di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah.