1. AKU, IBU dan TUHAN
(Nota untuk Tuhan )
Pada jantung waktu yang berlari
dari hari yang biasa kupetik
Kujumpai pecahan-pecahan wajah
Tenggelam jauh ke barat,
bersama matahari.
Malam tiba begitu lugu, serupa lagu-lagu
requiem, lantas ada burung hantu sedang
melewati detik, menit, jam yang terus mengalir.
Pagi datang seakan berlari
Di ruang fajar tak lagi kudengar
Kisah burung-burung pipit;
hanya embun beku. Itulah tuhan yang malu-malu
mendatangi pagi,
sejenak lalu beranjak pergi.
*
Sebelum sempat aku memarahi Tuhan,
Perempuanku menegur: mengapa kamu cemberut, nak?
Ya, itu perempuanku, ibuku. Ia selalu bertanya, mengapa?
Selalu saja ada pertanyaan.
Aku memanggilnya, ibu.
Kala aku bertanya:
mengapa gelisah?
ia diam.
Mengapa diam saja ibu? Ia hanya menganyam senyuman,
Namun, sesekali ia berkata: aneh, aneh,
Dia aneh. Benar-benar aneh.
Hahaha...hahahaha.....
Aku bingung, tapi tersanjung
Mengapa aku tertawa tiada berujung?
Hahaha....haha........
“Ada yang lucu, nak?” tanya ibu.
(aku menatap wajahnya, di bola matanya tampak mendung
Apa bakal turun hujan di bola mata itu?)
Oh, aku paham. “Maafkan aku karena Rokatendamu telah mengusir
kesibukanmu menanam ubi, jagung, juga padi
pada ladang-ladang kita yang penuh susu dan madu.
Ibu diam. Aku diam. Lalu semuanya diam membakar dalam-dalam diam
yang gelisah itu.
(hening)
2. *
“Ada apa dengan batu-batu itu?” tanya ibu lagi, kala gunung batu itu memuntahkan laharnya
yang berbisa . Lahar yang suka menangkap apa saja, hanya karena
ia datang bersama api. Ibu bingung, bertanya tiada ujung.
Ibu merasa ada yang sakit, kesakitan mata, tangan, kaki, mulut, kepala,
dan semuanya sakit-sakitan.
“Ada apa dengan asap-asap itu?” Tanya ibu lagi kala batu-batu yang menempel
di wajah gunung batu itu beremuruh kabut hitam, kabut paling mandul dan
tak tahu malu meracuni keringnya tanah dari atas gunung turun ke lembah.
“Itu bisa menyembuhkan sakit mata, tangan, kaki, mulut, kepala juga hati, anakku” katanya.
Tapi, di wajahnya tampak kabut-kabutan, dan kesakitan terus dibalut bayang-bayang kabut.
“Obat apakah mampu menghilangkan rasa sakit
macam ini?” tanya ibu pada lilin- lilin yang belum usai dibakarnya.
*
Ibu hilang akal. Barangkali gila. “Mengapa batu-batu terus menjadi lahar,
Sementara kabut hitam-kelam, membawa racun paling minta ampun?”
Tanya demi tanya, ibu merasa belum dijawab
(sementara lilin- lilin kecil belum habis dibakar)
“Tuhan, engkau mandul, engkau menggauli kami
rasa sakit, penyakit, menjangkit dan terus menjangkit!” seru ibu seakan berduka.
“Ah, Tuhan masih gagal memakan lelehan lilin-lilinku” kata ibu resah.
*
Ibu kembali menyalakan lilin- lilinnya. Kali ini sudah Natal. Natal yang menguak seribu
tanya: Dia lahir, dia lahir! Untuk siapa? Itu untuk kamu yang merasa dilahirkan. Ibu marah,
sungguh-sungguh marah, tetapi ia jatuh cinta lagi ketika dijumpainya obat penghilang rasa
sakit itu ada di balik cahaya lilin- lilin yang terus menyala. Selalu.
Terkadang ibu membilang: Tuhan memang pintar benar-benar,
Sementara dirinya bodoh sungguh-sungguh.
“Tuhan itu aneh!” katanya.
Ia merayu kita dan terus merayu,
meminta kita mencumbuinya dalam sujud tiada tuntas. haruskah begitu?
Ahk, kesakitan datang dan pergi, dan ibu masih menunggu
Bersama lilin yang terus dibakarnya.
*
Tuhan memang aneh, di kandang ia tiba, di gunung ia datang,
tapi menjinjing serta keranjang perang.
Kapan Natal yang kurindu menjadi revolusi? Ataukah korupsi, kolusi, nepotisme
3. yang mampir di lembaran- lembaran koran berkali-kali? Ibu meraung, memberontak, bahkan
ingin membunuh Tuhan!!!!
*
Ah, Tuhan engkau aneh,
mandul, pemalu, pemberontak, pemerkosa.
Ibu menangis.
“Tuhan, berkali-kali engkau lahir
Dan ibuku masih bertanya, untuk siapa kau datang?”
Aku merasakan luka ibu, kesakitan ibu, semuanya aku rasa...
Nanar......nanar .......
Tuhan..
Obat apakah yang paling indah untuk menyembuhkan
Luka-luka ibuku?
Barangkali natal-Mu yang gelisah
Susah dan
Sepi itu ‘kan?
Engkau Boleh berabad-abad datang, berkali-kali berkunjung,
Engkau tiba di ranjang kandang paling malang
Pintaku:
Lahirlah di dalam hati kami
Lahirlah.....
Lahirlah pada bola mata ibuku, hingga hujan sepanjang musim
Kami nikahi bersama kemarau hati kami.
Nita Pleat, Nopember 2013.